Anda di halaman 1dari 6

IFA (DEFINISI PPH)

Assalamu’alaikum wr.wb
Kami dari kelompok 6 akan membahas tentang EBP penanganan perdarahan post partum
hemorrhage dengan indikasi atonia uteri menggunakan metode sayeba’

Saya musdalifa nim B21.06.257


Saya akan membahas perdarahan setelah persalinan ata……..
u yg dikenal dengan perdarahan post partum.
Kapan dikatakan seorang ibu itu mengalami perdarahan pasca persalinan.
Perdarahan pasca persalinan itu adalah ketika darah yang dikeluarkan oleh ibu lebih atau
sekitar 500 ml. Dengan demikian secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi
500 ml dapat dikategorikan sebagai perdarahan postpartum.

Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati batas
fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah secara
fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian
secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan
sebagai perdarahan postpartum.

Ada dua jenis menurut waktu terjadinya PPH:


a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) : yang terjadi dalam
24 jam setelah bayi lahir.
b. erdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) : yang terjadi
antara 24 jam dan 6 minggu setelah bayi lahir.
Kematian terjadi pada ibu dengan PPH dkarenakan adanya kegagalan multiorgan.
Perdarahan hebat menyebabkan penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis.

Yang dapat mengakibatkan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan
kegagalan multiorgan yang berakhir dengan kematian.

DIAN (PATOFISIOLOGI PPH)

Perdarahan postpartum / Postpartum Hemorrhage ( PPH ) terjadi karena adanya


perdarahan banyak yang berasal dari tempat implantasi plasenta, atonia uteri, atau adanya
laserasi jalan lahir.

Adanya sisa plasenta atau bekuan darah dalam jumlah yang banyak dapat
mengganggu efektivitas kontraksi dan retraksi miometrium sehingga dapat
menyebabkan perdarahan tidak berhenti. Kontraksi dan retraksi miometrium yang
kurang baik dapat mengakibatkan perdarahan walaupun sistem pembekuan darahnya
normal, sebaliknya walaupun sistem pembekuan darah abnormal asalkan kontraksi
dan retraksi miometrium baik akan menghentikan perdarahan.

ERNI, SABRIAH, SURIANI (Penanganan PPH)


ERNI
Tujuan utama penanganan PPH adalah
(1) mengembalikan volume darah dan mempertahankan oksigenasi
(2) menghentikan perdarahan dengan menangani penyebab PPH.

Beberapa pendekatan untuk mencegah PPH diantaranya melalui penanganan


aktif kala tiga (PAKT). Setiap ibu melahirkan harus mendapatkan penanganan aktif
kala tiga (active management of the third stage, AMTS). PAKT adalah sebuah
tindakan (intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya plasenta dengan
meningkatkan kontraksi uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan postpartum
karena atoni uteri .
Tindakan ini meliputi 3 komponen utama yakni
(1) pemberian uterotonika (Oksitosin 10 unit disuntikan secara intramuskular segera
setelah bahu depan atau janin lahir seluruhnya),
(2) tarikan tali pusat terkendali yang dilakukan pada saat uterus berkontraksi kuat.
Jangan lupa melakukan counter-pressure terhadap uterus untuk menghindari inversi
uterus dan
(3) masase uterus setelah plasenta lahir., sampai uterus berkontraksi kuat, palpasi tiap
15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah masase berhenti..
SABRIAH
Jika dengan PAKT perdarahan vaginal masih berlangsung maka harus segera
diberikan 5-10 unit oksitosin secara intravena pelan atau 5-30 unit dalam 500 ml
cairan dan 0,25-0,5 mg ergometrin intravena. Pada saat yang sama dilakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya sebab lain seperti adanya
robekan jalan lahir atau retensi sisa plasenta.
Perhatian juga harus ditujukan pada cara mengatasi syok (“ABC’s”) dengan
memasang venokateter besar, memberikan oksigen dengan masker, monitoring tanda
vital dan memasang kateter tinggal untuk memonitor jumlah urin yang keluar.
Monitoring saturasi oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk pemeriksaan
rutin, golongan darah dan skrining koagulasi.

Langkah penting yang harus segera diambil adalah koreksi hipovolemia


(resusitasi cairan). Kelambatan atau ketidak sesuaian dalam memberikan koreksi
hipovolemia merupakan awal kegagalan mengatasi kematian akibat perdarahan
postpartum.

SURIANI
Penanganan pertama untuk menjaga homeostasis tubuh dan mempertahankan
perfusi jaringan adalah dengan pemberiaan ciran. Larutan kristaloid (saline normal
atau ringer laktat) atau koloid harus segera diberikan dengan jumlah 3 kali estimasi
darah yang hilang, tetapi larutan kristaloid lebih diutamakan. Dextran tidak boleh
diberikan karena mengganggu agregasi platelet. Dosis maksimal untuk larutan koloid
adalah 1500 ml per 24 jam.
Oksitosin dan metilergonovin masih merupakan obat lini pertama. Oksitosin
dberikan lewat infus dengan dosis 20 unit per liter dengan tetesan cepat. Bila sudah
terjadi kolaps sirkulasi oksitosin 10 unit diberikan lewat suntikan intramiometrial.
Tidak ada kontraindikasi untuk oksitosin dalam dosis terapetik, hanya ada sedikit
efek. Metilergonovin tidak boleh diberikan pada pasien hipertensi. Misoprostol rektal
dengan dosis tinggi (1000 µg) terbukti efektif menghentikan perdarahan postpartum
yang membandel (refractory).

Penanganan berikutnya, jika tidak terdapat robekan jalan lahir maka segera
dilakukan eksplorasi kavum uterin untuk menyingkirkan adanya retensi sisa plasenta.
Jika setelah manuver ini perdarahan masih berlangsung dan kontraksi uterus lembek,
maka atonia uteri adalah penyebab perdarahan.
WIDYA & IFA (PENDEKATAN EVIDENCE BASE PRACTICE)

WIDYA
Pemberian tampon ( packing ) uterovagina pada PPH dengan kassa gulung
dapat merugikan karena memerlukan waktu untuk pemasangannya, selain itu juga
dapat menyebabkan perdarahan yang tersembunyi atau bila ada perembesan berarti
banyak darah yang sudah terserap di tampon tersebut sebelumnya dan dapat
menyebabkan infeksi.

Hasil penelitian tentang tampon yang dikembangkan untuk penanganan PPH


adalah menggunakan Sengstaken-Blakemore tube, Rusch urologic hydrostatic balloon
catheter ( Folley catheter ) atau tamponade balloon catheter. Pada tahun 2003
Sayeba Akhter dkk mengajukanalternatif baru dengan pemasangan kondom yang
diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100% ( 23
berhasil dari 23 PPH ), kondom dilepas 24 – 48 jam kemudian dan tidak didapatkan
komplikasi yang berat. Indikasi pemasangan kondom sebagai tampon tersebut adalah untuk
PPH dengan penyebab Atonia Uteri. Cara ini kemudian disebut dengan “Metode Sayeba”.
Metode ini digunakan sebagai alternatif penanganan HPP terutama sambil menunggu
perbaikan keadaan umum, atau rujukan.

IFA
Cara pemasangan tampon kondom menurut Metode Sayeba adalah secara
aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan kedalam cavum uteri.
Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan.
Selanjutnya dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan ketika
perdarahan sudah berkurang. Untuk menjaga kondom agar tetap di cavum uteri,
dipasang tampon kasa gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan
basah dan darah keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan
pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan
antibiotika tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan Gentamisin. Kondom kateter
dilepas
24 – 48 jam kemudian, pada kasus dengan perdarahan berat kondom dapat
dipertahankan lebih lama.

DIAN (KESIMPULAN)
Perdarahan postpartum sering bersifat akut, dramatik, underestimated dan merupakan
sebab utama kematian maternal. Pendekatan risiko diperlukan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya komplikasi. Upaya untuk penanganan perdarahan postpartum
ditujukan pada 3 hal yakni pencegahan, penghentian perdarahan dan mengatasi syok.
Penanganan aktif kala III persalinan merupakan tindakan preventif yang harus
diterapkan pada setiap persalinan. Oksitosin dan metilergonovin merupakan obat lini
pertama baik dalam upaya pencegahan maupun pengobatan. Misoprostol dengan dosis
600-1000 µg dapat dipakai bila obat lini pertama gagal.
alternatif baru dengan pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter. kondom
dilepas 24 – 48 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Indikasi
pemasangan kondom sebagai tampon tersebut adalah untuk PPH dengan penyebab
Atonia Uteri. Cara ini kemudian disebut dengan “Metode Sayeba”. Metode ini
digunakan sebagai alternatif penanganan HPP terutama sambil menunggu perbaikan
keadaan umum, atau rujukan

Anda mungkin juga menyukai