Anda di halaman 1dari 6

Nama : Astrid Cinthara Paramita Duarsa

NIM : 019.06.0010

Kelas : B

PROJECT SHARING SESSION

Gerakan LGBT bermula di dalam masyarakat Barat. Cikal bakal lahirnya


gerakan ini adalah pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di London tahun 1970,
Gerakan ini terinspirasi dari gerakan pembebasan sebelumnya di Amerika Serikat
tahun 1969 yang terjadi di Stonewall Kampanye LGBT berfokus pada upaya
penyadaran kepada kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender dan masyarakat
umum bahwa perilaku mereka bukan penyimpangan sehingga mereka layak
mendapatkan hak-hak seksual sebagaimana orang lain. Indonesia menjadi negara
kelima terbesar di dunia dalam menyumbang penyebaran LGBT atau lesbi, gay,
biseksual, dan transgender. Demikian hasil survei CIA di lansir six pack
magazine.net. Populasi LGBT di Indonesia ke-5 terbesar di dunia, setelah China,
India, Eropa, dan Amerika. Sedangkan pengguna Facebook di Amerika yang
menyatakan secara terbuka sebagai LGBT berjumlah 26 juta. Sejumlah lembaga
survei independen dalam dan luar negeri menyebut, Indonesia memiliki populasi 3%
LGBT. Dengan kata lain, dari 250 juta penduduk Indonesia, sekitar 7,5 jutanya adalah
LGBT. Berarti dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat, 3 di antaranya
memungkinkan mereka adalah LGBT.

Komunitas LGBT merupakan sebuah kelompok yang terdapat empat


kelompok yang berbeda, yakni lesbian, gay, biseksual, dan transgender. LGBT
didefinisikan sebagai orientasi seksual seseorang yang cenderung diarahkan pada
ketertarikan seseorang dari jenis kelamin yang sama, atau disebut juga dengan istilah
homoseksua. Dapat dikatakan bahwa, komunitas LGBT merupakan sebuah kelompok
berdasarkan orientasi atau pilihan secara individu mengenai ketertarikan seksualnya
terhadap jenis kelamin yang sama. Empat kelompok LGBT terdapat makna yang
berbeda. Kelompok yang pertama adalah lesbian, yaitu suatu istilah yang ditujukan
pada perempuan, yang orientasi seksualnya cenderung tertarik pada sesama
perempuan. Kelompok kedua adalah gay, yakni sebuah istilah yang ditujukan pada
laki-laki, yang orientasi seksualnya cenderung tertarik pada sesama laki-laki.
Kemudian, kelompok ketiga adalah biseksual, yaitu penggambaran istilah untuk
seseorang yang memiliki ketertarikan secara intelektual, emosional, dan seksual
terhadap laki-laki dan perempuan. Kelompok yang keempat adalah transgender yang
merupakan sebuah istilah bagi seseorang yang berperilaku atau berpenampilan
berbeda dari jenis kelaminnya, contohnya saat seorang perempuan berperilaku dan
berpenampilannya seperti laki-laki, dan begitupun dengan sebaliknya. Seorang
transgender dapat mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai heteroseksual,
homoseksual, ataupun biseksual. Dalam hal ini, transgender tidak mengacu pada
bentuk secara spesifik atau orientasi seksual.

Menurut Michael, terdapat tiga kriteria dalam menentukan individu menjadi


homoseksual, yakni:

1) Seseorang memiliki ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang


sama,

2) Seseorang memiliki keterlibatan seksual dengan satu atau lebih orang


berjenis kelamin yang sama, dan

3) Seseorang menganggap dirinya sebagai lesbian atau gay.

Secara umum, para ahli menyimpulkan tiga faktor penyebab dasar terjadinya
prilaku LGBT :

1. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan bisa memicu terjadinya LGBT, misalnya saja karena
salah pergaulan. Dalam berteman, sudah selayaknya kita memilih teman
yang memilikiprilaku baik. Ketika seseorang berteman dengan orang
yang diketahui LGBT, ada kecenderungan dia akan ikut menjadi anggoita
LGBT, disebabkan pengaruh factor teman. Jadi, lingkungan dan
kebiasaan menjadi factor pemici paling besar terjadinya LGBT di
Indonesia. Disamping itu pengaruh budaya barat baik melalui tontonan di
media massa maupun dalam keseharian di lokasi-lokasi wisata, ditengar
menjadi sebab pengaruh pelaku penganut LGBT.

2. Faktor Keluarga
Jika seorang anak mengalami kekerasan di lingkungan keluarganya, hal
ini juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab menjadikan sang anak
penganut LGBT. Sebagai misal seorang anak perempuan yang
mengalami incest maupun prilaku kasar oleh lelaki yang berada di
rumahnya, akan cenderung membenci lelaki dan mencari sandaran kasih
sayang, dari kaum wanita. Oleh sebab itu, peranan keluarga sangat
penting dalam mengantisipasi prilaku seks menyimpang. Kehangatan dan
keharmonisan keluarga serta pendidikan agama yang baik, akan menjadi
benteng utama bagi sang anak melawan pengaruh LGBT di
lingkungannya.

3. Faktor Genetik
Genetik atau riwayat keturunan, menjadi salah satu faktor penyebab
lainnya dalam membentuk seseorang berprilaku LGBT. Dalam tubuh
manusia, kromosom lelaki normal adalah XY dan perempuan XX.
Namun di kehidupan nyata, bisa ditemukan bahwa seorang laki-laki
memiliki kromosom XXY. Kelebihan Kromosom ini bisa menyebabkan
dia memiliki prilaku menyerupai seorang perempuan. Demikian juga
sebaliknya.

Masyarakat memiliki kesan awal terhadap LGBT sebagai sesuatu yang


menular, atau penyakit yang menular, sebagian lain melihat LGBT sebagai
penyimpangan. Hal tersebut dianggap menyeramkan karena terkait dengan hubungan
seksual yang menyimpang dan penyakit yang ditimbulkannya (HIV). Sebagian
masyarakat yang lain melihat LGBT sebagai penyakit sosial karena bertentangan
dengan atau melanggar norma-norma dan nilai-nilai agama yang dianut oleh
mayoritas masyarakat di Indonesia.

Meskipun demikian, ada pula yang melihat LGBT sebagai kelompok orang-
orang yang berbeda dari orang-orang pada umumnya di masyarakat. Meskipun
demikian mereka tidak bisa mengekspresikannya karena dibatasi oleh aturan-aturan
lingkungan yang membatasi mereka. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa LGBT
ialah penyakit yang harus disembuhkan atau dipulihkan. Masyarakat melihat bahwa
LGBT merupakan orang-orang yang harus diobati dan membutuhkan pertolongan
Menurut mereka, komunitas ini perlu direhabilitasi untuk mendapatkan pemulihan
agar mereka menjadi normal (heteroseks) kembali dan jumlahnya tidak bertambah
banyak.

Masyarakat umumnya melihat keberadaan LGBT sebagai suatu hal yang


negatif, abnormal, dan kesalahan. Penolakan dan pandangan tersebut didasarkan atas
ajaran agama yang dianut sebagian besar oleh masyarakat di Indonesia dan juga
karena ada anggapan kuat bahwa Indonesia ialah negara religius. Selain itu juga,
minimnya interaksi atau informasi tentang LGBT juga semakin menguatkan
pandangan tersebut. Selama ini informasi yang diterima adalah LGBT orang-orang
yang melulu berkaitan dengan perbuatan dosa.

Komunitas LGBT yang menggunakan layanan kesehatan akan cenderung


menyembunyikan seksualitas mereka karena takut mendapatkan stigma atau penilaian
negatif dari petugas kesehatan. Mereka juga mengungkapkan kebanyakan komunitas
LGBT menganggap keterbukaan diri mereka terhadap petugas kesehatan dapat
meningkatkan risiko mereka mendapatkan stigma sehingga menyembunyikan
orientasi seksual merupakan solusi terbaik.

Rendahnya penggunaan layanan kesehatan dan tidak adanya keterbukaan


dalam memberikan informasi pada komunitas LGBT dengan penyakit bernama
HIV/AIDS tentunya berdampak terhadap penurunan kondisi kesehatan dan
peningkatan resiko penularan penyakit. Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab
komunitas LGBT dengan HIV/AIDS tidak menggunakan layanan kesehatan atau
tidak terbuka untuk mengobati penyakit yang dideritanya yaitu karena adanya
perasaaan intimidasi dan perbedaan pelayanan yang didapatkan dari tenaga kesehatan
dalam mengatasi dan memenuhi kebutuhan perawatan yang diinginkan mereka karena
identitas gendernya (mengungkapkan bahwa pengalaman mendapatkan stigma terkait
orientasi seksual pada gay dengan HIV/AIDS menjadi sebuah pengalaman yang
berdampak terjadinya penurunan kualitas hidup karena merupakan salah satu stressor
yang memperburuk kesehatan.

Untuk meningkatkan kesadaran komunitas LGBT dalam menggunakan


layanan kesehatan dibutuhkan suatu kondisi yang nyaman dan tidak mengalami
diskriminasi saat mencari perawatan ataupun pertolongan medis. Akan tetapi, masih
terdapat beberapa kondisi yang menjadi kendala komunitas LGBT dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal, yaitu: kesulitan mengungkapkan
identitas, ketidaknyamanan yang diberikan dari petugas kesehatan, diskriminasi yang
mencolok dari petugas kesehatan, serta kondisi yang menormalisasikan identitas
seksual mereka juga mengungkapkan bahwa adanya stigma yang diberikan petugas
kesehatan terhadap komunitas LGBT ketika sedang mendapatkan pelayanan
kesehatan. Stigma yang diberikan oleh perawat juga tidak jarang disebabkan oleh
nilai-nilai dan keyakinan yang diyakininya terkait orientasi seksual pada komunitas
LGBT.

Pelayanan kesehatan dapat menjadi salah satu solusi dalam menurunkan


angka HIV/AIDS pada komunitas LGBT . Sikap professional dari petugas kesehatan
ketika sedang merawat merupakan salah satu hal yang sangat diharapkan oleh
Komunitas LGBT. Pelayanan kesehatan yang profesional dapat meningkatkan
motivasi komunitas LGBT dengan HIV/AIDS untuk rutin datang melakukan
pengobatan sehingga angka penularaan penyakit dapat mengalami penurunan.
Beberapa penelitian sudah dilakukan di negara lain untuk mengungkapkan harapan
para homoseksual terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Ada beberapa indikator
kualitas pelayanan kesehatan yang diharapkan oleh komunitas LGBT, yaitu:
kerahasiaan yang dapat dijaga, kepribadian yang dihormati, individu yang
diperlakukan dengan belas kasihan dan rasa hormat.

Bagi tenaga profesional atau instansi yang menaungi komunitas LGBT,


diharapkan dapat memberikan psikoedukasi, pelatihan, atau bentuk intervensi lainnya
yang dapat mereduksi kecemasan sosial pada kaum ini. Masyarakat harus diberikan
sosialisasi dan menambah pengetahuan mereka tentang komunitas LGBT dan hak
asasi mereka yang layak mereka terima. Apapun yang terjadi, komunitas LGBT juga
merupakan manusia yang layak untuk dihormati dan dihargai. Ketika komunitas
LGBT diperhatikan hak-hak hidup mereka dan mendapatkan keadilan sosial maka
mereka akan menjadi sejahtera secara fisik, psikis, dan psikologis.

DAFTAR PUSTAKA
Caitlin.R, ACSW, Stephen. T. Russell, David.H, Rafael.D, and Jorge. S.
(2010).
Family Acceptance in Adolescence and the Health of LGBT Young Adults.
Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, 3(4), 205–213. doi:
10.1111/j.1744-6171.2010.00246.x
Freedman, Jonathan L.Peplu, L Anne.Sears, O David. (2005). Psikologi
Sosial.
Jakarta: Erlangga. Jakarta: Erlangga.
Nancy.F, and Laurie, N.G. (2000). Nursing Approaches for Working With
Family
Strengths and Resources. Journal of Family Nursing, 6(1). doi:
DOI:10.1177/107484070000600102
Papilaya.J.O. (2016). Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) dan
Keadilan Sosial. Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, III(1), 025-034.
Sarwono, Sarlito. W., Meinanrno, E. A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.

Anda mungkin juga menyukai