Anda di halaman 1dari 189

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344588052

Tengger Bertahan dalam Adat: Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku
Tengger

Book · October 2020

CITATION READS

1 449

1 author:

Agung Dwi Laksono


National Research and Innovation Agency Republic of Indonesia (Badan Riset dan Inovasi Nasional)
384 PUBLICATIONS   2,161 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Miscellaneous View project

Maternal and Child Health View project

All content following this page was uploaded by Agung Dwi Laksono on 11 May 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Tengger Bertahan dalam Adat
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Agung Dwi Laksono

Health Advocacy
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Tengger Bertahan dalam Adat; Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga
Suku Tengger
©2020. Health Advocacy

Penata Letak – ADL


Desain Sampul – ADL

Cetakan Pertama – November 2020

Buku ini diterbitkan oleh:

HEALTH ADVOCACY
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232
Email: healthadvocacy@information4u.com

ISBN 978-602-6958-26-6

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

ii
Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang pada


akhirnya telah memperkenankan terselesaikannya buku ini. Buku
berjudul “Tengger Bertahan dalam Adat” ini disusun dari
penelitian dengan mengambil tema tentang ukuran keluarga pada
masyarakat suku Tengger. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kualitatif secara etnografis.
Pendekatan etnografi lebih menekankan pandangan masyarakat
setempat atas dunia yang melingkupinya (konsep emik), yang bisa
jadi pandangan tersebut berbeda dengan perkembangan pada
saat ini (konsep etik).
Dengan sengaja pendekatan etnografi dipilih dalam studi
ini, untuk menggali potensi kearifan lokal yang ada pada suku
Tengger. Kearifan lokal yang mendorong masyarakat suku Tengger
dalam memilih ukuran keluarga kecil. Kearifan lokal inilah yang
terbukti membuat masyarakat suku Tengger bisa eksis dan
bertahan di tengah arus modern pariwisata yang melingkupi
kawasan wisata Gunung Bromo.
Hasil penelitian menemukan bahwa masyarakat Suku
Tengger di Desa Wonokitri menganggap sama saja antara anak
laki-laki atau perempuan. Kecenderungan untuk menyamakan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam tatanan
masyarakat Tengger di Desa Wonokitri tidak hanya sebatas
pengakuan, tetapi juga tampak pada sistem budaya yang berlaku,
pada sistem atau hukum waris misalnya dianggap memiliki
kedudukan dan hak yang sama dalam soal pembagian warisan.
Dua generasi terakhir keluarga Tengger seringkali
ditemukan hanya memiliki satu-dua anak saja. Secara empiris
jarang ditemukan keluarga inti yang memiliki anak lebih dari dua
orang. Kalaupun ditemukan yang memiliki jumlah anak lebih dari
dua, seringkali adalah keluarga senior (berumur di atas 50 tahun),
atau keluarga muda yang mengaku kebrojolan. Kehamilan yang

iii
tidak direncanakan, atau tidak disengaja, karena ada sesuatu hal
di luar prediksi.
Selain alasan praktis dan jangka panjang yang berterkaitan
dengan lahan pertanian, ada argumentasi lain juga dilontarkan
masyarakat Suku Tengger untuk membatasi jumlah anak hanya
dua orang saja. Alasan ini berkaitan dengan masa depan Suku
Tengger secara keseluruhan. Alasan yang lebih mendasar dan
filosofis dibanding alasan-alasan sebelumnya. Keyakinan yang
dianut oleh masyarakat Tengger bersumber pada leluhur. Keluar
dari wilayah seputar Bromo, maka artinya sama dengan
meninggalkan tanah leluhur Tengger. Temuan baru dalam studi ini
adalah konstruksi sosial dari multi faktor yang ikut menyusun
ukuran keluarga kecil pada Suku Tengger di Desa Wonokitri.
Dapat disimpulkan bahwa bagi Suku Tengger keluarga
tidak hanya meliputi anak kandungnya, tetapi juga termasuk para
menantunya. Kondisi ini membuat keluarga Suku Tengger tidak
mempermasalahkan jenis kelamin anak yang dimilikinya. Pada
akhirnya mereka tetap akan mendapat “anak” dengan jenis
kelamin yang lengkap dari para menantunya. Konstruksi sosial
ukuran keluarga kecil pada masyarakat Suku Tengger di Desa
Wonokitri berujung pada keinginan mereka untuk mewujutkan
keberlangsungan eksistensi Suku Tengger. Dalam prosesnya,
konstruksi sosial ukuran keluarga kecil berkaitan dengan geografis
tempat tinggal Suku Tengger yang pegunungan. Berkaitan juga
dengan mata pencaharian sebagai petani. Orang Tengger memilih
ukuran keluarga kecil sebagai strategi adaptasi untuk
mempertahankan kecukupan lahan.
Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil juga berkaitan
dengan kepercayaan Tengger yang bergantung pada leluhur.
Ukuran keluarga yang besar akan berdampak anak keturunan
mereka harus meninggalkan kawasan Gunung Bromo, karena
lahan pertanian tidak lagi cukup. Bila situasi tersebut terjadi maka
konsekuensinya leluhur menjadi tidak terurus, karena mereka
harus meninggalkan dimana leluhur bersemayam. Proses
terjadinya konstruksi sosial ukuran keluarga kecil semakin mudah

iv
terjadi karena karakteristik sosial dan budaya masyarakat Suku
Tengger di Desa Wonokitri itu sendiri. Nilai anak yang tidak
mempermasalahkan preferensi gender, dan hukum waris yang
tidak memandang perbedaan gender, dan dukungan pemerintah
dengan ketersediaan pelayanan dan alat kontrasepsi turut
memudahkan konstruksi sosial ukuran keluarga kecil tersebut
terjadi.
Sebagai sebuah upaya, tentu saja naskah buku ini masih
jauh dari sempurna. Besar harapan atas saran untuk perbaikan
dan kesempurnaan, untuk menjadikan buku yang jauh lebih baik,
yang pada akhirnya semakin layak untuk menjadi sebuah referensi
ilmiah.

Salam Sehat!
Surabaya, November 2020

Penulis

v
Daftar Isi

Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
1 Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
1. Kajian Masalah 8
2. Tujuan 10
B. Konsep dan Teori 11
1. Kearifan Lokal 11
2. Konstruksi Sosial 13
3. Keluarga 16
4. Studi Etnografi tentang Keluarga 25
5. Studi Terdahulu tentang Keluarga Berencana 31
6. Studi Etnografi Terdahulu tentang Suku
Tengger 38
7. Konsep Keluarga pada Suku Tengger 49
8. Nilai Anak 49
C. Metode 51
1. Jenis dan Rancangan Penelitian 51
2. Lokasi dan Waktu Penelitian 52
3. Informan 52
4. Fokus Penelitian 53
5. Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data 55
2 Masyarakat dan Kebudayaan Tengger di Desa
Wonokitri 59
A. Sejarah dan Asal-Usul 59
B. Antara Hindu di Bali dan Hindu di Tengger 62
C. Antara Agama Hindu dan Religi Tengger 66
D. Profil Desa Wonokitri 67

vi
1. Letak dan Kondisi Alam 67
2. Penduduk dan Mata Pencaharian: “Tidak ada
yang tidak petani” 74
3. Pola Pemukiman 77
4. Struktur Sosial 79
3 Keluarga Tengger 85
A. Preferensi Gender 85
B. Memiliki Dua Anak 88
C. Memiliki Anak Itu Mahal 92
D. Usia Awal Pernikahan 95
E. Program Keluarga Berencana dan Upaya
Penjarangan Kehamilan 96
F. Ketersediaan Pelayanan, Kematian Anak, dan Pola
Mendapatkan Keturunan 98
1. Gangguan Sakit dan Tidak Memiliki Keturunan 99
2. Jasa Pelayanan Pengobatan: Modern vs.
Tradisional 101
3. Perilaku Mencari Pengobatan dan Keturunan 102
4. Bagaimana bila tidak mempunyai anal? 103
4 Makna Ukuran Keluarga Kecil Tengger 105
A. Konservatif, tapi Menerima Modernisasi 105
B. Berbeda-beda tetapi Tengger Jua 111
C. Mata Pencaharian, Kecukupan Lahan, dan
Strategi Adaptasi 112
D. Implementasi Ukuran Keluarga 117
1. Memiliki Anak, Apa yang Diharapkan? 118
2. Preferensi Komposisi Anak 120
3. Nilai Anak dan Keluarga Berencana 122
E. Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger 124
1. Eksternalisasi 124
2. Objektivasi 127
3. Internalisasi 127
F. Identitas Kesukuan dan Kesehatan Mental 133
G. Temuan Baru 136

vii
H. Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian 138
5 Penutup 139
A. Kesimpulan 139
B. Saran 140
Daftar Pustaka 141
Glosari 163
Indeks 171

viii
Daftar Tabel

Tabel 1.1. Dinamika Kependudukan di Desa Wonokitri,


Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan,
Tahun 2015-2018 4
Tabel 1.2. Karakteristik Informan 53

ix
Daftar Gambar

Gambar 1.1. Trend Jumlah Penduduk Desa Wonokitri,


Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan per
Tri Bulan pada Tahun 2015-2018 3
Gambar 2.1. Patung Rara Anteng dan Joko Seger di
Penanjakan, Pasuruan 61
Gambar 2.2. Contoh Situs Peninggalan Keturunan Rara
Anteng dan Joko Seger 62
Gambar 2.3. Padmasari (kiri) dan Pelinggih (kanan)
Peta Lokasi Kecamatan Tosari, Kabupaten
Pasuruan 65
Gambar 2.4. Peta Lokasi Kecamatan Tosari, Kabupaten
Pasuruan 68
Gambar 2.5. Kemiringan Wilayah Pegunungan Bromo 70
Gambar 2.6. Gaya Berpakaian Orang Tengger 71
Gambar 2.7. Pawon Modern Orang Tengger di Desa
Wonokitri 73
Gambar 2.8. Denah Lokasi dan Pemukiman di Desa
Wonokitri, Kecamatan Tosari-Pasuruan 78
Gambar 4.1. Pemetaan Faktor yang Berkaitan dengan
Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku
Tengger di Desa Wonokitri 130
Gambar 4.2. Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku
Tengger di Desa Wonokitri 137

x
Bab 1
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Ukuran keluarga (family size) dapat dilihat dalam dua
perspektif. Pertama, pada tingkat individu (mikro), ukuran keluarga
mendefinisikan satu aspek dari latar belakang atau lingkungan
keluarga seseorang. Konteks makna dan nilai keluarga berkembang
sesuai dengan konteks lingkungan masyarakat setempat. Ukuran
keluarga merupakan indikator struktur masyarakat yang dapat
bervariasi dari waktu ke waktu, dengan implikasi bersamaan untuk
pengembangan individu dan hubungan sosial dalam kelompok
yang berbeda pada tingkat sosial atau masyarakat (makro)
(‘Encyclopedia of Sociology’, 2001; Lai and Thornton, 2014;
Shulgina, Elena M. ; and Fang et al., 2014; Fontaine, 2015). Ukuran
keluarga memegang peranan penting dalam bidang
kependudukan. Ukuran keluarga berpengaruh terhadap fluktuasi
jumlah penduduk dalam konteks sosial (Thomson, 2015).
Secara normatif ukuran keluarga terdiri dari orang tua dan
anak-anaknya. Berdasarkan pengamatan, secara emik bagi
keluarga Suku Tengger, ukuran keluarga tidak hanya meliputi para
anak, tetapi juga termasuk para menantu. Kondisi ini membuat
keluarga Suku Tengger tidak mempermasalahkan jenis kelamin
anak yang dimilikinya, karena pada akhirnya juga tetap akan
mendapat “anak” dengan jenis kelamin yang lengkap dari
menantunya.
Berdasarkan pengamatan, pada konteks masyarakat
Tengger, khususnya di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari,
Kabupaten Pasuruan, kecenderungan pertambahan jumlah
penduduk masyarakat, atau dalam istilah kependudukan disebut

1
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

sebagai Laju Pertumbuhan Penduduk, terpantau lebih rendah


dibanding Laju Pertumbuhan Penduduk di tingkat provinsi maupun
nasional. Menurut informan dukun adat setempat rendahnya laju
pertumbuhan penduduk ini terjadi pada tahun delapan puluhan.
Inisiasi program keluarga berencana dari pemerintah pada waktu
itu didukung oleh kepemilikan lahan pertanian di wilayah Tengger
yang semakin sempit.
Laju Pertumbuhan Penduduk adalah angka yang
menunjukan tingkat pertambahan penduduk pertahun dalam
jangka waktu tertentu. Angka ini dinyatakan sebagai persentase
dari penduduk dasar. Laju pertumbuhan penduduk dapat dihitung
menggunakan tiga metode, yaitu aritmatik, geometrik, dan
eksponensial. Metode geometrik adalah metode penghitungan
Laju Pertumbuhan Penduduk yang paling sering digunakan di BPS
(Badan Pusat Statistik, 2018a).
Tahun 2015 Laju Pertumbuhan Penduduk di Desa
Wonokitri berada pada kisaran 0,27%, sementara data tahun 2015-
2020 laju pertumbuhan penduduk yang dikeluarkan oleh Badan
Pusat Statistik berdasarkan hasil proyeksi penduduk Indonesia
tahun 2015-2020 (pertengahan tahun/Juni) di Indonesia mencapai
angka 1,08% (Badan Pusat Statistik, 2018b). Semua penghitungan
angka Laju Pertumbuhan Penduduk dalam naskah disertasi ini
menggunakan metode geometrik.
Secara umum kegunaan Laju Pertumbuhan Penduduk
adalah untuk mengetahui perubahan jumlah penduduk antar dua
periode waktu. Laju Pertumbuhan Penduduk lebih dari nol artinya
terjadi penambahan penduduk pada tahun tertentu dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Laju Pertumbuhan Penduduk sama
dengan nol artinya tidak terjadi perubahan jumlah penduduk pada
tahun tertentu dibanding sebelumnya. Sementara apabila laju
pertambahan penduduk kurang dari angka nol artinya terjadi
pengurangan jumlah penduduk pada tahun tertentu dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (Badan Pusat Statistik, 2018a).

2
Tengger Bertahan dalam Adat

3030
3020 3017 3017 3019
3014
3010 3010 3012
3007
3000 2997
2990
2980 2980
2971 2973 2975 2975 2974
2970 2967 2968
2960
2950
2940
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
'15 '15 '15 '15 '16 '16 '16 '16 '17 '17 '17 '17 '18 '18 '18 '18

Gambar 1.1. Trend Jumlah Penduduk Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari,


Kabupaten Pasuruan per Tri Bulan pada Tahun 2015-2018
Sumber: Diolah berdasarkan laporan kependudukan bulanan Desa
Wonokitri, Tahun 2015, 2016, 2017, 2018

Tahun 2016 Laju Pertumbuhan Penduduk di Desa


Wonokitri terpantau turun dibanding tahun sebelumnya, berada
pada 0,24%. Laju Pertumbuhan Penduduk ini terpantau naik secara
drastis menjadi 0,80% pada tahun 2017, dan kembali turun menjadi
0,00% pada tahun 2018. Hasil penelusuran menyatakan lonjakan
Laju Pertumbuhan Penduduk di Desa Wonokitri pada tahun 2017
cenderung disebabkan masuknya penduduk luar yang menikah
dengan masyarakat Suku Tengger. Tahun 2016 tersebut ada
tambahan 20 orang penduduk yang masuk karena proses
perpindahan penduduk sebagai konsekuensi perkawinan. Setelah
dilakukan konfirmasi, fenomena dinamika kependudukan pada
tahun 2017 tersebut melalui wawancara mendalam dibenarkan
oleh Pejabat Kepala Desa Wonokitri,
“Itu pendatang yang datang ke sini rata-rata karena
perkawinan pak. Jadi anak sini menikah dengan orang

3
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

(Desa) Sedaeng atau (Desa) Tosari (desa tetangga Suku


Tengger)… itu pasangannya masuk jadi penduduk sini.
Jarang pendatang yang masuk karena pekerjaan, seperti
saya ini… tapi karena menikah dengan orang sini… jadi ya
akhirnya saya tinggal di sini…”
(Su, 54 tahun, perawat dan pejabat kepala desa)
Secara lebih rinci proses dinamika kependudukan di Desa
Wonokitri selama kurun waktu tiga tahun terakhir (2015-2017)
dapat dilihat pada Tabel 1.1. Berdasarkan data Tabel 1.1 angka Laju
Pertumbuhan Alami (pertumbuhan berdasarkan hanya pada
peristiwa kelahiran dan kematian saja) di Desa Wonokitri selama
tiga tahun berturut-turut adalah 0,13% pada tahun 2015; 0,24%
pada tahun 2016; 0,54% pada tahun 2017; dan 0,00% pada tahun
2018. Secara umum empat tahun angka Laju Pertumbuhan
Penduduk di Desa Wonokitri tersebut masih terpaut cukup jauh di
bawah Laju Pertumbuhan Penduduk di tingkat nasional.

Tabel 1.1. Dinamika Kependudukan di Desa Wonokitri, Kecamatan


Tosari, Kabupaten Pasuruan, Tahun 2015-2018
Dinamika Kependudukan Lahir Mati Datang Pindah Total
Tahun 2015 44 40 4 0 8
Tahun 2016 29 22 0 0 7
Tahun 2017 30 22 20 4 24
Tahun 2018 21 35 29 15 0
Jumlah 124 84 53 19 39
Sumber: Diolah berdasarkan laporan kependudukan bulanan Desa
Wonokitri

Pertambahan penduduk di Indonesia terus terjadi dalam


jumlah yang cukup besar karena upaya penurunan Laju
Pertumbuhan Penduduk dan Angka Fertilitas Total (Total Fertility
Rate/TFR) yang belum mencapai hasil sebagaimana yang
diharapkan. Pemerintah menargetkan Laju Pertumbuhan

4
Tengger Bertahan dalam Adat

Penduduk Indonesia diproyeksikan dari 1,49% per tahun pada


periode tahun 2000-2010 menurun menjadi 1,38% per tahun pada
kurun tahun 2010-2015, kemudian target ini turun lagi menjadi
1,19% per tahun pada periode tahun 2015-2020 (BKKBN, 2018).
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2017, Angka Fertilitas Total di Indonesia
berada pada angka 2,4. Capaian Angka Fertilitas Total ini lebih
rendah bila dibandingkan dengan hasil survei yang sama yang
dilakukan pada tahun 2012, yaitu pada angka 2,6. Meski demikian,
capaian ini masih di bawah target Renstra 2015-2019, yaitu pada
angka 2,3. Penurunan Angka Fertilitas Total paling rendah secara
nasional berhasil dicapai oleh Provinsi Jawa Timur dengan angka
2,1. Capaian ini mengalahkan Provinsi DKI Jakarta yang juga sudah
berada di bawah target yang ditentukan Renstra yakni di angka 2,2.
Sementara untuk provinsi Jawa lainnya seperti Jawa Barat masih
menduduki angka 2,3 (BKKBN, 2018).
Angka Fertilitas Total adalah jumlah anak rata-rata yang
akan dilahirkan oleh seorang perempuan pada akhir masa
reproduksinya apabila perempuan tersebut mengikuti pola
fertilitas pada saat Angka Fertilitas Total dihitung. Angka Fertilitas
Total dinilai bermanfaat untuk membantu para perencana program
pembangunan untuk meningkatkan rata-rata usia kawin,
meningkatkan program pelayanan kesehatan yang berkaitan
dengan pelayanan ibu hamil dan perawatan anak, serta untuk
mengembangkan program penurunan tingkat kelahiran (Badan
Pusat Statistik, 2018d). Semakin kecil Angka Fertilitas Total, maka
semakin kecil angka Laju Pertumbuhan Penduduk.
Laju Pertumbuhan Penduduk dan Angka Fertilitas Total
berkaitan erat dengan ukuran keluarga (family size), ketiganya
berbanding lurus. Semakin kecil Laju Pertumbuhan Penduduk dan
Angka Fertilitas Total, maka rata-rata ukuran keluarga juga semakin
kecil. Ukuran Keluarga adalah jumlah anggota keluarga inti.
Keluarga yang terdiri dari dua orang tua dan anak-anak mereka

5
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

(satu atau lebih). Keluarga inti berpusat pada pasangan yang sudah
menikah (The Editors of Encyclopaedia Britannica, 2018).
Apabila sebuah keluarga memiliki ukuran keluarga yang
kecil, maka dapat dipastikan keluarga tersebut memiliki ibu dengan
paritas yang rendah. Paritas adalah rata-rata jumlah anak yang
pernah dilahirkan oleh seorang ibu (Badan Pusat Statistik, 2018c).
Paritas yang rendah dalam penelitian sebelumnya diketahui
berkaitan erat dengan kesehatan reproduksi ibu dan bayi. Selain
sebagai salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian ibu
dan bayi, paritas yang rendah dan upaya penjarangan kehamilan
juga terbukti secara ilmiah menurunkan risiko kanker rahim dan
kanker serviks pada ibu (Nikpay, 2016; Kessler, 2017). Penelitian
lain menemukan bahwa paritas yang tinggi juga berhubungan
dengan letak bayi yang sungsang (Widia, 2017), peningkatan
intensitas nyeri saat bersalin (Afritayeni, 2017), kejadian anemia
pada ibu hamil (Astriana, 2017), dan peningkatan kejadian pre
eklamsia (Novianti, 2016). Lebih jauh lagi, upaya penurunan paritas
ini secara psikologis juga berpotensi meningkatkan kesehatan ibu
dan anak, karena anak mendapatkan perhatian yang cukup dari ibu.
Penduduk di Desa Wonokitri sekitar 98,69% beragama
Hindu pada akhir tahun 2015. Hanya ada 32 orang yang memeluk
agama Islam dan 7 orang memeluk agama Katolik. Masyarakat Desa
Wonokitri yang memeluk agama selain Hindu tersebut adalah para
pendatang yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
sedang ditugaskan di Desa Wonokitri. Mereka adalah para guru,
tenaga kesehatan dan pegawai Perhutani (Kurniawati, dkk., 2012;
Pemerintah Desa Wonokitri, 2016).
Dominasi Suku Tengger pada masyarakat yang menempati
perdesaan di lereng Gunung Bromo, khususnya Desa Wonokitri,
membuat masyarakat di lokasi tersebut cenderung memiliki
kesamaan karakteristik. Masyarakat Desa Wonokitri mayoritas
adalah pemeluk agama Hindu Tengger. Topografi Desa Wonokitri
yang berada di lereng Gunung Bromo dengan karakteristik tanah

6
Tengger Bertahan dalam Adat

perkebunan yang subur membuat masyarakat setempat hampir


secara keseluruhan bermata pencaharian sebagai petani kebun
atau peladang (Kurniawati, dkk., 2012; Ayuninggar, Antariksa, &
Wardhani, 2012; Utomo, Hidayat, & Yuliati, 2015; Haryanto, 2016).
Dewasa ini kawasan Gunung Bromo semakin ramai
dikunjungi sebagai destinasi wisata kelas dunia untuk melihat
matahari terbit. Selain suguhan wisata alam, wisata budaya juga
menarik minat wisatawan. Ritual rutin tahunan Suku Tengger
semacam upacara Yadnya Kasada dan Yadnya Karo menjadi
agenda wisata unggulan Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
Perkembangan kondisi tersebut membuat masyarakat yang tinggal
di Desa Wonokitri ikut serta mengambil manfaat. Beberapa warga
ada yang mengubah kamar rumahnya untuk penginapan yang
disewakan harian, ada yang menjadi pemandu wisata, ada pula
yang menyewakan mobil untuk transportasi wisatawan mencapai
puncak Bromo.
Potensi wisata tidak mengubah profesi sepenuhnya
masyarakat Tengger di Desa Wonokitri sebagai petani atau
peladang. Mereka mengaku hidupnya adalah bertani dan
mengandalkan hidup dari alam. Mereka menganggap pekerjaan di
bidang pariwisata hanyalah sampingan, sedang mata pencaharian
utama orang Tengger adalah petani atau peladang.
Rancangan Undang-Undang tentang Pemajuan
Kebudayaan telah ditandatangani Presiden pada tanggal 24 Mei
2017 dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2017. Tanggal ini adalah tonggak penting bagi kepedulian
pemerintah terhadap budaya lokal. Secara resmi pemerintah
menyatakan akan berupaya meningkatkan ketahanan budaya dan
kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui
pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan
kebudayaan.
Undang-undang tentang Pemajuan Kebudayaan bertujuan
untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa,

7
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa,


memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan
kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa, mewujudkan
masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah
perkembangan peradaban dunia, sehingga Kebudayaan menjadi
haluan pembangunan nasional (Republik Indonesia, 2017).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5/2017 kemudian
diterbitkan turunan berupa Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran
Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan. Pokok pikiran
dimaksud adalah dokumen yang memuat kondisi faktual dan
permasalahan yang dihadapi daerah dalam upaya pemajuan
kebudayaan beserta usulan penyelesaiannya (Presiden Republik
Indonesia, 2018). Tujuan undang-undang dan regulasi turunannya
ini selaras dan semakin memperkuat dasar studi yang akan
dilakukan, yaitu mengambil praktik terbaik (best practices) dari
Suku Tengger untuk pemajuan kebudayaan di Indonesia.
Budaya lokal yang dimiliki Indonesia ada ribuan. Hal ini bila
kita merujuk pada hasil sensus 2010 oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) yang menyatakan bahwa di Indonesia ada 1.340 suku (Central
Bureau of Statistics of Indonesia, 2011). Bila pemerintah benar-
benar serius akan mengarusutamakan kebudayaan dalam setiap
upaya pembangunan, maka potensinya sungguh sangat luar biasa
untuk kemajuan umat manusia.

1. Kajian Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan penelusuran data
awal menemukan bahwa fenomena Laju Pertumbuhan Penduduk
di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan terbukti
rendah. Situasi ini berlaku bila dibandingkan dengan Laju
Pertumbuhan Penduduk di Tingkat Provinsi Jawa Timur maupun

8
Tengger Bertahan dalam Adat

nasional. Kondisi ini sejalan dengan Angka Fertilitas Total yang


dicapai Provinsi Jawa Timur berdasarkan hasil Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia tahun 2017 (BKKBN, 2018).
Laju Pertumbuhan Penduduk dan Angka Fertilitas Total
diketahui berbanding lurus dengan ukuran keluarga (family size).
Semakin kecil Laju Pertumbuhan Penduduk dan Angka Fertilitas
Total, maka rata-rata ukuran keluarga juga semakin kecil. Beberapa
hasil penelitian yang diuraikan di latar belakang menunjukkan
bahwa ukuran keluarga yang kecil berdampak positif pada upaya
peningkatan kesehatan reproduksi maternal. Selain itu juga
berdampak positif pada upaya penurunan Angka Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) (Nikpay, 2016; Novianti, 2016;
Afritayeni, 2017; Astriana, 2017; Kessler, 2017; Widia, 2017).
Ukuran keluarga kecil merupakan sebuah proksi di tingkat rumah
tangga atau keluarga dari Laju Pertumbuhan Penduduk dan Angka
Fertilitas Total yang rendah di tingkat komunitas.
Di sisi lain, masyarakat yang tinggal di Desa Wonokitri
cenderung memiliki kesamaan. Mereka sebagian besar merupakan
Suku Tengger dan memiliki agama Hindu Tengger. Hampir secara
keseluruhan penduduk Wonokitri bermata pencaharian sebagai
petani atau peladang yang mengandalkan hidup dari alam. Meski
juga akan ditemukan variasi lain di dalam mata pencaharian dan
keyakinan religi tersebut (Laksono, Soedirham, et al., 2020).
Fenomena Laju Pertumbuhan Penduduk yang rendah di
Desa Wonokitri merupakan cerminan konstruksi sosial ukuran
keluarga yang dipilih oleh masyarakat setempat. Konstruksi sosial
ukuran keluarga yang kecil kemungkinan merupakan pengaruh
faktor-faktor yang melekat dan menjadi ciri khas identitas
masyarakat setempat. Adat Tengger, agama Hindu Tengger, dan
mata pencaharian sebagai petani atau peladang merupakan faktor
yang berpotensi mendukung konstruksi sosial ukuran keluarga
tersebut. Dengan demikian fokus kajian masalah dalam penelitian
ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan

9
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

dengan ukuran keluarga pada Suku Tengger di Desa Wonokitri.


Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil tersebut dibangun melalui
pembiasaan-pembiasaan yang repetitif, berulang kali, sampai
membentuk sebuah pola (pattern). Ukuran kesuksesan konstruksi
sosial ukuran keluarga kecil yang terbentuk dapat dilihat dari
seberapa banyak keluarga Tengger yang mengadopsi ukuran
keluarga dengan dua anak ini.
Penelitian-penelitian yang dilakukan dengan pendekatan
etnografi masih jarang diketemukan pada bidang kesehatan.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif seperti ini penting untuk
dilakukan. Seperti halnya temuan-temuan hasil penelitian etnografi
yang sudah ada, kita tidak hanya dapat mengenali sebuah
fenomena, tetapi juga makna dan alasan yang menjadi latar
belakang sebuah fenomena atau tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat.
Berdasarkan uraian latar belakang dan kajian masalah
maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah
faktor apa saja yang berpotensi menyusun konstruksi sosial ukuran
keluarga pada Suku Tengger di Desa Wonokitri? Apa saja makna,
nilai, dan fungsi ukuran keluarga pada Suku Tengger? Apa saja
faktor-faktor yang berpotensi menyusun konstruksi ukuran
keluarga pada Suku Tengger? Dan bagaimana relasi faktor-faktor
yang berpotensi menyusun konstruksi sosial ukuran keluarga Suku
Tengger tersebut?

2. Tujuan
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk menyusun
konstruksi sosial ukuran keluarga pada Suku Tengger. Secara
khusus penelitian ditujukan untuk; 1) Mengeksplorasi makna, nilai
anak, dan fungsi ukuran keluarga pada Suku Tengger; 2)
Mengeksplorasi faktor-faktor yang berpotensi menyusun
konstruksi sosial ukuran keluarga pada Suku Tengger; 3)

10
Tengger Bertahan dalam Adat

Menganalisis relasi faktor-faktor yang berpotensi menyusun


konstruksi sosial ukuran keluarga pada Suku Tengger.

B. Konsep dan Teori


1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah bagian tak terpisahkan dari budaya
pada suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal melekat dan sudah
secara turun temurun diwariskan dalam beberapa generasi.
Kearifan lokal ini biasa diturunkan dengan cara oral, dari mulut ke
mulut, dan berkembang menjadi pengetahuan setempat berdasar
pengetahuan dan pengalaman yang berulang. Kearifan lokal yang
sudah mengakar biasanya bisa ditemukan dalam foklor, lagu-lagu
daerah, dan juga permainan-permainan rakyat (Baedowi, 2015).
Beberapa penelitian tentang kearifan lokal seringkali
dihubungkan dengan upaya untuk bertahan atau menjadi lebih baik
dalam era kekinian. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Vitasurya (2016) di Yogyakarta misalnya, ditujukan untuk
mengetahui faktor pendorong masyarakat di desa wisata Kalibiru
dan Lopati tentang kearifan lokal yang dijunjung tinggi untuk
menjaga lingkungan perdesaan yang menjadi ciri khas desa wisata.
Studi lainnya dilakukan oleh Usmana, Murakamib, &
Kurniawan (2014) di Desa Lampon, Banyuwangi, Indonesia. Studi
ini dilakukan untuk mengukur secara simulasi kearifan lokal
masyarakat setempat dalam bertahan terhadap bahaya tsunami.
Masyarakat setempat memodifikasi topografi pantai dengan
membangun gumpalan-cekungan buatan yang disusun di pantai
untuk mengurangi intensitas arus tsunami yang terendam.
Kearifan lokal terkait dengan tsunami juga ditemukan pada
masyarakat yang tinggal di Pulau Simeuleu, Provinsi Aceh. Kearifan
lokal asli Simeuleu ini terbukti ampuh saat terjadi tsunami besar
yang meluluhlantakkan Provinsi Aceh. Kisah Smong (tsunami,

11
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

dalam bahasa Devayan) yang diwarisi dari generasi ke generasi


sejak 1907 menyelamatkan orang Simeuleu. Smong secara alami
menjadi sistem peringatan dini kapan saja gempa terjadi di pulau
ini.
Tahun 2004 Orang Simeulue menggunakan kata Smong
untuk memperingatkan masyarakat agar melarikan diri ke tempat
yang lebih tinggi dan lebih aman saat gempa besar terjadi. Cerita
ini dipindahkan dari generasi ke generasi melalui lagu pengantar
tidur yang disebut Buai-buai (lagu tradisional), puisi Nandong, dan
percakapan sehari-hari di keluarga atau komunitas. Pengetahuan
asli ini menunjukkan kekuatannya selama bencana besar pada
tanggal 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005. Smong membuat
orang-orang waspada, dan saat kejadian orang-orang Simeulue lari
ke tempat yang lebih tinggi dan terbukti mereka bisa bertahan
(McAdoo, Dengler, Prasetya, & Titov, 2006; Syafwina, 2014;
Rahman, Sakurai, & Munadi, 2017; Rahman, Sakurai, & Munadi,
2018).
Penelitian Patriadi, Bakar, & Hamat (2015) mengungkap
bahwa kearifan lokal juga bisa berkembang pada lingkungan
pesantren. Pesantren memiliki kearifan lokal yang berbasis pada
agama. Peneliti menilai bahwa pesantren sudah sejak lama
mengacu pada misi sosial untuk mengamankan orang-orang atau
warganya dalam rangka menyeimbangkan wacana hegemoni untuk
menempatkan negara sebagai referensi keamanan tertinggi.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa kearifan lokal yang pada dasarnya
berbasis pada pengetahuan dan pengalaman lokal terbukti bisa
menjadi salah satu cara masyarakat dalam mempertahankan
dirinya. Kearifan lokal juga berpotensi untuk digali untuk
menjadikan jalan bagi kehidupan yang lebih baik.
Pemahaman tentang kearifan lokal juga dinilai turut
berpengaruh terhadap performa petugas kesehatan. Hal ini
ditemukan oleh Ipa, Prasetyo, Arifin, & Kasnodihardjo (2014) pada

12
Tengger Bertahan dalam Adat

masyarakat Baduy Dalam. Upaya petugas kesehatan membangun


rumah Pangubaran –rumah singgah ibu bersalin-- di dekat
Puskesmas bagi para perempuan Baduy tidak mendapatkan respon
yang positif. Para ibu Baduy yang hendak bersalin enggan
menggunakan rumah bersalin tersebut. Penyebabnya ternyata
hanya sepele saja. Meski rumah Pangubaran sudah dibangun
menyerupai rumah adat orang Baduy, tetapi dalam proses
pendiriannya, rumah Pangubaran yang dibangun oleh Dinas
Kesehatan menggunakan paku besi, suatu hal yang dihindari sama
sekali oleh masyarakat Baduy.

2. Konstruksi Sosial
Idiom konstruksi sosial pertama kali dikemukakan oleh
Berger & Luckmann (1966). Dalam bukunya “The Social
Construction of Reality” Berger & Luckmann (1966) menyatakan
bahwa:
“All human activity is subject to habitualization. Any action
that is repeated frequently becomes cast into a pattern,
which can then be reproduced with an economy of effort
and which, ipso facto, is apprehended by its performer as
that pattern. Habitualization further implies that the
action in question may be performed again in the future in
the same manner and with the same economical effort.
This is true of non-social as well as of social activity. Even
the solitary individual on the proverbial desert island
habitualizes his activity. When he wakes up in the morning
and resumes his attempts to construct a canoe out of
matchsticks, he may mumble to himself, 'There I go again',
as he starts on step one of an operating procedure
consisting of, say, ten steps. In other words, even solitary
man has at least the company of his ope- rating
procedures (p. 70-71).”
“Semua aktivitas manusia adalah subyek pembiasaan.
Setiap tindakan berulang menjadi sebuah pola, yang

13
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

kemudian dapat direproduksi upaya yang ditangkap


sebagai pola tersebut. Pembiasaan lebih lanjut
menunjukkan bahwa tindakan tersebut dapat dilakukan
lagi di masa depan dengan cara dan upaya yang sama. Hal
ini berlaku pada kegiatan non-sosial maupun kegiatan
sosial. Bahkan individu soliter di pulau terpencil juga
membiasakan aktivitasnya. Ketika dia bangun di pagi hari
dan berusaha kembali untuk membangun sebuah kano, ia
mungkin bergumam pada dirinya sendiri, 'Di sana saya
pergi lagi', karena ia dimulai dengan langkah salah satu
prosedur operasi yang terdiri dari, katakanlah, sepuluh
langkah. Dengan kata lain, bahkan manusia soliter
memiliki setidaknya prosedur operasinya sendiri (h. 70-
71).”
Konstruksi sosial dibangun melalui pembiasaan-
pembiasaan yang repetitif, berulang kali, sampai membentuk
sebuah pola (pattern). Konstruksi sosial yang terbentuk akan
memiliki maknanya sendiri, yang bisa jadi berbeda pada setiap
anggota masyarakat. Meski demikian, ukuran kesuksesan sebuah
konstruksi sosial adalah masifnya sebuah pola dijalankan oleh
anggota masyarakat atau diadopsi secara keseluruhan oleh
masyarakat (Berger and Luckmann, 1966).
Berger dan Luckmann memulai menerangkan tentang
realitas sosial dengan memisahkan pemahaman antara kenyataan
dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat
di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan
(being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri.
Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-
realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa terjadi dialektika timbal-
balik antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat
menciptakan individu. Secara umum Berger dan Luckmann
membagi proses dialektis tersebut menjadi tiga tahapan atau
momen (Berger and Luckmann, 1966; Santoso, 2016).

14
Tengger Bertahan dalam Adat

Tahap pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan


atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan
mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia
akan selalu mencurahkan diri ke tempat ia berada. Manusia tidak
dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia
luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah
dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan
dirinya sendiri dalam suatu dunia (Berger and Luckmann, 1966;
Hidayatullah and Mutmainnah, 2020).
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik
mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut.
Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia
menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan
non-materil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa
adalah kegiatan ekternalisasi manusia ketika berhadapan dengan
dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan,
baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut
menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi
manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan
yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran
manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu
berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi
kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang (Santoso,
2016; Setiawan, 2017; Sutika, 2019).
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan
penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian
rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia
sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan
tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar
kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat
(Santoso, 2016; Hidayatullah and Mutmainnah, 2020).

15
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Berger menyatakan bahwa realitas itu tidak dibentuk


secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan.
Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan
pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap
individu bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu
realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi,
pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu
akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-
masing (Berger and Luckmann, 1966; Santoso, 2016; Sulaiman,
2016)
Pola ukuran keluarga (family size) kecil yang berlaku pada
masyarakat Tengger adalah sebuah konstruksi sosial, karena
fenomena ini sudah terjadi dan mengakar. Fenomena ini juga sudah
menjadi norma bagi masyarakat Suku Tengger berlaku selama
puluhan tahun. Konstruksi keluarga kecil ini bisa dinilai sukses,
karena telah dijalankan oleh hampir seluruh masyarakat Tengger di
Desa Wonokitri.

3. Keluarga
Konsep Keluarga
Konsep tentang keluarga versi pemerintah termaktub
dalam Undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Menurut regulasi tersebut pengertian keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Republik
Indonesia, 2009). Konsep keluarga ini senada dengan konsep
keluarga inti pada umumnya.
Penelitian tentang konsep keluarga pernah dilakukan oleh
Shulgina, Elena M. dan Fang (2014) pada budaya Rusia dan China.
Penelitian dengan mempelajari kekhasan semantik ini
menyimpulkan bahwa keistimewaan konsep keluarga dalam kedua

16
Tengger Bertahan dalam Adat

bahasa itu terkait dengan keKristenan dan Konfusianisme. Definisi


utama komponen budaya untuk konsep keluarga sangat penting
untuk mengajarkan bahasa Rusia kepada siswa Cina (h. 162).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep keluarga dalam
budaya Rusia dan China dipengaruhi oleh unsur budaya religi.
Penelitian ini membuktikan salah satu unsur budaya (religi) turut
andil berpengaruh terhadap konsep keluarga pada masyarakat
Rusia dan China (Shulgina, Elena M. dan Fang, 2014). Penelitian ini
dilakukan dan disimpulkan hanya berdasar analisis text saja. Bila
penelitian dilakukan secara langsung di masyarakat (live in), secara
kontekstual, kemungkinan akan ditemukan kaitan antara konsep
keluarga dengan unsur-unsur budaya yang lebih banyak lagi.
Penelitian tentang konsep keluarga lainnya di Eropa Barat,
Rusia dan Kazakh dilakukan oleh Mongilyova (2015). Kali ini
penelitian dilakukan pada teks berlatar bahasa Inggris dan Perancis:
“In English and French world views family life is an exciting
adventure of the two partners where they feel comfortable
and interesting. In the Russian mentality family life is a
tough road of two opposing personalities. In Kazakh
culture family life is a continuation of a long journey of
each of a newly wedded couple (p. 330).“
“Dalam pandangan Inggris dan Prancis kehidupan
keluarga merupakan petualangan seru kedua pasangan
tempat mereka merasa nyaman dan menarik. Dalam
mental kehidupan keluarga Rusia merupakan jalan yang
sulit dari dua kepribadian yang saling bertentangan.
Dalam kehidupan keluarga budaya Kazakh merupakan
kelanjutan dari perjalanan panjang masing-masing
pasangan yang baru menikah (h. 330).”
Hasil penelitian Mongilyova (2015) ini menyimpulkan
bahwa pada kondisi kehidupan awal sebuah keluarga sebagai ‘cara
baru’ ternyata bersifat universal, dan berlaku secara umum. Artinya
bahwa hal tersebut berlaku pada semua etnik yang menjadi subyek
dalam penelitian tersebut. Namun, pemahaman tentang

17
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

kehidupan keluarga, memiliki konsep yang menyesuaikan dengan


latar budaya masing-masing atau aslinya. Penelitian yang dilakukan
dengan pendekatan kualitatif oleh Mongilyova (2015) ini terasa
kontekstual dan sesuai dengan realitas dalam konteks sosial
budaya di Indonesia.
Penelitian tentang konsep keluarga dengan nuansa yang
berbeda dilakukan oleh Alekseevaa, dkk (2016). Penelitian
Alekseevaa, dkk (2016) ditujukan untuk melakukan analisis konsep
anak-anak tentang keluarga mereka pada saat ini dan di masa
depan. Penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data
wawancara ini menyimpulkan bahwa citra keluarga ideal untuk
anak pra sekolah modern adalah keluarga dengan dua anak.
Citra keluarga ideal untuk anak pra sekolah modern yang
menjadi subyek penelitian ini adalah keluarga dengan dua anak.
Peneliti membuat kesimpulan bahwa struktur keluarga orang tua
mempengaruhi konsep keluarga masa depan yang dibayangkan
dan dipilih oleh anak-anak tersebut (Alekseevaa, dkk., 2016). Apa
yang berlaku pada orang tuanya menjadi rujukan model dalam
bayangan anak-anak tentang keluarga mereka nantinya di masa
depan. Hasil penelitian ini dinilai akan mendukung keberlanjutan
konstruksi sosial citra keluarga ideal yang telah dianggap baik dan
mapan, sehingga diharapkan bisa mapan dan bertahan lebih lama.

Ukuran Keluarga
Penelitian dengan model komputasi yang berkaitan dengan
ukuran keluarga dilakukan oleh White (2013). Penelitian ini
menyebutkan bahwa ada perubahan dalam ekonomi keluarga
bertepatan dengan intensifikasi yang berkontribusi pada
munculnya kompleksitas sosial antara hunter-gatherer prasejarah
di Amerika Utara bagian Timur. White (2013) membuat kesimpulan
bahwa usia anak yang dimiliki dalam sebuah keluarga turut
mempengaruhi ukuran keluarga (family size). Ditemukan fakta

18
Tengger Bertahan dalam Adat

penelitian bahwa saat anak berusia cukup untuk bisa mandiri,


kemungkinan ada pertimbangan dari orang tuanya (pihak laki-laki)
untuk melakukan poligami. Menurut White (2013) hal ini menjadi
pertimbangan demi mendapat sumber daya tenaga yang lebih
banyak, yang dilakukan untuk tujuan perbaikan tingkat
perekonomian keluarga.
Sebuah studi di Jepang menemukan fakta bahwa
preferensi ukuran keluarga lebih tinggi daripada jumlah anak
sebenarnya. Selain itu juga ditemukan bahwa wanita yang lebih
muda lebih menyukai keluarga kecil. Penelitian ini juga
menemukan bahwa perempuan memiliki niat kesuburan yang lebih
tinggi pada perempuan yang tinggal dengan keluarga besar di
daerah pedesaan (Matsumoto and Yamabe, 2013). Sementara
Penelitian yang dilakukan oleh Snyder (1974) di Afrika menemukan
bahwa pendidikan suami dan istri secara sistematis mempengaruhi
praktik upaya pengendalian kelahiran. Penelitian ini juga
mengungkap bahwa preferensi jumlah anak juga dipengaruhi oleh
faktor pekerjaan dan ekonomi. Kebutuhan ekonomi yang besar
memaksa ibu untuk ikut bekerja, sehingga berpengaruh terhadap
preferensi jumlah anak. Secara ekonomi juga dipengaruhi oleh
kesediaan kerabat atau keluarga lain yang bisa membantu biaya
pendidikan anak-anak. Riwayat kematian anak juga disimpulkan
memiliki pengaruh yang kuat dalam preferensi jumlah anak. Umur
ibu atau istri juga dinilai berpengaruh terhadap preferensi ukuran
keluarga di Afrika.
Sebuah studi lain tentang ukuran keluarga dilakukan di
Indonesia. Ditemukan bahwa ukuran keluarga dipengaruhi dari sisi
penawaran. Penawaran dimaksud adalah program keluarga
berencana yang diinisiasi oleh pemerintah. Hal ini semakin
diperkuat oleh paparan media modern yang massif (Hatton et al.,
2017). Sayangnya penelitian ini terlalu menyederhanakan, bahwa
keputusan soal ukuran keluarga hanya dilihat berdasar faktor di
luar keluarga itu sendiri.

19
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Penelitian di India menemukan bahwa preferensi anak


(jenis kelamin) memiliki dominasi yang lebih tinggi pada ukuran
keluarga yang diinginkan dibandingkan dengan variabel sosio-
ekonomi dan demografi lainnya. Dalam konteks di India, bahwa
masyarakat dengan adat India memiliki prasangka sosial yang kuat
terhadap orang tua yang tinggal bersama anak perempuan mereka
(Chauhan, 2014). Penelitian ini tidak melihat faktor lain di luar
preferensi orang India terhadap gender anak. Penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat Kristen di
Pakistan (Hussain et al., 2007). Kekurangan penelitian di Pakistan
ini adalah tidak menguji karakteristik demografi orang tua sebagai
determinan ukuran keluarga.
Sebuah penelitian lain dilakukan di Distrik Ahmedabad,
Gujarat, India. Penelitian ini mewawancarai responden perempuan
untuk mengetahui pengaruh faktor sosial budaya terhadap
preferensi jenis kelamin anak. Para responden memaparkan alasan
memilih anak laki-laki untuk faktor pendapatan keluarga, garis
keturunan, keamanan hari tua, permintaan mertua, status sosial
dan untuk melakukan ritus terakhir berkaitan dengan kematian.
Responden juga menjelaskan alasan mengapa mereka cenderung
tidak memilih anak perempuan. Alasannya adalah masalah mas
kawin, masalah terkait perkawinan, masalah kesulitan untuk
bangkit, dan karena alasan adat bahwa anak perempuan tidak
tinggal dengan orang tua (Chavada and Bhagyalaxmi, 2009). Pada
penelitian ini dirasakan alasan-alasan preferensi pada anak laki-laki
yang dikemukakan dirasakan masih superfisial, belum bisa tergali
alasan dan makna di balik hal tersebut.
Sementara itu di pedesaan Selatan India juga dilakukan
penelitian yang mirip. Penelitian dilakukan untuk melihat konteks
sosial yang kemungkinan bisa mempengaruhi ukuran keluarga.
Hasilnya menunjukkan bahwa usia ibu dan paritas berpengaruh
terhadap preferensi jumlah anak. Faktor lain adalah jenis kelamin
anak dan kepemilikan lahan. Penelitian ini secara khusus
menemukan bahwa preferensi ukuran keluarga dipengaruhi oleh

20
Tengger Bertahan dalam Adat

motif ekonomi (Dharmalingam, 1996). Penelitian ini dilakukan


dengan responden dan informan dengan jenis kelamin perempuan
saja, tidak dijelaskan bagaimana preferensi kaum prianya.
Di Pakistan, sebuah penelitian dilakukan untuk melihat
bagaimana ukuran keluarga yang diinginkan berdasarkan
preferensi komposisi anak. Dalam konteks jumlah tertentu dari
jumlah anak yang diinginkan, orang tua menginginkan setidaknya
satu anak dari setiap jenis kelamin, jumlah minimum anak-anak dari
jenis kelamin tertentu, atau jumlah anak laki-laki dan perempuan
yang sama persis (Uddin, Bhuyan and Islam, 2011). Penelitian ini
secara superfisial hanya melihat preferensi komposisi anak saja,
tidak ada faktor lain yang dilihat.
Sebuah penelitian dilakukan di Bangladesh untuk untuk
melihat bagaimana komposisi anak berpengaruh terhadap
preferensi ukuran keluarga. Ditemukan bahwa usia ibu, jumlah
anak hidup, status penggunaan kontrasepsi, status pekerjaan dan
faktor kunjungan pekerja keluarga berencana dinilai berpengaruh
terhadap preferensi ukuran keluarga (Kabir et al., 1994). Penelitian
ini secara superfisial fokus pada komposisi anak saja.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang ukuran keluarga
dapat disimpulkan ada 4 (empat) faktor besar yang berpotensi
mempengaruhi preferensi memilih ukuran keluarga. Empat faktor
tersebut adalah: 1) Faktor Anak (umur, jenis kelamin, jumlah, dan
komposisi anak); 2) Faktor Orang Tua (pendidikan bapak, pekerjaan
bapak, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, umur ibu, dan paritas ibu,);
3) Faktor keluarga (agama, kepemilikan lahan, struktur keluarga,
dan status ekonomi keluarga); dan 4) Faktor lingkungan
(karakteristik tempat tinggal, adat istiadat, program KB, dan
paparan media).
Penelitian-penelitian tentang ukuran keluarga banyak
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Tujuannya adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi preferensi
ukuran keluarga, dan untuk melihat keterkaitan dan tingkat

21
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

pengaruh ukuran keluarga terhadap variabel lain. Meski demikian,


substansi tentang ukuran keluarga tetap menarik untuk dilakukan
studi secara kualitatif, terutama yang berkaitan dengan makna dan
alasan mengapa seseorang atau masyarakat tertentu memilih
sebuah ukuran keluarga yang dinilainya tepat, baik secara individu,
keluarga maupun sebagai sebuah entitas masyarakat.

Struktur Keluarga
Penelitian tentang struktur keluarga erat kaitannya dengan
‘masalah’. Hal ini lebih dikarenakan para peneliti seringkali
mengambil struktur keluarga yang tidak lengkap atau broken home
sebagai obyek penelitiannya. Fomby dan Sennott (2013) meneliti
tentang hubungan antara transisi struktur keluarga dan perilaku
bermasalah pada masa remaja. Hasil penelitian dengan
pendekatan metode kuantitatif dengan analisis multivariat
menggunakan Regresi Poisson untuk memprediksi perilaku remaja.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa mobilitas
dan struktur keluarga turut andil dalam memberi pengaruh pada
masalah perilaku anak. Hal ini terjadi baik secara independen
maupun bersamaan atau simultan. Remaja yang mengalami
perubahan dalam struktur keluarga, dalam status
persatuan/perceraian orang tua, lebih mungkin untuk terlibat
dalam perilaku bermasalah dibandingkan dengan remaja dalam
struktur keluarga yang lebih stabil (Fomby dan Sennott, 2013).
Penelitian tentang struktur keluarga lainnya dilakukan oleh
Martin (2012). Penelitian ini merupakan merupakan analisis lanjut
Studi Longitudinal Pendidikan Nasional tahun 1988. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa:
“Using data from the National Education Longitudinal
Study of 1988, I find that as parents’ education increases,
children in single mother families experience a lower boost
in their achievement test scores, likelihood of attending

22
Tengger Bertahan dalam Adat

any post-secondary schooling, likelihood of completing a


4-year college degree, and years of completed schooling
relative to children living with both biological parents (p.
33).”
“Dengan menggunakan data dari Studi Longitudinal
Pendidikan Nasional tahun 1988, saya menemukan bahwa
seiring bertambahnya pendidikan orang tua, anak-anak di
keluarga dengan ibu tunggal mengalami dorongan yang
lebih rendah dalam hal nilai tes prestasi mereka,
kemungkinan menghadiri sekolah pasca sekolah
menengah, kemungkinan menyelesaikan sarjana dalam
waktu 4 tahun, dan tahun menyelesaikan sekolah, secara
relatif dibanding anak-anak yang tinggal dengan kedua
orang tua biologis (h. 33).”
Diantara anak-anak dengan para orang tua yang
berpendidikan tinggi, anak-anak dari ibu tunggal cenderung
memiliki performance pendidikan yang lebih rendah dibanding
dengan anak-anak yang tumbuh dengan orang tua kandung
lengkap (Martin, 2012). Penelitian dengan jenis metode
pendekatan kuantitatif ini kembali menegaskan bahwa struktur
keluarga berpengaruh erat pada performance keluarga, dalam hal
ini pendidikan anak.
Penelitian lain tentang struktur keluarga dilakukan oleh
Fowler, dkk., (2015) yang meneliti tentang dampak jangka panjang
dan perubahan perilaku pada remaja dengan ketidakstabilan
rumah tangga dan tempat tinggal. Fowler, dkk., (2015)
menyimpulkan bahwa:
“Findings suggested housing mobility in adolescence
predicted poorer functioning across outcomes in young
adulthood, and youth living in multigenerational homes
exhibited greater likelihood to be arrested than
adolescents in single-generation homes. However, neither
family structure changes nor its interaction with
residential instability or ethnicity related to young adult
outcomes. Findings emphasized the unique influence of

23
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

housing mobility in the context of dynamic household


compositions (p. 364).”
“Temuan penelitian bahwa menunjukkan mobilitas
tempat tinggal pada masa remaja memprediksikan fungsi
yang buruk di seluruh hasil pada masa dewasa muda, dan
remaja yang tinggal di rumah multi generasi kemungkinan
lebih besar terjadi (fungsi buruk) daripada remaja di
rumah dengan satu generasi. Namun, perubahan struktur
keluarga maupun interaksi dengan ketidakstabilan tempat
tinggal atau etnisitas terkait dengan hasil pada dewasa
muda. Temuan menekankan pengaruh unik mobilitas
tempat tinggal dalam konteks komposisi rumah tangga
yang dinamis (h. 364).”
Penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini kembali
menegaskan bahwa perubahan dalam struktur keluarga, dan juga
perpindahan tempat tinggal, dapat mempunyai keterkaitan dan
pengaruh ke arah negatif pada kestabilan emosi dan perilaku pada
remaja. Sementara itu, mobilitas tempat tinggal pada remaja, atau
seringnya keluarga mereka berpindah, turut menjadi prediktor
fungsi yang buruk pada emosi dan perilaku remaja (Fowler, dkk.,
2015).
Penelitian lain tentang struktur keluarga dilakukan oleh
Eitle, dkk., (2013). Peneliti moncoba melihat keterkaitan antara
struktur keluarga dan masalah penggunaan alkohol pada
masyarakat suku Indian Amerika:
“Living in a single-parent family is found to be a marker for
the unequal distribution of stress exposure and parental
alcohol use, but the effects of other family structures like
non-parent families and the presence of under 21-year-old
extended family or non-family members emerge or remain
as risk or protective factors for alcohol use problems after
a consideration of SES, family processes, peer
socialization, and social stress. In particular, a non-parent
family structure that has not been considered in prior
research emerged as a protective family structure for

24
Tengger Bertahan dalam Adat

American Indian adolescent alcohol use problems (p.


1467).”
“Tinggal di keluarga dengan orang tua tunggal ditemukan
sebagai ciri distribusi pemaparan stres dan penggunaan
alkohol yang tidak merata, namun efek dari struktur
keluarga lainnya seperti keluarga non-orang tua dan
kehadiran keluarga besar berusia di bawah 21 tahun atau
kehadiran anggota non-keluarga tetap menjadi faktor
risiko atau perlindungan untuk masalah penggunaan
alkohol setelah mempertimbangkan SES, proses keluarga,
sosialisasi teman sebaya, dan tekanan sosial. Secara
khusus, struktur keluarga non-orang tua yang belum
dipertimbangkan dalam penelitian sebelumnya muncul
sebagai struktur keluarga pelindung untuk masalah
penggunaan alkohol remaja Indian Amerika (h. 1467).”
Eitle, dkk. (2013) menyimpulkan bahwa struktur keluarga
memiliki keterkaitan dan pengaruh terhadap perilaku penggunaan
alkohol pada masyarakat suku Indian Amerika. Meski demikian,
menurut peneliti struktur keluarga dengan adanya keluarga yang
diperluas ditemukan bisa menjadi faktor proteksi atau pelindung
atas perilaku penggunaan alcohol tersebut.
Studi kuantitatif yang dilakukan kembali menegaskan
bahwa struktur keluarga berpengaruh secara signifikan pada
performance keluarga, dalam hal ini pemakaian alkohol, dan
keluarga besar ditemukan bisa turut menjadi pengendali perilaku
pemakaian alkohol tersebut. Hanya saja karena studi ini dilakukan
secara kuantitatif, kembali lagi bahwa alasan-alasan di balik
fenomena perilaku tersebut tidak bisa dijelaskan secara gamblang.

4. Studi Etnografi tentang Keluarga


Penelitian tentang etnografi pada tahap permulaan telah
dilakukan oleh Malinowski (1913). Dengan mengambil subyek

25
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

keluarga Aborigin di Australia Malinowski (1913) menyatakan


bahwa:
“Our considerations indicate also in what direction an
analysis of the social conditions in Australia would be
interesting from the point of view of primitive
jurisprudence. In the first place, there is a great variety of
modes in which the different legal norms are preserved,
impressed upon the social mind, and taught to different
members of the society. Here the connection of different
norms with religion, myth, totemic cultus, organization of
the secret society, etc., might be discussed. In the second
place a careful investigation of the different forms of social
sanction, based partly on belief, partly on collective ideas
and feelings, partly on actual institutions and direct
enforcement, might be carried out. In connection with it
there might be a classification of the norms; and the
domain of the purely legal norms, or rather the properly
legal aspect of norms and different social phenomena
could be exactly traced. In other words each norm should
be studied in connection with the way in which it is
"codified " {i. E. Preserved for and imparted to social
knowledge) ; and in connection with its sanction. In the
case of a legal norm the tribunal and the executive organs
should be indicated as far as possible.' Undoubtedly we
find in such a primitive society as the Australian many
institutions still in a state of confusion, which on a higher
level are quite well determined and differentiated. But the
more confused the phenomena, the clearer our
conceptions must be in order exactly to follow the different
ways in which the elements are interwoven and combined.
What is an isolated and defined institution in a higher
society may be merely a side or aspect of social
phenomena in a lower one. But it is highly important to use
definite concepts to denote such aspects or sides in
undifferentiated societies, because it often widens our
horizon and puts our ideas to a crucial test (p. 16).”

26
Tengger Bertahan dalam Adat

“Malinowski memilih analisis kondisi sosial di Australia


dari sudut pandang yurisprudensi primitif. Ada banyak
variasi mode dengan berbagai norma hukum yang
melekat secara sosial dan diajarkan pada anggota
masyarakat yang berbeda. Malinowski membahas
hubungan norma-norma yang berbeda dengan agama,
mitos, kultus totem, pengorganisasian masyarakat yang
tersembunyi, dan hal lainnya. Dalam studinya Malinowski
juga melihat berbagai bentuk sanksi sosial, yang sebagian
didasarkan pada kepercayaan, sebagian karena gagasan
dan perasaan kolektif, sebagian pada institusi aktual dan
penegakan langsung. Sehubungan dengan hal tersebut
mungkin ada klasifikasi norma; dan domain dari norma-
norma hukum yang murni, atau lebih tepatnya aspek
legalitas hukum dan fenomena sosial yang benar dapat
dilacak dengan tepat. Dengan kata lain setiap norma harus
dipelajari sehubungan dengan cara "kodifikasi". Dalam
kasus norma hukum, tribunal dan organ eksekutif harus
ditunjukkan sejauh mungkin. ' Tidak diragukan lagi, kita
menemukan dalam masyarakat primitif seperti banyak
institusi Australia masih dalam keadaan kebingungan,
yang pada tingkat yang lebih tinggi cukup ditentukan dan
dibedakan dengan baik. Namun semakin membingungkan
fenomena tersebut, semakin jelas konsepsi kita harus
tepat mengikuti berbagai cara di mana unsur-unsur
terjalin dan digabungkan. Apa yang dimaksud dengan
institusi terisolasi dan terdefinisi dalam masyarakat yang
lebih tinggi, mungkin hanya merupakan sisi atau aspek
fenomena sosial yang lebih rendah. Tetapi sangat penting
untuk menggunakan konsep pasti untuk menunjukkan
aspek atau sisi dalam masyarakat yang tidak
berdiferensiasi, karena ini sering melebar ke cakrawala
kita dan menempatkan gagasan kita pada sebuah tes
penting (h. 16).”
Dalam buku hasil penelitian disertasi ini, Malinowski (1913)
menawarkan metode pengumpulan data sekaligus analisisnya
dengan penyederhanaan fakta yang kompleks dengan

27
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

menggunakan analisis domain. Malinowski (1913) memilih analisis


kondisi sosial pada masyarakat suku Aborigin di Australia dari sudut
pandang yurisprudensi primitif. Dalam kondisi ini Malinowski
(1913) mencoba memahami dari sudut pandang emik.
Ada banyak variasi model dengan berbagai norma hukum
yang berbeda, yang melekat secara sosial, dan diajarkan pada
anggota masyarakat. Dalam penelitian tersebut Malinowski (1913)
membahas hubungan antara norma-norma yang berbeda dengan
agama, mitos, kultus totem, pengorganisasian masyarakat, dan hal
lainnya.
Dalam studinya, Malinowski (1913) juga melihat berbagai
bentuk sanksi sosial, yang sebagian didasarkan pada kepercayaan,
sebagian karena gagasan dan perasaan kolektif, sebagian pada
institusi aktual, sebagian juga karena merupakan penegakan
langsung. Sehubungan dengan hal tersebut, ada klasifikasi norma,
dan juga domain dari norma-norma hukum, atau lebih tepatnya
aspek legalitas hukum, dan fenomena sosial.
Studi lain yang dilakukan dengan pendekatan etnografi
tentang keluarga dilakukan oleh Wahyudi, Intiasari, dan Laksono
(2016). Studi etnografi tersebut dilakukan pada masyarakat suku
Lani di Bokondini-Tolikara, Papua.
Dalam studi etnografi kesehatan yang diinisiasi oleh Badan
Litbang Kesehatan RI ini Wahyudi, Intiasari, dan Laksono (2016)
menemukan bahwa meski banyak kekurangan pada anak-anak
Lani, dalam ukuran pengetahuan modern, tetapi ada kearifan (local
wisdom) tersendiri. Kearifan dalam hal pola asah inilah yang
menurut peneliti dinilai justru mampu membuat anak-anak Lani
bisa bertahan di tengah alam Papua yang ganas.
Studi etnografi tentang keluarga juga dilakukan di wilayah
Papua lainnya oleh Laksono, dkk., (2014). Kali ini studi etnografi
dilakukan pada masyarakat suku Muyu di Distrik Mindiptana-
Kabupaten Boven Digoel, Papua:

28
Tengger Bertahan dalam Adat

“Keyakinan masyarakat Etnik Muyu pada ‘kotor’nya darah


persalinan sangat kuat. Hal ini mendorong perempuan
Muyu untuk tidak melakukan persalinan di dalam rumah,
dan bahkan menganggapnya sebagai sebuah pantangan.
Tradisi pantangan semakin ini juga dikuatkan dengan
pemberlakuan denda adat bagi yang melanggarnya.
Masih kuatnya keyakinan masyarakat Etnik Muyu pada
kepercayaan dan tradisi Muyu turut berpengaruh pada
tenaga kesehatan. Meski realitasnya tenaga kesehatan
telah menerima informasi-informasi dengan value ilmiah-
modern, tetapi dalam prakteknya mereka juga masih
mempercayai dan bahkan menjalankan ritual tradisi Muyu
(h. 402).”
Pengetahuan-pengetahuan secara tradisi (belief) yang
banyak bertentangan dengan pengetahuan modern yang sudah
diakui (konsep etik) masih cukup banyak ditemukan pada
masyarakat suku Muyu. Hal ini diperkuat dengan diketemukannya
konsekuensi dan sanksi yang menyertai believe tersebut. Kondisi ini
ditemukan tidak hanya berlaku pada masyarakat suku Muyu, tetapi
ternyata juga berlaku bagi tenaga kesehatan asli suku Muyu, yang
notabene sudah mendapatkan pendidikan kedokteran modern
(Laksono, dkk., 2014; Laksono & Faizin, 2015).
Hasil temuan Laksono, dkk., (2014) ini bukan hanya sejalan,
tetapi identik dengan hasil penelitian etnografi yang dilakukan oleh
Kurniawan, dkk., (2012), meski dilakukan di wilayah dan
masyarakat sasaran yang berbeda. Penelitian tersebut dilakukan
pada suku Ngalum di Distrik Oksibil-Kabupaten Pegunungan
Bintang, Papua. Kurniawan, dkk., (2012) juga menemukan adanya
pengasingan perempuan bersalin pada suku Ngalum. Perempuan
bersalin suku Ngalum diungsikan pada gubuk lain (bevak) di luar
area rumah yang berjarak sekitar 25-150 meter dari rumah,
tergantung dengan kemiringan dan topografi area sekitar rumah.
Semakin datar, jarak semakin jauh.

29
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Fenomena pengasingan perempuan saat bersalin pada


suku Muyu di Kabupaten Boven Digoel dan perempuan suku
Ngalum di Kabupaten Pegunungan Bintang merupakan sebuah
hukum lokal, yang mau tidak mau harus dijalankan oleh kaum
perempuan. Pengasingan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan
(belief) bahwa darah perempuan bersalin adalah kotor, dapat
mempengaruhi waruk (kesaktian) laki-laki, padahal laki-laki adalah
penanggung jawab urusan nafkah. Itulah mengapa amop
(pantangan) bagi kaum lelaki mendekat pada perempuan yang
sedang bersalin, karena itu perempuan harus diasingkan dari
rumah (Laksono, dkk., 2014; Kurniawan, dkk., 2012).
Studi lain dengan pendekatan etnografi berkaitan dengan
keluarga ditemukan dilakukan pada suku Luwu di Kabupaten Luwu.
Studi ini dilakukan oleh Nur, Dhiniyati, dan Pratiwi (2016).
Ditemukan bahwa keluarga suku Luwu masih sangat lekat
dengan mitos dan hal gaib dalam kesehariannya. Hal ini mewarnai
seluruh aspek kehidupan, tidak hanya sekedar upacara ritual, tetapi
juga melekat pada keseharian, termasuk di dalamnya masalah
upaya pengobatan. Temuan ini sejalan dengan yang diketemukan
oleh Lestari, Pamungkas, dan Kumbara (2016) pada etnik Jawa di
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah:
“Penerimaan masyarakat secara pasrah terhadap kejadian
kematian pada bayi, balita, dan ibu hamil saat persalinan
yang dihubung-hubungkan dengan mitos-mitos yang
dipercaya dan diyakini masyarakat Desa Kalangan,
menjadi penghambat program KIA, karena kejadian yang
dialami tersebut dimaknai sebagai suatu suratan nasib
atau kehendak Yang Kuasa, tetapi bukan karena
permasalahan medis fisilogis-biologis. Di pihak lain,
kurang adanya pendataan data yang komprehensif dan
berkesinambungan untuk masalah sosial dan kesehatan
masyarakat di Desa Kalangan membuat berbagai masalah
kematian bayi dan balita terus terjadi, belum dapat
diketahui sebab pasti akar masalahnya (h. 183-184).”

30
Tengger Bertahan dalam Adat

Mitos dan hal gaib juga masih diketemukan pada


masyarakat suku Jawa di Kabupaten Klaten. Hal tersebut melatari
setiap pemikiran, sikap dan perilaku mereka. Mitos dan hal gaib
adalah jawaban dari setiap peristiwa dalam keseharian, termasuk
soal sakit dan kematian, dan hal-hal lain yang ada di luar jangkauan
nalar mereka (Lestari, dkk., 2016).
Secara lebih spesifik Supraptini, Sulaiman dan Astuti (2016)
mengupas tentang mitos penyakit kelalah dalam studi etnografi
pada suku Banjar di Kabupaten Banjar:
Kelalah sebagai sebuah mitos yang melandasi believe suku
Banjar dibahas secara menarik oleh peneliti. Pantang makanan
(food taboo) yang cukup ekstrim dilakukan perempuan Banjar
karena takut pada efek kelalah, dan hal ini dinilai merugikan,
karena di saat kebutuhan nutrisi terutama protein cukup besar,
justru di saat yang sama mereka harus berpantang pada jenis
makanan yang bernyawa (Supraptini, dkk., 2016).
Fenomena pada suku Banjar di Kabupaten Banjar ini mirip
dengan fenomena yang ditemukan pada suku Molo di Fatumnasi,
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Orang Molo secara turun-
temurun lebih memilih jagung bose sebagai menu utamanya.
Kecenderungan menu pilihan makanan dari yang disediakan oleh
alam sekitar, tanpa memikirkan kandungan gizinya (Setiawan, F and
Pratiwi, 2015).

5. Studi Terdahulu tentang Keluarga Berencana


Program Keluarga Berencana merupakan salah satu solusi
efektif untuk mengatasi masalah kependudukan yaitu menurunkan
angka kematian ibu dan bayi (Rios-Zertuche et al., 2017; Kadek et
al., 2019). Penggunaan metode kontrasepsi merupakan tindakan
untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak
aman, dan mengurangi jumlah kehamilan berisiko, yaitu:
kehamilan pada usia kurang dari 18 tahun, kehamilan pada usia

31
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

lebih dari 35 tahun, jarak kehamilan terlalu dekat (kurang dari 2


tahun), dan terlalu sering hamil (lebih dari 3 anak) yang berdampak
pada peningkatan derajat kesehatan ibu (Ochako et al., 2016;
Nasution, Mahendradhata and Trisnantoro, 2019), sehingga
penggunaan kontrasepsi niscaya bermanfaat untuk menekan biaya
kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan ibu (Kabagenyi,
Kakande and Owayezu, 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Eslami dan D’Arcangues
(2016) mengupas tentang evaluasi program keluarga berencana di
Iran selama implementasi dua decade:
“Five strategies were put in place: (1) expand the method
mix, (2) standardize provider training through the
adoption of national norms and guidelines, (3) facilitate
and harmonize service provision, (4) improve integration
of family planning in family health services and (5) address
myths and misconceptions surrounding contraception in
the general population. This was supported by regular
monitoring and evaluation. To date, this program is
regarded as one of the most successful programs
worldwide. While the direct impact of these quality
improvements is difficult to evaluate, it is believed to have
built the trust that family planning clients place in the
program. Challenges remain, particularly facing a total
fertility rate below replacement level nationally and
providing quality services to an ever-growing peri-urban
population (p. 211).”
“Lima strategi yang telah dilakukan: (1) memperbanyak
jenis metode, (2) membakukan pelatihan penyedia
pelayanan melalui penerapan norma dan pedoman
nasional, (3) memfasilitasi dan menyelaraskan
penyediaan layanan, (4) memperbaiki integrasi keluarga
berencana dalam layanan kesehatan keluarga dan (5)
membahas mitos dan kesalahpahaman seputar
kontrasepsi pada masyarakat umum. Hal ini didukung oleh
monitoring dan evaluasi reguler. Sampai saat ini, program
ini dianggap sebagai salah satu program paling sukses di

32
Tengger Bertahan dalam Adat

seluruh dunia. Sementara dampak langsung dari


peningkatan kualitas ini sulit untuk dievaluasi, namun
diyakini telah membangun kepercayaan bahwa klien
keluarga berencana berada dalam program ini. Tantangan
tetap, terutama menghadapi tingkat kesuburan total di
bawah tingkat penggantian secara nasional dan
memberikan layanan berkualitas kepada populasi di
pinggiran kota yang terus tumbuh (h. 211).”
Hal yang cukup menarik dalam penelitian Eslami dan
D’Arcangues (2016) adalah bahwa ada hal lokalitas terkait mitos
dan kesalahpahaman tentang keluarga berencana pada
masyarakat Iran. Hal ini menjadi perhatian dan prioritas bagi
pemerintah setempat untuk diselesaikan. Temuan yang mirip
tentang pengaruh adanya mitos pada keluarga berencana juga
diketemukan di Turki oleh Bal dan Özkan (2015):
“There are many myths and misconceptions surrounding
contraception, and they can sometimes prevent a woman
from making an informed choice. It is the responsibility of
the health professional to be well-informed so that when
these myths and misconceptions are raised, they can be
challenged with an accurate response. The problem
appears to be a health and education issue rather than a
pure problem of family planning (p. 1327).”
“Ada banyak mitos dan kesalahpahaman seputar
kontrasepsi, dan terkadang mereka bisa mencegah
seorang wanita membuat pilihan yang tepat. Adalah
tanggung jawab profesional kesehatan agar mendapat
informasi yang baik sehingga ketika mitos dan
kesalahpahaman ini diangkat, mereka dapat ditantang
dengan respons yang akurat. Masalahnya yang lebih
menonjol adalah masalah kesehatan dan pendidikan
daripada masalah keluarga berencana yang murni (h.
1327).”
Kedua temuan penelitian di dua negara ini menarik, karena
membuktikan bahwa salah-satu unsur budaya (pengetahuan) turut

33
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

menjadi salah satu latar belakang seseorang memutuskan untuk


ber-keluarga berencana atau tidak. Mitos adalah salah satu unsur
budaya yang masuk dalam ranah pengetahuan masyarakat
setempat. Mitos adalah konsep emik pengetahuan dalam suatu
masyarakat yang memiliki mitos tersebut.
Fakta-fakta temuan hasil penelitian tersebut sesuai dengan
kondisi di Indonesia yang justru mempunyai kerumitan yang lebih
jauh lagi. Seringkali, selain mitos, justru faktor agama menjadi
alasan tersendiri untuk penolakan keluarga berencana. Hal ini
sebagaimana diketemukan pada suku Aceh di Aceh Timur dan Aceh
Utara (Munira, Subhansyah, & Pranata, 2016; Wirabaskara,
Parinduri, & Putro, 2016) dan suku Madura di Jawa Timur
(Widyasari, dkk., 2012).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Oliveira, Dias, dan
Padmadas (2014) di India yang ditujukan untuk untuk mengetahui
faktor sosio ekonomi yang menentukan pilihan-pilihan kontrasepsi
alternatif terhadap preferensi dominan sterilisasi pada wanita
menikah di India menemukan bahwa afiliasi keagamaan,
pendidikan dan pekerjaan perempuan memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap pilihan metode di antara pengguna
kontrasepsi baru.
Perempuan beragama Islam memiliki kemungkinan lebih
tinggi untuk memilih metode tradisional atau modern yang bersifat
sementara daripada sterilisasi. Sementara tingkat pendidikan
perempuan yang lebih tinggi dapat meningkatkan kemungkinan
pilihan pada metode modern yang bersifat temporer, sementara
efek pendidikan pada pilihan metode tradisional menunjukkan
sedikit signifikan. Pengguna baru dari rumah tangga yang lebih kaya
memiliki peluang lebih tinggi untuk memilih metode modern
sterilisasi (Oliveira, Dias, dan Padmadas, 2014).
Penelitian tersebut juga menemukan fakta bahwa paparan
pesan keluarga berencana melalui radio memberi dampak positif
pada pilihan metode modern dan tradisional. Sementara variasi

34
Tengger Bertahan dalam Adat

komunitas dalam pilihan metode ditemukan sangat signifikan


(Oliveira, Dias, dan Padmadas, 2014).
Oliveira, Dias, dan Padmadas (2014) menemukan bahwa
unsur-unsur budaya semacam religi, pengetahuan, mata
pencaharian turut mempengaruhi preferensi seorang perempuan
dalam memilih jenis metode kontrasepsi di India. Hasil penelitian
ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Dhruve, Badgaiyan, dan
Pandey (2016) pada masyarakat urban di India. Dalam penelitian
tersebut disimpulkan bahwa:
“Socioeconomic factors like education, occupation,
socioeconomic class, age, number of living children
significantly affected use of contraceptive. Due to more
emphasis on permanent methods, adoptions of temporary
methods did not get desired importance. Therefore
intensive efforts are needed to popularize spacing
methods (p. 618).”
“Faktor sosial ekonomi seperti pendidikan, pekerjaan,
kelas sosioekonomi, usia, dan jumlah anak yang hidup,
secara signifikan mempengaruhi penggunaan alat
kontrasepsi. Karena lebih menekankan pada pilihan
metode yang lebih permanen, sementara itu pilihan
metode yang bersifat jangka pendek tidak sesuai dengan
keinginan. Karena itu masih diperlukan usaha intensif
untuk mempopulerkan metode penjarangan (h. 618).”
Hasil penelitian tentang pengaruh unsur-unsur budaya
pengetahuan (pendidikan) dan mata pencaharian (pekerjaan) juga
ditemukan oleh Kimani, Njeru, dan Ndirangu (2013) di Kenya:
“The higher contraceptive use in Central is attributed to
the better socio-economic and cultural environment
compared with the other two provinces. Central Province
has very few cases of womenwith no education, a much
lower percentage in the poorest wealth (9.6) category and
the highest proportion in monogamous unions (97.1). The
higher socio-economic created a favourable environment

35
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

for the use of contraception through the intervening


variables of knowledge on family planning and fertility
preferences. The logistic regression results suggest that
differences in contraceptive use between the three
provinces could be narrowed by increasing the level of
education in Coast and overcoming traditional practices
such as polygyny in both Nyanza and Coast. Although
mortality is still important, its effect has declined.
However, the unexpected finding that contraceptive use is
higher in rural areas of Central and Nyanza Provinces
suggests further research to understand what could be
responsible for the reversal (p. 43).”
“Penggunaan kontrasepsi yang lebih tinggi di Provinsi
Central dikaitkan dengan lingkungan sosio-ekonomi dan
budaya yang lebih baik dibandingkan dengan dua provinsi
lainnya. Provinsi Central hanya memiliki sedikit kasus
perempuan tanpa pendidikan, persentase yang jauh lebih
rendah dalam kategori kekayaan termiskin (9.6) dan
proporsi tertinggi dalam monogami (97,1). Semakin tinggi
sosio-ekonomi menciptakan lingkungan yang baik untuk
penggunaan kontrasepsi melalui variabel intervensi
pengetahuan tentang preferensi keluarga berencana dan
kesuburan. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa
perbedaan penggunaan kontrasepsi di antara ketiga
provinsi dapat dipersempit dengan meningkatkan tingkat
pendidikan di Provinsi Coast dan mengatasi praktik
tradisional seperti poligami di Provinsi Nyanza dan Coast.
Meski angka kematian masih penting, efeknya pun
menurun. Namun, ada temuan tak terduga bahwa
penggunaan kontrasepsi lebih tinggi di daerah perdesaan
di Provinsi Central dan Nyanza menunjukkan perlunya
penelitian lebih lanjut untuk memahami apa penyebab
atas temuan yang berkebalikan tersebut (h. 43).”
Penelitian yang mencoba membandingkan kondisi antar
provinsi di Kenya ini justru semakin memperkuat adanya pengaruh
antara unsur budaya terhadap preferensi seorang perempuan
untuk ber-keluarga berencana. Pendidikan (proksi pengetahuan)

36
Tengger Bertahan dalam Adat

dan pekerjaan (mata pencaharian) disimpulkan turut andil dalam


mempengaruhi kesuksesan keluarga berencana pada suatu wilayah
(Kimani, Njeru and Ndirangu, 2013).
Ketiga hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa ada
keterkaitan antara unsur-unsur budaya terhadap preferensi
seorang perempuan memilih metode kontrasepsi. Penelitian-
penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini sudah menemukan
realitas superfisial atas determinan preferensi pemilihan sebuah
metode kontrasepsi, tetapi tidak bisa menjelaskan alasan-alasan
fenomena tersebut, juga relasi yang menghubungankan antar
berbagai unsur budaya yang ditemukan berpengaruh terhadap
pilihan tersebut.
Sebuah studi literatur yang dilakukan oleh Edmonds dan
Ayres (2016) mencoba untuk melakukan analisis konsep
evolusioner tentang RLP (Reproductive Life Planning). Edmonds dan
Ayres (2016) mengidentifikasi atribut esensial dari konsep tersebut,
dan mengembangkan definisi konseptual yang sesuai dengan
literature:
“We identified the key attributes of RLP (Reproductive Life
Planning). RLP is a collaborative and fluid process that
involves health care providers and individuals in focusing
on their life and reproductive goals and health promotion.
Little is known about what health care providers and
individuals think about RLP and what actually impedes its
implementation. RLP has the potential to improve birth
outcomes and decrease unintended pregnancies by
clarifying pregnancy intentions, but to date, outcomes of
RLP remain unmeasured (p. 87).”
“Kami mengidentifikasi atribut utama RLP (Reproductive
Life Planning/Perencanaan Reproduksi). RLP adalah
proses kolaboratif dan proses yang cair yang melibatkan
penyedia layanan kesehatan dan individu dalam
memusatkan perhatian pada tujuan hidup dan reproduksi,
dan promosi kesehatan. Sedikit sekali informasi yang

37
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

diketahui tentang penyedia layanan kesehatan dan


individu yang memikirkan tentang RLP dan tentang apa
yang sebenarnya menghalangi implementasinya. RLP
memiliki potensi untuk memperbaiki hasil kelahiran dan
mengurangi kehamilan yang tidak diinginkan, dengan
mengklarifikasi niat hamil, namun sampai saat ini, hasil
RLP tetap tidak terukur (h. 87).”
Hasilnya, Edmonds dan Ayres (2016) menemukan realitas
penelitian dengan pesimisme bahwa RLP kemungkinan besar tidak
akan berevolusi menjadi sebuah konsep tanpa perencanaan
keluarga dan gerakan hak-hak perempuan dan perbaikan teknologi
kontrasepsi, dan hal tersebut diakui oleh Edmonds dan Ayres
(2016) berada di luar jangkauan artikel ini. Sampai pada hasil akhir
penelitian ini akhirnya disimpulkan bahwa RLP tetap tidak bisa
terukur.

6. Studi Etnografi Terdahulu tentang Suku Tengger


Penelitian dan kajian tentang Suku Tengger banyak
ditemukan dalam jurnal ilmiah yang dilakukan oleh Hefner dan
Smith-Hefner. Salah satu kajian yang dilakukan oleh Hefner (1983)
adalah tentang pilihan ekonomi terkait kebutuhan ritual
masyarakat Tengger:
“Traditional Tengger preference for ritual goods is shown
to have been dependent upon a larger institutional
environment linking ritual consump- tion to forms of
status and religious piety. Recent changes in agriculture
have affected ritual consumption by altering the larger
social framework which served to give a social focus to
consumption. The example suggests the importance of
incorporating the analysis of preference into models of
social and economic change, but cautions that we must
avoid the abstractions of neoclassical theory. Private
interest is analysed as a socialised interest, bound to the
reproduction of social institutions (p. 669).”

38
Tengger Bertahan dalam Adat

“Pilihan tradisional Tengger untuk barang ritual terbukti


bergantung pada lingkungan kelembagaan yang lebih
besar yang menghubungkan konsumsi ritual dengan
bentuk status dan kesalehan agama. Perubahan terbaru
dalam pertanian telah mempengaruhi konsumsi ritual
dengan mengubah kerangka kerja sosial yang lebih besar
yang memberikan fokus sosial pada konsumsi. Contoh
tersebut menyarankan pentingnya memasukkan analisis
preferensi ke dalam model perubahan sosial dan
ekonomi, namun memperingatkan bahwa kita harus
menghindari abstraksi teori neoklasik. Kepentingan
pribadi dianalisis sebagai kepentingan sosial, terikat pada
reproduksi institusi sosial (h. 669).”
Hefner (1983) dalam kajian tersebut secara menarik
menyatakan bahwa ada keterkaitan antara konsumsi atau belanja
untuk kebutuhan ritual dengan status dan kesalehan agama
seseorang. Untuk keperluan tersebut Hefner (1983) menyarankan
pentingnya memasukkan analisis preferensi ke dalam model
perubahan sosial dan ekonomi, dan memasukkan kepentingan
dalam ranah pribadi untuk dianalisis sebagai kepentingan sosial,
yang pada hal ini terikat pada reproduksi institusi sosial.
Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa memang
telah terjadi perubahan dalam pola tanam masyarakat Tengger
sebagai dampak dari semakin berkurangnya lahan. Pengurangan
lahan ini tidak lepas dari semakin mendunianya Gunung Bromo
sebagai salah satu destinasi wisata, yang pada akhirnya memacu
pembangunan sarana pendukungnya.
Hefner (1983a) juga melakukan kajian tentang reproduksi
ritual dan kultural yang berlaku pada masyarakat Tengger. Kali ini
(agama) Tengger dikaji sebagai religi non-Islami Jawa:
“Tengger religious tradition has been characterized
historically by a sort of bimodal system of cultural
transmission, at once oral and literate, popular and secret.
The relative autonomy of priestly liturgy from popular

39
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

knowledge explains in part the resilience of this non-


Islamic tradition in the face of five centuries of Javanese
Islam. The secrecy of the priestly tradition, in particular,
ensured that its most expressive-and most non- Islamic-
cultural forms (the words and references of priestly prayer
itself) were not direct- ly drawn into a public arena all too
much affected by the changes of an Islamizing Java. The
same cultural autonomy, however, ensured the
progressive alienation of that priestly liturgy from popular
experience. Priestly liturgy and popular mythology came
to embody fundamentally different world views, one Indic
and hierarchical, the other ancestral and egalitarian (p.
666).”
“Tradisi agama Tengger telah ditandai secara historis oleh
semacam sistem transmisi budaya bimodal, sekaligus lisan
dan terpelajar, populer dan rahasia. Otonomi relatif liturgi
imam dari pengetahuan populer menjelaskan sebagian
ketahanan dari tradisi non-Islam ini dalam menghadapi
lima abad Islam Jawa. Kerahasiaan tradisi imam,
khususnya, memastikan bahwa bentuk budaya paling
ekspresif dan paling non-Islam (kata-kata dan rujukan doa
imamat itu sendiri) tidak langsung ditarik ke arena publik
yang terlalu terpengaruh oleh perubahan Jawa yang
Islami. Otonomi budaya yang sama, bagaimanapun,
memastikan keterasingan progresif dari liturgi imam dari
pengalaman populer. Liturgi dan mitologi populer datang
untuk mewujudkan pandangan dunia yang berbeda
secara mendasar, satu indikator dan hierarkis, leluhur dan
egaliter lainnya (h. 666).”
Dalam tradisi (agama) Tengger, menurut Hefner (1983a),
bisa bertahan dari gempuran pengaruh Islam Jawa berkat otonomi
dan imamat yang diturunkan secara rahasia. Hal ini berlangsung
sampai dengan saat ini dengan doa-doa dan mantra yang berlaku
ekslusif hanya untuk kepentingan imamat (pendeta Tengger).
Dalam kondisi kekinian, hasil penelitian Hefner (1983a) ini
masih sangat kontekstual. Hingga saat ini pendeta atau dukun

40
Tengger Bertahan dalam Adat

Tengger adalah imamat masyarakat Tengger dalam urusan religi,


bersanding dengan kepala desa yang menjadi pimpinan
administratif.
Sebuah kajian lain dilakukan Hefner (1985; 1987) tentang
perubahan religi yang terjadi pada masyarakat Tengger terkait
dengan kebijakan pemerintah. Dalam kajian tersebut Hefner (1985;
1987) mengupas rentetan relasi antara Islam, sebagai agama
mayoritas orang Indonesia, yang disinyalir turut berkontribusi
mempengaruhi kebijakan melalui Departemen Agama.
Kajian yang sama tentang hegemoni Islam dan kekuasaan
terhadap religi masyarakat Tengger ini juga dilakukan oleh Maksum
(2015):
“Ketika agama formal, seperti Islam, dan Hindu masuk ke
Tengger seperti ‘tamu’ yang tidak mungkin lagi ditolak
keberadaannya. Maka masyarakat Tengger menyikapinya
secara formalis juga. Sebagian dari masyarakat Tengger
menerima kebijakan negara yang mengharuskan mereka
memeluk agama formal. Dipeluknya salah satu agama
formal oleh orang-orang Tengger itu misalnya tertuang di
dalam dokumen-dokumen kependudukan seperti; kartu
tanda penduduk, surat kawin, surat ijin mengemudi, dan
dokumen lainnya. Pencatatan dan pencatuman agama ke
dalam dokumen kependudukan ini tidak lebih sebagai
klise saja bagi sebagian orang Tengger. Jalan ini mereka
tempuh untuk memudahkan berbagai macam hal terkait
dengan urusan pencatatan sipil sebagai warga negara
Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak mengakui Tengger
sebagai agama formal. Dan hal ini berakibat serius bagi
pengurusan dokumen kependudukan. Cara ini mereka
tempuh untuk menyelamatkan eksistensi kepercayaan
mereka sendiri yang oleh kelompok masyarakat Tengger
dalam kategori ini tidak bisa tergantikan oleh apa pun,
namun mereka tak kuasa melawan kekuasaan negara.
Walau secara formal memeluk Hindu atau Islam, tetapi

41
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

ruang spiritual mereka sehari-hari masih menjalankan


kepercayaan Budo Tengger (h. 27).”
Hefner (1985; 1987) dan juga Maksum (2015) mencoba
mengeksplorasi dinamika masyarakat Tengger dalam
mempertahankan sistem kebudayaannya dari ekspansi Islam dan
kekuasaan pemerintah Indonesia. Hasilnya, di tengah proses
perubahan yang cukup panjang, orang-orang Tengger terbukti
kokoh dan mampu bertahan dalam memegang erat adat dan tradisi
yang telah diwariskan secara turun temurun dari para leluhur.
Sinkretisme yang berlaku pada orang Tengger, antara Islam
dan kepercayaan Tengger, tidak membuat ritual-ritual asli Tengger
menjadi hilang. Meski di dalam agama Islam ritual-ritual ibadah
khas Tengger tersebut tidak dikenal (bid’ah), tetapi orang Tengger
tetap bertahan sebagai upaya pelestarian tradisi kepercayaan
Tengger.
Fakta empiris di lapangan, pada saat ini masyarakat
Tengger masih memegang teguh adat tradisi religi Tengger, meski
juga agama Hindu (Bali) telah mereka adopsi. Hal ini bisa kita lihat
dalam ritual perayaan ritual Yadnya Kasada sebagai kekhasan
masyarakat Hindu Tengger yang tidak bisa kita didapatkan pada
masyarakat Hindu Bali atau Hindu lainnya.
Sebuah kajian linguistik tentang perbandingan teks liturgi
antara Hindu Tengger dan Hindu Bali juga dilakukan oleh Smith-
Hefner (1990):
“Perhaps the most important insight to come from the
comparison of the Balinese and Tengger texts is that,
contrary to Pigeaud's speculations on the importance of
the Tengger texts and religious traditions, Tengger were
clearly part of a liturgical community that stretched
beyond its borders all the way to Bali. Although this was a
more popular, less courtly, variant of Hinduism,
nonetheless the detail of the text and its centrality in the
full array of Tengger rites shows that Hindu-Javanese

42
Tengger Bertahan dalam Adat

influences were probably quite strong among some of


Java's rural peoples — in this instance, even among the
inhabitants of one of its largest and most rugged
mountain regions. It suggests, furthermore, that in Java,
unlike some other parts of Southeast Asia, at least some
mountain villagers were integrated into state and cultic
traditions of the lowlands from classical times (p. 327).”
“Mungkin wawasan yang paling penting berasal dari
perbandingan teks Bali dan Tengger adalah bahwa,
bertentangan dengan spekulasi Pigeaud tentang
pentingnya teks dan tradisi Tengger, Tengger jelas
merupakan bagian dari komunitas liturgi yang
membentang di luar perbatasannya semua jalur ke Bali.
Meskipun ini adalah varian Hinduisme yang lebih populer,
kasar, namun detail teks dan sentralitasnya dalam
rangkaian penuh ritual Tengger menunjukkan bahwa
pengaruh Hindu-Jawa mungkin cukup kuat di antara
beberapa masyarakat perdesaan Jawa - dalam hal ini,
bahkan di antara penduduk salah satu daerah
pegunungan terbesar dan paling kasar. Lebih jauh lagi, di
Jawa, tidak seperti beberapa bagian lain di Asia Tenggara,
setidaknya beberapa penduduk desa pegunungan
diintegrasikan ke dalam tradisi negara dan tradisi kultis
dataran rendah dari zaman klasik (h. 327).”
Berdasarkan kajian teks liturgi yang dilakukan, Smith-
Hefner (1990) menyatakan bahwa ada perbedaan antara Hindu Bali
dan Hindu Tengger. Hindu yang ada pada masyarakat Tengger,
meski terlihat lebih kasar, lebih dipengaruhi secara kuat oleh Hindu
Jawa yang eksis pada masa-masa sebelumnya.
Sebelumnya, kolaborasi antara Smith dan Hefner dilakukan
pada tahun 1983 tentang pemakaian bahasa Jawa dalam
keseharian masyarakat Tengger, dan dilanjutkan pada tahun 1989
dengan kajian perubahan bahasa pada masyarakat Tengger (Smith-
Hefner, 1983; 1989):

43
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

“It is significant that the adoption of kromo in this area of


Java has not been first and foremost linked to the
expression of deference or politeness on the part of status
inferiors in asymmetric speech exchanges but rather to the
expression of status and control on the part of those
claiming status superiority. In the anthropological and
linguistic literature on Java, so much emphasis has been
placed on the function of kromo as a deferential or polite
speech level that we have sometimes overlooked the fact
that it also serves as a prestigious social dialect and, in
face-to-face interaction, an instrument of social power. Its
use as an instrument of interactional domination is in fact
often anything but polite. In the Tengger region it was
kromo's utility as a vehicle for the expression of social
identity, and thus as an instrument for self-legitimation,
that provided the impetus for its spread. A similar concern
with status and identity probably also underlay the
widespread adoption of kromo in many other rural and
out- lying areas of Java (p. 268).” (Smith-Hefner, 1989)
“Adalah penting bahwa adopsi bahasa kromo di wilayah
Jawa ini bukan yang pertama-tama, hal tersebut terutama
terkait dengan ekspresi penghormatan atau kesopanan
dari sisi inferen status dalam pertukaran ucapan asimetris,
melainkan pada ekspresi status dan kontrol pada mereka
yang mengklaim dengan status superioritas. Dalam
literatur antropologi dan linguistik di Jawa, penekanan
begitu banyak diberikan pada fungsi kromo sebagai
tingkatan pidato yang terhormat atau sopan yang kadang-
kadang kita abaikan bahwa ia juga berfungsi sebagai
dialek sosial yang bergengsi dan, secara tatap muka,
interaksi langsung, instrumen kekuatan sosial.
Penggunaannya sebagai instrumen dominasi dalam
interaksi sebenarnya lebih sering bukan bersifat apa-apa
selain sopan santun. Di wilayah Tengger pemakaian kromo
adalah sebagai wahana untuk ekspresi identitas sosial,
dan dengan demikian sebagai instrumen untuk legitimasi,
yang dapat menjadi dorongan untuk penyebarannya.
Perhatian yang sama antara status dan identitas mungkin

44
Tengger Bertahan dalam Adat

juga mendasari adopsi kromo secara luas di banyak


daerah perdesaan dan wilayah terpencil lainnya di Jawa
(h. 268).”
Smith-Hefner (1983) menyatakan bahwa dalam keseharian
masyarakat Tengger menggunakan bahasa Jawa ngoko. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada tingkatan atau hirarki yang
menunjukkan strata sosial dalam masyarakat Tengger. Bahasa Jawa
kromo dipakai dalam berhubungan atau berdialog dengan yang
lebih tinggi, dalam hal ini dialog dengan Tuhan dan roh-roh leluhur.
Dalam artikel yang berbeda, Smith-Hefner (1989)
menyatakan bahwa pemakaian bahasa Jawa kromo juga dipakai
pada masyarakat Tengger. Pemakaian ini menunjukkan bahwa
bahasa Jawa kromo dipakai sebagai sarana pidato yang terhormat
dan sopan, selain juga dipakai untuk menunjukkan dialek sosial
yang dianggap mempunyai strata lebih tinggi atau bergengsi.
Kajian teks lain dilakukan oleh Smith-Hefner (1992) dengan
mengupas secara tekstual kitab Pembaron, kitab liturgi yang
dimiliki orang Tengger:
“Though Tengger Javanese have long been considered an
isolated tribal population only superficially Hinduized and
therefore of only marginal importance for our
understanding of early Javanese religion, Tengger
liturgical texts provide strong evidence to the contrary.
These prayers, maintained from an early time in Javanese
history as part of an original Hindu-Javanese ritual
tradition, offer an intriguing glimpse into early, popular
Javanese religion. The pembaron text of the ritual of
priestly renewal, perhaps more clearly and beautifully
than any other text from the region, details a rich and
complex Hindu cosmology and a priesthood of individuals
who were spiritually and socially apart from their fellow
villagers (p. 274-275).”
“Meskipun orang Jawa Tengger telah lama dianggap
sebagai populasi suku terisolasi yang hanya memiliki

45
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

agama Hindu secara dangkal, dan oleh karena itu hanya


sedikit penting bagi pemahaman kita tentang agama Jawa
awal, namun teks liturgis Tengger memberikan bukti kuat
untuk sebaliknya. Doa-doa, yang dipelihara sejak awal
sejarah Jawa sebagai bagian dari tradisi ritual Hindu-Jawa
asli, sekilas menawarkan hal yang menarik dalam agama
Jawa yang awal dan populer. Teks pembaron tentang
ritual pembaharuan imam, mungkin lebih jelas dan indah
daripada teks lain yang ada di wilayah ini, merinci
kosmologi Hindu yang kaya dan kompleks dan imamat
individu yang secara spiritual dan sosial terpisah dari
sesama penduduk desa mereka (h. 274-275).”
Doa-doa dalam kitab Pembaron, banyak mengungkap
konsep-konsep dalam agama Tengger tentang neraka dan
pemurnian, rincian kosmologi, dan status serta peran pendeta
Tengger. Doa-doa tersebut ternyata menawarkan hal-hal yang
menarik dalam agama Hindu Jawa. Hal ini tidak sesuai dengan
banyak persangkaan pada masyarakat Tengger, yang seringkali
dianggap hanya memiliki pengetahuan dan pemahaman soal
agama Hindu yang dangkal dan supervisial (Smith-Hefner, 1992).
Dalam penelitian tersebut Smith-Hefner (1992) banyak membahas
kepercayaan Tengger secara filosofi, tentang proses kelahiran
kembali setelah kematian.
Penelitian lain dengan tema tentang kerukunan atau
kohesi dalam konteks masyarakat sosial Suku Tengger dilakukan
oleh (Haryanto, 2014):
“Kondisi kerukunan ini terwujud dalam praktik-praktik
sosial masyarakat Desa Ngadas, seperti tradisi Sayan
(undang), tradisi Gentenan dan Genten Cecelukan (saling
bergantian membantu, dan bergantian mengundang
makan), dan tradisi Nyelawat (Slawatan) atau nglayat
apabila ada musibah kematian. Bidang kerjasama,
masyarakat Desa Ngadas biasa melakukan kerjasama
dalam bidang pertanian dan peternakan dengan sistem
Paron atau Pertigan. Hubungan sesama maupun anta

46
Tengger Bertahan dalam Adat

rumat beragama berjalan dengan baik karena adanya


sikap toleransi dalam bermasyarakat dengan baik didasari
nilai-nilai budaya Tengger. Kerukunan, termasuk juga
kerukunan beragama, di desa Ngadas dalam wujud praktik
sosial di atas dilandasi suatu kearifan dari budaya Tengger
yang dipegang kuat oleh masyarakatnya. Dalam budaya
Tengger, hidup manusia tergantung kepada pihak di luar
dirinya, mulai dari yang bersifat adikodrati. Masyarakat
Desa Ngadas meyakini bahwa terhadap bantuan dan
dukungan pihak lain bagi kepentingan dirinya, maka harus
dibalas melalui pemberian yang setimpal. Aturan
kesopanan menuntut agar setiap pemberian harus
diterima dengan baik, dan harus dibalas dengan baik pula.
Pada akhirnya kesadaran atas ketergantungan pada orang
lain, dan sikap membalas kebaikan orang lain mendorong
ikatan sosial yang kuat. Terlebih melalui tradisi balas-
membalas kebaikan yang ditradisikan melalui tradisi
gentenan menguatkan kohesi sosial antar warga Desa
Ngadas (h. 212).”
Dalam penelitian tersebut, Haryanto (2014) memfokuskan
diri pada kerukunan masyarakat Tengger dan relasinya dengan
ritual dan adat budaya Tengger. Kerukunan dalam masyarakat
Tengger dan relasinya dengan ritual dan adat Tengger ini identik
dengan ciri-ciri masyarakat di perdesaan Jawa, yang memang
berasal dari (religi) moyang yang sama, Hindu-Jawa.
Penelitian lain tentang Suku Tengger dilakukan oleh
Kurniawati, dkk. (2012). Kurniawati, dkk (2012) menyoroti sistem
perkawinan Suku Tengger di tengah arus modernisasi pariwisata
Gunung Bromo yang mendunia. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa sistem perkawinan masyarakat Tengger memiliki kekhasan
yang mengandung nilai-nilai luhur tersendiri. Sistem perkawinan
pada masyarakat Tengger bersifat eksogami dan heterogami, yang
berarti tidak adanya larangan untuk menikah dengan anggota
masyarakat pada lapisan sosial yang berbeda atau anggota
masyarakat luar Suku Tengger. Akan tetapi perempuan Suku

47
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Tengger yang memilih menikah dengan laki-laki dari daerah lain


atau dari luar masyarakat Tengger, dalam pelaksanaan prosesi
pernikahanya diharuskan untuk menggunakan adat Tengger dan
tetap berada di daerah Tengger. Suku Tengger mampu bertahan
dan tetap berpegang teguh pada budayanya di tengah industri
pariwasata dan modernisasi yang tengah pesat berkembang di
wilayah Pegunungan Bromo ini.
Penelitian lain tentang Suku Tengger dilakukan oleh
Sholihah dan Sartika (2014) dengan mengambil fokus penelitian
makanan pantangan (food taboo) pada ibu hamil. Penelitian ini
menemukan pantangan makanan terhadap ragam kelompok buah-
buahan, sayuran, dan lauk. Seringkali jenis makanan tersebut
dipantang karena dianggap berciri panas atau memiliki ciri yang
dianggap tidak biasa atau tidak lazim, misalnya makanan yang
menempel erat (dempet) atau kembar. Latar belakang yang
dikemukakan seringkali dengan menggunakan pendekatan
simbolis, fungsional serta pendekatan nilai (value) dan juga
keagamaan.
Beberapa penelitian dengan pendekatan etnografi yang
dilakukan pada masyarakat Tengger seringkali hanya terfokus pada
salah satu unsur budaya yang ada pada masyarakat Tengger. Relasi
yang disajikan terbatas pada satu fenomena dengan salah satu atau
beberapa unsur budaya saja. Menurut Malinowski (1913)
masyarakat dalam pandangan etnografi adalah sebuah entitas yang
kompleks, yang tidak bisa hanya dipahami dalam satu sudut
pandang saja. Diperlukan pandangan menyeluruh yang luas dan
holistik untuk dalam memahami secara keseluruhan sebuah etnik.
Secara umum kajian tentang masyarakat Tengger jarang
dilakukan, khususnya yang memusatkan pada fenomena di bidang
kesehatan. Berdasarkan hasil penelusuran, peneliti hanya
metemukan satu artikel dengan pendekatan etnografi. Artikel
tersebut berkaitan dengan makanan pantangan bagi ibu hamil Suku
Tengger (ilmu gizi) (Sholihah and Sartika, 2014).

48
Tengger Bertahan dalam Adat

7. Konsep Keluarga pada Suku Tengger


Selanjutnya pengertian ukuran keluarga yang dipakai
dalam penelitian ini mengacu pada jumlah anggota keluarga inti.
Keluarga yang terdiri dari dua orang tua (yang terikat pernikahan,
baik secara administratif negara maupun melalui pengakuan adat)
dan anak-anak mereka (satu atau lebih) (The Editors of
Encyclopaedia Britannica, 2018). Keluarga inti bisa juga dengan
orang tua tunggal, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai akibat
perceraian atau kematian pasangan.
Informasi tentang karakteristik keluarga dalam penelitian
ini dilakukan dengan melihat ukuran dan struktur keluarga. Ukuran
keluarga dilihat dengan jumlah anggota keluarga inti. Sedang
struktur keluarga lebih kepada kelengkapan pasangan orang tua,
atau pun pergantian orang tua sebagai akibat perubahan status
perkawinan.
Informasi tentang karakteristik keluarga ini tidak menutup
kemungkinan untuk berkembang di lapangan. Perkembangan akan
diikuti sesuai dengan fakta empirik yang ada lapangan,
menyesuaikan dengan konsep emik yang melekat pada Suku
Tengger sebagai subyek penelitian.

8. Nilai Anak
Nilai anak adalah tanggapan orang tua dalam memahami
adanya anak dalam keluarga (Fahmi and Pinem, 2018). Anak
memiliki nilainya sendiri di mata orang tua maupun keluarga. Nilai
anak sangat tergantung dengan latar budaya masing-masing
individu. Nilai anak juga turut berpengaruh terhadap perlakuan
orang tua maupun keluarga terhadap anak.
Bagi etnik Melayu di Riau setidaknya ada lima nilai anak
bagi keluarga. Nilai pertama dipandang dari segi sosial yang
menyatakan bahwa anak merupakan sumber ketentraman, dan

49
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

sekaligus dapat meningkatkan status sosial. Sementara dari segi


ekonomi anak dinilai merupakan sumber pendapatan dan jaminan
masa tua kelak. Anak juga dinilai merupakan sumber rezeki dan ahli
waris orang tuanya apabila dilihat dari segi budaya. Di sisi lain
berdasarkan agama anak merupakan amanah dari yang maha
pencipta yang senantiasa harus dirawat/dijaga dan penyejuk di
dalam rumah tangga. Sementara secara psikologis, orang Melayu
Riau merasa memiliki anak mempunyai nilai kepuasan tersendiri
bagi keluarga (Fahmi and Pinem, 2018).
Bagi orang etnik Lani di Tolikara, Papua, memiliki anak
adalah berkah, karena bisa menjadi tempat berbagi suka dan duka.
Kondisi ini berbeda dengan masa sebelumnya yang masih cukup
sering terjadi perang antar suku. Pada masa itu orang Lani hanya
mau memiliki anak satu sampai dua saja. Alasannya adalah agar
mereka mudah berlari sambil membawa anak pada saat perang
terjadi (Wahyudi, Intiasari and Laksono, 2016b).
Berdasarkan jenis kelamin, orang Lani lebih menyukai anak
perempuan. Karena harta tertinggi bagi orang Lani adalah babi dan
perempuan. Perempuan bernilai ekonomi sangat tinggi karena
perannya secara sosial dan ekonomi. Perempuan Lani dinilai bisa
melahirkan anak banyak dan mampu mengurys kebun dan babi.
Selain itu, anak perempuan juga memiliki nilai ekonomi tinggi
karena harus ditebus dengan mahar yang tinggi saat akan dinikahi
oleh lelaki Lani (Wahyudi, Intiasari and Laksono, 2016b).
Senada dengan etnik Lani di Tolikara Papua, masyarakat
etnik Sumba di Kabupaten Sumba Barat juga menaruh nilai tinggi
pada anak perempuan. Orang Sumba menilai perempuan adalah
pekerja yang tekun. Perempuan adalah mesin reproduksi yang
memungkinkan sebuah generasi berlanjut. Karena itu niat baik
seorang ayah melepas anak perempuannya harus diapresiasi
keluarga laki-laki dengan memberikan sejumlah pemberian (belis)
yang cukup tinggi. Sebaliknya, ayah si perempuan juga perlu
menunjukan betapa berharga nilai anaknya dengan sejumlah

50
Tengger Bertahan dalam Adat

hadiah balasan yang akan mengiringi kepindahan si anak kelak.


Tanpa hal tersebut anak perempuannya akan dianggap remeh oleh
keluarga suaminya (W.N., N.A. and Suharmiati, 2016).
Berbeda dengan etnik Lani di Tolikara Papua dan etnik
Sumba di Sumba Barat, masyarakat etnik Talaud di Kepulauan
Talaud justru lebih memilih anak-laki-laki yang lebih berharga
dibanding anak perempuan. Anak laki-laki dipandang sebagai
penerus keberlangsungan hidup dan marga keluarga. Semakin
banyak anak laki-laki dalam keluarga Talaud, maka semakin baik,
artinya semakin terjaga marga keluarga (Sudrajat, Fahriani and
Soerachman, 2016).

C. Metode Penelitian
1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang
dilakukan dengan pendekatan studi etnografi realis. Metode
etnografi dipilih karena fenomena ukuran keluarga kecil pada Suku
Tengger yang dirasakan sangat komplek dengan banyak fakgtor
berinteraksi dan saling mempengaruhi, yang tidak bisa dikaji atau
diteliti dengan pilihan pendekatan atau metode lainnya. Etnografi
dengan pendekatan realis berupaya menggambarkan situasi
budaya para partisipan secara obyektif berdasarkan informasi yang
diperoleh langsung dari para partisipan di lapangan penelitian.
Hasil informasi tersebut kemudian dipaparkan dengan
menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of
view) (Creswell, 2008).
Menurut Malinoswki (1913), seperti dikutip oleh Spradley
(1979; 2007), bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut
pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk
mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Inti dari penelitian
etnografi adalah memaknai secara mendalam arti atau makna

51
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

peristiwa tersebut dalam suatu lingkungan sosial budaya tertentu


(Wiyata, 2002; Clifford, 1986; Denzin dan Lincoln, 1994). Etnografi
berkaitan dengan pengetahuan budaya dan budaya itu sendiri.
Usaha untuk memahami budaya tertentu, kita harus berusaha
untuk memahami orang dari perspektif budayanya (Cutler, 2004).
Penelitian etnografi ini ditujukan untuk menyusun konstruksi
ukuran keluarga dalam perspektif budaya Suku Tengger.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengamatan peneliti terhadap Suku Tengger dimulai dari
ketertarikan peneliti pada fenomena ukuran keluarga yang kecil
pada keluarga Tengger. Pertama kali fenomena tersebut
didapatkan peneliti pada tahun 2015. Penelitian dilakukan pada
Suku Tengger yang hidup dan menetap di Desa Wonokotri,
Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Desa Wonokitri dipilih
sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu desa di
lereng Gunung Bromo yang menurut masyarakat setempat dinilai
masih kuat memegang erat tradisi Suku Tengger dibanding desa
lainnya di wilayah Pegunungan Bromo. Desa Wonokitri juga dipilih
dengan alasan lokalitas, yaitu lokasi pemukiman Suku Tengger yang
paling atas, mendekati Gunung Bromo, sebagai sumber dan pusat
kebudayaan masyarakat Suku Tengger. Pengumpulan data lanjutan
dilaksanakan pada tahun 2018-2019. Pengumpulan data dilakukan
dengan live in (dengan hidup dan berbaur bersama masyarakat
Suku Tengger).

3. Informan
Informan pertama pada saat awal penelitian adalah dukun
adat Tengger dan kepala desa Desa Wonokitri. Pemilihan kedua
informan tersebut sebagai informan kunci atau informan pangkal
karena posisinya selaku tokoh masyarakat Suku Tengger yang
memahami tentang budaya dan adat istiadat Suku Tengger

52
Tengger Bertahan dalam Adat

(Koentjaraningrat, 1993). Dukun adat adalah istilah resmi Suku


Tengger terhadap pucuk pimpinan adat yang menguasai mantra-
mantra wajib ritual adat Suku Tengger. Menjadi seorang dukun di
salah satu desa Suku Tengger harus melewati ujian yang dilakukan
oleh beberapa dukun adat Tengger dari desa Suku Tengger lain.
Selanjutnya, informan didapatkan secara bergulir berdasar
informasi dari informan kunci. Peserta atau informan kunci
menggunakan jejaringnya untuk mengarahkan peneliti ke orang
lain yang berpotensi berpartisipasi atau berkontribusi sebagai
informan dalam penelitian ini (Mack, dkk., 2005; Berg, 2001; Lee,
1993). Secara rinci informan yang telah diwawancarai dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.1.

Table 1.2. Karakteristik Informan


Informan Total
Gender 51
Laki-laki 28
Perempuan 23
Peran 51
Tokoh adat/agama 2
Tokoh pemerintahan 3
Pelaku wisata 5
Tenaga kesehatan 3
Guru 2
Masyarakat Tengger 46
Asal 51
Asli Tengger Wonokitri 41
Pendatang dari wilayah Tengger lainnya 7
Pendatang lainnya 3

4. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada fenomena ukuran keluarga
yang dikemukakan sebagai latar belakang riset. Pengertian Ukuran
Keluarga yang dipakai dalam penelitian ini adalah jumlah anggota

53
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

keluarga inti. Keluarga yang terdiri dari dua orang tua (yang terikat
pernikahan, baik secara administratif negara maupun pengakuan
adat) dan anak-anak mereka (satu atau lebih) (The Editors of
Encyclopaedia Britannica, 2018). Anak-anak dimaksud hanya yang
merupakan anak-anak biologis yang merupakan saudara kandung
atau sedarah (Fields, 2001). Beberapa peneliti memasukkan orang
tua tiri dan campuran anak-anak yang termasuk anak tiri dan anak
angkat dalam keluarga inti (Haviland et al., 2007; Blackwell, 2010),
tetapi dalam penelitian ini dibatasi pada anggota keluarga yang
memiliki hubungan biologis dengan kedua orang tuanya.
Selanjutnya, dengan tetap terfokus pada ukuran keluarga
Suku Tengger, peneliti menelusur relasi fenomena yang ditemukan
dengan faktor-faktor lain yang menjadi ciri khas dan melekat pada
masyarakat Suku Tengger. Melalui pengumpulan data di lapangan
peneliti berusaha menggali tiga hal, yaitu apa makna ukuran
keluarga bagi orang Tengger? apa saja yang diketahui dan
dipikirkan orang Tengger tentang ukuran keluarga? mengapa dan
bagaimana mereka mewujudkannya? serta apa faktor-faktor lain
yang dinilai berpengaruh terhadap konstruksi sosial ukuran
keluarga? Konstruksi sosial ukuran keluarga yang dipakai dalam
penelitian ini berdasarkan teori konstruksi sosial (social
construction), yang merupakan teori sosiologi kontemporer yang
berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung
pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta
kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk
memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat
dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan
(being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak
manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa
fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik
yang spesifik Berger & Luckmann (1966).

54
Tengger Bertahan dalam Adat

5. Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data


Pada metode penelitian etnografi mensyaratkan peneliti
harus tinggal (live in) bersama dengan subyek penelitian untuk
dapat turut merasakan apa yang dirasakan oleh subyek penelitian
(natural context), dalam hal ini masyarakat Suku Tengger. Metode
pengumpulan data utama adalah wawancara mendalam dan
observasi partisipatif (Bachtiar, 1993; Koentjaraningrat, 1993;
Spradley, 2007). Selain itu data juga didapatkan melalui
penelusuran pustaka hasil-hasil penelitian terdahulu tentang
substansi konstruksi ukuran keluarga maupun tentang Suku
Tengger. Pemanfaatan data sekunder juga dipergunakan untuk
melengkapi kajian ini dengn perspektif peneliti yang sudah
melakukan penelitian dengan subyek Tengger sebelumnya.
Menggunakan metode kualitatif, maka instrumen utama
dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Peneliti dalam
pelaksanaan penelitian dilengkapi dengan peralatan
pendokumentasian, baik buku catatan lapangan, alat perekam
audio, alat perekam visual, maupun alat perekam visual audio.
Pada tahap awal penelitian, setelah menyelesaikan semua
urusan kaji etik dan proses perijinan di lapangan, peneliti menelisik
keluarga Tengger yang menetap di Desa Wonokitri, Kecamatan
Tosari, Kabupaten Pasuruan. Langkah ini diambil untuk merinci dan
mengkategorikan besaran ukuran keluarga dan atribut keluarga
lainnya. Atribut keluarga tersebut adalah umur kepala keluarga,
mata pencaharian kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga,
gender anak, dan keyakinan agama yang dianut keluarga.
Secara operasional penelitian ini dijalankan dengan
menggunakan alur penelitian maju bertahap yang dikemukakan
oleh Spradley (1979, 2007). Ada dua belas langkah yang ditawarkan
Spradley yang diimplementasikan dalam penelitian ini.
Data hasil wawancara mendalam dan observasi partisipatif
ditranskripsikan menurut tanggal dan informan, kemudian

55
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

dilakukan klasifikasi sesuai dengan tema fokus penelitian. Analisis


data dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian dengan
menggunakan metode analisis isi (content analysis) terhadap hasil
wawancara mendalam, sedangkan proses penyimpulan jawaban
dilakukan melalui metode triangulasi. Contoh triangulasi yang
dilakukan misalnya tentang “mantra Tengger yang bersifat elitis”.
Pada awalnya peneliti mendapat informasi ini dari manuskrip
Hefner (Smith-Hefner, 1992), selanjutnya informasi tersebut
dikonfirmasi ke dukun adat. Di sisi lain, peneliti juga melakukan
konfirmasi ulang pada bebarapa informan masyarakat awam
Tengger.
Pengawasan kualitas data dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain dengan melakukan cek-ricek dengan catatan
peneliti, dan verifikasi melalui metode triangulasi. Triangulasi pada
penelitian ini dilakukan dengan melalui 2 (dua) cara, yaitu;
1) Triangulasi informan; untuk satu tema fokus penelitian
yang sama dilakukan pengumpulan data lebih dari satu
informan; pada contoh sebelumnya tentang “mantra
Tengger yang bersifat elitis”, antara dukun dan tokoh adat
dengan masyarakat awam Tengger.
2) Triangulasi metode pengumpulan data; data yang sama
dilakukan pengumpulan data dengan 2 (dua) atau lebih
metode yang berbeda; misalnya wawancara mendalam
dan observasi partisipatif, atau wawancara mendalam dan
penelusuran data sekunder; pada contoh sebelumnya
tentang “mantra Tengger yang bersifat elitis”, peneliti
menggunakan triangulasi antara metode penelusuran data
sekunder dan wawancara mendalam dengan dukun adat.
Berdasarkan Alur Penelitian Maju Bertahap yang
ditawarkan Spradley (1979; 2007), setidaknya ada empat jenis
metode analisis dalam penelitian etnografi yang bisa kita gunakan
dalam menganalisis hasil pengumpulan data etnografi. Keempat

56
Tengger Bertahan dalam Adat

metode analisis tersebut adalah analisis domain, analisis


taksonomi, analisis komponensial dan analisis tema budaya.
1) Analisis Domain untuk memperoleh gambaran umum dan
menyeluruh dari subjek Penelitian atau situasi sosial.
Melalui pertanyaan umum dan rinci etnografer
menemukan berbagai kategori atau domain tertentu
sebagai pijakan Penelitian selanjutnya. Semakin banyak
domain yang dipilih, semakin banyak waktu penelitian yang
dibutuhkan di lapangan.
2) Analisis Taksonomi untuk menjabarkan domain-domain
yang dipilih menjadi lebih rinci untuk mengetahui struktur
internalnya. Hal ini dilakukan dengan pengamatan yang
lebih terfokus.
3) Analisis Komponensial untuk mencari ciri-ciri spesifik pada
setiap struktur internal dengan cara membuat kontras
antar elemen. Hal ini dilakukan melalui observasi dan
wawancara terseleksi melalui -pertanyaan kontras.
4) Analisis Tema Budaya untuk mencari hubungan di antara
domain dan hubungan dengan keseluruhan yang
selanjutnya dinyatakan ke dalam tema-tema sesuai dengan
fokus dan sub fokus penelitian.
Proses analisis dan interpretasi hasil pengumpulan data
etnografi melibatkan pengujian disiplin, pemahaman kreatif, dan
perhatian yang cermat pada tujuan penelitian yang telah
ditetapkan. Proses analisis dimulai dengan perakitan materi-materi
yang masih mentah dan pengambilan suatu tinjauan mendalam
atau gambaran total dari proses secara keseluruhan. Analisis
adalah proses pengurutan data, penyusunan data ke dalam pola-
pola, kategori, dan satuan deskriptif dasar (Spradley, 1979; 2007).
Karena keterbatasan data yang dikumpulkan, maka pada
akhir proses peneliti tidak bisa melakukan analisis domain dan
analisis taksonomi. Dalam fase akhir penelitian ini peneliti

57
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

melakukan analisis tema budaya sesuai dengan tujuan penelitian.


Hasil penelitian dinarasikan secara deskriptif sesuai dengan tema
budaya yang

58
Bab 2
Masyarakat dan Kebudayaan Tengger
di Desa Wonokitri

Masyarakat Suku Tengger adalah salah satu kelompok


masyarakat asli Indonesia yang masih bertahan dan eksis dengan
adat dan tradisinya. Masyarakat Suku Tengger secara geografis
mendiami kawasan wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(TNBTS). Obyek wisata yang sudah mendunia ini berlokasi di empat
kabupaten yang berbeda, yaitu di Kabupaten Pasuruan-
Probolinggo-Lumajang-Malang, Provinsi Jawa Timur.
Sejak awal jaman kerajaan Jawa di Indonesia, Pegunungan
Tengger diakui sebagai tanah suci, dan para penghuni wilayah
tersebut dianggap sebagai abdi spiritual dari Sang Hyang Widhi
Wasa. Hal ini ditandai dari prasasti Tengger yang pertama
ditemukan dalam sejarah berasal dari awal abad ke-sepuluh.
Terbuat dari batu dan diberi tahun 851 Saka (929 Masehi). Prasasti
tersebut menyatakan bahwa ada desa yang bernama Walandit,
terletak di Pegunungan Tengger, adalah tempat suci, karena dihuni
para hulun, atau abdi dewa-dewi (Humas Pemkab Dati II Pasuruan,
1988).

A. Sejarah dan Asal-Usul Suku Tengger


Narasi pada bagian ini disarikan dari data sekunder dalam
buku “Masyarakat Tengger dan Legenda Kasodo”. Buku tersebut
merupakan upaya dokumentasi yang diterbitkan oleh Pemerintah
Kabupaten pasuruan dengan merujuk berbagai hasil penelitian,
terutama para antropolog dari luar negeri, dan cerita yang

59
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

dikisahkan penduduk setempat (Humas Pemkab Dati II Pasuruan,


1988).
Menurut cerita masyarakat Suku Tengger yang telah
dikisahkan sebagai dongeng rakyat secara turun-temurun, pada
abad ke-empat belas, dua orang brahmana dari Kerajaan Majapahit
secara diam-diam telah meloloskan diri. Kedua brahmana tersebut
telah memperoleh firasat bahwa tidak lama lagi Kerajaan
Majapahit akan runtuh. Kedua brahmana tersebut adalah
Tumenggung Tunggul Patung dan Ki Ageng Ngawi. Ki Ageng Ngawi
sendiri mempunyai seorang putra yang bernama Joko Seger.
Selang beberapa tahun kemudian, di padepokan
Tumenggung Tunggul Patung kedatangan seorang remaja putri
yang bermaksud mencari bekal ilmu. Pada saat diselenggarakan
wejangan ilmu itulah Joko Seger bertemu pandang dengan Rara
Anteng untuk pertama kalinya. Mengetahui hal ini, kedua
brahmana tersebut memutuskan agar Joko Seger dan rara Anteng
memperdalam ilmunya dengan bersemadi di Goa Raga Wulan di
wilayah Penanjakan. Disinilah benih cinta kedua remaja tersebut
muncul. Sementara kedua brahmana sudah mengetahui
bagaimana maksud kedua remaja tersebut. Setelah melalui proses
pertapaan, keduanya dijodohkan guna membina rumah tangga dan
melanjutkan keturunanya.
Diceritakan bahwa pada akhirnya pasangan Joko Seger dan
Rara Anteng memiliki keturunan sebanyak 25 orang. Sebelum
memiliki keturunan, keduanya lama tidak memiliki momongan.
Kemudian keduanya melakukan semadi di Goa Ragawulan. Dalam
semadinya keduanya berjanji manakala dikaruniai putra, maka
anak yang bungsu akan mereka persembahkan kepada Dewa
Brahma. Kusuma, si anak bungsu, pada akhirnya mengorbankan
dirinya di kawah Bromo agar bumi menjadi tenteram. Kejadian
tersebut berlangsung pada bulan Kasada dalam penanggalan
Tengger.

60
Tengger Bertahan dalam Adat

Gambar 2.1. Patung


Rara Anteng dan Joko
Seger di Penanjakan,
Pasuruan
Sumber: Dokumentasi
Penulis

Berdasarkan kisah tersebut, masyarakat Suku Tengger


meyakini bahwa mereka adalah anak keturunan dari Rara Anteng
dan Joko Seger. Hal ini ditandai dengan mengambil akronim dari
kedua nama pasangan tersebut sebagai identitas nama suku
mereka, Rara AnTENG dan Joko SeGER, TENGGER. Sementara itu
kisah tentang Kusuma yang mengorbankan dirinya terjun ke kawah
Gunung Bromo diperingati oleh masyarakat Suku Tengger sebagai
upacara besar yang dikenal sebagai upacara Yadnya Kasada.
Berdasarkan pengamatan penulis, peninggalan sejarah
terkait pepunden leluhur orang Tengger ini tersebar di 4 kabupetan

61
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

(Pasuruan, Probolinggo, Malang, Lumajang). Beberapa peninggalan


beberapa situs tersebut ditandai dengan prasasti yang dibangun
oleh pemerintah. Beberapa kesempatan pada hari-hari khusus,
situs-situs tersebut disembahyangi dan diletakkan sesajen untuk
persembahan bagi roh-roh leluhur yang mbahurekso di tempat
tersebut.

Gambar 2.2. Contoh Situs Peninggalan Keturunan Rara Anteng dan Joko
Seger
Sumber: Dokumentasi Penulis

B. Antara Hindu di Bali dan Hindu di Tengger


Berdasarkan hasil penelusuran data sekunder dan
wawancara di lapangan, peneliti menemukan beberapa perbedaan
antara Hindu secara umum di Bali dengan Hindu Tengger.
Setidaknya ada lima perbedaan yang ditemukan. Diantaranya
adalah sejarah awal Hindu di kedua wilayah, sistem kasta, sistem
perkawinan, hukum waris, dan perbedaan teks liturgi.

62
Tengger Bertahan dalam Adat

Pertama, berdasarkan catatan sejarah, Hindu di kawasan


Tengger dinyatakan lebih dahulu ada dan berkembang daripada
Hindu di Bali. Hindu yang berkembang di wilayah Tengger
merupakan Hindu Jawa dari sejak jaman Majapahit. Wilayah
Tengger saat ini, di sekitar Gunung Bromo, dikenal sebagai tempat
para pemuja dewa-dewi yang dikenal sebagai abdi spiritual dari
Sang Hyang Widhi Wasa. Sementara Hindu di Bali berkembang
paska keruntuhan Kerajaan Majapahit, yang akhirnya pecah
menjadi beberapa kerajaan yang lebih kecil (Humas Pemkab Dati II
Pasuruan, 1988).
Ke-dua, pemeluk agama Hindu di Bali, sebagaimana
pemeluk agama Hindu di negeri asalnya, Hindustan, dikenal
memiliki sistem kasta. Meski demikian, sistem kasta di Bali sedikit
berbeda dibanding sistem kasta di India, yang jauh lebih rumit.
Sistem kasta di Bali membagi secara bertingkat derajat manusia
menjadi 4 kategori. Keempat kategori tersebut adalah kasta sudra,
yaitu kasta untuk kalangan paling bawah, para petani. Kemudian
kasta waisya, yang merupakan tingkatan kasta untuk para
pedagang dan pegawai pemerintahan. Ke-tiga kasta kshatriya, yaitu
kasta untuk para prajurit, termasuk para bangsawan dan raja-raja.
Terakhir, kasta brahmana, yang merupakan kasta tertinggi untuk
representasi para pendeta (Mahardini and Tobing, 2018; Alandari
and Muti’ah, 2020). Sementara itu, masyarakat Hindu di Tengger
tidak mengenal sama sekali soal kasta. Semua anggota masyarakat
memiliki kedudukan yang sama tinggi. Masyarakat di Tengger
hanya mengenal tokoh adat, pemuka Tengger yang dianggap paling
memahami adat istiadat dan mantra Tengger (Laksono, Soedirham,
et al., 2020).
Ke-tiga, tentang perkawinan. Pada masyarakat Hindu di
Bali, perempuan sangat menghindari untuk menikah dengan laki-
laki dari kasta paling rendah. Ketika perempuan dari tiga kasta
tertinggi atau triwangsa menikah dengan laki-laki dari kasta yang
paling rendah, atau sudra, yang biasa disebut sebagai nyerod, maka
perempuan tersebut akan mengalami beban diskriminasi

63
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

(Mahardini and Tobing, 2018; Purnomo, Natajaya and Sudiatmaka,


2019; Alandari and Muti’ah, 2020). Kondisi ini berlawanan dengan
masyarakat Hindu di Tengger. Hindu di Tengger yang tidak
mengenal kasta tidak memandang adanya tingkatan pada derajat
manusia, semua memiliki tingkatan yang sama. Alasan inilah yang
membuat tidak ada batasan bagi perempuan Tengger untuk
menikah dengan siapapun, dan bahkan misalnya menikah dengan
orang luar dan bukan Hindu (Kurniawati, Putri Indah; Dinastiti,
Charisma; Ningtias, Yasinta Kurnia; Khoiriyah, Siti; Putri, 2012).
Ke-empat, tentang hukum waris. Pada masyarakat Hindu di
Bali hukum waris melekat pada laki-laki, bersistem kekeluargaan
kapurusa (patrilineal). Hukum adat di Bali menempatkan anak laki-
laki sebagai ahli waris dalam keluarga. Sedangkan perempuan
hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang
tua atau harta peninggalan suami (Febriawanti and Mansur, 2020;
Putra, Budiono and Susilo, 2020). Berbeda dengan masyarakat
Hindu di Bali, masyarakat Hindu di Tengger tidak menjadikan
gender sebagai dasar hukum waris. Anak keturunan Rara Anteng
dan Jokok Seger ini menganggap bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki hak yang sama dalam soal warisan. Kedua jenis gender ini
menerima hak yang sama besar.
Ke-lima, teks liturgi. Perbedaan soal narasi teks keagamaan
ini terangkum dalam penelitian yang dilakukan oleh Smith-Hefner
dalam dua buah manuskrip yang berbeda. Keduanya berjudul
“Language and Social Identity: Speaking Javanese in Tengger
(Indonesia)” dan “‘The Litany of" The World’s Beginning": A Hindu-
Javanese Purification Text’’. Kedua manuskrip ini ditulis
berdasarkan dua kajian linguistik yang dilakukan dalam dua kurun
waktu yang berbeda, sekitar tujuh tahunan (Smith-Hefner, 1983,
1990). Smith-Hefner sampai pada kesimpulan bahwa teks liturgi
antara Hindu di Bali dan Hindu di Tengger memiliki perbedaan.
Bahasa yang dipakai dalam teks liturgi Hindu di Tengger cenderung
lebih kasar. Teks liturgi Hindu di Tengger lebih dipengaruhi oleh
Hindu Jawa dengan versi bahasa yang lebih kasar (Smith-Hefner,

64
Tengger Bertahan dalam Adat

1983, 1990). Secara empiris tentang “kasar”nya bahasa yang


dipakai orang Tengger, juga terlihat dalam bahasa komunikasi yang
dipakai dalam keseharian. Mereka menggunakan bahasa Jawa
ngoko, yang dalam tingkatan bahasa Jawa merupakan tingkatan
paling bawah. Di sisi lain, peneliti menilai pemakaian bahasa ngoko
dalam keseharian ini menunjukkan sistem sosial masyarakat
Tengger yang egaliter, menganggap semua memiliki kedudukan
yang sama dan sederajat, tanpa perbedaan kasta.

Gambar 2.3.
Padmasari (kiri)
dan Pelinggih
(kanan)
Sumber:
Dokumentasi
Penulis

Meski secara spesifik ditemukan beberapa perbedaan


antara Hindu di Bali dengan Hindu di Tengger, tetapi secara empiris

65
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

juga ditemukan pengaruh Hindu Bali di wilayah Tengger. Pengaruh


ini dapat dilihat dalam beberapa pernik pendukung acara
persembahyangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa ukiran dan detail
lain khas Hindu Bali terlihat lebih modern. Hal ini tidak terlepas dari
sentralistik Parisada Hindu Dharma Indonesia yang dipusatkan di
Bali.
Salah satu yang pengaruh Hindu Bali tersebut dapat dilihat
pada Gambar 2.3. Gambar di sebelah kanan menampilkan tempat
sembahyang asli orang Tengger yang difungsikan untuk meletakkan
sesajen yang dipersembahkan untuk para leluhur, yang disebut
pelinggih. Sementara di sebelah kiri adalah padmasari. Padmasari
memiliki fungsi yang sama dengan pelinggih, yang telah
mengadopsi ciri khas Hindu Bali.

C. Antara Agama Hindu dan Religi Tengger


Perbedaan yang terlihat tidak hanya antara Hindu di Bali
dan Hindu di Tengger, tetapi juga perbedaan antara Hindu sebagai
agama dan adat Tengger dalam konteks yang lebih luas, sebagai
religi. Orang Tengger menempatkannya secara berbeda. Mereka
bisa memisahkan diantara Hindu dan Tengger. Pemisahan ini juga
terlihat dalam struktur sosial yang menempatkan tokoh dari
Tengger dan Bali dalam dua jenis tokoh yang berbeda. Narasi
tentang hal ini dapat dilihat dalam bagian D.4 tentang Struktur
Sosial.
Adat Tengger berlaku secara universal bagi sesiapa saja
yang bermukim di wilayah Desa Wonokitri. Tidak hanya bagi
masyarakat setempat yang beragama Hindu saja, tetapi juga
termasuk bagi warga lain yang beragama Islam dan Kristen yang
tinggal di Desa Wonokitri. Pada perayaan hari raya Suku Tengger
semacam Yadnya Karo atau Yadnya Kasada, setiap penduduk wajib
mengikuti ritual tersebut, karena mereka adalah bagian dari
masyarakat Tengger.

66
Tengger Bertahan dalam Adat

Kondisi berbeda untuk perayaan hari raya agama Hindu


semacam Melasti atau Galungan, yang hanya diikuti oleh para
pemeluk agama Hindu saja, tidak melibatkan pemeluk agama lain,
meski tinggal di wilayah Desa Wonokitri. Pelaksanaan ritual
keduanya dipimpin oleh dua tokoh yang berbeda. Ritual adat
Tengger dipimpin oleh Dukun Adat, sementara ritual agama Hindu
dipimpin oleh pendeta Hindu. Meski demikian, pada saat
pelaksanaan ritual adat Tengger, seringkali pendeta Hindu juga
turut serta berbaur memperingati dan mengikuti jalannya upacara
tersebut.

D. Profil Desa Wonokitri


Masyarakat Tengger di Desa Wonokitri dan di desa lainnya
di wilayah Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan secara umum
menyebut dirinya sebagai orang Tengger Brang Kulon (orang
Tengger seberang Barat). Sedang mereka menyebut masyarakat
Tengger yang tinggal di sisi Kabupaten Probolinggo, Kabupaten
Lumajang dan Kabupaten Malang, sebagai orang Tengger Brang
Wetan (orang Tengger seberang Timur).

1. Letak dan Kondisi Alam


Desa Wonokitri secara administratif berada di bawah
kendali pemerintahan Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan,
Provinsi Jawa Timur. Desa yang wilayahnya paling luas terdiri dari
hutan ini terbagi menjadi dua dusun, yaitu Dusun Wonokitri dan
Dusun Sanggar. Dusun Wonokitri terdiri dari 3 RW (Rukun Warga)
dan 16 RT (Rukun Tetangga), sedang Dusun Sanggar terdiri dari 2
RW dan 10 RT.

67
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Gambar 2.4. Peta Lokasi Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan


Sumber: Website Pemerintah Kabupaten Pasuruan, 2019

Berdasarkan Profil Desa tahun 2018, Desa Wonokitri


memiliki luas wilayah mencapai 1.120,295 hektar. Sebagian besar
berupa lahan hutan seluas 887,20 hektar (Pemerintah Desa
Wonokitri, 2018). Angka ini berbeda dengan yang dikeluarkan oleh
pihak Kecamatan Tosari sebagai induk secara administratif Desa
Wonokitri. Kecamatan Tosari dalam Angka 2018 menunjukkan luas
Desa Wonokitri adalah 948,24 hektar, dengan luas tanah yang
dihuni, atau pemukiman dan pekarangan sebesar 60,64 hektar.
Angka luasan tanah ini setara dengan 6,395% dari luas Desa

68
Tengger Bertahan dalam Adat

Wonokitri secara keseluruhan (Pemerintah Kecamatan Tosari,


2018).
Desa Wonokitri memiliki topografi yang sangat ekstrem,
terdiri dari perbukitan sampai pegunungan (lihat Gambar 2.3).
Kondisi tersebut mencapai 40% dari keseluruhan wilayah. Jarak
Desa Wonokitri ke pusat kecamatan di Tosari mencapai 3
kilometer, sementara jarak ke pusat Kabupaten Pasuruan
mencapai 44 kilometer. Sedang jarak Desa Wonokitri ke ibukota
Provinsi Jawa Timur di Kota Surabaya sekitar 105 kilometer.
Transportasi untuk mencapai Desa Wonokitri hanya bisa
dilakukan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Tidak tersedia
sarana angkutan transportasi umum untuk menuju wilayah ini.
Prasarana jalan sudah teraspal dengan relatif bagus. Hanya pada
beberapa titik kecil yang sedikit rusak karena pergeseran tanah dan
air hujan di wilayah hutan. Pada beberapa titik mendekati Desa
Wonokitri ditemukan ruas jalan yang rawan longsor, karena jalan
dibatasi oleh tebing atau dinding dengan kemiringan mendekati 45-
70 derajat.
Kendaraan roda empat plat hitam yang seringkali ditemui
di wilayah Desa Wonokitri adalah kendaraan double gardan
berjenis jeep. Kendaraan jenis ini disewakan oleh masyarakat
setempat untuk para wisatawan yang hendak menuju kawasan
Penanjakan untuk melihat matahari terbit saat subuh, atau menuju
ke Puncak Bromo. Sedang kendaraan roda dua yang sering terlihat
adalah yang berjenis manual dengan rantai roda. Motor jenis ini
terbukti lebih tangguh, setidaknya menurut penduduk setempat, di
wilayah perbukitan dibanding motor matic jenis paling baru. Secara
umum juga banyak dijumpai motor bodong atau tidak mempunyai
plat nomor di wilayah ini.
Berada di ketinggian 1.900 meter di atas permukaan laut,
membuat Desa Wonokitri menjadi desa tertinggi di wilayah
Kabupaten Pasuruan, sekaligus desa yang paling dekat dengan
puncak Gunung Bromo. Kondisi ini menyebabkan rata-rata suhu

69
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

udara di wilayah lereng Gunung Bromo ini sangat dingin. Pada


malam hari suhu udara paling dingin bisa mencapai 100 Celcius,
sementara suhu maksimum pada siang hari hanya mencapai 230
Celcius.

Gambar 2.5.
Kemiringan
Wilayah
Pegunungan
Bromo
Sumber:
Dokumentasi
Penulis

Pada saat musim kemarau yang berlangsung panjang,


maka suhu udara berubah menjadi lebih dingin. Bulan Juni 2019,
pada saat kemarau panjang masih berlangsung, suhu udara di Desa
onokitri bisa berkisar 0-30 Celcius. Sementara di wilayah sekitar
lautan pasir Bromo bisa dijumpai salju tipis yang menyelimuti

70
Tengger Bertahan dalam Adat

seluruh permukaan padang pasir. Hampir setiap waktu kabut putih


tebal turun menyelimuti wilayah pegunungan ini, membuat jarak
pandang menjadi pendek hingga kurang dari 10 meter.

Gambar 2.6. Gaya Berpakaian Orang Tengger


Sumber: Dokumentasi Penulis

Dinginnya suhu udara sepanjang hari turut berpengaruh


pada gaya berpakaian orang Tengger di Desa Wonokitri untuk
melawan hawa dingin tersebut. Orang Tengger biasa
mengalungkan kain sarung di leher, atau menyelempangkan

71
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

menyilang menutupi dada dan punggung. Di bawah lapisan kain


sarung tersebut, mereka masih menggunakan jaket atau baju tebal.
Gaya berpakaian seperti ini dapat ditemui pada kaum laki-laki
maupun perempuan. Pada laki-laki biasanya masih ditambah
dengan kupluk untuk menutupi kepala sampai telinga, sementara
para perempuan mengenakan jenis kerpus atau jilbab instan,
seperti yang dipakai sehari-hari oleh perempuan muslim. Gaya
berpakaian untuk melawan hawa dingin ini juga dapat ditemui pada
Suku Tengger di wilayah lain sekitar Bromo.
Ciri cara bertahan terhadap hawa dingin juga dapat ditemui
di setiap rumah orang Tengger di Desa Wonokitri. Tidak ditemukan
satu rumah pun yang di dapurnya tidak ada pawon-nya. Pawon
adalah tungku buatan yang saat ini seringkali ditemukan terbuat
dari semen, tidak lagi berbahan tanah liat seperti jaman
sebelumnya. Orang Wonokitri seringkali membuat pawon dengan
dua tungku.
Pawon pada awalnya difungsikan sebagai tungku kompor
untuk memasak, tetapi juga difungsikan untuk menghangatkan
tubuh. Namun sesuai dengan kemajuan jaman, pawon mulai
ditinggalkan. Orang Tengger di Wonokitri lebih memilih kompor
modern berbahan gas elpigi untuk memasak, karena secara empiris
lebih praktis. Sementara untuk menghangatkan tubuh, tungku
pawon juga menjadi tidak praktis lagi, karena membutuhkan bahan
bakar kayu yang banyak hanya untuk menghangatkan tubuh saja.
Saat ini orang Tengger di Desa Wonokitri lebih memilih anglo yang
berbahan bakar arang, dengan kebutuhan yang lebih sedikit. Lalu
bagaimana dengan tungku pawon? Tetap ada. Tungku pawon tetap
eksis, bahkan dengan tampilan yang lebih mentereng, dilapisi
dengan porselen.
“Ya itu ciri khas orang sini pak. Aneh saja kalau rumah
orang Tengger tetapi tidak ada pawon-nya…”
(Ag, 20 tahun)

72
Tengger Bertahan dalam Adat

Gambar 2.7.
Pawon Modern
Orang Tengger
di Desa
Wonokitri
Sumber:
Dokumentasi
Penulis

Secara geografis wilayah Desa Wonokitri di sebelah Utara


berbatasan dengan Desa Sedaeng, sebelah Timur berbatasan
dengan Desa Keduwung, sebelah Selatan dengan wilayah TNBTS,
dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tosari. Kesemua
batas tersebut masih ada di wilayah administrasi pemerintah
Kecamatan Tosari.

73
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

2. Penduduk dan Mata Pencaharian: “Tidak ada yang tidak


petani”
Menurut data Profil Desa Wonokitri yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Desa Wonokitri, pada akhir tahun 2018 penduduk Desa
Wonokitri mencapai 3.019 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 701
kepala keluarga. Berdasarkan jenis kelamin, penduduk Desa
Wonokitri terdiri dari 1.481 laki-laki dan 1.538 perempuan. Dengan
luas wilayah 112 kilometer persegi, maka kepadatan penduduk
Desa Wonokitri hanya pada kisaran 27 jiwa per kilometer persegi.
Apabila wilayah Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (88,72
kilometer persegi) kita keluarkan dari perhitungan, maka
kepadatan penduduk di Desa Wonokitri ada pada kisaran 125 jiwa
per kilometer persegi.
Kepadatan penduduk di Desa Wonokitri apabila kita
bandingkan dengan rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten
Pasuruan yang mencapai 1.089 jiwa per kilometer persegi (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan, 2018), maka terlihat
kepadatan penduduk di Desa Wonokitri sangat rendah. Apabila kita
bandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Jawa
Timur pun masih menunjukkan angka yang berbeda tertaut cukup
jauh. Provinsi Jawa Timur memiliki kepadatan penduduk 822 jiwa
per kilometer persegi (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur,
2019).
Rendahnya kepadatan penduduk di wilayah Desa
Wonokitri, dikarenakan sebagian besar wilayah adalah lahan hutan
di bawah penguasaan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru.
Sementara wilayah bagian terbesar ke-dua adalah tegalan, kebun
atau lahan pertanian. Pembagian lahan ini sesuai dengan mata
pencaharian penduduk Desa Wonokitri yang 90% adalah petani
kebun, sementara 5% lainnya adalah buruh tani.
Jenis mata pencaharian lain yang dijalani oleh penduduk
Desa Wonokitri adalah pelaku wisata, yang meliputi pemandu
wisata, penyedia jasa mobil Jeep, ojek motor dan kuda untuk ke

74
Tengger Bertahan dalam Adat

Bromo, termasuk penyedia homestay. Pada golongan pelaku


wisata ini mencapai kisaran 30% dari seluruh penduduk Desa
Wonokitri. Sementara ada 15% penduduk lainnya juga melakukan
aktivitas perdagangan.
Pencatatan dan pelaporan jenis pekerjaan secara
administratif di Desa Wonokitri mendahulukan pekerjaan kategori
formal daripada informal, hal ini termasuk para pendatang yang
rata-rata sebagai ASN. Masyarakat di Desa Wonokitri yang bekerja
sebagai guru, tenaga kesehatan, pegawai negeri sipil lain, dan
pamong, dicatat sesuai dengan pekerjaan formalnya. Peneliti
mendapatkan beberapa pengakuan yang berbeda dari masyarakat,
meski tercatat secara administratif memiliki profesi lain, penduduk
di Desa Wonokitri tetap mengaku sebagai petani, termasuk para
pendatang yang sudah berbaur dan menjadi orang Tengger.
Menurut mereka, hal ini karena memang setiap orang memiliki
lahan pertanian.
Setidaknya tercatat ada 4 jenis informan yang merupakan
para pendatang. Pertama, informan pendatang laki-laki sebagai
ASN. Beragama Kristen dan berasal dari Suku Jawa, menikah
dengan perempuan asli Tengger. Ke-dua, informan pendatang
perempuan sebagai tenaga kesehatan. Beragama Hindu, datang
sudah bersuami, dari Suku Bali dan menetap di wilayah Desa
Wonokitri. Ke-tiga, informan pendatang Suku Jawa, muslim, dan
menikah dengan perempuan Tengger, berwiraswasta membuka
konter handphone. Ke-empat, sisanya, para pendatang Suku
Tengger dari beberapa desa Tengger lain. Semua pendatang ini
telah menganggap dirinya sebagai orang Tengger, semuanya
memiliki lahan pertanian, dan semuanya juga mengaku sebagai
para petani.
Pengakuan yang sama juga didapatkan dari warga
Wonokitri yang menjalankan kegiatan dalam bidang perdagangan
dan pariwisata, baik yang menyediakan jasa homestay,
menyewakan kuda tunggangan, ataupun persewaan mobil double

75
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

gardan untuk ke Bromo. Berdasarkan pengamatan, fakta empiris di


lapangan memang menunjukkan kondisi yang sesuai dengan
pengakuan tersebut. Mereka melakukan aktivitas profesi
formalnya, atau pelayanan wisata dan perdagangan, dengan tetap
menjalankan kegiatan pertaniannya, yang membedakan adalah
pembagian komposisi waktu untuk setiap keperluan tersebut.
Kondisi ini berlaku tidak hanya bagi masyarakat Tengger yang asli
Desa Wonokitri, tetapi juga berlaku bagi para pendatang yang telah
menikah dan menetap di Desa Wonokitri.
“Ya semua orang di Desa Wonokitri ini ya petani pak. Tidak
ada yang tidak. Itu Pak M**no (mantri) itu juga petani.
Pamong-pamong desa itu juga petani… biasanya mereka
berangkat jam 4-5 pagi ke kebun… nanti pulang jam 8-9
baru ke kantor desa… ya semua orang begitu pak, mesti
ada ke kebunnya…”
(Nar, 42 tahun)
“…ya punya mas (lahan pertanian), kalau tidak mau makan
apa? Kan ini yang wisata ini ga tentu, kalau pas lagi sepi
yang tetap berkebun…”
(Wa, 37 tahun)
“Entah dia itu seorang perangkat, kepala desa, seorang
guru, seorang pengepul, pedagang, punya toko, tetap dia
itu nggak lepas daripada bercocok tanam, bertani
tersebut. Seorang dukun, pemangku adat, tokoh agama,
tetap. Nggak lepas.”
(Mr, 38 tahun)
Penduduk Desa Wonokitri yang menjalankan mata
pencaharian murni hanya sebagai petani memiliki siklus harian
yang sampir sama. Mereka berangkat di pagi hari antara jam 05.00-
07.00 WIB, dan kemudian kembali ke rumah antara pukul 16.00-
18.00 WIB. Para petani ini membawa bekal dari rumah untuk
makan siang, yang sudah disiapkan atau dimasak pada malam hari
sebelumnya. Siklus keseharian yang dijalani para orang tua yang
dominan waktunya ada di kebun menyisakan anak-anak dan para

76
Tengger Bertahan dalam Adat

lansia yang sudah berhenti dari kegiatan pertanian di wilayah


pemukinan.
“Dibanding di sana (Ngadiwana, desa sebelah)… malahan
lebih giat orang Wonokitri. Terkadang Wonokitri itu jam 4
pagi berangkat ke ladang. Dia itu cuma bawa nasi aja. Jam
segini masak (sekitar jam 6-7 malam), untuk bekal besok
pagi ya. Besok pagi dibawa ke ladang. Sekitar jam 10,
masak bikin sup di ladang makan bareng. Lah nanti siang
jam 2, makan. Kadangkala itu orang yang paling giat
bekerja itu jam 6, jam 7 sore itu pulang.”
(Mr, 38 tahun)
Kondisi topografi yang ekstrem membuat lahan kebun para
petani di Desa Wonokitri banyak yang memiliki kemiringan
ekstrem. Kemiringan bisa mencapai 60-70 derajat. Mata
pencaharian sebagai petani kebun didukung oleh tanah di Desa
Wonokitri yang sangat subur. Aktivitas pertanian kebun tersebut
dapat dilakukan sepanjang tahun. Curah hujan di wilayah
bertopografi ekstrem ini mencapai 2.200 mm per tahun. Sementara
untuk kebutuhan pengairan, wilayah Desa Wonokitri dicukupi dari
tiga sarana pengairan, yaitu Ngerong, Tanggar dan Ngaleng Sari.
Pada tiga-empat dekade terakhir timbul keresahan
sehubungan dengan mata pencaharian masyarakat Suku Tengger
sebagai petani. Kekhawatiran ini dikarenakan jumlah penduduk di
Desa Wonokitri yang terus bertambah, sementara luas lahan
pertanian sedikit demi sedikit semakin menyempit. Dampaknya,
kecukupan lahan secara pelahan menjadi semakin kritis.

3. Pola Pemukiman
Masyarakat di Desa Wonokitri hanya menempati sekitar
6,395% dari keseluruhan wilayah yang ada dalam tanggung jawab
pemerintah Desa Wonokitri. Angka ini setara dengan 60,64 hektar.
Sisa lahan yang bukan berupa pemukiman dan pekarangan adalah

77
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

tegalan, kebun atau dalam istilah Badan Pusat Statistik disebut


sebagai tanah kering pertanian.

Gambar 2.8. Denah Lokasi dan Pemukiman di Desa Wonokitri,


Kecamatan Tosari-Pasuruan
Sumber: Visualisasi Peneliti Berdasarkan Peta Desa

Pola pemukiman masyarakat Desa Wonokitri ditemukan


cenderung berkumpul dalam satu lokasi yang cukup rapat
(perhatikan Gambar 2.7). Kondisi yang sama juga ditemui peneliti
dalam pola pemukiman desa adat Tengger lain di wilayah
Kecamatan Tosari. Setiap penduduk atau keluarga Tengger
memiliki lahan pertanian yang terpisah cukup jauh dengan rumah
yang ditempati. Jarak terjauh dari rumah ke kebun menurut
pengakuan penduduk setempat mencapai sekitar 3 (tiga)
kilometer.

78
Tengger Bertahan dalam Adat

4. Struktur Sosial
Berdasarkan informasi aparat pemerintah di Kecamatan
Tosari, Desa Wonokitri merupakan desa dengan tingkat kemurnian
adat Tengger yang dinilai paling tinggi. Pemahaman tentang
penilaian tingkat kemurnian adat Tengger ini akhirnya didapatkan
peneliti di lapangan dalam kaitan dengan struktur sosial di Desa
Wonokitri. Mereka, atau para tokoh yang berkaitan dengan adat
Tengger memiliki nilai sosial yang sangat tinggi di mata masyarakat
setempat.
Secara umum ada tiga jenis tokoh yang dipandang
masyarakat memiliki kedudukan penting. Pertama adalah para
pamong desa atau aparat pemerintah desa; ke-dua adalah mereka
yang berkaitan dengan adat Tengger; dan ke-tiga adalah mereka
yang berkaitan dengan agama Hindu. Selain ketiga kelompok
tersebut, masih ada beberapa tokoh masyarakat secara
perseorangan yang juga dipandang oleh masyarakat, meski
kedudukannya tidak setinggi ketiga kelompok yang disebut
pertama.
Pamong desa, sama seperti desa di wilayah lain, juga
dikepalai oleh kepala desa. Kepala desa dipilih secara langsung oleh
penduduk Desa Wonokitri. Setiap menjelang pergantian, atau
pemilihan kepala desa yang baru, maka ditunjuklah pejabat kepala
desa oleh pemerintah kecamatan. Penunjukkan pejabat kepala
desa ini, biasanya adalah seorang pegawai negeri sipil setempat.
Langkah ini perlu diambil untuk menjamin agar masyarakat tetap
terlayani kebutuhan administrasinya. Penunjukkan ini ternyata
juga memiliki fungsi ganda, sekaligus difungsikan untuk menjadi
panitia pemilihan kepala desa yang baru. Peneliti sempat
memantau proses tersebut pada akhir tahun 2016. Pejabat kepala
desa yang dipilih pada waktu itu adalah perawat yang bertugas di
Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Wonokitri.
Kepala desa, beserta dengan aparat di bawahnya, atau
pamong desa memiliki kedudukan yang penting di masyarakat.

79
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Mereka bertugas mengendalikan jalannya pemerintahan desa.


Menurut pengamatan, tingginya ketokohan pamong desa tidak
hanya karena masyarakat membutuhkannya secara administratif,
tetapi tidak terlepas dari keeratan hubungan secara sosial yang
dibangun bersama-sama dengan masyarakat. Setiap ada
masyarakat yang punya hajat, maka para pamong desa tidak segan-
segan juga turut ambil bagian, seperti layaknya anggota
masyarakat lain.
Kelompok ke-dua adalah mereka yang berkaitan dengan
adat Tengger. Masyarakat Tengger di Desa Wonokitri yang masih
sangat kental akan tradisi, memiliki struktur sosial yang khas
dibandingkan wilayah lain di luar Tengger. Masyarakat Tengger
memiliki tokoh adat yang lebih popular dibanding tokoh
pemerintahan di mata masyarakat. Kelompok adat yang dipimpin
oleh dukun adat, memiliki nilai khusus yang menurut masyarakat
paling tinggi di mata mereka. Hal ini bisa dipahami karena
keterlibatan dukun adat yang melingkupi hampir seluruh siklus
kehidupan masyarakat Tengger. Mulai dari kelahiran, perkawinan,
kehamilan, sampai ke kematian.
Alasan lain yang memperkuat kedudukan atau
kepopuleran dukun adat di mata masyarakat Tengger adalah
karena mereka meyakini bahwa dukun adat dipilih langsung oleh
leluhur dan sesembahan mereka. Dipilih oleh mahluk-mahluk astral
tidak kasat mata yang diyakini ada oleh masyarakat Tengger. Roh-
roh leluhur dan roh-roh para pendahulu pepunden Tengger (anak
keturunan Jaka Seger-Rara Anteng) yang mendiami Bromo,
merupakan sesembahan yang diyakini menentukan seluruh aspek
kehidupan orang Tengger. Kelahiran, jodoh dan kematian,
ditentukan oleh roh-roh leluhur tersebut.
“Kalau menurut saya ini pak, ya pak S**ayadi (dukun adat)
itu pak. Karena ya kan segala urusan sama dia. Mau nikah
juga urusannya sama dia… kedudukannya sangat tinggi
karena kan dukun adat yang memilih itu roh-roh yang

80
Tengger Bertahan dalam Adat

tidak kelihatan. Itu roh-roh penguasa Bromo dan


leluhur…”
(Ker, 40 tahun)
Di mata masyarakat Desa Wonokitri, kepala desa memang
populer di mata masyarakat, tetapi memiliki nilai yang berbeda
dibanding dukun adat. Kepala desa dipilih secara langsung oleh
masyarakat, yang secara kasat mata kelihatan wujud fisiknya.
Kondisi ini berbeda dengan roh-roh yang diyakini memilih dukun
adat secara langsung.
Kelompok adat terdiri dari 4 (empat) strata. Keempat strata
tersebut terdiri dari dukun adat, sanggar, sepuh, dan legen. Secara
umum dukun adat adalah ketua atau pemuncak tokoh adat. Dukun
adat atau pandita dianggap yang paling memahami tentang adat
istiadat Tengger.
Posisi sedikit di bawah dukun ada sanggar.
“(Perbedaannya) kewenangannya Pak S**ayadi (dukun adat) bisa
menikahkan calon. Kalau pak Sanggar, tidak,” jelas Mr. (38 tahun).
Sama seperti dukun, sanggar hanya terdiri dari satu orang. Berbeda
dengan dukun dan sanggar, sepuh dan legen terdiri dari beberapa
orang.
“Kalau sepuh itu staf pak dukun. Jadi bahu suku-nya pak
dukun. Legen itu juga bahu suku-nya pak dukun… Kalau
pak sepuh itu, seperti saya, disuruh sana-disuruh sana
sama pak Dukun, ya… mewakili…”
(Ka, 57 tahun)
Tokoh lain dalam kelompok adat adalah para sepuh. Para
sesepuh ini seringkali dianggap memiliki kelebihan menghapal
mantra Tengger. Mereka dianggap bisa dan sanggup berhubungan
dengan roh-roh penguasa Bromo. Pada konteks ini, bisa menghapal
mantra suci, bukan berarti sanggup mengimplementasikannya. Hal
ini karena diyakini ada risiko besar yang mengikuti saat merapal
mantra suci Tengger.

81
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

“Saya ini hapal mantra-mantra lengkap pak, hanya saja


saya gak berani mempraktikkan. Berat risikonya… Ya kalau
tidak kuat bisa gila atau sakit pak. Pernah ada dulu yang
badannya sampai kurus, habis. Karena mantranya tidak
sembarangan pak.”
(Ker, 40 tahun)
“Siapapun boleh (menghapal mantra) sepanjang dia itu
punya pengalaman di bidang perdukunan. Siapapun
boleh. Katakan saya belajar, terus jiwa dan raga saya
mampu. Kalau ndak mampu itu, ke badan kita itu bikin
kurus, sakit-sakitan. Itu ndak mau menyatu. Tapi kalau kita
itu mampu membawa ilmu tersebut, ya boleh. Mulunen1
atau ujian itu juga boleh. Cuman tidak dilibatkan sebagai
dukun desa, begitu lho. Lah resminya menjadi dukun desa
itu harus walagaran nemohon2 sebanyak tujuh pasang.”
(Mr, 38 tahun)
Posisi tokoh adat paling bawah adalah legen. Legen
memiliki tugas menyiapkan uba rampe (segala rupa) untuk
keperluan ritual Tengger. Secara umum legen memiliki posisi
seperti santri yang nyantrik pada kyai dalam budaya Islam Jawa.
Kelompok tokoh penting ke-tiga di Desa Wonokitri adalah
mereka yang berkaitan dengan agama Hindu, para pemangku pura.
Pemangku pura berperan sebagai tokoh agama Hindu. Pada hari
raya Saraswati, Galungan atau Nyepi, pemangku pura menjadi
tokoh sentral yang memimpin pada acara-acara keagamaan Hindu.
Berbeda dengan kepala desa yang dipilih langsung oleh
masyarakat, atau dukun adat yang dipilih oleh leluhur, maka

1
Mulunen, ujian pada saat seseorang mencalonkan diri menjadi dukun
adat Tengger.
2
Walagaran nemohon: Salah atu syarat untuk mencalonkan diri menjadi
dukun adat Tengger, yaitu mengawinkan pasangan baru sebanyak tujuh
kali atau tujuh pasangan. Pasangan yang dinikahkan harus yang masih
perawan/jejaka, bukan janda/duda.

82
Tengger Bertahan dalam Adat

pemangku pura dipilih oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia yang


berkedudukan terpusat di Pulau Bali.
Pada beberapa kesempatan informan tokoh-tokoh
Tengger sering menyatakan bahwa Tengger ini lebih tua dari Hindu
di Bali. Adat tradisi dan keberadaan orang Tengger lahir lebih dulu
ada sebelum agama Hindu eksis di Pulau Bali.
“Tengger ini ada sebelum jaman Majapahit mas, sedang
Hindu di Bali itu kan ada setelah jaman Majapahit.
Tengger ini lebih dulu ada, sejak (gunung) Bromo itu lahir.
Itu jauh sebelum adanya Hindu Bali. Orang Tengger sudah
Hindu sebelumnya. Orang Tengger kan dari dulu sudah
membuat sesajen untuk para leluhur. Orang-orang
Tengger sudah melakukan pujan (pemujaan) dari sebelum
diminta memilih enam agama oleh pemerintah itu…”
(Sup, 64 tahun)

83
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

84
Bab 3
Keluarga Tengger

Pada bab yang membahas Keluarga Tengger ini diuraikan


beberapa hasil penelitian yang berkenaan dengan keluarga
Tengger. Uraian dibagi menjadi lima tema utama, yaitu: Preferensi
Gender; Dua Anak Cukup; Punya Anak itu Mahal; Usia Awal
Pernikahan; dan Upaya Penjarangan Kehamilan.

A. Preferensi Gender
Pada beberapa suku di dunia, termasuk di Indonesia, ada
kecenderungan lebih mengharapkan hadirnya anak laki-laki
dibanding anak perempuan. Anak laki-laki seringkali diposisikan
lebih tinggi karena latar budaya laki-laki yang diharapkan sebagai
penerus keturunan, membawa nama marga misalnya
(Nurpuspitasari, Mashabi and Muhariati, 2017; Ruslan, 2017b;
Fahmi and Pinem, 2018). Meski juga ada pada beberapa suku lain
di Indonesia juga ditemukan kecenderungan untuk lebih memilih
anak perempuan (Hartati, 2020). Lalu, bagaimana dengan
kecenderungan pada masyarakat Suku Tengger?
“Sama saja pak laki-laki atau perempuan untuk orang
Tengger itu. Dua anak saja, sama dengan orang-orang
tetangga di sini. Nanti juga kan cari anak mantu laki-laki
pak, sama saja…”
(Sur, 44 tahun)

85
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

“Tidak pak. dua anak (laki-laki) ini saja sudah cukup. Ya


nanti kita cari mantu perempuan pak. Hahaha… Kalau di
sini pak, anak laki-laki atau perempuan itu sama saja. Gak
ada bedanya. Nanti juga kan dapat menantu. jadi ya sama
saja…”
(Suw, 25 tahun)
“Ya tidak masalah pak laki-laki atau perempuan, yang
penting anak sudah dua itu cukup. Nanti kan setelah
menikah kita juga dapat menantu laki-laki kalau anak kita
perempuan, demikian juga kalau sebaliknya…”
(Sup, 64 tahun)
“Dulu saya berharap, cuma karena itu adalah rahasia Sang
Hyang Widhi, kan ndak boleh ditawar, harus diterima
karena itu adalah anugrah. Sama kok. Cuman pernah
waktu itu saya berharap, cuma karena Sang Hyang Widhi
itu berkehendak lain tidak apa-apa, karena itu adalah
anugrah. Saya minta laki-laki untuk yang ke-dua.”
(Mr, 38 tahun)
Masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri menganggap
sama saja antara anak laki-laki atau perempuan. Semua informan
menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai kecenderungan
gender dalam memilih anak. Mereka menganggap keduanya sama
saja.
Kecenderungan untuk menyamakan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan dalam tatanan masyarakat Tengger di
Desa Wonokitri tidak hanya sebatas pengakuan, tetapi juga tampak
pada sistem budaya yang berlaku, pada sistem atau hukum waris
misalnya. Pembagian warisan orang tua Tengger pada anak-
anaknya sam sekali tidak membedakan antara anak laki-laki atau
perempuan. Keduanya dianggap memiliki kedudukan dan hak yang
sama dalam soal pembagian warisan. Apabila anak laki-laki
mendapatkan warisan sepetak tanah, maka anak perempuan juga
mendapat sepetak tanah yang memiliki nilai sama.

86
Tengger Bertahan dalam Adat

“Sama saja pak. kalau orang Tengger itu gak ada bedanya
pak, sama saja (anak) laki-laki atau perempuan. (Soal
warisan) Iya pak sama saja kalau di sini, beda dengan
orang Hindu yang di Bali sana. Kalau di sini semua sama
saja…”
(End, 29 tahun)
Meski demikian, ditemukan juga perbedaan soal perlakuan
pada anak. Secara empiris ada kecenderungan yang berkaitan
dengan urutan lahir anak. Antara anak pertama dan kedua, antara
yang mbarep dan ragil. Hal ini berkaitan dengan keberadaan orang
tua pada saat sudah sangat tua nanti, akan ikut siapa mereka
nantinya? Meski juga di sisi lain mereka mengaku hal tersebut
sangat situasional, tergantung pada kondisi orang tua dan besan.
“Kalau saya ikut anak yang ragil pak… Lha yang mbarep
sudah ikut suaminya pak. Ikut tinggal di rumah
mertuanya…”
(Le, 40 tahun)
“Tidak ada pak. kalau di sini ya tergantung kondisi saja,
juga tergantung orang tua yang mertua juga. kalau
anaknya cuma satu ya kan ikut sana.”
(End, 29 tahun)
“Sama saja. Cuman perbedaan… perbedaannya cuman
apa ya… kalau nggak anak yang terakhir, anak yang
pertama, itu aja.”
(Supa, 67 tahun)
Pada beberapa kesempatan sering ditemukan bahwa
orang tua Tengger di Desa Wonokitri memang ikut pada keluarga
anak ragil. Ternyata kondisi ini ditemukan bisa terjadi secara tidak
disengaja. Ada aturan desa tidak tertulis, yang menyebabkan anak
mbarep, yang biasanya menikah duluan, harus pergi meninggalkan
rumah induk terlebih dahulu, sehingga menyisakan anak ragil di
rumah.
“Itu kan kalau anaknya dua, sudah berumah tangga
semua, maka sudah dibuatkan rumah untuk anak satunya.

87
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Aturan di sini tidak boleh dalam satu rumah ada tiga


kepala rumah tangga. Jadi dibuatkan rumah satu lagi. Iya
pak… di sini begitu. orang tua sudah menyiapkan satu
rumah baru. jadi yang tinggal di rumah hanya yang
satunya lagi…”
(Sur, 32 tahun)
“Dulu punya anak dua, misalnya. Sekarang ikut siapa?
Orangtua itu ikut siapa? Istilahnya itu, kalau orang sini itu
anak yang bungsu tadi, Ragil namanya. Itu yang istilahnya
dikeloni orangtua.”
(Ka, 57 tahun)
Tetapi menurut masyarakat Tengger di Desa Wonokitri hal
tersebut tetap saja berlaku situasional. Keputusan akhir tetap harus
didiskusikan bersama, karena situasi ini menyangkut dua sampai
tiga keluarga, antara keluarga orang tua dan keluarga besan anak
mbarep dan besan anak ragil.

B. Memiliki Dua Anak


Pepunden masyarakat Suku Tengger adalah pasangan Joko
Seger dan Rara Anteng, yang hingga akhir hayatnya rumah tangga
mereka memiliki 25 anak. Kondisi memiliki banyak anak juga ditiru
oleh rumah tangga atau keluarga Tengger, setidaknya sampai dua
generasi sebelum saat ini. Dua generasi terakhir secara empiris
keluarga Tengger seringkali ditemukan hanya memiliki satu-dua
anak saja.
Kondisi yang berlangsung saat ini sesuai dengan program
pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dengan
membatasi jumlah anak hanya sampai dua anak saja pada satu
keluarga. Program yang lebih dikenal sebagai program Keluarga
Berencana (KB) ini menjadi program nasional yang sangat gencar
disosialisasikan sejak jaman pemerintahan Presiden Soeharto. Hal
yang juga pada akhirnya diadopsi oleh masyarakat Suku Tengger di
Desa Wonokitri.

88
Tengger Bertahan dalam Adat

“Ya dua saja sudah cukup pak, seperti tetangga-tetangga.


Orang sini ini rata-rata ya dua pak. Ya ada yang tiga
beberapa, tetapi ya seringnya karena kebrojolan…”
(Pu, 21 tahun)
“Ya kita sesuai saran pemerintah saja pak. Kan juga biar
tanahnya cukup pak buat anak cucu…”
(Si, 60 tahun)
Secara empiris jarang ditemukan keluarga inti yang
memiliki anak lebih dari dua orang. Rata-rata keluarga Suku
Tengger di Desa Wonokitri memiliki satu-dua orang anak saja.
Kalaupun ditemukan yang memiliki jumlah anak lebih dari dua,
seringkali adalah keluarga senior (berumur di atas 50 tahun), atau
keluarga muda yang mengaku kebrojolan. Kehamilan yang tidak
direncanakan, atau tidak disengaja, karena ada sesuatu hal di luar
prediksi.
“Yang pertama 21 tahun pak. kemudian yang ke-dua 16
tahun. dan yang kecil ini baru 1 tahun… Kebrojolan pak.
Hehehe… Iya pak. saya pakai KB suntik, itu pas lupa jadwal
suntik.”
(Eni, 35 tahun)
“Ya salah saya sendiri, saya kelupaan. Waktu itu disini
(Bromo) lagi ramai pak. Wong ya rejeki lagi banyak, ya
saya sampai menginap tidur disini pak sama suami saya.
Lha itu saya kelupaan, saya kira tanggal 26, padahal
harusnya tanggal 16. Tahu-tahu sudah besar pak. Karena
saya ndak tahu kalau lagi hamil, ya saya tetap saja suntik
KB itu pas hamil.”
(Ri, 35 tahun, pemilik warung di lokasi wisata)
Secara praktis masyarakat Suku Tengger memiliki alasan
tersendiri dengan jumlah anak yang sedikit. Situasi ini berkaitan
dengan mata pencaharian orang Tengger sebagai seorang petani
kebun atau peladang. Mata pencaharian yang mengharuskan
hampir seluruh waktu kerja yang dimiliki untuk selalu berada di
kebun.

89
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

“Ya biar gak repot pak. Kan harus ke kebun juga. Kalau
sekarang kakaknya sudah bisa ikut bantu-bantu momong
juga. Dimomong neneknya juga…”
(Sr, 28 tahun)
“Gak (nambah) pak. Ruwet pak! Ya itu… momongnya.
Ruwet, repot. Semua dibawa ke kebun. Biaya susunya juga
mahal…”
(SrN, 55 tahun)
Alasan yang diutarakan cukup masuk akal. Membawa serta
anak-anak ke kebun menjadi sangat merepotkan. Kondisi yang
demikian terutama bagi keluarga yang memiliki anak lebih dari
satu.
Alasan lain memilih untuk hanya membatasi jumlah anak
dua saja juga sempat diutarakan oleh masyarakat Suku Tengger di
Desa Wonokitri. Pertimbangan yang jauh ke depan menjadi alasan
tersendiri bagi orang Tengger. Pertimbangan ini sebagai dasar yang
sangat filosofis untuk memilih membatasi jumlah kelahiran.
“Iyaa sekarang tanahnya masih cukup pak. Kalau anaknya
banyak kan takutnya anak cucu malah kekurangan…”
(Mar, 45 tahun)
“Saya itu pernah mendengarkan cerita dari kakek nenek
saya dulu, ada pepatah mengatakan dulu banyak anak,
ngumpul ndak ngumpul sing penting makan, kan gitu.
Kalau sekarang banyak anak, ngumpul ndak ngumpul sing
penting makan, ya cari makannya itu darimana? Dan juga
nanti untuk kedepannya kalau dia itu sudah berkeluarga
dari lapangan pekerjaan itu tadi, mata pencaharian orang
Tengger bercocok tanam tani itu tadi, lahannya
berkurang.”
(Mr, 38 tahun)
“Ya dua anak itu juga untuk alasan ekonomi, supaya
tanahnya cukup, untuk masa depan anak-anak kita. Kalau
dulu itu anaknya banyak-banyak mas, tapi sekarang itu
rata-rata dua saja. Masyarakat Tengger ini menyadari soal

90
Tengger Bertahan dalam Adat

lahan yang semakin menyempit, harus berpikir tentang


masa depan anak-anak...”
(Ad, 31 tahun)
Masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri yang secara
keseluruhan menggantungkan hidup dari bertani menyadari bahwa
ada keterbatasan lahan pertanian. Jumlah lahan pertanian tetap,
tetapi secara jumlah manusianya terus bertambah. Maka harus ada
upaya membatasi kelahiran untuk menjaga keseimbangan antara
jumlah manusia dan lahan pertanian.
Selain alasan praktis dan jangka panjang yang berterkaitan
dengan lahan pertanian, ada argumentasi lain juga dilontarkan
masyarakat Suku Tengger untuk membatasi jumlah anak hanya dua
orang saja. Alasan ini berkaitan dengan masa depan Suku Tengger
secara keseluruhan. Alasan yang lebih mendasar dan filosofis
dibanding alasan-alasan sebelumnya.
“Iya pak sudah cukup gini aja, biar tanahnya cukup buat
anak-anak, biar bisa menghidupi anak-anaknya nanti juga.
Kita kan pinginnya anaknya di sini (di Wonokitri) semua.
kalau anak-anak ke pergi keluar takutnya meninggalkan
leluhur. Belum tentu juga kan setahun sekali mereka bisa
pulang… kalau tinggal di Kalimantan misalnya… Yaa.. biar
adatnya juga tetap terjaga pak…”
(Bud, 47 tahun)
Keyakinan yang dianut dan dipegang teguh oleh
masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri bersumber pada
leluhur, baik leluhur yang berasal dari anak keturunan Joko Seger
dan Rara Anteng, maupun leluhur kakek buyut mereka sendiri.
Keluar dari wilayah seputar Bromo, maka artinya sama dengan
meninggalkan tanah leluhur Tengger.
Masyarakat Tengger di Desa Wonokitri takut kondisi yang
demikian, karena sangat berpotensi memutus keberlangsungan
masyarakat adat Tengger. Pada akhirnya, ketakutan akan terputus
dan punahnya adat Tengger inilah yang mendorong masyarakat

91
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Tengger di Desa Wonokitri membatasi hanya akan memiliki dua


anak saja.
Orang Tengger tidak bisa dilepaskan dengan tanah
leluhurnya. Terutama pada saat-saat orang Tengger merasa sudah
waktunya harus sembahyang. Ritual dilakukan dengan sekedar
melakukan puja, atau nyadran ke pelinggih, atau nyadran ke
makam leluhur.
“Tapi pengalaman yang pernah saya rasakan. Saya kan
pernah merantau ke Makasar, Sulawesi Selatan. Tiga kali
saya naik pesawat (untuk pulang) walaupun seperti ini
hidup saya sekarang. Satu kali, kapal. Pas pernah
merantau ke Makasar. Kayaknya kalau Jumat Legi
walaupun cuman dalam batin saya, saya sebut aja, saya
batin aja, kayaknya nggak enak. Padahal kan kita kan
sudah di luar daerah. Ya istilahnya gini, bapak ibu saya
ndak bisa ke makam, saya mohon doa restu, saya cari
kerja disini, doakan, bisa dapat rejeki. Nanti kalau saya
pulang, saya akan ziarah ke makam.”
(Mar, 38 tahun)
“…kalau Jum’at manis ya berkunjung ke makam. Berdo’a
di makam… sambil bawa sajen. Itu sudah turun-temurun
begitu…”
(Mu, 40 tahun)
Ada ketidaktenangan saat secara fisik jauh dari tempat roh-
roh leluhur bersemayam. Mereka pada saat di perantauan hanya
bisa semadi, merapal mantra, menyebutkan nama leluhur. Tetapi
tetap saja merasa ada kekurangan yang dirasakan, ada
ketidakpuasan yang diakui terselip di dalam hati.

C. Memiliki Anak Itu Mahal


Bagi masyarakat Suku Tengger pada saat berniat memiliki
anak, maka juga harus memikirkan konsekuensinya. Konsekuensi
yang dimaksudkan disini adalah soal biaya. Biaya tidak hanya

92
Tengger Bertahan dalam Adat

menyangkut soal membesarkan anak, tetapi lebih pada ritual


Tengger yang seringkali berkaitan dengan prestis keluarga.
Masyarakat Suku Tengger mengenal upacara atau ritual
among-among, yaitu selamatan untuk bayi yang baru lahir. Among-
among, yang biasa juga disebut sebagai kekerik, dilaksanakan pada
saat 40 hari pasca persalinan. Meski biaya yang dibutuhkan untuk
upacara among-among tidak ada standar khusus, tetapi realitas
kebiasaan yang berlangsung selama ini membutuhkan biaya yang
tidak sedikit.
Upacara atau ritual semacam kekerik atau among-among
bukan hanya sekedar menjadi kebutuhan bagi orang Tengger.
Ritual tersebut merupakan kebutuhan spiritual dalam memenuhi
dharmanya kepada leluhur. Upacara semacam kekerik menjelma
menjadi tidak hanya sekedar seremonial ritual belaka, tetapi juga
merupakan simbol ke-Tengger-an dan status sosial (prestis) bagi
orang tengger.
“Iya pak. Dua-duanya (anak saya) pakai acara among-
among. Wah lupa saya pak, sudah lama sekali… Ya
perkiraan waktu itu habis 10 jutaan lah pak. (Kalau
sekarang) Wah ya jauh lebih mahal pak!”
(De, 33 tahun)
“Wah sudah lama yaa… waktu itu saya habis 20 jutaan. Itu
pas-pasan lho yaa. Kalau sekarang ya bisa 30-40 jutaan.
Tapi saya tidak, saya yang pas-pasan saja, yang 20
jutaan…”
(SrN, 55 tahun)
“Pada saat itu ya sekitar 5 jutaan pak. Itu sebelas tahun
lalu. (Kalau sekarang) Ya bisa 10-15 juta pak!”
(Su, 44 tahun)
“Waktu itu kira-kira saya habis 10 jutaan pak. Kalau
sekarang ya bisa lebih 15 jutaan pak…”
(End, 29 tahun)

93
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Masyarakat Tengger mengaku bahwa tontonan favorit


yang biasa diundang untuk pesta, termasuk pesta among-among,
adalah kesenian tayuban. Biaya untuk mendatangkan seorang
penari tayub dalam sehari-semalam per orang rata-rata
membutuhkan biaya tiga sampai empat juta. Sementara itu,
minimal ada empat penari tayub yang didatangkan.
“Lha pak IK itu malah sampai ada 16 penari pak yang
didatangkan…”
(Sub, 38 tahun)
IK merupakan salah satu orang kaya di wilayah Tengger.
Pengakuan ini juga dibenarkan oleh dua informan lainnya. Besarnya
rincian biaya untuk mengundang penari tayub yang disebutkan,
belum termasuk biaya paket lengkap gamelan pengiringnya.
“Kalau untuk among-among wajibnya sih ya hanya untuk
sesajen saja pak. Itu isinya ada pisang, ayam (ingkung),
dan nasi lengkap begitu… yaa sekitar 50 ribu laah. Yang
habis biaya banyak itu kan yang untuk ngundang-
ngundang itu… sama tontonannya. Ada yang ngundang
tayuban, wayang topeng, atau electone dan dangdutan…”
(Ser, 39 tahun)
Orang Tengger mengaku bahwa sebenarnya upacara atau
ritual kekerik bisa dilakukan secara sederhana, tidak ada kewajiban
untuk melakukan upacara kekerik besar-besaran. Meski demikian
realitas yang nampak adalah acara kekerik yang sangat mewah.
Karena di mata orang Tengger, besarnya upacara kekerik yang
dilangsungkan merupakan simbol sosial atau prestis bagi
kedudukan mereka di masyarakat setempat.
Bagaimana bila upacara kekerik atau among-among tidak
dilaksanakan untuk anak yang dilahirkan? Menurut keyakinan
orang Tengger akan ada sesuatu bala (bencana) yang akan terjadi
menimpa si anak. Kalau tidak saat ini, bisa jadi suatu saat dalam
hidupnya akan mengalami bala tersebut.

94
Tengger Bertahan dalam Adat

“Iya mas, kalau menurut saya ya. Seandainya ada bayi


lahir itu tanpa diupacarakan, mungkin ntah kapan, ntah
lebih dewasa mungkin ada saja sesuatu, gitu lho...”
(Ka, 57 tahun)

D. Usia Awal Pernikahan


Rata-rata usia awal pernikahan di Desa Wonokitri yang
berlaku pada saat ini ada pada usia lulusan Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA), atau pada kisaran umur 18-20 tahun. Meski
jarang ditemukan, usia awal pernikahan bisa menjadi lebih muda
saat sepasang remaja ditemukan sudah mengalami hamil di luar
pernikahan. Sementara itu, usia awal pernikahan juga ditemukan
menjadi lebih berumur saat seorang remaja menempuh pendidikan
di luar wilayah.
“Seperti halnya mbak Sh**ta, orangtuanya itu menuntut
mbak Sh**ta itu harus lulus kuliah, dia juga buruh tani,
ada ini, hamil di luar nikah. Itu yang solusinya itu masih
belum dapat. Bagaimana bikin warga kita itu biar jera
daripada perkawinan usia dini tersebut. Lah kita itu mau
memasukkan dalam Perdes, yang namanya sanksi, (tapi)
kalau sanksi adat tetap ada.”
(Mr, 38 tahun)
Secara adat, ada sanksi untuk terjadinya kehamilan di luar
nikah. Sanksi diterapkan karena kehamilan di luar pernikahan
adalah aib, diartikan bahwa pasangan tersebut telah mengotori
desa. Dengan alasan itu maka pasangan yang melakukan perbuatan
kotor tersebut harus dihukum dengan ngepras. Ngepras adalah
ritual bersih desa dengan membuat sesaji untuk melebur. Melebur
dosa karena telah mengotori desa dengan perilakunya.
Secara umum satu tahun pasca pernikahan normal
biasanya pasangan baru Tengger tersebut sudah mengalami
kehamilan dan memiliki anak pertama. Seringkali tak berselang
lama, satu-dua tahun kemudian, di ibu muda kembali mengalami

95
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

kehamilan anak yang ke-dua. Kondisi seperti ini ditemukan biasa


terjadi pada pasangan generasi terakhir di Desa Wonokitri. Setelah
memiliki dua anak, baru mereka memutuskan untuk menggunakan
kontrasepsi. Pasangan ini masih pada kisaran umur 23-25 tahun,
usia yang masih sangat produktif untuk urusan reproduksi, tetapi
pasangan di Desa Wonokitri lebih memilih mengakhiri masa
reproduksinya.

E. Program Keluarga Berencana dan Upaya


Penjarangan Kehamilan
Hasil wawancara menemukan bahwa program Keluarga
Berencana (KB) masuk ke wilayah Desa Wonokitri pada kisaran
tahun 1980-1981. Inisiasi program KB ini yang mengubah kebiasaan
keluarga Suku Tengger menjadi memiliki anak dua saja. Inisiasi
program KB diawali dengan sosialisasi, dimulai dari datangnya
petugas KB dari Kecamatan Tosari, yang didukung dengan
kehadiran bidan desa setempat dan juga kepala desa.
“Itu dulu pak kepala desa yang dulu pak. Namanya pak
Djojorejo, itu kepala desa ke… empat periode sebelum
yang sekarang pak. (Motivasinya) Ya dibilang supaya lahan
pertanian di sini tetap cukup untuk anak cucu kita…”
(SrN, 55 tahun)
Alasan yang diutarakan dalam inisisasi program KB adalah
untuk kecukupan lahan pertanian bagi masyarakat setempat.
Penjelasannya cukup meyakinkan dan masuk di akal bagi
masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri. Alasan itulah yang
membuat mereka antusias untut mengikuti program KB.
Antusiasme ini semakin kuat ketika Dukun Adat setempat, selaku
tokoh utama di desa, langsung memutuskan untuk mengikuti
program KB dengan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP).
“Oh iya, semua yang sudah mempunyai anak dua rata-rata
ikut ber-KB. Iya, istri saya langsung saya suruh ikut ber-KB,

96
Tengger Bertahan dalam Adat

waktu itu ikut yang steril… ya orang sini memandang hal


tersebut baik ya, makanya mau mengikuti ajakan
tersebut. Masyarakat memikirkan soal lahan untuk masa
depan anak-anaknya.”
(Sup, 64 tahun)
Lebih lanjut, berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh
utama adat Tengger tersebut diinformasikan bahwa sebelumnya
memang tidak ada metode kontrasepsi tradisional khas Tengger
untuk menunda kehamilan. Upaya penundaan kehamilan yang ada
di Desa Wonokitri semuanya menggunakan metode kontrasepsi
modern. Kondisi tidak menjadi hambatan, karena didukung dengan
adanya pelayanan program KB yang disediakan oleh pemerintah di
Puskesmas Pembantu Wonokitri.
Pemanfaatan alat kontrasepsi pada program KB di Desa
Wonokitri pada saat ini telah berkembang. Beberapa pasangan
ditemukan mengaku menggunakan alat kontrasepsi tidak hanya
untuk mengakhiri masa reproduksi, tetapi juga untuk
menjarangkan kehamilan. Ditemukan adanya pasangan yang
menunda kehamilan anak ke-dua sampai dengan enam tahun
setelah kelahiran anak pertama. Pasangan Tengger ini mengaku
bahwa memang mereka menginginkan hal tersebut, selain juga
adanya motivasi dari bidan desa yang melayani pelayanan
kebidanan di wilayah tersebut.
“Ya nanti pak (punya anak lagi). Maunya berjarak 5 tahun
ke atas lah pak… Iya pak... Bu W**an (bidan) memang juga
memotivasi ibuk-ibuk di sini juga untuk menjarangkan
anaknya.”
(Ni, 24 tahun)
“Itu (anak saya) yang pertama 18 tahun pak, yang nomor
dua 11 tahun… Ya direncanakan pak. saya pakai KB. Saya
dulu pakai KB suntik setelah anak yang pertama…
sekarang saya sudah ganti pakai IUD.”
(Ku, 38 tahun)

97
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

“Iya pak, memang direncanakan seperti itu (penjarangan).


Setelah yang pertama mulai masuk ke TK, baru
direncanakan lagi. Ya biar gak repot pak. seperti ini kan…
kakaknya bisa ikut bantu momong.”
(Tat, 24 tahun)
“Jadi begini pak, habis melahirkan anak yang pertama saya
minum pil KB. Dua tahun kemudian saya berhenti minum
pil KB itu, saya program punya anak lagi. Satu tahun
kemudian baru hamil anak yang ke-dua…”
(De, 33 tahun)
Situasi penjarangan kehamilan ini tidak hanya ditemukan
pada mereka yang sudah mendekati masa menopouse. Kondisi
yang sama juga ditemukan pada pasangan yang lebih muda. Pada
saat ini sebuah kondisi yang sangat lumrah menemui keluarga
Tengger dengan jumlah anak dua, dengan anak mbarep dan ragil
berjarak lebih dari lima tahun.

F. Ketersediaan Pelayanan, Kematian Anak, dan


Pola Mendapatkan Keturunan
Saat penelitian dilakukan, sudah tersedia fasilitas
pelayanan kesehatan modern di wilayah penelitian di Desa
Wonokitri, yaitu sebuah Puskesmas Pembantu. Sementara itu
Puskesmas Induk Tosari juga tersedia dalam jarak yang masih
terjangkau, sekitar 4 kilometer. Puskesmas induk ini berdiri di pusat
kecamatan.
Di wilayah Desa Wonokitri juga ada tenaga kesehatan,
bidan dan mantri, yang berpraktik mandiri di rumah pada saat di
luar jam kerja. Di sisi lain juga tersedia beberapa tetua adat yang
bisa menjadi pengobat (biasa disebut sebagai dukun), dan dukun
adat. Dukut adat hanya ada satu. Dukun adat adalah pemimpin ada
Suku Tengger pada satu desa adat yang menjadi pemimpin seluruh
kegiatan ritual utama Suku Tengger di wilayah tersebut.

98
Tengger Bertahan dalam Adat

Tiga tahun terakhir, menurut keterangan salah satu


informan tokoh pemerintahan, tidak ditemukan kematian anak di
Desa Wonokitri. Keterangan berbeda disampaikan oleh informan
tenaga kesehatan yang berdinas di Puskesmas Pembantu Desa
Wonokitri, yang juga biasa melayani pasien dari desa sebelah (Desa
Sedang), karena akses yang cukup mudah. Menurut informan
tenaga kesehatan tersebut, tercatat pernah ada kematian anak
pada bulan Maret tahun 2019. Kematian anak tersebut disebabkan
karena adanya kelainan kongenital. Pasien anak tersebut sempat
dirujuk dan ditangani oleh rumah sakit di Kota Pasuruan.

1. Gangguan Sakit dan Tidak Memiliki Keturunan


Tidak memiliki keturunan, diasumsikan sama
dengan kondisi sakit bagi orang Tengger. Ada dua penyebab
gangguan sakit dan tidak memiliki keturunan yang diyakini oleh
masyarakat Suku Tengger. Pertama, orang Tengger meyakini
kebenaran penyebab secara fisik dalam sistem pengetahuan medis
modern. Sakit secara fisik ini bisa disebabkan karena
keturunan/herediter, virus, bakteri, keracunan, atau karena
kecelakaan. Kedua, orang Tengger juga meyakini penyebab sakit
dalam pengetahuan sistem medis lokal yang dimilikinya.
“Tapi terkadang itu gini, medis pun juga tidak kita lupakan.
Karena kita ini sudah mengikuti era, jaman, canggih kan.
Medis itu juga kita ikuti, berhubungan dengan obat-
obatan. Magic pun juga sama, magic. Kan ada kan,
percaya sih tergantung masing-masing kan, si kecil itu
panas saya bawa ke orang pinter, paranormal...”
(Mar, 45 tahun)
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa menurut
masyarakat Suku Tengger ada beberapa gangguan atau penyakit
yang disebabkan oleh terusiknya yang mbahureksa (menguasai)
suatu tempat tertentu. Gangguan ini didapatkan karena si sakit
pernah berbuat sesuatu yang tidak sesuai kesopanan. Atau bahkan

99
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

hanya karena sekedar melewati tempat yang ada mbahureksa-nya


tersebut.
Penyebab sakit secara non fisik juga bisa disebabkan
karena ada leluhur yang sedang “kangen”. Orang Tengger meyakini
bahwa roh leluhurnya menginginkan si sakit untuk melakukan
pujan (berdoa) untuknya. Menyajikan sesajen di pelinggih
(semacam padmasari, tempat pujan, pada orang Hindu Bali), yang
dipersembahkan untuk leluhur.
“Itu kalau sakit pusing atau sakit apa karena habis lewat
jalan yang jarang dilewati orang, yang bagaimana gitu…
atau bisa juga jalan yang rame juga… Itu minta obat ke pak
dukun. nanti dikasih japa (mantra) atau minum apa gitu…”
(Ni, 37 tahun)
“Mbah, si kecil ini sakit, coba dicari kenapa? Jadi sudah
baca-baca mantra, oh anu mas, Eyangnya (sudah
meninggal) pulang. Terus ke Ac*a - nama anak saya yang
kecil itukan Ac*a - ke Ac*a, Eyangnya pulang…”
(Mar, 45 tahun)
Secara spesifik, sakit karena leluhur yang kangen juga
diakui dirasakan oleh orang Tengger saat sudah beberapa waktu
terlena karena sesuatu hal, sehingga mereka abai pada leluhur.
Mereka tidak melakukan ritual rutin nyadran, tidak melakukan
pujan, atau menyerahkan sesajen di pelinggih. Nyadran adalah
ritual rutin orang Tengger, biasanya dilakukan Jum’at Legi3.
Nyadran dilakukan dengan berziarah mengunjungi makam leluhur,
atau sekedar mempersembahkan sesajen di pelinggih.
“Saya saja setiap Jum’at Legi nyadran (ziarah) ke makam
orang tua, kalau itu tidak saya lakukan maka bulan
berikutnya itu rasanya badan sakit-sakitan, dan nyari

3 Jum’at Legi merupakan kombinasi hari dalam penanggalan Masehi dan


penanggalan Jawa. Jum’at Legi dalam hitungan kalender Masehi akan datang
setiap 36 hari sekali.

100
Tengger Bertahan dalam Adat

makan aja susah pak. Itu kepercayaan kami pak, leluhur


itu jangan sampai diabaikan.”
(Adi, 31 tahun)
Secara non fisik, sebuah gangguan atau sakit juga bisa
disebabkan oleh karena terlalu berat menanggung “ilmu” (ngelmu).
Gangguan jenis ini secara khusus menimpa orang Tengger yang
kabotan ngelmu, tidak kuat menanggung ilmu, karena tengah
serius belajar, atau mendalami, atau menjalani laku ilmu untuk
menjadi dukun Tengger. Beberapa informan mengaku pernah
mengalami gangguan kenis ini.
“Siapapun boleh (belajar ilmu dukun). Katakan saya
belajar, terus jiwa dan raga saya mampu. Kalau ndak
mampu itu, ke badan kita itu bikin kurus, sakit-sakitan.”
(Mar, 45 tahun)
“Ya kalau tidak kuat bisa gila atau sakit pak. Pernah ada
dulu yang badannya sampai kurus, habis. Karena
mantranya tidak sembarangan pak.”
(Ker, 40 tahun)
Masih tersisa kemungkinan ke-tiga penyebab
sakit/gangguan dalam sistem pengetahuan medis lokal. Sebuah
gangguan semacam tidak memiliki keturunan atau sakit juga bisa
disebabkan oleh kedua penyebab tersebut secara bersamaan. Pada
kondisi seperti ini diyakini bahwa si sakit harus berobat pada tenaga
kesehatan dan dukun secara bersamaan. Secara umum, penyebab
sebuah keluarga Suku Tengger tidak mempunyai keturunan
memiliki kesamaan dengan pemahaman orang Tengger tentang
penyebab sakit.

2. Jasa Pelayanan Pengobatan: Modern vs. Tradisional


Ada perbedaan mendasar secara umum pada tarif jasa
pelayanan antara tenaga medis modern dengan dukun adat yang
berlaku pada masyarakat Suku Tengger. Tarif jasa pelayanan

101
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

berobat ke tenaga medis modern lebih terstandar, baik ke fasilitas


pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah, maupun ke praktik
pribadi tenaga kesehatan.
“Wah itu… kalau sembuh baru bayar. Bukan bayar juga
namanya pak. Istilahnya nyaur slametan. jadi ucapan
syukur karena sudah sembuh. Jadi semacam janji kalau
sudah diberi kesembuhan… kalau bahasa sini sarine
gedang ayu. Jadi (buat) sajen itu ada sarine gedang ayu…
ada uangnya… 10 ribu, 5 ribu, bisa juga cuman seribu…”
(Bud, 47 tahun)
“Kita itu sudah dari rumah si dukun itu tadi. Setelah dari
dukun kan, dikasih kemenyan kan. Asapnya itukan kita
gini'in, kita usapkan ke muka atau ke perut, besok atau
lusa itu ya sembuh. Berarti kita punya hutang untuk nyaur
(membayar janji derma) itu tadi…”
(Ni, 37 tahun)
Menurut pengakuan informan, orang Tengger yang
berobat ke dukun adat tidak dikenakan tarif tertentu yang dipatok.
Orang Tengger yang berobat tidak perlu membayar secara
langsung. Si pasien cukup meniatkan atau berjanji pada dirinya
sendiri, bahwa akan mendermakan sesuatu apabila memperoleh
kesembuhan. Tidak ada standar untuk besaran derma ini, termasuk
yang akan diberikan pada dukun adat sebagai pengobat.

3. Perilaku Mencari Pengobatan dan Keturunan


Perilaku untuk mencari pengobatan dan solusi untuk
mempunyai keturunan pada Suku Tengger bergantung pada
keyakinan penyebab sakit yang diderita. Meski pada saat pertama
orang Tengger yang sakit sudah meyakini salah satu sebab dia tidak
memiliki keturunan atau gangguan sakit, seiring berjalannya waktu
keyakinan tentang penyebab tersebut bisa berubah sesuai kondisi
yang ada atau pengalaman yang dirasakan.

102
Tengger Bertahan dalam Adat

“…kadang berobat ke pak M**no (mantri) sampai 3 kali


gak sembuh-sembuh, baru kemudian ke pak dukun…”
(Mar, 45 tahun)
Kondisi ini ditemukan pada saat seseorang mengaku sudah
berobat dengan frekuensi yang dirasa cukup banyak, seringkali
sebanyak tiga kali, dan ternyata tidak menemukan kunjung hamil
atau mengalami kesembuhan. Pada kondisi tersebut dimungkinan
terjadi pertukaran penyebab yang diyakini. Situasi ini bisa terjadi
diantara kedua penyebab gangguan yang diyakini oleh Suku
Tengger, baik penyebab fisik maupun non fisik.
Ada sebuah temuan lapangan yang menarik, bahwa dukun
adat Tengger tidak hanya melayani permintaan dari masyarakat
Suku Tengger. Pada beberapa kesempatan, dukun adat Tengger di
Desa Winokitri didatangi pasangan bukan Suku Tengger, dan
berasal dari luar wilayah Tengger. Pasangan tersebut meminta
didoakan agar memiliki keturunan.
“Bahkan orang Jogja dulu minta jodoh dengan saya ini pak,
orang Jogja itu. Orang Jogja itu udah kawin dapat 5 tahun
nggak punya keturunan. Dia itu minta keturunan kan itu,
pak. Saya beri doa, saya bawain, satu tahun disini udah
gendong bayi, anaknya.”
(Su, 67 tahun)

4. Bagaimana bila tidak mempunyai anak?


Beberapa kasus dalam rumah tangga masyarakat
Suku Tengger juga ditemukan orang tua yang tidak memiliki anak
sampai dengan akhir hayatnya (mandul). Penulis tidak menemukan
rumah tangga tanpa anak yang disebabkan kematian seluruh anak
mereka. “Yang kita pikirkan cuma satu, nanti kalau sudah tua siapa
yang merawat kita. Bahasa Tenggernya, sopo sing ngrumati awak
dewe, gitu…” (Mar, 45 tahun).

103
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Pada kondisi orang tua yang tanpa memiliki keturunan


maka tidak ada aturan baku yang menentukan tentang siapa yang
akan merawat pada saat tua. Secara empiris pasangan suami-istri
Tengger yang sudah sangat tua tanpa memiliki anak masih hidup
dalam satu rumah sendiri. Sementara juga ditemukan pasangan
sepuh Tengger lainnya yang memilih ikut keponakan atau saudara
dekat lainnya. Situasi ini tidak menjadi persoalan yang besar,
karena rata-rata mereka masih tinggal berdekatan dengan
saudaranya yang lain (misalnya sepupu), sehingga masih bisa
mendapatkan bantuan saat membutuhkan.

104
Bab 4
Makna Ukuran Keluarga Kecil Tengger

Pada bab ini akan dibagi menjadi 5 tema bahasan yang


disajikan secara berurutan. Bagian pertama “Konservatif, tapi
Menerima Modernisasi”; Bagian ke-dua “Berbeda-beda tetapi
Tengger Jua; Bagian ke-tiga “Mata Pencaharian, Kecukupan Lahan,
dan Strategi Adaptasi”; Bagian ke-empat “Implementasi Ukuran
Keluarga”; Bagian ke-lima “Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku
Tengger”; Bagian ke-enam “Identitas Kesukuan dan Kesehatan
Mental”; Bagian ke-tujuh “Temuan Baru”; dan bagian ke-delapan
“Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian”.

A. Konservatif, tapi Menerima Modernisasi


Secara umum pandangan tentang masyarakat Suku
Tengger adalah bersifat konservatif. Pandangan ini berkaitan erat
dengan keberlangsungan suku mereka (ethnic survival).
Masyarakat Suku Tengger cenderung untuk bersikap
mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang sudah
berlaku secara turun menurun sejak jaman Majapahit. Sementara
secara empiris juga ditemukan bahwa masyarakat Suku Tengger
mau menerima nilai modernisasi tentang program keluarga
berencana, yang diwujudkan dalam ukuran keluarga yang kecil.
Berdasarkan hasil wawancara tidak ada informasi tentang ramuan
atau metode pengendalian kehamilan secara tradisional yang
dipergunakan oleh masyarakat Tengger sebelumnya. Seluruh
informan, baik tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan,
sampai dengan masyarakat biasa Tengger, mengaku bahwa yang
mereka pergunakan untuk mengendalikan kehamilan adalah
dengan memanfaatkan alat kontrasepsi modern. Ketersediaan alat

105
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

kontrasepsi modern ini didukung penuh pemerintah dengan


disiapkan melalui bidan di Pustu Wonokitri.
Setidaknya ada dua pilihan ketika sebuah entitas suku
memilih untuk bersikap konservatif sehubungan dengan
modernisasi untuk mempertahankan nilai-nilai dalam
kesukuannya. Pertama, memilih untuk ada kompromi terbatas
dengan modernisasi. Kedua, memilih untuk mengambil jarak
dengan modernisasi. Masyarakat Suku Tengger menentukan
dengan memilih pilihan yang pertama.
Fenomena ini menarik, konservatif tetapi tidak alergi
dengan modernisasi. Sebagai salah satu entitas sosial, masyarakat
Suku Tengger mau tidak mau ikut terkena dampak dari semakin
mengglobalnya dunia. Batas antar wilayah semakin menipis, batas
antar negara semakin mudah dilampaui. Situasi ini semakin masif
dengan kondisi masyarakat Suku Tengger yang tinggal di daerah
wisata yang mendunia, yang tak jarang masyarakat dari negara lain
datang berkunjung ke Gunung Bromo di wilayah Tengger.
Pada konteks Indonesia, fenomena yang sejalan dapat kita
temukan pada masyarakat suku Bali. Masyarakat suku Bali
cenderung konservatif untuk mempertahankan identitas
kesukuannya. Kondisi ini terbukti dengan masih eksisnya budaya
Bali dalam kehidupan keseharian mereka di tengah wilayah mereka
sebagai destinasi wisata nomor satu di Indonesia. Di tengah
keputusan sikapnya yang konservatif atas identitas kesukuan,
masyarakat suku Bali juga bersedia menerima modernisasi,
termasuk di bidang kesehatan. Meski masyarakat suku Bali juga
memiliki sistem pengetahuan medis lokal sendiri, tetapi tidak alergi
dengan pengetahuan medis modern (Riswati et al., 2012). Bali
terbukti sukses dengan pilhannya. Tercatat dalam pemeringkatan
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan RI. bahwa dalam dua dekade terakhir Bali
tidak pernah keluar dari lima besar provinsi terbaik dalam
pembangunan status kesehatan masyarakat (Badan Penelitian dan

106
Tengger Bertahan dalam Adat

Pengembangan Kesehatan, 2010; Kementerian Kesehatan RI.,


2014, 2019).
Pola pikir konservatif sekaligus mau menerima modernisasi
juga nampak pada konsep sakit yang diyakini masyatakat Suku
Tengger. Hasil penelitian menemukan bahwa Suku Tengger
mengkategorikan sakit berdasarkan penyebabnya ada dua, yaitu
secara fisik dan non fisik. Penyebab sakit secara fisik adalah sama
dengan konsep disease, atau penyebab sakit dalam ilmu
pengetahuan kedokteran modern seperti karena virus, bakteri,
keracunan, atau karena kecelakaan (Seidlein and Salloch, 2019).
Sedang penyebab sakit secara non fisik, menurut sistem
pengetahuan medis lokal Suku Tengger diyakini disebabkan adanya
yang mbahureksa suatu tempat, karena leluhur, dan karena tidak
kuat menahan laku ilmu dukun Tengger (Laksono, Wulandari, et al.,
2020).
Penyebab sakit secara non fisik dan cara pengobatannya
seperti yang ditemukan pada Suku Tengger banyak ditemui sebagai
pengetahuan dalam sistem medis lokal pada suku-suku di
Indonesia. Pada masyarakat Suku Banjar misalnya, dikenal istilah
keteguran (kesurupan) yang diyakini hanya bisa disembuhkan
melalui metode mamidarai (Lubis et al., 2017). Di Sumatera Barat,
measles dan keteguran diyakini disebabkan oleh mahluk halus.
Kedua penyakit tersebut dapat diobati dengan ritual yang disebut
tawa nan ampek (Stark, Fatan and Kurniawan, 2016). Tidak hanya
keyakinan tentang suatu penyakit, belief tentang mahluk tak kasat
mata juga diyakini bisa mempengaruhi dan bahkan menghilangkan
keberadaan janin pada ibu hamil Suku Gayo di Aceh (Pratiwi et al.,
2019).
Penelitian sebelumnya mengaitkan keyakinan tentang
penyebab sakit dengan model kepercayaan kesehatan (health
belief model) (Athbi and Hassan, 2019; Ayers et al., 2019; May,
2019; Wisuthsarewong et al., 2020). Health belief model dianalisis
dengan melakukan eksplorasi pada empat dimensi, yaitu

107
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility), keparahan


yang dirasakan (perceived severity), manfaat yang dirasakan
(perceived benefits), dan hambatan yang dirasakan
(perceived barriers) (Costa, 2019; Kissal and Kartal, 2019). Pada
Suku Tengger belief soal penyakit dan penyebabnya banyak
dipengaruhi oleh kuatnya keyakinan pada roh-roh leluhur. Segala
sesuatu diyakini bersumber pada leluhur sebagai sangkan paraning
dumadi. Keyakinan yang sejalan juga ditemukan pada masyarakat
Suku Jawa terdahulu dalam kajian literatur dan kesenian adat Jawa
(Wibawa, 2013; Kolis and Ajhuri, 2019).
Fenomena penyebab sakit non fisik seringkali merupakan
konsekuensi dari kondisi yang belum atau tidak bisa dijelaskan,
terutama oleh para pemuka atau orang yang dituakan pada
masyarakat tersebut. Sebagai upaya rasionalisasi, maka penyebab
sakit disandarkan pada hal-hal yang bersifat mistis, pada hal-hal
yang jauh lebih besar, di luar kuasa manusia dalam kondisi normal
(Khosiah and Muhammad, 2019; Ilham, 2020).
Konsep sakit, penyakit, dan penyebab sakit, yang berlaku
dalam keseharian sebuah masyarakat, terutama yang masih kental
nilai adat istiadatnya, tidak hanya mempengaruhi dan berlaku pada
masyarakat secara umum, tetapi juga turut berpengaruh pada
tenaga kesehatan yang berasal dari orang setempat. Fenomena
pengaruh pengetahuan lokal pada tenaga kesehatan ini ditemukan
dalam sebuah penelitian etnografi kesehatan pada Suku Muyu di
Distrik Mindiptana, Boven Digoel, Papua. Tenaga kesehatan yang
sudah menerima pengetahuan medis modern tetap meyakini
kebenaran pengetahuan lokal. Tenaga kesehatan lokal turut
meyakini bahwa darah persalinan perempuan suku Muyu adalah
kotor. Darah persalinan memiliki hawa magis yang bisa
menyebabkan sakit pada seluruh keluarga di rumah (Laksono and
Faizin, 2015; Laksono, Soerachman and Angkasawati, 2016).
Kondisi tersebut terlihat juga berlaku pada petugas
kesehatan setempat di lokasi penelitian. Meski tidak secara tegas,

108
Tengger Bertahan dalam Adat

tetapi pada kasus tertentu, petugas juga mengalihkan proses


pengobatan pasien ke dukun adat. Situasi ini bisa berlangsung
apabila sakit yang diderita pasien diyakini oleh petugas kesehatan
disebabkan oleh sesuatu hal yang tidak diketahui. Berdasarkan
pengakuan informan masyarakat Tengger, dan dibenarkan oleh
informan petugas kesehatan setempat, terjadi proses transfer
pasien secara timbal-balik antara pengobat tradisional dan
pengobat modern, sesuai dengan keyakinan penyebab kondisi sakit
si pasien.
Beberapa penelitian sebelumnya menginformasikan
bahwa perilaku pencarian pengobatan medis modern seringkali
didasari oleh kebutuhan individu yang sakit. Kebutuhan ini diyakini
si sakit akan penyebab sakit dan cara pengobatan untuk
menyembuhkannya (Johnson and Menna, 2017; Simieneh et al.,
2019). Sementara keyakinan tetang penyebab sakit dan cara
pengobatannya berhubungan dengan pendidikan dan
pengetahuan seseorang. Semakin baik tingkat pendidikan
seseorang, seringkali ditemukan semakin memanfaatkan
pengobatan medis modern (Kirolos et al., 2018; Gabra et al., 2020;
Marsh et al., 2020).
Masyarakat Suku Baduy Dalam derbeda dengan pilihan
untuk bersikap konservatif seperti yang diinformasikan pada
masyarakat Suku Tengger dan Bali. Mereka memilih pilihan yang
kedua, untuk membatasi dan menutup diri dari modernisasi dan
dunia luar. Modernisasi yang hiruk-pikuk memenuhi sekitar wilayah
masyarakat Suku Baduy Dalam, tidak menggoyahkan sikap mereka
untuk mengambil sikap konservatif secara ketat bagi seluruh
masyarakat Suku Baduy Dalam. Kondisi ini berlaku dalam seluruh
aspek kehidupan Suku Baduy Dalam. Suku yang mendiami wilayah
administrasi Kabupaten Lebak, Provinsi Banten ini memilih
mengasingkan diri dari dunia luar. Mereka memenuhi kebutuhan
sandang, pangan, dan papannya secara mandiri. Masyarakat Suku
Baduy menanam sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangannya,
mereka menenun sendiri kain yang menjadi bahan bajunya,

109
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

mereka mengambil kayu di wilayahnya sendiri untuk membangun


rumah. Tidak ada alat pertukangan satu pun hasil industri modern
yang mereka pergunakan dalam membangun rumah, termasuk
paku untuk merangkai konstruksi rumah. Masyarakat Suku Baduy
Dalam masih memegang erat religi Sunda Wiwitan ini memilih
menggunakan pasak dan mengikat kayu dengan temali hasil olahan
sendiri untuk membangun rumahnya (Ipa et al., 2014).
Masyarakat suku Baduy Dalam setia dengan pikukuh
(hukum adat) yang mengatur semua aspek kehidupannya. Meski
tidak ada aturan tertulis, tetapi mereka konsisten menerapkan
seluruh aturan adat yang telah ditetapkan turun-temurun. Bagi
sesiapa saja yang melanggar, akan ada hukuman yang siap menanti.
Kerja paksa di tanah ladang milik jaro, atau diasingkan sementara
waktu, bisa menjadi pilihan hukuman atas setiap pelanggaran (Ipa
et al., 2014).
Upaya memasukkan modernisasi bukannya tidak pernah
dilakukan pemerintah. Di bidang kesehatan misalnya, pemerintah
telah berkali melakukan pendekatan. Tetapi penolakan demi
penolakan untuk bersentuhan dengan dunia modern tetap
keukeuh dipegang oleh masyarakat Suku Baduy Dalam. Dalam salah
satu program penurunan kematian ibu, pemerintah membangun
rumah pangumbaran, sebagai rumah singgah bagi wanita Baduy
Dalam yang hendak melahirkan di sekitar wilayah Puskesmas
terdekat. Tetapi pendekatan ini terbukti tidak efektif. Masyarakat
suku Baduy Dalam menolak kehadiran rumah pangumbaran. Meski
dibangun dengan bentuk menyerupai rumah orang Baduy, tetapi
rumah pangumbaran dibangun dengan menggunakan alat
pertukangan modern, dan menggunakan paku untuk menyatukan
antar kayu (Ipa et al., 2014).
Studi tentang ethnic survival juga ditemukan pada orang
Amish di Ontario, Kanada. Seperti para petani Tengger, orang
Amish ditantang oleh modernitas dan restrukturisasi perusahaan
global. Kebijakan publik yang berasal dari pemerintah federal dan

110
Tengger Bertahan dalam Adat

provinsi, yang dipengaruhi oleh perusahaan transnasional,


cenderung ahistoris dan tidak menghargai perbedaan. Studi ini
merupakan bagian dari proyek community economic development
(CED), yang dilaporkan cenderung mengeksploitasi komunitas
Amish. Dilaporkan bahwa pada komunitas Amish ada sinergi antara
tujuan individu dan sosial, tetapi ada hubungan kekuatan yang
asimetris antara komunitas dan paradigma sosial yang dominan
(dalam hal ini diwakili oleh negara). Kekuatan politik, kemandirian
ekonomi, dan keeratan sosial masyarakat Amish telah berperan
dalam membantu mereka untuk melawan penindasan dan
eksploitasi dari luar. Komunitas Amish pada akhirnya bisa bertahan.
Perubahan sosial yang dilakukan, dengan bantuan para peneliti,
membuat mereka lebih mandiri. Sebagai entitas sosial-ekonomi
lokal, berpemerintahan sendiri, dan demokratis dengan bentuk
dukungan sosial yang kuat. Catatan khusus dari studi ini adalah
bahwa struktur ideal untuk usaha CED pedesaan adalah kelompok
gereja Amish (kelompok lokal yang eksis) yang terintegrasi sebagai
koperasi desa, di bawah kendali penduduk yang berorientasi pada
pelestarian dan pemeliharaan alam dan komunitas, dan didorong
(untuk teknologi dan ekonomi) oleh kebutuhan sosial daripada
material (Bennett, 2003).

B. Berbeda-beda tetapi Tengger Jua


Masyarakat di Desa Wonokitri didominasi oleh mereka
yang beragama Hindu. Meski demikian, juga ditemukan dua
pemeluk agama lain, yaitu Kristen dan Islam. Bagi masyarakat yang
tinggal di Desa Wonokitri, apapun agama yang dianut warganya,
mereka tetaplah orang Suku Tengger. Keikutsertaan seluruh warga
Desa Wonokitri dalam merayakan hari raya adat Tengger, semacam
Kasada dan Yadnya Karo, menjadi bukti identitas ketenggeran
mereka. Meski memiliki agama yang berbeda, mereka tetap adalah
Tengger jua.

111
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Kondisi ini merupakan sebuah bukti bahwa adat Tengger


menyatukan seluruh lapisan masyarakat yang ada di wilayah Desa
Wonokitri. Fenomena ini merupakan cermin kecil dari tatanan
masyarakat yang lebih besar, Republik Indonesia. Kesepakatan
para pendiri bangsa yang memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai
semboyan pemersatu bangsa, memiliki arti dan tujuan yang
sejalan, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Pola yang sama juga bisa kita dapatkan dalam tatanan
masyarakat di Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki semboyan
“E Pluribus Unum”. Semboyan resmi yang terpampang di lambang
negara mereka ini diambil dari bahasa Latin ini memiliki makna
harfiah "Dari banyak menjadi satu" (Siroky and Mahmudlu, 2015).
Di negara serikat seperti Amerika, mengembangkan rasa
nasionalisme sipil yang kuat di antara negara bagian, termasuk
masyarakatnya, dirasakan sangat penting untuk menciptakan
tatanan sosial. Secara konsep, meski sejalan, E Pluribus Unum
memiliki perbedaan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka
Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi sejatinya satu. Sementara
E Pluribus Unum adalah dari yang berbeda-beda kemudian
disatukan (Siroky and Mahmudlu, 2015; Purwaningsih and Witro,
2020).

C. Mata Pencaharian, Kecukupan Lahan, dan


Strategi Adaptasi
Meski memiliki jenis pekerjaan lain, secara keseluruhan
orang Tengger tetap mengaku memiliki mata pencaharian sebagai
petani. Orang Tengger masih tetap setia melakukan usaha
pertanian dalam kesehariannya, profesi atau pekerjaan lain yang
dijalani hanya diakui sebagai pekerjaan sampingan atau penunjang.
Sementara di sisi lain, pertumbuhan penduduk terus berjalan.
Situasi ini mendorong masyarakat Tengger untuk melakukan
sesuatu, untuk menyikapi keterbatasan lahan pertanian yang ada

112
Tengger Bertahan dalam Adat

dibanding dengan pertumbuhan penduduk Tengger yang terus


melaju. Pada situasi ini ada tawaran dari pemerintah untuk
mengadaptasi program Keluarga Berencana. Pada titik inilah
masyarakat Tengger dengan sadar menyikapi kondisi tersebut,
memilih upaya membatasi kelahiran untuk membentuk keluarga
yang kecil sebagai strategi adaptasi.
Penelitian tentang strategi adaptasi sudah cukup banyak
dilakukan pada masyarakat agraris, dengan mata pencaharian
paling dominan adalah pertanian. Sebuah studi di pedesaan India
misalnya, melaporkan fenomena yang mirip dan sejalan dengan
fenomena yang ditemukan pada Suku Tengger di Desa Wonokitri.
Berawal dari bencana kekeringan yang melanda wilayah Odisha,
peneliti mencoba mendeskripsikan strategi adaptasi yang dipilih
oleh rumah tangga petani lokal di wilayah tersebut. Ada dua
langkah adaptasi rumah tangga terhadap risiko kekeringan yang
dipilih. Langkah pertama adalah memperoleh pengetahuan
tentang kekeringan dari pengalaman kekeringan sebelumnya.
Langkah kedua adalah merumuskan langkah-langkah adaptasi lokal
yang dapat mengurangi risiko kekeringan. Penelitian yang
dilakukan dengan metode gabungan (mixed methods) ini berhasil
mengumpulkan data dari 157 rumah tangga (Sam et al., 2017,
2020).
Hasil penelitian menemukan bahwa masyarakat setempat
lebih memilih untuk mengambil strategi adaptasi dengan
melakukan pengurangan konsumsi pangan yang berupa beras atau
sereal. Beberapa faktor lain juga disebutkan sebagai preferensi
rumah tangga setempat dalam strategi adaptasi dan koping, yaitu
ukuran keluarga, komposisi jenis kelamin, pendidikan kepala
rumah tangga, dan jarak ke kota terdekat. Penelitian tersebut
menyatakan bahwa ukuran keluarga turut mempengaruhi adaptasi
rumah tangga petani terhadap kekeringan yang melanda wilayah
tersebut. Pilihan strategi konsumsi dilakukan dengan pengurangan
konsumsi. Ukuran keluarga terlihat efektif dan menjadi turut
berperan pada momen ini (Sam et al., 2017, 2020).

113
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Sebuah studi lain juga diinformasikan di wilayah pertanian


Pakistan. Penelitian tersebut ditujukan untuk menentukan persepsi
risiko petani, sikap risiko, langkah-langkah adaptasi dan berbagai
aspek kerentanan terhadap perubahan iklim. Penelitian yang
dilakukan pada 720 rumah tangga petani dari enam distrik di
Provinsi Khyber Pakhtunkhwa di wilayah pedesaan ini
menginformasikan bahwa rumah tangga petani setempat memilih
strategi adaptasi utama secara khusus di bidang pertanian, yaitu
dengan melakukan diversifikasi tanaman, perubahan varietas
tanaman, perubahan kalender tanaman, pemupukan yang
bervariasi, dan asuransi pertanian. Hasil analisis penelitian juga
menemukan keterkaitan antara ukuran keluarga dengan langkah-
langkah adaptasi petani terhadap perubahan iklim yang ekstrim.
Ukuran keluarga yang kecil menjadi salah satu strategi adaptasi
yang dipilih untuk menyikapi sumber daya pertanian yang semakin
menipis (Khan et al., 2020).
Sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi
strategi yang diadopsi oleh para petani dan faktor-faktor penyebab
yang mempengaruhi strategi adaptasi juga dilakukan di wilayah
bagian Utara Bangladesh. Penelitian ini merupakan penelitian
dengan desain pendekatan campuran antara kualitatif dan
kuantitatif (mixed methods). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
strategi adaptasi yang beragam dipilih untuk menghadapi
perubahan iklim yang dapat mempengaruhi hasil pertanian
mereka. Berdasarkan hasil analisis menggunakan model multi-
nominal logit menemukan bahwa umur, ukuran keluarga dan
persepsi perubahan iklim berpengaruh positif terhadap strategi
adaptasi yang diambil oleh rumah tangga petani di wilayah
setempat (Islam et al., 2020).
Kapasitas adaptasi pada tingkat rumah tangga juga
diinformasikan dipengaruhi oleh posisi lanskap wilayah. Sebuah
penelitian yang dilaksanakan di dua tempat yang kontras di daerah
aliran sungai Nikachu di Bhutan menginformasikan fenomena
tersebut. Penelitian tersebut dilakukan melalui proses wawancara

114
Tengger Bertahan dalam Adat

pada 144 rumah tangga di 22 desa. Peneliti mengumpulkan data


sosial, ekonomi, dan data spasial pada variasi lanskap tanah yang
berbeda (Choden, Keenan and Nitschke, 2020).
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa rumah tangga
di dataran tinggi umumnya memiliki kapasitas adaptasi yang lebih
rendah, sehingga kerentanan terhadap perubahan iklim lebih
tinggi, karena perbedaan modal fisik, finansial, alam dan manusia.
Rumah tangga dan desa ini memiliki keragaman sumber
pendapatan yang lebih rendah, ketergantungan yang lebih besar
pada sumber daya alam, pendidikan dan pelatihan yang lebih
sedikit, akses ke infrastruktur (seperti jalan) yang lebih sedikit, dan
akses ke pasar dibandingkan dengan rumah tangga di dataran
rendah (Choden, Keenan and Nitschke, 2020). Temuan ini sejalan
dengan karakteristik masyarakat Tengger, yang lanskap utama
wilayahnya merupakan pegunungan atau dataran tinggi. Orang
Tengger juga ditemukan sangat tergantung pada sumber daya alam
untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Variasi lanskap ini
merupakan variabel atau indikator baru yang memberikan
wawasan tentang bagaimana kapasitas adaptif bervariasi di
berbagai skala. Indikator ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kebijakan dan tindakan untuk meningkatkan
kapasitas adaptif rumah tangga dan masyarakat yang rentan
(Choden, Keenan and Nitschke, 2020).
Sebuah penelitian dengan mengambil lanskap pegunungan
yang serupa dengan wilayah geografis Tengger juga dilaporkan di
Ethiopia pada komunitas petani di Pegunungan Semien (North
West Ethiopia). Petani setempat telah mengalami kekeringan dan
kelaparan yang berulang dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian
ini menggabungkan metode pengumpulan data dengan
menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, diskusi kelompok
terarah, dan observasi lapangan. Hasil penelitian ini
menginformasikan bahwa ukuran keluarga dan pendapatan dari
hasil pertanian mempengaruhi strategi adaptasi yang diambil
petani lokal setempat (Yohannes, Teshome and Belay, 2020).

115
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Beberapa hasil penelitian yang diuraikan di atas


menegaskan hubungan antara strategi adaptasi rumah tangga
masyarakat petani dengan ukuran keluarga. Ukuran keluarga
dijadikan strategi adaptif jangka panjang untuk memastikan
kecukupan pangan dan menjamin kemandirian masyarakat
setempat. Meski beberapa lainnya menginformasikan bahwa para
petani mengambil strategi adaptasi khusus terkait bidang
pertanian, tetapi dalam implementasinya tetap dipengaruhi oleh
ukuran keluarga sebagai bahan pertimbangan. Ukuran keluarga
dinilai penting untuk menghitung ketersediaan pangan dan
kebutuhan konsumsi dalam satu rumah tangga.
Ukuran keluarga kecil yang dipilih sebagai strategi adaptasi
merupakan salah satu cara yang dipakai masyarakat Suku Tengger
untuk bertahan dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam.
Dalam perspektif ekologi manusia, Gerald L. Young yang mencoba
memahami keterkaitan antara manusia dan lingkungannya (Young,
1986, 1989), apa yang dilakukan oleh orang Tengger adalah sebuah
kedewasaan. Memanfaatkan alam dan lingkungan untuk
kepentingan manusia, tetapi dengan tetap memperhatikan
keseimbangannya. Mereka tidak secara brutal mengeksploitasi
alam, tetapi lebih memilih strategi adaptasi pada sisi manusia,
dengan mengendalikan pertumbuhan manusia melalui ukuran
keluarga yang kecil.
Fenomena yang terjadi pada masyarakat Suku Tengger
sudah diprediksikan sebelumnya dalam teori lingkungan-populasi
(environment-population theories). Teori lingkungan-populasi
berkaitan dengan perubahan lingkungan dengan kesuburan
manusia, terutama pada masyarakat agraris. Teori ini memprediksi
penurunan sumber daya alam berhubungan secara positif dengan
permintaan akan anak (Crevello, 2003; Brauner-Otto and Axinn,
2017; Sellers and Gray, 2019). Akses lahan pertanian pada
masyarakat Suku Tengger yang semakin menyempit membuat
masyarakat setempat melakukan adaptasi dengan ukuran keluarga
yang kecil dengan dua anak.

116
Tengger Bertahan dalam Adat

D. Implementasi Ukuran Keluarga


Berbeda dengan definisi keluarga secara normatif, secara
emik keluarga Suku Tengger menganggap bahwa keluarga tidak
hanya meliputi para anak, tetapi juga termasuk para menantu.
Alasan inilah yang membuat orang tua Suku Tengger tidak
mempermasalahkan jenis kelamin anak yang dimilikinya. Pada
akhirnya orang tua Suku Tengger juga tetap akan mendapat “anak”
dengan jenis kelamin yang lengkap dari menantunya.
Strategi adaptasi orang Tengger untuk membentuk ukuran
keluarga kecil semakin mudah terjadi karena mereka tidak
mempermasalahkan preferensi gender anak yang dimiliki.
Masyarakat Tengger juga tidak mempermasalahkan sama sekali
soal gender dalam urusan pembagian waris. Mereka menganggap
bahwa keduanya sama saja, keduanya mendapat hak yang sama.
Masyarakat Suku Tengger berpikir mereka juga akan memiliki
menantu dari jenis gender yang berbeda. Nilai anak yang berlaku
pada masyarakat Suku Tengger tidak mempermasalahkan apakah
anak yang dimiliki laki-laki atau perempuan. Hal ini berbeda dengan
nilai anak sebagian besar suku di Indonesia, yang seringkali anak
laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi (Ruslan, 2017a; Laksono and
Wulandari, 2019; Pratita and Laksono, 2020).
Soal netralitas preferensi gender yang tidak dipermasalahkan
oleh masyarakat Suku Tengger sebenarnya sudah berlangsung
sejak awal mula adanya masyarakat pemuja dewa-dewi ini.
Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pemberian
nama suku “Tengger”. Akronim “Teng-Ger” yang mendahulukan
kata “teng” yang berasal dari nama seorang wanita yakni “Roro
Anteng”, dan kata “Ger” yang berasal dari nama seorang laki-laki
yaitu “Joko Seger” (Kurniawati, Putri Indah; Dinastiti, Charisma;
Ningtias, Yasinta Kurnia; Khoiriyah, Siti; Putri, 2012). Informasi ini
membuktikan bahwa preferensi gender keluarga Suku Tengger
yang cenderung netral sejak jaman dahulu merupakan salah satu

117
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

kunci bagi masrarakat di Desa Wonokitri untuk


mengimplementasikan ukuran keluarga kecil dengan dua anak.

1. Memiliki Anak, Apa yang Diharapkan?


Secara eksplisit orang tua Suku Tengger menyatakan
bahwa anak adalah penerus identitas Ketenggeran. Kemudian
secara khusus alasan tersebut meluas menjadi alasan dengan nilai-
nilai lain; ekonomi, agama, sosial dan budaya. Bagaimana dengan
alasan orang tua suku lain dalam memiliki anak? Dalam sebuah
studi yang membandingkan keuntungan memiliki anak secara luas
antara Suku Jawa dan Suku Sunda menemukan bahwa masyarakat
suku Jawa lebih menekankan pada manfaat instrumental atau
material dari anak-anak. Manfaat yang bersifat materi tersebut
seperti bantuan keuangan, bantuan di masa tua, kerjasama dalam
pekerjaan rumah tangga, dan membantu dalam perusahaan
keluarga. Sementara itu orang tua Suku Sunda memilih bersikap
sebaliknya, mereka lebih menekankan pada aspek psikososial atau
emosional dari kelangsungan keluarga-anak melalui keturunan,
persahabatan, stimulasi, kebahagiaan, dan hubungan yang
ditingkatkan di antara pasangan (Darroch, Meyer and Singarimbun,
1981).
Sebuah studi lain sebelumnya yang dilaksanakan pada
masyarakat Suku Jawa di Desa Besowo, Kediri, Jawa Timur, juga
menginformasikan hasil yang serupa. Penelitian yang ditujukan
untuk mengeksplorasi nilai anak terkait dengan pola makan ini
menemukan bahwa perbuatan merawat anak pada masyarakat
setempat, secara sadar dilakukan sebagai sebuah investasi. Selain
investasi, pada masyarakat Jawa di Besowo anak adalah juga aset.
Anak juga dianggap dapat menambah pundi-pundi kekayaan
keluarga besar. Anak adalah tempat orang tua bergantung di hari
tua (Pratita and Laksono, 2020).

118
Tengger Bertahan dalam Adat

Secara empiris peneliti menemukan adanya kontradiksi


antara nilai anak yang dianut oleh orang tua Suku Jawa di Besowo
dengan pola makan yang diberikan. Sebagai investasi anak adalah
yang utama, tetapi pola makan yang diberikan pada anak masih
seadanya. Tergantung pada maunya anak, bukan pada kebutuhan
anak. Pola pengasuhan anak pada masyarakat Suku Jawa di Desa
Besowo menunjukkan bahwa meski menganggap nilai anak sangat
tinggi, tetapi pola pangasuhan, terutama pola asupan makanan
pada anak, cenderung diabaikan (Pratita and Laksono, 2020).
Sejalan dengan temuan pada suku Jawa, masyarakat suku
Dayak Ot Danum di Kabupaten Gunung Mas juga ditemukan
menekankan nilai anak dengan kecenderungan alasan pada aspek
materi. Suku Dayak Ot Danum yang sudah bergeser ke pola modern
tak ragu berinvestasi dengan menyekolahkan anak-anaknya sampai
ke perguruan tinggi. Bisa mencari uang sendiri dan bisa menjadi
tumpuan sandaran bagi orang tua adalah harapan paling penting
bagi orang tua suku Dayak Ot Danum. Investasi jangka panjang ini
tak lagi memandang gender, meski secara umum kecenderungan
preferensi gender anak laki-laki masih saja lebih diutamakan bagi
keluarga di Suku Dayak Ot Danum (Harumanto, Saputra and
Angkasawati, 2016).
Secara umum nilai anak secara ekonomi sebagai investasi
atau anak sebagai aset juga ditemukan pada suku lain di Indonesia.
Hasil penelitian yang sejalan ditemukan pada masyarakat Suku
Aceh di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, Suku Lani di
Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua (Laksono and Wulandari, 2019),
Suku Melayu di Provinsi Riau (Fahmi and Pinem, 2018), Suku Sasak
di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kusrini, Ipa and Laksono, 2020),
Suku Betawi di Provinsi DKI Jakarta (Nurpuspitasari, Mashabi and
Muhariati, 2017), dan masyarakat multi etnik di Provinsi
Kalimantan Barat (Ruslan, 2017a). Meski hasil penelitian
menemukan bahwa masyarakat Suku Tengger juga memiliki alasan
secara ekonomi, tetapi mereka juga memiliki harapan yang jauh
lebih tinggi lagi. Harapan dengan nilai filosofis. Masyarakat Suku

119
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Tengger mengharapkan anak bisa sebagai penerus Suku Tengger.


Anak-anak tetap bisa menjaga identitas Tengger bagi
keberlangsungan suku mereka.

2. Preferensi Komposisi Anak


Preferensi komposisi anak yang diinginkan hadir dalam
sebuah keluarga merupakan kombinasi antara preferensi gender
anak dan preferensi jumlah anak yang diinginkan. Masyarakat Suku
Tengger sama sekali tidak mempermasalahkan soal preferensi
gender. Sedang pada preferensi jumlah anak yang diinginkan,
masyarakat Suku Tengger memilih berpegang pada rekomendasi
yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu memiliki dua anak.
Masyarakat Suku Tengger menganggap preferensi dua anak sudah
sangat sesuai dengan situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Kondisi berbeda ditemukan dalam sebuah hasil penelitian
pada pasangan muda Suku Aceh. Mereka secara tegas mengatakan
bahwa mereka menginginkan minimal 4 (empat) orang anak
dengan komposisi 2 (dua) orang laki-laki dan 2 (dua) orang
perempuan. Sementara orang tua Suku Lani tidak secara tegas
menekankan soal komposisi. Mereka lebih menekankan pada
jumlah anak. Menurut mereka lebih banyak lebih baik, bisa saling
berbagi kebahagiaan, dan saling menguatkan saat berduka
(Munira, Subhansyah and Pranata, 2016; Wahyudi, Intiasari and
Laksono, 2016a; Laksono and Wulandari, 2019).
Preferensi komposisi anak yang berkaitan dengan gender
yang diinginkan saat akan memiliki anak dinilai turut berpengaruh
terhadap fertilitas yang dipilih dalam sebuah keluarga. Hal ini
berlaku pada banyak suku bangsa di dunia. Tidak hanya suku
bangsa yang berdiam di Indonesia saja (Sandström and Vikström,
2015; Lestari, Pamungkas and Kumbara, 2016; Sudrajat, Fahriani
and Soerachman, 2016). Preferensi gender lebih melekat pada
identitas kesukuan dan keluarga dibanding konteks lingkungan

120
Tengger Bertahan dalam Adat

sekitar. Kemanapun sebuah keluarga akan bermigrasi, preferensi


gender anak lebih eksis dipilih berdasarkan nilai anak yang melekat
yang berasal dari suku awal dan keluarga tersebut berasal (Suckow,
2008; Albanese, De Blasio and Sestito, 2016; Han, Tumin and Qian,
2016; Larasati and Hartoyo, 2016; Lillehagen and Lyngstad, 2018).
Fenomena berdasarkan identitas kesukuan ini dapat dilihat dengan
munculnya ikatan keluarga atau suku asli di luar daerah suku
tersebut berasal, di daerah perantauan, atau bahkan di luar negeri
sekalipun.
Transmisi nilai-nilai yang diturunkan dari orang tua ke anak
akan sangat kuat diwariskan dan menjadi preferensi perilaku yang
melekat pada anak-anak (Sondergaard, 1956; Trommsdorff, 2002).
Karena momen pewarisan tersebut adalah momen pertama bagi
anak-anak mengenal nilai-nilai (Engbretson, 1959). Di sisi lain,
mereka dipengaruhi oleh konteks sosiokultural itu sendiri dan
mereka mempengaruhi konteks ini melalui transmisi nilai. Dengan
demikian, hubungan orang tua-anak memiliki fungsi sosial dan
budaya, karena di sini, nilai-nilai budaya dan pola perilaku,
termasuk nilai anak dan perilaku generatif, disosialisasikan dan
dinegosiasikan antar generasi (Trommsdorff, 2002). Meski juga
seiring waktu tak menampik bahwa nilai anak secara kesukuan
tersebut juga bisa bergeser (Jensen, 2009; Kagitcibasi and Ataca,
2015; Bagheri and Saadati, 2018).
Pada beberapa suku di berbagai negara, pilihan anak
berjenis kelamin laki-laki seringkali cenderung menjadi preferensi
(Kureishi and Wakabayashi, 2011; Madhavan et al., 2017; Yang,
2017). Fenomena ini juga berlaku di negara-negara maju di Barat.
Terutama pada masa-masa sebelum masa perang dan masa
terjadinya kelaparan (Mills and Begall, 2010). Kecenderungan
preferensi memilih anak laki-laki seringkali dihubungkan dengan
keinginan untuk mempertahankan garis keturunan, karena anak
laki-laki yang dipandang sebagai pembawa nama keluarga.

121
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Preferensi komposisi anak pada akhirnya sangat


berpengaruh secara umum terhadap ukuran keluarga, terutama
preferensi yang terkait dengan gender atau jenis kelamin. Secara
khusus preferensi komposisi anak dalam sebuah keluarga bisa
berpengaruh dan menjadi dasar keputusan preferensi fertilitas
seorang ibu. Rumah tangga yang memiliki preferensi komposisi
anak secara lengkap, laki-laki dan perempuan, memiliki
kemungkian lebih besar untuk memutuskan terus menambah anak
pada saat sudah memiliki 7 (tujuh) anak tetapi memiliki jenis
kelamin yang sama. Mereka yang memiliki 7 (tujuh) anak laki-laki
akan terus berupaya menambah anak, karena merasa belum
memiliki anak perempuan (Sudrajat, Fahriani and Soerachman,
2016).

3. Nilai Anak dan Keluarga Berencana


Setidaknya ada 4 (empat) alasan bagi para peneliti untuk
mempelajari nilai anak. Alasan pertama, untuk memotivasi regulasi
fertilitas; ke-dua, untuk mengantisipasi kompensasi yang mungkin
diperlukan untuk mencapai ukuran keluarga yang kecil; ke-tiga,
untuk memprediksi motivasi fertilitas dan kecenderungan populasi;
dan yang ke-empat, untuk mempertimbangkan nilai anak dalam
hubungan antara orang tua dengan anak (Hoffman and Hoffman,
1973). Tiga alasan yang pertama sangat berkaitan erat dengan
program keluarga berencana. Latar belakang inilah yang membuat
pengambil kebijakan di bidang kependudukan perlu memahami
nilai anak bagi orang tua (Klaus, Suckow and Nauck, 2007; Ochako
et al., 2017; Gele et al., 2020).
Dalam konteks Indonesia, pengambil kebijakan keluarga
berencana tidak bisa serta-merta membuat generalisasi dan
membuat kebijakan yang bersifat generik sama untuk semua
wilayah sasaran di Indonesia. Indonesia adalah sebuah negeri
dengan ribuan suku bangsa, setidaknya ada 1.340 suku bangsa di
Indonesia. Angka ini merupakan validasi terakhir berdasarkan hasil

122
Tengger Bertahan dalam Adat

sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 (Central Bureau of


Statistics (Badan Pusat Statistik), 2011). Selain ragam suku yang
sangat spesifik, Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan.
Setidaknya Indonesia terdiri dari 16.056 pulau yang telah
diverifikasi oleh United Nations Group of Experts on Geographical
Names (UNGEGN) dari PBB. Jumlah tersebut adalah sebagian dari
keseluruhan 17.504 pulau yang dimiliki Indonesia (United Nations
Group of Experts on Geographical Names, 2017). Beragamnya
penduduk di Indonesia harus disikapi dengan perumusan kebijakan
yang mau mengadopsi konteks lokal, untuk menjamin keberhasilan
implementasinya.
Sebagai salah satu negara berkembang, nilai anak di
Indonesia secara ekonomi masih sangat kuat. Kondisi ini berlaku
pada saat sekarang maupun di masa tua nantinya. Fenomena ini
juga dijumpai pada keluarga Suku Tengger. Masyarakat Suku
Tengger memilih menggantungkan masa tua mereka pada salah
satu anak yang dimiliki, dengan kecenderungan anak terakhir,
karena anak terakhir yang akan keluar rumah terakhir setelah
menikah, atau bahkan akan tetap tinggal di rumah induk. Nilai anak
secara ekonomi tidak hanya ditemui pada Suku Tengger, tetapi juga
beberapa hasil penelitian lain dalam konteks Indonesia (Prasanti,
2013; Rizkianto, Muflikhati and Hernawati, 2013; Kasnodihardjo,
2014; Ruslan, 2017a; Fahmi and Pinem, 2018). Fenomena ini
berbeda dengan realitas yang didapatkan di negara maju.
Fenomena ini berlaku kontradiktif dibanding di negara maju. Di
negara maju anak justru seringkali dipandang sebagai beban atau
kewajiban ekonomi (Hoffman and Hoffman, 1973; Philipov, Spéder
and Billari, 2006).
Sebuah temuan studi yang secara spesifik menggali nilai
anak secara ekonomi, menyimpulkan empat hal yang membuat
anak menjadi berharga dalam rumah tangga. Keempat hal ini
adalah anak bisa memberi kontribusi materi secara langsung, anak
bisa memberi pelayanan dalam rumah tangga, anak bisa memberi
jaminan keamanan keluarga, dan anak menjadi simbol prestis sosial

123
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

dan kekuasaan bagi keluarga (Hull and Hull, 1977). Keempat hal
tersebut silih berganti ditemukan secara bersamaan, maupun
bergantian, dalam beragam studi yang terfokus pada nilai anak
(Larasati and Hartoyo, 2016; Bagheri and Saadati, 2018; Laksono
and Wulandari, 2019).
Berbeda dengan nilai anak secara ekonomi bagi keluarga
Suku Tengger, nilai anak secara ekonomi yang berlaku pada suku
lain di Indonesia seringkali dinilai menjadi penghambat bagi
keberhasilan program keluarga berencana yang digagas
pemerintah di Indonesia. Nilai anak yang dipandang sebagai aset
ekonomi dalam keluarga, cenderung ingin diperbanyak dan terus
ditambah jumlahnya, dengan anggapan agar kondisi keluarga lebih
kuat secara ekonomi (Laksono and Wulandari, 2019). Fenomena ini
menjelaskan bahwa nilai anak yang berlaku sebelumnya pada Suku
Tengger merupakan salah satu kunci keberhasilan program
keluarga berencana di wilayah Desa Wonokitri.

E. Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger


Berger dan Luckmann membagi proses dialektika timbal-
balik antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat
menciptakan individu menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan
tersebut adalah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi (Berger
and Luckmann, 1966). Pada bagian ini, selanjutnya proses
metamorfosis terbentuknya konstruksi ukuran keluarga kecil pada
masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri akan didiskusikan
sesuai dengan tahapan yang ditawarkan oleh Berger dan
Luckmann.

1. Eksternalisasi
Peter L. Berger dan Thomas Luckman dengan bukunya yang
berjudul ”The Social in Construction of Reality, a Treatise in the

124
Tengger Bertahan dalam Adat

Sociological of Knowledge”, mendeskripsikan proses sosial melalui


tindakan dan interaksinya. Pada kondisi ini individu menciptakan
secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami
bersama secara subjektif. Realitas sosial berupa pengetahuan yang
bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana
publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri
bersifat plural, dinamis dan dialektis. Singkatnya bahwa realita atas
sesuatu dari seseorang mungkin tidak akan sama dengan realita
orang lain. Berbeda untuk setiap individu (Berger and Luckmann,
1966; Irfan, 2017).
Berger dan Luckmann menyatakan bahwa realitas itu tidak
dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh
Tuhan. Tetapi sebaliknya, realitas dibentuk dan dikonstruksikan.
Dengan pemahaman tentang realitas yang demikian maka realitas
dapat berwajah ganda atau plural. Setiap keluarga Tengger sebagai
individu bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu
realitas permasalahan yang dihadapi. Setiap orang Tengger
mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan
lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan
realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Berger and
Luckmann, 1966; Santoso, 2016; Sulaiman, 2016).
Sementara itu pada proses ini kesamaan karakteristik dan
permasalahan dihadapi masyarakat Suku Tengger menjadi lebih
mudah terkonstruksikan. Masyarakat Suku Tengger di Desa
Wonokitri selain memiliki kesamaan dalam hal kesukuan, dan
mereka juga memiliki kesamaan dalam hal mata pencaharian
sebagai petani. Di sisi lain, mereka juga mengalami secara bersama-
sama masalah keterbatasan lahan, dan sama-sama menginginkan
keberlanjutan eksistensi dari Suku Tengger. Nilai tentang keluarga
dan nilai orang Tengger tentang anak mempermudah adaptasi
mereka untuk mengimplementasikan ukuran keluarga yang kecil
dengan dua anak.

125
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Pada awalnya masalah realitas tentang kecukupan lahan


pertanian adalah masalah individu. Kajian Berger dan Luckmann
pada fase ini lebih memfokuskan pada proses ketika individu
menanggapi kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman
mereka, dan itulah yang disebut dengan konstruksi realitas secara
sosial. Selanjutnya Berger dan Luckmann menekankan makna
melalui sosiologi pengetahuan. Keduanya lebih menekankan pada
“realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi
istilah kunci teori konstruksi sosial. Realitas adalah suatu kualitas
yang terdapat dalam fenomena yang memiliki keberadaan (being).
Realitas keterbatasan lahan dan keberlangsungan eksistensi Suku
Tengger tidak tergantung kepada kehendak individu manusia, yang
kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan. Sedangkan
“pengetahuan” adalah kepastian bahwa fenomena itu nyata (real)
dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger and Luckmann,
1990; Santoso, 2016; Irfan, 2017).
Memaknai ukuran keluarga kecil dalam tahap
eksternalisasi adalah upaya mencoba meredefinisikan ukuran
keluarga ideal dengan kesesuaianya pada kondisi dan
permasalahan yang dialami pada ranah kekinian orang Tengger.
Permasalahan kecukupan lahan dan keberlangsungan eksistensi
Suku Tengger adalah realitas di depan mata. Redefinisi ukuran
keluarga menjadi lebih kecil dengan dua anak bisa menjadi pilihan
yang lebih ideal dalam menyikapi permasalahan tersebut.
Mengkonstruksi ukuran keluarga kecil dengan dua anak
merupakan sebuah pemikiran yang selaras dengan teori
ekuilibrium. Teori ini menjelaskan tentang keseimbangan
(Scandizzo, 2019). Memiliki dua anak merupakan sebuah upaya
untuk mempertahankan atau mengendalikan jumlah penduduk
dalam ukuran yang sama. Dua anak yang dilahirkan didesain
sebagai pengganti kedua orang tuanya, sehingga kondisi jumlah
penduduk dan jumlah lahan dapat dipertahankan tetap dalam
proporsi yang seimbang.

126
Tengger Bertahan dalam Adat

2. Objektivasi
Kesadaran akan permasalahan yang sama, membuat
legitimasi akan permasalahan tersebut semakin mudah terbentuk.
Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial
yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan
sosial. Legitimasi merupakan sebuah obyektivasi yang merupakan
pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif karena tidak
hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral.
Legitimasi, dalam pengertian fundamental, memberitakan apa
yang seharusnya ada/terjadi dan mengapa terjadi (Berger, 1991;
Irfan, 2017). Membentuk ukuran keluarga kecil menjadi satu
objektivasi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat Suku
Tengger tentang kecukupan lahan. Di sisi lain, tujuan filosofis
jangka panjang untuk keberlangsungan eksistensi Suku Tengger
semakin menguatkan legitimasi pilihan membentuk ukuran
keluarga kecil tersebut.
Proses objektivasi seperti menemukan momentumnya
ketika datang tawaran dari pemerintah melalui program keluarga
berencana. Program ini mengusung ukuran keluarga ideal yang
lebih kecil dengan dua anak dalam satu keluarga. Tawaran program
pemerintah ini menjadi lebih mudah lagi diadaptasi ketika dukun
adat Tengger Desa Wonokitri serta merta setuju dan tanpa banyak
alasan langsung menjadi akseptor KB. Tidak tanggung-tanggung,
pasangan keluarga tokoh adat utama dalam struktur sosial
masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri ini menyetujui untuk
mengaplikasi metode kontrasepsi jangka panjang dengan
sterilisasi.

3. Internalisasi
Ukuran keluarga kecil sebagai produk eksternalisasi
masyarakat Suku Tengger dengan dukungan program KB oleh
pemerintah pada tahap objektivasi menjelma menjadi realitas yang

127
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia Tengger sebagai


penghasil dari produk kebudayaan Tengger. Ukuran keluarga kecil
yang telah berstatus sebagai realitas objektif masyarakat Suku
Tengger di Desa Wonokitri, sudah ada di luar kesadaran orang
Tengger, ada “di sana” bagi setiap individu Tengger. Realitas
objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif orang Tengger
sebagai perorangan. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris
yang bisa dialami oleh setiap orang Tengger di Desa Wonokitri
(Santoso, 2016; Setiawan, 2017; Sutika, 2019).
Pada tahap ke-tiga, yaitu internalisasi, proses yang
berlangsung lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif
ukuran keluarga kecil ke dalam kesadaran orang Tengger
sedemikian rupa sehingga secara subjektif orang Tengger
dipengaruhi oleh struktur dunia sosial masyarakat Suku Tengger.
Berbagai macam unsur dari ukuran keluarga kecil yang telah
terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di
luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi
kesadaran. Melalui internalisasi, individu manusia Tengger menjadi
hasil dari masyarakat Tengger (Santoso, 2016; Hidayatullah and
Mutmainnah, 2020).
Pada tahap internalisasi, secara individu orang Tengger
mengidentifikasi diri di tengah masyarakat Suku Tengger yang
peduli dengan keberlangsungan eksistensi adat Suku Tengger.
Individu Tengger, atau sedikit lebih luas, keluarga Tengger,
mengidentifikasikan dirinya menjadi bagian dari komunitas adat
Tengger yang menginginkan eksistensi adat Suku Tengger untuk
tetap terus berlangsung. Proses internalisasi pilihan ukuran
keluarga kecil bagi masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri bisa
menjadi sangat mapan, ketika tujuan konstruksi sosial komunitas
adat Tengger sesuai dan mendukung tujuan individu orang
Tengger.
Dalam keseluruhan proses konstruksi sosial ukuran
keluarga kecil pada masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri,

128
Tengger Bertahan dalam Adat

dapat menjadi lebih mudah terjadi. Hal ini karena mereka telah
memiliki karakteristik sosial dan budaya yang mendukung
terjadinya ukuran keluarga kecil sebagai pilihan ideal. Nilai anak
dan hukum waris misalnya, yang sama sekali tidak
mempermasalahkan preferensi gender, membuat dua anak
menjadi cukup bagi keluarga Tengger di Desa Wonokitri. Komposisi
gender anak pada keluarga yang memiliki anak berjenis kelamin
laki-laki semua, atau perempuan semua, tidak dipermasalahkan
(Laksono, Soedirham, et al., 2020).
Sementara di sisi lain, nilai anak bagi keluarga Tengger,
yang tidak hanya memandang anak sebagai tempat bergantung di
hari tua. Orang tua Tengger memandang lebih jauh ke depan
sebagai penerus keberlangsungan komunitas adat Suku Tengger
menjadi menemukan kembali tujuannya. Dengan ukuran keluarga
yang kecil, kecukupan lahan pertanian menjadi ideal bagi
keseluruhan masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri (Laksono,
Soedirham, et al., 2020)..
Anak keturunan Suku Tengger tidak perlu lagi keluar dari
wilayah Tengger, karena semua bisa dicukupi dengan lahan
pertanian yang ada. Leluhur, sebagai pusat kebudayaan dan
segalanya bagi masyarakat Suku Tengger, bisa tetap terurus
dengan baik. Artinya, pilihan ukuran keluarga kecil menjadi solusi
ideal bagi seluruh permasalahan yang dihadapi masyarakat Suku
Tengger di Desa Wonokitri, baik sebagai seorang individu maupun
sebagai sebuah komunitas adat Tengger (Laksono, Soedirham, et
al., 2020).

129
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Tidak Boleh Segalanya


Dukun Adat Meninggalkan
Antusias Leluhur Dicukupi oleh
Tanah Harus Leluhur
Ikut
Leluhur Diurus
Program KB

Anak
Dukun Adat Agama Banyak
sebagai Tokoh Leluhur Merepotkan
Sentral

Terkait
dengan Religi Mata
Terkait dengan Tengger- Pencaharian
Ketersediaan Struktur Sosial sebagai
Alat Hindu
Petani
Kontrasepsi

Konstruksi
Terkait dengan
Sosial
Terkait dengan Kondisi
Ukuran
Program KB Geografis
Keluarga Kecil
Pemerintah

Ketersediaan Terkait Terkait Kecukupan


Pelayanan dengan dengan Lahan
Kesehatan Nilai Anak Adat

Strategi
Ritual Adaptasi
Tempat Laki-laki -
Bergantung Kekerik/
Perempuan
di Hari Tua Among-
Sama Saja
among, dll

Punya
Anak
Anak
sebagai
Hukum Waris tidak Prestis itu
Penerus
Mempermasalahkan Mahal
Adat
Gender

Gambar 4.1. Pemetaan Faktor yang Berkaitan dengan Konstruksi Sosial


Ukuran Keluarga Suku Tengger di Desa Wonokitri

130
Tengger Bertahan dalam Adat

Gambar 4.1 merupakan visualisasi dari pemetaan faktor


yang berkaitan dengan konstruksi sosial ukuran keluarga Suku
Tengger di Desa Wonokitri berdasarkan hasil dan analisis
penelitian. Ada 6 tema yang menyusun konstruksi sosial yang
berhasil dikumpulkan. Pertama, konstruksi sosial ukuran keluarga
berkaitan dengan religi Tengger-Hindu sebagai agama leluhur.
Segalanya berpusat pada leluhur. Alasan tersebut membuat orang
Tengger merasa tidak boleh meingggalkan tanah leluhur. Leluhur
harus diurus, karena segala kebutuhan mereka telah, sedang, dan
akan dicukupi oleh leluhur.
Ke-dua, konstruksi sosial ukuran keluarga berkaitan
dengan kondisi geografis kawasan Tengger yang pegunungan.
Seluruh orang Tengger di Desa Wonokitri mengaku sebagai petani,
yang sesuai dengan pertumbuhan penduduk membuat kecukupan
lahan menjadi masalah tersendiri. Alasan ini yang membuat
mereka menerapkan strategi adaptasi dengan ukuran keluarga
yang kecil. Di sisi lain, memiliki anak yang banyak membuat mereka
kerepotan saat harus bekerja di kebun sambil mengasuh anak.
Ke-tiga, konstruksi sosial ukuran keluarga berkaitan dengan
adat. Beberapa ritual adat Tengger yang berkaitan dengan anak
menimbulkan konsekuensi biaya yang tidak sedikit. Meski
sebenarnya bisa diselenggarakan dengan murah, tetapi prestis
sebagai Tengger membuat ritual tersebut seringkali
diselenggarakan dengan mewah. Sementara itu secara adat,
hukum waris dalam adat Tengger tidak mempermasalahkan jenis
kelamin anak. Laki-laki atau perempuan sama saja.
Ke-empat, konstruksi sosial ukuran keluarga berkaitan
dengan nilai anak. Sejalan dengan hukum waris, keluarga Tengger
tidak memiliki preferensi khusus tenteng gender anak. Anak tidak
hanya diposisikan sebagai tempat bergantung di hari tua, tetapi
juga diposisikan sebagai penerus adat Tengger. Anak-anak adalah
harapan masa depan bagi identitas Tengger.

131
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Ke-lima, konstruksi sosial ukuran keluarga berkaitan


dengan program KB pemerintah. Konstruksi sosial ukuran keluarga
kecil menemukan momentum pada saat pemerintah menawarkan
program KB, dan pada saat yang sama argumentasi tentang
keterbatasan lahan pertanian di wilayah Tengger masuk dalam
logika orang Tengger. Di sisi lain, pemerintah dengan serius
menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan ketersediaan
alat kontrasepsi.
Ke-enam, konstruksi sosial ukuran keluarga berkaitan
dengan struktur sosial masyarakat Tengger di Desa Wonokitri. Pada
saat pemerintah menginisiasi program KB, dukun adat Tengger
sebagai pemuncak tokoh adat langsung memberi contoh
keikutsertaan dalam program KB. Dukun adat mengambil
kesempatan pertama untuk berpartisipasi. Dukun adat memilih
kontrasepsi mantab/jangka panjang dengan mengijinkan
pasangan/istri memiliki metode kontrasepsi sterilisasi atau
tubektomi. Tindakan medis ini akan menyebabkan kemungkinan
untuk hamil menjadi sangat kecil (Shimeka Teferra, 2015;
Mahendra et al., 2019).
Keputusan dukun adat ini menjadi role model yang
mempermudah masuknya program KB di wilayah Desa Wonokitri.
Role model merupakan sebuah kunci keberhasilan dalam banyak
program yang dinisiasikan pada masyarakat tradisional dengan
kepatuhan pada pemimpin tinggi (Kwok et al., 2018; Laksono,
Megatsari, et al., 2020). Ketergantungan masyarakat tentang
pemenuhan kebutuhan spiritualnya pada dukun adat merupakan
modal sosial untuk memanfaatkannya sebagai role model yang
efektif (Karimli et al., 2021).

132
Tengger Bertahan dalam Adat

F. Identitas Kesukuan dan Kesehatan Mental


Menurut WHO definisi sehat adalah; “Health is a state of
complete physical, mental and social well-being and not merely the
absence of disease or infirmity” (Kesehatan adalah keadaan
kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap dan bukan
hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan) (World Health
Organization, 1946). Definisi yang disepakati oleh 61 negara dalam
the International Health Conference di New York ini mulai
diberlakukan pada 7 April 1948, dan tidak ada perubahan definisi
hingga saat ini. Definisi dari WHO ini menemukan kesesuaiannya
secara empiris pada realitas yang diinformasikan pada masyarakat
Suku Tengger di Desa Wonokitri.
Keterkaitan antara ukuran keluarga yang kecil dengan
kesehatan secara fisik sudah dijelaskan dalam latar belakang
penelitian. Secara umum, pilihan ukuran keluarga yang kecil, yang
artinya merupakan paritas yang rendah bagi ibu, membuat status
kesehatan reproduksi ibu menjadi jauh lebih baik bila dibanding
dengan ibu yang memiliki paritas yang tinggi (Wekesa et al., 2018;
Daryanti, 2019; Jiwani et al., 2020). Di sisi lain, pilihan ukuran
keluarga kecil yang diambil oleh masyarakat Suku Tengger memiliki
manfaat yang berbeda. Kondisi ini sesuai dengan tujuan filosofis
dari pilihan ukuran keluarga kecil tersebut, yaitu untuk
mempertahankan identitas kesukuan masyarakat Tengger.
Upaya memperkecil ukuran keluarga pada orang Tengger
juga dilakukan secara sadar agar mereka tidak meninggalkan tanah
leluhur. Hal ini dilakukan untuk agar orang Tengger tidak
kehilangan identitas ketenggerannya. Bagi orang Tengger leluhur
adalah sumber segala penghidupannya. Fenomena yang sama,
dengan keterlibatan leluhur dalam segala aspek kehidupan, juga
ditemukan dalam kehidupan spiritualitas di Afrika. Sebuah studi
kasus yang dilakukan pada suku Cameroon Grassfields menyatakan
bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan leluhur, berhubungan
erat dengan kesejahteraan masyarakat. Studi ini berfokus pada

133
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

simbolisme di balik benda-benda leluhur, motif saling pengaruh,


dan pembuatan makna dalam kaitannya dengan kesejahteraan
masyarakat (Alubafi and Kaunda, 2019).
Sebuah studi lain sebelumnya yang dilakukan pada suku
Aborigin di Australia menemukan bahwa mempertahankan
identitas bagi masyarakat adat berhubungan erat dengan
kesehatan mental. Studi tersebut mengungkapkan potensi tentang
peningkatan kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan
emosional dalam upaya reklamasi salah satu identitas adat, yaitu
bahasa. Keluarga yang tinggal dan hidup bersama dalam satu ikatan
kesukuan cenderung merasa lebih aman dan nyaman dalam
melakukan seluruh aktivitas kehidupan sosialnya (Sivak et al.,
2019).
Sementara itu, sebuah penelitian dengan metode meta-
sintesis yang mengevaluasi penelitian asli yang relevan dengan
masyarakat adat dilakukan pada wilayah Kanada dan Amerika
Serikat. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menafsirkan penelitian kualitatif yang berkaitan dengan
kesinambungan budaya untuk penduduk asli di Amerika Utara
dalam hubungannya dengan kesehatan dan kesejahteraan. Hasil
sintesis menginformasikan bahwa di seluruh artikel penelitian yang
disintesis berbicara tentang pentingnya kesinambungan budaya
dalam membentuk output kesehatan dan kesejahteraan yang
positif bagi masyarakat suku asli/masyarakat adat. Di sisi lain juga
ditemukan bahwa transmisi pengetahuan antar generasi
merupakan komponen sentral dari pembaruan dan pemeliharaan
kesinambungan budaya bagi masyarakat adat (Auger, 2016).
Lebih lanjut, sebuah artikel melaporkan hasil penelitian
yang dilakukan melalui eksplorasi dampak dari satu dekade
pendidikan budaya dan revitalisasi dengan Suku Miami
(Myaamiaki) di Oklahoma, Amerika Serikat. Revitalisasi ini
merupakan sebuah upaya yang digagas untuk pulih dari trauma
sejarah dan penindasan budaya selama bertahun-tahun. Penelitian

134
Tengger Bertahan dalam Adat

ini memiliki 4 pertanyaan penelitian yang berfokus pada


pencapaian akademis, kesehatan fisik dan mental, keterlibatan
masyarakat, dan pertumbuhan nasional/suku. Penelitian yang
menggunakan pengukuran kualitatif (observasi etnografi dan
wawancara) dan kuantitatif (survei) ini menemukan bahwa analisis
konten etnografi dari wawancara dan analisis deskriptif dan regresi
menunjukkan peningkatan tingkat kelulusan di antara sampel
perguruan tinggi yang mengambil kursus budaya, peningkatan
penggunaan bahasa asli, dan rasa memiliki yang lebih kuat. Pada
tahap akhir, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa merebut
kembali budaya dan bahasa seseorang berdampak pada pemulihan
kesehatan di antara suku bangsa ini (Shea et al., 2019).
Berbeda dengan masyarakat Tengger, sebuah studi
mengungkap bahwa migrasi secara bersama-sama, dengan
meninggalkan tanah leluhur, bisa menjadi pilihan dengan tetap
mempertahankan identitas kesukuan. Fenomena ini berlaku pada
kaum Pagan di Amerika Serikat. Kaum Pagan di Amerika Serikat
berani meninggalkan tanah leluhurnya, kaum Pagan di Eropa. Kaum
Pagan Amerika Serikat tetap bisa mempertahankan tradisinya di
tengah religi kaum asli Amerika. Keberhasilan kaum Pagan Amerika
Serikat untuk bertahan dengan tradisinya dinilai karena mereka
bermigrasi secara koloni, berkelompok. Di sisi lain mereka tetap
menghormati masyarakat asli Amerika sebagai pemilik tanah awal.
Sebuah pemahaman yang memungkinkan untuk dapat
berdampingan, berdialog, dan bekerja sama dengan orang asli
Amerika di tempat yang dihuni oleh leluhur mereka (McLoughlin,
2019).
Meski demikian, fenomena ini sulit diterapkan pada Suku
Tengger. Misalnya mentransmigrasikan mereka secara bedol desa
ke suatu tempat lain di Pulau Sumatera atau Kalimantan yang masil
memungkinkan untuk memiliki lahan pertanian yang lebih luas.
Masyarakat Suku Tengger terikat dengan tanah leluhur.
Meninggalkan tanah di sekitar Bromo, sama saja dengan
meninggalkan leluhur. Identitas Tengger adalah leluhur itu sendiri,

135
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

yang terikat kuat dengan Bromo sebagai pusat kebudayaan


Tengger.

G. Temuan Baru
Beberapa penelitian sebelumnya yang mengambil tema
tentang ukuran keluarga membahas tentang beberapa faktor yang
secara terpisah mempengaruhi ukuran keluarga. Misalnya faktor
lingkungan, yang terfokus pada sempitnya lahan pertanian atau
berkurangnya pasokan makanan pada masyarakat agraris di
beberapa negara (Choden, Keenan and Nitschke, 2020; Islam et al.,
2020; Khan et al., 2020; Yohannes, Teshome and Belay, 2020),
faktor anak, yang terfokus pada faktor umur anak di Amerika
(White, 2013), faktor preferensi jumlah anak di Jepang dan Afrika
(Snyder, 1974; Matsumoto and Yamabe, 2013), faktor preferensi
gender anak di India dan Pakistan (Hussain et al., 2007; Chauhan,
2014), faktor preferensi komposisi anak di Pakistan dan Bangladesh
(Uddin, Bhuyan and Islam, 2011), serta faktor nilai anak secara
ekonomi di India, yang berhubungan dengan mas kawin terkait
perkawinan (Chavada and Bhagyalaxmi, 2009). Faktor lain yang
terekam dalam hasil penelitian sebalumnya di Indonesia adalah
faktor penawaran program keluarga berencana yang diinisiasi
pemerintah di Indonesia (Hatton et al., 2017), serta sebuah
penelitian lainnya di India yang menginformasikan tentang faktor
usia ibu dan paritas (Dharmalingam, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian temuan baru berupa faktor
yang belum pernah diteliti, yaitu faktor lingkungan sosial berupa
religi, ritual adat, struktur sosial dan hukum waris, yang terbukti
berkaitan dengan ukuran keluarga. Kontribusi temuan baru yang
lain adalah relasi antara banyak faktor yang kompleks berinteraksi
membentuk konstruksi sosial ukuran keluarga. Kompleksitas
konstruksi sosial yang terjadi karena dipengaruhi oleh banyak
faktor lingkungan sosial, lingkungan fisik yang saling berkait dan

136
Tengger Bertahan dalam Adat

saling mempengaruhi, termasuk nilai orang Tengger tentang


keluarga dan anak, serta dukungan dari pemerintah untuk
ketersediaan pelayanan kesehatan dan alat kontrasepsi.

Lingkungan Sosial
1. Religi (agama leluhur)
2. Ritual adat (kekerik)
3. Struktur sosial (role
model)
4. Hukum waris

Keluarga
1. Makna
keluarga Lingkungan Fisik
(termasuk 1. Kondisi
menantu) geografis
2. Nilai anak (pegunungan)
(sebagai 2. Mata
aset, sebagai Konstruksi Sosial
pencaharian
beban, Ukuran Keluarga
(petani)
sebagai 3. Kecukupan
penerus adat) lahan
3. Preferensi 4. Strategi
gender anak adaptasi
(netral)
4. Preferensi
komposisi
anak (netral) Dukungan pemerintah
1. Ketersediaan
pelayanan kesehatan
2. Ketersediaan alat
kontrasepsi

Gambar 4.2. Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger


di Desa Wonokitri

Menurut Foster dan Anderson (1978), pola pikir pada


masyarakat bukanlah sebuah pemikiran yang tidak rasional. Pola

137
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

pikir masyarakat memiliki rasionalitasnya sendiri secara emik


(Foster and Anderson, 1978). Konstruksi sosial ukuran keluarga
Suku Tengger pada masyarakat di Desa Wonokitri yang ditujukan
untuk keberlangsungan Suku Tengger merupakan sebuah
pemikiran yang rasional, yang ternyata sesuai dengan program
keluarga berencana yang ditawarkan olek pemerintah.

H. Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian


Sebagai sebuah studi kualitatif dengan pendekatan
etnografi, kekuatan penelitian ini adalah soal kedalamannya dalam
mengkaji dan menarasikan ukuran keluarga kecil yang terjadi pada
masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri. Latar sosial dan
budaya dideskripsi secara gamblang dalam narasi hasil penelitian.
Detail narasi yang kontektual ini membuat kita bisa memahami
kompleksitas tentang bagaimana proses konstruksi sosial tersebut
dapat berlangsung, dan menjadi mapan hingga saat ini.
Karena keterbatasan data yang dikumpulkan, maka peneliti
tidak bisa melakukan analisis domain dan analisis taksonomi.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis tema budaya
sesuai dengan tujuan penelitian. Desain penelitian yang dipilih
menggunakan pendekatan kualitatif juga mengakibatkan
konsekuensi keterbatasan penelitian tersendiri. Hasil penelitian
menjadi terbatas hanya berlaku pada masyarakat Suku Tengger,
dan bahkan lebih sempit lagi, pada masyarakat Suku Tengger di
Desa Wonokitri. Keterbatasan hasil penelitian menjadi tantangan
tersendiri, ketika ada upaya untuk menjadikan hasil penelitian ini
sebagai pembelajaran bagi masyarakat komunitas adat lain
misalnya. Keterbatasan ini lebih dikarenakan perbedaan konteks
dan karakteristik masyarakat sasarannya.

138
Bab 5
Penutup

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat
diambil kesimpulan bahwa proses terjadinya konstruksi sosial
ukuran keluarga kecil mudah terjadi karena karakteristik sosial dan
budaya masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri itu sendiri.
Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil pada masyarakat Suku
Tengger di Desa Wonokitri berujung pada keinginan mereka untuk
mewujudkan keberlangsungan eksistensi Suku Tengger.
Konstruksi sosial berkaitan dengan makna dan nilai tentang
keluarga dan anak yang sudah melekat pada Suku Tengger
sebelumnya. Konstruksi sosial ukuran keluarga Suku Tengger
berkaitan dengan preferensi gender dan preferensi komposisi anak
yang cenderung netral. Secara emik bagi masyarakat Suku Tengger,
keluarga tidak hanya meliputi anak kandungnya, tetapi juga
termasuk para menantunya. Kondisi ini membuat keluarga Suku
Tengger tidak mempermasalahkan jenis kelamin anak yang
dimilikinya. Pada akhirnya mereka tetap akan mendapat “anak”
dengan jenis kelamin yang lengkap dari para menantunya.
Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil juga berkaitan
dengan lingkungan sosial yang berupa kepercayaan Tengger yang
bergantung pada leluhur yang berpusat di Gunung Bromo.
Berkaitan dengan ritual Tengger, dan hukum waris yang tidak
memandang perbedaan gender. Nilai-nilai dan keinginan untuk
mempertahankan keberadaan Suku Tengger menemukan
momentum ketika pemerintah menawarkan program keluarga
berencana. Tawaran ini disambut antusias oleh dukun adat, yang
seperti mendapatkan titik temu cara menjaga kelangsungan Suku

139
Tengger Bertahan dalam Adat

Tengger. Gayung bersambut, masyarakat mengikuti langkah yang


ditempuh oleh pemuncak struktur sosial Suku Tengger di Desa
Wonokitri tersebut.
Dalam prosesnya, konstruksi sosial ukuran keluarga kecil
berkaitan dengan lingkungan fisik berupa geografis tempat tinggal
Suku Tengger yang pegunungan. Berkaitan juga dengan mata
pencaharian sebagai petani. Orang Tengger memilih ukuran
keluarga kecil sebagai strategi adaptasi untuk mempertahankan
kecukupan lahan. Ukuran keluarga yang besar akan berdampak
anak keturunan mereka harus meninggalkan kawasan Gunung
Bromo, karena lahan pertanian tidak lagi cukup. Bila situasi
tersebut terjadi maka konsekuensinya leluhur menjadi tidak
terurus, karena mereka harus meninggalkan tempat leluhur
bersemayam. Dukungan pemerintah dengan ketersediaan
pelayanan dan alat kontrasepsi semakin memudahkan konstruksi
sosial ukuran keluarga kecil tersebut terjadi.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka saran yang bisa
diberikan kepada pemerintah adalah terkait program pengendalian
penduduk, dengan menjadikan konstruksi sosial ukuran keluarga
kecil pada Suku Tengger sebagai role model. Model ini diterapkan
untuk komunitas adat lain, baik pada Suku Tengger di wilayah lain,
maupun komunitas adat lainnya. Tidak serta-merta dengan
mencontoh secara penuh, tetapi secara filosofis prinsip-prinsip
yang mendasari terjadinya konstruksi ukuran keluarga kecil
tersebut. Misalnya pada masyarakat petani, bisa ditawarkan
strategi adaptasi ukuran keluarga kecil untuk mengatasi kecukupan
lahan.

140
Daftar Pustaka

Afritayeni (2017) ‘Hubungan Umur, Paritas dan Pendamping Persalinan


dengan Intensitas Nyeri Persalinan Kala I’, Journal Endurance, 2(2),
pp. 178–185. doi: 10.22216/jen.v2i2.1852.
Alandari, K. J. and Muti’ah, T. (2020) ‘Sudra - petani, berjumlah sekitar 90
persen dari populasi Bali.[1] Wesias (Waisya) - kasta pedagang dan
pegawai pemerintahan Satria (Kshatriya) - kasta prajurit, juga
mencakup bangsawan dan raja Brahmana - pendeta’, JURNAL
SPIRITS, 10(1), p. 78. doi: 10.30738/spirits.v10i1.6540.
Albanese, G., De Blasio, G. and Sestito, P. (2016) ‘My parents taught Me.
Evidence on the family transmission of values’, Journal of
Population Economics, 29(2), pp. 571–592. doi: 10.1007/s00148-
015-0574-8.
Alekseevaa, Olga S. ; Rzhanovaa, Irina E. ; Fominykha, Anna Ya.,
Zyryanova, N. M. (2016) ‘Family and Sibling Relations Concepts of
Preschoolers’, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 233, pp.
471 – 475. doi: 10.1016/j.sbspro.2016.10.196.
Alubafi, M. F. and Kaunda, C. J. (2019) ‘Embodied ancestors: Religious
objects, moral actions and well-being in the Cameroon western
grassfields’, HTS Teologiese Studies / Theological Studies, 75(1), p.
Article number a5174. doi: 10.4102/hts.v75i1.5174.
Astriana, W. (2017) ‘Kejadian Anemia padaIbu Hamil Ditinjau dari Paritas
dan Usia’, AISYAH: JURNAL ILMU KESEHATAN, 2(2), pp. 123–130.
doi: 10.30604/jika.v2i2.57.
Athbi, H. A. and Hassan, H. B. (2019) ‘Health Beliefs of Patients with
Coronary Heart Disease toward Secondary Prevention: The Health
Beliefs Model as a Theoretical Framework’, Indian Journal of Public
Health Research and Development, 10(1), pp. 272–278. doi:
10.5958/0976-5506.2019.00161.X.
Auger, M. D. (2016) ‘Cultural continuity as a determinant of Indigenous
peoples’ health: A metasynthesis of qualitative research in Canada
and the United States’, International Indigenous Policy Journal,
7(4), p. Article number 3. doi: 10.18584/iipj.2016.7.4.3.
Ayers, B. L. et al. (2019) ‘Maternal Health Beliefs, Perceptions, and

141
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Experiences in a U.S. Marshallese Community’, Journal of


Transcultural Nursing, in press, pp. 1–9. doi:
10.1177/1043659619854525.
Ayuninggar, D. P., Antariksa and Wardhani, D. K. (2012) ‘Pola Hunian
Tempat Tinggal Masyarakat Tengger Desa Wonokitri Kabupaten
Pasuruan’, JURNAL TESA ARSITEKTUR, 10(1), pp. 29–41. Available
at:
https://www.researchgate.net/publication/315618139_SOSIAL_B
UDAYA_PEMBENTUK_PERMUKIMAN_MASYARAKAT_TENGGER_D
ESA_WONOKITRI_KABUPATEN_PASURUAN.
Bachtiar, H. W. (1993) ‘Pengamatan sebagai Suatu Metode Penelitian’, in
Koentjaraningrat (ed.) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. 3rd
edn. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, pp. 108–128.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2010) Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2007-2008. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Badan Pusat Statistik (2018a) Laju Pertumbuhan Penduduk. Available at:
https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=86
(Accessed: 6 August 2018).
Badan Pusat Statistik (2018b) Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik (2018c) Rata-Rata Jumlah Anak yang Pernah
Dilahirkan/Paritas (CEB). Available at:
https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=30
(Accessed: 13 August 2018).
Badan Pusat Statistik (2018d) Total Fertility Rate. Available at:
https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=istilah/view&id=1549
(Accessed: 6 August 2018).
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan (2018) Kabupaten Pasuruan
dalam Angka 2018. Pasuruan: BPS Kabupaten Pasuruan. Available
at:
https://pasuruankab.bps.go.id/publication/download.html?nrbvf
eve=NDIxMThlYjc4Y2MwZDE1MGUxNWFkZmIy&xzmn=aHR0cHM
6Ly9wYXN1cnVhbmthYi5icHMuZ28uaWQvcHVibGljYXRpb24vMjA
xOC8wOC8xNi80MjExOGViNzhjYzBkMTUwZTE1YWRmYjIva2FidXB
hdGVuLXBhc3VydWFuLWRhbGFtLWFuZ2thLTIwMTgu.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur (2019) Provinsi Jawa timur
dalam Angka 2018. Surabaya: BPS Provinsi Jawa Timur. Available

142
Tengger Bertahan dalam Adat

at:
https://jatim.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=OTk
5OWI3MjdkMzE2YzAwNmVlMmZkN2U3%7B%5C&%7Dxzmn=aHR
0cHM6Ly9qYXRpbS5icHMuZ28uaWQvcHVibGljYXRpb24vMjAxOC8
wOC8xNi85OTk5YjcyN2QzMTZjMDA2ZWUyZmQ3ZTcvcHJvdmluc2
ktamF3YS10aW11ci1kYWxhbS1hbmdrYS0yMDE4Lmh0b.
Baedowi, A. (2015) Calak Edu 4: Esai-esai Pendidikan 2012-2014.
Tangerang: Pustaka Alvabet.
Bagheri, A. and Saadati, M. (2018) ‘Value of Children: Attitudinal Factors
Influencing Childbearing Desire of Iranian Women’, Women’s
Health Bulletin, 5(4). doi: 10.5812/whb.79370.
Bal, M. D. and Özkan, S. A. (2015) ‘Misconceptions about family planning
of women in Turkey’, International Journal of Human Sciences,
12(1), pp. 1319–1329. doi: 10.14687/ijhs.v12i1.2895.
Bennett, E. M. (2003) ‘Emancipatory responses to oppression: The
template of land-use planning and the old order amish of Ontario’,
American Journal of Community Psychology, 31(1–2), pp. 157–171.
doi: 10.1023/A:1023086923232.
Berg, B. L. (2001) Qualitative research methods for the social sciences.
Needham Heights, MA, MA: A Pearson Education Company.
Berger, P. L. (1991) Langit suci : agama sebagai realitas sosial. Jakarta:
LP3ES. Available at:
https://books.google.co.id/books/about/Langit_suci.html?id=YeQ
BuAAACAAJ&redir_esc=y.
Berger, P. L. and Luckmann, and T. (1966) The Social Construction of
Reality. London: Anchor Books. Available at:
perflensburg.se/Berger social-construction-of-reality.pdf.
Berger, P. L. and Luckmann, T. (1990) Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES. Available at:
https://openlibrary.telkomuniversity.ac.id/pustaka/16976/tafsir-
sosial-atas-kenyataan-risalah-tentang-sosiologi-
pengetahuan.html.
BKKBN (2018) Deputi KBKR: Angka Fertilitas Wanita Indonesia Alami
Penurunan. Available at:
https://www.bkkbn.go.id/detailpost/deputi-kbkr-angka-fertilitas-
wanita-indonesia-alami-penurunan (Accessed: 10 August 2018).
Blackwell, D. (2010) Family structure and children’s health in the United
States: Findings from the National Health Interview Survey, 2001–

143
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

2007, Vital and Health Statistics. Washington, D.C. Available at:


https://www.cdc.gov/nchs/data/series/sr_10/sr10_246.pdf.
Brauner-Otto, S. R. and Axinn, W. G. (2017) ‘Natural resource collection
and desired family size: a longitudinal test of environment-
population theories’, Population Environment, 38(4), pp. 381–406.
doi: 10.1007/s11111-016-0267-6.
Central Bureau of Statistics (Badan Pusat Statistik) (2011) Citizenship,
Ethnicity, Religion and Everyday Language of Indonesian
Population Results of the 2010 Population Census
(Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari
Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010). Jakarta.
Available at:
https://www.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=NT
VlY2EzOGI3ZmUwODMwODM0NjA1YjM1&xzmn=aHR0cHM6Ly93
d3cuYnBzLmdvLmlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMTIvMDUvMjMvNT
VlY2EzOGI3ZmUwODMwODM0NjA1YjM1L2tld2FyZ2FuZWdhcmFh
bi1zdWt1LWJhbmdzYS1hZ2FtYS1kYW4tYmFoYXNhLXNlaGFyaS1o
YXJpLXBlbmR1ZHVrLWluZG9uZXNpYS5odG1s&twoadfnoarfeauf=
MjAyMC0wMy0yOCAyMDozODo1OQ%3D%3D.
Central Bureau of Statistics of Indonesia (2011) Citizenship, Ethnicity,
Religion, and Everyday Language Indonesian Residents. Results of
the 2010 Population Census. Jakarta.
Chauhan, A. (2014) ‘Does Son Preference Affect Family Size? Evidences
from Hanumangarh District Rajasthan (India)’, Middle-East Journal
of Scientific Research, 19(11), pp. 1538–1545. doi:
10.5829/idosi.mejsr.2014.19.11.11425.
Chavada, M. and Bhagyalaxmi, A. (2009) ‘Effect Of Socio-Cultural Factors
on The Preference for The Sex of Children By Women in
Ahmedabad District’, Health and Population: Perspectives and
Issues, 32(4), pp. 184–189.
Choden, K., Keenan, R. J. and Nitschke, C. R. (2020) ‘An approach for
assessing adaptive capacity to climate change in resource
dependent communities in the Nikachu watershed, Bhutan’,
Ecological Indicators, 114, p. Article number 106293. doi:
10.1016/j.ecolind.2020.106293.
Clifford, J. (1986) ‘Introduction: Partial Truth’, in Clifford, j; Marcus, G. E.
(ed.) Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography.
Berkeley: University of California Press. Available at:

144
Tengger Bertahan dalam Adat

http://researchmethodswillse.voices.wooster.edu/files/2012/01/
Clifford_PartialTruths1.pdf.
Costa, M. F. da (2019) ‘Health belief model for coronavirus infection risk
determinants’, Revista de Saúde Pública, 54(47), pp. 1–12. doi:
10.11606/s1518-8787.2020054002494.
Creswell, J. W. (2008) Educational Research: Planning, Conducting, and
Evaluating Quantitative and Qulitative Research. New Jersey:
Prentice Hall.
Crevello, S. M. (2003) Local land use on Borneo: applications of indigenous
knowledge systems and natural resource utilization among the
Benuaq Dayak of Kalimantan, Indonesia. Louisiana State
University. Available at:
https://digitalcommons.lsu.edu/gradschool_dissertations/1302.
Cutler, L. (2004) ‘Ethnography’, in Bassett, C. (ed.) Qualitative Research in
Health Care. Philadelphia: Whurr Publishers Ltd, pp. 115–152.
Darroch, R. K., Meyer, P. A. and Singarimbun, M. (1981) Two are not
enough: the value of children to Javanese and Sundanese parents.
Honolulu-Hawaii: East-West Population Institute.
Daryanti, M. S. (2019) ‘Parity is related to antenatal examination of care
in pregnant women in PMB Sleman Yogyakarta’, Jurnal Kebidanan,
8(1), pp. 56–60.
Denzin, N.K.; Lincoln, Y. S. (1994) Handbook of Qualitative Research.
Thousand Oak, California: Sage Publications.
Dharmalingam, A. (1996) ‘The social context of family size preferences and
fertility behaviour in a south Indian village’, Genus, 52(1–2), pp. 83–
103.
Dhruve, S., Badgaiyan, Y. D. and Pandey, S. (2016) ‘A Study of Socio
Economic Factors Affecting Family Planning Services in An Urban
Area’, International Journal of Scientific Research, 5(6), pp. 618–
620. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/316941142.
Edmonds, S. W. and Ayres, L. (2016) ‘Evolutionary Concept Analysis of
Reproductive Life Planning’, Journal of Obstetric, Gynecologic, &
Neonatal Nursing, 46(1), pp. 78–90. doi:
10.1016/j.jogn.2016.07.012.
Eitle, Tamela McNulty; Jennings, Michelle Johnson. Eitle, D. J. (2013)
‘Family structure and adolescent alcohol use problems: Extending
popular explanations to American Indians’, Social Science

145
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Research, 42, pp. 1467–1479. doi:


10.1016/j.ssresearch.2013.06.007.
‘Encyclopedia of Sociology’ (2001). The Gale Group Inc. Available at:
https://www.encyclopedia.com/social-sciences/encyclopedias-
almanacs-transcripts-and-maps/family-size.
Engbretson, W. E. (1959) ‘Values of Children How They are Developed’,
Childhood Education, 35(6), pp. 259–264. doi:
10.1080/00094056.1959.10726781.
Eslami, M. and D’Arcangues, C. (2016) ‘Aiming for quality in Iran’s national
family planning program — two decades of sustained efforts’,
Contraception, 93, pp. 209–215. doi:
10.1016/j.contraception.2015.11.013.
Fahmi, S. and Pinem, M. (2018) ‘Analisis Nilai Anak dalam Gerakan
Keluarga Berencana bagi Keluarga Melayu’, Jurnal Pendidikan Ilmu-
Ilmu Sosial, 10(1), pp. 112–119. doi: 10.24114/jupiis.v10i1.9653.
Febriawanti, D. and Mansur, I. A. (2020) ‘Dinamika Hukum Waris Adat di
Masyarakat Bali Pada Masa Sekarang’, Media Iuris, 3(2), pp. 119–
132. doi: 10.20473/mi.v3i2.18754.
Fields, J. (2001) Living Arrangements of Children; Household Economic
Studies. Washington, D.C.
Fomby, Paula; Sennott, C. A. (2013) ‘Family structure instability and
mobility: The consequences for adolescents’ problem behavior’,
Social Science Research, 42, pp. 186–201. doi:
10.1016/j.ssresearch.2012.08.016.
Fontaine, J. La (2015) ‘Family: The Anthropology of the Concept and Its
History’, International Encyclopedia of the Social & Behavioral
Sciences. 2nd edn. Elsevier Ltd. doi: 10.1016/B978-0-08-097086-
8.12071-9.
Fowler, Patrick J.; Henry, David B.; Marcal, K. E. (2015) ‘Family and housing
instability: Longitudinal impact on adolescent emotional and
behavioral well-being’, Social Science Research, 53, pp. 364–374.
doi: 10.1016/j.ssresearch.2015.06.012.
Gabra, R. H. et al. (2020) ‘Knowledge, attitude and health-seeking
behavior among family caregivers of mentally ill patients at Assiut
University Hospitals: a cross-sectional study’, Middle East Current
Psychiatry, 27(1), p. Article number 10. doi: 10.1186/s43045-020-
0015-6.
Gele, A. A. et al. (2020) ‘Barriers and facilitators to contraceptive use

146
Tengger Bertahan dalam Adat

among Somali immigrant women in Oslo: A qualitative study’, PLoS


ONE, 15(3), p. Article number e0229916. doi:
10.1371/journal.pone.0229916.
Han, S., Tumin, D. and Qian, Z. (2016) ‘Gendered transitions to adulthood
by college field of study in the United States’, Demographic
Research, 35(1), pp. 929–960. doi: 10.4054/DemRes.2016.35.31.
Hartati, N. (2020) ‘Apakah sistem kekerabatan matrilinieal di suku Minang
masih membudaya? Analisis tematik pada makna pemberian
dukungan sosial mamak kepada kemenakan’, Jurnal Psikologi
Sosial, 18(3), pp. 199–210. doi: 10.7454/jps.2020.20.
Harumanto, Saputra, N. and Angkasawati, T. J. (2016) Stunting “Anak
Kadorih” yang Terabaikan. Surabaya: Unesa University Press.
Haryanto, J. T. (2014) ‘Local Wisdom Supporting Religious Harmony in
Tengger Community, Malang, East Java, Indonesia’, Analisa, 21/02,
pp. 201–213. doi: 10.18784/analisa.v21i02.15.
Haryanto, J. T. (2016) ‘Pesan Kerukunan Cerita Lisan Masyarakat Tengger
Desa Ngadas Kabupaten Malang’, Jurnal SMaRT; Studi Masyarakat,
Religi dan Tradisi, 2(2), pp. 131–142. doi:
10.18784/smart.v2i2.389.
Hatton, T. J. et al. (2017) ‘Fertility and the Health of Children in Indonesia’,
Economics and Human Biology. doi: 10.1016/j.ehb.2017.12.002.
Haviland, W. et al. (2007) Cultural Anthropology: The Human Challenge.
12th edn. Cengage Learning.
Hefner, R. W. (1983a) ‘Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic
Java’, American Ethnologist, 10(04), pp. 665–683. doi:
10.1525/ae.1983.10.4.02a00030.
Hefner, R. W. (1983b) ‘The Problem of Preference: Economic and Ritual
Change in Highlands Java’, Man, New Series, 18/04, pp. 669–689.
doi: 10.2307/2801902.
Hefner, R. W. (1985) Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam.
Princeton: Princeton University Press.
Hefner, R. W. (1987) ‘Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East
Java’, The Journal of Asian Studies, 46/03, pp. 533–554. doi:
10.2307/2056898.
Hidayatullah, M. S. and Mutmainnah (2020) ‘Konstruksi Sosial Bujuk
Tamoni: Studi Kasus Tentang Ritual Kepercayaan Untuk
Mendapatkan Anak Melalui Bujuk Tamoni di Desa Batuan
Kabupaten Sumenep’, Pamator Journal, 13(1), pp. 26–29. doi:

147
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

10.21107/pamator.v13i1.6925.
Hoffman, L. and Hoffman, M. (1973) ‘The value of children to parents’, in
Fawcett, J. T. (ed.) Psychological perspective on population. New
York: Basic Books, pp. 19–76.
Hull, T. H. and Hull, V. J. (1977) ‘The Persistence of High Fertility’, in
Caldwell, J. C. (ed.). Canberra: Department of Demography,
Australian National University.
Humas Pemkab Dati II Pasuruan (1988) Masyarakat Tengger dan Legenda
Kasodo. Pasuruan: Humas Pemkab Dati II Pasuruan.
Hussain, S. et al. (2007) ‘Factors Affecting The Family Size and Sex
Preference Among Christian Families In Urban Areas Of Faisalabad
(Pakistan)’, Journal Of Agriculture & Social Sciences, 3(1).
Ilham, L. (2020) ‘Mitos Wringin Sepuh dalam Kajian Islam’, Al-Iman Jurnal
Keislaman dan Kemasyarakatan, 4(1), pp. 22–42.
Ipa, M. et al. (2014) Pikukuh bandage - labor in Baduy tribe (Balutan
Pikukuh Persalinan Baduy). Jakarta: Lembaga Penerbitan
Balitbangkes.
Irfan, M. (2017) ‘Metamorfosis Gotong Royong dalam Pandangan
Konstruksi Sosial’, in Prosiding Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat. Bandung, pp. 1–10. Available at:
http://jurnal.unpad.ac.id/prosiding/article/view/14204/6868.
Islam, A. R. M. T. et al. (2020) ‘Insight into farmers’ agricultural adaptive
strategy to climate change in northern Bangladesh’, Environment,
Development and Sustainability, In press, p. In press. doi:
10.1007/s10668-020-00681-6.
Jensen, A.-M. (2009) ‘The Value of Children – Fertility, personal choices
and public needs.’, in Qvortrup, J. (ed.) Structural, Historical and
Comparative Perspectives. Sociological Studies of Children and
Youth. Emerald Books, pp. 195–220. doi: 10.1108/S1537-
4661(2009)0000012013.
Jiwani, S. S. et al. (2020) ‘Timing and number of antenatal care contacts in
low-and middle-income countries: Analysis in the Countdown to
2030 priority countries’, Journal of Global Health, 10(1). doi:
10.7189/jogh.10.010502.
Johnson, E. and Menna, R. (2017) ‘Help seeking among adolescents in
foster care: A qualitative study’, Children and Youth Services
Review, 76, pp. 92–99. doi: 10.1016/j.childyouth.2017.03.002.
Kabagenyi, A., Kakande, P. and Owayezu, V. (2020) ‘Demand for Family

148
Tengger Bertahan dalam Adat

Planning among Poor Women in Uganda: Analysis of the Uganda


Demographic and Health Surveys’, Research Square. doi:
10.2120https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-39847/v1 License:
Kabir, M. et al. (1994) ‘Factors Affecting Desired Family Size in
Bangladesh’, Journal of biosocial Science, 26, pp. 369–375.
Kadek, N. et al. (2019) ‘Sociodemographic factors and current
contraceptive use among ever-married women of reproductive
age : Analysis of the 2017 Indonesia Demographic and Health
Survey data’, Public Health and Preventive Medicine Archive
(PHPMA), 7(2), pp. 95–102. doi: 10.15562/phpma.v7i2.211.
Kagitcibasi, C. and Ataca, B. (2015) ‘Value of Children, Family Change, and
Implications for the Care of the Elderly’, Cross-Cultural Research,
49(3), pp. 374– 392. doi: 10.1177/1069397115598139.
Karimli, L. et al. (2021) ‘More assets, more decision-making power?
Mediation model in a cluster-randomized controlled trial
evaluating the effect of the graduation program on women’s
empowerment in Burkina Faso’, World Development, 137, p.
Article number 105159. doi: 10.1016/j.worlddev.2020.105159.
Kasnodihardjo (2014) ‘Nilai Anak dalam Keluarga dan Upaya Pemeliharaan
Kesehatannya (Value of Children in The Family and Health Care)’,
Jurnal Ekologi Kesehatan, 13(4), pp. 354 – 362.
Kementerian Kesehatan RI. (2014) Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Tahun 2013. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2019) Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Tahun 2018. Jakarta.
Kessler, T. A. (2017) ‘Cervical Cancer: Prevention and Early Detection’, in
Seminars in Oncology Nursing, pp. 172–183. doi:
10.1016/j.soncn.2017.02.005.
Khan, I. et al. (2020) ‘Farm households’ risk perception, attitude and
adaptation strategies in dealing with climate change: Promise and
perils from rural Pakistan’, Land Use Policy, 91, p. Article number
104395. doi: 10.1016/j.landusepol.2019.104395.
Khosiah, N. and Muhammad, D. H. (2019) ‘Fenomena Mitos yang
Berkembang di Masyarakat Post Modern Perspektif Islam’, Tajdid:
Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan, 3(2), pp. 222–235.
Kimani, M., Njeru, M. and Ndirangu, G. (2013) ‘Regional variations in
contraceptive use in Kenya: comparison of Nyanza, Coast and
Central Provinces’, African Population Studies, 27(1), pp. 43–52.

149
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

doi: 10.11564/27-1-6.
Kirolos, A. et al. (2018) ‘Care seeking behaviour by caregivers and aspects
of quality of care for children under five with and without
pneumonia in Ibadan, Nigeria’, Journal of Global Health, 8(2), p.
Article number 020805. doi: 10.7189/jogh.08.020805.
Kissal, A. and Kartal, B. (2019) ‘Effects of Health Belief Model-Based
Education on Health Beliefs and Breast Self-Examination in Nursing
Students’, Asia‑Pacific Journal of Oncology Nursing, 6(4), pp. 403–
410. doi: 10.4103/apjon.apjon_17_19.
Klaus, D., Suckow, J. and Nauck, B. (2007) ‘The Value of Children in
Palestine and Turkey Differences and the Consequences for
Fertility’, Current Sociology, 55(4), pp. 527–544. doi:
10.1177/0011392107077637.
Koentjaraningrat (1993) ‘Metode Wawancara’, in Koentjaraningrat (ed.)
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. 3rd edn. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, pp. 129–157.
Kolis, N. and Ajhuri, K. F. (2019) ‘SANGKAN PARANING DUMADI: Eksplorasi
Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam Jawa Prespektik
Kunci Swarga Miftahul Djanati’, Dialogia: Jurnal Studi Islam dan
Sosial, 17(1), pp. 1–20. doi: 10.21154/dialogia.v17i1.1653.
Kureishi, W. and Wakabayashi, M. (2011) ‘Son preference in Japan’,
Journal of Population Economics, 24(3), pp. 873–893. doi:
10.1007/s00148-009-0282-3.
Kurniawan, A. et al. (2012) The 2012 Ethnographic Series of Maternal and
Child Health Books, Ngalum Ethnic, Oksibil District, Pegunungan
Bintang Regency, Papua Province (Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012 Etnik Ngalum, Distrik Oksibil Kabupaten
Pegunungan Bintang, Provi. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Available at:
https://www.scribd.com/doc/142715053/Buku-Seri-Etnografi-
Kesehatan-Ibu-dan-Anak-2012-Etnik-Ngalum-Distrik-Oksibil-
Kabupaten-Pegunungan-Bintang-Provinsi-Papua.
Kurniawati, Putri Indah; Dinastiti, Charisma; Ningtias, Yasinta Kurnia;
Khoiriyah, Siti; Putri, N. A. (2012) ‘Potret Sistem Perkawinan
Masyarakat Tengger di Tengah Modernitas Industri Pariwisata’,
Solidarity, 1/1, pp. 1–4.
Kusrini, I., Ipa, M. and Laksono, A. D. (2020) ‘“Is It true that the child is
king?”: Qualitative Study of Factors Related to Nutritional Status of

150
Tengger Bertahan dalam Adat

Children in West Lombok, Indonesia’, Indian Journal of Public


Health Research and Development, in press.
Kwok, N. et al. (2018) ‘How leader role identity influences the process of
leader emergence: A social network analysis’, Leadership
Quarterly, 29(6), pp. 648–662. doi: 10.1016/j.leaqua.2018.04.003.
Lai, Q. and Thornton, A. (2014) ‘The Making ff Family Values:
Developmental Idealism in Gansu, China’, Social Science Research.
doi: 10.1016/j.ssresearch.2014.09.012.
Laksono, A. D. et al. (2014) Muyu women in exile (Perempuan Muyu dalam
Pengasingan). Jakarta: Lembaga Penerbitan Balitbangkes.
Available at:
https://www.scribd.com/doc/261673624/Perempuan-Muyu-
dalam-Pengasingan-Riset-Ethnografi-Kesehatan-2014-Boven-
Digoel.
Laksono, A. D., Megatsari, H., et al. (2020) ‘“Sahabat Desa” (Village
Friend): Innovation in Placement of Health Workers in the Midst of
the Community’, International Journal of Innovation, Creativity and
Change, 14(2), p. 530.
Laksono, A. D., Soedirham, O., et al. (2020) ‘Study of family size among
tenggerese in Indonesia’, International Journal of Innovation,
Creativity and Change, 13(4), pp. 964–978.
Laksono, A. D., Wulandari, R. D., et al. (2020) ‘Treatment-Seeking Behavior
of Tengger Tribe in Indonesia’, Journal of Critical Reviews, 7(19),
pp. 3946–3952. doi: 10.31838/jcr.07.19.458.
Laksono, A. D. and Faizin, K. (2015) ‘Traditions Influence Into Behavior in
Health Care; Ethnographic Case Study on Health Workers Muyu
Tribe’, Bulletin of Health System Research, 18(4), pp. 347–354. doi:
10.22435/hsr.v18i4.4567.347-354.
Laksono, A. D., Soerachman, R. and Angkasawati, T. J. (2016) ‘Case Study
of Muyu Ethnic’s Maternal Health in Mindiptara District-Boven
Digoel (Studi Kasus Kesehatan Maternal Suku Muyu di Distrik
Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel)’, Journal of Reproductive
Health, 07/03, pp. 145–155. doi: 10.22435/kespro.v7i3.4349.145-
155.
Laksono, A. D. and Wulandari, R. D. (2019) ‘“Children are Assets”: Meta
Synthesis of Child Values in the Lani and Acehnese (“Anak adalah
Aset”: Meta Sintesis Nilai Anak pada Suku Lani dan Suku Aceh)’,
Jurnal Kesehatan Reproduksi, 10(1), pp. 11–20. doi:

151
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

10.22435/kespro.v10i1.933.11-20.
Larasati, D. A. and Hartoyo (2016) ‘The Influence of Cultural Values and
Value of Children on Mother’s Time Allocation at Cimanuk
Watershed Families’, Journal of Family Sciences, 1(2), pp. 13–24.
doi: 10.29244/jfs.1.2.13-24.
Lee, R. M. (1993) Doing Research on Sensitive Topics. Newbury Park, CA,
CA: Sage Publications.
Lestari, W., Pamungkas, W. A. T. and Kumbara, A. (2016) Kematian Bayi
dan Balita dalam Balutan Mitos, Tradisi, dan Perubahan Sosial.
Surabaya: Unesa University Press. Available at:
https://www.scribd.com/document/333943798/Kematian-Bayi-
Balita-Balutan-Mitos-Tradisi-Perubahan-Sosial-Etnik-Jawa-di-
Kabupaten-Klaten.
Lillehagen, M. and Lyngstad, T. H. (2018) ‘Immigrant mothers’ preferences
for children’s sexes: A register-based study of fertility behaviour in
Norway’, Population Studies, 72(1), pp. 91–107. doi:
10.1080/00324728.2017.1421254.
Lubis, H. et al. (2017) ‘Mamidarai Sebagai Kepercayaan Dalam
Penyembuhan Penyakit Keteguran Makhluk Halus’, Psikostudia:
Jurnal Psikologi, 6(2), pp. 32–41. doi:
10.30872/psikostudia.v6i2.2374.
Mack, N. et al. (2005) Qualitative Research Methods: A Data Collector’s
Field Guide, Qualitative Research Methods: A data collector’s field
guide. Research Triangle Park, North Carolina, North Carolina:
Family Health International. doi: 10.1108/eb020723.
Madhavan, S. et al. (2017) ‘Household structure vs. composition:
Understanding gendered effects on educational progress in rural
South Africa’, Demographic Research, 37(1), pp. 1891–1916. doi:
10.4054/DemRes.2017.37.59.
Mahardini, N. M. D. and Tobing, D. H. (2018) ‘Perempuan Hindu-Bali yang
Nyerod dalam Melakukan Penyesuaian Diri’, Jurnal Psikologi
Udayana, 4(2), p. 390. doi: 10.24843/JPU.2017.v04.i02.p14.
Mahendra, I. G. A. A. et al. (2019) ‘The role of decision-making pattern on
the use of long-acting and permanent contraceptive methods
among married women in Indonesia’, European Journal of
Contraception and Reproductive Health Care. Taylor & Francis,
24(6), pp. 480–486. doi: 10.1080/13625187.2019.1670345.
Maksum, A. (2015) ‘Politik Identitas Masyarakat Tengger dalam

152
Tengger Bertahan dalam Adat

Mempertahankan Sistem Kebudayaan dari Hegemoni Islam dan


Kekuasaan’, el Harakah, 17/01, pp. 18–35. doi:
10.18860/el.v17i1.3083.
Malinowski, B. (1913) The Family among Australian Aborigines. London:
University of London Press. Available at:
https://archive.org/details/familyamongaust00mali.
Marsh, A. et al. (2020) ‘Determinants and patterns of care-seeking for
childhood illness in rural Pune District, India’, Journal of Global
Health, 10(1), p. Article number 010601. doi:
10.7189/JOGH.10.010601.
Martin, M. A. (2012) ‘Family structure and the intergenerational
transmission of educational advantage’, Social Science Research,
41, pp. 33–47. doi: 10.1016/j.ssresearch.2011.07.005.
Matsumoto, Y. and Yamabe, S. (2013) ‘Family size preference and factors
affecting the fertility rate in Hyogo, Japan’, Reproctive Health,
10(6). doi: 10.1186/1742-4755-10-6.
May, P. (2019) ‘Delusional health beliefs’, The Medico-legal journal, 87(2),
p. 002581721984551. doi: 10.1177/0025817219845512.
McAdoo, B. G. et al. (2006) ‘Smong: How an Oral History Saved Thousands
on Indonesia’s Simeulue Island during the December 2004 and
March 2005 Tsunamis’, Earthquake Spectra, 22(s3), pp. 661–669.
doi: 10.1193/1.2204966.
McLoughlin, L. A. (2019) ‘US pagans and indigenous Americans: Land and
identity’, Religions, 10(3), p. Article number 152. doi:
10.3390/rel10030152.
Mills, M. and Begall, K. (2010) ‘Preferences for the sex-composition of
children in Europe: A multilevel examination of its effect on
progression to a third child’, Population Studies, 64(1), pp. 77–95.
doi: 10.1080/00324720903497081.
Mongilyova, N. V. (2015) ‘Ethnocultural Concepts of Family Life on the
Material of Texts of Wedding Wishes’, Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 200, pp. 330–336. doi:
10.1016/j.sbspro.2015.08.074.
Munira, L., Subhansyah and Pranata, S. (2016) Dilema Program Keluarga
Berencana (The Dilemma of Family Planning Program). Surabaya:
Unesa University Press. Available at:
https://www.scribd.com/document/333666720/Dilema-Program-
Keluarga-Berencana-Etnik-Aceh-Kabupaten-Aceh-Timur.

153
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Nasution, S. K., Mahendradhata, Y. and Trisnantoro, L. (2019) ‘Changes in


Determinants and Equity of Family Planning Utilization after the
Implementation of a National Health Insurance Policy in Indonesia:
A Secondary Analysis of The 2012-2016 National Socio-Economic
Survey of Indonesia’, BMC Public Health, pp. 1–30. doi:
10.21203/rs.2.11463/v2.
Nikpay, S. S. (2016) ‘Federal Support for Family Planning Clinics Associated
with Dramatic Gains in Cervical Cancer Screening’, Women’s Health
Issues, 26(2), pp. 176–182. doi: 10.1016/j.whi.2015.11.006.
Novianti, H. (2016) ‘Pengaruh Usia dan Paritas terhadap Kejadian Pre
Eklampsia di RSUD Sidoarjo’, Jurnal Ilmiah Kesehatan, 9(1), pp. 25–
31.
Nur, M. L., Dhiniyati, N. and Pratiwi, N. L. (2016) Kesehatan Ibu dan Anak,
dalam Bayang-Bayang Leluhur ‘Parakang’’’. Surabaya: Unesa
University Press. Available at:
https://www.scribd.com/document/333841239/Kesehatan-Ibu-
dan-Anak-Dalam-Bayang-Bayang-Leluhur-Parakang-Etnik-Luwu-
Kabupaten-Luwu.
Nurpuspitasari, C., Mashabi, N. A. and Muhariati, M. (2017) ‘Nilai Anak
pada Masyarakat Betawi di wilayah Setu Babakan dan
Hubungannya dengan Ketahanan Keluarga’, Jurnal Kesejahteraan
Keluarga dan Pendidikan, 4(1), pp. 46–52. doi:
10.21009/JKKP.041.08.
Ochako, R. et al. (2016) ‘Contraceptive method choice among women in
slum and non-slum communities in Nairobi, Kenya’, BMC Women’s
Health. BMC Women’s Health, 16(1). doi: 10.1186/s12905-016-
0314-6.
Ochako, R. et al. (2017) ‘Determinants of modern contraceptive use
among sexually active men in Kenya’, Reproductive Health, 14(1),
p. Article number 56. doi: 10.1186/s12978-017-0316-3.
de Oliveira, I. T., Dias, J. G. and Padmadas, S. S. (2014) ‘Dominance of
Sterilization and Alternative Choices of Contraception in India: An
Appraisal of the Socioeconomic Impact’, PLoS ONE, 9(1), pp. 1–9.
doi: 10.1371/journal.pone.0086654.
Patriadi, H. B., Bakar, M. Z. A. and Hamat, Z. (2015) ‘Human security in
local wisdom perspective: Pesantren and its responsibility to
protect People’, Procedia Environmental Sciences, 28, pp. 100–105.
doi: 10.1016/j.proenv.2015.07.015.

154
Tengger Bertahan dalam Adat

Pemerintah Desa Wonokitri (2016) Profil Desa Wonokitri tahun 2015.


Pasuruan: Pemerintah Desa Wonokitri.
Pemerintah Desa Wonokitri (2018) Profil Desa Wonokitri Tahun 2018.
Pasuruan: Pemerintah Desa Wonokitri.
Pemerintah Kecamatan Tosari (2018) Kecamatan Tosari dalam Angka
2018. Pasuruan: Pemerintah Kecamatan Tosari. Available at:
https://pasuruankab.bps.go.id/publication/download.html?nrbvf
eve=MjNhN2VjYmYzMzhiMGRmOTBiNzE0NTIx&xzmn=aHR0cHM6
Ly9wYXN1cnVhbmthYi5icHMuZ28uaWQvcHVibGljYXRpb24vMjAx
OC8wOS8yNi8yM2E3ZWNiZjMzOGIwZGY5MGI3MTQ1MjEva2VjY
W1hdGFuLXRvc2FyaS1kYWxhbS1hbmdrYS0yMDE4Lmh0.
Philipov, D., Spéder, Z. and Billari, F. C. (2006) ‘Soon, later, or ever? The
impact of anomie and social capital on fertility intentions in
Bulgaria (2002) and Hungary (2001)’, Population Studies, 60(3), pp.
289–308. doi: 10.1080/00324720600896080.
Prasanti, M. Della (2013) ‘Nilai Anak pada Ibu dengan Status Sosial
Ekonomi Tinggi Ditinjau dari Etnis Jawa’, Calyptra: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(1), pp. 1–15.
Pratita, I. and Laksono, A. D. (2020) ‘“If this child eats, whatever she/he is
asked ...”: Exploration of Value of Children and Parenting Patterns
in Javanese in the Besowo village, Kediri, East Java’, Amerta
Nutrition, in press.
Pratiwi, N. L. et al. (2019) ‘Concealed Pregnant Women or Kemel of Gayo
Ethnic in Blang Pegayon District, Gayo Lues District, Aceh’, Bulletin
of Health System Research, 22(2), pp. 81–90. doi:
10.22435/hsr.v22i2.1693.
Presiden Republik Indonesia (2018) Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok
Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan. Jakarta.
Purnomo, I. M. D. H., Natajaya, I. N. and Sudiatmaka, K. (2019)
‘Pelaksanaan Perkawinan Beda Kasta di Banjar Dauhwaru,
Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana’, Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha, 7, p. 2. doi:
10.23887/jpku.v7i2.22160.
Purwaningsih, R. F. and Witro, D. (2020) ‘Islam Nusantara in Slogan
Bhinneka Tunggal Ika: Al-Quran Perspective’, Cakrawala Jurnal
Studi Islam, 15(1), pp. 1–11. doi: 10.31603/cakrawala.v15i1.3301.
Putra, I. G. N. B. P., Budiono, A. R. and Susilo, H. (2020) ‘Hak Mewaris Anak

155
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Luar Kawin Berdasarkan Pengangkatan oleh Kakeknya Menurut


Hukum Waris Adat Bali’, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, 5(1), p. 75. doi: 10.17977/um019v5i1p75-84.
Rahman, A., Sakurai, A. and Khairul Munadi (2017) ‘The analysis of the
development of the Smong story on the 1907 and 2004 Indian
Ocean tsunamis in strengthening the Simeulue island community’s
resilience’, International Journal of Disaster Risk Reduction, 2, pp.
1–22. doi: 10.1016/j.ijdrr.2017.07.015.
Rahman, A., Sakurai, A. and Munadi, K. (2018) ‘Indigenous knowledge
management to enhance community resilience to tsunami risk:
lessons learned from Smong traditions in Simeulue island,
Indonesia’, IOP Conference Series Earth and Environmental Science,
56(1), pp. 1–13. doi: 10.1088/1755-1315/56/1/012018.
Republik Indonesia (2009) Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Indonesia.
Republik Indonesia (2017) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Indonesia:
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Rios-Zertuche, D. et al. (2017) ‘Contraceptive knowledge and use among
women living in the poorest areas of five Mesoamerican countries’,
Contraception. The Authors, 95(6), pp. 549–557. doi:
10.1016/j.contraception.2017.01.005.
Riswati et al. (2012) Mother and Child Health Ethnographic Series Book
2012; Ethnic Bali, Banjar Banda, Saba Village, Blahbatuh District,
Gianyar Regency, Bali Province. Jakarta: Pusat Humaniora,
Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Available at:
https://www.scribd.com/doc/142695628/Buku-Seri-Etnografi-
Kesehatan-Ibu-dan-Anak-2012-Etnik-Bali-Banjar-Banda-Desa-
Saba-Kecamatan-Blahbatuh-Kabupaten-Gianyar-Provinsi-Bali.
Rizkianto, R., Muflikhati, I. and Hernawati, N. (2013) ‘Nilai Ekonomi Anak,
Motivasi, dan Self-Esteem Pekerja Anak’, Jur. Ilm. Kel. & Kons., 6(3),
pp. 172–179. doi: 10.24156/jikk.2013.6.3.172.
Ruslan, I. (2017a) ‘“Child Values” in the Perspective of Multi-Ethnic and
Religious Societies (“Nilai Anak” dalam Perspektif Masyarakat
Multi Etnik dan Agama)’, Jurnal Pendidikan Sosiologi dan
Humaniora, 8(2), pp. 18–33.
Ruslan, I. (2017b) ‘“Nilai Anak” dalam Perspektif Masyarakat Multi Etnik

156
Tengger Bertahan dalam Adat

dan Agama’, Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, 8(2), pp.


18–33.
Sam, A. S. et al. (2017) ‘Quantifying household vulnerability triggered by
drought: evidence from rural India’, Climate and Development,
9(7), pp. 618–633. doi: 10.1080/17565529.2016.1193461.
Sam, A. S. et al. (2020) ‘Climate change, drought and rural communities:
Understanding people’s perceptions and adaptations in rural
eastern India’, International Journal of Disaster Risk Reduction, 44,
p. Article number 101436. doi: 10.1016/j.ijdrr.2019.101436.
Sandström, G. and Vikström, L. (2015) ‘Sex preference for children in
German villages during the fertility transition’, Population Studies,
69(1), pp. 57–71. doi: 10.1080/00324728.2014.994667.
Santoso, P. (2016) ‘Konstruksi Sosial Media Massa’, Al-Balagh, 1(1), pp.
30–48.
Scandizzo, P. L. (2019) ‘Equilibrium Theory’, in Marciano, A. and Ramello,
G. B. (eds) Encyclopedia of Law and Economics. New York: Springer.
doi: 10.1007/978-1-4614-7753-2_35.
Seidlein, A.-H. and Salloch, S. (2019) ‘Illness and disease: An empirical-
ethical viewpoint’, BMC Medical Ethics, 20(1), pp. 1–10. doi:
10.1186/s12910-018-0341-y.
Sellers, S. and Gray, C. (2019) ‘Climate shocks constrain human fertility in
Indonesia’, World Development, 117, pp. 357–369. doi:
10.1016/j.worlddev.2019.02.003.
Setiawan, E. (2017) ‘Konstruksi Sosial Pembagian Kerja dan Pengupahan
Buruh Tani’, YINYANG Jurnal Studi Islam Gender dan Anak, 12(1),
pp. 19–34. doi: 10.24090/yinyang.v12i1.2017.pp19-34.
Setiawan, S. R., F, N. and Pratiwi, N. L. (2015) Ironi Kurang Gizi di Kaki
Gunung Mutis. Surabaya: Puslitbang Humaniora dan Manajemen
Kesehatan.
Shea, H. et al. (2019) ‘Cultural Revitalization as a Restorative Process to
Combat Racial and Cultural Trauma and Promote Living Well’,
Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology, In press, p. In
press. doi: 10.1037/cdp0000250.
Shimeka Teferra, A. (2015) ‘Determinants of Long Acting Contraceptive
Use among Reproductive Age Women in Ethiopia: Evidence from
EDHS 2011’, Science Journal of Public Health, 3(1), p. 143. doi:
10.11648/j.sjph.20150301.33.
Sholihah, L. A. and Sartika, R. A. D. (2014) ‘Makanan Tabu pada Ibu Hamil

157
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Suku Tengger’, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8/7, pp.


319–324. doi: 10.21109/kesmas.v0i0.372.
Shulgina, Elena M. ; and Fang, Y. et al. (2014) ‘The Concept “Family” in the
Russian and Chinese Linguistic Views of the World’, Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 154, pp. 162–169. doi:
10.1016/j.sbspro.2014.10.129.
Shulgina, Elena M. ; and Fang, Y. (2014) ‘The Concept “Family” in the
Russian and Chinese Linguistic Views of the World’, Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 154, pp. 162–169. doi:
10.1016/j.sbspro.2014.10.129.
Simieneh, M. M. et al. (2019) ‘Mothers’ health care seeking behavior and
associated factors for common childhood illnesses, Northwest
Ethiopia: Community based cross-sectional study’, BMC Health
Services Research, 19(1), p. Article number 59. doi:
10.1186/s12913-019-3897-4.
Siroky, D. S. and Mahmudlu, C. (2015) ‘E Pluribus Unum?’, Problems of
Post-Communism, 00, pp. 1–14. doi:
10.1080/10758216.2015.1082124.
Sivak, L. et al. (2019) ‘“Language Breathes Life”—Barngarla Community
Perspectives on the Wellbeing Impacts of Reclaiming a Dormant
Australian Aboriginal Language’, International Journal of
Environmental Research and Public Health, 16(20), p. Article
number 3918. doi: 10.3390/ijerph16203918.
Smith-Hefner, N. J. (1983) Language and Social Identity: Speaking
Javanese in Tengger (Indonesia), ProQuest Dissertations and
Theses. Available at:
http://search.proquest.com/docview/303177712?accountid=137
71.
Smith-Hefner, N. J. (1990) ‘The Litany of" The World’s Beginning": A
Hindu-Javanese Purification Text’’, Journal of Southeast Asian
Studies, 21(02), pp. 287–328. doi: 10.1017/S0022463400003258.
Smith-Hefner, N. J. (1992) ‘Pembaron: An East Javanese Rite of Priestly
Rebirth’, Journal of Southeast Asian Studies, 23(02), pp. 237–275.
doi: 10.1017/S0022463400006184.
Smith, N. J. and Hefner, R. W. (1989) ‘A Social History of Language Change
in Highland East Java’, The Journal of Asian Studies, 48(2), pp. 257–
271. doi: 10.2307/2057377.
Snyder, D. W. (1974) ‘Economic Determinants of Family Size in West

158
Tengger Bertahan dalam Adat

Africa’, Demography, 11(4), pp. 613–628. doi: 10.2307/2060473.


Sondergaard, A. (1956) ‘What a Child Values’, Childhood Education, 32(6),
pp. 255–256. doi: 10.1080/00094056.1956.10727629.
Spradley, J. (1979) The Ethnographic Interview. Belmont, CA, CA:
Wadsworth.
Spradley, J. P. (2007) Metode Etnografi. second edi. Tiara Wacana.
Stark, A., Fatan, Y. and Kurniawan, Y. (2016) ‘Tawa nan ampek: A
traditional Way of healing Measles, Keteguran and other Disorders
in West Sumatra’, International Journal of Social Science Studies,
4(5), pp. 90–94. doi: 10.11114/ijsss.v4i5.1522.
Suckow, J. (2008) ‘Dependence of The Values of Children on Socio-
Structural Characteristics: The Case of Israel and Palestine’, in
Zheng, G., Leung, K., and Adair, J. G. (eds) Perspectives and progress
in contemporary cross-cultural psychology. International
Association for Cross-Cultural Psychology, pp. 119–128. Available
at: https://scholarworks.gvsu.edu/iaccp_papers/18/.
Sudrajat, A., Fahriani, A. A. and Soerachman, R. (2016) ‘Mama Biang’:
Shaman’s paradise in the Poilaten (Surga Dukun ‘Mama Biang’: di
Negeri Poilaten). Surabaya: Unesa University Press.
Sulaiman, A. (2016) ‘Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger’,
Jurnal Society, 6(1), pp. 15–22. doi: 10.33019/society.v4i1.32.
Supraptini, A. et al. (2016) Banjar Women in the arms of “Kelalah” disease
(Perempuan Banjar Dalam Dekapan Penyakit “Kelalah”). Surabaya:
Unesa University Press. Available at:
https://www.scribd.com/document/333683691/Perempuan-
Banjar-Dalam-Dekapan-Penyakit-Kelalah-Etnik-Banjar-Kabupaten-
Banjar.
Supraptini, A., Sulaiman and Astuti, W. D. (2016) Banjar Women in the
arms of “Kelalah” disease (Perempuan Banjar dalam Dekapan
Penyakit ’Kelalah’). Surabaya: Unesa University Press.
Sutika, I. N. D. (2019) ‘Perempuan dalam Konstruksi Sosial Religius
Masyarakat Bali’, Pustaka : Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya, 19(1), pp. 56–
62. doi: 10.24843/PJIIB.2019.v19.i01.p10.
Syafwina (2014) ‘Recognizing Indigenous Knowledge for Disaster
Management: Smong, Early Warning System from Simeulue Island,
Aceh’, Procedia Environmental Sciences, 20, pp. 573–582. doi:
10.1016/j.proenv.2014.03.070.
The Editors of Encyclopaedia Britannica (2018) Nuclear family. Available

159
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

at: https://www.britannica.com/topic/nuclear-family (Accessed:


13 August 2018).
Thomson, E. (2015) ‘Family Size Preferences’, in International
Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. Elsevier Ltd., pp.
805–808. doi: 10.1016/B978-0-08-097086-8.31064-9.
Trommsdorff, G. (2002) ‘Value of children and intergenerational relations:
A cross-cultural study’, Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia
Bulletin, 1, pp. 6–14. Available at:
https://pdfs.semanticscholar.org/6d72/656e8d6859eba63fb3ed8
e415f50648cce3b.pdf.
Uddin, M. I., Bhuyan, K. C. and Islam, S. S. (2011) ‘Determinants of Desired
Family Size and Children Ever Born in Bangladesh’, The Journal of
Family Welfare, 57(2).
United Nations Group of Experts on Geographical Names (2017) United
Nations Conference on the Standardization of Geographical Names
, 11th. Available at:
https://unstats.un.org/unsd/geoinfo/UNGEGN/ungegnConf11.ht
ml (Accessed: 1 June 2020).
Usmana, F., Murakamib, K. and Kurniawan, E. B. (2014) ‘Study on Reducing
Tsunami Inundation Energy by the Modification of Topography
Based on Local Wisdom’, Procedia Environmental Sciences, 20, pp.
642–650. doi: 10.1016/j.proenv.2014.03.077.
Utomo, M. R., Hidayat, K. and Yuliati, Y. (2015) ‘The Meaning of
Agriculture and Tourism Activities for Tengger Society in Wonokitri
Village, Tosari District, Pasuruan of Regency’, Habitat, 26(1), pp.
40–46. doi: 10.21776/ub.habitat.2015.026.1.5.
Vitasurya, V. R. (2016) ‘Local Wisdom for Sustainable Development of
Rural Tourism, Case on Kalibiru and Lopati Village, Province of
Daerah Istimewa Yogyakarta’, Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 216, pp. 97–108. doi: 10.1016/j.sbspro.2015.12.014.
W.N., R., N.A., F. and Suharmiati (2016) Kerumun Cacing ‘Bouli’: Potret
Kesehatan Anak di Tanah Pasola. Surabaya: Unesa University
Press.
Wahyudi, A., Intiasari, A. D. and Laksono, A. D. (2016a) Portrait of the
‘Noken Child’ Pattern in Lani Culture (Potret Pola Asuh ‘Anak
Noken’ dalam Budaya Lani). Surabaya: Unesa University Press.
Available at:
https://www.scribd.com/document/333839273/Potret-Pola-

160
Tengger Bertahan dalam Adat

Asuh-Anak-Noken-Dalam-Budaya-Lani-Etnik-Lani-Kabupaten-
Tolikara.
Wahyudi, A., Intiasari, A. D. and Laksono, A. D. (2016b) Potret Pola Asuh
‘Anak Noken’ dalam Budaya Lani. Surabaya: Unesa University
Press.
Wekesa, N. M. et al. (2018) ‘High Parity and Low Education are Predictors
of Late Antenatal Care initiation High Parity and Low Education are
Predictors of Late Antenatal Care initiation among Women in
Maternal and Child Health Clinics in Kwale County , Kenya’, Journal
of Health, Medicine, and Nursing, 50(January).
White, A. A. (2013) ‘Subsistence economics, family size, and the
emergence of social complexity in hunter–gatherer systems in
eastern North America’, Journal of Anthropological Archaeology.
doi: 10.1016/j.jaa.2012.12.003.
Wibawa, S. S. (2013) ‘Nilai Filosofi Jawa dalam Serat Centhini’, LITERA:
Jurnal Penelitian Bahasa, sastra, dan Pengajarannya, 12(2), pp.
328–344. doi: 10.21831/ltr.v12i02.1546.
Widia, L. (2017) ‘Hubungan antara paritas dengan persalinan letak
sungsang’, Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah, 13(1), pp.
13–18. doi: 10.31101/jkk.155.
Widyasari, R. et al. (2012) The 2012 Maternal and Child Health
Ethnographic Series, Madura Ethnic Jrangoan Village, Omben
District Sampang Regency, East Java Province (Buku Seri Etnografi
Kesehatan Ibu dan Anak 2012, Etnik Madura Desa Jrangoan,
Kecamatan Omben Kabupaten Sampang, Pro. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
RI. Available at: https://www.scribd.com/doc/142716339/Buku-
Seri-Etnografi-Kesehatan-Ibu-dan-Anak-2012-Etnik-Madura-Desa-
Jrangoan-Kecamatan-Omben-Kabupaten-Sampang-Provinsi-Jawa-
Timur.
Wirabaskara, B., Parinduri, S. K. and Putro, G. (2016) Kegagalan Imunisasi,
Kesenjangan Komunikasi antara Petugas dan Masyarakat.
Surabaya: Unesa University Press. Available at:
https://www.scribd.com/document/333683466/Kegagalan-
Imunisasi-Kesenjangan-Komunikasi-Antara-Petugas-Kesehatan-
Masyarakat-Etnik-Aceh-Kabupaten-Aceh-Utara.
Wisuthsarewong, W. et al. (2020) ‘Acne beliefs, treatment-seeking
behaviors, information media usage, and impact on daily living

161
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

activities of Thai acne patients’, Journal of Cosmetic Dermatology,


19(5), pp. 1191–1195. doi: 10.1111/jocd.13132.
Wiyata, L. (2002) Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
Yogyakarta: LKiS.
World Health Organization (1946) Preamble to the Constitution of WHO.
New York, Geneva.
Yang, J. (2017) ‘Gendered division of domestic work and willingness to
have more children in China’, Demographic Research, 37(1), pp.
1949–1974. doi: 10.4054/DemRes.2017.37.62.
Yohannes, Z., Teshome, M. and Belay, M. (2020) ‘Adaptive capacity of
mountain community to climate change: case study in the Semien
Mountains of Ethiopia’, Environment, Development and
Sustainability, 22(4), pp. 3051–3077. doi: 10.1007/s10668-019-
00334-3.
Young, G. L. (1986) ‘Environment: Term and concept in the social
sciences’, Social Science Information, 25, pp. 83–124. doi:
10.1177/053901886025001006.
Young, G. L. (1989) ‘A Conceptual Framework for an Interdisciplinary
Human Ecology’, Acta Oecologiae Hominis, 1, pp. 1–135.

162
Glosari

Among-among: Upacara atau ritual selamatan untuk bayi yang


baru lahir. Among-among juga biasa disebut sebagai kekerik.
Dilakukan saat 40 hari pasca lahiran.
Anglo: Tungku portabel khas suku Jawa dengan bahan bakar utama
arang. Dipakai untuk menghangatkan tubuh pada suku
Tengger, menggantikan fungsi pawon, karena lebih efisian
dari sisi bahan bakarnya.
Bahu suku: istilah untuk sepuh dan legen, yang bertindak sebagai
pendukung, penyedia uba rampe (kelengkapan), atau yang
mempersiapkan segala kebutuhan ritual adat Tengger.
Banten: adalah istilah yang secara harfiah artinya adalah pemujaan.
Pemujaan dilakukan terhadap Sang Hyang Widhi Wsa
dengan segala manifestasinya sebagai dewa-dewi, dengan
cara memberikan sesaji.
Barikan: Bancakan, semacam kenduri untuk tetolak (tolak bala),
untuk keselamatan. Dilakukan pada saat memperingati hari-
hari khusus dalam sosial kemasyarakatan. Misalnya pada
saat tanggal 16 Agustus malam menjelang hari kemerdekaan
Republik Indonesia keesokan harinya.
Bersentana: istilah lain untuk menempati, melinggihi, bagi roh yang
diyakini menempati pepunden atau suatu tempat khusus,
yang memelihara tempat khusus tersebut.
Brang Kulon: Secara harfiah artinya adalah seberang Barat;
merujuk pada masyarakat Tengger yang mendiami wilayah
Kabupaten Pasuruan di Kecamatan Tosari dan sebagian kecil
Kecamatan Nongkojajar.

163
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Brang Wetan: Secara harfiah artinya adalah seberang Timur;


merujuk pada masyarakat Tengger yang mendiami wilayah
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang dan
Kabupaten Malang.
Butha’an: Sunat atau khitanan, atau dalam bahasa Tengger lainnya
juga disebut sebagai potong kuncung. Pemotongan kulup
(ujung penis) dilakukan oleh dukun adat. Biasa dilakukan
pada anak laki-laki antara umur 10-15 tahun.
Dulur Papat Kalimo Badan: istilah untuk “saudara” pada saat bayi
dilahirkan. Terdiri dari kakang kawah, adi ari-ari,
getih dan puser.
Entas-entas: adalah upacara penyucian agar arwah manusia yang
meninggal bisa naik ke kahyangan. Dalam upacara ini api
penyucian dari Dewa Siva dan Dewi Uma dipakai sebagai
sarana penyucian. Sebelum memulai ritual, arwah diletakkan
di kuali (maron), yang merupakan wujud simbolis dari kawah
Gunung Bromo.
Gentenan cecelukan: adalah istilah Tengger untuk berantian dalam
hal mengundang atau meminta bantuan.
Gentenan: Gantian atau bergiliran.
Hulun: adalah sebutan untuk orang Tengger sejak jaman sebelum
Majapahit. Secara harfiah artinya adalah pengabdi dewa-
dewi agama Hindu.
Jelang asap: adalah organisasi Hindu/Tengger non formal yang
beranggotakan anak-anak muda yang giat mempelajari
tentang adat Tengger dan Hindu, melakukan puja pada
Leluhur dan Batara.
Karo: atau Yadnya Karo, atau Hari Raya Karo, adalah hari raya
selain Kasada yang dilaksanakan pada setiap bulan Karo
dalam kalender Tengger. Secara harfiah, dalam bahasa
Tengger, arti Karo adalah ke-dua. Hal ini untuk menandari

164
Tengger Bertahan dalam Adat

bahwa upacara Karo dilaksanakan pada bulan ke-dua dalam


penanggalan Tengger.
Kasada: Upacara pemujaan untuk menghormati anak bungsu Joko
Segerdan Rara Anteng yang mengorbankan dirinya ke kawah
Gununf Bromo untuk keselamatan wilayah Tengger. Upacara
dilaksanakan dengan melakuan persembahan hasil bumi di
kawah Gunung Bromo. Upacara digelar pada bulan ke-
sepuluh penanggalan Tengger.
Kasanga: Ke-sembilan
Kebrojolan: Istilah dalam bahasa lokal untuk kegagalan dalam
proses pemakaian alat kontrasepsi untuk mencegah
pembuahan, sehingga perempuan masih bisa mengandung.
Kekerik: Upacara atau ritual selamatan untuk bayi yang baru lahir.
Biasa juga disebut sebagai among-among. Dilakukan saat 40
hari pasca lahiran.
Leliwet: istilah untuk ritual selamatan pada lahan pertanian.
Sesajen yang dibawa pada acara leliwet tergantung pada
jumlah ladang yang akan diselamati. Meski acara leliwet
dilakukan secara bersama-sama, tetapi tamping (sesajen)
yang disediakan bisa sampai ratusan.
Lungguan Jeneng: Penetapan nama. Biasanya dilakukan pada saat
lahiran atau sehari pasca lahiran.
Manca pat: adalah istilah untuk manca lima-nya desa, lima sudut
desa. Istilah untuk Hyang Bahureksa yang menempati lima
sudut desa.
Mbarep: Anak sulung, atau anak pertama.
Mbahureksa: Penyebutan untuk roh-roh yang menempati atau
menguasai suatu tempat khusus. Juga biasa disebut
danyang. Secara umum seperti sudah diketahui oleh
masyarakat Tengger, siapa saja roh yang menempati suatu
wilayah. Mbahureksa ada yang menempati sudut kecil suatu

165
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

pengkolan jalan, ada juga yang menempati wilayah lebih luas


lagi dalam satu kawasan.
Mulunen: adalah ritual atau ujian pada saat seseorang
mencalonkan diri menjadi dukun adat Tengger.
Ngelayat: istilah untuk mendatangi rumah keluarga yang sedang
terkena musibah meninggal.
Ngepras: Adalah ritual bersih desa dengan membuat sesaji untuk
melebur. Melebur dosa karena telah mengotori desa.
Contohnya pada kasus adanya hamil di luar pernikahan pada
muda-mudi.
Nyadran: Ritual pemujaan pada roh leluhur yang dilakukan dengan
mengunjungi makam atau tempat para roh leluhur
bersemayam. biasa dilakukan minimal sebulan sekali pada
hari Jum’at Legi, perpaduan hari antara perhitungan
penanggalan matahari dan bulan.
Nyelawat: Mendatangi rumah keluarga yang sedang terkena
musibah anggota keluarganya ada yang meninggal.
Nyewu: Ritual untuk selamatan memperingati kematian pada hari
ke-seribu.
Ongkek: istilah untuk persembahan korban pada saat ritual upacara
Kasada. Ongkek dipersembahkan apabila pada bulan Kasada
tidak ada yang meninggal.
Padmasari: atau Pelinggih; Tugu kecil sebagai sebuah tanda bahwa
tempat itu ada yang menempati, sekaligus tempat untuk
melakukan pujan pada yang mbahureksa di tempat itu.
Paduman Sulinggeh: Perkumpulan adat Tengger dari 4 kabupaten
yang didiami Suku Tengger. Empat kabupaten tersebut
adalah Pasuruan, Probolinggo, Malang, dan Lumajang.
Paduman Sulinggih adalah lembaga yang
mendokumentasikan dan membukukan sejarah Tengger,
serta mengeluarkan kalender penanggalan Tengger yang

166
Tengger Bertahan dalam Adat

tercetak, yang menjadi acuan jadwal bagi seluruh kegiatan


ritual Tengger.
Paron: Sistem bagi hasil setengah-setengah
Pawon: Tungku khas yang pada jaman dahulu dibuat dari tanah liat
berbentuk kubus dengan dua lubang di atasnya. Pada saat ini
pawon sudah dibuat dengan bahan lebih modern, dari
semen. Bahkan sudah cukup banyak ditemui yang dilapisi
dengan porselen.
Pedanyangan Hyang Bahurekso: adalah Leluhur yang menjadi
sesembahan orang Tengger.
Pelairan: istilah untuk menandai hari kelahiran pada penanggalan
Tengger. Identik dengan weton pada Suku Jawa. Biasanya
dipakai sebagai panduan saat melakukan perjodohan, untuk
melihat kecocokan pasangan berdasarkan pelairan-nya.
Setiap nama hari ada hitungan angkanya. Angka pelairan
kedua calon pasangan akan dijumlahkan, kemudian dibagi
dengan angka 3. Apakah hasil pembagian ada sisa atau tidak?
Apabila tidak ada sisa maka pasangan tidak boleh
dinikahkan. Tidak boleh dijodohkan.
Pelinggih: atau Padmasari; Tugu kecil sebagai sebuah tanda bahwa
tempat itu ada roh yang me-linggih-i, atau menempati,
sekaligus tempat untuk melakukan pujan pada yang
mbahureksa di tempat tersebut.
Pambaron: dalam Bahasa Indonesia secara harfiah artinya
pembaharuan.
Pertigan: Sistem bagi hasil sepertiga-sepertiga.
Potong kuncung: Sunat atau khitanan, atau dalam bahasa Tengger
lainnya juga disebut sebagai butha’an. Pemotongan kulup
(ujung penis) dilakukan oleh dukun adat. Biasa dilakukan
pada anak laki-laki antara umur 10-15 tahun.

167
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Prasen: adalah tempat air suci yang dipakai dukun Tengger. Dibuat
dan disebarkan oleh Keraton Majapahit.
Pujan: atau Pemujaan. Biasa dilakukan dengan semacam semadi,
atau merapal mantra-mantra semampu yang dihapal,
dengan menyebut nama leluhur, baik leluhur keluarga
sendiri, maupun leluhur Tengger, keturunan Rara Anteng
dan Jaka Seger.
Purwobumi: adalah japa mantra yang dipakai dalam pelaksanaan
ritual entas-entas. Secara harfiah artiny adalah asal-usul
dunia.
Ragil: Anak bungsu, atau anak terakhir.
Sada: adalah anak ke-dua puluh lima darai Joko Segerdan Rara
Anteng, yang bernama Kusuma, yang mengorbankan diri
pertama kali. Namanya diabadikan dalam ritual Kasada.
Sang Hyang Widhi: Tuhan, nama sebutan masyarakat Tengger atas
Tuhan mereka. Sebutan ini sama dengan masyarakat Suku
Jawa Kuno.
Sanggar agung: adalah tempat untuk melakukan pujan. Semacam
pelinggih tau padmasari, tetapi letaknya di depan rumah.
Sanggar: adalah semacam pusat tempat pemujaan untuk
masyarakat adat Tengger untuk melakukan ritual puja pada
Pedanyangan Hyang Bahurekso.
Sangkan Paraning Dumadi: Secara harfiah, sangkan artinya adalah
tempat bermula, atau asal muasal. Paran adalah tujuan akhir
dari semua perjalanan. Sementara dumadi adalah menJadi,
Yang Menjadikan atau Sang Pencipta. Secara
keseluruhan Sangkan Paraning Dumadi dapat diartikan
sebagai pengetahuan tentang "Dari mana kita sebagai
manusia berasal, dan selanjutnya akan kemana kita akan
kembali."

168
Tengger Bertahan dalam Adat

Sayan: Istilah dalam bahasa Tengger untuk mengundang,


mendatangkan, atau memanggil roh-roh.
Semeninga: adalah upaya untuk memohon doa restu kepada Sang
Hyang Maha Agung, kepada Leluhur, dan kepada yang
melinggihi suatu tempat (mbahureksa).
Sesayut: adalah istilah Bahasa Tengger untuk upacara tujuh
bulanan pada perempuan hamil. Ritual ini sama dengan
ritual mitoni pada adat Suku Jawa.
Slawatan: adalah tradisi untuk nyelawat atau ngelayat saat ada
yang meninggal. Mendatangi rumah keluarga yang sedang
terkena musibah atau ada yang meninggal.
Tamping: adalah jenis sesajen yang terdiri dari daun pisang, daun
sirih, ada nasi, ada lauk pauk, ada jajanan, dan semua apa
saja yang ada di rumah.
Tanah hila-hila: adalah sebutan untuk wilayah Tengger pada jaman
Majapahit. Secara harfiah artinya adalah tanah yang paling
suci. Orang Tengger ditandai pemerintah kerajaan Majapahit
sebagai masyarakat yang bakti dengan bumi pertiwi, yang
bhakti hanya orang Tengger. Setiap tahun harus ada hajatan,
ada selamatan untuk bumi pertiwi. Karena alasan itulah
maka wilayah Tengger dibebaskan dari beban pajak bumi
dan bangunan oleh pemerintah Kerajaan Majapahit pada
waktu itu.
Tetolak: Tolak bala, istilah untuk kenduri atau selamatan dengan
melakukan pujan tetolak, untuk keselamatan.
Tugel Kuncung: atau ritual potong kuncung, potong rambut, pada
anak-anak. Mirip seperti ritual aqiqoh pada budaya Islam.
Dilakukan pada saat anak menginjak besar-dewasa, kalau
dianggap waktunya sudah bisa mengerti segala sesuatunya.
Anak dianggap mulai dewasa dengan ditandai daya ingatnya
sudah ada.

169
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

Walagaran nemohon: adalah salah satu syarat untuk mencalonkan


diri menjadi dukun adat Tengger, yaitu mengawinkan
pasangan baru sebanyak tujuh kali atau tujuh pasangan.
Pasangan yang dinikahkan harus yang masih perawan/jejaka,
bukan yang sudah pernah menikah, atau berstatus
janda/duda.

170
Indeks

A D
abdi spiritual · 59, 63 Daftar Pustaka · 141
administratif · 41, 49, 54, 67, 68, data sekunder · 55, 56, 59, 62
75, 80 definisi sehat · 133
aib · 95 deskriptif · 57, 58, 135
alasan lokalitas · 52 dongeng · 60
alat kontrasepsi · 35, 97, 105, 132, dukun adat · 2, 52, 56, 80, 81, 82,
137, 140, 165 98, 101, 102, 103, 109, 127,
among-among · 93, 94, 165 132, 139, 164, 166, 167, 170
anak mbarep · 87, 88, 98
anak ragil · 87, 88
analisis domain · 28, 57, 138 E
analisis taksonomi · 57, 138
Asal-Usul · 59 E Pluribus Unum · 112, 158
eksogami · 47
eksplorasi · 107, 134
B elitis · 56
empiris · 15, 39, 42, 65, 72, 75, 87,
bersih desa · 95, 166 88, 89, 104, 105, 119, 128, 133
brahmana · 60, 63 ethnic survival · 105, 110
Brang Kulon · 67, 163 etnografi · 10, 25, 28, 29, 30, 31,
Brang Wetan · 67, 164 48, 51, 55, 56, 57, 108, 135, 138

C F
cara pengobatan · 109 fenomena · 3, 8, 10, 16, 25, 27, 28,
31, 37, 48, 51, 52, 53, 54, 106,
113, 114, 126, 135
fertilitas · 5, 120, 122, 143
filosofis · 90, 91, 119, 140
Fokus Penelitian · 53

171
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

G K
gaya berpakaian · 71 kajian literatur · 108
gender · 20, 55, 64, 86, 117, 119, kasta · 62, 63, 65, 141
120, 122, 129, 131, 136, 139 Kearifan lokal · 11, 12
generasi · 11, 12, 24, 50, 88, 96, kebenaran · 99, 108
121, 134 kehamilan · 6, 31, 38, 80, 95, 97,
Glosari · 163 98, 105
kekerik · 93, 94, 163
kelahiran · 4, 5, 19, 38, 46, 80, 90,
H 91, 97, 113, 167
keluarga inti · 5, 16, 49, 54, 89
health belief model · 107 kematian · 4, 6, 19, 20, 30, 31, 36,
hegemoni · 12, 41 46, 49, 80, 99, 103, 110, 166
Hindu di Bali · 62, 63, 64, 65, 66, 83 kesehatan mental · 134
hukum waris · 62, 64, 86, 129, 131, Kesehatan Mental · 105, 133
136, 139 keseimbangan · 91, 116, 126
Kesimpulan · 139
keturunan · 20, 60, 61, 64, 80, 85,
91, 99, 101, 102, 103, 104, 118,
I 121, 129, 140, 168
keyakinan · 9, 29, 30, 55, 94, 102,
informan · 2, 21, 52, 53, 55, 56, 75, 107, 109
83, 86, 94, 99, 101, 102, 105, komposisi anak · 21, 120, 122, 136,
109 139
internalisasi · 15, 124, 128 komunitas adat · 128, 129, 138, 140
interpretasi · 57 konsep · 16, 17, 18, 27, 29, 34, 37,
38, 46, 49, 107, 112, 125
konservatif · 105, 106, 107, 109
J kosmologi · 46
Kusuma · 60, 61, 168
jenis kelamin · 1, 20, 21, 50, 74,
113, 117, 122, 131, 139
jenis pekerjaan · 75, 112 L
Joko Seger · 60, 61, 62, 88, 91, 117
jumlah anak · 5, 6, 19, 20, 21, 35, lahan pertanian · 2, 74, 75, 76, 77,
88, 89, 90, 91, 98, 120, 136 78, 91, 96, 112, 116, 126, 129,
132, 135, 136, 140, 165
Laju Pertumbuhan Penduduk · 2, 3,
4, 5, 8, 9, 142
legen · 81, 82, 163

172
Tengger Bertahan dalam Adat

leluhur · 40, 42, 45, 61, 66, 80, 81,


82, 83, 91, 92, 93, 100, 101,
O
107, 108, 131, 133, 135, 139,
140, 166, 168 objektivasi · 15, 124, 127
lingkungan fisik · 136, 140 observasi · 55, 56, 57, 115, 135
lingkungan sosial · 52, 136, 139
live in · 17, 52, 55
lokasi penelitian · 52, 108 P
padmasari · 66, 100, 168
M paritas · 6, 20, 21, 133, 136, 161
pariwasata · 48
mahar · 50 pawon · 72, 163, 167
makanan pantangan · 48 pelayanan kesehatan · 5, 98, 102,
mantra · 40, 53, 56, 63, 81, 82, 92, 132, 137
100, 168 Pembaron · 45, 46, 158
masa depan · 14, 18, 90, 91, 97, Pemetaan · 130
131 pengetahuan · 11, 12, 14, 28, 29,
masyarakat adat · 91, 134, 168 33, 35, 36, 40, 46, 52, 54, 99,
Mata Pencaharian · 74, 105, 112 101, 106, 107, 108, 109, 113,
mbahureksa · 99, 107, 166, 167, 125, 126, 127, 134, 143, 168
169 penyebab sakit · 99, 101, 102, 107,
mbahurekso · 62 108, 109
medis modern · 99, 101, 106, 108, perkawinan · 3, 20, 47, 49, 62, 63,
109 80, 95, 136
menantu · 1, 86, 117 persalinan · 29, 30, 93, 108, 161
migrasi · 135 perspektif · 1, 52, 55, 116
modernisasi · 47, 105, 106, 107, pertumbuhan penduduk · 2, 88,
109, 110 112, 131
motor bodong · 69 petani · 7, 9, 63, 74, 75, 76, 77, 89,
Mulunen · 82, 166 110, 112, 113, 114, 115, 116,
125, 131, 140, 141
petugas kesehatan · 12, 108
pola pemukiman · 78
N preferensi · 16, 19, 20, 21, 34, 35,
36, 37, 39, 113, 117, 119, 120,
ngelmu · 101 121, 122, 125, 129, 131, 136,
nilai anak · 10, 49, 117, 118, 119, 139
121, 122, 123, 124, 129, 131, preferensi gender · 117, 119, 120,
136 121
Nilai Anak · 49, 122, 146, 149, 151, prestis · 93, 94, 123, 131
154, 155, 156 Profil Desa · 67, 68, 74, 155
nyadran · 92, 100

173
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

program · 2, 5, 19, 21, 30, 32, 88, situasional · 87, 88


96, 97, 98, 105, 110, 113, 122, situs · 62
124, 127, 132, 136, 138, 139, strata sosial · 45
140, 146, 149 strategi adaptasi · 113, 114, 116,
Puskesmas · 13, 79, 97, 98, 99, 110 131, 140
Struktur Sosial · 66, 79
studi kualitatif · 138
R sudut pandang orang ketiga · 51

ramuan · 105
Rara Anteng · 60, 61, 62, 64, 80, 88, T
91, 165, 168
rasional · 137 Taman Nasional · 59, 74
rasionalisasi · 108 tanah leluhur · 91, 131, 133, 135
realis · 51 tayuban · 94
realitas · 14, 15, 16, 18, 37, 38, 93, teks liturgi · 42, 43, 62, 64
94, 123, 125, 126, 127, 128, tema budaya · 57, 58, 138
133, 143 temuan baru · 136
regulasi · 8, 16, 122 Temuan Baru · 105, 136
relasi · 10, 11, 37, 41, 54, 136 tidak mempunyai anak · 103
ritual · 29, 30, 38, 39, 42, 43, 45, tindakan · 10, 13, 31, 115, 125
46, 47, 53, 66, 67, 82, 93, 94, 95, tingkat pendidikan · 34, 36, 109
98, 100, 107, 131, 136, 139, topografi · 11, 29, 69, 77
163, 164, 165, 166, 167, 168, tradisi · 29, 40, 42, 43, 46, 52, 80,
169 83, 105, 169
roh leluhur · 62, 80, 166 transportasi · 7, 69
role model · 132, 140 triangulasi · 56
rumah pangumbaran · 110 triwangsa · 63
rumah tangga · 9, 23, 24, 34, 50, tujuan filosofis · 127, 133
60, 88, 103, 113, 114, 115, 116,
118, 123
U
S uba rampe · 82, 163
ukuran keluarga · 1, 5, 6, 9, 10, 16,
sanggar · 81 18, 19, 20, 21, 49, 51, 52, 53, 54,
sangkan paraning dumadi · 108 55, 105, 113, 114, 115, 116,
Saran · 140 117, 118, 122, 124, 125, 126,
Sejarah · 59 127, 128, 129, 131, 132, 133,
seremonial · 93 136, 138, 139, 140
sesajen · 62, 66, 83, 94, 100, 165, usia awal pernikahan · 95
169

174
Tengger Bertahan dalam Adat

Walandit · 59
V wisatawan · 7, 69

visualisasi · 131
Y
W Yadnya Karo · 7, 66, 111, 164
Yadnya Kasada · 7, 42, 66
walagaran nemohon · 82

175
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger

176
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai