net/publication/344588052
Tengger Bertahan dalam Adat: Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku
Tengger
CITATION READS
1 449
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Agung Dwi Laksono on 11 May 2021.
Health Advocacy
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Tengger Bertahan dalam Adat; Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga
Suku Tengger
©2020. Health Advocacy
HEALTH ADVOCACY
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232
Email: healthadvocacy@information4u.com
ISBN 978-602-6958-26-6
ii
Pengantar
iii
tidak direncanakan, atau tidak disengaja, karena ada sesuatu hal
di luar prediksi.
Selain alasan praktis dan jangka panjang yang berterkaitan
dengan lahan pertanian, ada argumentasi lain juga dilontarkan
masyarakat Suku Tengger untuk membatasi jumlah anak hanya
dua orang saja. Alasan ini berkaitan dengan masa depan Suku
Tengger secara keseluruhan. Alasan yang lebih mendasar dan
filosofis dibanding alasan-alasan sebelumnya. Keyakinan yang
dianut oleh masyarakat Tengger bersumber pada leluhur. Keluar
dari wilayah seputar Bromo, maka artinya sama dengan
meninggalkan tanah leluhur Tengger. Temuan baru dalam studi ini
adalah konstruksi sosial dari multi faktor yang ikut menyusun
ukuran keluarga kecil pada Suku Tengger di Desa Wonokitri.
Dapat disimpulkan bahwa bagi Suku Tengger keluarga
tidak hanya meliputi anak kandungnya, tetapi juga termasuk para
menantunya. Kondisi ini membuat keluarga Suku Tengger tidak
mempermasalahkan jenis kelamin anak yang dimilikinya. Pada
akhirnya mereka tetap akan mendapat “anak” dengan jenis
kelamin yang lengkap dari para menantunya. Konstruksi sosial
ukuran keluarga kecil pada masyarakat Suku Tengger di Desa
Wonokitri berujung pada keinginan mereka untuk mewujutkan
keberlangsungan eksistensi Suku Tengger. Dalam prosesnya,
konstruksi sosial ukuran keluarga kecil berkaitan dengan geografis
tempat tinggal Suku Tengger yang pegunungan. Berkaitan juga
dengan mata pencaharian sebagai petani. Orang Tengger memilih
ukuran keluarga kecil sebagai strategi adaptasi untuk
mempertahankan kecukupan lahan.
Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil juga berkaitan
dengan kepercayaan Tengger yang bergantung pada leluhur.
Ukuran keluarga yang besar akan berdampak anak keturunan
mereka harus meninggalkan kawasan Gunung Bromo, karena
lahan pertanian tidak lagi cukup. Bila situasi tersebut terjadi maka
konsekuensinya leluhur menjadi tidak terurus, karena mereka
harus meninggalkan dimana leluhur bersemayam. Proses
terjadinya konstruksi sosial ukuran keluarga kecil semakin mudah
iv
terjadi karena karakteristik sosial dan budaya masyarakat Suku
Tengger di Desa Wonokitri itu sendiri. Nilai anak yang tidak
mempermasalahkan preferensi gender, dan hukum waris yang
tidak memandang perbedaan gender, dan dukungan pemerintah
dengan ketersediaan pelayanan dan alat kontrasepsi turut
memudahkan konstruksi sosial ukuran keluarga kecil tersebut
terjadi.
Sebagai sebuah upaya, tentu saja naskah buku ini masih
jauh dari sempurna. Besar harapan atas saran untuk perbaikan
dan kesempurnaan, untuk menjadikan buku yang jauh lebih baik,
yang pada akhirnya semakin layak untuk menjadi sebuah referensi
ilmiah.
Salam Sehat!
Surabaya, November 2020
Penulis
v
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
1 Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
1. Kajian Masalah 8
2. Tujuan 10
B. Konsep dan Teori 11
1. Kearifan Lokal 11
2. Konstruksi Sosial 13
3. Keluarga 16
4. Studi Etnografi tentang Keluarga 25
5. Studi Terdahulu tentang Keluarga Berencana 31
6. Studi Etnografi Terdahulu tentang Suku
Tengger 38
7. Konsep Keluarga pada Suku Tengger 49
8. Nilai Anak 49
C. Metode 51
1. Jenis dan Rancangan Penelitian 51
2. Lokasi dan Waktu Penelitian 52
3. Informan 52
4. Fokus Penelitian 53
5. Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data 55
2 Masyarakat dan Kebudayaan Tengger di Desa
Wonokitri 59
A. Sejarah dan Asal-Usul 59
B. Antara Hindu di Bali dan Hindu di Tengger 62
C. Antara Agama Hindu dan Religi Tengger 66
D. Profil Desa Wonokitri 67
vi
1. Letak dan Kondisi Alam 67
2. Penduduk dan Mata Pencaharian: “Tidak ada
yang tidak petani” 74
3. Pola Pemukiman 77
4. Struktur Sosial 79
3 Keluarga Tengger 85
A. Preferensi Gender 85
B. Memiliki Dua Anak 88
C. Memiliki Anak Itu Mahal 92
D. Usia Awal Pernikahan 95
E. Program Keluarga Berencana dan Upaya
Penjarangan Kehamilan 96
F. Ketersediaan Pelayanan, Kematian Anak, dan Pola
Mendapatkan Keturunan 98
1. Gangguan Sakit dan Tidak Memiliki Keturunan 99
2. Jasa Pelayanan Pengobatan: Modern vs.
Tradisional 101
3. Perilaku Mencari Pengobatan dan Keturunan 102
4. Bagaimana bila tidak mempunyai anal? 103
4 Makna Ukuran Keluarga Kecil Tengger 105
A. Konservatif, tapi Menerima Modernisasi 105
B. Berbeda-beda tetapi Tengger Jua 111
C. Mata Pencaharian, Kecukupan Lahan, dan
Strategi Adaptasi 112
D. Implementasi Ukuran Keluarga 117
1. Memiliki Anak, Apa yang Diharapkan? 118
2. Preferensi Komposisi Anak 120
3. Nilai Anak dan Keluarga Berencana 122
E. Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger 124
1. Eksternalisasi 124
2. Objektivasi 127
3. Internalisasi 127
F. Identitas Kesukuan dan Kesehatan Mental 133
G. Temuan Baru 136
vii
H. Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian 138
5 Penutup 139
A. Kesimpulan 139
B. Saran 140
Daftar Pustaka 141
Glosari 163
Indeks 171
viii
Daftar Tabel
ix
Daftar Gambar
x
Bab 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ukuran keluarga (family size) dapat dilihat dalam dua
perspektif. Pertama, pada tingkat individu (mikro), ukuran keluarga
mendefinisikan satu aspek dari latar belakang atau lingkungan
keluarga seseorang. Konteks makna dan nilai keluarga berkembang
sesuai dengan konteks lingkungan masyarakat setempat. Ukuran
keluarga merupakan indikator struktur masyarakat yang dapat
bervariasi dari waktu ke waktu, dengan implikasi bersamaan untuk
pengembangan individu dan hubungan sosial dalam kelompok
yang berbeda pada tingkat sosial atau masyarakat (makro)
(‘Encyclopedia of Sociology’, 2001; Lai and Thornton, 2014;
Shulgina, Elena M. ; and Fang et al., 2014; Fontaine, 2015). Ukuran
keluarga memegang peranan penting dalam bidang
kependudukan. Ukuran keluarga berpengaruh terhadap fluktuasi
jumlah penduduk dalam konteks sosial (Thomson, 2015).
Secara normatif ukuran keluarga terdiri dari orang tua dan
anak-anaknya. Berdasarkan pengamatan, secara emik bagi
keluarga Suku Tengger, ukuran keluarga tidak hanya meliputi para
anak, tetapi juga termasuk para menantu. Kondisi ini membuat
keluarga Suku Tengger tidak mempermasalahkan jenis kelamin
anak yang dimilikinya, karena pada akhirnya juga tetap akan
mendapat “anak” dengan jenis kelamin yang lengkap dari
menantunya.
Berdasarkan pengamatan, pada konteks masyarakat
Tengger, khususnya di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari,
Kabupaten Pasuruan, kecenderungan pertambahan jumlah
penduduk masyarakat, atau dalam istilah kependudukan disebut
1
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
2
Tengger Bertahan dalam Adat
3030
3020 3017 3017 3019
3014
3010 3010 3012
3007
3000 2997
2990
2980 2980
2971 2973 2975 2975 2974
2970 2967 2968
2960
2950
2940
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
'15 '15 '15 '15 '16 '16 '16 '16 '17 '17 '17 '17 '18 '18 '18 '18
3
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
4
Tengger Bertahan dalam Adat
5
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
(satu atau lebih). Keluarga inti berpusat pada pasangan yang sudah
menikah (The Editors of Encyclopaedia Britannica, 2018).
Apabila sebuah keluarga memiliki ukuran keluarga yang
kecil, maka dapat dipastikan keluarga tersebut memiliki ibu dengan
paritas yang rendah. Paritas adalah rata-rata jumlah anak yang
pernah dilahirkan oleh seorang ibu (Badan Pusat Statistik, 2018c).
Paritas yang rendah dalam penelitian sebelumnya diketahui
berkaitan erat dengan kesehatan reproduksi ibu dan bayi. Selain
sebagai salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian ibu
dan bayi, paritas yang rendah dan upaya penjarangan kehamilan
juga terbukti secara ilmiah menurunkan risiko kanker rahim dan
kanker serviks pada ibu (Nikpay, 2016; Kessler, 2017). Penelitian
lain menemukan bahwa paritas yang tinggi juga berhubungan
dengan letak bayi yang sungsang (Widia, 2017), peningkatan
intensitas nyeri saat bersalin (Afritayeni, 2017), kejadian anemia
pada ibu hamil (Astriana, 2017), dan peningkatan kejadian pre
eklamsia (Novianti, 2016). Lebih jauh lagi, upaya penurunan paritas
ini secara psikologis juga berpotensi meningkatkan kesehatan ibu
dan anak, karena anak mendapatkan perhatian yang cukup dari ibu.
Penduduk di Desa Wonokitri sekitar 98,69% beragama
Hindu pada akhir tahun 2015. Hanya ada 32 orang yang memeluk
agama Islam dan 7 orang memeluk agama Katolik. Masyarakat Desa
Wonokitri yang memeluk agama selain Hindu tersebut adalah para
pendatang yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
sedang ditugaskan di Desa Wonokitri. Mereka adalah para guru,
tenaga kesehatan dan pegawai Perhutani (Kurniawati, dkk., 2012;
Pemerintah Desa Wonokitri, 2016).
Dominasi Suku Tengger pada masyarakat yang menempati
perdesaan di lereng Gunung Bromo, khususnya Desa Wonokitri,
membuat masyarakat di lokasi tersebut cenderung memiliki
kesamaan karakteristik. Masyarakat Desa Wonokitri mayoritas
adalah pemeluk agama Hindu Tengger. Topografi Desa Wonokitri
yang berada di lereng Gunung Bromo dengan karakteristik tanah
6
Tengger Bertahan dalam Adat
7
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
1. Kajian Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan penelusuran data
awal menemukan bahwa fenomena Laju Pertumbuhan Penduduk
di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan terbukti
rendah. Situasi ini berlaku bila dibandingkan dengan Laju
Pertumbuhan Penduduk di Tingkat Provinsi Jawa Timur maupun
8
Tengger Bertahan dalam Adat
9
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
2. Tujuan
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk menyusun
konstruksi sosial ukuran keluarga pada Suku Tengger. Secara
khusus penelitian ditujukan untuk; 1) Mengeksplorasi makna, nilai
anak, dan fungsi ukuran keluarga pada Suku Tengger; 2)
Mengeksplorasi faktor-faktor yang berpotensi menyusun
konstruksi sosial ukuran keluarga pada Suku Tengger; 3)
10
Tengger Bertahan dalam Adat
11
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
12
Tengger Bertahan dalam Adat
2. Konstruksi Sosial
Idiom konstruksi sosial pertama kali dikemukakan oleh
Berger & Luckmann (1966). Dalam bukunya “The Social
Construction of Reality” Berger & Luckmann (1966) menyatakan
bahwa:
“All human activity is subject to habitualization. Any action
that is repeated frequently becomes cast into a pattern,
which can then be reproduced with an economy of effort
and which, ipso facto, is apprehended by its performer as
that pattern. Habitualization further implies that the
action in question may be performed again in the future in
the same manner and with the same economical effort.
This is true of non-social as well as of social activity. Even
the solitary individual on the proverbial desert island
habitualizes his activity. When he wakes up in the morning
and resumes his attempts to construct a canoe out of
matchsticks, he may mumble to himself, 'There I go again',
as he starts on step one of an operating procedure
consisting of, say, ten steps. In other words, even solitary
man has at least the company of his ope- rating
procedures (p. 70-71).”
“Semua aktivitas manusia adalah subyek pembiasaan.
Setiap tindakan berulang menjadi sebuah pola, yang
13
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
14
Tengger Bertahan dalam Adat
15
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
3. Keluarga
Konsep Keluarga
Konsep tentang keluarga versi pemerintah termaktub
dalam Undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Menurut regulasi tersebut pengertian keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Republik
Indonesia, 2009). Konsep keluarga ini senada dengan konsep
keluarga inti pada umumnya.
Penelitian tentang konsep keluarga pernah dilakukan oleh
Shulgina, Elena M. dan Fang (2014) pada budaya Rusia dan China.
Penelitian dengan mempelajari kekhasan semantik ini
menyimpulkan bahwa keistimewaan konsep keluarga dalam kedua
16
Tengger Bertahan dalam Adat
17
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
Ukuran Keluarga
Penelitian dengan model komputasi yang berkaitan dengan
ukuran keluarga dilakukan oleh White (2013). Penelitian ini
menyebutkan bahwa ada perubahan dalam ekonomi keluarga
bertepatan dengan intensifikasi yang berkontribusi pada
munculnya kompleksitas sosial antara hunter-gatherer prasejarah
di Amerika Utara bagian Timur. White (2013) membuat kesimpulan
bahwa usia anak yang dimiliki dalam sebuah keluarga turut
mempengaruhi ukuran keluarga (family size). Ditemukan fakta
18
Tengger Bertahan dalam Adat
19
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
20
Tengger Bertahan dalam Adat
21
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
Struktur Keluarga
Penelitian tentang struktur keluarga erat kaitannya dengan
‘masalah’. Hal ini lebih dikarenakan para peneliti seringkali
mengambil struktur keluarga yang tidak lengkap atau broken home
sebagai obyek penelitiannya. Fomby dan Sennott (2013) meneliti
tentang hubungan antara transisi struktur keluarga dan perilaku
bermasalah pada masa remaja. Hasil penelitian dengan
pendekatan metode kuantitatif dengan analisis multivariat
menggunakan Regresi Poisson untuk memprediksi perilaku remaja.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa mobilitas
dan struktur keluarga turut andil dalam memberi pengaruh pada
masalah perilaku anak. Hal ini terjadi baik secara independen
maupun bersamaan atau simultan. Remaja yang mengalami
perubahan dalam struktur keluarga, dalam status
persatuan/perceraian orang tua, lebih mungkin untuk terlibat
dalam perilaku bermasalah dibandingkan dengan remaja dalam
struktur keluarga yang lebih stabil (Fomby dan Sennott, 2013).
Penelitian tentang struktur keluarga lainnya dilakukan oleh
Martin (2012). Penelitian ini merupakan merupakan analisis lanjut
Studi Longitudinal Pendidikan Nasional tahun 1988. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa:
“Using data from the National Education Longitudinal
Study of 1988, I find that as parents’ education increases,
children in single mother families experience a lower boost
in their achievement test scores, likelihood of attending
22
Tengger Bertahan dalam Adat
23
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
24
Tengger Bertahan dalam Adat
25
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
26
Tengger Bertahan dalam Adat
27
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
28
Tengger Bertahan dalam Adat
29
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
30
Tengger Bertahan dalam Adat
31
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
32
Tengger Bertahan dalam Adat
33
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
34
Tengger Bertahan dalam Adat
35
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
36
Tengger Bertahan dalam Adat
37
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
38
Tengger Bertahan dalam Adat
39
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
40
Tengger Bertahan dalam Adat
41
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
42
Tengger Bertahan dalam Adat
43
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
44
Tengger Bertahan dalam Adat
45
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
46
Tengger Bertahan dalam Adat
47
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
48
Tengger Bertahan dalam Adat
8. Nilai Anak
Nilai anak adalah tanggapan orang tua dalam memahami
adanya anak dalam keluarga (Fahmi and Pinem, 2018). Anak
memiliki nilainya sendiri di mata orang tua maupun keluarga. Nilai
anak sangat tergantung dengan latar budaya masing-masing
individu. Nilai anak juga turut berpengaruh terhadap perlakuan
orang tua maupun keluarga terhadap anak.
Bagi etnik Melayu di Riau setidaknya ada lima nilai anak
bagi keluarga. Nilai pertama dipandang dari segi sosial yang
menyatakan bahwa anak merupakan sumber ketentraman, dan
49
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
50
Tengger Bertahan dalam Adat
C. Metode Penelitian
1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang
dilakukan dengan pendekatan studi etnografi realis. Metode
etnografi dipilih karena fenomena ukuran keluarga kecil pada Suku
Tengger yang dirasakan sangat komplek dengan banyak fakgtor
berinteraksi dan saling mempengaruhi, yang tidak bisa dikaji atau
diteliti dengan pilihan pendekatan atau metode lainnya. Etnografi
dengan pendekatan realis berupaya menggambarkan situasi
budaya para partisipan secara obyektif berdasarkan informasi yang
diperoleh langsung dari para partisipan di lapangan penelitian.
Hasil informasi tersebut kemudian dipaparkan dengan
menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of
view) (Creswell, 2008).
Menurut Malinoswki (1913), seperti dikutip oleh Spradley
(1979; 2007), bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut
pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk
mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Inti dari penelitian
etnografi adalah memaknai secara mendalam arti atau makna
51
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
3. Informan
Informan pertama pada saat awal penelitian adalah dukun
adat Tengger dan kepala desa Desa Wonokitri. Pemilihan kedua
informan tersebut sebagai informan kunci atau informan pangkal
karena posisinya selaku tokoh masyarakat Suku Tengger yang
memahami tentang budaya dan adat istiadat Suku Tengger
52
Tengger Bertahan dalam Adat
4. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada fenomena ukuran keluarga
yang dikemukakan sebagai latar belakang riset. Pengertian Ukuran
Keluarga yang dipakai dalam penelitian ini adalah jumlah anggota
53
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
keluarga inti. Keluarga yang terdiri dari dua orang tua (yang terikat
pernikahan, baik secara administratif negara maupun pengakuan
adat) dan anak-anak mereka (satu atau lebih) (The Editors of
Encyclopaedia Britannica, 2018). Anak-anak dimaksud hanya yang
merupakan anak-anak biologis yang merupakan saudara kandung
atau sedarah (Fields, 2001). Beberapa peneliti memasukkan orang
tua tiri dan campuran anak-anak yang termasuk anak tiri dan anak
angkat dalam keluarga inti (Haviland et al., 2007; Blackwell, 2010),
tetapi dalam penelitian ini dibatasi pada anggota keluarga yang
memiliki hubungan biologis dengan kedua orang tuanya.
Selanjutnya, dengan tetap terfokus pada ukuran keluarga
Suku Tengger, peneliti menelusur relasi fenomena yang ditemukan
dengan faktor-faktor lain yang menjadi ciri khas dan melekat pada
masyarakat Suku Tengger. Melalui pengumpulan data di lapangan
peneliti berusaha menggali tiga hal, yaitu apa makna ukuran
keluarga bagi orang Tengger? apa saja yang diketahui dan
dipikirkan orang Tengger tentang ukuran keluarga? mengapa dan
bagaimana mereka mewujudkannya? serta apa faktor-faktor lain
yang dinilai berpengaruh terhadap konstruksi sosial ukuran
keluarga? Konstruksi sosial ukuran keluarga yang dipakai dalam
penelitian ini berdasarkan teori konstruksi sosial (social
construction), yang merupakan teori sosiologi kontemporer yang
berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung
pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta
kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk
memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat
dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan
(being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak
manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa
fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik
yang spesifik Berger & Luckmann (1966).
54
Tengger Bertahan dalam Adat
55
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
56
Tengger Bertahan dalam Adat
57
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
58
Bab 2
Masyarakat dan Kebudayaan Tengger
di Desa Wonokitri
59
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
60
Tengger Bertahan dalam Adat
61
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
Gambar 2.2. Contoh Situs Peninggalan Keturunan Rara Anteng dan Joko
Seger
Sumber: Dokumentasi Penulis
62
Tengger Bertahan dalam Adat
63
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
64
Tengger Bertahan dalam Adat
Gambar 2.3.
Padmasari (kiri)
dan Pelinggih
(kanan)
Sumber:
Dokumentasi
Penulis
65
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
66
Tengger Bertahan dalam Adat
67
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
68
Tengger Bertahan dalam Adat
69
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
Gambar 2.5.
Kemiringan
Wilayah
Pegunungan
Bromo
Sumber:
Dokumentasi
Penulis
70
Tengger Bertahan dalam Adat
71
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
72
Tengger Bertahan dalam Adat
Gambar 2.7.
Pawon Modern
Orang Tengger
di Desa
Wonokitri
Sumber:
Dokumentasi
Penulis
73
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
74
Tengger Bertahan dalam Adat
75
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
76
Tengger Bertahan dalam Adat
3. Pola Pemukiman
Masyarakat di Desa Wonokitri hanya menempati sekitar
6,395% dari keseluruhan wilayah yang ada dalam tanggung jawab
pemerintah Desa Wonokitri. Angka ini setara dengan 60,64 hektar.
Sisa lahan yang bukan berupa pemukiman dan pekarangan adalah
77
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
78
Tengger Bertahan dalam Adat
4. Struktur Sosial
Berdasarkan informasi aparat pemerintah di Kecamatan
Tosari, Desa Wonokitri merupakan desa dengan tingkat kemurnian
adat Tengger yang dinilai paling tinggi. Pemahaman tentang
penilaian tingkat kemurnian adat Tengger ini akhirnya didapatkan
peneliti di lapangan dalam kaitan dengan struktur sosial di Desa
Wonokitri. Mereka, atau para tokoh yang berkaitan dengan adat
Tengger memiliki nilai sosial yang sangat tinggi di mata masyarakat
setempat.
Secara umum ada tiga jenis tokoh yang dipandang
masyarakat memiliki kedudukan penting. Pertama adalah para
pamong desa atau aparat pemerintah desa; ke-dua adalah mereka
yang berkaitan dengan adat Tengger; dan ke-tiga adalah mereka
yang berkaitan dengan agama Hindu. Selain ketiga kelompok
tersebut, masih ada beberapa tokoh masyarakat secara
perseorangan yang juga dipandang oleh masyarakat, meski
kedudukannya tidak setinggi ketiga kelompok yang disebut
pertama.
Pamong desa, sama seperti desa di wilayah lain, juga
dikepalai oleh kepala desa. Kepala desa dipilih secara langsung oleh
penduduk Desa Wonokitri. Setiap menjelang pergantian, atau
pemilihan kepala desa yang baru, maka ditunjuklah pejabat kepala
desa oleh pemerintah kecamatan. Penunjukkan pejabat kepala
desa ini, biasanya adalah seorang pegawai negeri sipil setempat.
Langkah ini perlu diambil untuk menjamin agar masyarakat tetap
terlayani kebutuhan administrasinya. Penunjukkan ini ternyata
juga memiliki fungsi ganda, sekaligus difungsikan untuk menjadi
panitia pemilihan kepala desa yang baru. Peneliti sempat
memantau proses tersebut pada akhir tahun 2016. Pejabat kepala
desa yang dipilih pada waktu itu adalah perawat yang bertugas di
Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Wonokitri.
Kepala desa, beserta dengan aparat di bawahnya, atau
pamong desa memiliki kedudukan yang penting di masyarakat.
79
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
80
Tengger Bertahan dalam Adat
81
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
1
Mulunen, ujian pada saat seseorang mencalonkan diri menjadi dukun
adat Tengger.
2
Walagaran nemohon: Salah atu syarat untuk mencalonkan diri menjadi
dukun adat Tengger, yaitu mengawinkan pasangan baru sebanyak tujuh
kali atau tujuh pasangan. Pasangan yang dinikahkan harus yang masih
perawan/jejaka, bukan janda/duda.
82
Tengger Bertahan dalam Adat
83
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
84
Bab 3
Keluarga Tengger
A. Preferensi Gender
Pada beberapa suku di dunia, termasuk di Indonesia, ada
kecenderungan lebih mengharapkan hadirnya anak laki-laki
dibanding anak perempuan. Anak laki-laki seringkali diposisikan
lebih tinggi karena latar budaya laki-laki yang diharapkan sebagai
penerus keturunan, membawa nama marga misalnya
(Nurpuspitasari, Mashabi and Muhariati, 2017; Ruslan, 2017b;
Fahmi and Pinem, 2018). Meski juga ada pada beberapa suku lain
di Indonesia juga ditemukan kecenderungan untuk lebih memilih
anak perempuan (Hartati, 2020). Lalu, bagaimana dengan
kecenderungan pada masyarakat Suku Tengger?
“Sama saja pak laki-laki atau perempuan untuk orang
Tengger itu. Dua anak saja, sama dengan orang-orang
tetangga di sini. Nanti juga kan cari anak mantu laki-laki
pak, sama saja…”
(Sur, 44 tahun)
85
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
86
Tengger Bertahan dalam Adat
“Sama saja pak. kalau orang Tengger itu gak ada bedanya
pak, sama saja (anak) laki-laki atau perempuan. (Soal
warisan) Iya pak sama saja kalau di sini, beda dengan
orang Hindu yang di Bali sana. Kalau di sini semua sama
saja…”
(End, 29 tahun)
Meski demikian, ditemukan juga perbedaan soal perlakuan
pada anak. Secara empiris ada kecenderungan yang berkaitan
dengan urutan lahir anak. Antara anak pertama dan kedua, antara
yang mbarep dan ragil. Hal ini berkaitan dengan keberadaan orang
tua pada saat sudah sangat tua nanti, akan ikut siapa mereka
nantinya? Meski juga di sisi lain mereka mengaku hal tersebut
sangat situasional, tergantung pada kondisi orang tua dan besan.
“Kalau saya ikut anak yang ragil pak… Lha yang mbarep
sudah ikut suaminya pak. Ikut tinggal di rumah
mertuanya…”
(Le, 40 tahun)
“Tidak ada pak. kalau di sini ya tergantung kondisi saja,
juga tergantung orang tua yang mertua juga. kalau
anaknya cuma satu ya kan ikut sana.”
(End, 29 tahun)
“Sama saja. Cuman perbedaan… perbedaannya cuman
apa ya… kalau nggak anak yang terakhir, anak yang
pertama, itu aja.”
(Supa, 67 tahun)
Pada beberapa kesempatan sering ditemukan bahwa
orang tua Tengger di Desa Wonokitri memang ikut pada keluarga
anak ragil. Ternyata kondisi ini ditemukan bisa terjadi secara tidak
disengaja. Ada aturan desa tidak tertulis, yang menyebabkan anak
mbarep, yang biasanya menikah duluan, harus pergi meninggalkan
rumah induk terlebih dahulu, sehingga menyisakan anak ragil di
rumah.
“Itu kan kalau anaknya dua, sudah berumah tangga
semua, maka sudah dibuatkan rumah untuk anak satunya.
87
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
88
Tengger Bertahan dalam Adat
89
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
“Ya biar gak repot pak. Kan harus ke kebun juga. Kalau
sekarang kakaknya sudah bisa ikut bantu-bantu momong
juga. Dimomong neneknya juga…”
(Sr, 28 tahun)
“Gak (nambah) pak. Ruwet pak! Ya itu… momongnya.
Ruwet, repot. Semua dibawa ke kebun. Biaya susunya juga
mahal…”
(SrN, 55 tahun)
Alasan yang diutarakan cukup masuk akal. Membawa serta
anak-anak ke kebun menjadi sangat merepotkan. Kondisi yang
demikian terutama bagi keluarga yang memiliki anak lebih dari
satu.
Alasan lain memilih untuk hanya membatasi jumlah anak
dua saja juga sempat diutarakan oleh masyarakat Suku Tengger di
Desa Wonokitri. Pertimbangan yang jauh ke depan menjadi alasan
tersendiri bagi orang Tengger. Pertimbangan ini sebagai dasar yang
sangat filosofis untuk memilih membatasi jumlah kelahiran.
“Iyaa sekarang tanahnya masih cukup pak. Kalau anaknya
banyak kan takutnya anak cucu malah kekurangan…”
(Mar, 45 tahun)
“Saya itu pernah mendengarkan cerita dari kakek nenek
saya dulu, ada pepatah mengatakan dulu banyak anak,
ngumpul ndak ngumpul sing penting makan, kan gitu.
Kalau sekarang banyak anak, ngumpul ndak ngumpul sing
penting makan, ya cari makannya itu darimana? Dan juga
nanti untuk kedepannya kalau dia itu sudah berkeluarga
dari lapangan pekerjaan itu tadi, mata pencaharian orang
Tengger bercocok tanam tani itu tadi, lahannya
berkurang.”
(Mr, 38 tahun)
“Ya dua anak itu juga untuk alasan ekonomi, supaya
tanahnya cukup, untuk masa depan anak-anak kita. Kalau
dulu itu anaknya banyak-banyak mas, tapi sekarang itu
rata-rata dua saja. Masyarakat Tengger ini menyadari soal
90
Tengger Bertahan dalam Adat
91
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
92
Tengger Bertahan dalam Adat
93
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
94
Tengger Bertahan dalam Adat
95
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
96
Tengger Bertahan dalam Adat
97
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
98
Tengger Bertahan dalam Adat
99
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
100
Tengger Bertahan dalam Adat
101
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
102
Tengger Bertahan dalam Adat
103
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
104
Bab 4
Makna Ukuran Keluarga Kecil Tengger
105
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
106
Tengger Bertahan dalam Adat
107
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
108
Tengger Bertahan dalam Adat
109
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
110
Tengger Bertahan dalam Adat
111
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
112
Tengger Bertahan dalam Adat
113
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
114
Tengger Bertahan dalam Adat
115
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
116
Tengger Bertahan dalam Adat
117
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
118
Tengger Bertahan dalam Adat
119
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
120
Tengger Bertahan dalam Adat
121
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
122
Tengger Bertahan dalam Adat
123
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
dan kekuasaan bagi keluarga (Hull and Hull, 1977). Keempat hal
tersebut silih berganti ditemukan secara bersamaan, maupun
bergantian, dalam beragam studi yang terfokus pada nilai anak
(Larasati and Hartoyo, 2016; Bagheri and Saadati, 2018; Laksono
and Wulandari, 2019).
Berbeda dengan nilai anak secara ekonomi bagi keluarga
Suku Tengger, nilai anak secara ekonomi yang berlaku pada suku
lain di Indonesia seringkali dinilai menjadi penghambat bagi
keberhasilan program keluarga berencana yang digagas
pemerintah di Indonesia. Nilai anak yang dipandang sebagai aset
ekonomi dalam keluarga, cenderung ingin diperbanyak dan terus
ditambah jumlahnya, dengan anggapan agar kondisi keluarga lebih
kuat secara ekonomi (Laksono and Wulandari, 2019). Fenomena ini
menjelaskan bahwa nilai anak yang berlaku sebelumnya pada Suku
Tengger merupakan salah satu kunci keberhasilan program
keluarga berencana di wilayah Desa Wonokitri.
1. Eksternalisasi
Peter L. Berger dan Thomas Luckman dengan bukunya yang
berjudul ”The Social in Construction of Reality, a Treatise in the
124
Tengger Bertahan dalam Adat
125
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
126
Tengger Bertahan dalam Adat
2. Objektivasi
Kesadaran akan permasalahan yang sama, membuat
legitimasi akan permasalahan tersebut semakin mudah terbentuk.
Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial
yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan
sosial. Legitimasi merupakan sebuah obyektivasi yang merupakan
pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif karena tidak
hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral.
Legitimasi, dalam pengertian fundamental, memberitakan apa
yang seharusnya ada/terjadi dan mengapa terjadi (Berger, 1991;
Irfan, 2017). Membentuk ukuran keluarga kecil menjadi satu
objektivasi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat Suku
Tengger tentang kecukupan lahan. Di sisi lain, tujuan filosofis
jangka panjang untuk keberlangsungan eksistensi Suku Tengger
semakin menguatkan legitimasi pilihan membentuk ukuran
keluarga kecil tersebut.
Proses objektivasi seperti menemukan momentumnya
ketika datang tawaran dari pemerintah melalui program keluarga
berencana. Program ini mengusung ukuran keluarga ideal yang
lebih kecil dengan dua anak dalam satu keluarga. Tawaran program
pemerintah ini menjadi lebih mudah lagi diadaptasi ketika dukun
adat Tengger Desa Wonokitri serta merta setuju dan tanpa banyak
alasan langsung menjadi akseptor KB. Tidak tanggung-tanggung,
pasangan keluarga tokoh adat utama dalam struktur sosial
masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri ini menyetujui untuk
mengaplikasi metode kontrasepsi jangka panjang dengan
sterilisasi.
3. Internalisasi
Ukuran keluarga kecil sebagai produk eksternalisasi
masyarakat Suku Tengger dengan dukungan program KB oleh
pemerintah pada tahap objektivasi menjelma menjadi realitas yang
127
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
128
Tengger Bertahan dalam Adat
dapat menjadi lebih mudah terjadi. Hal ini karena mereka telah
memiliki karakteristik sosial dan budaya yang mendukung
terjadinya ukuran keluarga kecil sebagai pilihan ideal. Nilai anak
dan hukum waris misalnya, yang sama sekali tidak
mempermasalahkan preferensi gender, membuat dua anak
menjadi cukup bagi keluarga Tengger di Desa Wonokitri. Komposisi
gender anak pada keluarga yang memiliki anak berjenis kelamin
laki-laki semua, atau perempuan semua, tidak dipermasalahkan
(Laksono, Soedirham, et al., 2020).
Sementara di sisi lain, nilai anak bagi keluarga Tengger,
yang tidak hanya memandang anak sebagai tempat bergantung di
hari tua. Orang tua Tengger memandang lebih jauh ke depan
sebagai penerus keberlangsungan komunitas adat Suku Tengger
menjadi menemukan kembali tujuannya. Dengan ukuran keluarga
yang kecil, kecukupan lahan pertanian menjadi ideal bagi
keseluruhan masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri (Laksono,
Soedirham, et al., 2020)..
Anak keturunan Suku Tengger tidak perlu lagi keluar dari
wilayah Tengger, karena semua bisa dicukupi dengan lahan
pertanian yang ada. Leluhur, sebagai pusat kebudayaan dan
segalanya bagi masyarakat Suku Tengger, bisa tetap terurus
dengan baik. Artinya, pilihan ukuran keluarga kecil menjadi solusi
ideal bagi seluruh permasalahan yang dihadapi masyarakat Suku
Tengger di Desa Wonokitri, baik sebagai seorang individu maupun
sebagai sebuah komunitas adat Tengger (Laksono, Soedirham, et
al., 2020).
129
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
Anak
Dukun Adat Agama Banyak
sebagai Tokoh Leluhur Merepotkan
Sentral
Terkait
dengan Religi Mata
Terkait dengan Tengger- Pencaharian
Ketersediaan Struktur Sosial sebagai
Alat Hindu
Petani
Kontrasepsi
Konstruksi
Terkait dengan
Sosial
Terkait dengan Kondisi
Ukuran
Program KB Geografis
Keluarga Kecil
Pemerintah
Strategi
Ritual Adaptasi
Tempat Laki-laki -
Bergantung Kekerik/
Perempuan
di Hari Tua Among-
Sama Saja
among, dll
Punya
Anak
Anak
sebagai
Hukum Waris tidak Prestis itu
Penerus
Mempermasalahkan Mahal
Adat
Gender
130
Tengger Bertahan dalam Adat
131
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
132
Tengger Bertahan dalam Adat
133
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
134
Tengger Bertahan dalam Adat
135
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
G. Temuan Baru
Beberapa penelitian sebelumnya yang mengambil tema
tentang ukuran keluarga membahas tentang beberapa faktor yang
secara terpisah mempengaruhi ukuran keluarga. Misalnya faktor
lingkungan, yang terfokus pada sempitnya lahan pertanian atau
berkurangnya pasokan makanan pada masyarakat agraris di
beberapa negara (Choden, Keenan and Nitschke, 2020; Islam et al.,
2020; Khan et al., 2020; Yohannes, Teshome and Belay, 2020),
faktor anak, yang terfokus pada faktor umur anak di Amerika
(White, 2013), faktor preferensi jumlah anak di Jepang dan Afrika
(Snyder, 1974; Matsumoto and Yamabe, 2013), faktor preferensi
gender anak di India dan Pakistan (Hussain et al., 2007; Chauhan,
2014), faktor preferensi komposisi anak di Pakistan dan Bangladesh
(Uddin, Bhuyan and Islam, 2011), serta faktor nilai anak secara
ekonomi di India, yang berhubungan dengan mas kawin terkait
perkawinan (Chavada and Bhagyalaxmi, 2009). Faktor lain yang
terekam dalam hasil penelitian sebalumnya di Indonesia adalah
faktor penawaran program keluarga berencana yang diinisiasi
pemerintah di Indonesia (Hatton et al., 2017), serta sebuah
penelitian lainnya di India yang menginformasikan tentang faktor
usia ibu dan paritas (Dharmalingam, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian temuan baru berupa faktor
yang belum pernah diteliti, yaitu faktor lingkungan sosial berupa
religi, ritual adat, struktur sosial dan hukum waris, yang terbukti
berkaitan dengan ukuran keluarga. Kontribusi temuan baru yang
lain adalah relasi antara banyak faktor yang kompleks berinteraksi
membentuk konstruksi sosial ukuran keluarga. Kompleksitas
konstruksi sosial yang terjadi karena dipengaruhi oleh banyak
faktor lingkungan sosial, lingkungan fisik yang saling berkait dan
136
Tengger Bertahan dalam Adat
Lingkungan Sosial
1. Religi (agama leluhur)
2. Ritual adat (kekerik)
3. Struktur sosial (role
model)
4. Hukum waris
Keluarga
1. Makna
keluarga Lingkungan Fisik
(termasuk 1. Kondisi
menantu) geografis
2. Nilai anak (pegunungan)
(sebagai 2. Mata
aset, sebagai Konstruksi Sosial
pencaharian
beban, Ukuran Keluarga
(petani)
sebagai 3. Kecukupan
penerus adat) lahan
3. Preferensi 4. Strategi
gender anak adaptasi
(netral)
4. Preferensi
komposisi
anak (netral) Dukungan pemerintah
1. Ketersediaan
pelayanan kesehatan
2. Ketersediaan alat
kontrasepsi
137
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
138
Bab 5
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat
diambil kesimpulan bahwa proses terjadinya konstruksi sosial
ukuran keluarga kecil mudah terjadi karena karakteristik sosial dan
budaya masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri itu sendiri.
Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil pada masyarakat Suku
Tengger di Desa Wonokitri berujung pada keinginan mereka untuk
mewujudkan keberlangsungan eksistensi Suku Tengger.
Konstruksi sosial berkaitan dengan makna dan nilai tentang
keluarga dan anak yang sudah melekat pada Suku Tengger
sebelumnya. Konstruksi sosial ukuran keluarga Suku Tengger
berkaitan dengan preferensi gender dan preferensi komposisi anak
yang cenderung netral. Secara emik bagi masyarakat Suku Tengger,
keluarga tidak hanya meliputi anak kandungnya, tetapi juga
termasuk para menantunya. Kondisi ini membuat keluarga Suku
Tengger tidak mempermasalahkan jenis kelamin anak yang
dimilikinya. Pada akhirnya mereka tetap akan mendapat “anak”
dengan jenis kelamin yang lengkap dari para menantunya.
Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil juga berkaitan
dengan lingkungan sosial yang berupa kepercayaan Tengger yang
bergantung pada leluhur yang berpusat di Gunung Bromo.
Berkaitan dengan ritual Tengger, dan hukum waris yang tidak
memandang perbedaan gender. Nilai-nilai dan keinginan untuk
mempertahankan keberadaan Suku Tengger menemukan
momentum ketika pemerintah menawarkan program keluarga
berencana. Tawaran ini disambut antusias oleh dukun adat, yang
seperti mendapatkan titik temu cara menjaga kelangsungan Suku
139
Tengger Bertahan dalam Adat
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka saran yang bisa
diberikan kepada pemerintah adalah terkait program pengendalian
penduduk, dengan menjadikan konstruksi sosial ukuran keluarga
kecil pada Suku Tengger sebagai role model. Model ini diterapkan
untuk komunitas adat lain, baik pada Suku Tengger di wilayah lain,
maupun komunitas adat lainnya. Tidak serta-merta dengan
mencontoh secara penuh, tetapi secara filosofis prinsip-prinsip
yang mendasari terjadinya konstruksi ukuran keluarga kecil
tersebut. Misalnya pada masyarakat petani, bisa ditawarkan
strategi adaptasi ukuran keluarga kecil untuk mengatasi kecukupan
lahan.
140
Daftar Pustaka
141
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
142
Tengger Bertahan dalam Adat
at:
https://jatim.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=OTk
5OWI3MjdkMzE2YzAwNmVlMmZkN2U3%7B%5C&%7Dxzmn=aHR
0cHM6Ly9qYXRpbS5icHMuZ28uaWQvcHVibGljYXRpb24vMjAxOC8
wOC8xNi85OTk5YjcyN2QzMTZjMDA2ZWUyZmQ3ZTcvcHJvdmluc2
ktamF3YS10aW11ci1kYWxhbS1hbmdrYS0yMDE4Lmh0b.
Baedowi, A. (2015) Calak Edu 4: Esai-esai Pendidikan 2012-2014.
Tangerang: Pustaka Alvabet.
Bagheri, A. and Saadati, M. (2018) ‘Value of Children: Attitudinal Factors
Influencing Childbearing Desire of Iranian Women’, Women’s
Health Bulletin, 5(4). doi: 10.5812/whb.79370.
Bal, M. D. and Özkan, S. A. (2015) ‘Misconceptions about family planning
of women in Turkey’, International Journal of Human Sciences,
12(1), pp. 1319–1329. doi: 10.14687/ijhs.v12i1.2895.
Bennett, E. M. (2003) ‘Emancipatory responses to oppression: The
template of land-use planning and the old order amish of Ontario’,
American Journal of Community Psychology, 31(1–2), pp. 157–171.
doi: 10.1023/A:1023086923232.
Berg, B. L. (2001) Qualitative research methods for the social sciences.
Needham Heights, MA, MA: A Pearson Education Company.
Berger, P. L. (1991) Langit suci : agama sebagai realitas sosial. Jakarta:
LP3ES. Available at:
https://books.google.co.id/books/about/Langit_suci.html?id=YeQ
BuAAACAAJ&redir_esc=y.
Berger, P. L. and Luckmann, and T. (1966) The Social Construction of
Reality. London: Anchor Books. Available at:
perflensburg.se/Berger social-construction-of-reality.pdf.
Berger, P. L. and Luckmann, T. (1990) Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES. Available at:
https://openlibrary.telkomuniversity.ac.id/pustaka/16976/tafsir-
sosial-atas-kenyataan-risalah-tentang-sosiologi-
pengetahuan.html.
BKKBN (2018) Deputi KBKR: Angka Fertilitas Wanita Indonesia Alami
Penurunan. Available at:
https://www.bkkbn.go.id/detailpost/deputi-kbkr-angka-fertilitas-
wanita-indonesia-alami-penurunan (Accessed: 10 August 2018).
Blackwell, D. (2010) Family structure and children’s health in the United
States: Findings from the National Health Interview Survey, 2001–
143
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
144
Tengger Bertahan dalam Adat
http://researchmethodswillse.voices.wooster.edu/files/2012/01/
Clifford_PartialTruths1.pdf.
Costa, M. F. da (2019) ‘Health belief model for coronavirus infection risk
determinants’, Revista de Saúde Pública, 54(47), pp. 1–12. doi:
10.11606/s1518-8787.2020054002494.
Creswell, J. W. (2008) Educational Research: Planning, Conducting, and
Evaluating Quantitative and Qulitative Research. New Jersey:
Prentice Hall.
Crevello, S. M. (2003) Local land use on Borneo: applications of indigenous
knowledge systems and natural resource utilization among the
Benuaq Dayak of Kalimantan, Indonesia. Louisiana State
University. Available at:
https://digitalcommons.lsu.edu/gradschool_dissertations/1302.
Cutler, L. (2004) ‘Ethnography’, in Bassett, C. (ed.) Qualitative Research in
Health Care. Philadelphia: Whurr Publishers Ltd, pp. 115–152.
Darroch, R. K., Meyer, P. A. and Singarimbun, M. (1981) Two are not
enough: the value of children to Javanese and Sundanese parents.
Honolulu-Hawaii: East-West Population Institute.
Daryanti, M. S. (2019) ‘Parity is related to antenatal examination of care
in pregnant women in PMB Sleman Yogyakarta’, Jurnal Kebidanan,
8(1), pp. 56–60.
Denzin, N.K.; Lincoln, Y. S. (1994) Handbook of Qualitative Research.
Thousand Oak, California: Sage Publications.
Dharmalingam, A. (1996) ‘The social context of family size preferences and
fertility behaviour in a south Indian village’, Genus, 52(1–2), pp. 83–
103.
Dhruve, S., Badgaiyan, Y. D. and Pandey, S. (2016) ‘A Study of Socio
Economic Factors Affecting Family Planning Services in An Urban
Area’, International Journal of Scientific Research, 5(6), pp. 618–
620. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/316941142.
Edmonds, S. W. and Ayres, L. (2016) ‘Evolutionary Concept Analysis of
Reproductive Life Planning’, Journal of Obstetric, Gynecologic, &
Neonatal Nursing, 46(1), pp. 78–90. doi:
10.1016/j.jogn.2016.07.012.
Eitle, Tamela McNulty; Jennings, Michelle Johnson. Eitle, D. J. (2013)
‘Family structure and adolescent alcohol use problems: Extending
popular explanations to American Indians’, Social Science
145
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
146
Tengger Bertahan dalam Adat
147
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
10.21107/pamator.v13i1.6925.
Hoffman, L. and Hoffman, M. (1973) ‘The value of children to parents’, in
Fawcett, J. T. (ed.) Psychological perspective on population. New
York: Basic Books, pp. 19–76.
Hull, T. H. and Hull, V. J. (1977) ‘The Persistence of High Fertility’, in
Caldwell, J. C. (ed.). Canberra: Department of Demography,
Australian National University.
Humas Pemkab Dati II Pasuruan (1988) Masyarakat Tengger dan Legenda
Kasodo. Pasuruan: Humas Pemkab Dati II Pasuruan.
Hussain, S. et al. (2007) ‘Factors Affecting The Family Size and Sex
Preference Among Christian Families In Urban Areas Of Faisalabad
(Pakistan)’, Journal Of Agriculture & Social Sciences, 3(1).
Ilham, L. (2020) ‘Mitos Wringin Sepuh dalam Kajian Islam’, Al-Iman Jurnal
Keislaman dan Kemasyarakatan, 4(1), pp. 22–42.
Ipa, M. et al. (2014) Pikukuh bandage - labor in Baduy tribe (Balutan
Pikukuh Persalinan Baduy). Jakarta: Lembaga Penerbitan
Balitbangkes.
Irfan, M. (2017) ‘Metamorfosis Gotong Royong dalam Pandangan
Konstruksi Sosial’, in Prosiding Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat. Bandung, pp. 1–10. Available at:
http://jurnal.unpad.ac.id/prosiding/article/view/14204/6868.
Islam, A. R. M. T. et al. (2020) ‘Insight into farmers’ agricultural adaptive
strategy to climate change in northern Bangladesh’, Environment,
Development and Sustainability, In press, p. In press. doi:
10.1007/s10668-020-00681-6.
Jensen, A.-M. (2009) ‘The Value of Children – Fertility, personal choices
and public needs.’, in Qvortrup, J. (ed.) Structural, Historical and
Comparative Perspectives. Sociological Studies of Children and
Youth. Emerald Books, pp. 195–220. doi: 10.1108/S1537-
4661(2009)0000012013.
Jiwani, S. S. et al. (2020) ‘Timing and number of antenatal care contacts in
low-and middle-income countries: Analysis in the Countdown to
2030 priority countries’, Journal of Global Health, 10(1). doi:
10.7189/jogh.10.010502.
Johnson, E. and Menna, R. (2017) ‘Help seeking among adolescents in
foster care: A qualitative study’, Children and Youth Services
Review, 76, pp. 92–99. doi: 10.1016/j.childyouth.2017.03.002.
Kabagenyi, A., Kakande, P. and Owayezu, V. (2020) ‘Demand for Family
148
Tengger Bertahan dalam Adat
149
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
doi: 10.11564/27-1-6.
Kirolos, A. et al. (2018) ‘Care seeking behaviour by caregivers and aspects
of quality of care for children under five with and without
pneumonia in Ibadan, Nigeria’, Journal of Global Health, 8(2), p.
Article number 020805. doi: 10.7189/jogh.08.020805.
Kissal, A. and Kartal, B. (2019) ‘Effects of Health Belief Model-Based
Education on Health Beliefs and Breast Self-Examination in Nursing
Students’, Asia‑Pacific Journal of Oncology Nursing, 6(4), pp. 403–
410. doi: 10.4103/apjon.apjon_17_19.
Klaus, D., Suckow, J. and Nauck, B. (2007) ‘The Value of Children in
Palestine and Turkey Differences and the Consequences for
Fertility’, Current Sociology, 55(4), pp. 527–544. doi:
10.1177/0011392107077637.
Koentjaraningrat (1993) ‘Metode Wawancara’, in Koentjaraningrat (ed.)
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. 3rd edn. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, pp. 129–157.
Kolis, N. and Ajhuri, K. F. (2019) ‘SANGKAN PARANING DUMADI: Eksplorasi
Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam Jawa Prespektik
Kunci Swarga Miftahul Djanati’, Dialogia: Jurnal Studi Islam dan
Sosial, 17(1), pp. 1–20. doi: 10.21154/dialogia.v17i1.1653.
Kureishi, W. and Wakabayashi, M. (2011) ‘Son preference in Japan’,
Journal of Population Economics, 24(3), pp. 873–893. doi:
10.1007/s00148-009-0282-3.
Kurniawan, A. et al. (2012) The 2012 Ethnographic Series of Maternal and
Child Health Books, Ngalum Ethnic, Oksibil District, Pegunungan
Bintang Regency, Papua Province (Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012 Etnik Ngalum, Distrik Oksibil Kabupaten
Pegunungan Bintang, Provi. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Available at:
https://www.scribd.com/doc/142715053/Buku-Seri-Etnografi-
Kesehatan-Ibu-dan-Anak-2012-Etnik-Ngalum-Distrik-Oksibil-
Kabupaten-Pegunungan-Bintang-Provinsi-Papua.
Kurniawati, Putri Indah; Dinastiti, Charisma; Ningtias, Yasinta Kurnia;
Khoiriyah, Siti; Putri, N. A. (2012) ‘Potret Sistem Perkawinan
Masyarakat Tengger di Tengah Modernitas Industri Pariwisata’,
Solidarity, 1/1, pp. 1–4.
Kusrini, I., Ipa, M. and Laksono, A. D. (2020) ‘“Is It true that the child is
king?”: Qualitative Study of Factors Related to Nutritional Status of
150
Tengger Bertahan dalam Adat
151
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
10.22435/kespro.v10i1.933.11-20.
Larasati, D. A. and Hartoyo (2016) ‘The Influence of Cultural Values and
Value of Children on Mother’s Time Allocation at Cimanuk
Watershed Families’, Journal of Family Sciences, 1(2), pp. 13–24.
doi: 10.29244/jfs.1.2.13-24.
Lee, R. M. (1993) Doing Research on Sensitive Topics. Newbury Park, CA,
CA: Sage Publications.
Lestari, W., Pamungkas, W. A. T. and Kumbara, A. (2016) Kematian Bayi
dan Balita dalam Balutan Mitos, Tradisi, dan Perubahan Sosial.
Surabaya: Unesa University Press. Available at:
https://www.scribd.com/document/333943798/Kematian-Bayi-
Balita-Balutan-Mitos-Tradisi-Perubahan-Sosial-Etnik-Jawa-di-
Kabupaten-Klaten.
Lillehagen, M. and Lyngstad, T. H. (2018) ‘Immigrant mothers’ preferences
for children’s sexes: A register-based study of fertility behaviour in
Norway’, Population Studies, 72(1), pp. 91–107. doi:
10.1080/00324728.2017.1421254.
Lubis, H. et al. (2017) ‘Mamidarai Sebagai Kepercayaan Dalam
Penyembuhan Penyakit Keteguran Makhluk Halus’, Psikostudia:
Jurnal Psikologi, 6(2), pp. 32–41. doi:
10.30872/psikostudia.v6i2.2374.
Mack, N. et al. (2005) Qualitative Research Methods: A Data Collector’s
Field Guide, Qualitative Research Methods: A data collector’s field
guide. Research Triangle Park, North Carolina, North Carolina:
Family Health International. doi: 10.1108/eb020723.
Madhavan, S. et al. (2017) ‘Household structure vs. composition:
Understanding gendered effects on educational progress in rural
South Africa’, Demographic Research, 37(1), pp. 1891–1916. doi:
10.4054/DemRes.2017.37.59.
Mahardini, N. M. D. and Tobing, D. H. (2018) ‘Perempuan Hindu-Bali yang
Nyerod dalam Melakukan Penyesuaian Diri’, Jurnal Psikologi
Udayana, 4(2), p. 390. doi: 10.24843/JPU.2017.v04.i02.p14.
Mahendra, I. G. A. A. et al. (2019) ‘The role of decision-making pattern on
the use of long-acting and permanent contraceptive methods
among married women in Indonesia’, European Journal of
Contraception and Reproductive Health Care. Taylor & Francis,
24(6), pp. 480–486. doi: 10.1080/13625187.2019.1670345.
Maksum, A. (2015) ‘Politik Identitas Masyarakat Tengger dalam
152
Tengger Bertahan dalam Adat
153
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
154
Tengger Bertahan dalam Adat
155
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
156
Tengger Bertahan dalam Adat
157
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
158
Tengger Bertahan dalam Adat
159
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
160
Tengger Bertahan dalam Adat
Asuh-Anak-Noken-Dalam-Budaya-Lani-Etnik-Lani-Kabupaten-
Tolikara.
Wahyudi, A., Intiasari, A. D. and Laksono, A. D. (2016b) Potret Pola Asuh
‘Anak Noken’ dalam Budaya Lani. Surabaya: Unesa University
Press.
Wekesa, N. M. et al. (2018) ‘High Parity and Low Education are Predictors
of Late Antenatal Care initiation High Parity and Low Education are
Predictors of Late Antenatal Care initiation among Women in
Maternal and Child Health Clinics in Kwale County , Kenya’, Journal
of Health, Medicine, and Nursing, 50(January).
White, A. A. (2013) ‘Subsistence economics, family size, and the
emergence of social complexity in hunter–gatherer systems in
eastern North America’, Journal of Anthropological Archaeology.
doi: 10.1016/j.jaa.2012.12.003.
Wibawa, S. S. (2013) ‘Nilai Filosofi Jawa dalam Serat Centhini’, LITERA:
Jurnal Penelitian Bahasa, sastra, dan Pengajarannya, 12(2), pp.
328–344. doi: 10.21831/ltr.v12i02.1546.
Widia, L. (2017) ‘Hubungan antara paritas dengan persalinan letak
sungsang’, Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah, 13(1), pp.
13–18. doi: 10.31101/jkk.155.
Widyasari, R. et al. (2012) The 2012 Maternal and Child Health
Ethnographic Series, Madura Ethnic Jrangoan Village, Omben
District Sampang Regency, East Java Province (Buku Seri Etnografi
Kesehatan Ibu dan Anak 2012, Etnik Madura Desa Jrangoan,
Kecamatan Omben Kabupaten Sampang, Pro. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
RI. Available at: https://www.scribd.com/doc/142716339/Buku-
Seri-Etnografi-Kesehatan-Ibu-dan-Anak-2012-Etnik-Madura-Desa-
Jrangoan-Kecamatan-Omben-Kabupaten-Sampang-Provinsi-Jawa-
Timur.
Wirabaskara, B., Parinduri, S. K. and Putro, G. (2016) Kegagalan Imunisasi,
Kesenjangan Komunikasi antara Petugas dan Masyarakat.
Surabaya: Unesa University Press. Available at:
https://www.scribd.com/document/333683466/Kegagalan-
Imunisasi-Kesenjangan-Komunikasi-Antara-Petugas-Kesehatan-
Masyarakat-Etnik-Aceh-Kabupaten-Aceh-Utara.
Wisuthsarewong, W. et al. (2020) ‘Acne beliefs, treatment-seeking
behaviors, information media usage, and impact on daily living
161
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
162
Glosari
163
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
164
Tengger Bertahan dalam Adat
165
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
166
Tengger Bertahan dalam Adat
167
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
Prasen: adalah tempat air suci yang dipakai dukun Tengger. Dibuat
dan disebarkan oleh Keraton Majapahit.
Pujan: atau Pemujaan. Biasa dilakukan dengan semacam semadi,
atau merapal mantra-mantra semampu yang dihapal,
dengan menyebut nama leluhur, baik leluhur keluarga
sendiri, maupun leluhur Tengger, keturunan Rara Anteng
dan Jaka Seger.
Purwobumi: adalah japa mantra yang dipakai dalam pelaksanaan
ritual entas-entas. Secara harfiah artiny adalah asal-usul
dunia.
Ragil: Anak bungsu, atau anak terakhir.
Sada: adalah anak ke-dua puluh lima darai Joko Segerdan Rara
Anteng, yang bernama Kusuma, yang mengorbankan diri
pertama kali. Namanya diabadikan dalam ritual Kasada.
Sang Hyang Widhi: Tuhan, nama sebutan masyarakat Tengger atas
Tuhan mereka. Sebutan ini sama dengan masyarakat Suku
Jawa Kuno.
Sanggar agung: adalah tempat untuk melakukan pujan. Semacam
pelinggih tau padmasari, tetapi letaknya di depan rumah.
Sanggar: adalah semacam pusat tempat pemujaan untuk
masyarakat adat Tengger untuk melakukan ritual puja pada
Pedanyangan Hyang Bahurekso.
Sangkan Paraning Dumadi: Secara harfiah, sangkan artinya adalah
tempat bermula, atau asal muasal. Paran adalah tujuan akhir
dari semua perjalanan. Sementara dumadi adalah menJadi,
Yang Menjadikan atau Sang Pencipta. Secara
keseluruhan Sangkan Paraning Dumadi dapat diartikan
sebagai pengetahuan tentang "Dari mana kita sebagai
manusia berasal, dan selanjutnya akan kemana kita akan
kembali."
168
Tengger Bertahan dalam Adat
169
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
170
Indeks
A D
abdi spiritual · 59, 63 Daftar Pustaka · 141
administratif · 41, 49, 54, 67, 68, data sekunder · 55, 56, 59, 62
75, 80 definisi sehat · 133
aib · 95 deskriptif · 57, 58, 135
alasan lokalitas · 52 dongeng · 60
alat kontrasepsi · 35, 97, 105, 132, dukun adat · 2, 52, 56, 80, 81, 82,
137, 140, 165 98, 101, 102, 103, 109, 127,
among-among · 93, 94, 165 132, 139, 164, 166, 167, 170
anak mbarep · 87, 88, 98
anak ragil · 87, 88
analisis domain · 28, 57, 138 E
analisis taksonomi · 57, 138
Asal-Usul · 59 E Pluribus Unum · 112, 158
eksogami · 47
eksplorasi · 107, 134
B elitis · 56
empiris · 15, 39, 42, 65, 72, 75, 87,
bersih desa · 95, 166 88, 89, 104, 105, 119, 128, 133
brahmana · 60, 63 ethnic survival · 105, 110
Brang Kulon · 67, 163 etnografi · 10, 25, 28, 29, 30, 31,
Brang Wetan · 67, 164 48, 51, 55, 56, 57, 108, 135, 138
C F
cara pengobatan · 109 fenomena · 3, 8, 10, 16, 25, 27, 28,
31, 37, 48, 51, 52, 53, 54, 106,
113, 114, 126, 135
fertilitas · 5, 120, 122, 143
filosofis · 90, 91, 119, 140
Fokus Penelitian · 53
171
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
G K
gaya berpakaian · 71 kajian literatur · 108
gender · 20, 55, 64, 86, 117, 119, kasta · 62, 63, 65, 141
120, 122, 129, 131, 136, 139 Kearifan lokal · 11, 12
generasi · 11, 12, 24, 50, 88, 96, kebenaran · 99, 108
121, 134 kehamilan · 6, 31, 38, 80, 95, 97,
Glosari · 163 98, 105
kekerik · 93, 94, 163
kelahiran · 4, 5, 19, 38, 46, 80, 90,
H 91, 97, 113, 167
keluarga inti · 5, 16, 49, 54, 89
health belief model · 107 kematian · 4, 6, 19, 20, 30, 31, 36,
hegemoni · 12, 41 46, 49, 80, 99, 103, 110, 166
Hindu di Bali · 62, 63, 64, 65, 66, 83 kesehatan mental · 134
hukum waris · 62, 64, 86, 129, 131, Kesehatan Mental · 105, 133
136, 139 keseimbangan · 91, 116, 126
Kesimpulan · 139
keturunan · 20, 60, 61, 64, 80, 85,
91, 99, 101, 102, 103, 104, 118,
I 121, 129, 140, 168
keyakinan · 9, 29, 30, 55, 94, 102,
informan · 2, 21, 52, 53, 55, 56, 75, 107, 109
83, 86, 94, 99, 101, 102, 105, komposisi anak · 21, 120, 122, 136,
109 139
internalisasi · 15, 124, 128 komunitas adat · 128, 129, 138, 140
interpretasi · 57 konsep · 16, 17, 18, 27, 29, 34, 37,
38, 46, 49, 107, 112, 125
konservatif · 105, 106, 107, 109
J kosmologi · 46
Kusuma · 60, 61, 168
jenis kelamin · 1, 20, 21, 50, 74,
113, 117, 122, 131, 139
jenis pekerjaan · 75, 112 L
Joko Seger · 60, 61, 62, 88, 91, 117
jumlah anak · 5, 6, 19, 20, 21, 35, lahan pertanian · 2, 74, 75, 76, 77,
88, 89, 90, 91, 98, 120, 136 78, 91, 96, 112, 116, 126, 129,
132, 135, 136, 140, 165
Laju Pertumbuhan Penduduk · 2, 3,
4, 5, 8, 9, 142
legen · 81, 82, 163
172
Tengger Bertahan dalam Adat
173
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
ramuan · 105
Rara Anteng · 60, 61, 62, 64, 80, 88, T
91, 165, 168
rasional · 137 Taman Nasional · 59, 74
rasionalisasi · 108 tanah leluhur · 91, 131, 133, 135
realis · 51 tayuban · 94
realitas · 14, 15, 16, 18, 37, 38, 93, teks liturgi · 42, 43, 62, 64
94, 123, 125, 126, 127, 128, tema budaya · 57, 58, 138
133, 143 temuan baru · 136
regulasi · 8, 16, 122 Temuan Baru · 105, 136
relasi · 10, 11, 37, 41, 54, 136 tidak mempunyai anak · 103
ritual · 29, 30, 38, 39, 42, 43, 45, tindakan · 10, 13, 31, 115, 125
46, 47, 53, 66, 67, 82, 93, 94, 95, tingkat pendidikan · 34, 36, 109
98, 100, 107, 131, 136, 139, topografi · 11, 29, 69, 77
163, 164, 165, 166, 167, 168, tradisi · 29, 40, 42, 43, 46, 52, 80,
169 83, 105, 169
roh leluhur · 62, 80, 166 transportasi · 7, 69
role model · 132, 140 triangulasi · 56
rumah pangumbaran · 110 triwangsa · 63
rumah tangga · 9, 23, 24, 34, 50, tujuan filosofis · 127, 133
60, 88, 103, 113, 114, 115, 116,
118, 123
U
S uba rampe · 82, 163
ukuran keluarga · 1, 5, 6, 9, 10, 16,
sanggar · 81 18, 19, 20, 21, 49, 51, 52, 53, 54,
sangkan paraning dumadi · 108 55, 105, 113, 114, 115, 116,
Saran · 140 117, 118, 122, 124, 125, 126,
Sejarah · 59 127, 128, 129, 131, 132, 133,
seremonial · 93 136, 138, 139, 140
sesajen · 62, 66, 83, 94, 100, 165, usia awal pernikahan · 95
169
174
Tengger Bertahan dalam Adat
Walandit · 59
V wisatawan · 7, 69
visualisasi · 131
Y
W Yadnya Karo · 7, 66, 111, 164
Yadnya Kasada · 7, 42, 66
walagaran nemohon · 82
175
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger
176
View publication stats