Makalah KEL.4 - Manfaat Olahraga Pada ODHA
Makalah KEL.4 - Manfaat Olahraga Pada ODHA
Dosen Pembimbing :
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan ridho-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Manfaat Olahraga
Pada ODHA”. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Keperawatan
HIV/AIDS.
Penulis makalah ini berbekal materi yang diperoleh dari kelas dan tidak lepas dari
bantuan, bimbingan, masukan dari berbagai pihak serta kutipan materi diambil dari
internet dengan sumber yang tertera. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat :
1. Dr. Abdul Azis Alimul Hidayat, S.Kep, Ns, M.Kes selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Lamongan
2. Arifal Aris, S.Kep, Ns., M.Kes selaku Dekan Fikes Universitas
Muhammadiyah Lamongan
3. Suratmi, S.Kep, Ns., M.Kep selaku Kaprodi S1 Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Lamongan
4. Inta Susanti, S. Kep., Ns., M. Kep Dosen Pengampu Mata Kuliah Keperawatan
HIV/AIDS.
5. Rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam
pembuatan makalah ini.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
2.1 Pengertian....................................................................................................................
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................................
3.2 Saran..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
akses reguler pada ARVs.Menawarkan ARV dapat membantu mengurangi stigma, tetapi
hanya kalau pemberi layanan kesehatan menghormati pasien, nilai-nilai budayanya dan
strategi pribadinya untuk menyelesaikan masalahnya.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Aktivitas olahraga adalah kegiatan yang bisa dilakukan sejak usia muda hingga usia
lanjut dan dapat dilakukan setiap hari (Moeloek& Tjokronegoro, 2004). Ada bukti bahwa
aktivitas fisik meningkatkan kualitas hidup dari segi kebugaran fisik dan kesejahteraan
psikologis pada pasien HIV (Stein et al., 2012). Melibatkan penggunaan olahraga dan
aktivitas intervensi fisik sebagai alat yang digunakan untuk meningkatkan pengembangan
pribadi. Hal ini akan tampak berakar pada keyakinan lama bahwa keterlibatan dalam
olahraga, khususnya dapat menanamkan karakter, mengembangkan atribut positif
(Armour, Sandford, & Duncombe, 2013).
Football for life, sebuah program yang didukung oleh UNICEF (2004) di Honduras,
Football for Life mempromosikan pencegahan HIV/AIDS dan berusaha untuk melindungi
orang-orang muda dari ekspolitasi seksual. Remaja yang lebih tua relawan sebagai
panutan bagi pemain sepak bola muda, dan pertandingan mingguan disertai dengan
diskusi tentang HIV/AIDS. Dalam program ini, sepak bola menjadi sebuah media untuk
dijadikan aktivitas olahraga yang bertujuan untuk pencegahan, penurunan stigma dan
perubahan nilai sosial HIV/AIDS. Sepakbola adalah suatu permainan yang dilakukan
dengan jalan menyepak, yang mempunyai tujuan untuk memasukkan bola ke gawang
lawan dengan mempertahankan gawang tersebut agar tidak kemasukan bola (Muhajir,
2007).
3
2.2 Dampak Positif Bagi Stigms Negatif ODHA
Aktivitas olahraga memberikan dampak positif bagi stigma negatif ODHA sehingga
dapat menurunkan stigma tersebut. Dilihat dari beberapa aspek dalam instrumen
validation of The HIV/AIDS Stigma Instrumen (Holzemer et all, 2014) sebagai berikut:
1. Verbal Abuse
Dalam variabel verbal abuse terdapat indikator yang terdiri dari ejekan, hinaan
dan menyalahkan. Dalam hal ini ODHA sering kali menjadi seseorang yang
menyalahkan diri mendapat cacian dari orang-orang disekitar, seperti yang
diungkapkan Beutler (2008) adanya fungsi olahraga yaitu, melindungi hak asasi
manusia dimana bahwa seorang ODHA berhak memiliki perlindungan untuk diri
mereka sendiri. ODHA sering kali menyalahkan diri dia sendiri seperti dimana terlalu
sensitif perasaan yang seringkali menyalahkan diri sendiri sehingga membuat ODHA
merasa direndahkan oleh orang sekitar tetapi dalam kasus ini olahraga bisa
mengangkat diri dia sendiri dengan rasa percaya diri bahwa apa yang dia lakukan
adalah sebuah aktualisasi diri.
2. Negatif Self
Dalam variabel Negatif Self terdapat indikator yang terdiri dari evaluasi diri dan
pengakuan status HIV. Dalam hal ini masalah nomor 1 dalam kasus HIV dengan
adanya sebuah pengakuan status mereka sendiri. Dalam Ley (2012) diungkapkan
bahwa terdapat efek dari aktivitas olahraga seperti efek mediated (efek psiko-sosial)
kasus ini bisa menjadi sebuah dorongan untuk mengatasi masalah psiko-sosial bagi
ODHA Dimana ketika tidak ingin memberikan pengakuan terhadap masyarakat
dengan memberikan informasi masalah status HIV+ aktivitas olahraga ini membantu
karena dengan aktivitas olahraga dapat mengurangi atau memerangi dikriminasi pada
ODHA.
3. Healthcare Neglect
Dalam variabel social isolation terdapat indikator yang terdiri akses pelayanan dan
perawatan pasien. Akses pelayanan dan perawatan pasien tentu yang utama
dibutuhkan oleh seorang ODHA karena HIV berhubungan dengan sebuah penyakit
yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatan, tetapi dalam kasus ini aktivitas
olahraga tidak begitu berpengaruh terhadap ODHA sendiri dalam social isolation
karena banyak yang mengeluhkan masalah tentang akses pelayanan sebuah tempat
kesehatan tertentu tanpa memandang diri ODHA sendiri.
4. Social Isolation
4
Dalam variabel social isolation terdapat indikator yang terdiri membatasi kontak
ODHA dan putus hubungan dengan ODHA. Dalam ini adalah hal yang selalu terjadi
pada ODHA dengan alasan banyak isu-isu yang tidak benar adanya seperti takutnya
tertular karena memiliki hubungan dengan cara tatap muka maka terjadilah hubungan
yang tidak baik antara ODHA dengan orang yang non ODHA. Disini olahraga sangat
berperan dalam hal tersebut seperti yang diungkapkan Beutler (2008) mengungkapkan
bahwa olahraga dapat berkontribusi untuk sebuah perdamaian, dimana olahraga
membawa arah angin yang positif seperti terjalinnya hubungan yang terus menerus
seperti kegiatan olahraga team yaitu sepakbola harus adanya kerjasama dalam sebuah
team dengan cara interaksi langsung dalam sebuah permainan. Olahraga sepakbola
sendiri memberikan mobilitas sosial yang membawa aktivitas ODHA dapat menjalani
hubungan baik dengan sekalipun non ODHA.
5. Fear of Contaign
Dalam variabel Fear of contaign terdapat indikator yang terdiri rasa takut kontak
dan rasa takut tertular. Mitos-mitos dimasyarakat luar tentang masalah HIV/AIDS hal
yang tidak asing lagi dengan bersentuhan, berinteraksi langsung sebuah mitos yang
tidak benar adanya dan mitos tersebut menjadi masalah yang besar sehingga
mengakibatkan terjadinya stigma dan dikriminasi dengan terbentuknya penurunan
nilai sosial dari masyarakat luar terhadap ODHA, maka dari ini aktivitas olahraga
sangat berperan sebagai media untuk menyampaikan isu-isu penyebab, pencegahan
dan pengobatan HIV/AIDS seperti adanya program develompment through of sport
yang didukung oleh yayasan swasta dari Manchester City yang dimana program
tersebut mengutamakan olahraga sebagai media untuk merubah isu-isu yang terjadi
dalam masyarakat.
6. Work Place Stigma
Dalam variabel work place stigma terdapat indikator yang terdiri akses kesempatan
kerja. Bekerja adalah sebuah akar untuk dapat bertahan hidup karena membutuhkan
biaya, kasus ini banyak dipermasalahkan oleh ODHA sendiri seperti ketika ODHA
bekerja keharusan check-up kesehatan setiap bulannya hal ini menjadi sebuah
masalah besar dengan beberapa alasan ODHA untuk rela meninggalkan pekerjaanya
karena tidak siap untuk mengakui status HIV+ kepada atasan atau rekan kerja.
Dengan adanya aktivitas olahraga ODHA melalukan demi kebutuhan kesehatan dan
kebutuhan ekonomi mereka sendiri seperti menjadi sebuah atlet yang dapat
menambah uang saku dan mengikuti hal-hal pelatihan sepakbola menjadi seorang
5
pelatih sehingga kegiatan tersebut menjadi sebuah pendapatan utama dan tidak adanya
stigma dalam tempat kerja.
12
mempertahankan berat badan ideal (Gomes-Neto dkk, 2013; Neto dkk, 2015; O'Brien,
Tynan, Nixon, dan Glazier, 2016, 2017). Hal ini disebabkan karena latihan
menurunkan tingkat stres dan memperbaiki metabolisme, baik di tingkat jaringan
maupun seluler, sehingga bisa mengurangi efek katabolisme akibat stres dan/atau
infeksi.
3. Sistem Kardiovaskular
Orang hidup dengan HIV/AIDS cenderung mengalami penurunan kebugaran
kardiorespirasi. Sebuah sistematik review dan metaanalisis terhadap 21 riset yang
disaring dari 1.409 artikel dilakukan oleh Vancampfort dkk. (2016) menyimpulkan
bahwa ODHA, terutama ODHA lansia dengan BMI tinggi dan lipodistrofi memiliki
risiko tinggi mengalami nilai kebugaran kardio-respirasi yang rendah, yakni PLWH.
Hal ini merupakan prediktor yang cukup baik untuk memperkirakan PJK dan
kematian mudah (Vancampfort dkk., 2016).
Olahraga memengaruhi fungsi kardiovaskular. Olahraga memacu otot rangka
bekerja sehingga membutuhkan substrat dan oksigen lebih banyak. Ini menyebabkan
peningkatan aliran darah dari 2-4 ml/100 gram otot per menit menjadi hampir 100
ml/100 gram otot per menit (Burton, Stokes, dan Hall, 2004). Peningkatan aliran
darah dimungkinkan karena adanya peningkatan curah jantung dari 5 liter menjadi 20
liter/menit (Ader, Cohen, dan Felten, 1995a). Peningkatan curah jantung disebabkan
peningkatan denyut jantung dan curah sekuncup, yang mengindikasikan pengosongan
penuh jantung akibat kontraksi sistolik yang kuat (Burton dkk, 2004; Gomes-Neto
dkk., 2013; Patil dkk, 2017). Meskipun olahraga menyebabkan aktivasi sistem saraf
simpatis yang menyebabkan pengeluaran norepinefrin (vasokonstriktor), olahraga
juga menyebabkan peningkatan AMP, adenosin, H, K, dan PO, yang memengaruhi
sfinger pre-kapiler, menyebabkan vasodilatasi (Burton dkk., 2004).
Selain yang sudah dijelaskan di atas, olahraga sedikit menurunkan pH dan
meningkatkan suhu tubuh, menyebabkan pergeseran kurva disosiasi hemoglobin ke
kanan pada otot yang berolahraga. Selama olahraga, terjadi sedikit restriksi aliran
darah, namun pompa otot secara umum meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh
(Burton dkk., 2004). Selama latihan, aliran darah otot dan jantung meningkat, aliran
darah ke kulit juga meningkat untuk memfasilitasi pengeluaran panas tubuh,
sementara aliran darah ke otak dipertahankan konstan, sedangkan aliran darah ke
sistem pencernaan menurun (Burton dkk., 2004).
13
Penelitian pada orang HIV menunjukkan olahraga jenis aerobik sedang selama
10 minggu, tiga kali seminggu selama 45 menit setiap sesi berdampak pada sistem
kardiovaskular dan sistem saraf (Spierer, 2005). Adaptasi sistem kardiovaskular yang
diamati dari olahraga adalah meningkatkan sensitivitas baroreseptor yang lebih baik
pada pasien HIV yang berolahraga dibandingkan dengan kelompok yang tidak
(Spierer, 2005), mengindikasikan pengendalian tekanan darah yang lebih baik
terhadap stimulus eksternal. ODHA terbukti menunjukkan respons sistem saraf
otonom yang lebih buruk serta pemulihan denyut nadi 60 120 detik pascalatihan yang
lebih lambat dibandingkan dengan individu sehat (Quiles, 2016; Quiles, Ciccolo, dan
Garber, 2017). Aktivitas fisik meningkatkan fungsi sistem saraf otonom, baik saat
istirahat maupun saat pemulihan setelah olahraga. ODHA yang aktif dan giat
berolahraga menunjukkan reaktivasi parasimpatis pascalatihan yang lebih besar
dibandingkan ODHA yang tidak aktif/tidak berolahraga selama 10 menit setelah
puncak latihan (Quiles, 2016). Latihan yang teratur meningkatkan adaptasi pada
sistem sirkulasi, meningkatkan volume dan masa ventrikel kiri, hal ini berdampak
pada peningkatan isi sekuncup dan curah jantung sehingga tercapai kapasitas kerja
yang maksimal (Ader dkk., 1995b).
4. Sistem Pernapasan
Olahraga meningkatkan frekuensi napas, meningkatkan pertukaran gas serta
pengangkutan oksigen dan penggunaan oksigen oleh otot (Ader, 2007). Paru
merupakan salah satu organ yang tidak beradaptasi terhadap olahraga (Ader dkk.,
1995a). Selama olahraga, bisa terjadi peningkatan ventilasi paru dari status istirahat
(5-6 liter/menit) menjadi sampai dengan > 100 liter/menit, menyesuaikan dengan
intensitas latihan. Konsumsi oksigen juga meningkat pada olahraga (Burton dkk.,
2004; O'Brien dkk., 2016; Patil dkk., 2017). Dampak lain dari olahraga adalah terjadi
peningkatan ventilasi, VO, max, heart rate, PaO, pH arteri, suhu tubuh, dan terjadi
penurunan PaCO, (Ader, 2007; Gomes-Neto dkk., 2013; Lindsey, 2012; Mason dkk.,
2013; Nixon, O'Brien, Glazier, dan Tynan, 2005). Hal ini disebabkan karena
peningkatan ventilasi pulmoner menyebabkan peningkatan volume tidal dan frekuensi
napas, menyebabkan hemoglobin tersaturasi penuh oleh oksigen, meningkatkan
ambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida (Burton dkk., 2004).
Heinonen dkk., (2014) menguraikan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap
peningkatan ventilasi selama latihan adalah aktivasi kolateral ke pusat respirator dari
jaras motorik untuk aktivasi otot sehingga terjadi:
14
1. peningkatan suhu tubuh;
2. Neuron respirator lebih responsif pada perubahan aktivitas kemoreseptor
sehingga otak mungkin lebih sensitif pada fluktuasi dibandingkan pada nilai
absolut PaO,, PaCO,, atau pH;
3. Produksi asam laktat selama latihan (metabolisme anaerob) meningkatkan
konsentrasi H di CSF dan darah sehingga memengaruhi kemoreseptor.
5. Metabolisme
Untuk melakukan olahraga, otot memerlukan energi terutama dalam bentuk
ATP. Pada olahraga intensitas ringan sampai sedang, terjadi glikolisis yakni glukosa
dan glikogen dipecah menjadi dua molekul piruvat. Olahraga intensitas ringan sampai
sedang memungkinkan suasana aerobik (tersedia oksigen dalam jumlah cukup di sel)
sehingga jalur Kreb dan rantai transpor elektron dapat menghasilkan ATP dalam
jumlah yang sangat banyak, yaitu 39 ATP (Burton dkk., 2004). Selain glikolisis,
terjadi pula pemecahan trigliserida dan jaringan adiposa menjadi glikogen dan lemak.
Asam lemak mengalami katabolisme melalui jalur ẞ oksidasi menjadi asetil ko-A dan
selanjutnya masuk jalur Kreb dan rantai transpor elektron. Dalam keadaan aerob
jaringan lemak yang dibakar menghasilkan 129 molekul ATP (Burton dkk, 2004). Hal
ini menguntungkan bag penderita HIV karena bisa memperbaiki profil lemak, seperti
dilaporkan oleh Kimura, Hetzler, Stickley, Shikuma, dan Chow (2012) aerobik yang
dilakukan oleh pasien HIV menurunkan kadar trigliserida. Metabolisme lemak
memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan pemecahan glikogen, namun dapat
menghasilkan energi yang banyak dan memastikan ketersediaan energi dalam waktu
yang cukup lama.
Pada olahraga intensitas tinggi, tubuh membutuhkan banyak energ dalam
waktu singkat namun tidak tersedia cukup oksigen, hal ini menyebabkan metabolisme
berubah dari metabolisme aerob menjadi anaerob. Pada situasi anaerob, glikolisis
15
hanya menghasilkan tiga molekul ATP (Burton dkk., 2004). Metabolisme anaerob
menghasilkan 2 ATP dan asam laktat yang menurunkan kerja otot. Pada saat olahraga
tubuh juga meningkatkan ambilan glukosa darah, untuk mencegah hipoglikemia,
tubuh meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis hati untuk mempertahankan
gula darah normal.
Olahraga berlebihan menyebabkan hipernatremia karena banyak cairan
isotonis yang keluar bersama keringat, serta hiperkalemia karena kalium banyak
dilepas dari otot. Selain itu bisa juga terjadi dehidrasi dan hiperosmolaritas (Ader
dkk., 1995b).
Adaptasi metabolik terhadap olahraga meliputi adaptasi jaringan lemak, sistem
darah, renal, saluran pernapasan, dan tulang. Terjadi penurunan lemak tubuh,
penurunan LDI, dan trigliserida serta peningkatan HDL-C (high density lipoprotein
cholesterol) yang bermanfaat menurunkan risiko penyakit jantung koroner akibat
olahraga (Ader dkk., 1995b). Trigliserida, terutama trigliserida intramioseluler
dihidrolisis menjadi asam lemak untuk menghasilkan energi melalui jalur oksidasi ẞ
dan fosforilasi oksidatif pada latihan intensitas sedang (Watt dan Cheng, 2017).
Olahraga berat menyebabkan hemokonsentrasi dan lekositosis bila tidak
diimbangi intake cairan dan elektrolit yang adekuat. Olahraga teratur meningkatkan
volume plasma sehingga terjadi penurunan viskositas plasma dan peningkatan
aktivitas fibrinolitik, hal ini bermanfaat untuk mencegah trombosis vaskuler dan
iskemia jaringan. Lekositosis juga bermanfaat mencegah infeksi (Ader dkk., 1995a).
Olahraga akut menurunkan renal blood flow, penurunan GFR sehingga terjadi
penurunan jumlah urine (Ader dkk., 1995b). Olahraga meningkatkan motilitas usus
dan mencegah sembelit sehingga menurunkan risiko kanker kolon (Ader dkk.,
1995b). Olahraga meningkatkan kepadatan tulang dan intake mineral oleh tulang
sehingga mencegah osteoporosis (Ader dkk., 1991: 870-872).
6. Neuroendokrin
Olahraga aerobik akut meningkatkan ẞ endorphin, katekolamin, dan
glukokortikoid dalam plasma (Ader dkk., 1991: 872). Olahraga ringan seperti brain
gym juga meningkatkan ekspresi ẞ endorphin (Nursalam dan Kurniasari, 2017).
Olahraga keras dan berat (seperti pada atlet) mempunyai efek samping yang kurang
baik. Olahraga intensitas tinggi disertai stres karena kompetisi dan penurunan berat
badan terbukti dapat menyebabkan terjadinya interaksi antara ẞ endorphin dan
katekolamin dengan hipotalamino pituitari aksis, sehingga terjadi gangguan pada
16
FSH, LH, prolaktin, dan estradiol, yang kesemuanya itu berpengaruh pada siklus
menstruasi yang tidak jarang terjadi amenore (Ader dkk., 1991: 873). Berkurangnya
hormon estrogen menyebabkan hilangnya kalsium tulang, sehingga risiko fraktur
meningkat. Pada pria, terjadi peningkatan testosteron (Ader dkk., 1991), pada
olahraga berat terjadi juga penurunan prolaktin (Wheelen wall dkk. 1984 dalam
Robert Ader dkk., 1995).
Penelitian Morgan (1985) dalam Ader (1991) menunjukkan bahwa olahraga
intensitas ringan dan sedang berefek menghilangkan ketegangan, menyebabkan
relaksasi, meningkatkan mood, meningkatkan percaya diri, meningkatkan fungsi
seksual, memengaruhi perilaku kerja, serta menurunkan kecemasan dan ketegangan.
Martinsen Medhus dan Sandvik (1985) dalam Ader (1991) menyebutkan olahraga
teratur menurunkan depresi, meningkatkan adaptasi terhadap stres (Crew dan Landers
1987 dalam Ader 1991).
7. Sistem Imun Spesifik
Sistem imun merupakan jaringan kompleks terdiri atas sumsum tulang,
jaringan limfoid, lekosit, dan mediator terlarut (antibodi, komplemen, beberapa
sitokin, dan interferon), olahraga dapat memengaruhi setiap komponen dari sistem
imun (Ader dkk., 1991).
8. PMN Lekosit
PMN lekosit dibutuhkan organisme untuk perlindungan terhadap infeksi
bakteri dalam proses kemotaksis yaitu memakan bakteri terutama yang telah
diopsonisasi oleh antibodi dan komplemen.
Olahraga menyebabkan lekositosis akut yang bersifat sementara dan akan
kembali ke level normal setelah 15 menit. Selain itu, granulosit turun dalam 45 menit
sampai dua jam dan akan normal seluruhnya setelah 24 jam Ader dkk., 1991).
Lekositosis karena olahraga disebabkan oleh (1) perpindahan cairan
ekstraselular, menyebabkan hemokonsentrasi sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi komponen darah (Davidson dkk., 1987 dalam Ader 1991), (2)
peningkatan darah pada paru dan jaringan lain sehingga lekosit pada sirkulasi
meningkat (Mur dkk., 1984 dalam Ader 1991); (3) peningkatan katekolamin,
epinefrin, peningkatan mobilisasi granulosit dari marginal; (4) peningkatan kortisol
sehingga granulosit pindah dari sumsum tulang dan (5) peningkatan IL-1 sehingga
menstimulasi granulositosis.
9. Antibodi
17
Olahraga menyebabkan peningkatan sintesis antibodi dan IgA. Imunoglobulin
tetap normal selama latihan, IgM menurun setelah latihan, dan meningkat setelah 1
jam sesudah latihan, normal kembali setelah 24 jam.
10. Komplemen
Hanson dan Flaherty (1981) dalam Ader (1991) meneliti bahwa komplemen
tetap normal, Dufaux, Hoffken, dan Hollman (1983 dalam Ader, 1991) meningkatkan
C, dan C...
11. Mononuklear Fagosit
Olahraga mengaktivasi makrofag peritoneal, meningkatkan kandungan enzim,
dan aktivitas fagositik (Fehr, Llzerich, Michna, 1988 dalam Ader, 1991) dan
peningkatan fagosit monosit (Ader, 2007; Ader dkk., 1991). Pada manusia, terjadi
peningkatan jumlah monosit sebanyak 87% sementara (Beiger, Weiss, Michel, dan
Weicker 1980 dalam Ader 1991), dan berkurang dalam 2 jam (Lewicki, 1987 dalam
Ader, 1991).
12. Interleukin
Olahraga meningkatkan pertahanan tubuh dengan cara meningkatkan
Interleukin (IL) yaitu IL-1 dan IL 2. IL-1 merupakan sitokin yang terpenting yang
berfungsi sebagai (1) imunostimulator (meningkatkan limfosit dan produksi antibodi
oleh limfosit B), (2) mediasi fase akut yang ditandai infeksi dan peradangan,
katabolisme otot, meningkatnya suhu tubuh, meningkatkan sirkulasi ke pusat
pengaturan suhu sehingga terjadi peningkatan prostaglandin. IL-1 juga berperan
penting dalam mekanisme demam saat infeksi dan peningkatan Tumor Necroting
Factor (TNF) serta peningkatan sitokin lain. Makrofag memproduksi TNF, IL-6, IFN
y (Ader dkk., 1995b; Bower dan Irwin, 2015).
13. Interferon.
Olahraga menyebabkan peningkatan interferon (Ader, 2007), nervo a
dihasilkan lekosit dan sel limfoid, interferon B berasal dari fibroblas dan interferon y
diproduksi oleh limfosit helper 1 (Ader dkk, 1991) Bower dan Irwin, 2015).
Interferon mempunyai efek antiviral dan membunuh sel tumor
14. Limfosit
Limfosit merupakan sel utama pada respons imun. Limfosit terdiri atas
limfosit T dan B, non-T dan non-B. Latihan menyebabkan limfositosis, dimulai sejak
3 menit setelah latihan kembali ke baseline dalam 15 menit dan normal kembali
setelah 2 jam. Canine Study menemukan bahwa olahraga menstimulasi limfoid dari
18
otot skelet sehingga terjadi peningkatan limfosit sirkulasi, peningkatan perfusi paru
sehingga limfosit pindah dari organ ke darah (Ader dkk., 1991; Ader, 2007).
Limfosit T utama yang berperan dalam perkembangan HIV adalah CD4+.
Olahraga menunjukkan pengaruh terhadap peningkatan hitung CD4+ pada pasien
HIV positif dalam tahun pertama sebanyak 1,07 (Mustafa dkk., 1999). Ader (2007)
menjelaskan bahwa mekanisme yang mendasari peningkatan CD4 adalah olahraga
meningkatkan aliran darah sehingga terjadi limfositosis, kenaikan katekolamin dan
kortisol. Penelitian di RSUD Dr. Soetomo juga menunjukkan bahwa olahraga
meningkatkan hitung CD4 (Misutarno, 2006).
Selain CD4, olahraga meningkatkan limfosit, terutama sel B, sel T
Meningkatkan supresor T sel dibanding Th dan meningkatkan efek pada non-B dan
non-T (Ader dkk., 1991). Peningkatan NK sel juga terjadi sebagai dampak olahraga
sehingga peran pada imunitas tumor, kembali ke baseline setelah 2 jam dan normal
setelah 24 jam (Ader dkk., 1991).
15. Pertahanan Non-Spesifik
Pertahanan nonspesifik yang terpengaruh langsung oleh olahraga yaitu
pertahanan anatomi dan fisiologi, meliputi kutan dan mukosa. Olahraga tidak
mempertahankan kebersihan bronkus untuk mencegah infeksi bronko pulmoner dan
menyebabkan penurunan transpor mukosa nasal, meningkatkan motilitas usus
sehingga bisa mencegah gastroenteritis (Ader, 2007).
Olahraga menurunkan risiko kanker kolon, yang dibuktikan oleh beberapa
penelitian antara lain Garacran (1984), Gerhardsson dkk. (1986), Vena dkk. (1987),
Husemann dkk. (1980). Selain kanker kolon, risiko kanker reproduksi juga menurun
sebagai dampak menurunnya.
Terdapat beberapa jenis olahraga yang bisa dilakukan pasien HIV, baik itu olahraga
aerobik, latihan kekuatan dan beban, senam pernapasan, serta senam misalnya meditasi
dan yoga.
1. Senam Aerobik
Senam aerobik merupakan senam yang bertujuan membakar energi, contohnya
berjalan, berenang, lari, bersepeda, sepeda statis, latihan di treadmill, dan jalan cepat.
19
Senam aerobik yang dilakukan secara teratur, baik didampingi oleh pelatih maupun
dilakukan secara mandiri bermanfaat dalam memperbaiki sistem kardiovaskular,
respirasi, memperbaiki komposisi tubuh, maupun terhadap sistem imun, gejala
psikososial, dan kualitas hidup.
Sistematik review dan metaanalisis oleh O’Brien dkk. (2016) terhadap 24
RTC (total responden 936 pasien HIV) menyimpulkan bahwa latihan aerobik antara
5-52 minggu, baik itu berupa aerobik murni maupun aerobik dan latihan kekuatan
secara signifikan memperbaiki status kardio respirasi (VO, max, waktu latihan),
kekuatan (tahanan dada, fleksi lutut), komposisi tubuh (massa tubuh tanpa lemak,
persen lemak tubuh, otot kaki), gejala depresi, dan kualitas hidup. Selain itu, senam
aerobik juga memengaruhi sebagian parameter imunologi. Hitung CD4 tidak
signifikan untuk beberapa jenis aerobik (latihan aerobik konstan atau interval atau
kombinasi aerobik dan latihan kekuatan otot progresif, latihan aerobik moderat
kombinasi latihan intensitas berat), kecuali pada latihan aerobik interval terbukti
meningkatkan CD4. Persen CD4 dan viral load tidak dipengaruhi oleh latihan aerobik
(O’Brien dkk., 2016). Sistematik review dari 29 riset RCT menyimpulkan bahwa
latihan aerobik memperbaiki komposisi tubuh, menurunkan berat badan, total lemak
tubuh, serta kebugaran tubuh/kapasitas aerobik (VO, max dan lama latihan treadmill)
Gomes-Neto dkk., 2013).
Pada aspek psikologis, beberapa penelitian dan sistematik review melaporkan
bahwa senam aerobik memiliki peranan penting dalam memperbaiki self-efficacy
(Lindsey, 2012) serta menurunkan gejala depress pada pasien HIV, baik pasien HIV
yang mendapat ART maupun tidak (Gomes-Neto dkk., 2013; Lindsey, 2012;
Mutimura dkk., 2008; Neidig dkk, 2003; Neto dkk., 2015). Hal ini dimungkinkan
karena olahraga bukan hanya memperbaiki jalur penyandi di otak, tetapi juga
meningkatkan ekspresi endorfin yang memiliki dampak peningkatan kenyamanan,
menimbulkan perasaan bahagia, senang, dan sejahtera serta menurunkan nyeri.
Kombinasi latihan aerobik dengan olahraga jenis lain juga dapat dilakukan dan
terbukti bermanfaat untuk pasien HIV. Kombinasi yoga, aerobik, dan latihan tahanan
pada 55 orang responden HIV menunjukkan perbaikan kekuatan otot, fleksibilitas,
kapasitas aerobik, serta kualitas hidup (Patil dkk, 2017). Kombinasi aerobik dan
latihan kekuatan otot juga terbukti memiliki efek yang sejalan dengan latihan aerobik
atau latihan beban yang dilakukan tanpa kombinasi. Sebuah sistematik review dan
metaanalisis yang dilakukan pada 7 RCT yang mengombinasikan latihan aerobik dan
20
latihan beban/ kekuatan otot meningkatkan VO, max = 4,48 ml/kg 95% CI: 2,95
sampai 6,0), kekuatan otot ekstensi lutut (25,06 kg 95% CI: 10,46-39,66), dan fleksi
siku (4,44 kg 95% CI: 1,22-7,67). Metaanalisis menunjukkan peningkatan signifikan
pada parameter status kesehatan, energi dan vitalitas, serta kualitas hidup (domain
fungsi fisik). Hasil yang tidak signifikan didapatkan pada kualitas hidup dalam
domain fungsi sosial (Neto dkk., 2015). Sistematik review oleh Grace dkk. (2015)
pada 33 RCT merekomendasikan dosis dan kriteria pasien HIV yang bisa melakukan
olahraga yaitu pada Tabel 8.1.
2. Latihan Beban/Tahanan/Kekuatan Otot
Latihan beban/tahanan progresif meliputi latihan peningkatan kekuatan
menggunakan beban, latihan kekuatan otot isotonis, latihan kekuatan otot isometris,
latihan menarik beban atau pita, dan latihan lain yang sejenis. Beberapa penelitian
mengkaji efektivitas latihan ini pada pasien HIV dan olahraga jenis ini terbukti
bermanfaat untuk pasien HIV. Indikator efektivitas diukur menggunakan parameter
imunologi, virologi, kardiorespirasi, kekuatan, komposisi tubuh, berat badan, serta
aspek psikologis.
Sebuah sistematik review dan metaanalisis yang dilakukan oleh O’Brien,
Tynan, Nixon, dan Glazier (2017) terhadap 64 penelitian dengan desain RCT atau
kuasi eksperimen yang melihat latihan beban/ tahanan pada pasien HIV
menyimpulkan bahwa latihan beban/tahanan
3. Olahraga Mind-Body
Sebuah telaah pustaka sistematis 26 RCT yang dipublikasikan a 1946 sampai
dengan November 2014 mengklasifikasikan olahraga yang masuk dalam kategori
memperkuat jiwa dan raga yaitu Tai Chi, Qigong yoga, dan meditasi (Bower dan
Irwin, 2015). Komponen utama olahraga mind body yaitu pernapasan, pemusatan
perhatian, meditasi, dan gerakan fisik. Tai Chi dan Qigong berasal dari pengobatan
Cina tradisional yang mengombinasikan gerakan khusus, postur, koordinasi
pernapasan, dan pemusatan mental (Bower dan Irwin, 2015).
Bower dan Irwin (2015) menemukan bahwa Tai Chi, Qigong, yoga, dan
meditasi memengaruhi secara positif marker inflamasi di sirkulasi meliputi CRP (C
reactive protein, marker aktivitas inflamasi), IL-6 (sitokin pro-inflamasi), TNF-a dan
sitokin inflamatori yang lain (IL-1RA = IL-1 reseptor antagonis dan IL-18). Lebih
jauh Bower dan Irwin (2015) menguraikan bahwa pengaruh olahraga mind-body
terhadap marker inflamasi selular masih belum konklusif karena jumlah penelitian
21
yang menginvestigasi ini sedikit (hanya enam riset) dan menggunakan marker assay
yang bervariasi sehingga sulit ditarik kesimpulan.
Hasil yang menarik dari review oleh Bower dan Irwin (2015) adalah temuan
bahwa olahraga mind-body dapat memengaruhi ekspresi gen di jalur inflamasi.
Transkripsi genomik leukositosis dari individu yang bersedih, kesepian, berasal dari
status ekonomi lemah menunjukkan perubahan gen yang mendukung inflamasi
(aktivasi pro-inflamasi NF-kB/ Rel keluarga TFs dan GATA-family TF’s,
menurunnya aktivitas inteferon response factor-IRFs, dan menurunnya aktivitas
reseptor glukokortikoid).
Mekanisme yang menjelaskan pengaruh olahraga mind-body terhadap biologi
inflamasi yaitu melalui mekanisme neuroendokrin, mekanisme saraf, serta mekanisme
psikologi dan perilaku. Mekanisme melalui jalur neuroendokrin (diilustrasikan pada
Gambar 8.1) yaitu melalui perubahan sistem saraf otonom dan perubahan ekspresi gen
inflamasi melalui jalur hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Melalui jalur sistem saraf
yaitu aktivasi neural alarm system (terdiri atas aktivasi sistem saraf otonom, aksis
HPA, amigdala, dorsal anterior cingulate cortex, anterior insula, dan periaqueductal
gray) serta area pengatur respons terhadap ancaman dan (Bower dan Irwin, 2015). Hal
ini terutama terjadi karena aspek pemusatan pengatur emosi (prefrontal korteks,
ventral striatum, dan area perhatian dan kewaspadaan diri (Bower dan Irwin, 2015).
4. Meditasi
Meditasi merupakan latihan mental dan jiwa, biasanya meliputi pemusatan
perhatian (Bower dan Irwin, 2015). Meditasi dengan rasa gembira dan bahagia akan
menghasilkan endorfin yang dapat membantu imunitas Olah napas berfungsi
meningkatkan oksigen sehingga terjadi proses peningkatan energi tubuh. Melakukan
senam pernapasan adalah pelatihan seluruh tubuh dari kepala hingga ujung kaki,
demikian juga pasokan oksigen di tubuh akan terpenuhi sesuai standar tubuh sehat.
Meditasi dan senam pernapasan bila dilakukan secara teratur akan bermanfaat bagi
penyembuhan, terhindar dari penyakit dan rasa sakit serta sehat dan kreatif sepanjang
hidup. Senam sebaiknya dilakukan 3 sampai 5 kali seminggu sekitar 30-50 menit.
Denyut nadi latihan diukur dengan rumus (220 dikurangi usia) x 60-80% untuk
olahraga ringan sampai sedang (Yayasan Spiritia, 2012). Berdasarkan review
literature oleh Bower dan Irwin (2015) yang sudah diuraikan sebelumnya, meditasi
dapat memengaruhi imunitas yang bermanfaat bagi ODHA.
5. Yoga
22
Yoga semakin meningkat popularitasnya sebagai salah satu bentuk olahraga.
Yoga berasal dari India dan banyak dipraktikkan di seluruh dunia. Komponen utama
yoga meliputi ashana (pengaturan postur), pranayama (pernapasan), serta dhyana
(meditasi atau relaksasi) (Bower dan Irwin, 2015; Pilkington, Kirkwood, Rampes, dan
Richardson, 2005), sedangkan gerakan yoga sangat bervariasi. Postur dalam yoga
terdiri atas berdiri, menekuk, berputar, dan menyeimbangkan tubuh, yang
menghasilkan fleksibilitas dan kekuatan (Pilkington dkk., 2005). Pengendalian dan
pengaturan pernapasan bertujuan memfokuskan pikiran dan mencapai relaksasi,
sedangkan meditasi berfungsi untuk menenangkan pikiran (Pilkington dkk., 2005).
Yoga dilaporkan banyak digunakan untuk mengobati berbagai kondisi. Potensi
yoga bagi kesehatan yang pernah dilaporkan yaitu modulasi tonus saraf otonom,
aktivasi sistem antagonis neuromuskular, yang bisa meningkatkan respons relaksasi
pada sistem neuromuskular, serta stimulasi sistem limbik, terutama disebabkan oleh
meditasi (Riley, 2004).
Banyak penelitian yang menginvestigasi peranan yoga pada kesehatan.
Robinson, Mathews, dan Witek-Janusek (2003) melakukan penelitian dengan desain
randomised-controlled trial (RCT) pada pasien HIV menemukan bahwa intervensi
yoga dapat menurunkan gejala depresi. Telaah sistematis yang dilakukan pada lima
artikel terkait yoga dan depresi juga sepakat bahwa yoga berhasil menurunkan gejala
depresi (Pilkington dkk, 2005). Hal ini akan sangat menguntungkan bagi penderita
HIV karena berbagai kondisi biologis, perubahan fisik dan fisiologis, stigma dan
diskriminasi, serta penurunan kondisi ekonomi akibat tidak mampu bekerja sebagai
dampak sakit menyebabkan banyak ODHA mengalami stres dan depresi. Bahkan
diagnosis HIV sendiri juga banyak dipersepsikan sebagai berita yang sangat membuat
stres.
Olah pernapasan yang dilakukan pada saat yoga, banyak dilaporkan dalam
beberapa penelitian memengaruhi fisiologis individu, ditandai dengan penurunan
konsumsi oksigen, penurunan denyut nadi, penurunan tekanan darah, serta
peningkatan amplitudo gelombang teta pada EEG, peningkatan aktivitas parasimpatis
(Jerath, Edry, Barnes, dan Jerath, 2006) menduga bahwa perubahan fisiologis tersebut
disebabkan karena latihan napas dalam mengatur ulang sistem saraf otonom melalui
sinyal penghambat yang dipicu oleh regangan dan arus hiperpolarisasi yang
dipropagandai oleh jaringan saraf dan nonsaraf, yang berfungsi menyinkronkan
23
elemen saraf di jantung, paru, sistem limbik, dan korteks (Pilkington dkk., 2005).
Hipotesis oleh Jerath tersebut diilustrasikan dalam Gambar 8.2.
6. Brain Gym
Brain gym belum pernah diteliti efektivitasnya bagi penderita HIV. Namun
sebuah penelitian pada pasien lansia menunjukkan bahwa brain gym yang dilakukan
rutin setiap empat kali dalam satu minggu dapat meningkatkan endorfin (Nursalam
dan Kurniasari, 2017). Brain gym yang diberikan adalah tahapan latihan kebugaran
jasmani yaitu rangkaian proses dalam setiap latihan, meliputi dimensi lateralis,
pemusatan, dan pemfokusan. Brain gym mampu mengembalikan posisi dan
kelenturan sistem saraf, aliran darah dan mampu memaksimalkan pasokan oksigen ke
otak, mampu menjaga sistem kesegaran tubuh, serta sistem pembuangan energi
negatif dari dalam tubuh.
Brain gym yang dilaksanakan secara rutin mampu meningkatkan konsumsi
energi, sekresi endorfin, dan suhu tubuh yang dapat memfasilitasi tidur dalam proses
penyembuhan tubuh. Beberapa studi menyatakan bahwa terjadi peningkatan level
endorfin di perifer darah yang dikeluarkan oleh ACTH dan adanya respons endorfin
terhadap aktivitas fisik (Fink, 2010). Aliran darah yang lancar mampu membuat
transpor oksigen terutama ke otak lancar sehingga dapat mengontrol tekanan darah.
Brain gym yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan tiga hormon stres
yaitu kortisol, epinefrin, dan dopac (katabolit utama
7. Senam Relaksasi Napas Dalam
Teknik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan,
yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien cara melakukan napas dalam,
napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal), dan cara mengembuskan napas
secara perlahan.
Terdapat beberapa variasi latihan nafas dalam yang pernah diteliti, antara lain
terangkum dalam Tabel 8.3. Berdasarkan Tabel 8.3 dapat disimpulkan bahwa teknik
napas dalam yang umum dipakai yaitu menarik nafas perlahan dari hidung,
menahannya, kemudian menghembuskan napas perlahan baik melalui hidung
kembali, atau melalui mulut.
Napas dalam memiliki efek yang baik terhadap sistem kardiovaskular yaitu
peningkatan curah jantung karena adanya perbaikan aliran darah balik dari vena yang
kembali ke jantung seperti Gambar 2.2 (Rhoades dan Tanner, 2003). Curah jantung
yang baik direspons oleh baroreseptor, baroreseptor selanjutnya memengaruhi nervus
24
vagus (Sherwood, 2012). Napas dalam dan pelan meningkatkan sensitivitas
baroreseptor dan aktivasi vagus (Mason dkk., 2013). Rangsangan pada nervus vagus
selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah dan kecemasan melalui
penurunan rangsangan simpatis dan meningkatkan sistem parasimpatis (Mason dkk.,
2013). Relaksasi napas juga bisa mengurangi stres. Hal ini sangat penting karena stres
bisa menyebabkan perburukan kondisi pasien HIV/AIDS.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan dari penelitian ini adalah
terdapat penurunan stigma ODHA dan peningkatan nilai sosial ODHA melalui aktivitas
olahraga di Rumah Cemara Bandung. Adapun untuk penelitian selanjutnya, diperlukan
upaya serius untuk masalah psiko-sosial di lapangan dengan media utama adalah aktivitas
olahraga menjadi salah satu solusi untuk memecahkan masalah tersebut guna peran-peran
nila olahraga ter-implikasi di lapangan.
25
AIDS secara sosial tidak terlihat (invisible) meski demikian kerusakan yang
ditimbulkannya sangatlah nyata. HIV/AIDS karena sifatnya yang sangat mematikan
sehingga menimbulkan rasa malu dan pengucilan dari masyarakat yang kemudian akan
mengiring pada bentuk-bentuk pembungkaman, penolakan, stigma, dan diskriminasi pada
hampir semua sendi kehidupan. Hampir semua orang yang diduga terinfeksi AIDS tidak
memiliki akses terhadap tes HIV, inilah yang membuat usaha-usaha pencegahan dan
penyembuhan menjadi sangat rumit. Program pencegahan penyebaran HIV/AIDS harus
segera dilaksanakan, tak terkecuali area Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah
Tahanan.
3.2 Saran
Masa depan bangsa ini harus segera diselamatkan caranya adalah dengan mendidik
dan membimbing generasi muda secara intensif agar mereka mampu menjadi motor
penggerak kemajuan dan mendorong perubahan kearah yang lebih dinamis, progesif dan
produktif. Dengan demikian diharapkan kedepannya bangsa ini mampu bersaing dengan
negara lainya. Agar mencapai impian tersebut remaja Indonesia harus tumbuh secara
positif dan kontruktif, serta sebisa mungkin dijauhkan dari telibat kenakalan remaja.
Inialah tantangan riil yang kita hadapi sebagai guru dan orang tua. Sudah sedemikian
lama fenomena maraknya kenakalan remaja ini dibiarkan begitu saja, seolah hanya di
tangani dengan asal-asalan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Armour, K., Sandford, R., & Duncombe, R. (2013). Positive youth development and
physical activity/sport interventions: Mechanisms leading to sustained impact.
Physical Education and Sport Pedagogy, Vol. 18, pp. 256–281.
https://doi.org/10.1080/17408989.2012.666791.
Beutler, I. (2008). Sport in Society: Cultures, Commerce, Media, Politics Sport serving
development and peace: Achieving the goals of the United Nations through sport.
(February 2015), 37–41. https://doi.org/10.1080/17430430802019227.
Butt, L., Morin, J., Kes, M., Numbery, G., Hum, M., Peyon, I., Goo, A. (2010). Stigma
dan HIV/AIDS di wilayah pegunungan papua. Papua: Pusat Studi
Kependudukan–UNCEN.
Butt, L., Ph, D., Morin, J., Djoht, D. R., Kes, M., Numbery, G., Sos, S. (2010). Stigma
dan HIV / AIDS di Wilayah Pegunungan Papua.
Giriwijoyo, dkk. (2013). Ilmu Faal Olahraga (Fisiologi Olahraga). Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun. (2014). Jakarta: Kemenkes RI.
Ley, C. (n.d.). A narrative review of research on the effects of physical activity on people
living with HIV and Opportunities for health promotion in disadvantaged settings
27
A narrative review of research on the Effects of physical activity on people. (July
2013), 37–41. https://doi.org/10.2989/16085906.2012.698079.
Stein, L., Hechler, D., Jessen, A. B., Neumann, K., Jessen, H., & Beneke, R. (2012).
Sports behaviour among HIV-Infected versus non-infected individuals in a Berlin
cohort. 25–29.
Young, K., & Okada, C. (2014). Sport, Social Development and Peace Article
information: In Research in the Sociology of Sport (Vol. 8).
https://doi.org/10.1108/S1476-285420140000008012.
28