Anda di halaman 1dari 7

Sistem sosial dan budaya masyarakat pedesaan dan perkotaan

Indira Putri Fauhan1 Lestari Anis Sanijan2 Muhammad Alfeno Syam Ma’arif3

Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Muhammadiya Prof. Dr. Hamka

Pendahuluan

Masyarakat pedesaan sangat berbeda dengan masyarakat kota, dari gaya hidup, pandangan
hidup, perilaku termasuk kelembagaan masyarakat dan kepemimpinannya. Begitu juga struktur
sosial, proses sosialnya, mata pencaharian, pola perilaku juga berbeda dengan masyarakat kota.
Sistem mata pencaharian masyarakat pedesaan tak lepas dari perkembangan kebudayaan
masyarakatnya. Pergeseran dari pertanian ke sektor jasa dan perdagangan merupakan fenomena
yang layak. Tak terelakan dalam kehidupan masyarakat desa. Demikian pula sering iita jumpai
mata pencaharian di desa makin bervariasi sementara kultur dan tata nilai serta daya dukung
lahan cenderung tetap. Bergitu juga budaya dan sistem religi masyarakat desa berbeda dengan
masyarakat kota. Selain yang sangat mencolok antara keduanya yaitu dalam karakter sosialnya
yang sangat berbeda, dimana salah satunya yaitu mengenai hubungan terhadap tertangga di mana
dalam masyarakat desa sangat mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan
pribadi, dan semua itu berbanding terbalik dengan masyarakat kota.

Pengertian Desa

Desa merupakan bentukan dan pengembangan konsep asli bangsa Indonesia. Kata desa atau
dusun berasal dari bahasa Sansakerta yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran.
Penyebutan kata desa terhadap suatu wilayah hukum terbawah hanya digunakan di pulau Jawa,
Madura dan Bali, sedangkan di daerah lain di luar itu berbeda-beda. Seperti Di Batak kata desa
memakai kata huta, uta atau kuta, sedang di Aceh memakai istilah gampong. Desa secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hukum, tempat tinggal suatu masyarakat
yang memiliki pemerintahan sendiri. Desa bisa terdiri dari hanya satu tempat kediaman
masyarakat saja juga bisa terdiri dari beberapa tempat kediaman yang terpisah, yang merupakan
kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri yang disebut pedukuhan atau kampung. Kesatuan
masyarakat desa itu terbagi menjadi dua bagian yaitu desa dengan bentuk masyarakat teritorial
(territorial society), kesatuan masyarakat geneologis (geneology society) serta campuran
keduanya.

Bentuk teritorial merupakan daerah kesatuan hukum yang berdasar atas kerelaan warga
masyarakatnya untuk bertempat tinggal pada suatu tempat atas dasar kepentingan bersama.
Bentuk desa-desa dengan kesatuan hukum teritorial seperti ini terdapat di hampir desa-desa di
Jawa, Bali dan Madura serta desa- desa di sebagian besar pulau lainnya di Indonesia. Dalam
desa geneologis kepentingan perseorangan tidak diperkenankan dengan alasan kepentingan suku,
tetapi hak milik pribadi masih diakui meskipun terdapat hak milik suku (bersama). Meskipun
memiliki kesamaan ikatan geneologis, tetapi ada perbedaan antara satu kesatuan hukum wilayah
yang satu dengan yang lainnya, seperti antara hukum adat Minangkabau yang matriarchal (garis
keturunan ibu) dengan Batak di Sumatra Utara yang matriarchal (garis keturunan bapak). Suku
Minangkabau di Sumatra Barat, pedalaman Kalimantan, Papua, Minahasa di Sulawesi Utara,
Batak, sebagian daerah Lampung, Maluku serta Nusa Tenggara Timur, merupakan kesatuan
masyarakat desa yang dibentuk berdasarkan kesukuan atau kekerabatan disebut masyarakat desa
geneologis. Desa yang terbentuk dari kesatuan masyarakat geneologis dan territorial (desa
campuran) memiliki sifat pokok yaitu terdapat daerah hukum berbentuk territorial yang memiliki
pemerintahan, kekayaan dan kekuasaan sendiri, akan tetapi di bawahnya terdapat masyarakat
hukum yang berdasarkan hubungan darah (kekerabatan) yang juga memiliki kekuasaan dan
aturan sendiri. Bentuk desa campuran terdapat di daerah Minangkabau, Minahasa, Ternate dan
sebagian Ambon.

Karakteristik Dan Ciri-Ciri Masyarakat Desa

1. Homogenitas Sosial

Masyarakat desa pada umumnya terdiri dari satu atau beberapa kekerabatan saja, sehingga pola
hidup tingkah laku maupun kebudayan sama/homogen. Oleh karena itu kehidupan di desa
biasanya terasa tentram aman dan tenang. Hal ini di sebabkan oleh pola pikir, pola penyikap dan
pola pandangan yang sama dari setiap warganya dalam menghadapi suatu masalah (Tom R.
Burn, 1987: 271).

2. Hubungan Primer

Pada masyarakat desa hubungan kekeluargaan dilaksanakan secara akrab, semua kegiatan
dilakukan secara musyawarah. Mulai dari masalah-masalah umum/masalah bersama sampai
masalah pribadi.

3. Kontrol Sosial Yang Ketat

Hubungan pada masyarakat pedesaan sangat intim dan diutamakan, sehingga setiap anggota
masyarakatnya saling mengetahui masalah yang di hadapi anggota yang lain. Bahkan ikut
mengurus terlalu jauh masalah dan kepentingan dari anggota masyarakat yang lain.

4. Gotong Royong

Nilai-nilai gotong royong pada masyarakat pedesaan tumbuh dengan subur dan membudaya.
Semua masalah kehidupan dilaksanakan secara gotong royong, baik dalam arti gotong royong
murni maupun gotong royong timbal balik. Gotong royong murni dan sukarela misalnya:
melayat, mendirikan rumah dan sebagainya. Sedang gotong royong timbal balik misalnya:
mengerjakan sawan, nyumbang dalam hajat tertentu dan sebagainya

5. Ikatan Sosial

Setiap anggota masyarakat desa diikat dengan nilai-nilai adat dan kebudayaan secara ketat. Bagi
anggota yang tidak memenuhi norma dan kaidah yang sudah di sepakati,akan di hukum dan
dikeluarkan dari ikatan sosial dengan cara mengucilkan. Oleh karena itu setiap anggota harus
patuh dan taat melaksanakan aturan yang di tentukan.

6. Magis Religius

Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat desa sangat mendalam. Bahkan setiap
kegiatan kehidupan sehari-hari di jiwai bahkan di arahkan kepadanya.

7. Pola kehidupan

Masyarkat desa bermata pencaharian di bidang agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan
dan peternakan. Dalam mengolah mata pencaharian tersebut semata-mata tetap tidak ada
perubahan atau kemajuan. Hal ini di sebabkan pengetahuan dan keterampilan para petani yang
masih kurang memadai. Oleh karena itu masyarakat desa sering dikatakan msyarakat statis dan
menoton ( Syahrial Sharbaini, 2012 : 43).

Pengertian Kota

Menurut Amos Rapoport, kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat, permanen,
terdiri dari kelompok individu yang heterogen dari segi sosial. Kota merupakan tempat
bergabungnnya berbagai hal dan merupakan kumpulan keanekaragaman banyak hal. Berbagai
strata masyarakat bergabung dalam suatu tempat yang dinamakan kota. Begitu juga dengan
kegiatan ekonomi saling melengkapi dan saling bergantung. Kota juga merupakan simbol dari
kesejahteraan, kesempatan berusaha dan dominasi terhadap wilayah sekitarnya. Namun kota juga
merupakan sumber polusi, kemiskinan dan perjuangan untuk berasil (Zahnd, 2006).

Karakteristik dan Ciri-Ciri Masyarakat Kota

1. Heterogenitas Sosial

Kota merupakan melting pot bagi aneka suku maupun ras, sehingga masing-masing kelompok
berusaha di atas kelompok yang lain. Misalnya mengumpulkan atau mengorganisir anggota
kelompoknya secara rapi, memelihara jumlah anak yang banyak bagi kelompok minoritas dan
sebagainya. Di samping itu kepadatan penduduk memang mendorong terjadinya persaingan
dalam pemanfaatan ruan (Suratman, 2013: 76).

2. Hubungan sekunder

Dalam masyarakat kota pergaulan antar anggota serba terbatas pada bidang hidup tertentu.
Misalnya teman kerja, teman seagama, atau seorganisasi yang lain. Jadi pergaulan yang
mendalam, secara kekeluargaan dan saling mengisi kebutuhan sangat sulit dilakukan (Dandjaja,
2012 : 105).

3. Toleransi sosial

Pada masyarakat kota orang tidak memperdulikan tingkah laku sesamanya secara mendasar dan
pribadi, sebab masing-masing anggota memiliki kesibukan tersendiri. Sehingga kontrol sosial
pada masyarakat kota dapat di katakan lemah sekali.

4. Kontrol sekuder

Anggota masyarakat kota secara fisik tinggal berdekatan, tetapi secara pribadi atau sosial
berjauhan. Dimana bila ada anggota masyarakat yang susah, senang, jahat dan lain sebagainya,
anggota masyarakat yang lain tidak mau mengerti. Urusan orang lain biarlah diurus sendiri,
sedangkan ia sibuk mengurus tugasnya sendiri.

5. Mobilitas Sosial

Di kota sangat mudah sekali terjadi perubahan atau perpindahan status, tugas maupun tempat
tinggal. Tidak jarang orang semula bekerja pada suatu instansi kemudian bekerja kepada instansi
lain yang lebih menguntungkan.

6. Individual

Akibat hubungan sekunder, maupun kontrol sekunder, maka kehidupan masyarakat di kota
menjadi individual. Apakah yang mereka inginkan dan rasakan, harus mereka rencana dan
laksanakan sendiri. Bantuan dan kerjasama dari anggota masyarakat yang lain sulit untuk di
harapkan.

7. Ikatan Sukarela

Walaupun hubungan sosial bersifat sekunder, tetapi dalam organisasi tertentu yang mereka sukai
(kesenian, olah raga, politik), secara sukarela ia menggabungkan diri dan berkorban.
8. Segregasi Keruangan

Akibat dari hiterogenitas sosial dan kompetisi ruqang, terjadi pola sosial yang berdasarkan pada
sosial ekonomi, ras, agama, suku bangsa dan sebagainya. Maka dari itu terjadi pemisahan dalam
kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu di kota sering kita jumpai kampung cina, kampung
arab, kampung beragama islam (kauman), kampung elite, dan sebagainya (Dandjaja, 2012 : 105-
106).

Sosial masyarakat pedesaan

Menurut Hartomo dan Aziz (1999:246-248) bahwa antara masyarakat desa dengan
masyarakat lainnya saling mengenal secara intim. Masyarakat desa sering mekalukan hal-hal
bersama seperti gotong royong yang sangat diutamakan. Ketika ada masalah yang dilakukan
adalah bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ikatan sosial masyarakat
pedesaan ini diikat dengan adanya adat istiadat dan kebudayaan yang sangat ketat. Apabila
masyarakat melanggar aturan tersebut maka akan diberikan hukuman. Faktor lingkngan yang
geografis ini juga dapat memberi pengaruh terhadap sikap kegotong royongan yang dimiliki oleh
masyarakat pedesaan hal ini yang dapat memberikan pengaruh positif dan negatif. Dan bukan
hanya itu bencana alam juga menjadi faktir yang dimana harus dihadapi dan dialami bersama-
sama, jadi dengan adanya persamaan nasib dan pengalaman ini menimbulkan hubungan yang
akrab (Zainuddin Sardar, 1996:141). Pertemuan dan kerja sama untuk kepentingan sosial lebih
diutakan dibandingkan dengan urusan pribadi misalnya seperti membantu membangun rumah,
mengerjakan sawah, menggali sumur (Mohammad Mahfud MD,2011:98).

Sistem budaya masyarakat pedesaan.

Masyarakat pedesaan masih terikat dengan kebiasan atau adat-istiadat yang turun
temurun. Ketertarikan ini menjadikan masyarakat lebih mudah curiga terhadap hal-hal yang baru
sehingga masyarakat pedesaan kurang kritis (Dannerius Sinaga, 1988: 152). Masyarakat
pedesaan hidupnya sangat bergantung pada lingkungan alam sekitarnya

Sosial masyarakat perkotaan

Menurut Hartomo dan Aziz (1999:246-248) masyarakat kota ini memiliki kesejahteraan
dalam hidup dan pekerjaannya. Masyarakat kota ini lebih cenderung memiliki sikap sosial yang
individualism sifat kebersamaannya sudah jarang terlihat. Dalam menyelesaikan masalah
masyarakat perkotaan lebih dulu menyelesaikannya sendiri dibandingkan melakukan
musyawarah. Masyarakt kota dalam hal toleransi sosial jga lemah segala persoalan yang terjadi
pada masyarakat lain tidak terlalu mengundang simpati atau perhatian. Hal ini diakibatkan
karena masyarakat kota memiliki urusan sendiri-sendiri dan mengurangi perhatian dan
kepedulianya terhadap orang lain. Walaupun memiliki jumlah penduduk yang banyak, hidup
berdekatan satu dengan yang lainnya namun hubungan ini kurang akrab, terasa sepi dan hampa,
adanya rasa malu, gengsi dan takut menjiwai setiap anggotanya dalam menjalin hubungan
bertetangga. Semua hubungan dijalin secara formal dan kaku (Eni Maryani,2011:77).

Masyarakat kota lebih mementingkan pada perhitungan rugi laba yaitu memberi
keuntungan pada dirinya sendiri, sifat gotong royong mereka ganti dengan uang. Apabila ada
anggota masyarakat yang memiliki kehidupan kurang atau sengsara dibiarkan tanpa ada
pertolongan (Tedy Mulyana, 2014:133). Maka dari itu hidup dikota tidak tentram dan aman, rasa
suka atau duka harus ditanggung sendiri oleh anggota masyarakat yang bersangkutan bersama
keluarganya. Tetapi ada juga ada masyarakat kota yang memiliki sikap yang dermawan tetapi itu
terjadi sangat jarang (Wiliam L Livers, 2004:243).

Sistem Budaya masyarakat perkotaan

Dengan adanya pengaruh budaya dari asing hal ini telah membuat memudarnya rasa solidaritas
dalam tatanan masyarakat sehinggan sikap kepedulian akan kepentingan bersama semakin
hilang. Semakin berkembangnya zaman, kegotongroyongan luntuk karena sikap individualism
dan egoisme masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat perkotaan. Masyaraa perkotaan
sudah tidak mengenal lagi kegotongroyongan. Kebudayaan di Indonesia salah satunya ialah
kegotongroyongan. Kehidupan masyarakat perkotaan yang semuanya serba praktis dan instan
menjadikan masyarakat kota leih mementingkan kepentingan sendiri dibandingkan melakukan
nya bersama-sama. Masyarakat perkotaan merupakan masyarakat yang tidak terikat oleh adat –
istiadat, adat-istiadat yang dianggap dapat menghambat kemajuan segera ditinggalkan dan
memilih untuk memakai nilai-nilai yang baru secara rasional dapat membawa kemajuan,
sheingga mudah menerima ide-ide baru (Dannerius Sinaga, 1988:156).
Daftar Pustaka

Yopi, A. S. (2017). Potret Sosial Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota dalam Novel Bekisar
Merah Karya Ahmad Tohari (Doctoral dissertation, STKIP PGRI Sumatera Barat).

Maulana, A. R., & Efendi, A. KARAKTERISTIK MASYARAKAT DESA DAN


MASYARAKAT KOTA.

https://eprints.uny.ac.id/23970/3/BAB%20II.pdf

Angkasawati, A. (2015). Masyarakat Desa. Jurnal PUBLICIANA, 8(1), 72-87.

https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/54444/1/Perubahan%20Sosial
%20pada%20Masyarakat%20Pedesaan%20dan%20Perkotaan.pdf

http://staffnew.uny.ac.id/upload/198608172014042001/pendidikan/materi-masyarakat-desa-kota-
pert-1-8.pdf

Anda mungkin juga menyukai