1
1. Andi seorang petualang yang tersesat di suatu daerah terpencil, tidak ada satu orang
pun yang tinggal dan hidup disana. Andi memutuskan untuk tinggal disana. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya Andi memanfaatkan hasil dari bumi. Andi juga
membangun tempat tinggal sendiri dari bahan-bahan yang tersedia di alam. Andi bebas
melakukan apapun disana. Suatu hari daerah yang ditinggali Andi kedatangan
serombongan petualang yang tersesat dan tidak bisa kembali ke tempat asalnya.
Rombongan petualang tersebut memutuskan untuk menetap hidup disana berdampingan
bersama Andi.
a. Seorang Filsuf Yunani, Aristoteles menyatakan bahwa manusia itu merupakan zoon
politicon jelaskan dan kaitkan dengan kisah di atas!
Pertanyaan:
Analisis oleh saudara tujuan hukum yang didasarkan oleh teori utilitas menurut Jeremy
Bentham dikaitkan dengan kasus pelanggaran UU ITE.
3. Dalam hidup bermasyarakat tentu dibutuhkan suatu tatanan atau kaidah atau norma
yang bertugas mengatur setiap sendi kehidupan. Norma atau kaidah itu tidak akan timbul
dengan sendirinya namun terbentuk dari interaksi-interaksi sosial antar individu dalam
masyarakat. Ada norma yang sifatnya tidak mengikat dan hanya memiliki sanksi sosial
seperti norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan dan ada pula norma yang
sifatnya mengikat dan memiliki sanksi tegas seperti norma hukum.
Pertanyaan:
Analisis oleh saudara teori piramida hukum (stufentheorie) dari Hans Kelsen dan berikan
contoh konkretnya dalam norma hukum di Indonesia.
NAMA : MUHAMMAD ARI SIGIT
NIM : 045203705
MATA KULIAH : PENGANTAR ILMU HUKUM / PTHI
Jawaban :
1.
a. Istilah “zoon politicon” pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dalam sebuah
tulisannya yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah
hewan “zoon” penggembala yang dilahirkan untuk hidup
bermasyarakat “politicon” dan saling berinteraksi satu sama lain. Dalam kehidupan
sehari-harinya, manusia sebagai makhluk sosial akan selalu tergantung kepada
sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam cerita di atas, Andi yang selama ini hidup sendiri akhirnya didatangi
segerombolan petualang yang tersesat dan tentu Andi sangat senang mendapat
teman. Karena sifat “zoon politicon” Andi dimana manusia adalah makhluk
sosial yang cenderung hidup saling bergantungan saling membantu memenuhi
kehidupannya. Selama ini Andi hidup bersama alam sekitarnya yang mendukung
kehidupannya dan sekarang dengan datangnya segerombolan petualang ini akan
lebih menambah dinamika kehidupan Andi yang mudah-mudahan akan berlangsung
harmonis dimana mereka saling menjunjung tinggi tatanan masyarakat yang saling
menghargai satu sama lain dengan aturan-aturan dan norma-norma yang disepakati.
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk hidup berkelompok sebagai
masyarakat yang dapat diwujudkan dengan berbagai cara mereka berinteraksi. Cara
interaksi ini dapat berupa perbincangan, berjabatan tangan, bekerja sama, bertanya,
dan lain-lain. Lebih jauh, di jaman modern seperti sekarang ini, interaksi antar
manusia sudah dapat dilakukan secara daring tanpa tatap muka melalui bermacam-
macam aplikasi yang tersedia dan mudah dipakai.
Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung memiliki rasa empati, toleransi, saling
menolong, dan akrab satu sama lain. Dengan naluri ini tercipta tatanan masyarakat
yang harmonis dengan munculnya nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Namun, apabila nilai-nilai dan norma-norma ini dilanggar maka akan
terjadi penyimpangan sosial di masyarakat.
Setiap tingkah laku dari manusia baik disadari maupun tidak disadari sebenarnya
ada hukum yang mengatur manusia tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam
ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus”
(di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka
selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas
berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai
“semen perekat” tersebut adalah hukum.
3. Teori hukum Piramida atau “stufenbau” merupakan teori yang dikemukakan oleh Hans
Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan
kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada
norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi)
harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut
Kelsen “grundnorm” adalah :
“a statement from which all other duty statements ultimately get their validity from”
Dengan perkataan lain “grundnorm” adalah sumber tertinggi bagi validitas suatu norma
yang supremasi validitasnya diasumsikan seperti itu. Kelsen mengakui bahwa bentuk
grundnorm dalam setiap sistem hukum berbeda-beda. “Grundnorm” dapat berbentuk
konstitusi tertulis atau perintah diktator. Berkaitan dengan grundnorm di Indonesia
dikenal dengan adanya konstitusi sebagai dasar dan hukum tertinggi. Konstitusi
tersebut yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 45). Dalam teori hukum “stufenbau”, “grundnorm” merupakan
bagian kaidah tertinggi dalam hierarkinya.
Teori hukum berjenjang (stufenbau) juga dikenal dengan hierarki norma, dimana
sebuah norma tidak boleh bertentangan dengan norma yang diatasnya. Kelsen
menggambarkan suatu sistem hukum sebagai sebuah sistem norma yang saling terkait
satu sama lain (interlocking norms) yang bergerak dari suatu norma yang umum (the
most general ought) menuju ke norma yang lebih konkret (the most particular or
concrete). Hal tersebut pada akhirnya akan bermuara pada “grundnorm”. Relasi dan
hierarki antara “grundnorm” dan norma lainnya adalah sebagai berikut :
“Grundnorms-norms-subnorms”
Bagi Kelsen, hierarki norma hanya mengenal superordinasi dan subordinasi, tidak
mengakui adanya koordinasi. Selain terkenal dengan teori “stufenbau”, Kelsen juga
menjadi penggagas pentingnya menjaga sebuah hukum dasar melalui sebuah lembaga
agar konstitusi (grundnorm) tidak tercederai. Lembaga tersebut adalah Mahkamah
Konstitusi. Teori stufenbau di Indonesia diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya
disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini tertuang dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
menyatakan sebagai berikut :
Teori Piramida atau “stufenbau” dari Kelsen ini memiliki kelemahan, dimana klaim
purifikasi hukum Kelsen dinilai cenderung tidak konsisten dan menjadikan hukum
sesuatu yang tidak bisa menjadi murni (impure). Hal tersebut dikarenakan Kelsen tidak
dapat meyakinkan bagaimana “grundnorm” itu hadir dan dihadirkan (comes into
existence), yang faktanya untuk menghadirkan “grundnorm” diperlukan bantuan dari
ilmu lain seperti, sejarah, politik, ekonomi dan sebagainya.