Anda di halaman 1dari 3

DIMENSI MASKULINITAS-FEMINITAS

Maskulinitas berasal dari kata muscle atau otot yaitu sifat-sifat yang hanya mendasarkan
pada kekuatan otot (fisik) atau disebut juga kejantanan adalah sejumlah atribut, perilaku, dan
peran yang terkait dengan anak laki-laki dan pria dewasa. Karakter maskulin ini dicirikan
dengan kecenderungan kompetitif, aktualisasi diri, dan unjuk kekuatan. Sedangkan
feminine atau feminitas dari bahasa Prancis, merujuk pada sifat yang menunjukkan sifat
keperempuanan. Seperti, kelembutan, kesabaran, kebaikan, merawat, empati dll. Sedangkan
Sifat feminin dan maskulin ini dimiliki semua orang, laki laki maupun perempuan. Seseorang
yang hanya berkembang sifat maskulinnya saja akan melihat orang lain bukan
sebagai partner melainkan pesaing bagi kepentingannya ataupun dianggap akan melunturkan
rasa “harga diri” nya ketika orang lain memiliki pandangan yang berbeda dengannya.

Feminin dan maskulin menjadi indikator dalam mengidentifikasi suatu jenis kelamin.
Dikotomi feminin dan maskulin secara tradisional memang mengikat perempuan dan laki-
laki pada stereotip yang baku. Feminin adalah citra, sifat, ungkapan diri yang bagaimanapun
juga tetap didambakan oleh wanita dan selalu ingin dipertahankannya. Di dalam kata feminin
tersirat unsur keibuan, kelemahlembutan, kemanisan, keserasian, ketenangan. Sebaliknya,
maskulin sangat lekat dengan kaum pria yang cenderung lebih kasar dan keras, seperti jantan,
macho, berwibawa, tegas, berjiwa pemimpin (Chandra, 1983). Feminin mengacu pada
keindahan dan kecantikan sehingga erat dengan sikap merawat diri dan bersolek, sedangkan
maskulin cenderung acuh dari sisi penampilan tapi lebih diutamakan dalam hal kecerdasan
dan karakter kepemimpinan.

Menurut Hilary M. Lips (2007), gender merupakan harapan-harapan budaya terhadap laki-
laki dan perempuan. Feminin diidentikan dengan sosok perempuan sedangkan maskulin
diidentikan dengan sosok laki-laki. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Nendra Primonik
(2010) mengenai adanya garis batas yang tegas antara feminin dan maskulin. “Dalam
masyarakat patriarkis berlaku hukum oposisi biner dari Claude Levi Strauss, yang
menyatakan bahwa hanya ada dua tanda atau kata yang hanya punya arti jika beroposisi
dengan yang lain. Keberadaan yang satu ditentukan oleh ketidakberadaan yang lain. Dalam
oposisi biner garis batas bersifat tegas dan mutlak, tidak ada ruang abu-abu dan setiap
realitas harus masuk dalam salah satu kotak yang berlawanan secara mutlak. Bila
dipandang dari penerapan nilai maskulinitas dan feminitas, ini berarti tidak akan ada ruang
ketiga, yaitu laki-laki dengan sifat feminin atau perempuan yang bersifat maskulin. Jika
ruang ketiga ini muncul maka ia dimaknai sebagai kategori ambigu, yang kemudian
diartikan sebagai skandal atau anomali” (Primonik, 2010).

Maskulinitas dan femininitas juga erat kaitannya dengan bagaimana individu dikonstruksi.
Konsep mengenai konstruksi personal oleh Chodorow (1989) dipaparkan dalam kutipan
berikut; “gender cannot be seen as entirely culturally, linguistically, or politically
constructed. Rather, there are individual psychological processes in addition to, and in a
different register from culture, language, and power relations that construct gender for the
individual. Meaning … is always psychologically particular to the individual.” Dalam teori
sosiologi gender, Connell seperti dikutip oleh Wajcman (2001) mengungkapkan bahwa
maskulinitas ada dua bentuk dominan, maskulinitas secara budaya atau maskulinitas
hegemonik dan bentuk maskulinitas yang tersubordinasi. Yang dimaksud dengan hegemonik
adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan
kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi,
dimana kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah citacita
atau kekuasaan bagi maskulinitas tersebut. Maskulinitas hegemonik adalah bentuk
maskulinitas ideal karena tidak harus berhubungan erat dengan kepribadian aktual laki-laki.

Wetherell and Edley (1999) juga menegaskan mengenai pengertian maskulinitas


hegemonik; Hegemonic masculinity is related to Gramcsi’s ideas about hegemonic ideologies
that naturalize and legitmated the interests of the powerful which marginalizes and
subordinates other groups. Maskulinitas hegemonik adalah bentuk maskulinitas ideal karena
tidak harus berhubungan erat dengan kepribadian aktual laki-laki. Namun Wajcman menilai
bahwa ada inti maskulinitas dominan yang tercermin dalam varian-varian yang berbeda.
Contohnya dalam masyarakat barat kontemporer, maskulinitas hegemonik ini sangat erat
dengan paradigma agresivitas dan kekerasan seperti yang dipahami kaum feminis
kontemporer sejauh ini. Tolok ukur bentuk maskulinitas semacam ini adalah debu,
kebisingan, dan bahaya. Namun bisa juga dalam konsep maskulinitas masyarakat barat
kontemporer, bentuk maskulinitas berhubungan erat dengan ‘kekuatan’ mereka akan
penguasaan teknologi yang merupakan realisasi laki-laki yang secara sosial gagal
mengkompensasikan kurangnya kekuatan ‘fisik’ mereka. Contoh kasus disini adalah kaum
hackers yang secara fisik tidak menarik dan patologis namun secara teknik mereka adalah
potret ‘perkasa’ dalam hubungannya dengan laki-laki lain dan perempuan yang kurang
memiliki keahlian seperti mereka. Oleh karena itu, kecenderungan maskulinitas hegemonik
masih mengarah pada representasi kekuatan fisik laki-laki; Hegemonic masculinity
marginalizes and subordinates women and also alternative forms of masculinity. Although
the specific definition varies by social context, hegemonic masculinity is understood
contemporarily as being white, straight, successful, and competitive (Speer 2001).

Referensi : Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024

Anda mungkin juga menyukai