Anda di halaman 1dari 12

A. Pengertian HIV.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4(Cluster Of Differentiation) sebagai sebuah marker atau penanda yang berada
di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi
yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4
berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu
(misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan
pada beberapa kasus bisa sampai nol).

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini
secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase
untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi
secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat
mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.

B. Pengertian AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik.
C. Penyebab Penyakit

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus
ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari
HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung
3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen
tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus
terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat
efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi
protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus.
Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang
lain (Brooks, 2005).

Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD) yang
kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD (transmembranosa).
Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan mempunyai
peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan virus dangan sel target (Borucki, 1997).

Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk
mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang
disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif (Borucki, 1997).

Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia
permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke
seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T
CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia
plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan
infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa
ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV
dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki waktu
paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase
HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi
dalam basis harian (Brooks, 2005).

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang
nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi
dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma
selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal
infeksi (Brooks, 2005).

Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan
tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat
menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal
bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).

D. Epidemiologi.

Epidemologi HIV(+)/AIDS nasional lebih dari 6.5 juta perempuan di indonesia menjasi
populasi rawan tertular dan menularkan HIV. Perempuan subur di indonesia telah terinfeksi HIV
sebanyak 24.000. lebih dari 9.000 perempuan HIV(+)+ hamil dalam setiap tahunyya di indonesia
dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular bila tak ada PMTCT. Sedangkan yang
termasuk dalam resiko tersebut adalah pasangan muda dari pengguna napza suntik yang tak
menyadari telah tertular HIV(+). Istri atau pasangan dari ODHA pria. Penjaja seks yang hamil,
bayi atau balita dengan gangguan tumbuh kembang. Bayi atau balita dengan gizi buruk, bayi atau
balita dengan gangguan infeksi berulang.

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun 1987.
Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat
infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus
HIV/AIDS menjadi dua kali lipat.
Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan
narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika ini sebagian besar
adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret
2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan.

Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan
6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362
orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan
penyebaran tertinggi melalui hubungan seks.

Pada epidemiologi HIV(+)/AIDS dapat diuraikan mengenai faktor agent, host, dan
environment, yaitu sebagai berikut:

a) Faktor agent

HIV(+) adalah virus penyebab AIDS termasuk retrovirus yang mudah mengalami mutasi,
sehingga sulit untuk membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut. Virus HIV(+) sangat
lemah dan mudah mati diluar tubuh, termasuk virus yang sangat sensitif terhadap pengaruh
lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan desinfektan.

b) Faktor host

Distribusi golongan umur penderita AIDS, eropa, afrika dan asia tidak jauh berbeda,
kelompok terbesar berada pada umur 20-39 thn, karna aktif melakukan hubungan seksual. hal ini
memmbuktikan bahwa transminasi seksual baik homoseksual maupum heteroseksual merupakan
pola transminasi utama. rasio jenis kelamin wanita dan pria di negara pola 1 adala 10:1 karena
sebagian besar penderita adalah kaum homoseksual sedangkan di negara pola 2 rasio adala 1:1.

Kelompok yang berisiko tinggi adalah mereka yang melakukan hubunga seksual dengan
banyak mitra seks kaum enteroseksual/biseksual. Kaum heteroseksual golongan pengguna IDU
menerima transfusi darah termasuk penderita hemofilia dan penyakit darah. Anak dan bayi yang
lahir dari ibu penderita HIV(+). Kelompok homoseksual/biseksual adalah kelompo terbesar
pengidap HIV(+) di amaerika serikat.

c) Faktor environment
Lingkungan biologis,sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran
AIDS. Lingkungan biologis antara lain adanya luka-luka pada usus genita, herpes simplex dan
siphilis meningkatkan prevelensi penularan HIV(+).

Dunia ini telah mengalami suatu pandemi virus HIV. Pandemi ini tidak hanya
menimbulkan dampak negatif di bidang medis, tetapi juga di bidang sosial, ekonomi dan politik.
AIDS merupakan masalah global yang penting, dan merupakan masalah yang kompleks.
Masalah pandemi ini terbagi atas 3 aspek epidemi yang timbul secara berkelanjutan yaitu:

1. Epidemi pertama yaitu epidemi HIV itu sendiri, yang secara diam-diam tanpa disadari
dan diketahui terjai di masyarakat. Epidemi disebut sebagai silent epidemi. Dari penelitia
seroarkeologi, ternyata HIV telah ada pada darah beku dari afrika yang tersimpan sejak
tahun 1959.
2. Epidemi kedua adalah munculnya kasus-kasus AIDS yang terjadi beberapa tahun
kemudian. Hal ini terjadi karena diperlukan waktu beberapa tahun sebelum seseorang
dengan infeksi HIV akan berkembang dan menunjukan gejala-gejala ADIS yang nyata.
perkembangannya akan berkembang dalam dekade mendatang, walaupun andainya tidak
terjadi lagi penularan baru, karena sejumlah besar HIV yang asimtomatik akan terjadi
sakit dan menunjukan gejala AIDS.
3. Epidemi ketiga adalah reaksi masyarakat terhadap gejala HIV dan kasus AIDS, sebagai
akibat adanya kedua epidemi sebelumya. Hal ini mulai nampak sekitar pertengahan tahun
delapan puluhan. Berupa dampak sosial, psikologi bahkan dampak politik. Aspek
epidemi ketiga ini akan tergantung dari kemampuan masyarakat untuk menanggulangi
masalah sosial ini. Sehingga dapat mencegah timbulnya kecurigaan dan deskriminasi,
yang berarti terdapat respon positif untuk mencegah penularan dan perawatan pada
pengidap HIV/AIDS.

E. Pencegahan HIV
Pencegahan HIV hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen masyarakat dan
politik yang tinggi untuk mencegah dan menguragi perilaku resiko tinggi terhadap penularan
HIV. Upaya pencegahan meliputi:

1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah
orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama
dalam merubah perilaku.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah upaya pencegahan AIDS dengan
KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), yaitu memberikan informasi kepada kelompok risiko
tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat diketahui langkah-langkah
pencegahannya. Ada 3 pola penyebaran virus HIV, yakni :

 Melalui hubungan seksual.


HIV dapat menyebar melalui hubungan seks pria ke wanita, wanita ke pria
maupun pria ke pria. Hubungan melalui seks ini dapat tertular melalui cairan tubuh
penderita HIV yakni cairan mani, cairan vagina dan darah.
Upaya pencegahannya adalah dengan cara, tidak melakukan hubungan seksual
bagi orang yang belum menikah, dan melakukan hubungan seks hanya dengan satu
pasangan saja yang setia dan tidak terinfeksi HIV atau tidak berganti-ganti pasangan.
Juga mengurangi jumlah pasangan seks sesedikit mungkin. Hindari hubungan seksual
dengan kelompok resiko tinggi menular AIDS serta menggunakan kondom pada saat
melakukan hubungan seksual dengan kelompok risiko tinggi tertular AIDS dan pengidap
HIV.
 Melalui darah.
Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan cara transfusi yang mengandung
HIV, penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas
digunakan orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik. Juga penggunaan
pisau cukur, gunting kuku, atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus HIV.
Upaya pencegahannya dengan cara, darah yang digunakan untuk transfusi
diusahakan terbebas dari HIV dengan memeriksa darah donor. Pencegahan penyebaran
melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian
pula semua organ yang akan didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan
dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu.
Upaya lainnya adalah mensterilisasikan alat-alat (jarum suntik, maupun alat tusuk
lainnya) yang telah digunakan, serta mensterilisasikan alat-alat yang tercemar oleh cairan
tubuh penderita AIDS. Kelompok penyalahgunaan narkotika harus menghentikan
kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan
menggunakan jarum suntik bersamaan. Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable).
 Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya.
Penularan dapat terjadi pada waktu bayi masih berada dalam kandungan, pada
waktu persalinan dan sesudah bayi dilahirkan serta pada saat menyusui. ASI juga dapat
menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi pada saat mengandung maka ada
kemungkinan bayi yang dilahirkan sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang
ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV. Bayi yang tidak diberikan ASI berisiko lebih
besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi. Bila ibu yang menderita HIV
tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat mengurangi penularan kepada
bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat pengobatan. WHO mencanangkan
empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara
mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi
HIV/AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan
pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi
diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.

Selain upaya pencegaham diatas upaya pencegahan HIV juga dapat dilakukan
dengan melakukan penyuluhan kesehatan di sekolah, menekankan masyarakat bahwa
mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta penggunaan obat suntik bergantian
dapat mengakibatkan resiko terkena HIV, membekali Pelajar pengetahuan bagaiman
untuk menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko terkena infeksi
HIV, mengembangkan Program anak sekolah sedemikian rupa sesuai dengan
perkembangan mental serta kebutuhan mereka. Begitu juga bagi mereka yang tidak
sekolah, kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa yang berbeda dan
bagi penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus dipikirkan.
2. Pencegahan Sekunder
Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga
muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian.
Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif.
sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :
a) Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik
dan pemberian vitamin.
b) Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi
berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. 28 Jenis-
jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis
carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes,
cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan bakteri (Mycobacterium TBC,
Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dll). Penanganan terhadap
infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya
dan diberikan terus-menerus.
c) Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat enzim
reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV
terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik
Universitas Sumatera Utara menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga
menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan
pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV.
3. Pencegahan Tersier

ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat
melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin.Misalnya:

 Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan


perasaannya.
 Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang
masa lalu yang indah.
 Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya.
 Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan
tidak menyalahkan diri atau orang lain.
 Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat disembuhkan
atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup, pemberian kenyamanan (seperti
relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering, memberi toleransi
maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga), pengelolaan nyeri (bisa
dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan
antinyeri), persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang
keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.

E. Penata laksanaan HIV.


Tujuan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS adalah untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas. Pengobatan diperlukan untuk menekan replikasi virus, mengatasi
penyakit penyerta (jamur, TB, hepatitis, toksoplasma, sarcoma kaposi, limfoma, kanker serviks)
serta pengobatan suportif seperti gizi, gaya hidup, dan terapi psikososial.

Anjuran WHO:

a) Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda.


b) Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran
c) Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik
d) Program pendidikan agama dan pelatihan ketrampilan hidup, layanan pengobatan infeksi
menular seksual (IMS), promosi kondom di lokalisasi pelacuran di panti pijat.
e) Paket pencegahan komprehensif bagi pengguna narkotika termasuk program
penggandaan jarum suntik steril
f) Pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling, dukungan untuk anak jalanan
dan pengerantasan prostitusi anak, integrasi program pencegahan dan perawatan dan
dukungan ODHA.
g) Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberiaan obat ARV

Pengobatan yang diberikan bagi orang yang terkena HIV yaitu dapat diberikan
obat antivirus. Ada 2 jenis obat yang dapat diberikan bagi orang yang terinfeksi HIV
yaitu analog nucleotide yang berfungsi untuk mencegah aktifitas reverse transcriptase
seperti timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar
RNA HIV dalam plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil dalam menghentikan
progress penyakit oleh karena timbulnya bentuk mutasi reverse transkiptase yang resisten
terhadap obat. Selain itu ada jugainhibitor protease virus yang sekarang digunakan untuk
mencegah proses protein prekusor menjadi kapsid virus matang dan protein core.

Selain itu dapat dilakukan Antiretroviral therapy yang sering dikenal dengan
highly active antiretroviral therapy (HAART) untuk menghambat HIV. Pengobatan ini
diharapkan mampu menghambat progresivitas infeksi HIV untuk menjadi AIDS dan
penularannya terhadap orang lain. ART dibagi dalam dua kategori yaitu :

 Ada perhitungan CD4.

Stadium IV menurut kriteria WHO (AIDS) tanpa memandang hitung CD4

Stadium III menurut kriteria WHO dengan CD4 < 350 sel/ mm3 Stadium I-II menurut
kriteria WHO dengan CD4 ≤ 200 sel/mm3

 Tidak ada perhitungan CD4

Stadium IV menurut WHO tanpa memandang TLC

Stadium III menurut WHO tanpa memandang TLC

Stadium II dengan TLC ≤ 1200 sel/mm3

Pemberian ART ini tergantung pada tingkat progresivitas masing-masing


penderita. Terapi kombinasi ART mampu menekan replikasi virus sampai tidak
terdeteksi oleh PCR. Pada kondisi ini penekanan virus berlangsung efektif mencegah
timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat progersifitas penyakit.
Karena itu terapi kombinasi ART harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat. Jadi
tujuan utama dari terapi antivirus ini adalah untuk penekanan secara maksimum dan
berkelanjutan jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya), fungsi
imunologi, perbaikan kualitas hidup dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV.

Anda mungkin juga menyukai