Anda di halaman 1dari 214

e Gadjah Mada University Press

ISU-ISU PENTING
HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL
DI INDONESIA
M. HAWIN I BUOi AGUS RISWANDI

ISU-ISU PENTING
HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL
DI INDONESIA

e Gadjah Mada University Press


ISU-ISU PENTING HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA

Penulis:
M. Hawin
Budi Agus Riswandi

Desain sampul:
Didii

Tata letak isi:


Didi

Digitalisasi oleh:
Ruslan

Diterbitkan dan dicetak oleh:


Gadjah Mada University Press
Anggota IKAPI
Anggota APPTI

ISBN: 978-602-386-266-5 (cetak)


ISBN: 978-602-386-501-7 (pdf)

Redaksi:
JI. Grafika No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
Telp./Fax.: (0274) 561037
http://ugmpress.ugm.ac.id I gmupress@ugm.ac.id

Digitalisasi : Januari 2020

Hak Digital © 2017 Gadjah Mada University Press


Dilorong mengutip don memperbonyok tonpo izin tertulis dori penerbit, sebogion
otou seluruhnyo dolom bentuk opo pun, boik cetok, photoprint, microfilm, don
sebogoinyo.
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Ar-Rahman Ar-Rahim


Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah, berkat rahmat dan karunia serta bimbingan
Allah SWT, akhirnya buku dengan judul Isu-Isu Penting Hak Kekayaan
Intelektual di Indonesia ini dapat diselesaikan. Shalawat serta Salam
semoga tetap tercurahkan kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW.
Buku ini merupakan kelanjutan dari buku-buku bidang HKI yang
sudah ada sebelumnya dengan mengangkat tema mengenai isu aktual
hukum bidang HKI pasca pemberlakuan aturan hukum HKI baik secara
Internasional maupun Nasional di Indonesia. Mengingat masih minimnya
buku hukum yang mengupas masalah-masalah aktual khususnya bidang
HKI, hadirnya buku ini diharapkan tidak hanya menjadi referensi bagi
mahasiswa yang mempelajari hukum hak kekayaan intelektual, akan tetapi
juga sebagai khasanah ilmu bagi masyarakat Indonesia yang haus akan
kajian masalah barn di bidang hukum hak kekayaan intelektual.
Untuk memberikan penjelasan singkat isi buku ini, maka penulis
menetapkan ada VIII bab. Secara lengkap masing-masing bab dapat
diuraikan sebagai berikut. Bab I tentang Pendahuluan. Bab II tentang
Perlindungan Hak Moral Menurut UUHC 2014, terdiri dari pendahuluan,
sejarah dan pengertian hak moral, perlindungan hak moral menurut UUHC
2002, perlindungan hak moral menurut UUHC 2014, kesimpulan dan
daftar pustaka. Bab III tentang Legalitas Impor Paralel Menurut UU Merek
2016, UU Paten 2016 dan UUHC 2014 , yang terdiri dari pendahuluan,

I V
pengertian impor paralel, beberapa situasi terjadinya impor paralel, sebab­
sebab terjadinya impor paralel, prinsip exhaustion dan impor paralel, impor
paralel ditinjau dari hukum merek di Indonesia, impor paralel ditinjau dari
hukum paten di Indonesia, kesimpulan, dan daftar pustaka.
Bab IV tentang Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional, terdiri dari, pendahuluan, perlindungan pengetahuan
tradisional, perlindungan ekspresi budaya tradisional, kesimpulan, dan
daftar pustaka. Bab V tentang Catatan Pengaturan Manajemen Informasi
Hak Cipta, Informasi Elektronik Hak Cipta dan Sarana Kontrol Teknologi
di Dalam UU Hak Cipta, terdiri dari pendahuluan, teori perlindungan hak
cipta, teknologi informasi sebagai sarana perlindungan teknis hak cipta,
WIPO Internet Treaties: sinergitas perlindungan dan ketentuan hak cipta,
pengaturan dan catatan manajemen informasi hak cipta dan sarana kontrol
teknologi dalam ketentuan hak cipta Indonesia, kesimpulan dan daftar
pustaka.
Bab VI tentang Collective Management Organization Indonesia:
peluang dan tantangannya pasca pemberlakuan UU Nomor 28 Tahun 2014,
terdiri atas, pendahuluan, arti, fungsi, lingkup dan manfaat CMO, model
CMO di berbagai negara, sejarah, perkembangan dan pengaturan CMO di
Indonesia, kesimpulan dan dafar pustaka. Bab VII tentang UUHC Nomor
28 Tahun 2014 dalam Konteks Kepentingan Pengembangan Industri
Kreatif Musik dan Lagu di Indonesia, yang terdiri dari pendahuluan,
industri kreatif = industri musik dan lagu = industri hak cipta, kontribusi
industri kreatif musik dan lagu dalam perekonomian nasional, UUHC
dalam konteks kepentingan pengembangan industri kreatif musik dan lagu
Indonesia, kesimpulan dan daftar pustaka.
Bab VIII tentang Problematika Jaminan Fidusia Hak Cipta dan
Implikasinya terhadap Pengembangan Industri Kreatif di Indonesia, terdiri
dari pendahuluan, industri kreatif sebagai industri yang berbasis pada
kreativitas, hak cipta sebagai hak kebendaan dan multihak, jaminan :fidusia
sebagai jaminan kebendaan, problematika jaminan :fidusia hak cipta dan

vi
implikasi pada pengembangan industri kreatif di Indonesia, kesimpulan
dan daftar pustaka.
Demikian penjelasan setiap bab dari buku ini. Selanjutnya, Penulis
mengharapkan saran dan kritik guna penyempurnaan buku ini.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, Juli 2017


Penulis,

Prof. M. Hawin, S.H.,LL.M., Ph.D.


Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.

vii
DAFTARISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... V


DAFTAR ISi ........................................................................................ ix
DAFTAR ISTILAH ............................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1
BAB II PERLINDUNGAN HAK MORAL MENURUT UUHC
2014.................................................................................... 6
A. Pendahuluan ................................................................ 6
B. Sejarah dan Pengertian Hak Moral............................... 7
C. Perlindungan Hak Moral Menurut UUHC 2002 .......... 14
D. Perlindungan Hak Moral Menurut UUHC 2014 ......... 20
E. Kesimpulan .................................................................. 25
Daftar Pustaka .................................................................... 26
BAB III LEGALITAS IMPORPARALEL MENURUT UU MEREK
2016, UU PATEN 2016, DAN UU HAK CIPTA 2014 ...... 27
A. Pendahuluan ................................................................ 27
B. Pengertian Impor Paralel ............................................. 28
C. Beberapa Situasi Terjadinya Impor Paralel ................. 32
D. Sebab-Sebab Terjadinya Impor Paralel ....................... 35
E. Prinsip Exhaustion dan Impor Paralel ......................... 38
F. Impor Paralel Ditinjau dari Hukum Merek di
Indonesia ..................................................................... 64
G. Impor Paralel Ditinjau dari Hukum Pat en di
Indonesia ...................................................................... 72

I ix
H. Impor Paralel Ditinjau dari Hukum Hak Cipta di
Indonesia ...................................................................... 78
I. Kesimpulan .................................................................. 82
Daftar Pustaka .................................................................... 83
BAB IV PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL
DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL................... 88
A. Pendahuluan ................................................................ 88
B. Perlindungan Pengetahuan Tradisional........................ 89
C. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional.................. 116
D. Kesimpulan .................................................................. 120
Daftar Pustaka .................................................................... 121
BAB V CATATAN PENGATURAN MANAJEMEN INFORMASI
HAK CIPTA, INFORMASI ELEKTRONIK HAK CIPTA
DAN SARANA KONTROL TEKNOLOGI DI DALAM
UU NO. 28 TAHUN 2014 ................................................. 124
A. Pendahuluan ................................................................. 124
B. Teori Perlindungan Hak Cipta...................................... 125
C. Teknologi Informasi sebagai Sarana Perlindungan
Teknis Hak Cipta.......................................................... 126
D. WIPO Internet Treaties: Sinergitas Perlindungan Teknis
dan Ketentuan Hak Cipta ............................................. 130
E. Pengaturan dan Catatan Manajemen Informasi Hak
Cipta dan Sarana Kontrol Teknologi dalam Ketentuan
Hak Cipta Indonesia..................................................... 131
F. Kesimpulan .................................................................. 137
Daftar Pustaka .................................................................... 138
BAB VI COLLECTIVE MANAGEMENT ORGANIZATION
INDONESIA: PELUANG DAN TANTANGANN YA
PASCA PEMBERLAKUAN UU NO. 28 TAHUN 2014... 140
A. Pendahuluan ................................................................. 140
B. Arti, Fungsi, Lingkup dan Manfaat Collective
Management Organization .......................................... 141

X I
C. Model Collective Management Organization di
Beberapa Negara .......................................................... 146
D. Sejarah, Perkembangan dan Pengaturan CMO di
Indonesia ..................................................................... 147
E. Peluang dan Tantangan CMO Indonesia ...................... 155
F. Kesimpulan .................................................................. 156
Daftar Pustaka .................................................................... 157
BAB VII UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 28 TAHUN
2 01 4 D A L A M K O N T E K S K E P E N T I N G A N
PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF MUSIK DAN
LAGU DI INDONESIA..................................................... 159
A. Pendahuluan ................................................................. 159
B. Industri Kreatif = Industri Musik dan Lagu = Industri
Hak Cipta ..................................................................... 160
C. Kontribusi Industri Kreatif Musik dan Lagu dalam
Perekonomian Nasional................................................ 161
D. UU Hak Cipta dalam Konteks Kepentingan
Pengembangan Industri Kreatif Musik dan Lagu
Indonesia ...................................................................... 165
E. Kesimpulan .................................................................. 168
Daftar Pustaka .................................................................... 168
BAB VIII PROBLEMATIKA JAMINAN FIDUSIA HAK CIPTA
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN
INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA............................ 170
A. Pendahuluan ................................................................. 170
B. Industri Kreatif sebagai Industri yang Berbasis pada
Kreativitas .................................................................... 171
C. Hak Cipta sebagai Hak Kebendaan dan Multihak ....... 175
D. Jaminan Fidusia sebagai Sistem Jaminan Kebendaan.. 180
E. Problematika Jaminan Fidusia Hak Cipta dan
Implikasinya pada Pengembangan Industri Kreatif di
Indonesia ...................................................................... 184

xi
F. Kesimpulan .................................................................. 188
Daftar Pustaka .................................................................... 189
INDEKS ............................................................................................... 191
SEKILAS TENTANG PENULIS ........................................................ 195
DAFTAR ISTILAH

ABS Access and Benefi.t Sharing


ASIRI Singkatan dari Asosiasi Industri
Rekaman Indonesia
CBD Convention on Biological Diversity
CMO Singkatan dari Collective Management
Organization merupakan organisasi
yang dibentuk atau ditunjuk oleh
pemegang hak cipta dalam pengelolaan
hak cipta yang mereka miliki.
Development Theory Perlindungan hak cipta sebagai
katalisasi pembangunan ekonomi dan
modernisasi masyarakat.
DRMs Singkatan dari Digital Right
Management merupakan sekumpulan
sistem yang digunakan untuk
melindungi hak cipta di media
elektronik.
ECJ European Court of Justice
EEA European Economic Area
Industri Kreatif Industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas, keterampilan serta
bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan dan lapangan

xiii
pekerjaan dengan mengbasilkan dan
memberdayakan daya kreasi dan daya
cipta individu tersebut.
Insentive Theory Insentif ekonomi yang diberikan
kepada pencipta dalam rangka
mendorong pencipta untuk dapat
menginvestasikan waktu, usaba,
keablian dan segala sumber daya yang
dimilikinya untuk proses membuat
suatu kreativitas.
MPA Motion Picture Association
Natural Right Theory Teori perlindungan bak cipta sebagai
buah dari basil kerja yang telab
dibasilkan oleb kreator, dimana basil
kerja tersebut merupakan bentuk
kontribusi kepada masyarakat dan
bal tersebut menjadi patut untuk
mendapatkan pengbargaan.
Prospect Theory Teori perlindungan bak cipta yang
dimaksudkan untuk memberikan
penghargaan ekonomi atas
ketidakpastian dan ketidaktabuan
serta investasi pencipta yang memiliki
resiko dan mabal.
The Berne Convention Konvensi Bern Perlindungan Karya
Seni dan Sastra
TRIPs Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights
TPP Trans Pacifi.c Partnership Agreement
Universal Copyright Convention : Konvensi Hak Cipta Universal yang
mengatur Hak Cipta Internasional
pada Tabun 1952 di Jenewa.
WIPO Internet Treaties Kesepakatan multilateral dalam bidang
bak cipta di lingkungan digital.

xiv
WIPO-WPPT Singkatan dari World Intellectual
Property Organization Performances
and Phonograms Treaty adalah
Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan
dan Karya-Karya Fonogram WIPO.
YKCI Singkatan dari Yayasan Karya Cipta
Indonesia yang bergerak dalam bidang
hak cipta musik dan lagu.

I xv
BABI
PENDAHULUAN
M. Hawin 1 dan Budi Agus Riswandi2

Setelah meratifikasi the Agreement Establishing the World Trade


Organization (WTO), untuk mematuhi kewajiban Indonesia menurut the
Agreement on Trade-Related Aspects ofIntellectual Property Rights (TRIPs
Agreement), Indonesia telah mempercepat usahanya untuk memperbaiki
peraturan perundang-undangan dan menerbitkan peraturan perundang­
undangan barn di bidang hukum kekayaan intelektual (HKI). Di bidang
hukum merek, misalnya, pada tahun 1997, Indonesia memperbaiki
UU Merek 19923 dengan UU No. 14 Tahun 1997, kemudian Negara ini
menerbitkan UU Merek tahun 2001. 4 Pada tahun yang sama, Indonesia
juga merevisi UU Paten 19895 dengan UU No. 13 tahun 1997, dan
kemudian menerbitkan UU Paten 2001. 6 Pada tahun 1997 juga, UU Hak

1. Profesor, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia; S.H.


(Universitas Gadjah Mada), LL.M. (American University), Ph.D. (University of
Queensland).
2. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Indonesia; S.H.
(Universitas Islam Indonesia), M.Hum. (Universitas Islam Indonesia), Dr. (Universitas
Gadjah Mada)
3. UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
4. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
5. UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.
6. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.

I 1
Cipta (UUHC) 19827 direvisi dengan UU No. 12 tahun 1997, kemudian,
diterbitkan UUHC pada tahun 2002. 8 Pada tahun 2000, Indonesia
menerbitkan UU Rahasia Dagang 2000, 9 UU Desain Industri 2000, 10 dan
UU Tata Letak Sirkuit Terpadu 2000. 11
Perkembangan selanjutnya, beberapa ketentuan dalam UUHC 2002,
UU Paten 2001 dan UU Merek 2001 telah dianggap usang dan perlu
diperbaiki. Oleh karena itu, Indonesia telah mengeluarkan UUHC 2014, 12
UU Paten 2016, 13 dan UU Merek 2016. 14 Di bidang hak cipta, misalnya,
ketentuan-ketentuan UUHC 2002 tentang hak moral dianggap kurang atau
tidak tepat. UUHC 2002 dianggap memberikan lebih banyak perlindungan
hak ekonomi pencipta dan tidak cukup melindungi hak moralnya. 15
Rancangan UUHC kemudian dibuat untuk memperbaikinya dengan
cara "mensejajarkan" perlindungan hak moral dengan perlindungan hak
ekonomi pencipta. Posisi ini ternyata kuat, karena beberapa sarjana telah
menyatakan bahwa pencipta suatu karya cipta hams mempunyai hak moral
sejajar dengan hak ekonomi mereka dan bahkan hak moral hams dilindungi
lebih lama dari pada hak ekonomi mereka. 16Akhirnya, pada tanggal 16
Oktober 2014, Rancangan UUHC tersebut disahkan dan menjadi UU
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014). Isu tentang hak
moral ini menarik dan penting untuk dibahas dalam tulisan ini.

7. UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.


8. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
9. UU No. 30 Tahun 2000.
10. UU No. 31 Tahun 2000.
11. UU No. 32 Tahun 2000.
12. UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
13. UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
14. UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
15. Salah satu sarjana hukum yang memperhatikan masalah ini adalah V. Henry Soelistyo
B dalam disertasinya "Perlindungan Hak Moral Menurut Hukum Hak Cipta di
Indonesia: (Kajian Mengenai Konsepsi Perlindungan, Pengaturan dan Pengelolaan
Hak Cipta)," Program Doktor, Fakultas Hukum, UGM, 2010.
16. Misalnya, V Henry Soelistyo B, ibid, him. 521, dan Miranda Risang Ayu, "Hak
Moral, Indikasi Asal, dan Hak Kebudayaan," http://klipingcliping.wordpress.
com/2010/06/06/hak-moral-indikasi-asal-dan-hak-kebudayaan (diakses tanggal 30
September 2010).

2
Ketentuan dalam UUHC 2002 yang memberikan pemegang hak cipta
hak eksklusif impor sehingga bisa melarang impor paralel dianggap tidak
tepat. Maka, UUHC 2014 merubah ketentuan tersebut dan menyatakan
bahwa pemegang hak cipta kehilangan hak eksklusif distribusinya setelah
karya ciptanya dijual pertama kalinya kepada pihak lain. Artinya, UUHC
2014 ini menganut prinsip "exhaustion". Menariknya, posisi UUHC ini
di bidang impor paralel berbeda dengan posisi hukum merek dan hukum
paten Indonesia. UU Merek 2016 mempertahankan posisi UU Merek 2001
yakni tidak memuat ketentuan yang berkaitan dengan impor paralel. UU
Paten 2016 memuat ketentuan yang bisa digunakan untuk melarang impor
paralel, namun memperbolehkan impor paralel produk farmasi. Berbeda
dengan UU Paten 2001, UU Paten 2016 mengecualikan impor paralel
produk farmasi baik dari ketentuan pidana maupun dari gugatan perdata.
Oleh karena itu, isu impor paralel di Indonesia sangat penting untuk dikaji
dalam tulisan ini.
Isu hukum kekayaan intelektual penting lainnya adalah perlindungan
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional (EBT).
Sebelumnya, sukar untuk melindunginya dengan menggunakan UU Paten
2001 karena UU Paten lama ini tidak memuat ketentuan yang berkaitan
secara langsung dengan pengetahuan tradisional. UU Paten 2016 memuat
ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan pengetahuan tradisional,
yakni tentang kewajiban disclosure dan benefit sharing yang bisa
melindungi pengetahuan tradisional. Di samping itu, UUHC 2014 memuat
ketentuan barn berkenaan dengan sebagian pengetahuan tradisional yakni
ekspresi budaya tradisional (EBT). Isu tentang perlindungan pengetahuan
tradisional dan EBT juga penting untuk dibahas dalam buku ini.
Buku ini akan mengkaji ketentuan-ketentuan barn tentang hak moral
dalam UUHC 2014 dan membandingkannya dengan ketentuan UUHC
yang lama dan dengan the Berne Convention yang mengatur hak moral.
Tulisan ini juga akan mengkaji legalitas impor paralel dalam hukum
kekayaan intelektual di Indonesia khususnya posisi barn dalam UUHC
2014 dan UU Paten 2016. Buku ini juga akan membahas perlindungan
pengetahuan tradisional dalam UU Paten 2016 dan UU Merek 2016 dan

I 3
EBT menurut UUHC 2014 dengan menyinggung RUU Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUUPT & EBT).
Dari sisi yang berbeda, pemberlakuan UUHC 2014 telah memperkuat
perlindungan hak cipta di internet. Penguatan perlindungan hak cipta salah
satunya dengan mensinergikan perlindungan teknis ke dalam ketentuan
hak cipta di internet. Hal ini sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal
7, Pasal 52 dan Pasal 112 UU No. 28 Tahun 2014. Namun demikian,
pengaturan ini pada kenyataannya masih memiliki beberapa catatan
yang meliputi belum dimungkinkannya pembatasan dan pengecualian
yang terkait dengan kepentingan publik di bidang pendidikan, nirlaba
dan perlindungan data pribadi dan sanksi pidana yang nampaknya belum
dapat memulihkan kerugian negara atas perbuatan tersebut. Buku ini akan
mengkaji isu penting ini.
Aspek lain dari UUHC 2014 yang tak kalah menarik adalah mengenai
pengaturan Collective Management Organization (CMO). CMO dikenal
dalam UUHC 2014 dengan sebutan Lembaga Manajemen Kolektif.
Lembaga ini dikenal juga dengan singkatan LMK. Pengaturan LMK
di dalam UUHC 2014 merupakan penyempurnaan dari UUHC 2002.
Sebagaimana diketahui, setelah diberlakukannya UUHC 2014, maka LMK
di Indonesia berbentuk lembaga non profi.t dan tidak bersifat monopolistik.
LMK juga dibentuk secara voluntary dengan dukungan UUHC 2014.
Bentuk LMK seperti ini ternyata telah menghadirkan sejumlah peluang
dan tantangan. Peluang dan tantangan ini, apabila dapat diselesaikan
dengan baik, akan membawa kepada semangat berkreativitas yang tinggi
dan meningkatkan kesejahteraan dari pemegang hak cipta. Tulisan ini juga
akan mengkaji hal ini.
Kehadiran UUHC 2014 juga membuka babak barn dalam
pengembangan industri kreatif musik dan lagu Indonesia. Hal ini
setidaknya dengan diberlakukannya UUHC 2014, maka industri kreatif
musik dan lagu diharapkan akan mencapai dua kepentingan, yakni;
kepentingan perlindungan hukum dan kepentingan mendapatkan insentif.
Dalam hal kepentingan perlindungan hukum, ketentuan UUHC 2014 telah
memberikan perlindungan bagi industri kreatif musik dan lagu lebih lama,
yakni seumur hidup plus 70 tahun, sedangkan kepentingan mendapatkan

41
insentif bagi industri kreatif musik dan lagu dibuktikan dengan diakuinya
pemberian royalti melalui sistem Lembaga Manajemen Kolektif.
Dalam hal pengembangan industri kreatif, mendorong kreativitas
saja tidak cukup, namun diperlukan juga dukungan permodalan yang
kuat. Dalam kenyataannya, industri kreatif masih kesulitan untuk
mendapatkan permodalan tersebut melalui skema perkreditan mengingat
tidak tersedianya jaminan yang dipersyaratkan. Untuk memberikan solusi
terhadap permasalahan tersebut pemerintah telah membuat ketentuan
barn, dimana kreativitas yang dilindungi hak cipta yang dimiliki oleh
industri kreatif dapat dijadikan sebagai alat jaminan. Hal ini ditegaskan
dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) UUHC 2014. Namun demikian, apabila
dicermati, dalam implementasinya, jaminan fidusia hak cipta ini berpotensi
dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Beberapa permasalahan yang
timbul pada akhirnya dapat menimbulkan implikasi ekonomi dan hukum
terhadap pengembangan industri kreatif. Buku ini juga akan membahas hal
yang penting ini.

I s
BAB II
PERLINDUNGAN HAK MORAL
MENURUT UUHC 2014
M.Hawin

A. PENDAHULUAN
Ketika masyarakat mendengarkan sebuah lagu di berbagai media,
biasanya mereka tidak atau kurang tahu siapa sebenarnya pencipta lagu
tersebut karena jarang media menyebutkan nama penciptanya. Bahkan
pihak media mungkin berfikiran tidak penting menyebutkan nama
penciptanya. Hal ini terutama terjadi pada siaran radio dan televisi,
walaupun siaran televisi dewasa ini sudah lebih sering menyebutkan nama
penciptanya dari pada siaran radio. Tidak jarang pula kita saksikan sebuah
karya dimodifikasi tanpa ijin penciptanya. Misalnya, sebuah lagu dirubah
atau diganti baik lirik maupun iramanya tanpa ijin penciptanya. Masih jelas
di benak kita, lagu "It's Only Words" the Bee Gees diganti atau diplesetkan
dengan "Iso Ngliwet" dengan irama dangdut. Lebih menyedihkan lagi, di
lingkungan akademik, kita sering sekali mendapatkan informasi bahwa
banyak tulisan yang dibuat kalangan akademik yang mengutip karya orang
lain tanpa menyebutkan nama penciptanya. Dari sisi etika, hal-hal seperti
itu tidak tepat. Terlepas dari kepentingan kebebasan berekspresi, kreativitas
pencipta yang bersifat pribadi harus dihargai secara moral selain secara
ekonomi. Harns diakui bahwa pencipta, selain mempunyai hak ekonomi,

6 I
juga mempunyai hak untuk disebut namanya dalam ciptaannya dan hak
untuk melarang modifikasi ciptaannya.
Hak untuk disebut namanya (hak atributif) dan hak untuk mencegah
orang lain memodifikasi ciptaannya (hak integritas) dan hak-hak moral
lainnya bagi pencipta sudah lama diakui di beberapa negara terutama
negara-negara dengan Civil Law. Dalam perkembangannnya, hak-hak
tersebut, terutama hak atributif dan hak integritas, diakui juga di beberapa
negara Common Law, seperti AS, Australia, Canada, dan Selandia Barn
walaupun lebih terbatas dari pada di negara-negara Civil Law. Beberapa
perjanjian hak cipta internasional juga mengakui hak moral, seperti the
Berne Convention dan WIPO's Performances and Phonograms Treaty
1996 (WPPT). Sesuai dengan tradisi negara-negara Civil Law, Indonesia
sudah mengakui hak moral sejak negara ini menerbitkan UUHC 1982. 17
Nampaknya, Indonesia selalu berusaha untuk memperbaiki perlindungan
hak moral sampai dikeluarkannya UUHC 2014.
Dalam bab ini akan dibahas perlindungan hak moral di Indonesia.
Pembahasan ini penting mengingat telah dikeluarkannya UUHC yang barn
yakni UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014) yang antara
lain mengatur perlindungan hak moral. Namun, sebelumnya, perlu dibahas
terlebih dahulu ketentuan yang lama, yakni ketentuan dalam UU Nomor
19 Tahun 2002 (UUHC 2002) agar dapat diketahui sejauh mana ketentuan
yang barn tersebut memperbaiki ketentuan yang lama.

B. SEJARAH DAN PENGERTIAN HAK MORAL


Konsep asli dari hak moral, yang merupakan hak seseorang untuk
diakui ekspresi individunya sebagai perpanjangan dari kepribadiannya,
berasal dari Yunani dan Romawi kuno di bawah Kaisar Justinian. Pada
waktu itu, hak moral hanya meliputi hak attribusi (right of attribution) atau
hak pencipta untuk diakui sebagai pencipta dari ciptaannya sendiri. Pada
waktu itu, plagiarisme menjadi perhatian besar di Romawi kuno, dimana
tindakan plagiarisme diartikan sebagai kejahatan pencurian insani (the
crime of stealing a human being). Dari definisi ini, jelas bahwa ciptaan

17. UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.

I 7
seorang pencipta sinonim dengan eksistensinya yang sesungguhnya dan
integritas pribadinya. Ide ini kemudian ditanamkan ke dalam konsep
hak moral yang memberikan kepada pencipta hak kontrol atas "nasib"
kreativitas ciptaannya. Kemudian, hak pencipta untuk melindungi kontribusi
kreatifnya dari modifikasi diakui oleh hukum Romawi, sehingga pencipta
tersebut diberikan hak untuk menggugat orang yang membelokkan pesan
kreatifnya dengan cara yang sebenarnya tidak diinginkan oleh pencipta. 18
Di Eropa, hak moral telah dikenal sejak abad ke sembilan belas.
Selama waktu itu, dan sebagai respon terhadap karya filosuf Jerman,
Kant dan Hegel dan filsafat individualis dari Revolusi Perancis, hukum
Perancis mulai melindungi investasi emosional seniman pada karya­
karya seni mereka dengan cara melarang mutilasi karya-karya tersebut
tanpa persetujuan seniman penciptanya. Negara-negara Eropa lainnya
mengikuti Perancis. Bahkan, beberapa negara Eropa, khususnya Perancis,
melindungi 2 (dua) tambahan hak moral, yakni "right of disclosure" (hak
penyingkapan), yang memungkinkan pencipta untuk menolak membuka
atau menerbitkan karyanya ke publik sebelum dia merasa karyanya tersebut
memuaskan, dan "right of withdrawal" (hak penarikan kembali), yang
memberikan pencipta hak untuk menarik kembali karyanya dari publik,
bahkan setelah karya tersebut dijual. 19
Konsep hak moral mengakui bahwa suatu ciptaan eksis atau hidup
lebih dari hanya sekedar mendapatkan tempat di pasar secara ekonomi. Pada
setiap ciptaan kreatif melekat kepribadian penciptanya dan ekspresi pribadi
khas penciptanya, yang eksis atau hidup bersamaan dengan kepentingan
ekonomi penciptanya. Unsur kepribadian yang sangat melekat pada suatu
ciptaan ini sifatnya abadi, berlangsung melebihi waktu seorang pencipta
dapat menjual ciptaannya kepada masyarakat. Oleh karena itu, hak moral
dipandang sebagai perpanjangan dari pribadi pencipta tersebut, sehingga
pencipta tersebut mempunyai hak kontrol atas ciptaannya di kemudiaan

18. Jessica Watkins, "Garcia v. Google, Inc. and The Limited Rights of Motion Picture
Actors Under American Copyright Law," (2016) 98 J. Pat. & Trademark Off. Soc'y
249, hlm. 254.
19. Nathan Murphy, "Theme Et Varaations: Why The Visual Artists Rights Act Should
Not Protect Works-In-Progress," (2010) 17 UCLA Ent. L. Rev. 110, him. 114.

8
hari tidak karena alasan ekonom.i, tetapi karena alasan kepentingannya
yang sangat pribadi. 20
Perlindungan hak moral sesuai dengan pandangan "Authors' Rights"
(Hak Pencipta). Ada dua pandangan yang berbeda berkaitan dengan
peran ciptaan dan pencipta dalam masyarakat. Pertama, pandangan
Authors' Rights (Hak Pencipta) yang menyatakan bahwa ciptaan adalah
perpanjangan dari kepribadian pencipta yang menciptakannya. Ciptaan
tersebut terns merefleksikan penciptanya walaupun setelah ciptaannya
dijual dan dipublikasikan. Karena hubungan yang sangat dekat antara
pencipta dan ciptaannya, pencipta berhak untuk mendapatkan tidak hanya
remunerasi finansial tetapi juga hak kontrol terns menerns berkaitan dengan
bagaimana ciptaannya digunakan. Seorang penulis lagu, m.isalnya, dapat
menolak lagunya dimainkan dalam kampanye bagi seorang calon pejabat
politik, atau penulis sandiwara dapat menolak sandiwaranya dipentaskan
oleh pihak tertentu. Ahli hukum Perancis Bernard Edelman menyatakan:
"Since the work embodies the authors personality, harming it also attacks its
creator." Pandangan ini menunjukkan bahwa kepentingan pencipta sangat
kuat, karena pencipta mempunyai hak untuk menulis kembali ciptaannya,
menarik kembali ciptaan yang tidak lagi direkomendasikan penciptanya
(atau karena penciptanya malu atau tidak nyaman) dari peredarannya di
masyarakat dengan tujuan untuk melindungi reputasi pencipta. 21
Pandangan yang kedua, yakni "Copyright'' (Hak Cipta), menyatakan
bahwa tidak ada ciptaan tanpa masyarakat penonton (audience). Ciptaan
merefleksikan dan menggerakkan budaya, dan melekat secara kuat dalam
masyarakat yang membesarkan dan mendidik penciptanya. Masyarakat
tersebut mempunyai kepentingan dalam "warisannya" dan dapat menuntut
kepentingannya yang berhadapan atau bersaing dengan kepentingan
pencipta. Nilai ciptaan timbul dari kemampuannya untuk menginspirasikan,
menginformasikan, menghibur, dan menjelaskan kepada masyarakat.
Pencipta berhak untuk mendapatkan hak-hak dari ciptaannya tidak hanya
karena kepentingan dirinya sendiri, tetapi karena pencipta mengembangkan

20. Jessica Watkins, Op.Cit.


21. Timothy K. Armstrong, "Two Comparative Perspectives on Copyright's Past and
Future in The Digital Age," (2016) 15 J. Marshall Rev. Intell. Prop. L. 698, hlm. 704.

I 9
budaya di mana pencipta merupakan bagiannya. Apabila memberikan hak­
hak kepada pencipta akan meningkatkan kepentingan publik, maka hak-hak
tersebut harus diberikan, sebaiknya apabila tidak, hak-hak tersebut harus
tidak diberikan atau dibatasi. Tujuan hukum tertinggi adalah memperbesar
atau meningkatkan kepentingan masyarakat; remunerasi dan royalti
hanya diberikan kepada pencipta apabila pemberian itu akan mendukung
tercapainya tujuan tersebut. 22 Oleh karena itu, harus ada keseimbangan
antara hak-hak pencipta dan hak-hak masyarakat. Pencipta membutuhkan
hak-hak agar rasa takut terhadap pembajakan tidak menurunkan minatnya
untuk membuat ciptaan barn, tetapi hak-hak pencipta tersebut tunduk
kepada pembatasan-pembatasan, seperti "fair use", lisensi wajib, dan lain
sebagainya. Hak-hak pencipta harus mempunyai jangka waktu yang cukup
untuk menjamin pencipta mendapatkan kompensasi, tetapi jangka waktu
tersebut tidak boleh menyebabkan masyarakat kehilangan kemanfaatan
dari akses mereka kepada ciptaan tersebut.
Baldwin menjuluki pandangan pertama sebagai "Authors ' Rights"
(Hak Pencipta) dan pandangan kedua sebagai "Copyright'' (Hak Cipta).
Beberapa perbedaan antara keduanya diantaranya: Hak Pencipta lahir
secara alamiah, sedangkan Hak Cipta lahir karena hukum positif; dalam
Hak Pencipta, perlindungan kepada pencipta kuat, sedangkan dalam
Hak Cipta perlindungan kepada pencipta moderat; jangka waktu Hak
Pencipta adalah panjang atau abadi sedangkan jangka waktu Hak Cipta
terbatas; tujuan Hak Pencipta adalah kualitas ciptaan sedangkan tujuan
Hak Cipta adalah ketersediaan ciptaan bagi masyarakat; Hak Pencipta
sukar dipisahkan dari pencipta, sedangkan Hak Cipta mudah dipisahkan
dari pencipta; dasar filosofis Hak Pencipta adalah Romanticism sedangkan
dasar filosofis Hak Cipta adalah postmodernism; dan lain sebagainya. 23
Karena dalam Hak Pencipta perlindungan kepada pencipta kuat,
maka Hak Pencipta sangat mendukung perlindungan hak moral pencipta
yang, sebagaimana tersebut di atas, meliputi: hak atribusi (the rights of
attribution and non-attribution), hak integritas (the rights of integrity), hak
penyingkapan (the rights of disclosure), dan hak penarikan kembali (the
22. Timothy K. Armstrong, ibid, him. 705.
23. Timothy K. Armstrong, ibid, him. 705 dan 706.

10
rights of withdrawal or repenting). Bahkan, Hak Pencipta mendukung hak
moral yang berbau hak ekonom.i, yakni hak pencipta untuk mendapatkan
royalti setelah ciptaannya dijual kembali (the resale royalty rights atau
the droit de suite). Hak ini sangat penting untuk ciptaan seni murni yang
nilainya meningkat dari waktu ke waktu. 24
Negara-negara Civil Law, awalnya negara-negara di Eropa,
mempunyai tradisi memberikan hak moral selain hak ekonom.i kepada
pencipta. Negara-negara Common Law lebih menekankan pada pemberian
hak ekonom.i dari pada hak moral. Ternyata pendekatan negara-negara
Civil Law ini lebih diterima oleh beberapa perjanjian internasional. Pada
tahun 1928, konsep hak moral telah mendapat cukup sambutan untuk
ditambahkan dalam teks the Berne Convention 1886. 25 Pasal Gbis the Berne
Convention26 menyatakan:

Independently of the author's economic rights, and even after transfer


of said rights, the author shall have the right to claim authorship of the
work and to object to any distortion, mutilation, or other modifi.cation
of, or other derogatory action in relation to, the said work, which shall
be prejudicial to his honor or reputation.

Pasal Gbis the Berne Convention tersebut menyebutkan hak untuk


mengklaim kepengarangan (authorship). Hak inilah yang disebut "right
of attribution" (hak atribusi) atau "right of paternity." Di sini tersirat
makna bahwa pencipta juga mempunyai hak untuk melepaskan (disclaim)
kepengarangannya. Pasal tersebut juga menyebut hak untuk menolak
berbagai bentuk modifikasi fisik. Hak inilah yang biasa disebut "right of
integrity" (hak integritas).
Selain the Berne Convention, sebagaimana tersebut di atas, hak moral
juga diakui dan diatur dalam the Universal Declaration of Human Rights
1948. Pasal 27(2) Deklarasi ini menyatakan: "Everyone has the right to the
protection of the moral and material interests resulting from any scientifi.c,
literary or artistic production of which he is the author." Dem.ikian juga

24. Timothy K. Armstrong, ibid, him. 706.


25. Nathan Murphy, Op.Cit, him. 113 clan 114.
26. The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.

I 11
WIPOs Performances and Phonograms Treaty 1996 (WPPT) mengakui
hak moral. Pasal 5(1) 27 WPPT mengakui hak moral pelaku (performer)
dengan meniru Pasal 6bis the Berne Convention yang intinya menyatakan
bahwa pelaku mempunyai hak atribusi dan hak integritas.
Walaupun beberapa negara Common Law, seperti AS dan Inggris,
telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional tersebut, negara­
negara tersebut kokoh pada pendiriannya untuk memberikan perlindungan
hak moral secara terbatas, dan hanya memberikan perlindungan hak moral
kepada kreasi seni murni (fi.ne arts), sehingga pengarang lagu dan pemain
musik di negara-negara tersebut harus mempertahankan hak moral mereka
di pengadilan-pengadilan Uni Eropa. 28 Namun, ada beberapa negara
Common Law, seperti Kanada, Australia dan Selandia Barn yang telah
memberikan perlindungan hak moral lebih luas untuk karya cipta kreatif
termasuk hak moral untuk karya musik. 29
Contoh negara Common Law yang memberikan perlindungan hak
moral secara terbatas adalah AS. Perkembangan hak moral di AS lamban.
Awalnya, seniman AS tidak mempunyai hak moral dalam karya-karya
mereka. Kemudian, perlahan-lahan hukum Eropa yang melindungi hak
moral mempengaruhi para seniman AS untuk meminta hak-hak yang sama,
dan mulai tahun 1970 an, suara para seniman tersebut semakin menguat
dan efektif. Akhirnya, pada tahun 1990, AS mengeluarkan the Visual
Artists Rights Act. 30 UU ini memberikan hak atribusi dan hak integritas
kepada seniman karya visual. Hak atribusi mempunyai dua komponen: hak
untuk mengklaim kepengarangan dan hak untuk melepaskan (disclaim)

27. Pasal 5(1) WPPT menyatakan: "Independently of a performer's economic rights, and
even a�er the transfer of those rights, the performer shall, as regards his live aural
performances or performances fi.xed in phonograms, have the right to claim to be
identifi.ed as the performer of his performances, except where omission is dictated by
the manner of the use of the performance, and to object to any distortion, mutilation
or other modifi.cation of his performances that would be prejudicial to his reputation."
28. Robert C. Bird and Lucille M. Ponte, "Protecting Moral Rights in The United States
and The United Kingdom: Challenges and Opportunities under The U.K.'s New
Performances Regulations," Boston University International Law Journal, Vol.
24:213, 2006, hlm. 214 -215.
29. Robert C, ibid. hlm. 216.
30. Visual Artists Rights Act of 1990, 17 U.S.C. § 106A(a) (2006). Nathan Murphy,
Op.Cit, hlm. 114.

12
kepengarangan dari suatu karya yang tidak dibuat oleh seniman.31 Hak
integritas dalam UU itu memungkinkan seniman visual untuk mencegah
suatu pihak melakukan berbagai macam modifikasi dan pengrusakan
karyanya.32 Namun, perlindungan hak moral diAS ini terbatas hanya untuk
karya visual yang pengertiannya terbatas, yakni "a painting, drawing, print,
or sculpture, existing in a single copy, in a limited edition of 200 copies
or fewer." 33 Di batik pendekatan AS ini adalah alasan ekonomi, yakni
bahwa motivasi untuk menciptakan ciptaan yang barn akan hilang apabila
pencipta tidak diberikan cara yang predictable untuk mempertahankan
haknya dan meraup keuntungan finansial dari ciptaannya.34
Secara intemasional, AS juga tidak mendukung perlindungan hak
moral. Selama negosiasi draft Perjanjian TRIPs di WTO, AS bekerja
keras untuk meyakinkan bahwa negara-negara anggota WTO tidak bisa
menggunakan proses penyelesaian sengketa WTO untuk menyelesaikan
masalah ketidakcukupan perlindungan hak moral.35 AS bersama dengan
negara-negara Common Law memberikan argumen bahwa perlindungan
hak moral yang kuat dikhawatirkan akan menghalangi "full enjoyment''
pembeli atau pihak yang mendapatkan lisensi secara sah.36Akhimya, Pasal
9.1 Perjanjian TRIPs secara eksplisit menyatakan bahwa "Members shall
not have rights or obligations under this Agreement in respect of the rights
conferred under Article 6bis of the Berne Convention or of the rights derived
therefrom." Di samping itu, kesepakatan-kesepakatan bilateral, plurilateral
dan regional tentang TRIPs-Plus yang telah dinegosiasikan olehAS dalam
tahun 2000an sama sekali tidak menyinggung hak moral.37 Jadi, sikap

31. § 106A(a)(l)(A)-(B).
32. § 106A(a)(3)(A).
33. Pengertian visual arts menurut hukum hak cipta AS adalah: "a painting, drawing,
print, or sculpture, existing in a single copy, in a limited edition of 200 copies or
fewer." 17 U.S.C. §101 (2010).
34. Jessica Watkins, Op.Cit., hlm. 253.
35. Peter K. Yu, "Moral Rights 2.0," (2015) 1 Tex. A&M L. Rev. 873 him. 876.
36. UNCTAD-ICTSD, Resource Book on TRIPS and Development, Cambridge University
Press, New York, 2005, hlm. 142.
37. Peter K. Yu, Op.Cit.

I 13
AS menunjukkan bahwa AS konsisten dengan pendiriannya untuk lebih
menekankan perlindungan hak ekonomi dari pada hak moral pencipta.
Perjanjian TRIPs sendiri memang akhimya "berpihak" kepada negara
Common Law dengan tidak mewajibkan negara anggota WTO untuk
melindungi hak moral. Hal ini bisa dimengerti mengingat Perjanjian TRIPs
mengatur substansi yang bersifat ekonomi dalam suatu wadah ekonomi
intemasional WTO. Implisitnya, negara-negara anggota WTO mempunyai
diskresi untuk melindungi hak moral atau tidak. Akibatnya, perbedaan di
antara negara-negara anggota WTO berkaitan dengan perlindungan hak
moral akan terns berlangsung. Intinya, sekarang ini, negara-negara Civil
Law cenderung sangat melindungi hak moral, sebaliknya negara-negara
Common Law cenderung kurang melindungi atau melindungi hak moral
secara terbatas.

C. PERLINDUNGAN HAK MORAL MENURUT UUHC 2002


UUHC 2002 telah melindungi hak moral pencipta. Hak moral meliputi
hak atribusi (the right of attribution atau the right ofpaternity), yakni, hak
pencipta agar namanya dicantumkan atau disebutkan dalam ciptaannya, 38
dan hak integritas (the right of integrity), yakni, hak agar integritas
ciptaannya terjaga. 39 Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mengikuti
trend yang dianut oleh negara-negara Civil Law yang mempunyai tradisi
untuk melindungi hak moral pencipta. Sebagaimana tersebut di atas, hukum
hak cipta di negara-negara Civil Law Eropa seperti Jerman, Perancis, dan
Italia mempunyai ketentuan-ketentuan yang melindungi hak-hak moral
tersebut.40

38. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengertian hak atribusi, lihat Cyrill P.
Rigamonti, "Deconstructing Moral Rights" (2006) 47 Harv. Int'/ L.J. 353, hlm. 363 -
364.
39. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengertian hak integritas, lihat Cyrill P.
Rigamonti, ibid, hlm. 364 - 367.
40. Namun, pengakuan hak moral juga telah diberikan oleh beberapa negara Common
Law. United States VisualArtists RightsAct of 1990 (17 U.S.C. § 106A), misalnya,
melindungi hak atribusi dan hak integritas, dan Australian Copyright Act 1968
(sebagaimana diperbaiki pada Juni 2010 dengan Act No. 94 of 2010) juga memberikan
perlindungan kepada kedua hak tersebut.

14
Hak moral pencipta dilindungi oleh Pasal 24 dan 55 UUHC 2002.
Pasal 24 (1) UUHC 2002 menyatakan: "Pencipta atau ahli warisnya berhak
menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan
dalam Ciptaannya." Berdasarkan ketentuan ini, apabila pencipta
mengalihkan hak ciptanya kepada orang lain, pencipta atau ahli warisnya
dapat mengharuskan orang lain tersebut untuk tetap mencantumkan nama
penciptanya pada ciptaannya. Namun, mungkin dapat dikatakan bahwa
ketentuan ini tidak kuat karena tidak secara eksplisit mengharuskan
pemegang hak cipta yang barn untuk mencantumkan nama pencipta
apabila pencipta tidak mengharuskan. Apabila suatu stasiun telivisi atau
radio, misalnya, menyiarkan sebuah lagu dengan hanya mempertunjukkan
judul lagunya dan penyanyinya tanpa menyebutkan nama penciptanya,
selama penciptanya tidak menuntut, maka tidak ada masalah.
Pasal lain yang relevan dengan Pasal 24(1), yakni Pasal 55 (a)
menyatakan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada
pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk
menggugat pihak yang tanpa persetujuannya meniadakan nama pencipta
yang tercantum pada ciptaannya. Seperti Pasal 24 (1), Pasal 55 (a) memang
tidak secara eksplisit mengharuskan setiap orang yang menggunakan
suatu ciptaan untuk mencantumkan nama penciptanya. Namun, akan
riskan bagi seseorang untuk mempertunjukkan atau mengumumkan suatu
ciptaan tanpa menyebutkan nama penciptanya, karena penciptanya bisa
menggugat orang tersebut. Jadi, walaupun Pasal 24(1) dan Pasal 55(a)
tidak secara eksplisit mengharuskan pencantuman nama pencipta, jelas
telah memberikan perlindungan hak atribusi pencipta secara memadai.
Timbul pertanyaan tentang apakah menurut UUHC 2002 pencipta
mempunyai hak eksklusif untuk mencantumkan namanya pada ciptaannya,
artinya apakah hanya pencipta sendiri yang berhak mencantumkan
namanya. Tidak jelas dari ketentuan Pasal 24(1) karena Pasal ini secara
eksplisit hanya memberikan kepada penciptanya hak untuk mengharuskan
pencantuman namanya pada ciptaannya. Namun, berdasarkan Pasal
55 (b), pencipta dapat menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya
mencantumkan nama pencipta tersebut pada ciptaannya. Pasal 55 (b)

I 1s
menyerupai dengan Pasal 41 (b) dari UUHC 1982.41 Kebenaran Pasal 41 (b)
ini pernah diragukan dan beberapa sarjana hukum Indonesia menyatakan
bahwa Pasal 41 (b) salah dan seharusnya Pasal tersebut menyatakan
pencipta hanya dapat menggugat seseorang yang mencantumkan nama
orang lain pada ciptaan pencipta tersebut.42 Namun, kalimat dari Pasal
55 (b) jelas dan tidak kabur. Apabila Pasal 55 sendiri dibaca, jelas bahwa
hanya pencipta yang mempunyai hak untuk mencantumkan namanya
pada ciptaannnya. Akibatnya, dapat dibayangkan bahwa hal ini dapat
menimbulkan situasi yang sukar dan rumit. Hal inilah, mengapa pendapat
Antons bahwa makna Pasal 41 (b) dari UUHC 1982 tersebut bisa dibatasi
pada hak pencipta untuk menentukan identifikasi pencipta, yakni apakah,
misalnya, ciptaannya harus dipublikasikan dengan suatu nama samaran
(pseudonym) atau tanpa nama (anonymous) sama sekali43 mungkin dapat
digunakan untuk mendefinisikan makna Pasal 55 (b) yang menyerupai
Pasal 41 (b) UUHC 1982. Namun, terlepas dari hal tersebut, Pasal 55 (b)
adalah penting sekali untuk memberikan pencipta hak untuk mencegah
pencantuman namanya (disclaim) tanpa izin pada ciptaannya yang
sebelumnya telah dirubah dengan cara modi:fikasi, mutilasi, atau distorsi,
dan lain sebagainya yang merusak kehormatan dan reputasinya.44
Pasal 24(2) UUHC 2002 menyatakan bahwa "suatu Ciptaan tidak
boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain,
kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya
dalam hal Pencipta telah meninggal dunia." Menurut Pasal ini, seseorang
dilarang untuk membuat perubahan pada suatu ciptaan tanpa izin terlebih
dahulu dari pencipta atau ahli warisnya apabila pencipta telah meninggal
dunia. Lebih dari itu, berdasarkan Pasal 24 (3), perubahan tanpa izin pada
judul dan anak judul dari suatu ciptaan dan nama atau samaran pencipta
41. UUHC 1982. UU ini diperbaiki pada tahun 1987 clan terakhir tahun 1997.
42. Christoph Antons, Intellectual Property Law in Indonesia, Kluwer Law International,
London, 2000, hlm. 95.
43. Christoph Antons, ibid.
44. Bandingkan dengan ketentuan dalam S. 106 A, United States Visual Artists Rights
Act, 17 U.S.C. (1990) yang memberikan kepada artis "right to prevent the use of
his or her name as the author of the work of visual art in the event of a distortion,
mutilation, or other modification of the work which would be prejudicial to his or her
honor or reputation." 17 U.S.C. § 106 A(a)(2).

16
juga dilarang. Berdasarkan Pasal 55 (c) dan (d), pencipta mempunyai hak
untuk menggugat seseorang yang tanpa persetujuan pencipta mengubah
atau mengganti judul ciptaan atau mengubah isi ciptaan. Makna larangan
perubahan dalam Pasal 24(2) telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal
tersebut yang meliputi larangan untuk melakukan setiap tindakan "distorsi,
mutilasi atau bentuk perubahan lainnya yang meliputi pemutarbalikan,
pemotongan, perusakan, penggantian yang berhubungan dengan karya
cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi dan reputasi Pencipta."
Jadi, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa
pencipta mempunyai hak integritas (the right of integrity).
UUHC 2002 juga menentukan jangka waktu hal moral. Menurut Pasal
33, jangka waktu perlindungan hak atribusi adalah tanpa batas, sedangkan
jangka waktu hak integritas adalah sama dengan jangka waktu hak ekonomi
pencipta.
Pada dasarnya, Pasal 24 dan 55 dan Penjelasan Pasal 24(2) UUHC
2002 sudah sesuai dengan dengan Pasal G
bis
dari the Berne Convention
for the Protection of Literary and Artistic Works (1971). Pasal G
bis
juga
memberikan pencipta hak atribusi dan hak integritas. Pasal G bis
menyatakan:

(1) Independently of the author's economic rights, and even after the
transfer of the said rights, the author shall have the right to claim
authorship of the work and to object to any distortion, mutilation
of, or other derogatory action in relation to, the said work, which
would be prejudicial to his honor or reputation.
(2) The rights granted to the author in accordance with the preceding
paragraph shall, after his death, be maintained, at least until the
expiry of the economic rights, ...

Dengan membandingkan ketentuan-ketentuan hak moral dalam UUHC


2002 tersebut di atas dengan ketentuan dalam the Berne Convention, dapat
dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan di Indonesia tersebut lebih baik.
Dalam UUHC 2002 tersebut, tindakan-tindakan yang dilarang untuk
melindungi hak integritas lebih spesi:fik karena mencakup distorsi, mutilasi,
pemutarbalikan, pemotongan, pengrusakan dan penggantian. Pasal G
bis

hanya menyebut "any distortion, mutilation of, or other derogatory action."

I 11
Selain itu, jangka waktu hak atribusi di Indonesia adalah tanpa batas dan
jangka waktu hak integritas menurut undang-undang tersebut adalah sama
dengan jangka waktu hak cipta yang bersangkutan. 45 Sebaliknya, Pasal 6bis
(2) tidak membedakan antara jangka waktu perlindungan hak atribusi dan
jangka waktu perlindungan hak integritas dan menyatakan bahwa semua
hak moral berlangsung selama hidup pencipta dan paling tidak sampai
habisnya hak ekonomi pencipta. Dengan kata lain, the Berne Convention
tidak mengakui hak moral yang tanpa batas waktu. Jadi, jelas bahwa
UUHC 2002 lebih melindungi hak moral dari pada the Berne Convention.
Setelah tidak jelas apakah UUHC 1982 memberikan kepada pencipta
hak untuk menentang perusakan ciptaannya, 46 Penjelasan Pasal 24(2)
UUHC 2002 menyatakan bahwa hak integritas pencipta mencakup hak
untuk mencegah perusakan ciptaannya. Penjelasan tersebut menyatakan
bahwa "perubahan" antara lain meliputi "perusakan". Posisi ini menarik
mengingat bahwa the Berne Convention tidak secara eksplisit mengakuinya
dan pengakuan hak untuk mencegah perusakan masih kontroversial di
beberapa negara. Misalnya, Amerika Serikat memberikan kepada artis
visual tertentu hak untuk menentang atau mencegah perusakan perwujudan
karya original, 47 yang biasanya tidak dilindungi di Eropa Kontinental.
Selain itu, hukum hak moral Eropa membatasi hak integritas hanya
mencakup hak untuk menentang modi:fikasi ciptaan, dan pengadilan­
pengadilan Eropa enggan untuk memperluas hak integritas mencakup hak
untuk mencegah perusakan ciptaan. 48
Seperti Pasal G the Berne Convention, menurut Pasal 24 UUHC
bis

2002, seseorang bisa dianggap melanggar hak integritas hanya apabila


tindakan orang tersebut terhadap suatu ciptaan telah merusak kehormatan
dan reputasi pencipta. Jadi, modi:fikasi suatu ciptaan tanpa izin yang
45. Menurut Pasal 29, 30 dan 31 UUHC 2002, kacya-kacya cipta tertentu dilindungi
selama hidup pencipta ditambah 50 (lima puluh) tahun, namun beberapa karya cipta
tertentu yang lain hanya dilindungi selama 50 tahun.
46. Tetapi, lihat Christoph Antons, Op.Cit., pada hlm. 96 (menyatakan bahwa kata
"alteration" (perubahan) yang digunakan dalam UUHC 1982 seharusnya mencakup
tindakan perusakan (destruction); jadi, pencipta mempunyai hak untuk menolak
tindakan perusakan kacya ciptanya tanpa izin).
47. United States VisualArtists RightsAct, 17 U.S.C. § 106A(a)(3)(B).
48. Cyrill P. Rigamonti, Op.Cit., hlm. 371.

18
bisa meningkatkan kualitas ciptaan tersebut bukan merupakan suatu
pelanggaran. Hal ini berbeda dengan hukum di Jerman dan Perancis yang
memberikan kepada pencipta hak untuk melarang perubahan ciptaannya
tanpa persetujuannya, terlepas dari apakah perubahan tersebut akan
berdampak negatif atau memperbaiki ciptaannya. 49
Hak moral di Indonesia adalah hak yang tidak dapat dipisahkan
(inalienable), artinya bahwa mereka tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain. Menurut Penjelasan Pasal 24 UUHC 2002, hak integritas tidak dapat
dialihkan selama penciptanya masih hidup, kecuali dengan wasiat pencipta
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, sejauh mana tidak
dapat dipisahkannya hak atribusi tidak jelas (tidak pasti). Penjelasan Pasal
24 tidak menjelaskan apakah hak atribusi bisa dialihkan atau tidak. Menurut
pendapat Penulis, ada kesalahan dalam Penjelasan Pasal 24; seharusnya
menyatakan bahwa hak atribusi juga tidak dapat dialihkan paling tidak
selama pencipta masih hidup. Namun, tidak dijelaskannya hal ini dalam
Penjelasan Pasal 24 dapat ditafsirkan berbeda. Pembuat undang-undang
mungkin menggantungkan Pasal 33 (1) UUHC 2002, yang menyatakan
bahwa perlindungan hak atribusi adalah tanpa batas waktu, sehingga hak
atribusi tidak dapat dialihkan selamanya. Ini berarti setelah meninggalnya
pencipta, hak atribusi akan beralih hanya kepada ahli warisnya. Namun,
tidak dapat dialihkannya hak moral untuk selamanya masih kontroversial
karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berkontrak (the principle of
freedom of contract) antara pencipta dan pengguna ciptaan. 50
Walaupun ketentuan yang lama tersebut di atas telah jelas memberikan
perlindungan hak moral secara memadai, beberapa sarjana menyatakan
bahwa ketentuan yang lama tersebut tidak memadai dan tidak sesuai dengan
ketentuan dalam the Berne Convention. 51 Dinyatakan bahwa karena kurang

49. Cyrill P. Rigamonti, Op.Cit., hlm. 364.


50. Cyrill P. Rigamonti, Op.Cit., hlm. 361-362.
51. Lihat V. Herny Soelistyo B, Perlindungan Hak Moral Menurut Hukum Hak Cipta di
Indonesia: (Kajian Mengenai Konsepsi Perlindungan, Pengaturan dan Pengelolaan
Hak Cipta), Program Doktor, Fakultas Hukum, UGM, 2010, hlm. 9.

I 19
jelas ketentuannya, UUHC 2002 tidak dapat digunakan untuk mengatasi
pelanggaran hak moral di Indonesia secara memadai. 52
Pelanggaran hak moral di Indonesia memang bisa dikatakan
serius. Pelanggaran tersebut meliputi plagiarisme dalam tulisan-tulisan
akademik, mutilasi lagu-lagu dalam Ring Back Tone, parodi dalam lirik
lagu, menyiarkan lagu-lagu tanpa menyebutkan nama penciptanya dalam
siaran televisi atau radio, pewarnaan film-film hitam putih, sensor film,
modifikasi tarian, mutilasi lukisan, reproduksi lukisan, danlain sebagainya. 53
Kebanyakan pelanggaran hak moral tersebut tidak diatasi. 54 Ada pendapat
bahwa hal tersebut disebabkan karena ketentuan-ketentuan hak moral
dalam UUHC 2002 tidak jelas dan tidak memadai, sehingga disarankan
UUHC 2002 diperbaiki agar memberikan perlindungan hak moral lebih
jelas dan memadai. Oleh karena itu, Rancangan UUHC kemudian dibuat
dan akhirnya pada tanggal 16 Oktober 2014 disahkan menjadi Undang­
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014).

D. PERLINDUNGAN HAK MORAL MENURUT UUHC 2014


Menurut Pasal 4 UUHC 2014, hak eksklusif pencipta meliputi hak
moral dan hak ekonomi. Ketentuan ini memperbaiki Pasal 2(1) UUHC
2002 yang tidak menyebut hak moral dalam definisi hak cipta walaupun,
sebagaimana tersebut di atas, UUHC 2002 memuat Pasal 24 dan 55 yang
secara tegas memberikan perlindungan hak moral. Pencantuman hak moral
dalam definisi hak cipta adalah mirip dengan ketentuan Pasal 3 angka 3
UUHC Taiwan yang menyatakan: "Copyright means the moral rights and

52. Menurut Henry di dalam penelitiannya, dengan UUHC 1982 dan UUHC 2002,
pelanggaran hak moral dan sengketa-sengketa hak moral tidak dapat diselesaikan
secara memadai. Lihat V Henry Soelistyo B, ibid, hlm. 519. Lihat juga Firman
Venayaksa, "Wajah Plagiator Sembunyi di Ketiak Intelektual", rumahdunia.net,
http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=652, dalam V Henry Soelistyo B,
ibid, hlm. 310 - 311.
53. Lihat V Henry Soelistyo B, ibid, at 298 - 460 (membahas beberapa macam
pelanggaran hak moral di Indonesia).
54. Ibid.

20
economic rights subsisting in a completed work." 55 Pencantuman semacam
ini mempertegas pengakuan perlindungan hak moral.
Pasal 5 UUHC 2014 menyatakan:
(1) Hak moral ... merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri
Pencipta untuk:
a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada
salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;
menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
b. mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
c. mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
d. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan,
mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat
merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
(2) Hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan
selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat
dialihkan dengan wasiat atau sebab lain ... setelah Pencipta meninggal
dunia.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penerima dapat melepaskan atau menolak
pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan
pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis.

Pasal 5 UUHC 2014 tersebut menegaskan bahwa pencipta


mempunyai hak atribusi dan hak integritas. Pasal tersebut memberikan
hak-hak tersebut secara aktif, artinya pencipta mempunyai hak eksklusif
untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya, menggunakan
nama samaran, untuk mengubah ciptaannya, judul dan anak judulnya.
Jadi, ketentuan dalam UUHC 2014 ini lebih tegas dari pada ketentuan
dalam UUHC 2002 tersebut di atas yang memberikan hak atribusi dan
hak integritas secara pasif, yakni pencipta hanya mempunyai hak untuk
mengambil tindakan hukum kepada seseorang yang tidak mencantumkan
nama pencipta pada ciptaan yang digunakan dan kepada seseorang yang
mengubah ciptaannya, judul dan anak judul ciptaannya tanpa persetujuan
pencipta.
Namun, UUHC 2014 tidak mengatur apakah pencipta mempunyai
hak untuk tetap dicantumkan namanya atau untuk mengharuskan

55. UUHC Taiwan (terakhir diperbaiki pada 11 Juli 2007), tipo.gov.tw, (diakses pada 7
Juli 2010).

I 21
pencantuman namanya pada ciptaannya. Jadi, apabila pencipta tidak
memegang ciptaannya, pencipta tidak bisa mengharuskan orang lain
yang menggunakan ciptaan pencipta untuk mencantumkan nama pencipta
pada ciptaan tersebut. Apabila ada seseorang menayangkan sebuah lagu
di stasiun televisi atau radio, misalnya, maka penciptanya tidak bisa
mengharuskan orang tersebut untuk mencantumkan nama penciptanya. Ini
adalah kelemahan UUHC 2014. Pasal 5 Undang Undang ini menyatakan
bahwa pencipta mempunyai hak eksklusif untuk "tetap mencantumkan atau
tidak mencantumkan namanya," tetapi hal ini tidak berarti bahwa pencipta
mempunyai hak agar namanya tetap dicantumkan atau tidak dicantumkan
oleh orang lain. Dalam hal ini, ketentuan dalam UUHC 2002 lebih baik
karena, sebagaimana tersebut di atas, ketentuan lama ini memberikan
pencipta hak untuk mengharuskan orang lain mencantumkan nama
pencipta pada ciptaan pencipta. Penulis menduga ada kesalahan ketik atau
tulisan dalam Pasal 5(1) tersebut di atas. Dengan adanya kesalahan ini,
UUHC 2014 berarti telah menghilangkan hak moral pencipta yang paling
penting; akibatnya, pencipta tidak mempunyai hak untuk mengklaim
kepengarangannya (authorship claim) sebagaimana tersebut dalam
Pasal 6 Bern Convention. Hal ini sangat merugikan pencipta karena, di
his

Indonesia, salah satu pelanggaran hak moral yang paling penting adalah
penggunaan ciptaan orang lain tanpa izin dengan tanpa menyebut nama
penciptanya.
Seperti Pasal 55 UUHC 2002, Pasal 98(1) UUHC 2014 menyatakan
bahwa pengalihan hak cipta kepada orang lain tidak menghilangkan hak
pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat orang yang melanggar hak
moralnya yang tercantum dalam Pasal 5(1) UUHC 2014. Namun, Pasal
98(1) UUHC 2014 tidak lebih baik dari pada Pasal 55 UUHC 2002.
Dalam hal apakah pencipta mempunyai hak eksklusif untuk
mencantumkan namanya pada ciptaannya, jelas menurut Pasal 5(1)a
UUHC 2014 pencipta mempunyai. Jadi, ketentuan UUHC 2014 tersebut
telah menghilangkan "ketidakpastian" Pasal 24(1) UUHC 2002 mengenai
hal tersebut.
Ketentuan yang lain, yakni 57(1) UUHC 2014 menyatakan bahwa
hak atribusi berlangsung selamanya. Pasal 57(2) menyebutkan bahwa

22 I
hak integritas berlangsung selama berlangsungnya hak ekonom.i pencipta
(pemegang hak cipta). Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 33
UUHC 2002 yang mengatur jangka waktu hak moral.
Pasal 5(1) UUHC 2014 secara eksplisit memberikan hak kepada
pencipta untuk mencegah distorsi, mutilasi, modi:fikasi atau tindakan lain
yang merugikan kehormatan dan reputasi pencipta. Namun, UUHC 2014
dan Penjelasannya tidak secara eksplisit memasukkan tindakan perusakan
atau penghancuran sebagai salah satu tindakan lain tersebut. Ini berbeda
dari UUHC 2002 yang di dalam Penjelasan Pasal 24 (2) menyatakan bahwa
tindakan (perubahan) lain mencakup perusakan. Hal ini menunjukkan
bahwa UUHC 2014 mengikuti posisi Pasal 6bis Bern Convention yang
tidak secara eksplisit menyebut tindakan perusakan. Jadi, dalam hal ini,
UUHC 2002 lebih baik.
Ketidakpastian adanya sifat tidak bisa dipisahkannya (inalienability)
hak atribusi di dalam UUHC 2002 sudah terjawab oleh UUHC 2014.
Berdasarkan Pasal 5 (2) tersebut di atas, semua hak moral tidak dapat
dialihkan kepada pihak lain hanya selama hidup pencipta. Jadi, sifat tidak
bisa dipisahkannya hak atribusi hanya berlaku selama hidup pencipta.
Dengan kata lain, setelah pencipta meninggal dunia, hak atribusinya bisa
dialihkan. Kebenaran ketentuan ini meragukan mengingat hak atribusi
melekat kepada kepribadian pencipta dan berhubungan dengan persoalan
tentang siapa sebenarnya yang membuat ciptaan yang sama sekali tidak
dapat digantikan oleh orang lain. Selain itu, sebagaimana tersebut di atas,
telah secara eksplisit dinyatakan dalam UUHC 2014 bahwa perlindungan
hak atribusi berlangsung tanpa batas waktu. Oleh karena itu, rekomendasi
bahwa sifat tidak bisa dipisahkannya (inalienability) hak atribusi hams
berlangsung tanpa batas waktu56 adalah masuk akal.
UUHC 2014 juga memberikan hak moral kepada pelaku (performer). 57
Hal ini sesuatu yang barn karena semua UUHC sebelumnya tidak mengatur

56 Lihat V Herny Soelistyo B, Op.Cit., hlm. 506 clan 509 (membahas bahwa hak moral
secara umum tidak dapat dialihkan clan bahwa hak pencipta agar namanya tetap
dicantumkan pada ciptaannya tidak bisa berakhir).
57. Pasal 1 angka 6 UUHC 2014 menyatakan bahwa pelaku pertunjukan adalah "seorang
atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan clan
mempertunjukkan suatu Ciptaan."

I 23
hal ini. Berdasarkan Pasal 21 UUHC 2014, seorang pelaku tidak hanya
mempunyai hak ekonomi tapi mempunyai hak moral juga. 58 Pasal 22 UUHC
2014 memberikan hak atribusi dan hak integritas kepada pelaku. 59 Namun,
undang-undang yang barn ini tidak mengatur apakah hak-hak tersebut
dapat dialihkan atau tidak. Ini merupakan kelemahan lain dari undang­
undang ini. Seharusnya diatur pengalihan hak integritas pelaku. Menurut
pendapat Penulis, hak integritas pelaku seharusnya dapat dialihkan selama
hidup mereka dan/atau setelah meninggalnya mereka. Misalnya, pelaku
dapat membuat suatu perjanjian dengan pihak lain untuk memberikan hak
kepada pihak lain tersebut untuk memodi:fikasi pertunjukan pelaku.
Perlu dicatat bahwa berdasarkan Pasal 57 dan 62 UUHC 2014, jangka
waktu hak atribusi pelaku adalah tanpa batas, sedangkan jangka waktu hak
integritas pelaku adalah sama dengan jangka waktu hak ekonomi mereka,
yakni 50 tahun setelah pertunjukan mereka di:fiksasi.
Sebagaimana tersebut di atas, UUHC yang lama dan UUHC 2014
memberikan hak atribusi dan hak integritas kepada pencipta. Nampak jelas
bahwa UUHC 2014 tidak membuat perubahan yang besar. UUHC 2014
hanya merubah posisi UUHC 2002 yang melindungi hak moral secara
pasif menjadi secara aktif dan mengakui hak moral pelaku (performer).
Sayangnya, UUHC 2014 telah menghilangkan hak eksklusif pencipta agar
namanya dicantumkan atau tidak dicantumkan dalam ciptaannya sehingga
pencipta tidak mempunyai hak untuk mengklaim kepengarangannya
(authorship claim). Sebenarnya ada beberapa pemikiran yang bisa diambil
apabila negara ini benar-benar ingin memperluas hak moral pencipta.
Misalnya, apakah Indonesia bisa memberikan pencipta hak penyingkapan
(right of disclosure). Hak penyingkapan memberikan pencipta hak
eksklusif untuk memutuskan untuk mempublikasikan, menjual, membuka,

58. Pasal 21 UUHC 2014 menyatakan: "Hak moral Pelaku Pertunjukan merupakan hak
yang melekat pada Pelaku Pertunjukan yang tidak dapat dihilangkan atau tidak dapat
dihapus dengan alasan apapun walaupun hak ekonominya telah dialihkan."
59. Pasal 22 UUHC 2014 menyatakan: "Hak moral Pelaku Pertunjukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 meliputi hak untuk: a. namanya dicantumkan sebagai
Pelaku Pertunjukan, kecuali disetujui sebaliknya; dan b. tidak dilakukannya distorsi
Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal-hal yang bersifat merugikan
kehormatan diri atau reputasinya kecuali disetujui sebaliknya."

24
atau mengumumkan ciptaan ke publik. 60 Walaupun Pasal 9 (1) UUHC
2014 memberikan pencipta atau pemegang hak cipta hak ekonom.i
untuk mempublikasikan ciptaannya, namun tidak ada ketentuan dalam
UUHC 2014 yang memberikan pencipta hak moral penyingkapan (right
of disclosure), sehingga apabila hak ekonom.i pencipta beralih ke orang
lain, pencipta tidak bisa lagi melarang publikasi, penjualan, pengumuman
ciptaan tersebut ke publik, walaupun, m.isalnya, ciptaannya tersebut telah
dilakukan modi:fikasi yang merugikan kehormatan pencipta.
Di samping itu, hak untuk menarik kembali (right of withdrawal) perlu
dipertimbangkan di Indonesia. Dengan hak ini, pencipta dapat menarik
kembali ciptaannya setelah ciptaannya diumumkan ke publik61 walaupun
hak ekonom.inya sudah beralih ke orang lain. Hak ini akan melindungi
reputasi pencipta karena dia bisa menarik kembali ciptaannya yang telah
berada di masyarakat setiap waktu apabila pencipta merasa tidak nyaman
atau namanya dirugikan. Hak penyingkapan (right of disclosure) dan hak
untuk menarik kembali (right of withdrawal) telah diakui di negara-negara
Eropa, seperti Perancis, Jerman, dan Italia. 62

E. KESIMPULAN
Sesuai dengan tradisi negara-negara Civil Law, Indonesia telah
berusaha meningkatkan perlindungan hak moral pencipta. Namun, ternyata
UUHC 2014 tidak banyak memberikan perubahan terhadap UUHC 2002.
UUHC hanya merubah ketentuan perlindungan hak moral dari pasif
menjadi aktif. UUHC 2014 mempunyai kelemahan, yakni: walaupun
UUHC 2014 memberikan pencipta hak eksklusif untuk mencantumkan
namanya, namun UUHC 2014 tidak secara eksplisit memberikan hak
authorship claim, sehingga tidak jelas apakah pencipta bisa mengharuskan
orang lain yang menggunakan ciptaannya untuk mencantumkan nama

60. Rikki Sapolich, "When Less Isn't More: Illustrating the Appeal of Moral Rights
Model of Copyright Through a Study of Minimalist Art" (2007) 47 IDEA 453, hlm.
477.
61. Rikki Sapolich, ibid.
62. Cyrill P. Rigamonti, Op.Cit., hlm. 362 - 363 (membahas "the right of disclosure" dan
"the right of withdrawal" di Perancis, Jerman dan Italia).

I 2s
penciptanya. Perlu dipertimbangkan apakah Indonesia perlu memberikan
pencipta hak penyingkapan (right of disclosure) dan hak untuk menarik
kembali (right of withdrawal).

DAFTAR PUSTAKA
Christoph Antons, Intellectual Property Law in Indonesia (2000), Kluwer
Law International, London, 2000;
Cyrill P. Rigamonti, "Deconstructing Moral Rights" (2006) 47 Harv. Int'l
L.J. 353;
Jessica Watkins, "Garcia v. Google, Inc. and The Limited Rights of Motion
Picture Actors Under American Copyright Law," (2016) 98 J. Pat. &
Trademark Off. Soc'y 249;
Nathan Murphy, "Theme Et Varaations: Why The Visual Artists Rights
Act Should Not Protect Works-In-Progress," (2010) 17 UCLA Ent.
L. Rev. 110;
Peter K. Yu, "Moral Rights 2.0," (2015) 1 Tex. A&M L. Rev. 873;
Rikki Sapolich, "When Less Isn't More: Illustrating the Appeal of Moral
Rights Model of Copyright Through a Study of Minimalist Art"
(2007) 47 IDEA 453;
Robert C. Bird and Lucille M. Ponte, "Protecting Moral Rights in The
United States and The United Kingdom: Challenges and Opportunities
under The U.K.'s New Performances Regulations," (2006) Boston
University International Law Journal, Vol. 24:213;
Timothy K. Armstrong, "Two Comparative Perspectives on Copyright's
Past and Future in The Digital Age," (2016) 15 J. Marshall Rev.
Intell. Prop. L. 698;
UNCTAD-ICTSD, Resource Book on TRIPS and Development (2005),
Cambridge University Press, New York;
V. Henry Soelistyo B, Perlindungan Hak Moral Menurut Hukum Hak
Cipta di Indonesia: (Kajian Mengenai Konsepsi Perlindungan,
Pengaturan dan Pengelolaan Hak Cipta), (2010) Disertasi, Program
Doktor, Fakultas Hukum, UGM.

26 I
BAB III
LEGALITAS IMPOR PARALEL
MENURUT UU MEREK2016, UU PATEN2016, DAN
UU HAKCIPTA2014

M.Hawin

A. PENDAHULUAN
Impor paralel adalah tindakan mengimpor barang asli tanpa izin
dari pemegang kekayaan intelektual atas barang tersebut secara paralel
(berbarengan) dengan impor barang yang sama oleh pemegang kekayaan
intelektual itu. Impor paralel telah menjadi isu penting di Indonesia
semenjak tahun 1996. Namun, impor paralel secara relatif merupakan
konsep barn dalam hukum kekayaan intelektual di Indonesia. Dalam bidang
merek, misalnya, walaupun impor paralel telah sering terjadi, sulit untuk
menggunakan hukum merek Indonesia untuk menguraikannya. Walaupun
hukum hak cipta Indonesia dan hukum paten negara ini memuat ketentuan­
ketentuan yang berkaitan dengan impor paralel, ketidakpastian tetap ada.
Semenjak tahun 1996, telah terdeteksi bahwa banyak sparepart
mobil yang memiliki merek asli diimpor secara paralel dengan importasi
yang dilakukan oleh distributor yang sah (authorized distributor). 63 Pada
63. "Parallel Importer Mengebiri Agen Resrni", Motor, 16 Agustus, 1996, hlm. 33 - 35.
Pada tahun 1996, impor paralel laser disc clan kaset video menjadi perhatian yang
serius dari Direktur Jenderal Radio, Televisi clan Film. Lihat "Pelaku Impor Paralel
LD Akan Ditindak", Kompas, 13 April 1996, http://www.kompas.com/9604/ 13/
dikbud/Pela.htm.

I 21
tahun 1998, Motion Picture Association (MPA) melakukan protes kepada
Pemerintah Indonesia mengenai adanya impor paralel produk-produk
MPA ke negeri ini. 64 Impor paralel beberapa mobil KI A Carnival built-up
dari Korea Selatan juga terjadi pada pertengahan tahun 2000. 65 Pada tahun
2008, arus barang-barang impor paralel produk elektronik, seperti televisi
plasma dan LCD dan mesin-mesin AC meningkat. 66 Banyak telepon
genggam merek BlackBerry Gemini asli dibawa masuk oleh pelaku impor
paralel ke Indonesia semenjak September 2009 walaupun mereka sukar
memperoleh ijin impor. 67 Namun, setelah itu sampai dengan tahun 2016,
Penulis tidak menemukan data tentang barang impor paralel yang masuk
ke Indonesia.
Indonesia telah mengeluarkan UUHC 2014, UU Paten 2016 dan
UU Merek 2016. Ada perubahan posisi hukum impor paralel dengan
dikeluarkannya ketiga UU tersebut. Tulisan ini akan membahas bagaimana
legalitas impor paralel ditinjau dari ketiga UU yang barn tersebut.

B. PENGERTIAN IMPOR PARALEL


Morr menyatakan bahwa impor paralel terjadi ketika "products
manufactured in a designated geographic area with the contractual consent
of the copyright owner are later imported into a different unauthorised,
geographic area." 68 Artinya, tindakan ini terjadi ketika produk yang
dibuat di suatu wilayah geogra:fis tertentu dengan persetujuan kontraktual
dari pemegang hak cipta kemudian diimpor ke suatu wilayah geogra:fis

64. "Lebih Jauh dengan Bambang Kesowo", Kompas, 5 Juli 1998, http://www.kompas.
com/9807 /05/naper/lebi.htm.
65. Winarno B., "lmpor Paralel", di Kontan, edisi 5N, 23 Oktober 2000, http://www.
kontan-online.com/05/05/manajemen/manl.htm.
66. "Impor Paralel Produk Elektronik Diwaspadai", Suara Merdeka, 12 Mei 2008,
http://suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2008/05/12/13044/lmpor.Paralel.
Produk.Elektronik.Diwaspadai (diakses pada 15 Januari 2017).
67. "lmpor paralel BlackBeny Gemini Belum Dapat Izin", News Web, 9 September
2009, http://inet.detik.com/telecommunication/d-1199545/impor-paralel-blackbeny­
gemini-belum-dapat-izin (diakses pada 10 Februari 2017).
68. Morr A. L., "Hong Kong's Copyright Ordinance: How the Ban on Parallel Imports
Affects the U.S. Entertainment Industty and Hong Kong's Free Market" (1999) 21
Hastings Comm. & Ent. L. J. 393, hlm. 395.

28
lain yang tidak sah. Pengertian ini berkaitan dengan hukum hak cipta.
Impor paralel bisa terjadi di bidang hukum kekayaan intelektual yang
lain, seperti hukum merek dan paten. Shanahan memberikan pengertian
yang lebih luas, yakni impor paralel adalah "goods manufactured outside
the jurisdiction, by, or under the authority of, the owner of an industrial
property right relating to these goods, but imported by someone other than
an authorised importer or distributor ". 69 Artinya, barang-barang yang
diproduksi di luar wilayah, oleh atau di bawah wewenang dari pemilik hak
kekayaan industrial dari barang-barang tersebut, tetapi kemudian diimpor
oleh seseorang yang bukan merupakan importir atau distributor yang sah.
Dua pengertian tersebut membatasi impor paralel pada barang-barang yang
diproduksi di luar negara importasi. Sebenarnya, impor paralel juga bisa
terjadi pada barang-barang yang diproduksi di dalam negara importasi,
dijual di pasar luar negeri namun kemudian diimpor balik (reimport back)
ke negara importasi. Hal terakhir ini disebut "round trip" impor paralel.7°
Impor paralel dapat terjadi ketika barang-barang tertentu diimpor ke
pasar penerima lisensi eksklusif tanpa persetujuan pemilik hak kekayaan
intelektual dari barang-barang tersebut.71 Misalnya, selain pemilik hak
kekayaan intelektual menunjuk penerima lisensi eksklusif di negara X,
dia juga menunjuk penerima lisensi lain untuk mendistribusikan barang­
barang tersebut hanya untuk pasar negara W. Namun, barang-barang
tersebut kemudian diimpor ke negara X tanpa persetujuan pemilik hak
kekayaan intelektual tersebut. 72 Dalam situasi ini, harga yang kompetitif

69. D.R. Shanahan, Australian Law of Trade Marks and Passing Off, the Law Book Co.
Ltd. 2nd. ed. Sydney, 1990, him. 510.
70. Istilah ini digunakan oleh Hakim Ginsburg J. dalam kasus Quality King Distributors,
Inc. v. L'anza Research International, Inc., 523 U.S. 135 (1998).
71. Morr A. L., Op.Cit, him. 395.
72. Situasi ini dicontohkan dalam perkara RA & A Bailey & Co. Ltd v. Boccacio Pty
Ltd (1986) 6 IPR 279 and Interstate Parcel Express Co. Pty. Ltd. V. Time-Life
International (Nederlands) B. V. (1977) 138 C.L.R. 534. Dalam perkara ini, Penggugat
adalah produsen minuman keras "Bailey's Original Irish Cream" di Republik Irlandia.
Penggugat menjual produknya di Australia dan Belanda. Swift & Moore Pty Ltd adalah
distributor tunggal produk tersebut untuk pasar di Australia. Penggugat menempelkan
pada botol-botol produk tersebut label bergambar yang menyatakan bahwa Swift &
Moore Pty Ltd adalah importir tunggal di Australia. Menurut the Trade Marks Act
1955 (Cth), Penggugat adalah pemilik merek terdaftar (registered proprietor), yang

I 29
barang-barang impor paralel secara langsung berdampak negatif kepada
penerima lisensi di negara X. Dalam situasi ini juga, pemilik hak kekayaan
intelektual juga merasakan dampak negatif impor paralel, tetapi kerugian
yang terjadi karena impor paralel seperti ini mungkin lebih kecil dari pada
kerugian yang terjadi pada situasi yang kedua berikut ini.
Fenomena impor paralel juga meliputi situasi dimana barang-barang
tertentu dari negara luar diimpor ke dalam pasar domestik pemilik HKI
tanpa persetujuan pemilik HKl. 73 Misalnya, pemilik HKI di negara Y
menunjuk penerima lisensi eksklusif untuk mendistribusikan barang­
barang pemilik HKI hanya di negara X. Namun, tanpa persetujuannya,
barang-barang tersebut diimpor ke negara Y. 74 Dalam hal ini, pemilik HKI
mungkin secara langsung mengalami dampak persaingan yang ketat karena
barang-barang impor paralel biasanya dijual dengan harga yang sangat
murah dibandingkan dengan harga barang-barang domestik pemilik HKI.
Barang-barang impor paralel juga disebut "gray market goods" (abu­
abu) atau "diverted goods" 75 (dibelokkan/dialihkan). Walaupun maksudnya
sama, namun konotasi dua istilah tersebut berbeda. Barang abu-abu adalah
barang yang terletak di tengah-tengah antara barang yang mereknya asli
("white goods") dan barang-barang yang mereknya palsu (" black goods")
dan yang meniru atau mengcopy suatu merek yang sah tanpa persetujuan
pemilik merek. 76 Jadi, istilah abu-abu (gray) menunjukkan suatu kesan
buruk atau bahkan illegal dari suatu transaksi dan hal ini sering digunakan
menyerupai label yang ditempel pada botol-botol tersebut. Tergugat mengimpor
produk asli yang sama yang mempunyai label yang hampir sama tetapi sebelumnya
didistribusikan di Belanda. Pertanyaannya adalah apakah tindakan importasi yang
dilakukan oleh Tergugat telah melanggar hak atas merek milik Penggugat? Hakim
memutuskan bahwa tindakan Tergugat tidak melanggar.
73. Morr A. L., Op.Cit, hlm. 395.
74. Fakta dalam perkara Quality King Distributors, Inc. v. L'anza Research International,
Inc., 523 U.S. 135 (1998) merupakan contoh situasi ini.
75. Sarjana-sarjana AS dan Canada lebih suka menggunakan istilah ini dari pada istilah
"parallel imports": Turner C., "The Parallel Importer: Parasite or Pragmatist?" in
Intellectual Property Law: Trends and Tensions, Centre for Intellectual Property
Studies, Queensland, 1992, hlm. 65.
76. Davis T. H., "Applying Grecian Formula to International Trade: K - Mart Corp. v.
Cartier, Inc., and the Legality of Gray Market Imports" (1989) 75 VA. L. Rev. 1397
dikutip dalam Upadhye S., "Rewriting The Lanham Trademark Act to Prohibit The
Importation of All Gray Market Goods" (1996) 20 Seton Hall Legis. J. 59, hlm. 60.

30
oleh pem.ilik merek yang ingin menggugat pelaku impor paralel. Namun,
pembela impor paralel menyebutnya "diverted goods" agar secara
psikologis bisa menyampaikan pesan bahwa tindakan impor paralel
merupakan praktik bisnis yang jujur. Oleh karena itu, mereka menyebut
importir barang-barang tersebut dengan istilah "parallel importer" yang
mempunyai konotasi netral dari pada "gray marketer". 77
Perlu ditegaskan di sini bahwa barang impor paralel adalah barang
asli dan importasinya ke dalam suatu negara dilakukan secara resm.i
78

melalui kantor kantor kepabeanan dengan pembayaran bea cukai. Hal


ini ternyata tidak secara jelas dipaham.i di negara tertentu, m.isalnya, di
Indonesia. Di negeri ini, barang impor paralel terkadang dianggap sebagai
barang yang tidak asli (barang bajakan atau palsu) dan/atau diimpor ke
Indonesia tanpa bea cukai (barang selundupan). 79 Dengan adanya Pasal
135(a) Undang-Undang Paten 2001, yang memperkenalkan konsep impor
paralel produk obat-obatan, diharapkan masyarakat Indonesia menjadi
lebih memaham.i pengertian barang impor paralel. Namun, berkaitan
dengan merek dan hak cipta, tetap tidak jelas sejauh mana orang Indonesia
mengenal istilah barang impor paralel. Hal ini wajar karena mereka lebih
terbiasa berhadapan dengan barang palsu dan barang bajakan dari pada
barang impor paralel.
Sangat penting untuk memaham.i pengertian impor paralel. Dalam
suatu negara yang membolehkan impor paralel, pembuat kebijakan dan
peraturan perundang-undangan yang secara penuh memaham.i konsep ini

77. Sandler G. L., "Gray Market Goods: The Controversy Will Continue" (1987) 13
Brooklyn Journal of International Law 267, hlm. 267.
78. Dalam bidang merek, misalnya, barang asli adalah: "goods produced or selected by
the owner of a trademark, to which the owner of that trademark affixes the trademark
... " Lihat Lipner S., "Trademarked Goods and Their Gray Market Equivalents:
Should Product Differences Result in the Barring of Unauthorized Goods from the
U.S. Markets?" (1990) 18 Hofstra L. Rev. 1029 at 1030. Karena barang impor paralel
asli diproduksi oleh pemilik merek atau penerima lisensi atas persetujuannya, dan
merek barang tersebut ditempelkan oleh pemilik mereknya atau penerima lisensinya,
maka barang tersebut dianggap asli.
79. Lihat, misalnya, "Local electronic market undercut by illegal imports", the Jakarta
Post, 23 May 1999 <http://ptg.djnr.com/ccroot/asp/publib/story.asp>. Ternyata,
ketika wawancara pada bulan Januari 2002 dengan Bayu Murti Kencana, marketing
executive di PT Toshiba Consumer Products Indonesia, Jakarta, Bayu memandang
bahwa barang impor paralel adalah barang yang diselundupkan.

I 31
dapat menyatakan argumen dibolehkannya tindakan impor ini. Misalnya,
apabila mereka tahu bahwa barang impor paralel berbeda dengan barang
bajakan, mereka dapat menyatakan argumen untuk melawan tekanan
Amerika Serikat kepada negaranya agar melarang impor paralel yang
hanya berdasarkan pada statistik pembajakan di negaranya seperti yang
terjadi di Hong Kong dan Taiwan beberapa tahun yang lalu. 80

C. BEBERAPA SITUASI TERJADINYA IMPOR PARALEL


Impor paralel bisa terjadi dalam beberapa situasi. Berkaitan dengan
merek, impor paralel biasanya terjadi dalam 4 (empat) situasi. Pertama,
pemilik merek domestik dan pemilik merek di luar negeri adalah sama
orangnya. Kedua, distributor domestik adalah pengguna terdaftar (penerima
lisensi) dari merek di luar negeri. Ketiga, pemilik merek domestik adalah
anak perusahaan atau perusahaan terafiliasi dari perusahaan multinasional.
Keempat, merek tertentu telah dijual kepada distributor lokal. Keempat
situasi tersebut telah digambarkan oleh beberapa penulis Australia. 81
Perkara K. Mart Corp. v. Cartier, lnc. 82 dan Fender Australia Pty Ltd v.
Bevk.83 juga menjelaskan keempat situasi tersebut.
Berkaitan dengan hak cipta, impor paralel biasanya terjadi dalam
2 (dua) situasi. Pertama, barang hak cipta yang diimpor secara paralel
sebelumnya dijual di luar negara importasi. Karena barang tersebut
dijual di luar negeri lebih murah dari pada di negara importasi, importir
umum akhirnya mengimpornya ke negara yang terakhir ini. Situasi ini
dicontohkan dalam perkara di AS, yakni Columbia Broadcasting System

80. Morr A. L, Op.Cit, him. 395: berdasarkan statistik kerugian akibat pembajakan, AS
dulu menekan Hong Kong dan Taiwan untuk melarang impor paralel barang-barang
hak cipta.
81. Lihat, misalnya, Davison M. J., "Parallel Importing of Trade Marked Goods - An
Answer to the Unasked Question" (1999) 10 AIPJ 146; Turner C., "The Parallel
Importer: Parasite or Pragmatist?" in Intellectual Property Law: Trends and Tensions,
Centre for Intellectual Property Studies, Queensland, 1992, him. 65.
82. 486 u. s. 281, 286 - 287 (1988).
83. (1989) 15 IPR 257.

32
Inc. v. Scorpio Music Distributors Inc, 84 BMG Music v. Perez85 dan
Kirtsaeng v. John Wiley & Sons, Inc, 86 dan perkara di Australia Interstate
Parcel Express Co Pty Ltd v. Ti.me-Life International (Nederlands) B. V. 87
Kedua, barang impor paralel sebelumnya dijual di negara importasi. Situasi
ini melibatkan perjalanan barang secara pulang balik ("round trip") karena
barang tersebut sebelumnya dijual di dalam negeri, diekspor ke luar negeri
tetapi kemudian diimpor kembali ke negara importasi. Beberapa perkara
di AS, seperti Sebastian International v. Consumer Contacts (PTY) Ltd88
dan Quality King Distributors, Inc. v. L'anza Research International, Inc., 89
menggambarkan situasi ini.

84. 569 F. Supp. 47 (ED Pa. 1983) ; 738 F. 2d 424 (3d Cir. 1984). CBS memiliki hak cipta
rekaman suara di AS. CBS-Sony Japan telah melisensikan pembuatan dan penjualan
rekaman suara di Pilipina kepada Vicor Music Corporation. CBS (AS) menyetujui
perjanjian lisensi tersebut. Scorpio membeli produk rekaman suara tersebut di Filipina
dan kemudian, tanpa persetujuan dari CBS, mengimpomya ke AS. CBS menggugat
dan menyatakan bahwa Scorpio telah melanggar Pasal 602(a) dari Undang-Undang
Hak Cipta AS 1976 (the Copyright Act 1976).
85. 952 F. 2d 318 (9th Cir. 1991);112 S. Ct. 2997 (1992). BMG mempunyai hak cipta
rekaman suara. BMG telah melisensikan produksi dan penjualan produk rekaman
suaranya di banyak negara. Perez membeli produk rekaman suara tersebut di Filipina
dan kemudian mengimpomya ke AS.
86. 133 S.Ct. 1351 (2013). John Wiley & Sons, Inc., penerbit buku teks akademik di
AS, memberikan lisensi kepada anak perusahaannya Wiley Asia untuk menerbitkan
dan menjual buku-buku teks bahasa Inggris Wiley di luar AS. Supap Kirtsaeng yang
tinggal di AS meminta teman dan keluarganya untuk membeli buku-buku teks Wiley
tersebut di Thailand dengan harga yang murah, kemudian mengirimnya ke Kirtsaeng
di AS. Kirtsaeng kemudian menjualnya melalui eBay dan website-website yang lain.
87. (1977) 138 C.L.R. 534. Sebuah retailer buku di Sydney mengimpor, tanpa izin dari
distributor tunggal di Australia, dari AS ke Australia beberapa buku cara masak
(cookery books) yang telah pertama kali dijual di AS. Distributor tunggal tersebut
menggunakan Pasal 37 Undang-Undang Hak Cipta Australia 1968 (Australia's
Copyright Act 1968) untuk mencegah impor paralel tersebut.
88. 847 F. 2d 1093 (1988). Penggugat Sebastian telah memproduksi produk-produk hair
care di AS. Penggugat menjual persediaan barang tersebut di AS kepada Consumer
Contact untuk dijual kembali hanya di Afrika Selatan. Namun, Consumer Contact
segera mengirimkan produk tersebut ke Fabric Inc di AS untuk didistribusikan di AS.
Penggugat menggunakan hak cipta atas label-label yang ditempelkan pada produk­
produk tersebut dalam upayanya untuk memblokir tindakan impor paralel tersebut.
89. 523 U.S. 135 (1998). L'anza adalah perusahaan California yang memproduksi produk
hair care di AS. L'anza sendiri menjual produknya di AS kepada pembeli-pembeli
asing untuk dipasarkan ke negara-negara lain termasuk UK. L'anza menjual kepada
mereka di harga yang 35-40% lebih rendah dari pada harga kepada distributor di AS.
Produk yang dijual di UK akhirnya diimpor kembali dan dijual di AS oleh Quality

I 33
Berkaitan dengan paten, impor paralel bisa terjadi dalam situasi ketika
barang paten yang dimpor secara paralel telah dibuat atau pertama kali
dijual oleh pemilik paten. Perkara di Inggris Betts v. Wi.llmot, 90 misalnya,
menggambarkan situasi ini. Praktik impor paralel ini juga bisa terjadi
ketika barang paten impor paralel telah dibuat atau dijual pertama kali oleh
penerima lisensi. Hal ini dicontohkan dalam perkara di Inggris Societe des
Manufactures des Glaces v. Ti.lghman s Patent Sandblast.91
Timbul pertanyaan apakah situasi-situasi terjadinya impor paralel
tersebut di atas relevan dalam konteks negara yang merupakan net importer
barang-barang HKI seperti Indonesia. Sebenarnya, di Indonesia, mayoritas
barang-barang impor paralel tidak berasal dari negara Indonesia sendiri,
tetapi berasal dari negara-negara lain termasuk negara-negara pemilik
HKI.92,93 Dalam bidang merek, misalnya, karena bukan negara asal barang
impor paralel tetapi hubungan antara distributor yang sah dan pemilik
King. Dalan1 membatalkan putusan pengadilan Ninth Circuit yang memenangkan
L'anza, Mahkan1ah Agung AS menyatakan bahwa penjualan pertan1a (fi.rst sale) yang
dilakukan L'anza telah menghabiskan (exhausted) hak ciptanya. Ibid, him. 1127,
1128 dan 1130.
90. (1871) LR 6 Ch App 239. Betts mempunyai paten di Inggris dan Perancis untuk
kapsul timah metalik (metallic capsules of tin) dan digunakan untuk merekatkan
gabus ke botol. Betts memproduksi dan menjual sendiri produk tersebut di Inggris
dan menjual melalui agen di Perancis. Willmott membeli produk tersebut di Perancis
dan menggunakannya di Inggris. Bett menggugat Willmott.
91. (1884) 25 Ch D 1. Tergugat, Tilghman, memiliki paten di Inggris dan Belgia untuk
proses memotong dan menggerinda bahan-bahan kasar yang bermanfaat untuk
membuat oman1en bola lan1pu kaca dan barang-barang serupa. Tilghman menunjuk
pemohon banding sebagai penerima lisensi di Belgia. Pemohon banding menggunakan
paten proses tersebut untuk membuat barang-barang kaca. Nan1un, tanpa persetujuan
Tilghman, pemohon banding menjual barang-barang tersebut tidak hanya di Belgia,
tetapi menjual juga di Inggris.
92. Chang T-Z., "Parallel Importation in Taiwan: A View from a Newly Emerged Country
and a Comparative Analysis" (1993) lO(No.6) International Marketing Review 30,
him. 31.
93. San1pai sekarang, belum ada laporan tentang produk yang dibuat di Indonesia diekspor
dan kemudian diimpor kembali ke Indonesia. Telah dilaporkan bahwa barang-barang
impor paralel di Indonesia berasal dari negara-negara asing. Misalnya, di pertengahan
tahun 2000, beberapa mobil KIA Carnival built-up diimpor secara paralel dari Korea
Selatan. Lihat Winamo B., "Impor Paralel", dalan1 Kontan, 23 Oktober 2000, http://
www.kontan-online.com/05/05/manajemen/manl.htm. Obat-obat HIV/AIDS telah
diimpor secara paralel dari India. Lihat "Indonesia Akan Impor Obat HIV/AIDS
dari Thailand", Suara Pembaharuan, 16 April 2002, http://www.bkkbn.go.id/hqweb/
ceria/mbrtpage4.html. Beberapa sparepart computer telah diimpor secara paralel dari

34
merek yang menjadi dasar untuk menentukan posisi hukum barang impor
paralel, situasi-situasi terjadinya impor paralel di bidang merek tersebut
diatas adalah relevan untuk Indonesia. Dalam bidang hak cipta, impor
paralel yang melibatkan perjalanan "round trips" barang impor paralel
jarang terjadi di negara net importer barang HKI seperti Indonesia. Namun,
masih ada kemungkinan impor paralel seperti ini terjadi. Misalnya, karena
CD yang berisi lagu-lagu atau musik Indonesia diekspor ke negara-negara
tetangga seperti Malaysia dan Singapura, ada kemungkinan CD tersebut
dibawa balik ke Indonesia apabila harga di Indonesia lebih mahal dari pada
di negara-negara tetangga tersebut. Di bidang paten, seperti merek, karena
orang yang melakukan penjualan pertama kali (first sale), bukan tempat
(negara) dilakukannya penjualan pertama kali barang paten yang menjadi
persoalan, situasi-situasi terjadinya impor paralel di bidang paten tersebut
di atas adalah relevan untuk Indonesia.

D. SEBAB-SEBAB TERJADINYA IMPOR PARALEL


Impor paralel terjadi terutama karena perbedaan harga di pasar global.
Harga suatu barang di suatu negara lebih murah dari pada harga barang
yang sama di negara lain. Perbedaan harga ini bisa terjadi karena strategi
pemasaran. Misalnya, suatu produsen berusaha menjual barang-barangnya
di suatu pasar luar negeri yang sangat kompetitif. Agar bisa bersaing
dengan barang-barang lain di pasar tersebut, produsen ini menjual barang­
barangnya dengan harga yang sangat murah, yakni, jauh lebih murah dari
pada harga barang-barang yang sama di negaranya sendiri. 94 Situasi ini
memungkinkan pedagang membeli barang-barang tersebut di luar negeri
dan kemudian mengimpornya ke pasar negara importasi atau ke pasar
negara lain dimana barang-barang yang sama lebih mahal. Di samping
itu, seorang produsen juga dapat menggunakan konsep "international
product life cycle " dengan cara memperkenalkan barang-barang yang
sudah matang (mature products) di negara asal ke dalam pasar luar negeri

Singapura ke Indonesia. Lihat "Buy Some PC Parts from Indonesia," http://www.


myhardware.net/forums/archive/index.php/t-9623.
94. Moisant J. P., "What the Supreme Court Should Have Done" (1999) 25 Brooklyn J.
Int'l L. 639 him 640 - 41.

I 35
dimana barang-barang tersebut dianggap baru. 95 Karena persaingan di
pasar luar negeri tersebut kurang ketat, maka produsen tersebut memungut
harga yang lebih mahal dari pada di negara asal barang. Kemudian seorang
pedagang melakukan impor paralel barang-barang tersebut dari negara
asal barang ke pasar luar negeri tersebut. Barang-barang semacam ini
mengalir ke negara-negara yang merupakan "net importer'' produk HKI
seperti Indonesia, Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong. 96
Di samping strategi price discrimination yang biasanya dipakai oleh
perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar (market power) seperti
tersebut di atas, perbedaan harga yang menyebabkan impor paralel
dapat terjadi karena fluktuasi nilai mata uang. 97 Misalnya, sebuah barang
berharga AS $ 15 di negara X. Karena lemahnya nilai mata uang di negara
Y terhadap dollar AS, maka barang tersebut berharga AS $ 7 di negara Y.
Situasi ini memungkinkan seorang pedagang mengimpor barang tersebut
dari negara Y ke negara X dan kemudian menjualnya, misalnya, dengan
harga AS $ 11.
Perbedaan dalam biaya pemasaran dan pelayanan puma jual (after sales
services) dapat pula menyebabkan perbedaan harga. 98 Biaya pemasaran
dapat berupa biaya-biaya periklanan dan biaya-biaya training bagi pegawai
pelayanan dan penjualan. 99 Contoh dari biaya pelayanan puma jual adalah
biaya warranty, biaya asuransi, biaya pemenuhan keamanan (safety
compliance costs), 100 biaya-biaya untuk menangani keluhan konsumen
dan biaya-biaya untuk memenuhi inventaris persediaan yang memadai. 101
Pemilik HKI atau penerima lisensinya hams menanggung biaya-biaya

95. Lihat Chang T-Z., Op.Cit., him. 30.


96. Lihat Chang T-Z., ibid. him. 31.
97. Donnelly, D.E., "Parallel Trade and International Harmonization of the Exhaustion of
Rights Doctrine" (1997) 13 Computer & High Tech. L. J. 445, him. 448.
98. Donnelly D.E., ibid, hlm. 448.
99. Chen A.B., "Shopping The Gray market: The Aftermath of The Supreme Court's
Decision in Quality King Distributors, Inc., v. L' anza Research International Inc"
(1999) 19 Loy. L. A Ent. L. J. 573, him. 574.
100. Auvil S. M., "Gray Market Goods Produced by Foreign Affiliates of The US
Trademark owner: Should the Lanham Act Provide a Remedy?" (1995) 28 Akron L.
Rev. 437, him. 438.
101. Rothnie W. A., Parallel Imports, Sweet & Maxwell, London, 1993, him. 565.

36 I
tersebut sedangkan pelaku impor paralel bisa meminimalkannya. 102
Akibatnya, pelaku impor paralel dapat mengimpor barang asli yang murah
ke negara pemilik HKI atau penerima lisensi HKI.
Namun, impor paralel tidak bisa terjadi apabila biaya pengangkutan
barang dari suatu negara ke negara importasi tinggi dilihat dari keuntungan
yang diperoleh pelaku impor paralel. 103 Oleh karena itu, kebanyakan
barang-barang impor paralel adalah barang-barang yang berbobot ringan
yang mempunyai reputasi terkenal. 104 Di Taiwan, misalnya, kebanyakan
barang impor paralel meliputi produk formula bayi, sabun, shampoo,
kamera, telivisi, VCR, camcorder, dan alat-alat rumah tangga. 105 Barang
impor paralel berupa !phone mulai dijual tahun 2007 di Cina, dan Ipad telah
diimpor secara paralel ke Cina dan Hong Kong pada awal April 2010. 106 Di
Australia, dua retailer besar, yakni Woolworths dan Coles, telah mencari
sumber pemasokan barang-barang seperti minuman keras, makanan­
makanan dan pakaian bermerek dari pelaku impor paralel. 107 Walaupun
kebanyakan barang impor paralel adalah barang berbobot ringan, barang
berbobot berat, seperti mobil, juga telah diimpor secara paralel ke suatu
negara importasi. 108 Biaya pengepakan (packaging) barang berbobot berat

102. Pelaku paralel impor "have no fancy showrooms, no factory-trained personnel, no


comprehensive spare parts inventory, no huge advertising and marketing budgets,
no dedicated after-sales facilities." Lihat Christopher Tan, "Under-declaring parallel
imports", Straits Times, 20 Januari, 2009, http://blogs.straitstimes.com/2009/1/20/
under-declaring-parallel-imports, (diakses 23 Mei 2010).
103. Ghosh S., "An Economic Analysis of the Common Control Exception to Gray Market
Exclusion" (1994) 15 U. Pa. J. Int'l Bus. L. 373, him. 374- 75.
104. Lexecon, Inc., "Executive Summary, The Economics of Gray Market Imports"
(1985) (Unpublished Report on file with the Catholic University Law Review) cited
in Mohr CA., "Gray Market Goods and Copyright Law: an End Run Around K. Mart
v. Cartier" (1996) 45 Gath. U. L. Rev. 561, him. 563.
105. Chang T-Z, Op.Cit., him. 34.
106. Justine Lau et al, "Grey Market Begins Sales of iPads in China," The Financial Times,
9 April 2010, https://www.ft.com/content/fa37e3da-4336-l1df-9046-00144feab49a,
(diakses 15 Februari 2017).
107. "Retailers rock the boat with parallel imports," The Age, 15 Januari 2010, http://www.
smh.com.au/business/retailers-rock-the-boat-with-parallel-imports-20100114-ma5h.
html, (diakses 15 Februari 2017).
108. "Got a parallel-imported Mazda? You can now service it at Mazda Motor," http://
www.asiaone.com/ Motoring/News/Story/A1Story20100330-207644.htrnl, (diakses
23 Mei 2010).

I 37
menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya impor paralel. Di Indonesia,
misalnya, perbedaan yang besar antara biaya pengepakan mobil completely­
built up (CBU) dan biaya pengepakan mobil rakitan (completely knocked
down) merupakan salah satu alasan mengapa mobil-mobil CBU diimpor
secaraparalelkeindonesia. 109

E. PRINSIP EXHAUSTION DAN IMPOR PARALEL


Prinsip Exhaustion (Exhaustion Principle)110 sangat berkaitan dengan
persoalan impor paralel. Pembahasan tentang prinsip ini akan difokuskan
pada hukum di AS dan EU karena prinsip ini telah mendapat pembahasan
di peradilan di AS dan EU secara lebih intenstif dari pada di negara-negara
lain. Inti prinsip ini adalah penjualan pertama (fi.rst sale) barang HKI
oleh pemilik HKI atau penerima lisensinya menghabiskan hak mereka
untuk mengontrol penjualan berikutnya barang tersebut. Rasionya adalah
perlindungan konsumen atau masyarakat dan/atau pertimbangan arus
bebas ekspor impor barang. Namun, temyata negara-negara membatasi
berlakunya Prinsip Exhaustion pada beberapa situasi tertentu. Mereka
melakukan itu untuk melindungi kepentingan pemegang HKI.
1. Pengertian dan Rasio Prinsip Exhaustion
Menurut prinsip ini, penjualan awal yang sah dari barang HKI secara
efektif menghabiskan atau menghilangkan hak pemilik HKI atau penerima

109. Hal ini dikatakan oleh Widodo, mantan pegawai PT Astra International Indonesia,
ketika percakapan dengan Penulis di bulan Februari 2002. Widodo menyatakan
bahwa ongkos pengemasan bagian-bagian (parts) dari mobil assembling lebih mahal
dari pada ongkos pengemasan mobil CBU. Perbedaannya sekitar 20 %.
110. Atau "doctrine of first sale". Lihat Barrett M., "The United States' Doctrine of
Exhaustion: Parallel Imports of Patented Goods" (2000) 27 N. Ky. L. Rev. 911
(menjelaskan bahwa istilah "doctrine of exhaustion" and "doctrine of first sale"
adalah sinonim). Di AS, istilah-istilah "exhaustion" dan "doctrine of exhaustion"
adalah sama-sama digunakan. Lihat, misalnya, Intel Corp. v. ULSI Sys. Tech., Inc.,
995 F. 2d 1566, 1568 (Fed. Cir. 1993). Namun, dalam perkara-perkara hak cipta,
pengadilan-pengadilan AS lebih senang menggunakan istilah "first sale doctrine".
Lihat, misalnya, Sebastian International v. Consumer Contacts (PTY) Ltd., 847
F. 2d 1093, 1096 (1988) dan Quality King Distributors, Inc. v. L'anza Research
International, Inc., 523 U.S. 135, 139 (1998). Di EU, European Court of Justice
menggunakan istilah "exhaustion". Lihat, misalnya, Silhouette International Schmied
Gesellscha� mbH & Co. KG v. Hartlauer Handelsgesellscha� mbH, Case C-355/96,
1998 ECJ CELEX LEXIS 6660, para 1.

38
lisensinya untuk mengontrol penanganan berikutnya (subsequent dealing)
barang HKI tersebut. Akibatnya, seorang pembeli barang tersebut bebas
untuk menangani atau memperlakukannya termasuk ke arah mana akan
menjualnya tanpa dianggap melanggar hak pemegang HKI barang tersebut.
Prinsip ini, di satu sisi, merupakan pembatasan hak pemegang HKI,
namun, di sisi lain memberikan pembeli barang HKI hak tidak terbatas
tidak hanya untuk menggunakannya tetapi juga melepaskannya. Di
bidang paten, misalnya, dalam perkara United States v. Univis Lens Co, 111
Mahkamah Agung AS menyatakan:

The patentee's monopoly remains so long as he retains the ownership


of the patented article. But sale of it exhausts the monopoly in that
article and the patentee may not thereafter, by virtue of his patent,
control the use or disposition of the article. 112

Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung AS telah membatasi


pengertian monopoli pemegang paten menurut peraturan perundang­
undangan, yakni "exclusive right to make, use, and vend the invention
or discovery''. 113 Pengadilan ini telah membatasi pengertian "vend" pada
penjualan pertama ("fi.rst sale").
Alasan yang diberikan Mahkamah Agung AS adalah bahwa pemegang
paten telah menikmati manfaat monopoli patennya dengan menerima

111. 316 U.S. 241 (1942). Dalam perkara ini, pemilik paten atas lensa kacamata
melisensikan patennya kepada orang lain untuk memproduksi dan menjual kepada
pedagang-pedagang grosir (wholeseller) yang diberi lisensi, dan kepada pedagang­
pedagang eceran. Lisensi-lisensi tersebut berisi klausula pembatasan hak para
pedagang grosir dan para pedagang eceran tersebut untuk menjual lensa yang
telah diproses. Pemerintah AS menggugat pemilik paten tersebut dengan alasan
bahwa tindakan pemilik paten telah melanggar hukum Antitrust AS. Pengadilan
memenangkan Pemerintah. Ibid. hlm. 241, 244--45.
112. Ibid. hlm. 250. Lihat jugaAdams v. Burke, 84 U.S. (17 Wall.) 453 (1873) ("When the
patentee ... sells a machine or instrument..., he receives the consideration for its use
and he parts with the right to restrict that use. The article...passes without the limit of
the monopoly."); Intel Corp. v. U.L.S.I. Sys Tech., Inc., 995 F. 2d 1566, 1568 (Fed. Cir.
1993) ("The patent owner '.s rights with respect to the product end with its sale, and a
purchaser of such a product may use or resell the product free of the patent'').
113. Ketentuan tentang monopoli ini tercantum dalam Pasal I, paragraf 8, klausula 8
Undang-Undang Dasar AS; 35 U.S.C. paragraf 31, 40 yang dikutip dalam perkara
Univis Lens, 316 U.S. 241, 250 (1942).

I 39
harga pembelian pada penjualan pertama barang patennya. 114 Pengadilan
ini juga memberikan alasan bahwa memperbolehkan pemegang paten
untuk mengontrol penanganan barang tersebut setelah penjualan pertama
akan melampaui monopolinya. 115
Berkaitan dengan hak cipta, perkara Bobbs-Merrill v. Strauss116
menerapkan Prinsip Exhaustion yang juga membatasi hak pemegang
hak cipta pada barang yang telah dijual dan memberikan kepada pembeli
barang tersebut kebebasan untuk menanganinya. Intinya, dalam perkara
ini, Mahkamah Agung AS membatalkan hak pemegang hak cipta untuk
mengontrol harga penjualan setelah penjualan pertama yang sah terjadi
dan menyatakan bahwa memperbolehkan usaha Bobbs-Merrill untuk
menetapkan harga penjualan setelah penjualan pertama akan memberikan
kepadanya kekuasaan yang melebihi hak eksklusif yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan hak cipta AS. 117
Di AS, telah disepakati bahwa tujuan utama hukum paten dan hukum
hak cipta adalah "to promote the progress of science and the useful
arts" . 118 Dalam hal ini, kepentingan publik terlihat lebih penting dari pada
kepentingan pemegang paten dan hak cipta. Untuk mencapai tujuan ini,
hukum paten dan hukum hak cipta, di satu sisi, memberikan hak eksklusif
kepada pemegang paten dan pemegang hak cipta untuk membuat atau

114. 316 U.S. 241, 251 (1942).


115. Pengadilan ini menyatakan: "If he were permitted to control the price at which it could
be sold by others he would extend his monopoly quite as much in the one case as in
the other, and he would extend it beyond the fair meaning of the patent statutes": ibid.
hlm. 252.
116. 210 U.S. 339 (1908). Penerbit, Bobbs-Merrill, menjual buku "The Castaway"
kepada pedagang-pedagang grosir dengan peringatan yang tercantum pada setiap
eksemplar buku tersebut sebagai berikut: "The price of this book at retail is $1 net.
No dealer is licensed to sell it at a less price, and a sale at a less price will be treated
as an infringement of the copyright ..." Macy membeli beberapa buku tersebut dari
pedagang grosir dan menjualnya kembali di bawah $1. Bobbs-Merrill gagal dalam
tindakan hukum atas pelanggaran hak ciptanya kepada Macy.
117. Ibid. hlm. 350 - 51.
118. Lihat United States v. Univis Lens, 316 U.S. 241, 250 (1942); Bobbs-Merrill v. Strauss,
210 U.S. 339, 346 (1908); Kendal v. Winsor, 62 U.S. 322, 329 (1858); Lackner Co.
v. Quehl Sign Co., 145 F. 2d 932, 934 (6th Cir. 1944); Cyrix Corp. v. Intel Corp., 846
Supp. 522, 539-40 (E.D. Tex.) affirmed, 42 F. 3d 1411 (Fed. Cir. 1994).

40
memperbanyak, menggunakan dan menjual produk mereka. 119 Di sisi
lain, berkaitan dengan produk pemegang paten dan pemegang hak cipta,
hukum membatasi hak kontrol mereka hanya pada penjualan pertama
(fi.rst sale) produk tersebut. Ini berarti bahwa ketika mereka memperoleh
harga produk tersebut pada penjualan pertama, mereka dianggap telah
memperoleh kompensasi dari kreativitasnya120 dan, akibatnya, mereka
tidak lagi mempunyai hak untuk mengontrol pengalihan selanjutnya dari
produk tersebut. Jadi, mereka hanya mempunyai monopoli terbatas dan
monopoli terbatas ini memberikan manfaat kepada publik karena pemegang
hak telah mengumumkan invensinya atau karya ciptanya kepada publik
dengan tidak membebani publik secara berlebihan, yakni dengan tidak
menarik pembayaran yang berlebihan dari publik. 121

119. Lihat Univis Lens, ibid. him. 250, dan Bobbs-Merrill, ibid. him. 350.
120. Lihat Univis Lens, ibid. ("[W]hen the patentee has received his reward for the use of
his invention by the sale of the article...the patent law affords no basis for restraining
the use and enjoyment of the thing sold."); Adams v. Burke, 84 U.S. (17 Wall.) 453
(1873) ("[T]he patentee or his assignee having in the act of sale received all the
royalty or consideration which he claims for the use of his invention... "); Bobbs­
Merrill v. Strauss, 210 U.S. 339, 346 (1908) ("[T]he statute also secures, to make
this right of multiplication effectual, the sole right to vend copies of the book, the
production of the author '.s thought and conception. The owner of the copyright in this
case did sell copies of the book in quantities and at a price satisfactory to it. It has
exercised the right to vend.").
121. Lihat Barrett M., Op.Cit., him. 920 - 22 (membahas tujuan utama hukum paten di
AS). Pada tahun 1909, the United States' House Judiciary Committee menyatakan:
"The enactment of copyright legislation by Congress ... is not based upon any natural
right that the author has in his writings...but upon the ground that the welfare of the
public will be served and progress of science and useful arts will be promoted by
securing to authors for limited periods the exclusive rights to their writings": Mohr
C.A., Op.Cit., him. 588. Lihat juga Lackner Co. v. Quehl Sign Co. 145 F. 2d 932, 934
(6th Cir. 1944) ("The exclusive right conferred by a patent is a monopoly permitted
only because of the public benefit to be derived from the invention. The maintenance
of the public interest is the dominant concern of the patent law; profit to the patentee
is secondary"). Lihat juga Sebastian, 847 F. 2d 1093, 1094 (3rd Cir. 1988) dimana
pengadilan menjelaskan: "The copyright statutes have been amended repeatedly in
an attempt to balance the authors' interest in the control and exploitation of their
writings with society'.s competing stake in the free fl.ow of ideas, information and
commerce. Ultimately, the copyright law regards financial reward to the owner as a
secondary consideration."

I 41
Berkaitan dengan merek, perkara Prestonettes v. Coty122 juga
mendefinisikan pengertian prinsip Exhaustion. Dalam perkara ini,
Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa "a trade mark only gives the
right to prohibit the use of it so far as to protect the owners goodwill
against the sale of anothers product as his" . 123 Akibatnya, pembeli barang
yang mempunyai merek bebas untuk menggunakan barang tersebut dan
menjualnya selama barangnya masih asli.
Pemikiran bahwa fungsi utama suatu merek adalah untuk menunjukkan
sumber asal barang (the badge of origin function) telah menjadi rasio prinsip
Exhaustion di bidang merek. The badge of origin function berarti bahwa
selama barang masih asli dan mereknya masih secara akurat menunjukkan
bahwa barang tersebut berasal dari pemegang merek, maka impor paralel
barang tersebut bukan merupakan pelanggaran merek. Selama pelaku impor
paralel tidak mengganggu fungsi esensial merek, yakni untuk menjamin
identitas asal barang dengan, misalnya, melakukan tindakan pengepakan
tanpa izin sehingga berdampak negatif terhadap kondisi barang tersebut,
maka impor paralel barang tersebut tidak bisa dilarang. 124 Hal ini tersirat
dalam putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara Prestonettes v. Coty125

122 264 U.S. 359 (1924). Penggugat, seorang warga negara Perancis, mempunyai merek
terdaftar "Coty" and "L'Origin" untuk bedak dan parfum toilet. Tergugat membeli
bedak "Coty'' asli, mengemas ulang dan kemudian menjualnya dalam kemasan­
kemasan yang berbeda. Tergugat juga membeli parfum "Coty" asli dalam botol
yang bear kemudian menjualnya kembali dalam botol-botol yang kecil. Penggugat
menggugat tergugat atas pelanggaran merek. Namun, pengadilan memenangkan
tergugat.
123. Ibid. hlm. 368. Cf. Champagne Heidsieck et Cie v. Buxton [1930] lCh.330, 337 ("[Tl
he proprietor of a trade mark is to have the right exclusively to use such trade mark
in the sense of preventing others from selling wares which are not his marked with the
trade mark."); Irving's yeast-Vite Ltd v. Horsenail (1934) 51 R.P.C. 110 (memutuskan
bahwa hak eksklusif pemilik terdaftar tidak dapat dianggap dilanggar oleh penggunaan
mereknya yang menunjuk kepada produk pemilik merek terdaftar itu sendiri).
124. Putusan ECJ in Hoffman-La Roche, 1978 E.C.R. at 1166. Liliat juga The Wellcome
Foundation Ltd v Paranova Pharmazeutika Handels GmbH (C-276/05), 22 Desember
22, 2008, dikomentari oleh Sweet & Maxwell Limited and Contributors dalam "ECJ
Gives Further Guidance on Repackaging Drugs for Parallel Import" (2009) EU Focus
2009, 246, hlm. 23-24. Untuk penjelasan lebih jauh mengenai persoalan pengemasan
kembali (repackaging) dan hukum impor paralel, liliat Bird R.C. and Chaudhry P.E.,
"Pharmaceuticals and the European Union: Managing Gray markets in Uncertain
Legal Environment" (2010) 50 Va. J. Int'l L. 719.
125. 264 U.S. 359 (1924).

42 I
tersebut di atas. 126 Sebenarnya, rasio "source of origin" ini mendukung
arus bebas barang (the free movement of goods) antar negara. Hal ini
meningkatkan persaingan. Meningkatnya persaingan akan memberikan
manfaat kepada konsumen dalam bentuk tersedianya pilihan yang luas dan
murahnya barang-barang.
Di Uni Eropa, berkaitan dengan paten, the European Court of Justice
(ECJ) dalam perkara Centrafarm v. Sterling 127 telah menyampaikan
pendapat yang mirip dengan pendapat hakim dalam perkara Univis
Lens. 128 Dalam Centrafarm, ECJ menyatakan bahwa hak paten tidak dapat
dilaksanakan ("exercised") untuk melindungi sesuatu di luar cakupan
khusus paten, yakni:

the guarantee that the patentee, to reward the creative effort of the
inventor, has the exclusive right to use an invention with a view to
manufacturing industrial products and putting them into circulation
for the fi.rst time, either directly or by the grant of licences to third
parties, as well as the right to oppose infringements. (Emphasis
added).129

Dalam hal ini, ECJ menggunakan istilah "exercise" dan Pengadilan ini
telah membatasi pengertian "exercise" dari suatu paten. ECJ menyatakan
bahwa untuk menerima penghargaan (reward) dari kreativitasnya, seorang

126 Putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara Prestonettes adalah sesuai dengan
putusan dalam perkara di Australia Atari Inc. and Futuretronics Australia Pty Ltd v.
Fairstar Electronics Pty Ltd (1982) 50 ALR 274. Dalam perkara ini, berdasarkan pada
putusan perkara di Inggris Champagne Heidsieck et cie Monopole Societe Anonyme
v. Buxton [1930] 1 Ch. 330, hakim Smithers menyatakan bahwa fungsi merek adalah
sebagai tanda asal barang (badge of origin), yakni untuk menunjukkan hubungan
antara barang yang ditempeli merek dengan pemilik merek tersebut. Hakim Smithers
lebih lanjut menyatakan bahwa penggunaan merek barang menjadi pelanggaran hanya
apabila barang tersebut tidak asli. Lihat (1982) 50 ALR 274, hlm. 276.
127. Case 15/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 926. Dalam perkara ini, pemilik paten
mempunyai beberapa paten di beberapa negara di European Economic Area (EEA)
termasuk di Inggris dan Belanda. Produk-produk yang dilindungi dengan paten­
paten tersebut secara sah dipasarkan di negara-negara tersebut oleh para penerima
lisensinya. Kemudian, pihak ketiga membeli produk tersebut dari Inggris kemudian
mengimpomya ke Belanda.
128. 316 U.S. 241 (1942).
129. Case 15/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 926, para 9.

I 43
pemegang paten mempunyai hak untuk melaksanakan ("exercise") haknya
hanya sekali, yakni, ketika melepaskan barang patennya untuk pertama
kalinya.
Mirip dengan pendapat hakim dalam perkara Univis Lens, ECJ dalam
perkara Centrafarm menggunakan doktrin "beyond-scope" atau doktrin
"beyond-the essence of exclusive right'' untuk membenarkan penggunakan
prinsip Exhaustion. Artinya, memberikan pemegang paten hak untuk
mengontrol penanganan selanjutnya (subsequent dealing) dari barangnya
setelah penjualannya yang pertama kali akan melampaui cakupan atau
esensi patennya. 130 Dalam perkara Univis Lens, cakupan suatu paten
adalah berdasarkan pada undang-undang paten AS. Namun, tidak seperti
dalam perkara Univis Lens, dalam perkara Centrafarm, pengertian "the
essence of the exclusive rights" tidak jelas. Justifikasi yang lebih tepat
untuk menggunakan prinsip Exhaustion di Uni Eropa sebenarnya adalah
pemikiran arus bebas barang (free movement of goods). ECJ dalam perkara
Centrafarm v. Sterling131 menyatakan justifikasi ini sebagai berikut:

An obstacle to the free movement of goods may arise out of the


existence...of provisions laying down that a patentee's right is not
exhausted when the product protected by the patent is marketed in
another Member State, with the result that the patentee can prevent
importation of the product into his own Member State when it has
been marketed in another state.132

Justifikasi arus barang bebas (free movement of goods) juga dinyatakan


dalam perkara Deutsche Grammophon v. Metro133 yang menerapkan

130 ECJ menyatakan: "In fact, if a patentee could prevent the import or protected products
marketed by him or with his consent in another member state, he would be able to
partition off national markets and thereby restrict trade between member states, in
a situation where no such restriction was necessary to guarantee the essence of the
exclusive rights flowing from the parallel patents." Lihat 1974 ECJ CELEX LEXIS
926, para 12.
131 Case 15/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 926.
132 Ibid. para 10.
133 Case 78/70, 1971 ECJ CELEX LEXIS 791. Dalam perkara ini, Deutsche
Grammaphon (DG), sebuah perusahaan Jerman, menjual produk rekamannya kepada
anak perusahaan yang mayoritas sahamnya dimilikinya di Perancis. Produk rekaman

44
prinsip Exhaustion berkaitan dengan hak cipta. ECJ memutuskan bahwa
karena Deutsche secara sukarela telah menjual barang ciptaannya, maka
hak-haknya habis (exhausted) dan akan bertentangan dengan kebijakan
ams barang bebas (free movement of goods) apabila Deutsche diberikan
hak untuk membatasi penjualan berikutnya dari barang tersebut. 134
Perkara merek Centrafarm B. V. v. Wi.nthrop 135 juga secara tersirat
menyatakan justi:fikasi seperti itu. Dalam perkara ini, ECJ memutuskan
bahwa hukum merek memperbolehkan pemilik merek untuk
menjual barangnya pertama kali (first sale) bebas dari pesaing yang
memperdagangkan barang dengan membonceng reputasi mereknya, tapi
karena telah menyetujui penjualan pertama kali (first sale) pemilik merek
kehilangan haknya untuk melarang ams bebas barangnya di wilayah
European Economic Area (EEA). 136
Jadi, di EU, rasio prinsip Exhaustion berkaitan dengan impor paralel di
wilayah EU adalah pemikiran ams barang bebas (free movement of goods).
Kebijakan ams barang bebas memberikan konsumen Eropa manfaat yang
berupa tersedianya pilihan barang yang luas dan harga yang murah.

2. Syarat-Syarat Prinsip Exhaustion


Beberapa syarat hams dipenuhi agar prinsip Exhaustion bisa
diterapkan. Pertama, pemegang HK.I hams menerima upah atau kompensasi
(reward) sebelum haknya habis. Berkaitan dengan paten, misalnya, hal ini
dinyatakan dalam perkara Univis Lens. 137 Menurut Univis Lens, bukan
penjualan pertama (first sale) tetapi upah atau kompensasi (reward) dari
tersebut kemudian diimpor kembali ke Jerman oleh Metro. DG melakukan tindakan
hukum untuk menghentikan importasi Metro.
134 Ibid. para 5.
135 Case 16/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 927. Dalam perkara ini, pemilik merek
"Negram" untuk produk farmasi telah memberikan lisensi kepada beberapa perusahaan
di Inggris dan Belanda. Seorang importir membeli produk-produk tersebut di Inggris
kemudian mengimpornya ke Belanda.
136 Ibid. para 8.
137 316 U.S. 241 (1942). Pengadilan ini menyatakan: "[T]he purpose of the patent law
is fulfi.lled with respect to any particular article when the patentee has received his
reward for the use of his invention by the sale of the article, and that once that purpose
is realized the patent law affords no basis for restraining the use and enjoyment of the
thing sold." (Tekanan oleh Penulis). Lihat ibid. hlm. 251.

I 45
penjualan pertama yang menghabiskan ( exhaust) hak patennya. 138 Jadi,
apabila pemegang paten tidak menerima upah atau kompensasi (reward)
dari penjualan pertama, maka haknya tidak akan habis. 139
Juga, menurut hakim dalam perkara Centrafarm, 140 upah atau
kompensasi (reward) merupakan faktor penting untuk menentukan
habisnya hak. Pemilik paten hams mendapat manfaat dari penjualan
pertama (fi.rst sale) barangnya sebelum haknya habis. Apabila penjualan
pertama dilakukan oleh penerima lisensinya, pemilik paten hams turut
serta dalam penjualan tersebut dengan cara memberikan persetujuan
kepada penerima lisensi tersebut. 141 Jadi, apabila pemilik paten tidak
mendapat manfaat dari atau tidak turut serta dalam penjualan pertama dari
barangnya, maka haknya tidak habis.
Berkaitan dengan hak cipta, Hakim Agung AS dalam perkara Bobbs­
Merrill142 juga menyatakan bahwa upah atau kompensasi yang berupa
"a satisfactory price" dari barang pemilik hak cipta hams dibayarkan
sebelum haknya habis. Apabila pemilik hak cipta belum mendapatkan
pembayaran harga barangnya, haknya tidak pemah habis. Misalnya,
sebagaimana digambarkan dalam perkara Platt & Munk Co. v. Republic
Graphic, 143 penjualan sebuah buku yang dibeli dari seorang pedagang

138 Lihat Keeler v. Standard Folding-Bed Co., 157 U.S. 659, 665- 67 (1895) yang selaras
dengan pendapat hakim dalam perkara Univis Lens. Lihat juga Rothnie W.A., Op. Cit.,
hlm. 145 yang menyimpulkan bahwa putusan dalam perkara Keeler menunjukkan
bahwa pembayaran harga kepada pemilik paten merupakan suatu dasar yang sangat
penting mengapa pengadilan AS menganut prinsip exhaustion.
139 Lihat Featherstone v. Ormonde Cycle Company, 53 F. 110 (C.C.N.Y. 1892). Dalam
perkara ini, seorang inventor memperoleh paten atas ban sepeda di Inggris dan AS.
Inventor ini menjual haknya di AS kepada penggugat. Pemilik paten di Inggris
memberikan lisensinya kepada tergugat untuk menggunakan ban-bannya untuk
sepeda yang dibuat di Inggris. Tergugat ingin menjual ban-bannya ke AS. Pengadilan
memberikan kepada penggugat hak untuk menghentikan tindakan tergugat. Lihat
ibid. hlm. 111.
140 Case 15/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 926.
141 ECJ juga menyatakan: "[A] derogation from the principle of the free movement of
goods is not. . justified where the product has been put onto the market in a legal
manner, by the patentee himself or with his consent, in the member state from which
it has been imported, in particular in the case of a proprietor of parallel patents."
(Emphasis added). Lihat ibid. para 11.
142 210 U.S. 339 (1908).
143. 315 F. 2d 847 (2d. Cir. 1963).

46 I
yang membelinya dari sebuah agen pemilik hak cipta, dan agen tersebut
telah dipercaya untuk memegang (memiliki) buku tersebut tetapi tanpa
wewenang untuk menjualnya dan pemilik hak cipta tidak menerima
pembayaran dari agen tersebut, dinyatakan merupakan pelanggaran dan,
akibatnya, tidak menghabiskan hak pemilik hak cipta. 44 1

Syarat kedua adalah bahwa pemilik HKI hams telah mengalihkan hak
milik barangnya ke pembelinya. Hal ini disebutkan dalam, misalnya, perkara
Bobbs-Merrill. 145 Dalam perkara ini, Hakim menyatakan bahwa pembeli
hams telah memperoleh hak milik penuh (full dominion) atas barang yang
dibeli. 46 Dalam perkara Platt & Munk, 147 hakim juga menyatakan bahwa
1

untuk menentukan habisnya hak, pertanyaan yang pokok adalah apakah


kepemilikan sah (lawful ownership) dari barang hak cipta telah dialihkan
kepadapembelinya. 148
DiAS, sejumlah perkara telah menambahkan syarat ketiga, yakni bahwa
penjualan barang oleh pemilik HKI hams tanpa pembatasan (restriction).
Hal ini berlaku khususnya untuk impor paralel barang paten. Dalam
perkara Holiday v. Mattheson, 49 misalnya, hakim mensyaratkan penjualan
1

hams tanpa syarat atau tanpa reservasi (reservation) agar hak pemilik paten
habis. Hal yang sama dinyatakan dalam perkara Curtiss Aeroplane & Motor
Corp. v. United Aircraft Engineering Corp. 150 Akibatnya, pemilik HKI bisa
meng-counter berlakunya prinsip Exhaustion dengan cara memberikan
syarat-syarat dalam perjanjian penjualan barangnya. 1• • Namun, perlu
15 152

144. Ibid. hlm. 852.


145. 210 U.S. 339 (1908).
146. Ibid. hlm. 350.
147. 315 F. 2d 847 (2d. Cir. 1963).
148. Ibid. hlm. 852.
149. Holiday v. Mattheson , 24 F. 185 (S.D.N.Y. 1885).
150. 266 F. 71 (2d Cir. 1920).
151. Lihat Holiday v. Mattheson, 24 F. 185 (S.D.N.Y. 1885) dimana hakim Wallace
menyatakan: "[U]nless by the conditions of the bargain the monopoly right is
impressed on the thing purchased; and if the vendor sells without reservation or
restriction, he parts with his monopoly so far as it can in any way qualify the rights of
the purchaser." Dari pernyataan ini, jelas bahwa hakim Wallace menganggap bahwa
berlakunya prinsip exhaustion bisa dihindari dengan syarat-syarat perjanjian.
152 Bandingkan denganMallenckrodt, Inc. v. Medipart, Inc., 976 F. 2d 700 (Fed. Cir. 1992)
dirnana hakim Federal Circuit menyatakan bahwa pemilik paten dapat membatasi hak

I 47
dicatat, bahwa di Singapura, tidak ada pembatasan berlakunya prinsip
Exhaustion semacam ini berkaitan dengan impor paralel di bidang hak
cipta dan merek.

3. Macam-Macam Prinsip Exhaustion


Ketika menghadapi persoalan impor paralel, negara-negara mungkin
tidak menerapkan prinsip Exhaustion pada semua situasi terjadinya
impor paralel. Keinginan untuk melindungi kepentingan pemilik HKI
mereka dari pada melindungi konsumen mereka merupakan rasio sikap
yang mereka ambil. Hal ini dicontohkan oleh posisi AS dan EU dalam
penjelasan berikut ini.
a. Prinsip National Exhaustion
Menurut Prinsip National Exhaustion, penjualan pertama (first sale)
menghabiskan HKI hanya di negara dimana penjualan pertama terjadi. 153
Dengan kata lain, hanya penjualan pertama di negara A yang dapat
menghabiskan hak di negara A; penjualan pertama di negara B tidak dapat
menghabiskan hak di negara A. Jadi, apabila penjualan pertama barang X
terjadi di negara A, pemilik HKI di negara A tidak dapat melarang impor
paralel barang tersebut dari negara lain. Namun, pemilik HKI di negara A
dapat melarang impor paralel barang yang dijual pertama kali di negara B.
Pendekatan Hukum Hak Cipta AS berkaitan dengan persoalan
impor paralel sebelum tahun 2013, yakni sebelum keluarnya putusan
Mahkamah Agung AS dalam perkara Kirtsaeng v. John Wiley & Sons,
Inc. 154 memberikan contoh penerapan Prinsip National Exhaustion. Hal
ini digambarkan dalam perkara Columbia Broadcasting System Inc. v.
Scorpio Music Distributors Inc. 155 Dalam perkara ini, CBS memiliki hak
cipta rekaman suara di AS. CBS-Sony Jepang telah melisensikan produksi
pembeli untuk menggunakan alat kesehatan yang dipatenkan hanya pada penggunaan
sekali dan memutuskan bahwa yang melanggar pembatasan tersebut bertanggung
jawab atas pelanggaran paten tersebut. Lihatjuga B. Braun Med., Inc. v. Abbott Lab.,
124 F. 3d 1419, 1426 (Fed. Cir. 1997).
153 William A.S., "International Exhaustion of Patent Rights Doctrine: Is Japan's Move
a Step Forward or Back from the Current Harmonization Effort?" (1998) 7 D.C.L.J.
Int'l L. & Prac. 327, hlm. 331.
154 133 S.ct. 1351 (2013).
155 569 F. Supp. 47 (ED Pa. 1983) aff'd without opinion 738 F. 2d 424 (3d Cir. 1984).

48 I
dan penjualan produk rekaman suaranya di Filipina kepada Vicor Music
Corporation. CBS (AS) menyetujui perjanjian lisensi tersebut. Scorpio
membeli produk rekaman suara tersebut di Filipina dan kemudian, tanpa
izin dari CBS, mengimpomya ke AS. CBS menggugat dengan menyatakan
bahwa Scorpio telah melanggar s.602(a)156 of UU Hak Cipta AS 1976 (the
Copyright Act 1976). Scorpio menyangkal dengan mengatakan bahwa dia
berhak menggunakan alasan prinsip Exhaustion yang tercantum dalam
s.109(a) 157 UU Hak Cipta AS. Namun, pengadilan menyatakan bahwa
penjualan pertama (first sale) produk rekaman suara yang terjadi di Filipina
tidak menghabiskan hak CBS di AS dan menyatakan bahwa s.109(a) hanya
berlaku pada produk yang secara sah dibuat dan dijual di AS.158
Beberapa pengadilan berikutnya mengikuti putusan Scorpio.159 BMG
Music v. Perez, 160 misalnya, memperkuat reasoning pengadilan dalam
Scorpio. Quality King Distributors, Inc. v. L'anza Research International
(L'anza) juga secara implisit menerapkan Prinsip National Exhaustion.
MahkamahAgung AS dalam perkara L'anza ini menyatakan bahwa prinsip
Exhaustion dalam, s.109(a) UU Hak Cipta AS tidak berlaku untuk "any
copy" tetapi hanya berlaku untuk suatu copy karya yang "lawfully made

156 Section 602(a) menyatakan: "Importation into the United States without the authority
of the owner of the copyright under this title of copies or phonorecords of a work
that have been acquired outside the United States is an infringement of the exclusive
right to distribute copies or phonorecords under section 106, actionable under section
501."
157 S. 109(a) menyatakan: "Notwithstanding the provision of section 106(3), the owner
of a particular copy or phonorecord lawfully made under this title, or any person
authorised by such owner, is entitled, without the authority of the copyright owner, to
sell or otherwise dispose of the possession of that copy or phonorecord."
158 569 F. Supp. 47, him. 49.
159 Beberapa perkara hak cipta telah mengikuti alasan dalam perkara Scorpio. For
example: Hearst Corporation v. Stark 639 F. Supp., 970 (N.D. Cal. 1986); T.B. Harms
Company v. JEM Records, Inc., 655 F. Supp. 1575 (D.N.J. 1987); BMG Music v.
Perez, 952 F. 2d 318 (9th Cir. 1991), cert. Denied, 112 S. Ct. 2997 (192); and Parfums
Givenchy v. Drup Emporium, Inc., No. CV-92-4206 MRP, 1992 U.S. Dist. LEXIS
18328 (C.D. Cal. Nov. 23, 1992).
160 952 F. 2d 318 (9th Cir. 1991), cert. Denied, 112 S. Ct. 2997 (1992). Dalam perkara ini,
BMG mempunyai hak cipta atas rekaman suara. BMG telah melisensikan pembuatan
dan penjualan rekaman suaranya di banyak negara. Perez membeli produk rekaman
suara tersebut di Filipina dan mengimpornya ke AS. Perkara ini masuk ke pengadilan
Ninth Circuit.

I 49
under this title".161 Jadi, larangan impor yang tercantum dalam s.602(a)162
berlaku bagi copy karya yang tidak secara sah dibuat menurut UU Hak
Cipta AS seperti yang secara sah dibuat di luar negeri menurut hukum
negara luar.163 Pernyataan ini menunjukkan bahwa, menurut Pengadilan,
tempat pembuatan copy karya hams di AS agar prinsip Exhaustion menurut
s.109(a) berlaku. Penafsiran ini diperkuat oleh pengadilan dalam perkara
Omega, S.A v. Costco Wholesale Corp 16415aa dimana Pengadilan Banding
AS untuk Ninth Circuit, dengan menunjuk perkara L'anza, memutuskan
bahwa pemilik hak cipta mempunyai hak untuk mencegah impor paralel
copy karya yang dibuat dan dijual pertama kali di luar AS.165158h
Perhatian kepada perlindungan kepentingan ekonomi pemilik hak
cipta merupakan rasio dari penerapan Prinsip National Exhaustion di
AS. Dalam perkara Scorpio, 166 misalnya, pengadilan menyatakan bahwa
perlindungan hukum hak cipta AS tidak berlaku secara ekstraterritorial.16 7
Akibatnya, prinsip Exhaustion dalam s.109(a) tidak dapat digunakan
oleh pemilik copy karya yang dibuat dan dijual di luar wilayah AS. Hal
demikian ini terlepas dari apakah pemilik hak cipta AS telah menerima
royalti dari penjualan di luar negeri atau tidak. Dengan kata lain, walaupun
pemilik hak cipta telah menerima royalti, pemilik hak cipta masih berhak
melarang importasi copy karya tersebut ke AS. Dengan pernyataan tersebut,
pengadilan sebenarnya telah memberikan pemilik hak cipta AS kesempatan
161 Ibid. hlm. 147.
162 Section 602(a) menyatakan: "Importation into the United States without the authority
of the owner of the copyright under this title of copies or phonorecords of a work
that have been acquired outside the United States is an infringement of the exclusive
right to distribute copies or phonorecords under section 106, actionable under section
501."
163 Ibid. hlm. 147.
164· 541 F.3d 982 (9th Cir. 2008).
165· Untuk pembahasan argumen yang menyanggah rasio yang diberikan dalam perkara
tersebut, lihat Brooks S., "Battling Gray Markets Through Copyright Law: Omega,
S.A. v. Costco Wholesale Corporation" (2010) B.Y.U.L. Rev. 19. Lihatjuga pembahasan
tentang kasus ini dalam Diepiriye A. Anga, "Intellectual Property Without Borders?
The Effect of Copyright Exhaustion on Global Commerce," (2014)10 B.Y.U. Int'/ L.
& Mgmt. Rev. 53.
166 569 F. Supp. 47 (ED Pa. 1983).
167 Pengadilan ini menyatakan: "The protection afforded by the United States Code does
not extend beyond the borders of this country... ": ibid. hlm. 49.

50
untuk memperoleh royalti dua kali ("double royalties"), yakni royalti dari
penjualan di luar negeri dan royalty yang bisa dikenakan untuk importasi
copy karya tersebut ke AS. Jadi, putusan pengadilan dalam perkara Scorpio
menyiratkan adanya perhatian kepada perlindungan kepentingan ekonomi
pemilik hak ciptaAS. 168
Perhatian tersebut di atas juga dinyatakan secara jelas dalam perkara
Parfums Givenchy, Inc. v. Drug Emporium. 169 Pengadilan dalam perkara
ini memutuskan hal yang sama dengan putusan dalam Scorpio. Lebih
dari itu, pengadilan menambahkan bahwa mencegah pemilik hak cipta
AS untuk bisa melarang importasi copy karya yang secara sah dibuat
dan dijual di luar AS berarti "to deprive the U.S. copyright holders of the
power to authorise or prevent imports of the copies once the copies are
sold abroad". 170 Menurut pengadilan, hal ini berarti akan menghilangkan
kesempatan bagi pemilik hak cipta untuk memperoleh "full value of
each copy" yang dijual dalam wilayah AS. 171 Sayangnya, pengadilan
gagal menjelaskan arti "full value". Menurut Penulis, maksud pengadilan
adalah bahwa memperbolehkan copy karya asing untuk bersaing dengan
copy karya lokal akan menghilangkan kemampuan bagi pemilik hak
cipta AS untuk menentukan atau mempertahankan harga di pasar AS.
Jadi, terlepas dari faktor-faktor yang lain, pemyataan pengadilan tersebut

168 Perhatian pengadilan dalam perkara Scorpio terhadap kepentingan ekonomi pemilik
hak dapat juga disimpulkan dari pemyataannya bahwa membolehkan importasi tanpa
izin akan menjadikan pemilik hak tidak bisa mengontrol copy karya yang masuk
pasar AS yang bersaing dengan copy yang secara hukum dibuat dan didistribusikan
menurut hukum hak cipta AS: ibid.
169 38 F. 3d 477 (9th Cir. 1994), cert. Denied 115 S. Ct. 1315 (1995). Dalam perkara
ini, Givenchy France memproduksi parfum dalam kotak-kotak yang mencantumkan
desain-desain hak cipta. Givenchy telah menjual haknya di AS kepada penggugat,
anak perusahaan yang mayoritas sahamnya dia miliki, yang kemudian menggugatnya
karena Givenchy telah melakukan importasti tanpa izin produk parfum dalam kotak­
kotak tersebut yang mencantumkan desain-desain yang secara hukum dibuat dan
dijual di luar AS.
170 Ibid. hlm. 481.
171 Pengadilan ini menyatakan: "Section 602(a) in effect gives 106(3) extraterritorial
scope and ensures that a U.S. copyright owner will gain the full value of each copy
sold in the United States, by preventing the unauthorized importation of copies
sold abroad from being used as a means of circumventing the copyright owners
distribution rights in the United States": ibid.

I s1
memungkinkan pem.ilik hak cipta untuk menetapkan harga pada tingkat
yang bisa merugikan konsumen di AS. Namun, dengan keluarnya putusan
Mahkamah Agung AS dalam perkara Kirtsaeng v. John Wiley & Sons,
Inc, 172 maka hukum hak cipta AS telah beralih ke Prinsip International
Exhaustion. Pengadilan ini menyatakan bahwa selama suatu karya dibuat
secara sah walaupun di luar AS dan sudah dijual pertama kali walaupun di
luar AS, maka prinsip fi.rst sale atau exhaustion berlaku.
Di bidang paten, keputusan Pengadilan Tinggi Federal Circuit AS
dalam perkara Jazz Photo Corp. v. International Trade Commission 173
menerapkan prinsip National Exhaustion. Dalam perkara Jazz Photo, 174
Fuji Photo Film Co. mem.iliki beberapa paten untuk beberapa invensi
dalam kamera sekali pakai (single-use). 175 Kamera itu dijual di AS dan
dijual di luar negeri oleh pemegang lisensi Fuji. Fuji ingin bahwa camera
tersebut tidak digunakan lagi. Namun, ada sebuah perusahaan di Cina yang
melakukan refurbish sejumlah besar kamera tersebut yang dijual di Cina
untuk digunakan lagi. Tergugat memperoleh kamera yang di-refurbish
tersebut dan mengimpornya ke AS untuk dijual. Walaupun Pengadilan
Federal Circuit menyatakan bahwa tindakan refurbish oleh perusahaan
Cina merupakan tindakan reparasi yang diperbolehkan, namun Pengadilan
memutuskan bahwa tergugat tidak dapat mengimpornya di AS. Pengadilan
menyatakan:

United States patent rights are not exhausted by products of foreign


provenance. To invoke the protection of the fi.rst sale doctrine, the
authorized fi.rst sale must have occurred under the United States patent
... Our decision applies only to [cameras] for which the United States
patent right has been exhausted by fi.rst sale in the United States. 176

172. 133 S.ct. 1351 (2013).


173 264 F. 3d 1094 (Fed. Cir. 2001), cert. denied, 122 S. Ct 2644 (2002).
174 264 F. 3d 1094, 1105 (Fed. Cir. 2001).
175. Kamera tersebut juga dikenal dengan nama "lens-fitted film packages". Lihat 264 F.
3d 1094 (Fed. Cir. 2001).
176. 264 F. 3d 1094, 1105 (Fed. Cir. 2001).

s2 I
Jelas bahwa Pengadilan dalam perkara Jazz Photo177 menerapkan
prinsip National Exhaustion. Sayangnya, Pengadilan dalam perkara ini
tidak menjelaskan alasannya. Dalam perkara impor paralel barang paten
lainnya, yakni, Univis Lens178 pengadilan mensyaratkan bahwa pemilik
paten harus telah menerima kompensasi dari patennya sebelum haknya
habis (exhausted). Dalam perkara Jazz Photo,179 tidak ada bukti bahwa
pemilik paten yakni Fuji Photo Film Co tidak menerima pembayaran dari
penjualan pertama barang patennya di luar negeri. Jadi, sebenarnya, telah
terpenuhi syarat bahwa hak Fuji sudah habis setelah penjualan barang
patennya di Cina. Namun, hakim tidak menyatakan bahwa hak Fuji telah
habis. Hal ini berarti Pengadilan dalam Jazz Photo telah memberikan
pemilik paten hak control terhadap arus barang patennya walaupun pemilik
paten telah menerima kompensasi dari penjualan barang patennya di luar
negeri. Ini berarti bahwa, seperti putusan dalam perkara impor paralel hak
cipta Scorpio, 180 putusan daalam Jazz Photo181 telah memberikan pemilik
paten kesempatan untuk memperoleh royalti dua kali (double royalties). Ini
membuktikan adanya keinginan Pengadilan untuk melindungi kepentingan
ekonomi pemilik paten AS.

b. Prinsip International Exhaustion


Prinsip International Exhaustion berarti bahwa HK.I tidak memberikan
kepada pemiliknya hak untuk mengontrol penanganan (dealing) selanjutnya
atas produk HKI-nya setelah produk tersebut dijual di pasar dimana saja di
dunia oleh pemilik HK.I atau atas persetujuannya. 182 Misalnya, apabila A
mempunyai HKI untuk suatu produk di negara B, C, D, dan E, penjualan
pertama dari produk tersebut di negara B menghabiskan hak Pemilik HKI
di semua negara tersebut. Tidak penting apakah penjualan pertama terjadi

177. 264 F. 3d 1094 (Fed. Cir. 2001).


178. 316 U.S. 241 (1942).
179. 264 F. 3d 1094, 1105 (Fed. Cir. 2001).
180. 569 F. Supp. 47 (ED Pa. 1983).
181. 264 F. 3d 1094, 1105 (Fed. Cir. 2001).
182. Lihat Egli P., dan Kokott J., "Sebago Inc. and Ancienne Maison Dunois & Fils SA v.
GB-Unic SA, Case C-173/98, Court of Justice of the European Communities, 1 Juli,
1999" (2000) 94 A.J.I.L. 386.

I 53
di negara B, C, D, atau E; penjualan pertama di salah satu negara tersebut
menghabiskan hak kontrol di negara-negara yang lain.
Di bidang hak cipta, putusan Mahkamah Agung AS pada tanggal
29 Maret 2013 dalam perkara Kirtsaeng v. John Wiley & Sons, Inc, 183
menerapkan Prinsip International Exhaustion. Dalam Kirtsaeng,
pengadilan ini memutuskan bahwa geogra:fi tidak membatasi dianggapnya
suatu karya dibuat secara sah menurut hukum hak ciptaAS (lawfully made
under this title). Selama suatu karya dibuat secara sah walaupun di luar AS
dan sudah dijual pertama kali walaupun di luar AS, maka prinsip first sale
atau exhaustion berlaku. Dengan putusan ini, nampak ada pergeseran posisi
hukum hak ciptaAS terhadap impor paralel dari yang sebelumnya menganut
prinsip National Exhaustion ke prinsip Internastional Exhaustion. Namun,
bertahannya posisi barn ini disangsikan akan berlangsung lama karena
Mahkamah Agung dalam perkara ini hanya menekankan pada interpretasi
undang-undang (statutory interpretation) yang menyatakan bahwa
Kongress AS tidak menginginkan istilah "lawfully made under this title"
pada S. 106(3) UUHCAS 1976 membedakan antara copy karya yang dibuat
di AS dan yang dibuat di luar AS. Bahkan pernah dikhawatirkan bahwa
penerapan prinsip International Exhaustion di bidang hak cipta di AS akan
membuat AS tidak konsisten dengan komitmennya dalam Trans Pacific
Partnership Agreement (TPP) dan kesepakatan-kesepakatan perdagangan
bebas lain seperti U.S.-Jordan Free Trade Agreement dan U.S.-Morocco
Free Trade Agreeement yang memberikan hak kepada pemegang hak
cipta untuk melarang impor paralel. 184 Namun, berkaitan dengan TPP,
kekhawatiran tersebut tidak ada lagi karena TPP, yang disepakati pada
tanggal 4 Februari 2016 di Auckland Selandia barn, akhirnya netral
terhadap impor paralel. 185
Berkaitan dengan impor paralel barang merek, pendekatan AS
memberikan contoh penerapan prinsip International Exhaustion. Namun,

183. 133 S.ct. 1351 (2013).


184. Mary LaFrance, "Using Incidental Copyrights to Block Parallel Imports: A
Comparative Perspective," (2013) 25 I.P.J. 149, hlm. 159 dan 160.
185. Pasal 18.11 TPP menyatakan: "Nothing in this Agreement prevents a Party from
determining whether or under what conditions the exhaustion of intellectual property
rights applies under its legal system."

54
AS membatasi penggunaan prinsip ini untuk beberapa situasi. Dengan kata
lain, AS menerapkan prinsip International Exhaustion secara terbatas.
Pertama, prinsip ini berlaku apabila pengguna merek AS tidak
mempunyai goodwill yang independen dari goodwill pemilik merek di luar
negeri. Ini merupakan putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara A
Bourjois & Co. v. Katzel, 186 yang membatalkan putusan Second Circuit's
dalam perkara yang sama.
Second Circuit dalam perkara Katzel 187 menerapkan prinsip
International Exhaustion. Perusahaan Perancis, A Bourjois & Cie. dan E.
Wertheimer & Cie memproduksi bedak wajah merek "Java" dan "Bourjois"
di Perancis dan menjualnya di AS. Pada tahun 1913, kedua perusahaan
Perancis tersebut menjual perusahaannya di AS bersama dengan goodwill­
nya dan kedua merek terdaftarnya kepada penggugat yakni A. Bourjois &
Co., Inc., perusahaan di New York.188 Penggugat membeli dan mengimpor
bedak wajah tersebut dari Perancis, kemudian menjualnya dalam kemasan
kotak. Penggugat telah mengeluarkan banyak uang untuk periklanan
sehingga bisnis ini berkembang secara pesat dan publik mengetahui
bahwa produk tersebut berasal dari penggugat. Tanpa ijin penggugat,
Anna Katzel mengimpor produk asli yang sama dari Perancis ke AS.189
Berpedoman kepada 3 (tiga) perkara sebelumnya, 190 Pengadilan Second
Circuit memutuskan bahwa tergugat, Anna Katzel, mempunyai hak untuk
mengimpor produk tersebut dan menjual di AS dengan merek yang sama
karena merek secara nyata menunjukkan asal muasal barang tersebut.19 1

186. 260 U.S. 689 (1923).


187. A. Bourjois & Co.v.Katzel, 275 F.539 (2d Cir. 1921).
188. Ibid. hlm. 539.
189. Ibid. hlm.540.
190. LihatApollinaris Co.Ltd., v.Scherer, 27 F.18 ( C.C.S.D.N.Y.1886); Russian Cement
Co.v.Frauenhar, 133 F. 518 (2d Cir.1904); Gretsch v.Schoening, 238 F.780 (2d Cir.
1916).Tiga perkara ini memutuskan bahwa pemilik merek AS tidak dapat mencegah
impor paralel barang bermerek sama yang asli yang diproduksi di luar negeri karena
fungsi utama merek adalah untuk menunjukkan asal barang.
191. Pengadilan ini menyatakan: "Trade-marks... are intended to show without any time
limit the origin of the goods they mark, so that the owner and the public may be
protected against the sale of one mans goods as the goods of another man. If the
goods sold are the genuine goods covered by the trade-mark, the rights of the owner
of the trade-mark are not infringed": 275 F. 539 , 543.

I 55
Putusan Pengadilan Second Circuit menerapkan prinsip International
Exhaustion karena penjualan di Perancis menghabiskan hak pemilik merek
di AS. Putusan ini sangat luas, karena, sebagaimana tersebut di atas, merek
di AS telah dijual kepada Penggugat, dan, pemilik merek di AS, yakni
Penggugat, sepenuhnya independen dari pemilik merek di Perancis. 192
Putusan Pengadilan Second Circuit itu kemudian dibatalkan oleh
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara yang sama. 193 Mahkamah
Agung memutuskan bahwa putusan Pengadilan Second Circuit adalah
salah karena pemilik merek asing, perusahaan di Perancis, tidak lagi
mempunyai merek di AS; 194 dia sudah menjual mereknya kepada pihak
lain di AS. Putusan Mahkamah Agung ini tidak menegasikan kemungkinan
bahwa prinsip International Exhaustion bisa berlaku pada situasi-situasi
yang lain. Dengan kata lain, putusan Mahkamah Agung ini hanya berakibat
adanya pembatasan penerapan prinsip ini di AS.
Kedua, prinsip International Exhaustion berlaku ketika baik merek di
AS maupun di luar AS dimiliki oleh orang yang sama atau pemilik merek
di AS dan pemilik merek di luar AS saling terkait. Hal ini disebutkan dalam
Customs Service Regulation 133.21 (1972). Dalam rangka melaksanakan
s.526 195 dari TariffAct, Customs Service mengeluarkan peraturan tersebut
yang melarang importasi tidak sah dari barang-barang merek yang
diproduksi di luar AS, tetapi dengan 2 (dua) pengecualian, salah satunya

192. Lihat Weil Ceramics and Glass, Inc. v. Dash, 878 F. 2d 659, 666 (3d Cir. 1989)
(menyatakan bahwa perkara Katzel melibatkan situasi yang khusus, yakni: pemilik
merek AS independen dari produsen di luar negeri, telah memperoleh hak atas merek
dari produsen tersebut berdasarkan perjanjian, melakukan kontrol atas kualitas produk
di AS, tetapi tidak bisa mengontrol atas produk yang dijual di luar negeri).
193. A Bourjois & Co. Inc. v. Katzel, 260 U.S. 689 (1923).
194. Mahkamah Agung ini menyatakan: "It is said the trademark here is that of the French
house and truly indicates the origin of the goods. But that is not accurate. It is the
trademark of the plaintiff only in the U.S. and indicates in law, and, it is found, by
public understanding, that the goods come from the plaintiff although not made by it'':
ibid., hlm. 692.
195. Bagian dari Section ini menyatakan: "It shall be unlawful to import into the United
States any merchandise of foreign manufacture if such merchandise.....bears
a trademark owned by a citizen of, or by a corporation or association created or
organized within, the United States, and registered in the Patent and Trademark
Office by a person domiciled in the United States.. . unless written consent of the
owner of such trademark is produced at the time of making entry."

56
adalah pengecualian "common control". Pengecualian ini mempunyai arti
bahwa impor paralel dibolehkan apabila baik merek di AS dan merek di
luar AS dimiliki oleh orang atau perusahaan yang sama, atau pemilik merek
di AS dan pemilik merek di luar AS adalah induk dan anak perusahaan atau
mereka tunduk kepada kepemilikan atau kontrol bersama." 196
Pengaturan prinsip international exhaustion dalam Peraturan Bea
Cukai AS dalam situasi yang khusus tersebut kemudian dikuatkan dalam
perkara K Mart Corp. v. Cartier, lnc.197 dalam perkara ini, Mahkamah
Agung AS menyatakan bahwa pengecualian "common control" adalah
tepat.
Analisa tersebut di atas menunjukkan bahwa penerapan prinsip
international exhaustion di AS untuk merek telah dibatasi. Bahkan lebih
dibatasi oleh beberapa perkara sesudahnya dengan konsep "materially
different''. Intinya, perkara-perkara itu memutuskan bahwa pemilik merek
dapat melarang impor paralel barang-barang merek yang "berbeda secara
material" dengan barang-barang merek yang dijual secara sah di AS.198
Alasan pengadilan dalam perkara-perkara tersebut adalah bahwa perbedaan
produk dapat menyebabkan kebingunan kepada konsumen mengenai asal
atau sumber produk dan, akibatnya, dapat merugikan goodwill pemilik

196. 19 CFR s. 133.2(d) dikutip dalam Chisum D.S. dan Jacobs M.A., Understanding
Intellectual Property Law, Matthew Bender & Co, New York, 1992, him. 5--268.
197. 486 U.S. 281 (1988).
198. Lihat Ferrero U.SA., Inc. v. Ozak Trading, Inc., 753 F. Supp. 1240, 1244 (D.N.J.),
aff'd, 19 U.S.P.Q. 2d (BNA) 1468 (3d Cir. 1991), rev'd on other grounds, 953 F.
2d 44 (3d Cir 1991) (impor paralel permen TIC TAC dinyatakan merupakan
pelanggaran merek karena permen tersebut secara material berbeda dengan permen
TIC TAC yang dijual oleh distributor yang sah, karena, antara lain, label permen yang
diimpor tersebut tidak mencantumkan informasi nutrisi; menggunakan bahasa Inggris
British dan mengandung 2 kalori sedangkan produk dari distributor yang sah hanya
mengadung 1,5 kalori); Societe des Products Nestle, SA. V. Casa Helvetia, Inc., 982
F. 2d 633, 642-643 (1" Cir. 1992) (impor paralel cokelat dilarang karena produk yang
diimpor berbeda secara material dengan produk yang dijual oleh penggugat: 5% lebih
banyak mengandung lemak susu, terbuat dari sirup gula, bukan gula kristal); Helene
Curtis, Inc. v. National Wholesale Liquidators, Inc., 890 F. Supp. 152, 159 (E.D.N.Y.
1995) (barang impor paralel dilarang karena mereka mengandung bahan yang tidak
memenuhi syarat-syarat kesehatan negara bagian New York dan California); Grupo
Gamesa SA. De C. V. v. Dulceria El Molino, Inc., 39 U.S.P.Q.2d (BNA) 1531 (C.D.
Cal. 1996) (impor paralel kue dan biskuit dinyatakan illegal karena mereka sangat
berbeda dengan kue dan biskuit yang dijual oleh distributor yang sah).

I 57
merek. Hal penting yang perlu dicatat dalam hal ini adalah bahwa tidak
ada aturan yang konsisten tentang standar "materiality" dari perbedaan
produk sehingga impor parallel dapat dilarang. Akibatnya, pengadilan
dapat menggunakan konsep "perbedaan yang material" ("materially
different'') secara luas sehingga beberapa impor parallel dapat dengan
mudah dilarang. 199 Hal ini berarti bahwa konsep "perbedaan yang material"
("materially different'') dapat dengan mudah digunakan untuk menghindari
penerapan prinsip international exhaustion.
Berkaitan dengan impor paralel barang-barang paten, sebelum
perkara Jazz Photo Corp. v. International Trade Commission, 200 beberapa
pengadilan AS telah mengadopsi prinsip international exhaustion yang
terbatas. Sebelum perkara Jazz Photo, 201 prinsip international exhaustion
berlaku pada situasi-situasi tertentu. Pertama, prinsip ini berlaku apabila
penjualan pertama (first sale) tidak bersyarat (unconditional). Ini
dinyatakan, misalnya, dalam perkara Holiday v. Mattheson.202 Penggugat
mempunyai paten di AS dan menjual produk patennya di Inggris.
Tergugat membeli barang di Inggris dan membawanya ke AS. Pengadilan
memutuskan bahwa penjualan di Inggris telah menghabiskan hak paten
penggugat di seluruh dunia. Pengadilan menyatakan:

When the owner sells an article without any reservation respecting


its use, or the title which is to pass, the purchaser acquires the whole
right of the vendor in the thing sold: the right to use it, to repair it, and
to sell it to others; ... The presumption arising from such a sale is that
the vendor intends to part with all his rights in the thing sold, and that

199. Lihat, misalnya, Martin '.s Herend Imports, Inc. v. Diamond & Gem Trading USA, Co.,
112 F. 3d 1296, 1302 (5th Cir. 1997) cfunana pengadilan menyatakan bahwa perbedaan
pada bentuk, pola, dan warna antara area yang diimpor seeara paralel dan area yang
sah adalah material karena "consumer choices for such artistic pieces are necessarily
subjective or even fanciful, depending on each consumer'.s personal artistic tastes".
Pengadilan di dalam perkara ini juga menyatakan bahwa apakah barang impor paralel
dan barang yang sah adalah sama kelas dan kualitasnya atau tidak adalah tidak
relevan. Dalam perkara ini, jelas bahwa pengadilan memberikan prioritas kepada
perlindungan goodwill pemilik merek.
200. 264 F. 3d 1094 (Fed. Cir. 2001), cert. denied, 122 S. Ct 2644 (2002).
201. Ibid.
202. 24 F. 185 (S.D.N.Y. 1885).

ss I
the purchaser is to acquire an unqualified property in it. (Emphasis
added).203

Pengadilan menyatakan suatu prinsip penting dalam perkara ini, yakni


anggapan keinginan pemilik paten untuk melepaskan seluruh haknya
ketika menjual barang patennya dan bahwa pembeli memperoleh hak milik
atas barang tersebut. Namun, jelas bahwa anggapan pengadilan hanya
berlaku apabila penjualan oleh pemilik adalah tanpa syarat (without any
reservation).204
Kedua, sebelum perkara Jazz Photo, prinsip international exhaustion
hanya berlaku apabila penjual barang paten di luar AS mempunyai hak
untuk menjual barang tersebut di AS. Hal ini dinyatakan dalam perkara
Sanofi, S.A. v. Med. Tech Veterinarian. 205 Menurut pengadilan dalam
perkara Sanofi, prinsip exhaustion berlaku apabila penjual di luar AS
mempunyai wewenang kontraktual untuk menjual di AS. 206 Selanjutnya,
Sanofi memutuskan bahwa ketika pemilik paten memberikan lisensi
eksklusif kepada seseorang untuk menjual produknya di AS, penjual
produk yang sama di luar AS kehilangan wewenang untuk menjual produk
tersebut di AS. 207 Akibatnya, penerima lisensi eksklusif tersebut dapat
melarang impor barang tersebut oleh pihak ketiga dari luar negeri ke
dalam pasar AS. Pengadilan beralasan bahwa memperbolehkan importasi

203 Ibid.
204 Putusan dalam perkara Holiday diikuti hakim dalam perkara Curtiss Aeroplane
& Motor Corp. v. United Aircra# Engineering Corp, 266 F. 71 (2d Cir. 1920).
Menyandarkan pada putusan dalam Holiday, pengadilan Second Circuit menyatakan:
"If the vendors patent monopoly consists of foreign and domestic patents, the sale
frees the article from the monopoly of both his foreign and his domestic patents,
and where there is no restriction in the contract of sale the purchaser acquired the
complete title and full right to use and sell the article in any and every country."
(Tekanan oleh Penulis). Lihat Curtiss, ibid. hlm. 78.
205 565 F. Supp. 931 (D. N. J. 1983). Dalam perkara ini, Sanofi memiliki paten AS
untuk obat acerpromazine maleate, yang dibolehkan hanya untuk digunakan pada
kedokteran hewan di AS. Sanofi memberikan lisensi eksklusif kepada American
Home untuk menjual produk tersebut di AS. Sanofi juga menjual produk tersebut di
Eropa yang oleh tergugat kemudian dibeli dan diimpor ke AS. Sanofi dan American
Home kemudian menggugat.
206 565 F. Supp. 931, 940 (D. N. J. 1983)
207 565 F. Supp. 931, hlm. 940 - 941.

I 59
berarti menakut-nakuti pengalihan dan pemberian lisensi hak-hak paten
karena hak-hak tersebut menjadi kurang berharga dan lebih rentan akan
halangan dengan transaksi-transaksi yang dibuat di luar AS oleh pemilik
paten yang sebelumnya telah mengalihkan hak patennya.208
Rasio penerapan prinsip international exhaustion yang terbatas di
AS adalah sama dengan rasio penerapan prinsip national exhaustion
sebagaimana dibahas di atas, yakni untuk melindungi kepentingan
ekonomi pemilik HKI negaraAS. Ini sesuai dengan posisi negara ini dalam
arena internasional yang menentang prinsip international exhaustion.
Untuk melindungi kepentingan pemilik HKI negara AS selama negosiasi
Perjanjian TRIPs, AS menentang prinsip international exhaustion. 209
Demikian juga, pada W.l.P.O Diplomatic Conference on Certain Copyright
and Neighbouring Rights Questions pada tahun 1996, AS mengusulkan
agar prinsip national exhaustion atau regional exhaustion dimasukkan
dalam Berne Protocol.210 Untuk melindungi kepentingan pemilik HKI-nya,
AS juga memberikan reaksi negatif terhadap legislasi Australia dan New
Zealand yang membolehkan impor paralel.211 Namun, di dalam negeri AS
sendiri, di bidang hak cipta, dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung
AS dalam perkara Kirtsaeng v. John Wiley & Sons, lnc,212 pada Maret
2013 tersebut di atas, yang menerapkan prinsip Internastional Exhaustion,
pengadilan mulai lebih memperhatikan kepentingan konsumen dari

208 Ibid. hlm. 941. Putusan dalam Sanofi. diikuti oleh PCI Parfums ET Cosmetiques
International and Campbell & Thiselton (USA) Ltd., v. Perfurmania, Inc., 1995 U.S.
Dist. LEXIS 3462.
209 Chiappetta V., "The Desirability of Agreeing to Disagree: The WTO, TRIPs,
International IP Exhaustion and a Few Other Things," (2000) 21 Mich. J. Int'l L. 333,
hlm. 351.
210 Donnelly D.E., Op.Cit., hlm. 498. Namun, proposal ini kemudian ditolak oleh sebuah
koalisi yang dipirnpin oleh delegasi Australia, Kanada dan Selandia Baru dan tidak
muncul dalam dra� fi.nal treaty tersebut. Ibid.
211 Pada tahun 1999, the United States Trade Representative (USTR) menempatkan
Australia dan Selandia Baru pada Special 301 watch list karena dua negara tersebut
telah mengendorkan larangan irnpor paralel produk hak cipta. USTR, "USTR
Announces Results of Special 301 Annual Review," http://www.usconsulate.org.hk/
uscn/trade/ipr/1999/0430.htrn, hlm. 12 dan 16.
212. 133 S.ct. 1351 (2013).

60 I
pada kepentingan ekonom.i pem.ilik hak cipta. 213 Walaupun dem.ikian,
dengan putusan tersebut belum tentu sikap AS terhadap penerapan
prinsip International Exhaustion secara intemasional akan berubah dari
menentang menjadi mendukung. Hal ini terbukti dengan adanya usaha AS
untuk memasukkan klausula khusus dalam TPP yang memberikan kepada
pemegang hak cipta hak untuk melarang impor paralel214 walaupun usaha
AS ini akhimya gagal karena TPP disepakati pada tanggal 4 Februari 2016
tanpa klausula tersebut.

c. Prinsip Regional Exhaustion


Menghadapi persoalan barang-barang impor paralel yang asalnya
dijual di luar European Economic Area (EEA), 215 posisi Uni Eropa
merupakan contoh penggunaan prinsip regional exhaustion. Dalam hal
ini, European Court of Justice (ECJ) mengadopsi apa yang disebut dengan
the Community or European Economic Area - Wide Exhaustion Principle.
Arti dari prinsip ini adalah bahwa suatu penjualan yang sah (lawful sale)
di EEA menghabiskan HKI hanya di wilayah EEA dan hanya penjualan
yang sah (lawful sale) di dalam wilayah ini yang bisa menghabiskan HKI

213 Lihat pembahasan mengenai hal ini dalam Diepiriye A. Anga, "Intellectual Property
Without Borders? The Effect of Copyright Exhaustion on Global Commerce,"
(2014)10 B.Y.U. Int'l L. & Mgmt. Rev. 53, hlm. 59.
214 Dalam draft TPP sebelumnya, ada usulan Article 4.2 yang menyatakan: "Each
Party shall provide to authors, performers, and producers of phonograms the right
to authorize or prohibit the importation into that Party's territory of copies of the
work, performance, or phonogram made without authorization, or made outside that
Party's territory with the authorization of the author, performer, or producer of the
phonogram." Lihat Derechos Digitales, "Transpacific Partnership Agreement (TPPA)
Intellectual Property Chapter Concerns, Copyright, Parallel Imports and Exhaustion
of Distribution Rights," https://www.citizen.org/documents/fPP%20Derechos%20
C%20 Parallel%20Imports%20and%20Exhaustion.pdf, (diakses tanggal 14 Oktober
2016).
215 EEA meliputi the Community, Iceland, Liechtenstein and Norway. Lihat Silhouette
International Schmied Gesellschaft mbH & Co. KG v. Hartlauer Handelsgesellschaft
mbH, Case C-355/96, (1998) ECJ CELEX LEXIS 5211, para 2.

I 61
di wilayah ini. 216• 217 Akibatnya, pemilik HKI bisa mencegah impor paralel
barang-barang yang pertama kali dijual di luar EEA.
Silhouette International Schmied Gesellschaft mbH & Co. KG v.
Hartlauer Handelsgesellschaft mbH2 18 menggambarkan bagaimana prinsip
regional exhaustion berlaku. Dalam perkara ini, Silhouette International
memproduksi kaca mata dengan merek "Silhouette" yang terdaftar di
Austria dan negara-negara lain. Silhouette menjual produknya yang
model lama (outdated model) kepada Union Trading, sebuah perusahaan
Bulgaria, dengan instruksi bahwa produk-produk tersebut dijual hanya
di Bulgaria (negara bukan anggota EEA) atau negara-negara bekas Uni
Soviet dan tidak dijual di negara-negara lain. Namun, Hartlauer membeli
produk tersebut dari Bulgaria dan kemudian mengimpornya ke Austria.
Silhouette menyatakan Hartlauer telah melanggar mereknya. 219
Intinya, ECJ menyatakan bahwa prinsip exhaustion yang tercantum
dalam Pasal 7(1 )220 dari First Council Directive 89/104/EEC of21 Desember
1988 hanya berlaku pada barang-barang yang pertama kali dijual di dalam
wilayah EEA ("put on the market in the Community"); tidak berlaku pada
barang-barang yang sebelumnya dijual di luar EEA. 221 Jadi, Silhouette bisa
mencegah impor paralel barang-barang mereknya yang dijual di Bulgaria.

216 Lihat pendapat Advocate General F.G. Jacobs in Silhouette International Schmied
Gesellscha� mbH & Co. KG v. Hartlauer Handelsgesellscha� mbH, Case C-355/96,
1998 ECJ CELEX LEXIS 5211, paras 30 dan 33.
217 Untuk pembaliasan lebih lanjut tentang prinsip exhaustion di Uni Eropa, lihat
Alexander, W., "Exhaustion of Intellectual Property Rights: Worldwide or Community
(EEA)-wide?" dalam J.J.C. Kabel and G.J.H.M. (eds), Intellectual Property and
Information Law: Essays in Honour of Herman Cohen Jehoram, Kluwer Law
International, Boston, 1998; Ammann J.M., "Intellectual Property Rights and Parallel
Imports" (1999) 26 Legal Issues of Economic Integration 91, hlm. 97-112.
218 Case C-355/96, 1998 ECJ CELEX LEXIS 6660.
219 Ibid. para 6-10.
220 Pasal 7(1) First Council Directive 89/104/EEC, 21 Desember 1988 menyatakan: "The
trade mark shall not entitle the proprietor to prohibit its use in relation to goods which
have been put on the market in the Community under that trade mark by the proprietor
or with his consent."
221. ECJ menyatakan: "[N]ational rules providing for exhaustion of trade-mark rights in
respect of products put on the market outside the EEA under that mark . . . are contrary
to Article 7(1)of the Directive." Lihat 1998 ECJ CELEX LEXIS 6660, para 18.

62
ECJ menyatakan bahwa bunyi Pasal 7(1) dari Directive tersebut
menyatakan bahwa habisnya HKI hanya terjadi apabila produk-produk
sebelumnya telah dijual dalam wilayah EEA ("put on the market in the
Community").222 Untuk memperkuat pernyataannya, ECJ menyatakan
bahwa Pasal 7(1) mengandung tujuan harmonisasi. ECJ selanjutnya
menyatakan bahwa situasi dimana beberapa negara anggota EEA dapat
mengadopsi prinsip international exhaustion sedangkan negara-negara
anggota yang lain mengadopsi prinsip community-wide exhaustion akan
menyebabkan "barriers to the free movement of goods and the freedom
to provide services". Menurut ECJ, Directive tersebut bertujuan untuk
menghilangkan dampat negatif ini dengan cara mengharmonisasikan
prinsip exhaustion dalam EEA.223 Dengan kata lain, ECJ memutuskan
bahwa Pasal 7(1) adalah suatu ketentuan untuk menyeragamkan prinsip
exhaustion yang berlaku dalam EEA, sehingga Pasal tersebut ditafsirkan
hanya membolehkan negara-negara anggota untuk menerapkan prinsip
community-wide exhaustion.224
Dalam perkembangannya, sampai setelah tahun 2009, syarat-syarat
prinsip exhaustion di EU didefinisikan secara lebih cermat melalui
interpretasi pengadilan-pengadilan EU. Misalnya, istilah "put on the market"
dalam Pasal 7(1) dari Directive ditafsirkan "dijual di pasar.m25 Artinya, jika
pemegang merek menyerahkan barang ke distributor secara gratis, maka
barang tersebut tidak dianggap telah dijual dan tidak memenuhi istilah "put
on the market." Akibatnya hak pemilik merek tidak habis sehingga bisa
melarang impor paralel. Syarat bahwa pemilik merek hams menyetujui
("with his consent") tindakan "put on the market" juga ditafsirkan. Apabila

222. 1998 ECJ CELEX LEXIS 6660, para 18.


223. Ibid. para 24 - 27.
224. Lihat pendapat Advocate General Jacobs yang menyatakan bahwa sejarah legislasi
Directive tersebut menguatkan kesimpulan tersebut: 1998 ECJ CELEX LEXIS
5211, para 32. Dia menyatakan: "The Commission's original proposal would have
imposed international exhaustion. The Commission subsequently changed its view,
and its amended proposal explicitly limited the exhaustion principle to goods which
had been put on the market in the community": ibid. Lihat juga Alexander, W dalam
J.J.C. Kabel and G.J.H.M, Op.Cit., him. 8 (membahas sejarah legislasi Pasal 7(1)
Directive).
225 CJEU judgment no. C-324/09 - L 'Oreal SA v eBay International AG, 12 July 2011.

I 63
penerima lisensi yang menjual barang merek telah melanggar perjanjian
lisensi, maka penjualan barang tersebut tidak dianggap telah disetujui
("with his consent'') oleh pemegang merek sehingga haknya belum habis.226
Juga, apabila, barang merek yang diimpor adalah barang asli yang telah
dirubah, dikeluarkan dari kemasannya, dikemas ulang, atau mereknya
dirubah, maka pemegang merek masih bisa melarang impor paralel.227
Rasio penggunaan prinsip EBA-wide exhaustion adalah juga untuk
melindungi kepentingan pemilik HKI di EEA. Rasio ini tersirat dalam
pendapat Advocate General dalam perkara Silhouette228 yang menyatakan
bahwa putusan-putusan ECJ bahwa fungsi merek sebagai tanda asal
barang (the badge of origin function) "was developed in the context of
the Community, not the world market". 229 Pernyataan tersebut menyiratkan
bahwa fungsi utama merek di Eropa berkaitan dengan barang-barang yang
diimpor dari negara ketiga adalah sebagai tanda kontrol (badge of control).
Hal ini jelas memberikan pemilik merek Eropa perlindungan yang kuat
dari impor paralel barang-barang dari negara di luar Eropa. Karena pemilik
merek tidak bersaing dengan para pelaku impor paralel, perlindungan
ini memungkinkan pemilik merek untuk melakukan diskriminasi harga
dari barang-barang mereka yang sama antara yang dijual di negara EEA
dan yang dijual di negara luar EEA. Ini berarti pemilik merek dapat
mempertahankan harga tinggi di negara-negara EEA.

F. IMP OR PARALEL DITINJAU DARI HUKUM MEREK DI


INDONESIA
Pasal 83(1) UU Merek 2016230 memberikan pemegang merek hak
untuk menggugat orang lain yang tanpa persetujuannya menggunakan

226 CJEU judgment no. C-59/08 - Copad SA v. Christian Dior Couture SA, 23 April 2009.
227 Havel, Holasek & Partners s.r.o, "Parallel Imports in The EU Law," 27 Juli 2015, http://
www.lexology.com/library/detail.aspx?g= 71bc5df8-766d-483d-96f0-ba8be5c60dcl,
(diakses tanggal 15 Oktober 2016).
228 1998 ECJ CELEX LEXIS 5211.
229 1998 ECJ CELEX LEXIS 5211, para 49.
230 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.

64 I
merek yang meniru mereknya. Namun, tidak pasti apakah impor paralel
termasuk dalam cakupan ketentuan tersebut. Pasal 83(1) menyatakan:

Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek


terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara
tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang
sejenis berupa: a. gugatan ganti rugi; dan/atau b. penghentian semua
perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.

Posisi pemegang merek ini diperkuat oleh Pasal 100. Pasal 100(1)
membebankan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal
Rp. 2000,000,000 (dua miliar rupiah) kepada orang yang dengan tanpa
hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya (sama persis)
dengan merek terdaftar milik orang untuk barang dan/atau jasa sejenis.
Pasal 100(2) membebankan pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun dan
denda maksimal Rp. 2000,000,000 (dua miliar rupiah) kepada orang yang
dengan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya (mirip)
dengan merek terdaftar milik orang lain untuk barang dan/atau jasa sejenis.
Menurut ketiga pasal tersebut, pelanggaran hak atas merek terjadi
apabila seseorang menggunakan merek yang (a) sama pada pokoknya
(mirip) atau (b) sama pada keseluruhannya (sama persis) dengan merek
orang lain yang terdaftar. Contoh (a) adalah merek "Raja Kampak" yang
mirip dengan merek terdaftar "Kampak" untuk produk ban sepeda. 231
Contoh yang lain adalah merek "Majestic" yang mirip dengan "Silver
Queen" untuk produk cokelat karena kedua produk bermerek tersebut
mempunyai kemasan yang mirip. 232

231 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta No. 431/1971 G, 16 Nopember 1972 dikuatkan
oleh MahkamahAgung dalam putusannya No. 178K/SIP/1973, 7 Mei 1973, dikutip
dalam Gautama S., Hukum Merek Indonesia, PT CitraAditya Bakti, Bandung, 1989,
hlm. 89. Putusan ini didasarkan pada Pasal 10 Undang-Undang Merek No 21 tahun
1961 yang menyatakan bahwa pemegang merek dapat mengajukan permohonan ke
Pengadilan Negeri Jakarta untuk membatalkan pendaftaran suatu merek yang "pada
pokoknya" atau "pada keseluruhannya" sama dengan mereknya.
232. Putusan Mahkamah Agung No. 2482/PDT/1991, 14 Agustus 1995, dikutip dalam
Maulana I.B., Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke Masa, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 130.

I 65
Berkaitan dengan penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya
(sama persis) dengan merek yang lain, kasus yang pernah terjadi hanya
berhubungan dengan penggunaan merek pada barang-barang yang tidak
asli. Kasus-kasus tersebut kebanyakan berkaitan dengan penggunaan
merek yang sama persis dengan merek terkenal dan digunakan pada
barang-barang tidak asli (palsu). 233 Misalnya, Mahkamah Agung Republik
Indonesia telah membatalkan pendaftaran merek "Guess", 234 "Christian
Dior"235 dan "Caxtonm36 yang digunakan untuk barang-barang yang tidak
asli tanpa persetujuan dari pemegang merek-merek terkenal tersebut. 237
Ketentuan Pasal 83(1) dan Pasal 100(1) UU Merek 2016 meniru Pasal
76(1) dan Pasal 90 UU Merek 2001, namun Pasal 83(1) dan Pasal 100(1)
UU Merek 2016 menghilangkan syarat "secara sengaja" yang diatur
dalam kedua pasal UU Merek 2001. Artinya, walaupun tanpa sengaja,
penggunaan merek tanpa ijin pemegang merek yang sah menurut UU
Merek 2016 dianggap merupakan pelanggaran merek.
Namun, menurut pendapat Penulis, impor paralel tidak dapat tercakup
dalam pengertian "menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada

233 Perkara-perkara lain berhubungan dengan penggunaan merek yang "secara


keseluruhan" sama dengan merek terkenal tetapi untuk barang yang tidak sejenis
dengan barang pemegang merek terkenal. Misalnya, Mahkamah Agung telah
membatalkan pendaftaran merek "SONY" untuk produk plastik, yang secara
keseluruhan sama dengan merek "SONY" untuk produk elektronik. Lihat putusan
MahkamahAgung No. 1489 K/PDT/1991, 22 Februari 1995, dikutip dalam Maulana
I.B, ibid., hlm. 81.
234 Putusan Mahkamah Agung No. 487 PK/PDT/1992, 30 Maret 1995, dikutip dalam
Maulana I.B, ibid., hlm. 164.
235 Putusan Mahkamah Agung No. 485 PK/PDT/1992, 20 September 1995, dikutip
dalam Maulana I.B, ibid.
236 Putusan Mahkamah Agung No. 1445 PK/PDT/1995, 16 July 1996, dikutip dalam
Maulana I.B, ibid.
237 Lihat perkara di Australia RA & A Bailey & Co. Ltd v. Boccacio Pty Ltd (1986) 6
IPR 279, dimana Young J. menyatakan bahwa hak penggunaan eksklusif yang
diberikan oleh s.58(1) Trade Marks Act 1955 kepada pemilik merek terdaftar hanya
diperbolehkan untuk mencegah penjualan di Australia barang-barang yang bukan
milik pemilik merek tersebut tetapi diberi merek milik pemilik terdaftar tersebut.
Section 58(1) menyatakan: "The registration of a trade mark . . . if valid, gives to the
registered proprietor of the trade mark the right to the exclusive use of the trade mark
in relation to goods or services in respect of which the trade mark is registered and to
obtain relief in respect of infringement of the trade mark in the manner provided by
this Act."

66
keseluruhannya" dengan merek m.ilik pihak lain sebagaimana tercantum
dalam Pasal 83(1) and 100(1) tersebut. Hal ini karena barang impor paralel
adalah asli, sehingga penempelan merek pada barang tersebut telah disetujui
oleh pemegang merek. Oleh karena itu, tepat apa yang pemah dilakukan
PT Castrol terhadap impor paralel m.inyak pelumas "Castrol". Setelah
mengetahui adanya m.inyak pelumas impor paralel bermerek "Castrol" di
Jakarta, PT Castrol Indonesia tidak menggunakan ketentuan lama Pasal
72(1) dan 81 Undang-Undang Merek 1992, 238 yang identik dengan Pasal
76(1) dan 90 Undang-Undang Merek 2001, untuk menggugat pelaku impor
paralel produk tersebut. Gunawan239 menyatakan bahwa Castrol Indonesia
tidak dapat menggunakan ketentuan-ketentuan tersebut, tetapi mereka
bisa menggunakan peraturan tertentu yang mengatur pengadaan dan
importasi m.inyak pelumas. Perusahaan tersebut mendasarkan gugatannya
khususnya pada Keputusan Presiden No 18 Tahun 1988 yang memberikan
perusahaan m.inyak negara Pertam.ina hak eksklusif untuk menyediakan
dan mengimpor m.inyak pelumas di Indonesia. Jadi, masalahnya menjadi
apakah impor paralel m.inyak pelumas tersebut disetujui oleh Pertam.ina
atau tidak, 240 bukan oleh pemegang hak atas merek Castrol atau tidak.
Pasal 1 angka 5 241 UU Merek 2016 menyatakan bahwa hak atas merek
adalah hak eksklusif untuk "menggunakan" merek atau memberikan lisensi
pihak lain untuk menggunakan merek. Sayangnya, perbuatan-perbuatan apa
yang sebenamya merupakan "penggunaan" suatu merek tidak dijelaskan
dalam Undang-Undang Merek 2016. Sampai saat ini, sejauh pengetahuan
Penulis, di Indonesia belum ada literatur yang membahas hal ini. 242 Di
negara-negara lain, pengertian "menggunakan" (use) merek di bidang
barang adalah menempelkan merek pada barang yang diperdagangkan atau

238 Undang-Undang 1992 sebagaimana diperbaiki dengan Undang-Undang Merek 1997.


239 Gunawan Swyomurcito adalah konsultan HK.I pada Swyomurcito & Co. and Rouse
& Co. International, Jakarta, Indonesia.
240 Wawancara Penulis dengan Gunawan Swyomurcito.
241 Pasal ini menyatakan: "Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya."
242 Lihat Christoph Antons, Intellectual Property Law in Indonesia, Kluwer Law
International, London, 2000, hlm. 267.

I 67
pada bungkusnya, labelnya atau dokumen yang menyertainya. Misalnya,
Pasal 45 Lanham Act AS menyatakan: "a mark shall be deemed to be in
"use" in commerce ... (1) on goods when - (a) it is placed in any manner
on the goods or their containers or the displays associated therewith or the
tags or labels affixed thereto or ... on documents associated with the goods
or their sale..." 243 Section 22 (2) UU Merek Singapura Tahun 1998 (Act 46
1998) menyatakan: "... use of a trade mark includes use in a form differing
in elements which do not alter the distinctive character of the mark in the
form in which it was registered, and use in Singapore includes applying
the trade mark to goods or to materials for the labelling or packaging of
goods in Singapore ..." 244 Akibatnya, karena yang menempelkan merek
pada barang impor paralel itu pemilik merek sendiri atau penerima lisensi
dengan persetujuan pemilik tersebut, maka pemilik merek tidak bisa
atau sulit untuk mencegah impor paralel barang tersebut. Di Australia,
Pengadilan Federal dalam Transport Tyres Sales Pty. Ltd v. Montana Tyres
Rims & Tubes Pty. Ltd245 memutuskan bahwa berdasarkan S.123 UU Merek
Australia 1995, impor paralel bukan merupakan suatu pelanggaran merek
selama penempelan merek pada barang yang diimpor itu telah mendapat
persetujuan dari pemilik merek yang sah.246
Tidak ada ketentuan dalam UU Merek 2016 (dan UU Merek-UU
Merek sebelumnya) yang memberikan hak eksklusif impor kepada
pemegang merek sebagaimana Undang-Undang Paten 2016 memberikan

243. Lihat juga Putusan Mahkamah Agung AS dalam Blue Bell, Inc v. Farah MFG. Co
(1975).
244. Lihat juga section 3 (2) Undang-Undang Merek Malaysia Tahun 1976 (sebagaimana
diperbaiki sampai 1 Januari 2006) yang menyatakan: "... (a) references to the use
of a mark shall be construed as references to the use of a printed or other visual
representation of the mark; (b) references to the use of a mark in relation to goods
shall be construed as references to the use thereof upon, or in physical or other
relation to, goods... "
245. (1999) 43 IPR 481.
246. S.123 Australia's Trade Marks Act 1995 menyatakan: ... a person who uses a
registered trade mark in relation to goods that are similar to goods in respect of which
the trade mark is registered does not infringe the trade mark if the trade mark has
been applied to, or in relation to, the goods by, or with the consent of, the registered
owner of the trade mark.

68
hak eksklusif impor kepada pemegang paten247 dan UUHC yang lama
(2002) memberikan hak eksklusif impor kepada pemegang hak cipta. 248
Andaikan UU Merek 2016 tersebut memberikan hak eksklusif impor,
maka pemegang merek di Indonesia bisa mencegah impor paralel karena
hanya pemegang merek itu sendiri yang berhak mengimpor.
Berdasarkan penjelasan di atas, sulit untuk menafsirkan bahwa
Hukum Merek di Indonesia memberikan kepada pemegang merek hak
eksklusif untuk mencegah impor paralel. Ini tidak berarti bahwa Penulis
menyatakan bahwa Hukum Merek di Indonesia menganut prinsip Badge
of Origin atau prinsip Exhaustion, karena memang tidak ada ketentuan
yang menyatakan demikian. Namun, seorang sarjana HKI dari AS, yakni
Kaehlig, mengomentari UU Merek 1992 yang posisinya berkaitan dengan
impor paralel, sebagaimana tersebut di atas, sama dengan UU Merek
2001, 249 berani berpendapat Hukum Merek Indonesia menganut prinsip
Badge of Origin atau prinsip Exhaustion. Kaehlig menyatakan:

In general, ... the Indonesian property laws do not give the manufacturer
or authorized importer or distributor the right to control the use and
movement of the merchandize concerned... It appears simply to be a
matter of a policy on the part of the Indonesian courts not to entertain
trade mark infringement actions unless the plaintiff alleges that the
infringed trade mark was applied to the goods in an unauthorized
fashion (i.e., unless the plaintiff alleges that the product is a counterfeit
one).250

Intinya, Kaehlig berpendapat bahwa HKI, termasuk Hukum Merek,


di Indonesia tidak memberikan kepada pemegangnya hak eksklusif
untuk mengontrol penggunaan dan pergerakan atau peredaran barang
HKI tersebut. Ini berarti hak kontrolnya telah habis (exhausted) ketika
barangnya telah dijual di pasar. Pengadilan diasumsikan tidak akan
247. Lihat Pasal 19(1) Undang-Undang Paten 2016.
248. Menurut Penjelasan Pasal 2(1) Undang-Undang Hak Cipta 2002, hak eksklusif untuk
"mengumumkan atau memperbanyak" mencakup hak untuk mengimpor.
249. Sebagaimana tersebut di atas, Pasal 72(1) dan 81 Undang-Undang Merek 1992
identik dengan Pasal 76(1) dan 90 Undang-Undang Merek 2001.
250. Kaehlig C.B. dan Churchill G.J., Indonesian Intellectual Property Law, PT Tatanusa,
Jakarta 1993, hlm. 61.

I 69
menganggap impor paralel sebagai pelanggaran merek kecuali penempelan
merek tersebut dilakukan tanpa ijin atau barangnya palsu. Pendapat
Kaehlig ini logis karena memang sulit untuk menafsirkan bahwa Hukum
Merek di Indonesia telah memberikan hak kepada pemegang merek untuk
mencegah impor paralel barang merek yang penempelannya dilakukan
oleh pemilik merek sendiri atau penerima lisensi atas persetujuan pemilik
merek tersebut, di samping Hukum Merek di Indonesia tidak memberikan
hak eksklusif impor kepada pemegang merek.
Namun demikian, dalam perkara PT Modern Photo Tok melawan PT
International Photographic/PD Star Photigraphic Supplies, Mahkamah
Agung Republik Indonesia telah memutuskan bahwa pelaku impor
paralel, yakni Tony Widharma, pimpinan PT International Photographic/
PD Star Photigraphic Supplies, untuk produk rol film merek Fuji telah
melanggar hak atas merek distributor tunggal PT Modern Photo yang
juga mengedarkan produk rol film Fuji di Indonesia. Padahal produk yang
diimpor oleh Tony Widharma adalah asli yang berasal dari Union Camera
Ltd yang telah ditunjuk secara resmi oleh Fuji Photo Film Co sebagai
distributor untuk mendistribusikan produk Fuji ke seluruh dunia dengan
harga yang lebih murah. Dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah
Agung adalah Pasal 90251 Undang-Undang Merek 2001, 252 sehingga
pelaku impor paralel yakni Tony Widharma telah dianggap secara "tanpa
hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek
terdaftar milik pihak lain" yakni Fuji Photo Film Jepang atau pemegang
lisensinya di Indonesia. Dengan putusan ini berarti Mahkamah Agung
telah menafsirkan secara luas istilah "tanpa hak menggunakan Merek
yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak

251 Pasal 90 Undang-Undang Merek 2001 menyatakan: "Barangsiapa dengan sengaja


dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek
terdaftar rnilik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
252 Veroima Sinaga dan Kurnia Toha, "Analisis Praktek Impor Paralel dan Pemberian
Exclusive Distribution Agreement antara PT Modem Photo Tbk dan PT International
Photographic /PD Star Photigraphic Supplies Berdasarkan Hukum Persaingan
Usaha." Fakultas Hukum UI, 2014, http://lontar.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/
S54479-veroima%20sinaga, (diakses tanggal 18 Oktober 2016).

70
lain." Padahal Undang-Undang Merek 2001 tidak menjelaskan pengertian
"menggunakan merek." Apakah mengimpor tanpa ijin barang asli yang
mereknya ditempelkan sendiri oleh pemilik mereknya (dalam hal ini Fuji
Photo Film Jepang) atau pemegang lisensi atas persetujuan pemilik merek
tercakup dalam pengertian "tanpa hak menggunakan merek"? Menurut
pendapat Penulis, jawabannya adalah tidak. Di samping itu, UU Merek
2001, sebagaimana Penulis sebutkan di atas, tidak memberikan hak
eksklusif impor kepada pemegang merek. Oleh karena itu, bisa diambil
kesimpulan bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut tidak tepat.
Putusan Mahkamah Agung tersebut telah mengubah posisi Indonesia
yang sebelumnya telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang
memperbolehkan impor paralel di bidang merek. Misalnya, dengan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 19 Tahun
2000, diperbolehkan importasi mobil completely-built up (CBU) tanpa ijin
dari pemegang merek atau distributornya yang merupakan agen tunggal
pemegang merek (ATPM) di Indonesia. Semenjak tahun 2001, Pemerintah
membebaskan importasi minyak pelumas dengan Keputusan Presiden
Nomor 21 Tahun 2001. Pasal 6(1) Keputusan Presiden ini memperbolehkan
setiap perusahaan untuk mengimpor minyak pelumas untuk memenuhi
kebutuhan lokal. Keputusan Presiden ini telah membatalkan Keputusan
Presiden Nomor 18 Tahun 1988 yang memberikan monopoli kepada
Pertamina untuk menyediakan dan mengimpor minyak pelumas di
Indonesia. 253 Berdasarkan Keputusan Presiden ini, sukar bagi distributor
tunggal atau ATPM minyak pelumas asing di Indonesia untuk melarang
impor paralel produk tersebut.254

253 Pasal 1(1) clan (3) Keputusan Presiden No. 18, 1988 menyatakan menunjuk
PERTAMINA untuk menyediakan dan memberikan jasa untuk memenuhi kebutuhan
minyak pelumas dan apabila kebutuhan minyak pelumas tidak bisa dipenuhi
dengan produk lokal maka PERTAMINA mempunyai wewenang untuk mengimpor
kekurangannya setelah mendapat persetujuan dari Menteri Perdagangan.
254 Sebelumnya, sebagaimana tersebut di atas, Castrol Indonesia pernah melakukan
tindakan hukum kepada pelaku impor paralel minyak pelumas merek "Castrol"
dengan menggunakan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1988 yang memberikan
monopoli impor minyak pelumas kepada Pertamina karena pelaku impor paralel tidak
mendapatkan ijin dari Pertamina.

I 11
Rasio dari diperbolehkannya impor paralel di bidang merek adalah
untuk melindungi kepentingan konsumen dari kemungkinan penerapan
harga monopolistik yang dilakukan oleh distributor tunggal. Dengan
impor paralel, harga barang yang asli bisa ditekan sehingga konsumen bisa
memperoleh barang asli yang murah. Putusan Mahkamah Agung tersebut
di atas yang telah mengalahkan pelaku impor paralel jelas bertentangan
dengan rasio ini sehingga putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan
putusan yang tidak bijak.

G. IMP OR PARA LEL DITINJAU DARI HUKUM PATEN DI


INDONESIA
Berkenaan dengan impor paralel di bidang paten, pengaturan dalam
UU Paten 2016255 lebih tegas dari pada pengaturannya dalam UU Paten
2001. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 160 Undang-Undang
Paten 2016 yang secara tegas melarang tindakan impor tanpa persetujuan
pemegang paten. Sebelumnya, Pasal 16(1) Undang-Undang Paten 2001
memang memuat hak eksklusif impor bagi pemegang paten, tetapi tidak
ada ketentuan yang secara tegas melarang tindakan impor sebagaimana
Pasal 160 Undang-Undang Paten 2016. Namun, untuk produk farmasi,
pengecualian dari larangan impor paralel dalam Undang-Undang Paten
2016 ternyata lebih kuat dari pada dalam Undang-Undang Paten 2001. Hal
ini karena Pasal 167(a) Undang-Undang Paten 2016 mengecualikannya
dari ketentuan baik pidana maupun gugatan perdata, sedangkan Pasal
135(a) Undang-Undang Paten 2001 hanya mengecualikannya dari
ketentuan pidana.
Berdasarkan Pasal 19(1) dan Pasal 160 huruf a UU Paten 2016,
pemegang hak atas paten berhak melarang tindakan impor paralel. Pasal
19(1) menyatakan:

Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten


yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
a. dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual,
mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk

255. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.

12 I
dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
dan/atau b. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi
yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (penekanan oleh Penulis).

Pasal 160 huruf a Undang-Undang Paten 2016 menyatakan:

Setiap Orang tanpa persetujuan Pemegang Paten dilarang: a. dalam


hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau
disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten; dan/atau b.
dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi
Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam huruf a. (penekanan oleh Penulis).

Jelas bahwa Pasal 19(1) dan Pasal 160 huruf a Undang-Undang Paten
2016 memberikan pemegang paten hak eksklusif untuk melarang pihak
lain melakukan impor produk patennya dan/atau produk yang dibuat
menggunakan paten prosesnya tanpa persetujuannya. Akibatnya bahwa
apabila pemegang paten menjual produk patennya di negara lain (luar
negeri), orang lain tidak boleh mengimpor produk tersebut dari negara
lain itu ke Indonesia kecuali jika orang lain tersebut terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari pemegang paten. Berkenaan dengan paten
proses, seseorang juga hams memperoleh persetujuan dari pemegang paten
untuk bisa mengimpor produk yang dibuat menggunakan paten proses
pemegang paten yang dijual di negara lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemegang paten bisa menggunakan
Pasal 19(1) dan Pasal 160 huruf a Undang-Undang Paten 2016 untuk
mencegah tindakan impor paralel. Contohnya: sebuah Perusahaan
Amerika Serikat (AS) memperoleh paten baik di AS maupun di Indonesia
untuk barang X. Perusahaan ini kemudian menunjuk B sebagai pemegang
lisensi eksklusif untuk mendistribusikan barang itu di Indonesia.
Perusahaan AS ini juga mempunyai sebuah anak perusahaan di Malaysia
yang memproduksi barang yang sama. Karena harga barang dari anak
perusahaan di Malaysia tersebut jauh lebih rendah dari pada harga barang
yang sama dari distributor di Indonesia, seseorang mengimpor barang dari

I 73
Malaysia tersebut ke Indonesia tanpa persetujuan. Berdasarkan Pasal 19(1)
dan Pasal 160 huruf a, PerusahaanAS itu berhak mencegah tindakan impor
paralel tersebut.
Hukum Paten Indonesia memberikan perlindungan yang kuat kepada
pemegang paten terhadap tindakan impor paralel. Hal ini karena, menurut
UU Paten 2016, tindakan impor tanpa persetujuan juga merupakan tindakan
pidana. Hal ini merupakan akibat dari ketentuan Pasal 161 yang berbunyi:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Istilah "impor paralel" tidak tercantum dalam Pasal 161. Namun,


Pasal ini berlaku kepada pelaku impor paralel apabila orang ini melakukan
salah satu tindakan yang tercantum dalam Pasal 160 yang merupakan hak
eksklusif pemegang paten, yakni tindakan impor tanpa persetujuan dari
pemegang paten.
Selain itu, berdasarkan Pasal 143(1)256 UU Paten 2016, pemegang
paten mempunyai hak untuk menggugat ganti rugi kepada pelaku impor
paralel. Pasal ini menyatakan:

Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan


ganti rugi kepada Pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19(1).

Dalam hal ini, dengan adanya istilah "Orang yang dengan sengaja"
dalam Pasal tersebut, UU Paten 2016 selaras dengan UU (Perubahan)
Paten 1997, walaupun UU Paten 2016 tidak mencantumkan ketentuan
"pelanggaran yang tidak disengaja" (innocent infringement), sebagaimana

256 Pasal 143(1) menyatakan: "Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak
mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 19(1)."

74
Pasal 122(1a)257 UU (Perubahan) Paten 1997. Menurut ketentuan lama ini,
gugatan pemegang paten bisa ditolak apabila tergugat tidak sadar telah
melakukan pelanggaran atau apabila tergugat mempunyai bukti yang
kuat tentang ketidaktahuannya adanya pelanggaran. Walaupun tidak ada
ketentuan seperti UU Paten lama ini, berdasarkan Pasal 143(1), tergugat
bisa melakukan pembelaan (defence) bahwa dia tidak sengaja. Akibatnya,
pelaku impor paralel yang tidak sengaja (innocent) tidak bisa dijerat
dengan Pasal 143(1) Undang-Undang Paten 2016. Sayangnya, tidak ada
penjelasan mengapa demikian.
Perlu dipertanyakan apakah posisi UU Paten 2016 seperti tersebut
diatas berlaku dalam semua situasi dimana impor paralel barang paten
biasanya terjadi. Impor paralel barang paten biasanya terjadi dalam 2 (dua)
situasi yang berbeda. Pertama, dalam situasi dimana pemegang paten
sendiri yang telah melakukan penjualan pertama dari barang patennya
yang kemudian diimpor secara parallel. Kedua, impor paralel terjadi
ketika pemegang lisensi paten yang menjual barang paten di pasar. Tanpa
mempertimbangkan kedua situasi yang berbeda tersebut, pengadilan
mungkin akan menerapkan Pasal 19(1) dalam mengeluarkan putusan yang
memihak kepada pemegang paten.
UU Paten 2016 mengecualikan dari ketentuan pidana dan gugatan
perdata importasi tanpa izin produk farmasi. Hal ini dinyatakan dalam
Pasal 167(a) yang berbunyi:

Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam


Bab XVII dan gugatan perdata atas: a. impor suatu produk farmasi
yang dilindungi paten di Indonesia dan produk farmasi dimaksud telah
dipasarkan di suatu negara secara sah dengan syarat produk farmasi
itu diimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ...
(penekanan oleh Penulis).

257 Pasal 122(1a) Undang-Undang Paten 1997 menyatakan: "Pengadilan negeri dapat
menolak gugatan ganti rugi terrnasuk penggantian terhadap keuntungan yang
seharusnya diperoleh, apabila tergugat dapat membuktikan bahwa ia tidak mengetahui
atau memiliki alasan yang kuat tentang ketidaktahuannya bahwa ia telah melanggar
paten milik orang lain yang dilindungi di Indonesia."

I 75
Pasal 167(a) memuat prinsip exhaustion namun hanya untuk produk
farmasi. MenurutPasal 167(a), penjualan pertama(firstsale) oleh pemegang
paten dari produk farmasinya mengakibatkan dikecualikannya tindakan
impor paralel produk farmasi tersebut dari ketentuan pidana dan gugatan
perdata. Jadi, selain tidak bisa dipidanakan, pelaku impor paralel produk
farmasi tidak bisa digugat ganti rugi oleh pemegang paten sebagaimana
tercantum dalam Pasal 143(1). Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam
Pasal 135(a) Undang-Undang Paten 2001 yang menyatakan:

Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam


Bab ini adalah: a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi
Paten di Indonesia dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar di
suatu negara oleh Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu
diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ...
(penekanan oleh Penulis).

Tersirat dalam ketentuan yang lama tersebut, pemegang paten masih


mempunyai hak untuk menggugat ganti rugi kepada pelaku impor paralel.
Ini berarti penjualan pertama (first sale) tidak menghabiskan hak pemegang
paten untuk mengontrol ke arah mana barang patennya selanjutnya
dipasarkan. Hal ini menunjukkan UU Paten 2001 telah melegalkan impor
paralel produk farmasi namun hanya secara "parsial."
Legalisasi "parsial" menurut ketentuan yang lama tersebut tidak bebas
dari kritikan. Kebijakan itu tidak diterima oleh masyarakat Indonesia.258
Ketentuan yang lama tersebut merefleksikan bahwa Pamerintah tidak ingin
melindungi kepentingan konsumen Indonesia yang masih membutuhkan
produk paten yang murah terutama produk farmasi. Sebelumnya, melalui
Pasal 21 Undang-Undang Paten 1989, Indonesia memperbolehkan impor
paralel. Penjelasan Pasal 21 tersebut menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia perlu mengembangkan industri lokal dan keahlian teknologi,
dan oleh karena itu Indonesia melalui Pasal 21 tersebut berusaha untuk
mencegah perkembangan yang tidak baik yang bisa menyebabkan
terjadinya resktriksi impor produk asing. Kondisi masyarakat Indonesia

258 Hal ini dinyatakan oleh Indah Suksmaningsih, mantan kepala Lembaga Konsumen
Indonesia selama wawancara dengan Penulis pada bulan Juli tahun 2002.

76 I
yang dinyatakan di dalam Penjelasan Undang-Undang Paten 1989 tersebut
belum berubah sampai sekarang. Oleh karena itu, masuk akal untuk
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 135(a) UU Paten 2001 tidak cukup
dan Indonesia perlu membuat kebijakan yang serupa dengan ketentuan
dalam Pasal 21 Undang-Undang Paten 1989 dalam memperbolehkan
impor paralel tidak hanya produk farmasi tetapi juga produk-produk paten
yanglain. 259
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Paten 2016, legalisasi
"parsial" impor paralel produk farmasi menurut Undang-Undang Paten 2001
tersebut telah dihapus. Sekarang, menurut Pasal 167(a) Undang-Undang
Paten 2016, pelaku impor paralel produk farmasi tidak bisa dipidanakan
dan tidak bisa digugat ganti rugi. Hal ini merupakan perkembangan yang
menggembirakan bagi masyarakat Indonesia yang masih membutuhkan
produk farmasi yang murah.
Posisi Hukum Paten Indonesia berkaitan dengan impor paralel
selaras dengan TRIPs Agreement. Hal ini karena TRIPs Agreement
sendiri mempersilahkan negara anggota untuk mengambil sikap sendiri
berkaitan dengan legalitas impor paralel di bidang paten. Ini terlihat dari
ketentuannya yang menyatakan bahwa Pasal 28(1) TRIPs Agreement
yang memberikan hak eksklusif impor kepada pemegang paten tunduk
kepada Pasal 6260 yang menyatakan bahwa TRIPs Agreement tidak dapat
dipergunakan untuk menyelesaikan masalah exhaustion HKI. Dengan
kata lain, TRIPs Agreement memberikan diskresi kepada negara anggota
WTO untuk mengadopsi prinsip Exhaustion di bidang paten atau tidak.
Jadi, sebenarnya Indonesia boleh mengadopsi prinsip Exhaustion tidak
hanya untuk produk farmasi saja tetapi untuk semua produk paten. Namun,

259 Indah Suksmaningsih, Al<ses Obat-Obatan dalam Undang-Undang Paten Indonesia,


Lembaga Konsumen Indonesia, naskah tidak diterbitkan, Jakarta, 18 April 2001, hlm.
7 dan 11. Lembaga Konsumen Indonesia telah mengusulkan agar dimasukkan dalam
RUU Paten suatu ketentuan yang mengecualikan dari hak eksklusif impor impor
produk paten ke Indonesia apabila produk tersebut telah dipasarkan di negara lain
oleh pemegang paten atau penerima lisensinya. Ibid. hlm. 11. Tetapi usulan tersebut
akhimya tidak disetujui oleh DPR.
260 Pasal 6 TRIPs Agreement menyatakan: "For the purposes of dispute settlement under
this Agreement, subject to the provisions ofArticles 3 and 4 nothing in this Agreement
shall be used to address the issue of the exhaustion of intellectual property rights."

I 77
ternyata, Indonesia mengadopsi prinsip ini hanya untuk produk farmasi
saja.

H. IMP OR PARALEL DIT INJAU DARI HUKUM HAK CIPTA


DI INDONESIA
UUHC 2014 mempunyai ketentuan barn yang berkaitan dengan
masalah impor paralel. Pasal 9(1) UUHC 2014 menyatakan bahwa hak
ekonomi pemegang hak cipta meliputi: hak penerbitan, hak penggandaan,
hak pertunjukan, hak pengumuman, hak penerjemahan, hak pendistribusian,
dan lain sebagainya. Namun, Pasal 11(1) UUHC 2014 menyatakan:

Hak ekonomi untuk melakukan Pendistribusian Ciptaan atau


salinannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e tidak
berlaku terhadap Ciptaan atau salinannya yang telah dijual atau yang
telah dialihkan kepemilikan Ciptaan kepada siapapun. (Penekanan
oleh Penulis).

Jelas bahwa Pasal 11(1) UUHC 2014 mengandung doktrin First Sale,
yakni bahwa penjualan pertama oleh pemegang hak cipta menghilangkan
haknya untuk mengontrol pendistribusian barang ciptaannya. Ini disebut
juga prinsip Exhaustion, karena penjualan pertama menghabiskan
(exhaust) hak kontrol pendistribusian. Namun, tidak tegas apakah
Pasal tersebut menganut prinsip International Exhaustion atau prinsip
National Exhaustion. Prinsip International Exhaustion berarti bahwa
penjualan pertama dimanapun, di dalam negeri atau di luar negeri akan
menghabiskan hak kontrol pendistribusian pemegang hak cipta. Prinsip
National Exhaustion berarti hanya penjualan pertama di dalam negeri
yang menghabiskan hak kontrol pendistribusian pemegang hak cipta.
Pasal 11(1) tidak menyebutkan tempat atau negara (di dalam atau di
luar Indonesia) dimana penjualan pertama menyebabkan hilangnya hak
pendistribusian. Pembuat Pasal ini ternyata telah mengubah draft pertama
Rancangan UUHC (2010) tentang masalah ini. Pasal 3(2) Rancangan
UUHC (2010) menyatakan bahwa hak pendistribusian "tidak berlaku
terhadap Ciptaan asli atau salinan Ciptaan yang telah dijual atau telah

78 I
dialihkan kepemilikannya di mana pun oleh Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta." 261 Jelas bahwa Pasal 3(2) Rancangan UUHC (2010) menganut
prinsip International Exhaustion karena penjualan pertama ciptaan di suatu
negara manapun menghabiskan hak pendistribusian pemegang hak cipta.
Dengan melihat Pasal 11(1) UUHC 2014, tidaklah tegas apakah penjualan
pertama di luar Indonesia dapat menghabiskan hak pendistribusian.
Apabila ditafsirkan bahwa hanya penjualan pertama di wilayah Indonesia
yang dapat menghabiskan hak pendistribusian, berarti UUHC 2014
menganut prinsip National Exhaustion. Akibatnya, pemegang hak cipta
mempunyai hak untuk melarang impor paralel ciptaan yang telah dijual di
luar Indonesia tetapi tidak mempunyai hak untuk melarang impor paralel
ciptaan yang sudah dijual pertama kali di wilayah Indonesia.
Menurut pendapat Penulis, lebih baik untuk menafsirkan bahwa
Pasal 11(1) UUHC 2014 menganut prinsip International Exhaustion. Kata
"siapapun" walaupun tidak menunjuk tempat, tetapi dapat diartikan setiap
orang, berarti juga setiap orang dimanapun berada. Dengan prinsip ini
berarti pemegang hak cipta tidak bisa melarang impor paralel ciptaannya
yang telah pertama kali dijual kepada setiap orang baik di wilayah Indonesia
maupun di luar Indonesia. Dengan prinsip International Exhaustion,
pemegang hak cipta tidak bisa lagi memonopoli pasar Indonesia, sehingga
konsumen mempunyai banyak pilihan karya cipta asli dengan harga yang
lebih murah.262
Ketidaktegasan pendekatan Indonesia terhadap persoalan impor
paralel di bidang hak cipta bisa dipahami mengingat hampir tidak ada
diskusi di masyarakat tentang hal tersebut. Perhatian lebih diberikan
kepada persoalan impor paralel di bidang merek dari pada impor paralel di
bidang hak cipta.263 Hal ini sebagian karena, sebagaimana tersebut di atas,

261. Penekanan oleh Penulis.


262 M. Hawin, Intellectual Property Law on Parallel Importation, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, Indonesia, 2010, hlm. 255 dan 256.
263 Lihat, rnisalnya, Lita Analistya D., Praktek impor paralel di Indonesia ditinjau dari
hukum kekayaan intelektual di bidang merek: studi kasus PT. Modern Photo Tbk dan PT
International Photograpic Supplies, thesis, Undergraduate Program, Faculty of Law,
Universitas Indonesia, http://lib.ui.ac.id/opadui/detail.jsp?id=123804&lokasi=lokal
(diakses tanggal 15 Oktober 2016). Lihat juga, "Kapitalisme UU HaKI kita," http://

I 79
jumlah barang impor paralel di bidang merek yang masuk ke Indonesia
melebihi jumlah barang impor paralel hak cipta.
Secara historis, berkaitan dengan persoalan impor paralel di bidang
hak cipta, posisi Indonesia telah berubah 3 (tiga) kali. UUHC 1982264 sama
sekali tidak menyinggungnya. Kemudian, menurut UUHC 2002, 265 impor
paralel merupakan pelanggaran hak cipta.
Pasal 2(1) UUHC 2002 menyatakan: "Hak Cipta merupakan hak
eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya ..." Menurut Penjelasan Pasal 2(1), 266 hak
eksklusif untuk "mengumumkan atau memperbanyak" mencakup hak
untuk mengimpor. Hal ini berarti bahwa tindakan impor tanpa persetujuan
pemegang hak cipta merupakan pelanggaran hak eksklusif pemegang hak
cipta. Jadi, pemegang hak cipta mempunyai hak untuk melarang impor
paralel.
Menurut UUHC 2002, perlindungan bagi pemegang hak cipta
terhadap impor paralel adalah kuat. Hal ini karena di samping memberikan
pemegang hak cipta hak untuk menggugat ganti rugi kepada pelaku impor
paralel267 dan meminta penetapan sementara pengadilan untuk mencegah
masuknya barang-barang impor paralel ke Indonesia, 268 UUHC 2002
menentukan bahwa impor paralel merupakan tindak pidana. Hal ini dapat
disimpulkan dari Pasal 72(1) UUHC 2002 yang berbunyi:

kelzen.wordpress.com/tag/impor-paralel/, 28 Agustus, 2008, (diakses tanggal 15


Oktober 2016).
264 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana diperbaiki dengan Undang­
Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997.
265 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
266 Penjelasan Pasal 2(1) menyatakan: "Dalam pengertian "mengumumkan atau
memperbanyak", termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor." (Penekanan
oleh Penulis).
267 Pasal 56(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: "Pemegang
Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas
pelanggaran Hak Ciptanya ... "
268 Pasal 67 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: " ...Pengadilan Niaga
dapat menerbitkan surat penetapan dengan segera dan efektif untuk: a. mencegah
berlanjutnya pelanggaran Hak Cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang
diduga melanggar Hak Cipta atau Hak Terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk
tindakan importasi."

80
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 72(1) tidak secara eksplisit menyebut impor paralel. Namun, karena
tindakan impor merupakan salah satu hak eksklusif pemegang hak cipta
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2(1) dan Penjelasannya, seseorang
yang melakukan impor paralel di bidang hak cipta dapat dihukum secara
pidana.
Impor paralel di bidang hak cipta bisa terjadi dalam 2 (dua) situasi yang
berbeda. Pertama, impor paralel terjadi dalam situasi dimana barang ciptaan
pertama kali dijual di luar negara pengimpor. Di negara yang merupakan
net importer barang-barang kekayaan intelektual seperti Indonesia,
kebanyakan impor paralel terjadi dalam situasi ini.269 Kedua, impor paralel
bisa juga terjadi dalam situasi dimana barang-barang yang diimpor secara
paralel sebelumnya telah dijual di negara pengimpor. Situasi ini melibatkan
perjalanan barang secara "round trip." Barang tersebut pertama kali dijual
di Indonesia, kemudian diekspor ke negara lain tetapi kemudian diimpor
kembali ke Indonesia. Persoalannya adalah apakah posisi UUHC 2014
dapat digunakan untuk menentukan legalitas impor paralel yang terjadi
dalam 2(dua) situasi tersebut. Tidak ada indikasi di dalam UUHC 2014
bahwa hal tersebut menjadi pertimbangan pembuat Pasal 11(1). Namun,
menghadapi impor paralel dalam dua situasi tersebut, apabila pengadilan
Indonesia menafsirkan Pasal ini menganut prinsip National Exhaustion,
maka pemegang hak cipta bisa melarang impor paralel yang terjadi
dalam situasi yang pertama. Akibatnya, pemegang hak cipta mempunyai
kesempatan untuk mempertahankan harga di Indonesia lebih mahal dari
pada harga produk yang sama yang dijual di luar Indonesia. Ini merupakan
dampak negatif apabila posisi UUHC 2014 ditafsirkan menganut prinsip

269 Lihat Chang T-Z., "Parallel Importation in Taiwan: A View from a Newly Emerged
Country and a Comparative Analysis" (1993) lO(No.6) International Marketing
Review 30, hlm. 31.

I a1
National Exhaustion. Oleh karena, Pasal 11(1) lebih baik ditafsirkan
menganut prinsip International Exhaustion agar dampak negatif seperti itu
bisa dihindarkan.

I. KESIMPULAN
Legalitas impor paralel ditinjau dari UU Merek dan Indikasi Geogra:fis
2016 tidak pasti. UU ini memberikan pemegang merek hak untuk menggugat
orang lain yang tanpa persetujuannya menggunakan merek yang meniru
mereknya. Namun, tidak pasti apakah impor paralel termasuk dalam
cakupan ketentuan tersebut. Menurut pendapat Penulis, impor paralel tidak
dapat tercakup dalam pengertian "menggunakan Merek yang mempunyai
persamaan pada keseluruhannya" dengan merek milik pihak lain. Hal
ini karena barang impor paralel adalah asli, dan penempelan merek pada
barang tersebut telah disetujui oleh pemegang merek. Di samping itu, UU
tersebut tidak memberikan hak eksklusif impor kepada pemegang merek di
Indonesia sehingga pemegang merek sukar untuk mencegah impor paralel.
Indonesia lebih baik membolehkan impor paralel di bidang merek untuk
melindungi kepentingan konsumen dari kemungkinan penerapan harga
monopolistik yang dilakukan oleh distributor tunggal. Dengan impor
paralel, konsumen bisa memperoleh barang asli yang murah.
Berkenaan dengan impor paralel di bidang paten, pengaturan dalam
UU Paten 2016 lebih tegas dari pada pengaturannya dalam UU Paten
2001. Undang-Undang Paten 2016 secara tegas melarang tindakan
impor tanpa persetujuan pemegang paten. Sebelumnya, Undang-Undang
Paten 2001 memang memuat hak eksklusif impor bagi pemegang paten,
tetapi tidak ada ketentuan yang secara tegas melarang tindakan impor
sebagaimana Undang-Undang Paten 2016. Namun, impor paralel produk
farmasi diperbolehkan karena UU ini memuat prinsip exhaustion untuk
produk farmasi dan impor paralel produk farmasi dikecualikan dari
larangan impor. Pengecualian ini dalam Undang-Undang Paten 2016
lebih kuat dari pada dalam Undang-Undang Paten 2001. Hal ini karena
Undang-Undang Paten 2016 mengecualikannya dari ketentuan baik
pidana maupun gugatan perdata, sedangkan Undang-Undang Paten 2001

a2 I
hanya mengecualikannya dari ketentuan pidana. Hal ini merupakan
perkembangan yang menggembirakan bagi masyarakat Indonesia yang
masih membutuhkan produk farmasi yang murah.
UUHC 2014 mengandung prinsip First Sale atau Exhaustion, yakni
bahwa penjualan pertama oleh pemegang hak cipta menghilangkan haknya
untuk mengontrol pendistribusian barang ciptaannya sehingga tidak bisa
melarang impor paralel. Posisi ini berbeda dengan UUHC 2002 yang
memberikan hak eksklusif impor dan tidak memuat prinsip First Sale atau
Exhaustion. Namun, tidak tegas apakah UUHC 2014 menganut prinsip
International Exhaustion atau prinsip National Exhaustion. Menurut
pendapat Penulis, lebih baik untuk menafsirkan UUHC 2014 menganut
prinsip International Exhaustion. Dengan prinsip ini berarti pemegang
hak cipta tidak bisa melarang impor paralel ciptaannya yang telah pertama
kali dijual kepada setiap orang baik di wilayah Indonesia maupun di
luar Indonesia. Dengan prinsip International Exhaustion, pemegang hak
cipta tidak bisa lagi memonopoli pasar Indonesia, sehingga konsumen
mempunyai banyak pilihan karya cipta asli dengan harga yang lebih murah.

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal:
Ammann J.M., "Intellectual Property Rights and Parallel Imports" (1999)
26 Legal Issues of Economic Integration 91;
Auvil S. M., "Gray Market Goods Produced by Foreign Affiliates of The
US Trademark owner: Should the Lanham Act Provide a Remedy?"
(1995) 28 Akron L. Rev. 437;
Barrett M., "The United States' Doctrine of Exhaustion: Parallel Imports
of Patented Goods" (2000) 27 N. Ky. L. Rev. 911;
Bird R.C. and Chaudhry P.E., "Pharmaceuticals and the European Union:
Managing Gray markets in Uncertain Legal Environment" (2010) 50
Va. J. Int'l L. 719;
Brooks S., "Battling Gray Markets Through Copyright Law: Omega, S.A.
v. Costco Wholesale Corporation" (2010) B.Y.U.L. Rev. 19;

I 83
Chang T-Z., "Parallel Importation in Taiwan: A View from a Newly
Emerged Country and a Comparative Analysis" (1993) lO(No.6)
International Marketing Review 30;
Chen A.B., "Shopping The Gray market: The Aftermath of The Supreme
Court's Decision in Quality King Distributors, Inc., v. L'anza
Research International Inc" (1999) 19 Loy. L. A Ent. L. J. 573;
Chiappetta V., "The Desirability of Agreeing to Disagree: The WTO,
TRIPs, International IP Exhaustion and a Few Other Things," (2000)
21 Mich. J. Int'l L. 333;
Chisum D.S. dan Jacobs M.A., Understanding Intellectual Property Law
New York: Matthew Bender & Co, 1992;
Christoph Antons, Intellectual Property Law in Indonesia, Kluwer Law
International, London, 2000;
Davison M. J., "Parallel Importing of Trade Marked Goods - An Answer
to the Unasked Question" (1999) 10 AIPJ 146;
Derechos Digitales, "Transpacific Partnership Agreement (TPPA)
Intellectual Property Chapter Concerns, Copyright, Parallel Imports
and Exhaustion of Distribution Rights," https://www.citizen.org/
documents/TPP%20Derechos%20C%20 Parallel%20Imports%20
and%20Exhaustion.pdf, (diakses tanggal 14 Oktober 2016);
Diepiriye A. Anga, "Intellectual Property Without Borders? The Effect of
Copyright Exhaustion on Global Commerce," (2014) 10 B.Y.U. Int'l
L. & Mgmt. Rev. 53;
Donnelly, D.E., "Parallel Trade and International Harmonization of the
Exhaustion of Rights Doctrine" (1997) 13 Computer & High Tech.
L. J. 445;
Egli P., dan Kokott J., "Sebago Inc. and Ancienne Maison Dunois & Fils
SA v. GB-Unic SA, Case C-173/98, Court of Justice of the European
Communities, 1 July, 1999" (2000) 94 AJ.I.L. 386;
Gautama S., Hukum Merek Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
1989;
Ghosh S., "An Economic Analysis of the Common Control Exception to
Gray Market Exclusion" (1994) 15 U. Pa. J. Int'l Bus. L. 373;

84 I
Havel, Holasek & Partners s.r.o, "Parallel Imports in The EU Law," 27 Juli
2015, http://www.lexology.com/ library/detail.aspx?g= 71bc5df8-
766d-483d-96f0-ba8be5c60dc1, (diakses tanggal 15 Oktober 2016);
Indah Suksmaningsih, Akses Obat-Obatan dalam Undang-Undang Paten
Indonesia, Lembaga Konsumen Indonesia, naskah tidak diterbitkan,
Jakarta, 18 April 2001;
J.J.C. Kabel and G.J.H.M. (eds), Intellectual Property and Information
Law: Essays in Honour of Herman Cohen Jehoram, Kluwer Law
International, Boston, 1998;
Justine Lau et al, "Grey Market Begins Sales of iPads in China," The
Financial Ti.mes, 9 April 2010, https://www.ft.com/content/fa37e3da-
4336-11df-9046-00144feab49a, (diakses 15 Februari 2017);
Kaehlig C.B. dan Churchill G.J., Indonesian Intellectual Property Law,
PT Tatanusa, Jakarta, 1993;
Lita Analistya D., Praktek impor paralel di Indonesia ditinjau dari hukum
kekayaan intelektual di bidang merek: studi kasus PT. Modern
Photo Tbk dan PT International Photograpic Supplies, thesis,
Undergraduate Program, Faculty of Law, Universitas Indonesia,
http:!/lib. ui.ac.id/opac/ui/detail.j sp ?id= 123804&lokasi = lokal,
(diakses 15 Oktober 2016);
Lipner S., "Trademarked Goods and Their Gray Market Equivalents:
Should Product Differences Result in the Barring of Unauthorized
Goods from the U.S. Markets?" (1990) 18 Hofstra L. Rev. 1029;
Mary Lafrance, "Using Incidental Copyrights to Block Parallel Imports: A
Comparative Perspective," (2013) 25 I.P.J. 149;
Maulana LB., Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke
Masa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999;
M. Hawin, Intellectual Property Law on Parallel Importation, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia, 2010;
Moisant J. P., ''What the Supreme Court Should Have Done" (1999) 25
Brooklyn J. Int'l L. 639;
Mohr CA., "Gray Market Goods and Copyright Law: an End Run Around
K. Mart v. Cartier" (1996) 45 Cath. U. L. Rev. 561;

I as
Morr A. L., "Hong Kong's Copyright Ordinance: How the Ban on Parallel
Imports Affects the U.S. Entertainment Industry and Hong Kong's
Free Market" (1999) 21 Hastings Comm. & Ent. L. J. 393;
Rothnie W. A., Parallel Imports, Sweet & Maxwell, London, 1993;
Sandler G. L., "Gray Market Goods: The Controversy Will Continue"
(1987) 13 Brooklyn Journal of International Law 267;
Shanahan, Australian Law of Trade Marks and Passing Off, the Law Book
Co. Ltd. 2nd. ed. Sydney, 1990;
Turner C., "The Parallel Importer: Parasite or Pragmatist?" in Intellectual
Property Law: Trends and Tensions, Centre for Intellectual Property
Studies, Queensland, 1992;
Upadhye S., "Rewriting The Lanham Trademark Act to Prohibit The
Importation of All Gray Market Goods" (1996) 20 Seton Hall Legis.
J. 59;
Veroima Sinaga dan Kurnia Toha, "Analisis Praktek Impor Paralel dan
Pemberian Exclusive Distribution Agreement antara PT Modem
Photo Tok dan PT International Photographic/PD Star Photigraphic
Supplies Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha." Fakultas Hukum
UI, 2014, http://lontar.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/S54479-
veroima%20sinaga, (diakses tanggal 18 Oktober 2016);
William A.S., "International Exhaustion of Patent Rights Doctrine: Is
Japan's Move a Step Forward or Back from the Current Harmonization
Effort?" (1998) 7 D.C.L.J. Int'l L. & Prac. 327;

Sumber lain:
"Buy Some PC Parts from Indonesia," http://www.myhardware.net/
forums/archive/index. php/t-962 3.
"Got a parallel-imported Mazda? You can now service it at Mazda Motor,"
http://www.asiaone.com/Motoring/News/Story/A1Story20100330-
207644.html, (diakses tanggal 15 Oktober 2016);
Havel, Holasek & Partners s.r.o, "Parallel Imports in The EU Law," 27 Juli
2015, http://www.lexology.com/ library/detail.aspx?g= 71bc5df8-
766d-483d-96f0-ba8be5c60dcl, (diakses tanggal 15 Oktober 2016);

86 I
Impor Paralel Produk Elektronik Diwaspadai", Suara Merdeka, 12 Mei
2008, http://suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2008/05/12/
13044/Impor.Paralel.Produk.Elektronik.Diwaspadai, (diakses pada
15 Januari 2017);
"Impor paralel BlackBerry Gemini Belum Dapat Izin", News Web, 9
September 2009, http://inet.detik.com/telecommunication/d-1199545
/impor-paralel-blackberry-gemini-belum-dapat-izin, (diakses pada
10 Februari 2017);
"Kapitalisme UU HaKI kita," http://kelzen.wordpress.com/tag/impor­
paralel/, 28 Agustus, 2008, (diakses tanggal 15 Oktober 2016);
"Lebih Jauh dengan Bambang Kesowo", Kompas, 5 Juli 1998, http://www.
kompas.com/9807/05/naper/lebi.htm;
"Local electronic market undercut by illegal imports", the Jakarta Post, 23
May 1999, http://ptg.djnr.com/ccroot/asp/publib/story.asp;
Parallel Importer Mengebiri Agen Resmi", Motor, 16 Agustus, 1996;
"Pelaku Impor Paralel LD Akan Ditindak", Kompas, 13 April 1996, http://
www.kompas.com/9604/ 13/dikbud/Pela.htm;
"Retailers Rock the Boat with Parallel Imports," The Age, 15 Januari 2010,
http ://www.smh.com. au/business/retailers-rock-the-boat-with­
parallel-imports-20100114-maSh.html, (diakses 15 Februari 2017);
"USTR Announces Results of Special 301 Annual Review," http://www.
usconsulate.org.hk/uscn/trade/ipr/1999/0430.htm;
Winarno B., "Impor Paralel", di Kontan, edisi SN, 23 Oktober 2000, http://
www.kontan-online.com/05/05/manajemen/manl.htm.

I 87
BAB IV
PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL
DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

M.Hawin

A. PENDAHULUAN
Salah satu topik penting yang berhubungan dengan kekayaan
intelektual adalah bagaimana karya-karya tradisional yang sudah lama
hidup di masyarakat mendapat perlindungan. Terdapat dua istilah yang
berkaitan dengan hal tersebut yang selama ini didiskusikan, yakni
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional atau folklore.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa pengetahuan tradisional adalah
semua yang diketahui dan diekspresikan oleh komunitas tradisional, yang
meliputi ekspresi budaya tradisional. 270 Namun, dalam perkembangannya,
pengetahuan tradisional dimaknai hanya menunjuk kepada karya teknologi
lokal dan pribumi (indigenous), khususnya yang berhubungan dengan
metode pengolahan tanaman, penyiapan dan pembibitan tanaman, diagnosa,
270 Misalnya: Brosur WIPO "Towards the Establishment of a Regional Framework
for the Protection of Traditional Knowledge, Traditional Cultural Expressions and
Genetic Resources in the Caribbean Region," A3:L434E (2008), http://www.wipo.
int/edocs/mdocs/tk/en/ wipo_grtk_kin_ 08/wipo_grtk_kin_08_caribbean_brochure.
pdf; David R. Hansen, "Protection of Traditional Knowledge: Trade Barriers and
the Public Domain," (2010-2011) 58 J. Copyright Soc'y U.S.A. 757, 759;_Stephen
R. Munzer & Kal Raustiala, "The Uneasy Case for Intellectual Property Rights in
Traditional Knowledge," (2009) 27 Cardozo Arts & Ent. L.J. 37, 48, dikutip dalam
Hughes, Justin, "Traditional Knowledge, Cultural Expression, and The Siren's Call of
Property," (Nopember-Desember 2012) 49 San Diego L. Rev. 1215 , hlm. 1217.

88
pengobatan, holtikultural, resep makanan dan minuman, prediksi, atau
teknik dengan menggunakan bahan-bahan alamiah, sedangkan ekspresi
budaya tradisional berhubungan dengan karya tradisional di bidang musik,
tari, ceritera, ritual, lencana, seni, kerajinan tangan, bentuk ukiran, bentuk
arsitek, dan lain sebagainya. 271
Agar lebih mudah untuk membedakan, perlu dipahami bahwa
pengetahuan tradisional berhubungan dengan karya-karya yang bisa
dipatenkan andaikan barn (novel) dan mengandung langkah inventif
(nonobvious), sedangkan ekspresi budaya tradisional menunjuk pada karya­
karya seperti yang tercakup dalam hak cipta dan merek. 272 Persamaannya
adalah mereka bersifat tradisional dan telah digunakan oleh suatu generasi
dan diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya dan dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan komunitas dalam suatu daerah tertentu. 273
Indonesia telah mengeluarkan UUHC 2014, UU Paten 2016 dan UU
Merek 2016. Oleh karena itu, Penulis ingin mengkaji bagaimana beberapa
UU HKI yang barn tersebut dapat memberikan perlindungan kepada
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional di Indonesia.

B. PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL


Pengetahuan Tradisional, menurut WIPO, dalam Draft Articles tentang
Perlindungan Pengetahuan Tradisional274 adalah:

Know-how, skills, innovations, practices, teachings and learnings


of indigenous peoples and local communities or a state or states.
Traditional knowledge may be associated, in particular, with fields
such as agriculture, the environment, healthcare and indigenous and
traditional medical knowledge, biodiversity, traditional lifestyles and

271 Mgbeoji I, "Patents and Traditional Knowledge of the Uses of Plants: Is a Communal
Patent Regime Part of the Solution to the Scourge of Bio Piracy?" (2001) 9 Ind. J.
Global Leg. Stud. 163, hlm. 182; Hughes, Justin, ibid.
272 Ibid. hlm. 1218.
273 Garcia J, "Fighting Biopiracy: The Legislative Protection of Traditional Knowledge",
(2007) 18 Berkeley La Raza L.J. 5, hlm. 7.
274 WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge: Draft Articles," Juli 2014,
Geneva, httpwww.wipo.intedocsmdocstkenwipo_grtkf_ic_28wipo_grtkf_ic_28_5.
pdf (Diakses 1 Januari 2017).

I 89
natural resources and genetic resources, and know-how of traditional
architecture and construction technologies.

Culrnp luas definisi pengetahuan tradisional yang diberikan oleh


WIPO. Batasannya, terletak pada ciri-cirinya, yakni:
1) Diciptakan dan dipertahankan dalam konteks kolektif, oleh masyarakat
asli/pribumi (indigenous) dan komunitas atau bangsa lokal;
2) Secara langsung berhubungan dengan identitas budaya dan/atau sosial
dan warisan budaya dari masyarakat asli/pribumi dan komunitas atau
bangsa lokal;
3) Diteruskan dari generasi ke generasi;
4) Bisa terkodifikasi secara tertulis, lisan atau bentuk-bentuk yang lain;
5) Bisa dinamis dan berkembang. 275

Perlindungan pengetahuan tradisional sangat penting karena


pengetahuan ini merupakan sumber ilmu penting yang berhubungan dengan
kehidupan manusia yang dapat dikomersialkan. Pernah diperkirakan
bahwa nilai penjualan produk-produk yang menggunakan pengetahuan
tradisional dalam bentuk sumber genetika adalah sekitar 800 milyar
dollar AS setiap tahun. 276 Di samping itu, pengetahuan tradisional telah
digunakan oleh peneliti-peneliti sebagai starting point penelitian mereka
untuk mendapatkan paten. 277
Kasus pembatalan paten penggunaan Turmeric (kunyit) (US Patent
No. 5,401, 504, 28 Maret 1995 yang diberikan kepada the University
of Mississippi Medical Center) untuk menyembuhkan Iuka di Amerika
Serikat karena ditentang oleh Pemerintah India mengingat penggunaan
kunyit adalah common knowledge di India278 merupakan salah satu bukti

275 WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge: Draft Articles," Pasal 1, ibid.
276. Sharma A, "Global legislation on indigenous knowledge", Science and
Development Network, March 2004, <http://www.scidev.net/dossiers/index.cfm?
fuseaction = printarticle&dossier = 7&policy = 50 >.
277. Downes DR, "How Intellectual Property Could Be a Tool to Protect Traditional
Knowledge", (2000) 25 Co/um. J. Envtl. L. 253 him 253 - 255.
278. Outfield G, Protecting Traditional Knowledge and Folkfore, 2003, International
Centre for Trade and Sustainable Development & United Nations Conference on
Trade and Development, Switzerland, him. 31.

90
bahwa pengetahuan tradisional bisa mendapat perlindungan. Namun,
dalam kasus tersebut India hams melakukan perjuangan yang keras dengan
menunjukkan dokumentasi yang memadai. Sebaliknya, tidak ada usaha
dari pemohon paten untuk menganggap pengetahuan penggunaan kunyit
di India itu sebagai Teknologi Yang Diungkapkan Sebelumnya (prior art). 279
Dari kasus ini dapat diambil pelajaran bahwa perlindungan tradisional
belum memadai.
Pengetahuan tradisional sudah diakui oleh Convention on Biological
Diversity (CBD) - mulai berlaku tahun 1993 - yang telah diratifikasi oleh
196 negara. 280 Pasal 8 huruf j Convention on Biological Diversity (CBD)
menyatakan:

Each Contracting Party shall, as far as possible and as appropriate:


0) subject to its national legislation, respect, preserve and maintain
knowledge, innovations and practices of indigenous and local
communities embodying traditional lifestyles relevant for the
conservation and sustainable use of biological diversity and promote
their wider application with the approval and involvement of the
holders of such knowledge, innovations and practices and encourage
the equitable sharing of the benefi.ts arising from the utilization of such
knowledge, innovations and practices.

Pasal 8 huruf j tersebut menetapkan bahwa negara peserta Konvensi


hams menghormati, memelihara dan menjaga pengetahuan tradisional;
dalam menggunakannya hams meminta persetujuan dari dan melibatkan
pemegangnya; dan hams mengusahakan adanya pembagian kemanfaatan
(benefi.ts) secara adil dari penggunaannya. Selanjutnya, pada bulan Mei
2002, negara-negara peserta CBD membuat the Bonn Guidelines on Access
to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the Benefi.ts
Arising out of Their Utilisation. Intinya, Guidelines ini "mendorong"
pengungkapan negara asal dari sumber genetic dan pengetahuan tradisional

279 Outfield, ibid.


280 Convention on Biological Diversity, https://www.cbd.int/information/parties.shtml
(diakses tanggal 25 Oktober 2016).

I 91
di dalam setiap aplikasi paten dan pembagian manfaat dari penggunaan
paten tersebut. 281
Pasal 15 ayat (4) CBD menyatakan bahwa akses hams dengan syarat­
syarat yang disepakati bersama, ayat (5) menyatakan bahwa akses kepada
sumber genetik hams dengan prior informed consent dari negara peserta
yang menyediakan sumber genetik tersebut dan ayat (7) mengharuskan
pembagian yang adil dan fair dari basil riset dan pengembangan dan
kemanfaatan yang diperoleh dari penggunaan komersial sumber genetik.
Pasal 15 CBD tersebut kemudian dijelaskan oleh Nagoya Protocol on
Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefi.t
Arising from Their Utilization yang juga telah disahkan oleh Indonesia
pada tahun 2013. Namun, sampai saat ini belum ada kesepakatan
internasional di bidang HKI tentang bagaimana ketentuan-ketentuan
tersebut diimplementasikan. Perjanjian TRIPs (Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights) - salah satu perjanjian dalam the World Trade
Organization - tidak berisi ketentuan yang tegas mengenai pengetahuan
tradisional dan sama sekali tidak menunjuk CBD walaupun usulan untuk
itu sudah ada. 282
Beberapa negara, terutama negara berkembang, secara sendiri-sendiri
telah berusaha memberikan perlindungan kepada pengetahuan tradisional.
Misalnya, Panama telah mengeluarkan undang-undang yang melindungi
pengetahuan tradisional. Undang-undang ini antara lain menentukan
bahwa setiap pengguna pengetahuan tradisional hams mematuhi peraturan
yang dikeluarkan oleh indigenous group yang memiliki atau memegang
pengetahuan tradisional tersebut. 283
Negara Peru juga telah mengeluarkan the Law of Protection of
the Collective Knowledge of Indigenous Peoples pada bulan Agustus
2002. Undang-Undang ini antara lain mewajibkan calon pemakai
untuk memperoleh persetujuan (informed consent) dari komunitas yang
mempunyai pengetahuan tradisional dan membuat perjanjian penggunaan
pengetahuan tradisional. Undang-undang ini juga menentukan berbagai

281 Sharma, Op.Cit.


282 Outfield, Op.Cit., hlm. 16.
283 Outfield, ibid., hlm. 45.

92 I
bentuk cara pendaftaran untuk mendokumentasikan pengetahuan tradisional
dan memudahkan penyediaannya bagi pihak ketiga.284 Bahkan di Bolivia,
ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasarnya yang melindungi
pengetahuan tradisional. Misalnya, Pasal 42 UUD Bolivia menyatakan:
"The promotion of traditional medicine shall incorporate a registry of
natural medicines and their active substances, as well as the protection of
the associated knowledge as intellectual, historical and cultural property,
and as patrimony of indigenous nations and peoples." Pasal 100 UUD
negara tersebut menyatakan: "The State shall protect knowledge by means
of a registry of intellectual property that safeguards the intangible rights
of indigenous nations and peoples ... " 285
Di Indonesia, sudah ada draft RUU tentang perlindungan pengetahuan
tradisional yang disatukan dengan ekspresi budaya tradisional. RUU ini
berisi ketentuan yang memberikan perlindungan secara positif (positive
protection) karena memberikan hak-hak yang memungkinkan masyarakat
untuk mempromosikan, mengembangkan, melestarikan pengetahuan
tradisionalnya, mengontrol penggunaannya, dan mengambil manfaat dari
penggunaan komersialnya. Di samping itu, UU Paten 2016 berisi beberapa
pasal yang secara defensive bisa melindungi pengetahuan tradisional
(defensive protection) karena ketentuan-ketentuan tersebut mencegah
terjadinya penyalahgunaan dan pencurian pengetahuan tradisional dengan
cara mempatenkannya.

1. Pengetahuan Traclisional dan Hokum HK.I


Hukum HKI merupakan serangkaian hukum yang memberikan dan
mengatur hak-hak kepada pihak yang telah melakukan usaha kreatif yang
meliputi Hak Cipta, Paten, Hak atas Merek, Rahasia Dagang, Indikasi
Geogra:fis dan lain sebagainya (Pasal 1.2 Perjanjian TRIPs). Hak Cipta
adalah hak eksklusif pencipta untuk mengumumkan dan memperbanyak
karya cipta di bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Paten merupakan

284 Outfield, ibid., hlm. 45-46.


285 Daniel S. Sem, "Co-Developing Drugs With Indigenous Communities: Lessons From
Peruvian Law And The Ayahuasca Patent Dispute," (2016) 23 Rich. J.L. & Tech. 1,
hlm. 28.

I 93
hak eksklusif inventor untuk menggunakan atau melaksanakan suatu
invensi di bidang teknologi. Hak atas Merek adalah hak eksklusif pemilik
merek untuk menggunakan merek yang telah terdaftar. Rahasia dagang
merupakan informasi yang dirahasiakan di bidang teknologi dan bisnis
yang mempunyai nilai ekonomis. Indikasi geogra:fis adalah suatu tanda
yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang faktor lingkungan
geogra:fisnya termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari
kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang
yang dihasilkan.
Berkenaan dengan hubungan antara hukum HKI dengan pengetahuan
tradisional, isu yang muncul adalah bagaimana kedudukan hukum HKI
terhadap perlindungan pengetahuan tradisional. Terhadap isu tersebut ada
tiga posisi. Pertama, the public domain position; kedua, the appropriation
position; dan ketiga, the moral rights position. Penganut posisi pertama
menyatakan bahwa pengetahuan tradisional hams menjadi milik umum
yang boleh dinikmati oleh semua penduduk di dunia. Oleh karena itu,
penganut posisi ini menentang usaha yang ingin menjadikan pengetahuan
tradisional sebagai barang komoditi. Mereka mendukung struktur sosial
tradisional untuk memelihara dan mengontrol penggunaan pengetahuan
tradisional. Oleh karena itu, mereka tidak setuju penciptaan HKI untuk
pengetahuan tradisional karena HKI merupakan jalan yang akan merusak
lembaga dan struktur tradisional dalam pengetahuan tradisional. 286
Penganut the appropriation position mendukung kepemilikan
eksklusif pengetahuan tradisional oleh suatu lembaga atau badan untuk
bisa menentukan penggunaannya untuk tujuan komersial dan penggunaan
lainnya. Mereka menyatakan bahwa pengetahuan tradisional hams
dijadikan barang komoditas dan sebanyak-banyaknya dipasarkan. Oleh
karena itu, bagi penganut posisi ini, kedudukan hukum HKI sangat penting
untuk menentukan bagaimana dan siapa yang berhak memanfaatkan
pengetahuan tradisional. Adanya posisi ini menyebabkan terjadinya

286 Ghosh S, "Reflections on the Traditional Knowledge Debate" (2003) 11 Cardozo J.


Int'l & Comp. L. 497, hlm. 499-500.

94 I
kepemilikan pengetahuan tradisional oleh perusahaan-perusahaan
multinasional yang kebanyakan berada di negara-negara maju. 287
Penganut the moral rights position menyatakan bahwa pemegang
pengetahuan tradisional hams dilindungi dan diberi hak yang berupa
kepemilikan yang penuh dan dapat mencegah atau menentang klaim oleh
para pengambil manfaat atau pemakai pengetahuan tradisional, termasuk
perusahaan multinasional. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan
tradisional bisa dikomersialisasikan tetapi hanya oleh mereka (pemegang)
yang berhak. 288 Dalam hal ini, hukum HKlbisa digunakan untuk menentukan
siapa yang berhak untuk memanfaatkan pengetahuan tradisional tersebut.
Namun, ada kontroversi mengenai apakah hukum HKI cocok untuk
mengatur pengetahuan tradisional atau tidak. Ada beberapa sarjana
yang berpendapat bahwa hukum HKI tidak cocok untuk mengatur
pengetahuan tradisional, karena HKI bersifat individual, sedangkan
pengetahuan tradisional bersifat komunal. 289 Persoalannya adalah ketika
beberapa sarjana melihat ketidakcocokan hukum HKI untuk melindungi
pengetahuan tradisional, hukum HKI terutama paten justru berevolusi terns
dan lebih mendominasi. Jadi, karena hukum HKI hanyalah diciptakan oleh
suatu kebijakan, maka sebenamya tergantung bagaimana para pembuat
kebijakan mereka-reka hukum HKI tersebut agar hukum tersebut di satu
sisi melindungi pemegang HKI dan di sisi lain melindungi pengetahuan
tradisional.
Selama ini, bisa dikatakan ada dua cara hukum HKI menangani
masalah pengetahuan tradisional. Pertama, melindunginya sebagai HKI.
Misalnya, hukum merek bisa melindungi tanda-tanda dari pengetahuan
tradisional dan/atau indikasi geogra:fis. Kedua, paten memakai cara lain
yaitu justru mengecualikan pengetahuan tradisional, seperti pengetahuan
tradisional yang berkaitan dengan metode pengobatan dan teknologi
tanaman dan binatang (dan makhluk hidup yang lain), dari invensi yang
dapat dipatenkan. Menjadi isu yang perlu dikaji secara mendalam apakah

287 Ghosh, ibid.


288 Ghosh, ibid.
289 Downes DR, "How Intellectual Property Could Be a Tool to Protect Traditional
Knowledge", (2000) 25 Colum. J. Envtl. L. 253, hlm. 255.

I 95
pengetahuan tradisional tertentu bisa dilindungi dengan cara dipatenkan
mengingat syarat kebaruan (novelty) dan langkah inventif (inventive
step/non-obvious) kemungkinan besar sulit dipenuhi oleh kebanyakan
pengetahuan tradisional.
Sebagaimana tersebut di atas, CBD telah menetapkan syarat prior
informed consent dan fair and equitable sharing dari pemanfaatan
pengetahuan tradisional. Ketentuan dalam CBD tersebut telah dijelaskan
oleh Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and
Equitable Sharing of Benefi.t Arising from Their Utilization. Namun,
konvensi dan protocol tersebut tidak menghubungkan perlindungan
pengetahuan tradisional dengan HKI. Juga Bonn Guidelines on Access to
Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the Benefi.ts Arising
out of Their Utilisation, yang dibuat Mei 2002, hanya "mendorong"
pengungkapan negara asal dari sumber genetik dan pengetahuan
tradisional di dalam aplikasi HKI. 290 Oleh karena itu, tanpa adanya
dukungan dari kesepakatan HKI internasional, maka komitmen tersebut
sulit dilaksanakan. Sayangnya, Perjanjian TRIPs tidak berisi ketentuan
tentang pengetahuan tradisional dan tidak menunjuk kepada komitmen
yang telah tercantum dalam CBD. Perjanjian-perjanjian internasional
HKI lainnya, seperti the Berne Convention, the Paris Convention dan the
Patent Cooperation Treaty juga tidak mengatur mengenai perlindungan
pengetahuan tradisional walaupun the Berne Convention mencantumkan
hak moral (moral rights) dan the Paris Convention mengatur merek, yang
bisa digunakan untuk menyelesaikan sebagian masalah yang berhubungan
dengan pengetahuan tradisional.
Usulan agar Perjanjian TRIPs mengatur pengetahuan tradisional
sudah lama dilakukan. Pada pertemuan keempat the WTO Ministerial
Conference di Doha (November 2001) diusulkan agar Perjanjian TRIPS
diperbaiki agar menunjuk kepada CBD dan melindungi pengetahuan
tradisional. Kemudian beberapa negara berkembang seperti Brazil, China,

290 Angka 16 huruf (d) ii Bonn Guidelines ini menyatakan: "These countries could
consider, inter alia, the following measures: (ii) Measures to encourage the disclosure
of the country of origin of the genetic resources and of the origin of traditional
knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities in
applications for intellectual property rights."

96
Cuba, Ecuador, India, Pakistan, Thailand dan lain-lain mengusulkan
kepada the TRIPS Council untuk memperbaiki Perjanjian TRIPs agar
melindungi pengetahuan tradisional. Mereka mengusulkan agar Perjanjian
TRIPs berisi ketentuan bahwa negara peserta mensyaratkan pemohon
paten yang menggunakan sumber biologis atau pengetahuan tradisional
untuk (a) mengungkapkan sumber dan negara asal sumber biologis dan
atau pengetahuan tradisional yang digunakan dalam penemuannya; (b)
menunjukkan bukti adanya persetujuan dari pemegang sumber biologis
atau pengetahuan tradisional tersebut dan (c) menunjukkan bukti
kesepakatan pembagian benefi.t yang adil menurut ketentuan dari negara
asal sumber biologis atau pengetahuan tradisional yang digunakan. 291 Ada
juga usulan agar the Patent Cooperation Treaty memuat ketentuan bahwa
hukum negara anggota dapat mengharuskan pengungkapan pengetahuan
tradisional yang dipakai dalam permohonan paten; jika pemohon paten
tidak mengungkapkannya, maka permohonannya bisa ditolak.292 Namun,
sampai sekarang ini, kedua perjanjian intemasional tersebut belum diubah
untuk mengakomodasi usulan-usulan tersebut.
Walaupun Perjanjian TRIPs tidak mengatur perlindungan pengetahuan
tradisional, namun Perjanjian ini mencantumkan ketentuan yang bisa
berhubungan dengan pengetahuan tradisional seperti merek (trademarks)
dan indikasi geogra:fis (geographical indications).
Pengertian merek tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) Perjanjian TRIPs.
Menurut Pasal ini, merek adalah "[A]ny sign, or any combination of signs,
capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from
those of other undertaking ... "
Merek bisa digunakan untuk melindungi tanda dari pengetahuan
tradisional yang memenuhi syarat sebagai merek. Apabila merek dari
pengetahuan tradisional ini ditiru oleh seseorang, maka pemiliknya
mempunyai hak untuk menuntutnya. Kelemahannya adalah tidak semua,

291 WTO Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Compilation
of WTO Documents Concerning Intellectual Property, bahan dari WIPO-WTO
Colloquium for Teachers of Intellectual property, Geneva, 30 Juni - 10 Juli 2008,
him. 28.
292 Werra J d, "Fighting Against Biopiracy: Does The Obligation to Disclose in Patent
Applications Truly Helps", (2009) 42 Vand. J. Transnat'l L. 143, him. 148.

I 97
kalau tidak bisa dikatakan jarang, tanda dari pengetahuan tradisional
merupakan merek yang terdaftar. Oleh karena itu, upaya untuk memberikan
merek untuk pengetahuan tradisional kemudian mendaftarkannya
diharapkan akan banyak dilakukan untuk memanfaatkan merek sebagai
sarana perlindungan pengetahuan tradisional. Namun, muncul persoalan
siapakah yang hams mengupayakan hal tersebut. Oleh karena itu, perlu
ada organisasi untuk kepentingan tersebut.
lndikasi geogra:fis (geographical indications) tercantum dalam Pasal
22 Perjanjian TRIPs. Pasal ini mende:finisikan indikasi geogra:fis sebagai
"[I]ndications which identify a good as originating in the territory of a
Member, or a region or locality in that territory, where a given quality,
reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to
its geographical origin. "
lndikasi geogra:fis bisa dipakai untuk melindungi pengetahuan
tradisional karena kebanyakan indikasi ini berbasis kepada tradisi kolektif
dan proses pengambilan keputusan kolektif (collective decision-making
process). Juga karena indikasi ini menekankan kepada hubungan antara
kultur manusia dan lingkungannya dan bisa dipertahankan selama tradisi
kolektif tersebut dipertahankan.
Hal lain yang dapat berhubungan dengan pengetahuan tradisional
yang tercantum dalam Perjanjian TRIPs adalah apa yang disebut the
"life patenting exception". Pasal 27 ayat (3) huruf b dari Perjanjian ini
menyatakan:

Members may also exclude from patentability: . . . (b) plants and


animals other than micro-organisms, and essentially biological
processes for the production of plants or animals other than non­
biological and microbiological processes. However, Members shall
provide for the protection of plant varieties . . .

Pasal ini memperbolehkan negara anggota untuk mengecualikan, dari


yang dapat dipatenkan, tanaman dan binatang, kecuali jasad renik (micro­
organisms) dan proses biologis untuk memproduksi tanaman dan binatang,
kecuali proses non-biologis dan mikrobiologis. Namun, ketentuan ini
sangat lemah ditinjau dari perlindungan pengetahuan tradisional, karena

98 I
dengan menggunakan kata "may", ketentuan ini memberikan kebebasan
kepada negara peserta untuk mengecualikan atau tidak. Jadi, Pasal ini
juga memperbolehkan negara peserta untuk memasukkan item-item
tersebut ke dalam invensi-invensi yang dapat diberikan paten. Oleh karena
itu, kelompok aktivis Afrika (the African Group) pernah mengusulkan
agar Pasal 27 ayat (3) huruf b secara tegas melarang pemberian paten
untuk tanaman dan binatang termasuk jasad renik (micro-organisms) dan
semua makhluk hidup yang lain dan semua proses untuk memproduksi
tanaman, binatang dan semua makhluk hidup yang lain.293 N amun, karena
memasukkan jasad renik dan semua proses untuk memproduksi tanaman
dan hewan termasuk non-biologis dan mikrobiologis sebagai item-item
yang tidak bisa diberikan paten, usulan ini tidak realistis dan sulit mendapat
sambutan dari negara-negara di Eropa danAmerika Serikat.294 karena item­
item tersebut justru merupakan evolusi dari hal-hal yang dapat dipatenkan
di negara-negara tersebut.295 Fakta menunjukkan bahwa permohonan
paten makhluk hidup telah banyak diajukan di Amerika Serikat. Misalnya,
sebelum tahun 2000 saja the U.S. Government's National Institutes of
Health telah mengajukan permohonan paten untuk 2.851 genes dan
fragmen DNA (deoxyribonucleic Acid) otak manusia. Sebuah perusahaan
Amerika, Incyte, juga telah mengajukan permohonan paten untuk 40.000
genes dan fragmen DNA manusia. Begitu juga telah diajukan permohonan
paten untuk genes dan DNA beras, kacang tanah (groundnut) dan kacang­
kacangan.296
Memang Pasal 27 ayat (3) huruf (b) Perjanjian TRIPs perlu diperbaiki
agar: pertama, memberikan perlindungan pengetahuan tradisional;
kedua, untuk dapat "menyeragamkan" negara-negara peserta dalam
mengimplementasikan ketentuan Pasal tersebut dan komitmen dalam CBD.
293 Outfield, Op.Cit., hlm 39; Ong B, Intellectual Property and Bilogical Resources,
Marshall Cavendish International, Singapora, 2004, hlm. 63-68.
294 Boza RT, "Protecting Andean Traditional Knowledge and Biodiversity Perspectives
under the U.S. - Peru Trade Promotion Agreement", (2008) 16-SUM Currents: Int'/
Trade L.J. 76, hlm. 78.
295 Outfield, Op.Cit., hlm. 39.
296 Mgbeoji I, "Patents and Traditional Knowledge of the Uses of Plants: Is a Communal
Patent Regime Part of the Solution to the Scourge of Bio Piracy?" (2001) 9 Ind. J.
Global Leg. Stud. 163, hlm. 164

I 99
Perbaikannya adalah dengan menjadikan ketentuan dalam Pasal tersebut
wajib bagi semua anggota WTO, namun dengan tetap mempertahankan
pengecualian-pengecualian yang tercantum dalam Pasal tersebut. Tanpa
perbaikan, Pasal tersebut memungkinkan ketidakseragaman perlakuan
negara peserta terhadap aplikasi paten makhluk hidup; di negara yang satu
bisa diberikan paten, sedangkan di negara lain tidak bisa diberikan paten.
Hal ini berarti suatu pengetahuan tradisional di negara yang pertama tidak
bisa "dimanfaatkan" di negara yang pertama namun mudah "dicuri" di
negara yang kedua. Ini justru merugikan masyarakat, khususnya pemegang
pengetahuan tradisional, di negara yang pertama tersebut.

2. Hokum HKI dan Perlindungan Pengetahuan Tradisional di


Indonesia
a) Hokum Paten
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 (UU Paten 2016) berisi
ketentuan yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional, sebagai
berikut.
Pasal 9 huruf b mencantumkan beberapa item yang tidak dapat
diberikan paten, yaitu "metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/
atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan".
Berarti semua metode tradisional yang berkaitan dengan pengobatan tidak
bisa diberikan paten. Akibatnya, setiap penemuan yang dimohonkan paten
yang ternyata hanya menggunakan metode pengobatan dari pengetahuan
tradisional tidak bisa diberikan paten.
Namun, ketentuan itu tidak didukung oleh kesepakatan internasional.
Pasal 27 ayat (3) huruf (a) Perjanjian TRIPs hanya menyatakan bahwa:
"Members may also exclude from patentability: (a) diagnostic, therapeutic
and surgical methods for the treatment of human or animals". Dengan
kata "may" berarti, Perjanjian TRIPs tidak mengharuskan. Dengan kata
lain, negara anggota boleh mengabulkan permohonan paten untuk invensi
metode pengobatan. Akibatnya, pengetahuan tradisional di Indonesia bisa
saja "dicuri" dan didaftarkan di negara tersebut.

100 I
Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah menginventarisir
dan mendokumentasikan secara tertulis, terperinci dan jelas mengenai
pengobatan tradisional yang ada, kemudian mempublikasikannya. Dengan
ini diharapkan pengetahuan tradisional ini diakui sebagai Teknologi
Yang Diungkapkan Sebelumnya (prior art) di negara lain, terutama di
negara seperti Amerika Serikat yang mengakui prior art di luar negeri
hanya apabila tertulis. 29 7 Dalam Draft RUU Pengetahuan Tradisional dan
Ekspresi Budaya Tradisional (RUUPT&EBT) yang terakhir (awal Januari
2017) Penulis terima, telah dicantumkan ketentuan tentang kewajiban
inventarisasi dan pendokumentasian pengetahuan tradisional. 298 Deskripsi
tentang pengetahuan tradisional dalam dokumentasi yang akan dibuat hams
jelas agar dapat membatalkan syarat kebaruan invensi yang dimintakan
paten ("novelty-destroying prior art''). Untuk itu, deskripsi tersebut hams
"enabling". Artinya, dengan membaca deskripsi tersebut seseorang yang
ahli di bidangnya bisa membuat invensi yang sedang dimintakan paten.
Ketentuan lain dalam UU Paten 2016, yaitu Pasal 9 huruf d dan
huruf e menyatakan tidak bisa diterima sebagai invensi: "semua makhluk
hidup, kecuali jasad renik", dan "proses biologis yang esensial untuk
memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau
proses mikrobiologis". Berarti pengetahuan tradisional yang berkaitan
dengan item-item menurut ketentuan dalam Pasal 9 huruf d dan e ini
tidak bisa dipatenkan. Namun, sampai sekarang tidak ada kesepakatan
internasional yang mendukung ketentuan tersebut. Pasal 27 ayat (3) huruf
(b) 299 Perjanjian TRIPs membebaskan negara peserta untuk mengambil
kebijakan sendiri-sendiri berkaitan dengan paten makhluk hidup dan

297 Section 102 dari Code 35 Amerika Serikat berbunyi: "[A] person shall be entitled to a
patent unless: (a) the invention was known or used by others in this country, patented
or described in a printed publication in this or a foreign country, before the invention
thereof by the applicant for a patent, or (b) the invention was patented or described in
a printed publication in this or a foreign country ..."
298 Dalam draft RUU tersebut ada pasal yang menyatakan: "(l) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melakukan inventarisasi mengenai Pengetahuan Tradisional dan
Ekspresi Budaya Tradisional. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab membuat dokumentasi dan memiliki pangkalan data mengenai Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional."
299 Pasal ini menyatakan: "Members m(O' also exclude from patentability:...(b) plants
and animals other than micro-organisms, and essentially biological processes for

I 101
proses biologis. Akibatnya, ketentuan Pasal 9 huruf d dan huruf e ini juga
dapat merugikan bangsa Indonesia. Pengetahuan tradisional di Indonesia
berkenaan makhluk hidup yang tidak bisa dipatenkan di Indonesia bisa
dimintakan paten di negara lain seperti Amerika Serikat.
Pasal-pasal dalam UU Paten 2016 tersebut di atas bisa dikatakan
merupakan ketentuan-ketentuan yang bisa digunakan untuk melindungi
pengetahuan tradisional secara negatif (defensive protection). 30° Ketentuan
lain yang secara eksplisit memberikan perlindungan kepada pengetahuan
tradisional secara negatif dalam UU Paten 2016, yang sebelumnya (UU
Paten 2001) tidak mengatur, adalah Pasal 26. Pasal 26 ayat (1) menyatakan:
"Jika Invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari sumber daya genetik
dan/atau pengetahuan tradisional, hams disebutkan dengan jelas dan
benar asal sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional tersebut
dalam deskripsi." Artinya, inventor atau pemohon paten hams jujur
mengungkapkan penggunaan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan
tradisional di dalam deskripsi invensinya.
Dalam Penjelasan Pasal 26(1) UU Paten 2016 dinyatakan secara
tegas bahwa tujuan kewajiban disclosure tersebut adalah agar sumber
daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional Indonesia tidak diklaim
oleh negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mulai
memikirkan pencegahan pencurian sumber daya genetik dan/atau
pengetahuan tradisional Indonesia oleh negara-negara lain. Di samping
itu, kewajiban dalam Pasal tersebut bertujuan untuk menciptakan Access
and Benefi.t Sharing (ABS). Artinya, agar inventor dan pemegang sumber
daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional membuat suatu mekanisme
bagaimana sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional bisa
diakses dan bagaimana mereka membagi hasil pemanfaatannya.301 Tujuan

the production of plants or animals other than non-biological and microbiological


processes..." (Penekanan oleh Penulis).
300 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengertian defensive protection dan
positive protection, lihat WIPO, "Traditional Knowledge and Intellectual Property
- Background Brief," http://www.wipo.int/pressroom/en/briefs/tk_ip.html, (diakses
tanggal 21 Januari 2016).
301 Lihat Secretariat of Convention on Biological Diversity, "Introduction to Access and
Benefit-Sharing," https://www.cbd.int/abs/infokit/brochure-en.pdf (diakses tanggal
26 Oktober 2016).

102 I
ini kemudian dipertegas oleh Pasal 26(3) yang menyatakan bahwa
pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan sumber daya genetik dan/atau
pengetahuan tradisional dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemndang­
undangan dan perjanjian intemasional di bidang sumber daya genetik
dan pengetahuan tradisional. Bisa dipahami dari sini bahwa salah satu
perjanjian intemasional penting yang mengatur ABS adalah Convention
on Biological Diversity (CBD) yang telah dirati:fikasi Indonesia pada tahun
1994.302 Pasal 15 CBD mengatur bagaimana ABS dilakukan. Intinya,
akses hams disepakati kedua belah pihak dan hams mendapat persetujuan
terlebih dahulu (prior informed consent) dari pemegang sumber daya
genetik dan/atau pengetahuan tradisional. Pembagian hasil penelitian dan
pengembangan, komersialisasi dan pemanfaatan lainnya hams dilakukan
secara fair dan equitable antara kedua belah pihak. Pasal 15 CBD tersebut
dijelaskan oleh Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the
Fair and Equitable Sharing of Benefi.t Arising from Their Utilization yang
juga telah disahkan oleh Indonesia pada tahun 2013.303
Ketentuan tentang kewajiban disclosure dalam Pasal 26(1) UU Paten
2016 tersebut di atas belum didukung oleh kesepakatan intemasional di
bidang HKI. Perjanjian TRIPs, misalnya, belum mengatumya. Pasal
29.1 Perjanjian TRIPs hanya menyatakan bahwa Negara Anggota WTO
hams mewajibkan pemohon paten untuk: "... disclose the invention in a
manner sufficiently clear and complete for the invention to be carried out
by a person skilled in the art and may require the applicant to indicate
the best mode for carrying out the invention known to the inventor ... "
Pasal ini tidak menyinggung sama sekali tentang kewajiban disclosure
berkaitan dengan pengetahuan tradisional. Usulan untuk perbaikan
Pasal dalam Perjanjian TRIPs tersebut sudah dilakukan, yang intinya
perlu ditambahkan kewajiban bagi pemohon paten untuk menyebutkan
secara jujur pengetahuan tradisional yang digunakan dalam deskripsi

302. Lihat UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on


Biological Diversity. Lihat juga "Convention on Biological Diversity, List of Parties,"
https://www.cbd.int/information/parties.shnnl (diakses tanggal 26 Oktober 2016).
303 Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi
Pengesahan Protokol Nagoya tentang Al<ses pada Sumber Daya Genetik dan
Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya.

I 103
permohonan patennya.304 Apabila Perjanjian TRIPs sudah mengatur
kewajiban disclosure, posisi hukum UU Paten 2016 akan didukung secara
internasional.
Walaupun Perjanjian TRIPs belum mengatur kewajiban disclosure,
namun sudah ada usaha ke arah itu oleh WIPO. Dalam Draft Articles on
the Protection of Traditional Knowledge yang dibuat oleh the WIPO s
Intergovernmental Committee on Intellectual Property, Genetic Resources,
Traditional Knowledge and Folklore (IGC), tercantum beberapa policy
objectives yang salah satunya adalah: mendukung kewajiban disclosure
dalam permohonan paten, yang berbunyi: "ensure mandatory disclosure
requirement of the country of origin oftraditional knowledge and associated
genetic resources that are related or used in the patent application. " 305
Kemudian, Pasal 4 BIS Draft Articles tersebut secara khusus mengatur
kewajiban disclosure.306 Sayangnya, sampai sekarang belum jelas kapan
draft treaty tersebut akan disepakati.
Kelemahan dari Pasal 26 UU Paten 2016 adalah tidak mengatur
secara eksplisit kewajiban adanya prior informed consent walaupun bisa
juga tersirat dalam Penjelasan Pasal 26(1) pada istilah Access and Benefit
Sharing (ABS) yang merupakan tujuan dari kewajiban disclosure karena
akses hams selalu mendapat persetujuan dari pemegang pengetahuan
tradisional terlebih dahulu. Namun, lebih baik kewajiban adanya prior
informed consent diatur secara eksplisit. Bandingkan dengan ketentuan
Pasal 4 Bis.1 Draft Articles on the Protection of Traditional Knowledge

304 Manual Ruiz, The International Debate on Traditional Knowledge as Prior Arts in the
Patent System: Issues and Options for Developing Countries, Center for International
Environmental Law, 2002, lllm. 19.
305 WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge DraftArticles," hlm. 6, http://www.
wipo.int/edocs/mdocs/tk/ en/ wipo_grtkf_ic_21/wipo_grtkf_ic_21_ref_facilitators_
text.pdf (diakses tanggal 18 Januari 2017).
306 Pasal 4 BIS.1 Draft Articles menyatakan: "[ ... Intellectual property applications
that concern [an invention] any process or product that relates to or uses traditional
knowledge shall include information on the country from which the [inventor or the
breeder] applicant collected or received the knowledge (the providing country), and
the country of origin if the providing country is not the same as the country of origin
of the traditional knowledge. The application shall also state whether prior informed
consent to access and use has been obtained.}"

104 I
dari WIPO yang mengatur secara eksplisit kewajiban prior informed
consent.307
UU Paten 2016 berisi ketentuan yang memungkinkan pemegang
pengetahuan tradisional untuk mengajukan keberatan terhadap
permohonan paten yang melanggar pengetahuan tradisionalnya. Pasal 49
ayat (1) UU Paten 2016 menyatakan bahwa setiap pihak dapat mengajukan
keberatan terhadap suatu permohonan paten dengan memberikan
alasannya. Berdasarkan Pasal ini, pemilik atau pemegang pengetahuan
tradisional bisa mengajukan keberatan terhadap suatu permohonan paten
dengan alasan, misalnya, invensi yang bersangkutan tidak memenuhi
syarat kebaruan (novelty) karena tidak berbeda dengan pengetahuan
tradisionalnya. Namun, dasar hukum ini tidak kuat apabila UU Paten
2016 tidak menganggap pengetahuan tradisional sebagai Teknologi Yang
Diungkapkan Sebelumnya (prior art). Dengan melihat Pasal 5 ayat (2) UU
Paten 2016, yang mengatur prior art, nampaknya tidak semua pengetahuan
tradisional bisa dianggap sebagai prior art.
Pasal 5 ayat (2) menyatakan:

Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) merupakan teknologi yang telah diumumkan di Indonesia
atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui
peragaan, penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan
seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a. Tanggal
Penerimaan; atau b. tanggal prioritas dalam hal Permohonan diajukan
dengan Hak Prioritas.

Penjelasan Pasal 5 ayat (2) menyatakan:

Dalam Undang-Undang ini, ketentuan mengenai uraian lisan atau


melalui peragaan atau dengan cara lain tidak hanya dilakukan di
Indonesia, tetapi juga terhadap hal-hal tersebut yang dilakukan di
luar negeri dengan ketentuan bahwa bukti tertulis harus tetap pula
disampaikan. (Penekanan oleh Penulis)

307 Lihat Pasal 4 Bis.1 Draft Articles kalimat terakhir.

I 10s
Dengan membaca Pasal 5 ayat (2) dan Penjelasannya, nampak tidak
atau kurang pasti bahwa semua pengetahuan tradisional bisa dianggap
prior art karena ada syarat "bukti tertulis harus tetap pula disampaikan"
padahal sebagian besar pengetahuan tradisional adalah tidak tertulis.
Jadi, hanya pengetahuan tradisional yang tertulis saja yang bisa dianggap
sebagai prior art.
Bandingkan dengan Pasal 54(2) the European Patent Convention
(EPC) yang mendefinisikan prior art sebagai " . . . everything made
available to the public by means of a written or oral description, by use,
or in any other way, before the filing of the European patent application".308
Disini jelas bahwa pengertian prior art sangat luas, yang tertulis ataupun
lisan, dengan penggunaan, atau cara lain, dan tidak dibatasi dengan
keharusan penyerahan bukti tertulis seperti dalam Penjelasan Pasal 5 ayat
(2) UU Paten 2016. Lihat juga Pasal 2 huruf (1) UU Paten India309 yang
menyatakan: "new invention " means any invention or technology which
has not been anticipated by publication in any document or used in
the country or elsewhere in the world before the date of filing of patent
application with complete specification, i.e., the subject matter has not
fallen in public domain or that it does not form part of the state of the
art." Ketentuan dalam UU Paten India tersebut jelas menunjukkan bahwa
pengetahuan tradisional merupakan prior art. Bahkan, Pasal 3 huruf (p) UU
Paten India ini memasukkan pada daftar invensi yang tidak dapat diberikan
paten suatu ketentuan yang menyatakan: "[A]n invention which, in effect,
is traditional knowledge or which is an aggregation or duplication of
known properties of traditionally known component or components." Jadi,
invensi yang sebenamya merupakan pengetahuan tradisional tidak dapat
dipatenkan. Oleh karena itu, pengertian prior art dalam Pasal 5 ayat (2)
UU Paten 2016 perlu diperbaiki agar secara pasti bisa mencakup semua
pengetahuan tradisional.

308 The European Patent Convention, hlm. 112, http://documents.epo.org/projects/


babylon/eponet.nsf/0/ F9FDOB02F9D1A6B4C1258003004DF610/$File/EPC_16th_
edition_2016_en.pdf (diakses tanggal 17 Januari 2017).
309 UU Paten India tahun 1970 sebagaimana diamendemen terakhir pada tahun 2005,
http://www.wipo.int/edocs/lexdocs/laws/en/in/in065en.pdf (diakses tanggal 23
Januari 2016).

106 I
Namun, timbul pertanyaan: apakah ketentuan Pasal 26 UU Paten 2016
dapat mementahkan pemikiran bahwa seharusnya pengetahuan tradisional
termasuk dalam pengertian prior art menurut Pasal 5 ayat (2)? Dengan
kata lain, apakah ketentuan Pasal 26 tersebut mempunyai makna tersirat
bahwa pengetahuan tradisional langsung bisa dipatenkan sehingga bukan
merupakan prior art? Harns dipahami bahwa Pasal 26 menggunakan istilah
atau kata-kata "Invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari sumber
daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional." Dari istilah atau kata-kata
ini bisa dipahami bahwa Pasal 26 nampaknya tidak menyiratkan bahwa
pengetahuan tradisional langsung dapat dipatenkan. Menurut pendapat
Penulis, jiwa UU Paten 2016 kaitannya dengan perlindungan pengetahuan
tradisional adalah memberikan defensive protection. 310 Artinya, semua
pasal-pasal tersebut di atas, termasuk Pasal 26, bertujuan untuk mencegah
klaim, pencurian dan/atau pemanfaatan tanpa hak pengetahuan tradisional
untukdipatenkan. Jadi, tidaklogisapabilaPasal26 ditafsirkanmementahkan
pemikiran bahwa pengetahuan tradisional seharusnya merupakan prior
art. Maka, seharusnya, suatu invensi yang berkaitan dengan dan/atau
berasal dari pengetahuan tradisional tidak bisa mendapatkan paten kecuali
tidak sama dengan atau merupakan pengembangan dari pengetahuan
tradisional tersebut.311 Namun, ada kekhawatiran bahwa suatu invensi yang
tidak berbeda dengan atau bukan merupakan pengembangan dari suatu
pengetahuan tradisional akhimya oleh Dirjen KI diberi paten hanya karena
pemohonnya telah memenuhi kewajiban dalam Pasal 26, yakni kewajiban
disclosure dan Access and Benefit Sharing dengan pemegang pengetahuan
tradisional. Oleh karena itu, istilah "invensi berkaitan dengan dan/atau
berasal ..." dalam Pasal 26 perlu dikaji dan dijelaskan agar diperoleh
penafsiran yang tepat agar tidak mementahkan syarat kebaruan (novelty)
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2).

310 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengertian defensive protection clan positive
protection, lihat WIPO, "Traditional Knowledge and Intellectual Property -
Background Brief," http://www.wipo.int/pressroom/en/briefs/tk_ip.html, (diakses
tanggal 21 Januari 2016).
311 Terima kasih kepada Ibu Dr. Mas Rahmah SH, LL.M, pakar dan dosen Hak Kekayaan
Intelektual dari Fak Hukum Universitas Airlangga yang telah meluangkan waktu
untuk berdiskusi dengan Penulis tentang makna Pasal 26 UU Paten 2016.

I 101
Pasal 132 ayat (1) huruf a UU Paten 2016 memungkinkan pihak ketiga
untuk dapat mengajukan gugatan penghapusan paten ke pengadilan niaga
karena invensi yang diberi paten tidak memenuhi unsur kebaruan (novelty)
atau invensi tersebut bukan merupakan invensi yang dapat diberikan paten.
Kalau pengetahuan tradisional dianggap prior art, maka pemegangnya bisa
mengajukan gugatan penghapusan paten apabila invensi yang diberi paten
sama dengan pengetahuan tradisionalnya. Oleh karena itu, sebagaimana
Penulis sebutkan di atas, Pasal 5 ayat (2) yang mengatur mengenai prior art
perlu diperbaiki agar ada kepastian bahwa semua pengetahuan tradisional
bisa dianggap sebagai prior art.
Namun, terlepas dari apakah pengetahuan tradisional merupakan prior
art atau tidak, berdasarkan Pasal 132(1) huruf b, pemegang pengetahuan
tradisional bisa menggugat penghapusan paten apabila invensinya temyata
berasal dari pengetahuan tradisional tetapi inventor atau pemegang patennya
tidak melaksanakan disclosure dan tidak melakukan benefit sharing.
Dalam Pasal 132(2) dinyatakan bahwa gugatan berdasarkan Pasal
132(1) huruf b diajukan oleh pihak ketiga kepada pemegang paten melalui
Pengadilan Niaga. Jadi, berdasarkan ketentuan ini, pemegang pengetahuan
tradisional yang hams aktif. Ini berbeda dengan, misalnya, gugatan
penghapusan paten berdasarkan Pasal 132(1) huruf d, yakni karena
pemberian lisensi wajib tidak bisa mencegah berlangsungnya pelaksanaan
paten yang merugikan masyarakat. Misalnya, pemberian Lisensi-wajib
untuk memproduksi obat yang sangat dibutuhkan masyarakat temyata
tidak dilaksanakan secara efektif sehingga jumlah yang diproduksi tetap
sedikit dan harga obat tetap mahal.312 Dalam hal ini, berdasarkan Pasal
132(4), gugatan bisa diajukan oleh jaksa "mewakili kepentingan nasional."
Sementara itu, gugatan pelanggaran pengetahuan tradisional tidak
perlu melibatkan jaksa. Bisa ditafsirkan bahwa hal itu karena tidak ada
kepentingan nasional yang perlu diperjuangkan dalam gugatan pelanggaran
pengetahuan tradisional. Nampak disini bahwa ketentuan dalam UU Paten
2016 ini tidak menganggap perlindungan pengetahuan tradisional setara
dengan perlindungan kepentingan nasional. Padahal dalam Penjelasan

312. Lihat Penjelasan Pasal 132(1) huruf d UU Paten 2016.

10s I
Umum UU ini disebutkan bahwa perlindungan pengetahuan tradisional
penting karena "Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan
sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang sering dimanfaatkan
oleh Inventor dalam maupun luar negeri untuk menghasilkan Invensi
yang barn." Pemyataan dalam Penjelasan UU ini menyiratkan bahwa
perlindungan pengetahuan tradisional bukan hanya kepentingan individu,
tapi merupakan kepentingan nasional. Oleh karena itu, seharusnya,
negara bersikap lebih aktif dan tidak hanya menyerahkan kepada pihak
ketiga dalam gugatan penghapusan paten yang melanggar pengetahuan
tradisional. Siapa pihak ketiga juga belum jelas sehingga bisa jadi tidak
ada insentif untuk mengajukan gugatan. Negara perlu mempertimbangkan
isi Pasal 4 Bis 4 dari Draft Articles on the Protection of Traditional
Knowledge dari WIPO yang menyatakan: "Rights arising from a grant
shall be revoked and rendered unenforceable when the applicant has failed
to comply with the obligations of mandatory requirements as provided for
in this article ..." Intinya bahwa hak paten hams dibatalkan atau dinyatakan
tidak berlaku apabila pemohon tidak memenuhi kewajiban disclosure dan
prior informed consent. Disini tersirat yang aktif adalah negara untuk
membatalkan paten yang melanggar kewajiban-kewajiban tersebut karena
Draft Articles tersebut nanti akan menjadi treaty yang subjeknya adalah
negara. Dalam draft RUUPT&EBT yang terakhir Penulis terima (awal
Januari 2017) juga ditekankan bahwa Pemerintah yang bertanggung
jawab untuk melindungi pengetahuan tradisional.313 Seharusnya --­
bukan merupakan yang redundant --- UU Paten 2016 juga menekankan
bahwa Pemerintah ikut aktif dalam melindungi pengetahuan tradisional.
Dalam UU Paten 2016 tidak ada ketentuan yang memberikan hak
kepada pemegang pengetahuan tradisional untuk melakukan gugatan
perdata kepada pihak pelanggar pengetahuan tradisionalnya dan juga tidak

313 Dalam draft RUUPT & EBT tersebut ada ketentuan yang menyatakan: "(l)
Pemerintah melakukan langkah-langkah untuk melindungi Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional dari Penggunaan pihak-pihak luar, baik orang asing
maupun pelaku ekonomi. (2) Langkah-langkah melindungi Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
pengawasan, pengendalian, pembinaan, gugatan perdata, pencabutan izin, atau
penuntutan pidana."

I 109
ada ketentuan pidana bagi pelanggar. Gugatan perdata dan tuntutan pidana
bagi pelanggar temyata akan diatur dalam peraturan yang secara khusus (sui
generis) mengatur pengetahuan tradisional. Pada draft RUUPT&EBTyang
terakhir (awal Januari 2017) Penulis terima diatur tentang gugatan perdata314
dan ketentuan pidana315 bagi pelanggar pengetahuan tradisional. Namun,
selama RUU belum disahkan menjadi UU, maka ada kekosongan hukum
tentang gugatan perdata dan tuntutan pidana bagi pelanggar pengetahuan
tradisional. Sayang, pembentuk UU Paten 2016 tidak mengantisipasi hal ini.

b) Hukum Merek
Jarang sarjana membahas hubungan antara perlindungan pengetahuan
tradisional dengan hukum merek. Nampaknya, sarjana telah meremehkan
isu tersebut. Kebanyakan diskusi menghubungkan antara perlindungan
pengetahuan tradisional dengan hukum paten dan hukum hak cipta.
Padahal, seperti dalam hukum paten, orang bisa mendaftarkan merek yang
melanggar pengetahuan tradisional. Misalnya, kata "Kava" yang merupakan
nama species tanaman tradisional yang bisa dipakai untuk bahan minuman
spiritual dan kesehatan di Pacific Islands telah didaftarkan sebagai merek
oleh beberapa perusahaan di Eropa dan AS, walaupun dengan menambah
kata atau huruf-huruf lain, misalnya "Kava Pure" dan Kavatril." 316 Bahkan,
di India, sudah lebih dari 40 (empat puluh) nama kuno India telah menjadi

314 Misalnya, ada pasal yang menyatakan: "Dalam hal tidak ada mekanisme penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap orang yang berkepentingan
atas terjaganya aspek religius, spiritualitas, kepercayaan, dan sifat rahasia dari
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dapat mengajukan gugatan
ke pengadilan negeri."
315 Ada pasal yang menyatakan: "Setiap orang yang melanggar Pasal 35, Pasal 36, dan
Pasal 37 diancam pidana sebesar-besarnya Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah)."
Sedangkan Pasal 35 dalam Draft RUU tersebut menyatakan: "Setiap orang dilarang
menggunakan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional untuk tujuan
komersial, kecuali telah mendapatkan PADIA, mendapatkan kesepakatan bersama,
dan memberikan pembagian keuntungan."
316 Tesh Dagne, "Protecting Traditional Knowledge in International Intellectual Property
Law: Imperatives for Protection and Choice of Modalities," (2014) 14 J. Marshall
Rev. Intell. Prop. L. 25, hlm. 37. Banyak perusahaan juga telah mempatenkan ekstraks
Kava dan campuran aktif Kava. Masyarakat tradisional Pacific Island yang telah
mengembangkan dan mempertahankan khasiat dan sifat-sifat Kava tidak menerima
suatu penghargaan apapun. Ibid.

110 I
merek terdaftar m.ilik perusahaan-perusahaan swasta. Nama-nama seperti
Vastu (bentuk arsitektur tradisional India), Veda (buku Sansekerta tertua
India), Ayurveda (doa permohonan medis kuno) dan Gayatri (nyanyian
religi) telah didaftarkan sebagai merek oleh organisasi-organisasi swasta
di Jerman. 317
Hukum merek bisa digunakan untuk melindungi pengetahuan
tradisional dengan dua cara. Pertama, dengan cara mencegah pendaftaran
tanpa hak, tanda-tanda tradisional oleh pihak tertentu. Kedua, hukum
merek memungkinkan pendaftaran tanda yang berupa nama, kata, simbol,
ikon, dan lain sebagainya m.ilik masyarakat pribum.i (tradisional) untuk
mendapatkan hak atas merek.
Berkaitan dengan cara yang pertama, hukum merek bisa memuat
suatu ketentuan yang melarang pendaftaran suatu tanda yang merugikan
masyarakat yang mempunyai pengetahuan tradisional. Di Selandia
Barn, m.isalnya, Pasal 17(1) huruf c UU Merek Selandia Barn 2002318
menyatakan: "The Commissioner must not register as a trade mark or part
of a trade mark any matter-(c) the use or registration of which would, in
the opinion of the Commissioner, be likely to offend a significant section
of the community, including Maori." Selain itu, Pasal 73(1) UU Merek
Selandia Barn 2002 menyatakan: "The Commissioner or the court may,
on the application of an aggrieved person (which includes a person who
is culturally aggrieved), declare that the registration of a trade mark is
invalid..." (Penekanan oleh Penulis). 319
UU Merek Selandia Barn tersebut mengandung ketentuan yang bersifat
aktif dan pasif. Pasal 17(1) bersifat aktif karena secara tegas mewajibkan

317 Deccan Herald "Veda, Ayurveda registered as trademarks in Germany", December


29. http://www.iprlawindia.org/category05/3559, dalam Vilailuk Tiranutti,
"Trademarking traditional knowledge, Lessons from the Rusie Dutton case," Tech
Monitor, Maret -April 2007, hlm. 43, http://techmonitor.net/tm/images/3/39/07mar_
apr_sf5.pdf (diakses tanggal 24 Januari 2017).
318 UU Merek Selandia Baru 2002 sebagaimana diperbaiki sampai tahun 2014. Lihat
http://www.wipo.int/wipolex/en/details.jsp?id=14825.
319 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang perlindungan pengetahuan tradisional dan
hukum merek di Selandia Baru, lihat Susy Frankel, "Trademarks and Traditional
Knowledge and Cultural Intellectual Property Rights," (Nopember 2011) Victoria
University of Wellington, https://www.researchgate.net/publication/228136506_,
(diakses tanggal 20 Januari 2017).

I 111
Kantor Merek untuk menolak pendaftaran merek yang menyakitkan atau
menghina (offensive) masyarakat. Di sini yang hams aktif adalah Kantor
Merek. Sedangkan Pasal 73(1) bersifat pasif karena Kantor Merek bersikap
pasif menunggu masyarakat yang merasa terhina untuk mengajukan
pembatalan merek yang bersifat offensive.
Di AS ada ketentuan dalam the Lanham Act 1946 (UU Merek AS)
yang melarang pendaftaran merek yang mengandung hal-hal yang tidak
etis sehingga bisa digunakan untuk melindungi pengetahuan tradisional.
Pasal Pasal 2(a) UU Merek AS menyatakan:

"No trademark by which the goods of the applicant may be


distinguished from the goods of others shall be refused registration
on the principal register on account of its nature unless it- "Consists
of or comprises immoral, deceptive, or scandalous matter; or matter
which may disparage or falsely suggest a connection with persons,
living or dead, institutions, beliefs, or national symbols, or bring them
into contempt, or disrepute... "

Walaupun ketentuan dalam UU Merek AS tersebut nampak bersifat


aktif karena mewajibkan Kantor Merek untuk menolak pendaftaran
merek yang immoral (tidak sopan), scandalous (keji/memalukan)
atau disparage (meremehkan/melecehkan), namun karena bahasanya
terlalu umum, ketentuan tersebut hanya memberikan perlindungan yang
bersifat pasif kepada masyarakat pemegang pengetahuan tradisional.
Kantor Merek AS tidak secara aktif menolak pendaftaran merek seperti
itu karena untuk menolaknya Kantor Merek hams melakukan penilaian
(judgment) terlebih dahulu adanya salah satu hal yang tidak etis tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat pemegang pengetahuan tradisional hams
aktif untuk mengajukan keberatan pendaftaran atau gugatan pembatalan
merek yang mengandung hal-hal yang tidak etis tersebut. 320 Di samping
itu, pembuktian dalam pengajuan keberatan pendaftaran dan gugatan
pembatalan dibebankan kepada masyarakat, dan pembuktian tersebut bisa
sulit. Salah satu contoh sulitnya pembuktian seperti itu adalah pembuktian
320 Lynda J. Oswald, Challenging the Registration of Scandalous and Disparaging Marks
Under the Lanham Act: Who has standing to Sue? (2004) 41 AM. BUS. L.J. 251,264
dalam Susy Frankel, ibid, him. 20.

112 I
dalam kasus "Redskins" dimana masyarakat asli Amerika (Native
Americans) gagal membuktikan bahwa pendaftaran merek "Redskins"
telah meremehkan/melecehkan (disparage) masyarakat asli Amerika.321
Dalam UU Merek 2016, ada ketentuan yang bisa melindungi
pengetahuan tradisional. Pasal 72(7) huruf c menyatakan: "Penghapusan
Merek terdaftar atas prakarsa Menteri dapat dilakukan jika: c. memiliki
kesamaan pada keseluruhannya (persis) dengan ekspresi budaya
tradisional, warisan budaya tak benda, atau nama atau logo yang sudah
merupakan tradisi turun temurun." 322 Namun, sayangnya, ketentuan tersebut
hanya membatasi pada merek yang sama pada keseluruhannya. Akibatnya,
merek yang sama pada pokoknya (mirip) dengan tanda tradisional tidak
bisa dihapus. Misalnya merek "Gurah Medik" yang sama pada pokoknya
dengan nama "Gurah" yang merupakan nama pengobatan tradisional di
daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak bisa dihapus.
Sayangnya juga, UU Merek 2016 tidak secara tegas memasukkan
suatu ketentuan preventif terhadap pendaftaran merek yang melanggar
pengetahuan tradisional. UU ini tidak memasukkan merek yang sama
dengan tanda tradisional sebagai salah satu alasan tidak dapat didaftamya
atau ditolaknya permohonan pendaftaran suatu merek. Dalam Pasal
20 yang mengatur merek yang tidak dapat didaftar dan Pasal 21 yang
mengatur merek yang ditolak permohonan pendaftarannya tidak tercantum
hal tersebut. Namun, Pasal 20 huruf a memasukkan "bertentangan dengan
ketertiban umum" sebagai salah satu alasan tidak dapat didaftarkannya
suatu merek. Penjelasan Pasal 20 huruf a mendefinisikan istilah tersebut
secara luas termasuk "menyinggung perasaan masyarakat atau golongan."
Dengan alasan tersebut Kantor Merek bisa menolak pendaftaran suatu
merek yang sama dengan tanda tradisional dengan syarat harus ada
penilaian (judgment) terlebih dahulu bahwa merek tersebut menyinggung
perasaan masyarakat pemegang tanda tradisional. Namun, Penulis
khawatir bahwa Kantor Merek kemungkinan akan menghindari kewajiban
penilaian tersebut, kemudian menerima pendaftaran merek tersebut.

321 ProFootball, Inc. v. Harjo, 284 F. Supp.2d 96, 131 (D.C. Cir. 2003). Lihat Susy
Frankel, ibid, hlm. 19 dan 20 yang membahas hal ini.
322 Penekanan oleh Penulis.

I 113
Seperti di AS, sebagaimana tersebut di atas, Kantor Merek tidak secara
aktif menolak pendaftaran merek dengan alasan yang umum immoral
(tidak sopan), scandalous (keji/memalukan) dan disparage (meremehkan/
melecehkan) yang tercantum dalam Pasal 2(a) UU Merek AS karena
untuk melakukan penilaian seperti itu tidak mudah. Karena Kantor
Merek di Dirjen KI kemungkinan tidak akan menolak pendaftaran merek
yang melanggar pengetahuan tradisional, maka berdasarkan Pasal 76
UU Merek 2016, masyarakat pemegang pengetahuan tradisional yang
hams aktif mengajukan pembatalan merek yang melanggar pengetahuan
tradisionalnya. Masyarakat yang hams membuktikan terpenuhinya alasan
"bertentangan dengan ketertiban umum" tersebut.
Berkaitan dengan cara yang kedua, tanda yang bempa, misalnya, nama,
kata, simbol dan ikon tradisional yang memenuhi kualifikasi dan syarat­
syarat tertentu, bisa didaftarkan sebagai merek. Dibandingkan dengan
hukum paten, hukum merek lebih mendukung perlindungan pengetahuan
tradisional dengan cara ini walaupun sifatnya hanya kebetulan. Dalam
hukum paten, syarat kebaman dan langkah inventif mempakan kendala
bagi pengetahuan tradisional untuk dapat dipatenkan. Sementara itu,
syarat-syarat dalam hukum merek yakni distinctive dan digunakan dalam
perdagangankemungkinan besar bisa dipenuhi oleh pengetahuan tradisional.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indigasi Geografis (UU Merek dan IG 2016), merek
adalah:

tanda yang dapat ditampilkan secara grafis bempa gambar, logo, nama,
kata, hum£, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/
atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua)
atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa ...
dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

Jadi, merek hams mempakan tanda, hams memiliki daya pembeda


(distinctive), dan digunakan dalam perdagangan. Apabila suatu tanda
dari pengetahuan tradisional memiliki daya pembeda, digunakan dalam
kegiatan perdagangan dan didaftarkan, maka tanda tersebut dilindungi
sebagai merek. Misalnya, kata atau nama "Gurah" yang mempakan nama

114 I
metode atau cara pengobatan tradisional untuk mengeluarkan lendir dari
dalam tubuh dengan menggunakan ramuan herbal bisa didaftarkan sebagai
merek jasa pengobatan tersebut oleh warga masyarakat di Jawa, khususnya
Yogyakarta.
Berkaitan dengan masa perlindungan, merek mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan paten. Paten hanya 20 (dua puluh tahun) tahun dan
tidak bisa diperpanjang, sedangkan merek 10 (sepuluh tahun) tetapi bisa
diperpanjang selama masih distinctive dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum merek lebih bisa
melindungi pengetahuan tradisional yang sifatnya perpetual.
UU Merek dan IG 2016 mengatur Indikasi Geografis dan Indikasi
Asal. Keduanya bisa digunakan untuk melindungi pengetahuan tradisional.
Menurut Pasal 1 angka 6 UU Merek dan IG 2016, Indikasi Geografis
adalah:

Suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau


produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan
reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau
produk yang dihasilkan.

Suatu tanda dari pengetahuan tradisional yang memenuhi ketentuan


Pasal 1 angka 6 tersebut bisa dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila
didaftarkan ke Ditjen Kl. 323 Perjanjian TRIPs sendiri tidak mensyaratkan
bahwa Indikasi Geografis hams didaftarkan. Oleh karena itu, sebenarnya,
ketentuan lama, yakni Pasal 59 UU Merek 2001, yang memungkinkan
suatu tanda yang tidak terdaftar tetapi memenuhi syarat sebagai indikasi
geografis bisa dilindungi sebagai indikasi asal adalah sudah tepat adanya.
Namun, sayangnya, dalam UU Merek dan IG 2016, ketentuan seperti dalam
Pasal 59 UU Merek 2001 tersebut tidak ada. Oleh karena itu, kebijakan
barn yang mengurangi hak masyarakat ini layak dipertanyakan.
Secara internasional, ada sesuatu kekhawatiran yang perlu mendapat
perhatian. Walaupun Pasal 22 Perjanjian TRIPs berisi ketentuan
umum tentang geographical indication, namun Perjanjian ini telah
323 Lihat Pasal 53 UU Merek dan IG 2016.

I us
"menganakemaskan" perlindungan indikasi geografis untuk Wines dan
Spirits. Pasal 23 Perjanjian ini secara khusus mencantumkan perlindungan
indikasi geografis untuk kedua produk tersebut. Untuk kedua produk
tersebut, menurut Pasal 23 ayat (1), negara anggota WTO wajib memberikan
hak kepada suatu pihak untuk mencegah penggunaan indikasi geografis
untuk wine atau spirit yang ditempelkan pada wine atau spirit yang bukan
berasal dari tempat yang diindikasikan dalam indikasi geografis tersebut.
Sementara itu, Pasal 22 ayat (3)324 tidak mengharuskan negara anggota
untuk memberikan hak semacam itu. Hal ini dapat menyebabkan suatu
negara anggota bisa melakukan unfair competition yang akan merugikan
pemegang suatu pengetahuan tradisional untuk produk selain wine dan
spirit dari negara anggota lain.
Oleh karena itu, dalam usaha melindungi pengetahuan tradisionalnya
India pernah mengusulkan agar Perjanjian TRIPs diubah agar tidak
memberikan perlakuan yang diskriminatif dalam kaitannya dengan
perlindungan indikasi geografis. 325 Usul India ini patut mendapat sambutan
yang baik. Apabila Perjanjian TRIPs diperbaiki sesuai dengan usulan
India, diharapkan ada keseragaman perlindungan indikasi geografis untuk
produk-produk selain wine dan spirit di negara-negara anggota. Ini akan
menguntungkan Indonesia yang bukan merupakan net producer untuk
wine dan spirit.

C. PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL


Sekarang ini, salah satu penjelasan tentang Ekspresi Budaya Tradisional
(EBT) yang komprehensif terdapat di WIPO s Revised Draft Provisions for
the Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore
(Revised Draft Provisions). Ekspresi budaya tradisional (traditional

324 Pasal ini menyatakan: "A Member shall, ex off,cio if its legislation so permits or at
the request of an interested party, refuse or invalidate the registration of a trademark
which contains or consists of a geographical indication with respect to goods not
originating in the territory indicated, if use of the indication in the trademark for such
goods in that Member is of such a nature as to mislead the public as to the true place
of origin."
325 Kruger M, "Harmonizing TRIPS and the CBD: A Proposal from India" (2001) 10
Minn. J. Global Trade 169, him. 177.

116 I
cultural expressions) yang biasa juga disebut "ekspresi folklore"
(expressions of folklore) mencakup bentuk berwujud (tangible) maupun
tidak berwujud (intangible) di mana budaya dan pengetahuan tradisional
diekspresikan, muncul atau dimanifestasikan/diwujudkan. 326 Contoh dari
ekspresi yang berwujud adalah gambar, lukisan, desain, pahatan, ukiran,
barang tembikar, mosaik, karya yang terbuat dari kayu, karya yang terbuat
dari besi, permata, karya jahitan, tekstil, barang pecah belah, karpet,
pakaian, kerajinan tangan, alat musik, karya arsitektur dan lain sebagainya.
Ada 3 (tiga) kategori ekspresi yang tidak berwujud: (1) ekspresi verbal
(seperti cerita, syair kepahlawanan (epics), puisi, kata-kata, tanda, nama
dan simbol); (2) ekspresi musik, dan (3) ekspresi dengan tingkah laku
(seperti tarian, dan pentas). 327
Menurut WIPO, agar dapat dilindungi, ekspresi berwujud harus
memenuhi 3 (tiga) syarat. Pertama, ekspresi berwujud hams mempakan
basil dari aktivitas intelektual yang kreatif yang mencakup aktivitas komunal
atau aktivitas individual. Kedua, ekspresi tersebut harus mempakan sifat
dari identitas budaya dan sosial dan warisan budaya dari suatu komunitas
tertentu. Jadi, ekspresi budaya tersebut mempunyai hubungan dengan
identitas dan warisan suatu komunitas dan ekspresi tersebut hams asli atau
mempakan lambang (attribute) dari suatu komunitas. Ketiga, ekspresi
berwujud hams dijaga, digunakan atau dikembangkan oleh komunitas,
atau oleh individu-individu yang mempunyai hak atau tanggung jawab
untuk melakukan hal-hal tersebut sesuai dengan hukum kebiasaan dan
praktik yang berlaku di komunitas tersebut. 328
Indonesia akan mengatur Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)
bersama dengan Pengetahuan Tradisional dalam suatu peraturan khusus.
Sebagaimana tersebut di atas, telah ada Draft RUU Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUUPT&EBT). Dalam Pasal 1 angka
2 RUU ini, EBT didefinisikan sebagai: "segala bentuk ekspresi, baik

326 WIPO, "The Protection of Traditional Cultural Expressions: Draft Articles," Rev. 2
(April 4, 2014, 3.00 pm), http.www.wipo.intedocsmdocstkenwipo_grtkf_ic_28wipo_
grtkf_ic_28_6.pdf (diakses tanggal 4 Fabruari 2017).
327 WIPO, ibid.
328 WIPO, ibid.

I 111
material (benda) maupun immaterial (tak benda), atau kombinasi keduanya
yang menunjukkan keberadaan suatu budaya dan Pengetahuan Tradisional,
yang bersifat turun-temurun." EBT menurut Draft RUU ini mencakup
"ekspresi fonetik atau verbal, ekspresi suara atau musik, ekspresi gerak
atau tindakan, dan ekspresi material (kebendaan) maupun karya intelektual
lainnya." Definisi ini nampak sesuai dengan definisi Draft WIPO tersebut
di atas. Upaya pembuatan peraturan khusus ini menunjukkan Indonesia
akan memberikan positive protection kepada EBT karena Pemerintah akan
mengembangkan, memanfaatkan, mempromosikan, melestarikan, dan
sekaligus melindungi EBT. Pemerintah juga akan menjamin pemenuhan
hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan EBT. Di samping
itu, pemerintah akan memberikan kerangka kebijakan pengelolaan EBT. 329
Selain akan dibuat peraturan secara khusus, Indonesia sekarang ini
juga telah mengatur EBT dalam UUHC 2014. Pasal 38(1) UUHC 2014
melindungi EBT dengan cara menentukan pemegangnya. Pasal ini
menyatakan bahwa Negara memegang hak cipta atas EBT. Berdasarkan
Pasal 38(2), sebagai pemegang hak cipta karya tradisional tersebut, Negara
hams memelihara dan melindunginya. Berbeda dengan UUHC 2002, UUHC
2014 tidak mengatur tentang diskriminasi antara warga negara asing dan
warga negara Indonesia dalam hal penggunaan EBT. Sebelumnya, UUHC
2002 membedakan antara keduanya. Menurut Pasal 10(3) UUHC 2002,
warga negara asing hams terlebih dahulu memperoleh ijin dari lembaga
yang berwenang di Indonesia sebelum mereka bisa menggunakan karya
tradisional tersebut, sedangkan warga negara Indonesia tidak hams. UUHC
2014 tidak mengatur hal ini namun menunggu peraturan pemerintah yang
dijanjikan oleh 38(4) UUHC 2014 yang akan mengatur hal tersebut.
Berdasarkan Pasal 38(4) UUHC 2014, pengguna EBT hams
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.
Penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut mencakup
"adat istiadat, norma hukum adat, norma kebiasaan, norma sosial, dan
norma-norma luhur lain yang dijunjung tinggi oleh masyarakat tempat

329 Pasal 2 RUU PT & EBT.

11s I
asal, yang memelihara, mengembangkan, dan melestarikan ekspresi
budaya tradisional."
Pasal 38(2) UUHC 2014 mewajibkan Negara untuk membuat
inventaris EBT. Ini adalah ketentuan yang barn. Sebelumnya, UUHC 2002
tidak mengatur hal ini. Ketentuan yang barn ini sangat penting mengingat
sudah banyak terjadi kasus karya budaya Indonesia diklaim oleh negara
lain.330 Namun, kewajiban untuk membuat inventaris semacam ini tidak
mudah untuk dikerjakan. Pemerintah mungkin akan mengalami kesukaran
untuk menentukan bahwa karya-karya tradisional tertentu adalah berasal
dari Indonesia apabila negara-negara lain mengklaim bahwa karya-karya
tersebut berasal dari mereka. Oleh karena itu, Indonesia dan negara-negara
tetangga perlu untuk duduk bersama untuk mengkompromikan mengenai
hal ini. Semoga peraturan pemerintah yang dijanjikan akan mengatur hal ini.
Pasal 38 UUHC 2014 yang mengatur perlindungan EBT nantinya akan
dijelaskan oleh suatu undang-undang khusus yang sekarang masih dalam
bentuk RUU yakni RUUPT&EBT sebagaimana tersebut di atas. Apabila
RUU ini menjadi UU, apabila penggunaan EBT adalah untuk kepentingan
komersial, menurut RUU, pengguna harns membuat suatu kesepakatan
(perjanjian) bagi hasil (benefit sharing) dengan pemegang atau kustodian
(pengemban) karya tradisional tersebut. Menurut pendapat Penulis,
ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan dan tidak mudah diterima oleh
masyarakat karena penggunaan komersial karya-karya tradisional sudah
biasa terjadi dewasa ini di Indonesia oleh masyarakat tanpa memikirkan
pembayaran royalti.
Dalam RUUPT&EBT yang lain, 331 ada ketentuan tentang lembaga
manajemen kolektif (LMK). RUU ini menyatakan bahwa LMK adalah
suatu badan hukum yang non-profit yang diberi kuasa oleh kustodian
pengatahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional untuk membuat
perjanjian penggunaan, menerima hasil pembagian keuntungan dan

330 Lihat tulisan yang membahas beberapa contoh karya budaya Indonesia diklaim
oleh negara lain: Wulan Anggiet Pumamasari, "Penyelesaian Sengketa Perselisihan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Antar Negara: Sengketa Lagu Rasa Sayange
antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia," jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/
download/58/42, (diakses tanggal 20 Februari 2017).
331 RUU PT & EBT yang mulai beredar pada tahun 2011.

I 119
meneruskannya kepada kustodian. Sekarang, Pasal 87 sampai 93 UUHC
2014 telah mengatur LMK. Berdasarkan Pasal 87(1), untuk mendapatkan
hak ekonomi, pemegang hak cipta terlebih dahulu harns menjadi anggota
LMK. Kemudian, pemegang hak cipta tersebut memberikan kuasa kepada
LMK untuk mengambil royalti dari para pengguna. Karena berdasarkan
Pasal 38(1) tersebut di atas, Negara adalah pemegang hak cipta atas EBT,
untuk mendapat hak ekonomi, maka Negara harns terlebih dahulu menjadi
anggota LMK, kemudian Negara memberikan kuasa kepada LMK untuk
menarik royalti dari para pengguna. Namun, RUU ini menyatakan lain,
yakni bahwa kustodian karya tradisional, bukan Negara, yang memberikan
kuasa kepada LMK untuk menarik royalti. Menurut Penulis, posisi RUU
lebih baik dari pada posisi UUHC 2014. Jadi, berkaitan dengan EBT,
seharnsnya kustodian, bukan pemegang hak cipta, yakni Negara, yang
harns membuat perjanjian pemberian kuasa dengan LMK. Hal ini lebih
baik karena kepentingan kustodian dapat secara langsung diperhatikan
dalam perjanjian tersebut dan pembagian keuntungan akan lebih mudah.

D. KESIMPULAN
Di tengah tidak jelasnya prospek kesepakatan internasional di bidang
HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional dan EBT, Indonesia melalui
legislasi HKI-nya yang barn telah berupaya untuk melindungi kedua karya
tradisional tersebut. UU Paten 2016 berisi ketentuan-ketentuan barn yang
melindungi pengetahuan tradisional, termasuk kewajiban disclosure dan
access and benefit sharing dalam pemanfaaan pengetahuan tradisional dan
dimungkinkannya gugatan penghapusan paten terhadap invensi yang berasal
dari pengetahuan tradisional yang melanggar kewajiban disclosure dan
benefit sharing. UU Merek dan Indikasi Geografis 2016 dapat melindungi
pengetahuan tradisional dengan cara mencegah pendaftaran tanpa hak
tanda-tanda pengetahuan tradisional dan memungkinkan pendaftaran
tanda-tanda pengetahuan tradisional untuk dilindungi sebagai merek atau
indikasi geografis. Walaupun masih ada kelemahan atau ketidakjelasan,
namun ketentuan-ketentuan barn tersebut menunjukkan Indonesia telah
mengikuti langkah beberapa negara-negara lain, seperti India, Bolivia

120 I
dan Peru yang sangat mendukung perlindungan pengetahuan tradisional.
UUHC 2014 melindungi EBT dengan cara menentukan pemegangnya,
yakni Negara. Sebagai pemegang hak cipta karya tradisional tersebut,
Negara harns memelihara dan melindunginya. UUHC 2014 mewajibkan
Negara untuk membuat inventaris EBT. Walaupun UUHC yang barn ini
tidak berisi ketentuan tentang kewajiban benefit sharing sebagaimana
UU Paten 2016, namun UUHC ini memuat fasilitas LMK yang dapat
dimanfaatkan dalam rangka penetapan syarat-syarat pemanfaatan EBT.
Sambil menunggu disahkannya RUUPT&EBT, keberadaan ketentuan­
ketentuan barn dalam legislasi HKI ini menjadi sangat penting dalam
rangka perlindungan karya-karya tradisional tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Boza RT, "Protecting Andean Traditional Knowledge and Biodiversity
Perspectives under the U.S. - Peru Trade Promotion Agreement",
(2008) 16-SUM Currents: Int'l Trade L.J. 76;
Daniel S. Sem, "Co-Developing Drugs With Indigenous Communities:
Lessons From Peruvian Law And The Ayahuasca Patent Dispute,"
(2016) 23 Rich. J.L. & Tech. 1;
David R. Hansen, "Protection of Traditional Knowledge: Trade Barriers
and the Public Domain," (2010-2011) 58 J. Copyright Soc'y U.S.A.
757.
Downes DR, "How Intellectual Property Could Be a Tool to Protect
Traditional Knowledge", (2000) 25 Colum. J. Envtl. L. 253;
Outfield G, Protecting Traditional Knowledge and Folkfore, 2003,
International Centre for Trade and Sustainable Development &
United Nations Conference on Trade and Development, Switzerland;
European Patent Convention, http://documents.epo.org/projects/babylon/
eponet.nsf/O/F9FDOB02F9D1A6B4C1258003004DF610/$File/
EPC_16th_edition_2016_en.pdf_(diakses tanggal 17 Januari 2017).
Garcia J, "Fighting Biopiracy: The Legislative Protection of Traditional
Knowledge", (2007) 18 Berkeley La Raza L.J. 5;

I 121
Ghosh S, "Reflections on the Traditional Knowledge Debate" (2003) 11
Cardozo J. Int'l & Comp. L. 497;
Hughes, Justin, "Traditional Knowledge, Cultural Expression, and The
Siren's Call of Property," (2012) 49 San Diego L. Rev. 1215;
Kruger M, "Harmonizing TRIPS and the CBD: A Proposal from India"
(2001) 10 Minn. J. Global Trade 169;
Manual Ruiz, T he International Debate on Traditional Knowledge as
Prior Arts in the Patent System: Issues and Options for Developing
Countries, Center for International Environmental Law, 2002;
Mgbeoji I, "Patents and Traditional Knowledge of the Uses of Plants: Is a
Communal Patent Regime Part of the Solution to the Scourge of Bio
Piracy?" (2001) 9 Ind. J. Global Leg. Stud. 163;
Ong B, Intellectual Property and Bilogical Resources, Marshall Cavendish
International, Singapura, 2004;
Secretariat of Convention on Biological Diversity, "Introduction to Access
and Benefit-Sharing," https://www.cbd.int/abs/infokit/brochure-en.
pd£ (diakses tanggal 26 Oktober 2016);
Sharma A, "Global legislation on indigenous knowledge", Science and
Development Network, March 2004, <http://www.scidev.net/dossiers/
index.cfm? fuseaction = printarticle&dossier= 7&policy = 50>;
Susy Frankel, "Trademarks and Traditional Knowledge and
Cultural Intellectual Property Rights," Victoria University of
Wellington, Nopember 2011, https://www.researchgate.net/
publication/228136506, (diakses tanggal 20 Januari 2017);
Tesh Dagne, "Protecting Traditional Knowledge in International Intellectual
Property Law: Imperatives for Protection and Choice of Modalities,"
(2014) 14 J. Marshall Rev. Intell. Prop. L. 25;
Vilailuk Tiranutti, "Trademarking traditional knowledge, Lessons from
the Rusie Dutton case," Tech Monitor, Maret -April 2007, http://
techmonitor.net/tm/images/3/39/07mar_apr_sf5.pdf, (diakses tanggal
24 Januari 2017);
Werra J d, "Fighting Against Biopiracy: Does The Obligation to Disclose
in Patent Applications Truly Helps", (2009) 42 Vand. J. Transnat'l
L. 143;

122
WIPO "Towards the Establishment of a Regional Framework for
the Protection of Traditional Knowledge, Traditional Cultural
Expressions and Genetic Resources in the Caribbean Region,"
A3:L434E (2008), http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/ wipo_
grtk_kin_08/wipo_grtk_kin_08_caribbean_brochure.pdf;
WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge: Draft Articles," Juli
2014, Geneva, http://www. wipo.intedocsmdocstkenwipo_grtkf _
ic_28wipo_grtkf_ic_28_5.pdf, (diakses 1 Januari 2017).
WTO Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights,
Compilation of WTO Documents Concerning Intellectual Property,
bahan dari WIPO-WTO Colloquium for Teachers of Intellectual
property, Geneva, 30 Juni - 10 Juli 2008;
WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge Draft Articles," http://
www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_21/wipo_grtkf_
ic_21_ref_facilitators_text.pdf, (diakses tanggal 18 Januari 2017);
WIPO, "The Protection of Traditional Cultural Expressions: Draft Articles,"
Rev. 2 (April 4, 2014), http://www.wipo.intedocsmdocstkenwipo_
grtkf_ic_28wipo_grtkf_ic_28_6.pdf, (diakses tanggal 4 Februari
2017);
WIPO, "Traditional Knowledge and Intellectual Property-Background
Brief," http://www.wipo.int/pressroom/en/briefs/tk_ip.html, (diakses
tanggal 21 Januari 2016).
Wulan Anggiet Pumamasari, "Penyelesaian Sengketa Perselisihan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Antar Negara: Sengketa Lagu Rasa
Sayange antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia," jhp.ui.ac.
id/index.php/home/article/download/58/42, (diakses tanggal 20
Februari 2017).

I 123
BABV
CATATAN PENGAT URAN MANAJEMEN
INFORMASI HAK CIPTA, INFORMASI
ELEKTRONIK HAK CIPTA
DAN SARANA KONTROL T EKNOLOGI
DI DALAM U U NO. 28 TAHUN 2014
Budi Agus Riswandi

A. PENDAHULUAN
Teknologi internet telah menjadi media alternatif dalam
mempublikasikan berbagai macam karya dalam bidang seni, sastra dan
ilmu pengetahuan saat ini. Dengan menjadikan media internet sebagai
sarana tersebut, maka tidak mengherankan apabila media internet menjadi
salah satu sumber informasi yang berhubungan dengan karya seni, sastra
dan ilmu pengetahuan.
Dalam praktiknya, para pengguna media internet-yang memuat
berbagai macam karya dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan­
acapkali menyalahgunakan pemanfaatannya. Penyalahgunaan internet
ini sampai mengarah terhadap terjadinya pelanggaran hukum, khususnya
pelanggaran hak cipta. Pelanggaran hak cipta telah menimbulkan suatu
permasalahan hukum yang serius di internet. Oleh karenanya, pelbagai
pihak tidak mengherankan apabila terns berupaya mengoptimalisasikan
perlindungan hak cipta di internet.

124 I
Pelbagai pihak dalam upaya mengoptimalisasi perlindungan hak cipta
dilakukan dengan berbagai macam pendekatan di internet. Pendekatan
tersebut dilakukan salah satunya melalui pengadopsian teknologi informasi
dalam hal ini manajemen informasi hak cipta dan sarana kontrol teknologi
ke dalam legislasi hak cipta, baik secara internasional maupun nasional.
Bentuk legislasi hak cipta atas dua hal tersebut merupakan langkah solutif
yang terbaik atas sejumlah permasalahan terkait dengan perlindungan hak
cipta di internet. Namun demikian, bentuk legislasi atas dua hal tersebut
seharusnya dapat dirumuskan dengan memperhatikan aspek kemanfaatan
baik bagi pemegang hak cipta maupun pengguna hak cipta di internet.
Aspek kemanfaatan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk
penormaan hak cipta yang benar-benar tidak hanya memperhatikan pada
aspek penguatan eksklusifitas pemegang hak cipta, tetapi seharusnya juga
penormaan hak cipta dapat memberikan peluang bagi hak akses pengguna
yang tujuannya bukan untuk kepentingan komersial. Kedua kepentingan
ini sebenarnya sudah sesuai dengan semangat dari diberlakukannya
ketentuan hak cipta baik di tingkat internasional dan nasional. Namun
demikian, kedua kepentingan ini dalam pelaksanaannya sangat bergantung
pada kehendak dari para legislator dalam menetapkan ketentuan hak cipta
atas manajemen informasi hak cipta dan sarana kontrol teknologi.

B. TEO RI PERLINDUNGAN HAK CIPTA


Dalam kajian perlindungan hak cipta ada banyak teori yang
dikembangkan. Dalam hal perlindungan hak cipta ini setidaknya ada empat
teori yang mendukung terhadap hal tersebut. Teori-teori itu antara lain: 332

332 Earl R. Brubaker, "Free Ride, Free Revelation, or Golden Rule?," Journal of Law
& Economics 18, no. 1 (April 1975): 147-161; William M. Landes & Richard A.
Posner, "An Economic Analysis of Copyright Law," Journal of Legal Studies 18,
no. 2 (June 1989): 325-363; Stewart E. Sterk, "Rhetoric and Reality in Copyright
Law," Michigan Law Review 94, no. 5 (March 1996): 1197-1249. Edmund W. Kitch,
"The Nature and Function of the Patent System," Journal of Law and Economics 20,
no. 2 (October 1977): 265-290; John F. Duffy, "Rethinking the Prospect Theory of
Patents," University of Chicago Law Review 71, no. 2 (Spring 2004): 439-510. Wendy
J. Gordon, "An Inquiry into the Merits of Copyright: The Challenges of Consistency,
Consent and Encouragement Theory," Stanford Law Review 41, no. 6 (July 1989):
1343-1469; Wendy J. Gordon, "A Property Right in Self-Expression: Equality and

I 12s
Pertama, insentive theory. Menurut teori ini bahwa perlindungan
hak cipta merupakan insentif ekonomi yang diberikan kepada pencipta
dalam rangka mendorong pencipta untuk dapat menginvestasikan waktu,
usaha, keahlian dan segala sumber daya yang dimilikinya untuk proses
membuat suatu kreativitas. Dengan pemberian monopoli terbatas melalui
perlindungan hak cipta hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah orang
lain secara bebas mengambil kreativitas mereka. Kemudian, melalui
perlindungan hak cipta memungkinkan pencipta dapat memulihkan
berbagai investasi yang telah dikeluarkan.
Kedua, prospect theory. Menurut teori ini bahwa perlindungan
hak cipta dimaksudkan untuk memberikan penghargaan ekonomi atas
ketidakpastian dan ketidaktahuan serta investasi pencipta yang memiliki
resiko dan mahal. Prospect theory ini berbeda dengan insentive theory,
di mana insentive theory tidak harus dapat menetapkan keuntungan yang
akan diperoleh di masa depan dari hasil kreasinya tersebut. Sebaliknya,
prospect theory, pencipta sudah dapat menentukan keuntungan yang
diperoleh terlepas dari keuntungan yang segera dapat diketahui.
Ketiga, natural right theory. Menurut teori ini bahwa perlindungan
hak cipta sebagai buah dari hasil kerja yang telah dihasilkan oleh kreator,
dimana hasil kerja tersebut merupakan bentuk kontribusi kepada masyarakat
dan hal tersebut menjadi patut untuk mendapatkan penghargaan. Keempat,
development theory. Menurut teori ini bahwa perlindungan hak cipta
sebagai katalisasi pembangunan ekonomi dan modemisasi masyarakat.
Perlindungan hak cipta dapat menghasilkan produksi karya seni dan sastra,
pendapatan pajak, investasi dalam dan luar negeri, menciptakan lapangan
kerja barn dan mempromosikan pencipta aslinya.

C. TEKNOLOGI INFORMASI SEBAGAI SARANA PERLINDUNGAN


TEKNIS HAK CIPTA
Perkembangan teknologi informasi berupa internet telah membawa
dampak serius dalam setiap sektor aktivitas kehidupan manusia. Salah satu

Individualism in the Natural Law of Intellectual Property," Yale Law Journal 102, no.
7 (1993): 1533- 1609 hal ini sebagaimana dikutip oleh Peter K. Yu dalam Digital
Piracy and the Copyright Response, hlm. 2-3.

126 I
yang terkait dengan hal tersebut adalah dalam bidang hak cipta. Hingga
saat ini, para pengguna internet nampaknya sangat dimudahkan untuk
mendapatkan informasi dan sekaligus memanfaatkan informasi tersebut
untuk berbagai macam keperluan. Jenis-jenis informasi yang didapat
dan dimanfaatkan dapat berhubungan dengan bidang seni, sastra dan
ilmu pengetahuan. Adapun, para pengguna internet dalam pemanfaatan
informasi yang terdapat di internet ini dilakukan dengan cara-cara
men-download, meng-copy, memodifikasi, memutilasi, mendistribusi,
mentransmisi hingga mengadaptasinya.
Para pengguna internet dalam pemanfaatan informasi yang terdapat
di internet ini, pada kenyataannya telah menimbulkan dua sisi yang saling
bertolak belakang, di mana di satu sisi para pengguna internet mendapatkan
kemudahan dalam hal akses dan pemanfaatan informasi itu sendiri, di
sisi lainnya para pengguna internet telah menimbulkan berbagai macam
perbuatan yang dapat melanggar hukum. Khusus dalam hal, para pengguna
melakukan perbuatan melanggar hukum dari akses dan pemanfaatan
informasi di internet ini sangat berkait erat dengan pelanggaran hak cipta.
Beberapa kasus pelanggaran hak cipta di internet antara lain;
Pertama, kasus Prayoga dengan Brahmana. Prayoga adalah seorang
desainer yang sedang berkuliah di Institut Teknologi Bandung Fakultas
Desain Komunikasi Visual dan menjadi anggota Asosiasi Desain Grafis
Indonesia (ADGI). Prayoga memasarkan karya-karya dan jasa membuat
karya desain grafisnya melalui dunia maya (internet), salah satunya melalui
http://www.kreatifprofesional.com. Pada tanggal 29Agustus 2008 Prayoga
mendapatkan laporan dari ADGI, bahwa karya desain grafisnya digunakan
seseorang dalam blog di website http://wordpress.com dan diakui sebagai
ciptaan dari seseorang warga negara India yang beridentitas Brahmana
karya desain grafis tersebut didapatkan dengan cara di-download dari
website http://www.kreatifprofesional.com tanpa seizin Prayoga.333
Kedua, kasus pemblokiran terhadap 21 situs yang diduga melakukan
pelanggaran hak cipta di internet oleh Menteri Komunikasi bekerjasama
dengan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Adapun beberapa

333. https://hakicase.wordpress.com/2010/04/09/kasus-kasus-pelanggaran-desain-grafis­
di-internet/, diakses tanggal 10 September 2016.

I 121
situs yang diblokir tersebut antara lain: "http://ganool.com" ganool.com,
"http://nontonmovie.com" nontonmoviecom, "http://bioskops.com"
bioskops.com, "http://ganool.ca" ganool.ca, "http://kickass.to" kickass.
to, "http://thepiratebay.se" thepiratebay.se, "http://downloadfilmbaru.
com" downloadfilmbaru.co, "http://ganool.co.id" ganool.co.id,
"http://21filmcinema.com" 21filmcinema.com, "http://gudangfilm.faa.
im" gudangfilm.faa.im, "http://movie76.com" movie76.com." 334 Dengan
maraknya berbagai pelanggaran hak cipta melalui penggunaan internet,
maka hal ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi para ahli di bidang
teknologi informasi untuk menciptakan suatu sistem perlindungan
teknis yang diharapkan mampu memberikan perlindungan hak cipta atas
informasi yang ada di internet.
Perlindungan teknis yang dikembangkan dalam perspektif teknologi
informasi adalah digital right management (DRMs). DRMs sebenamya
bukanlah istilah tunggal, namun ada beberapa istilah lainnya yang
juga sering digunakan. Istilah tersebut antara lain"automated rights
management," "technical protection measures," atau "content protection
schemes". DRMs sendiri memiliki pengertian sekumpulan sistem yang
digunakan untuk melindungi hak cipta di media elektronik.335
DRMs memiliki dua generasi. Generasi pertama, DRMs berfungsi
untuk keamanan dan enkripsi dalam mencegah tindakan penyalinan secara
tidak berwenang, sedangkan generasi kedua, DRMs dapat berfungsi juga
untuk mengidentifikasi pengguna, perdagangan, penjualan, tracking dan
336
pengawasan lainnya. DRMs berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh
WIPO dalam The WIPO Copyright Treaty dan the WIPO Performances and
Phonograms Treaty mencakup dua kategori, yakni; Technical Protection
Measures (TPMs) dan Rights Management Information (RMI). TPMs
334. http://nasional.republika.co.icl/berita/nasional/umum/15/08/18/nta324365-21-situs­
pelanggar-hak-cipta-film-cliblokir-menkominfomenkum-ham, cliakses tanggal 10
Oktober 2015.
335 Denise Rosemary Nicholson, "Digital Rights Management and Access to Information:
a Developing Country's Perspective", LIBRES Library and Information Science
Research Electronic Journal Volume 19, Issue 1, March 2009, hlm. 2.
336 Trampas A. Kurth, Digital Rights Management: An Overview of the Public Policy
Solutions to Protecting Creative Works in a Digital Age, WISE 2002 Intern, Kansas
State University, Agustus 2002, hlm.7.

12s I
adalah sistem atau aplikasi yang mana dapat menghambat akses untuk
dan atau digunakan dari karya digital secara absolut atau kondisional,
sedangkan RMI adalah sistem atau aplikasi yang dapat mendukung pada
upaya mengidentifikasi karya atau atribut dari karya yang terdapat dalam
karya tersebut. 337
Keberadaan DRMs atau TPM dan IRM sebagai sarana teknis untuk
melindungi hak cipta juga diakui oleh beberapa ahli dalam bidang ini.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Clarkes Clark yang dikutip
oleh Victoria Banti-Markouti yang menyatakan: "The answer to the
machine is the machine. " Pemyataan ini dimaksudkan oleh Clarkes Clark
bahwa teknologi dapat digunakan untuk melakukan tindakan pengaman
atas ancaman hak kekayaan intelektual melalui teknologi yang sama. 338
Selanjutnya, Hugenholtz menguatkan pendapat ini dengan memberikan
pemyataan sebagai berikut:

The technological development has led to the use of technological


measures by the copyright owners in order to prohibit the infringement
of their rights or restrict the illegal actions. Indeed, technological
protection measures have been characterised as 'powerful new
weapons in the copyright arsenal'339

Dengan memahami pemyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


perlindungan teknis dapat dijadikan sebagai sarana perlindungan hak cipta
atas informasi yang ada di internet.

337 Nie Garnett, "Automated Rights Management Systems and Copyright limitations and
Exceptions" Informative Session on Limitations and Exceptions Geneva November
3n1 2008.

338 Victoria Banti-Markouti, "The Interface between Technological Protection Measures


and the Exemptions to Copyright under Article 6 Paragraph 4 of the Infosoc Directive
and Section 1201 of the Digital Millennium Copyright Act, with Particular Respect to
the Implementation of Article 6 Paragraph 4 in the National Laws of Greece, UK, and
Norway", Issues in Informing Science and Information Technology Volume 4, 2007,
hlm. 575.
339 Ibid, hlm. 576.

I 129
D. WIPO INTERNET TREATIES: SINERGITAS PERLINDUNGAN
TEKNIS DAN KETENTUAN HAK CIPTA
Memahami perlindungan teknis disediakan guna perlindungan hak
cipta, maka semestinya perlindungan teknis ini dapat disinergikan dengan
ketentuan hak cipta. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah;
Pertama, perlindungan teknis guna perlindungan hak cipta menjadi
tidak optimal mengingat perlindungan teknis hanya mampu memberikan
perlindungan pada tingkat pencegahan. Sementara, apabila perlindungan
teknis disinergikan dengan ketentuan hak cipta fungsi perlindungan
teknis diharapkan dapat juga menjangkau pada perlindungan pada tingkat
penindakan; dan Kedua, perlindungan teknis guna perlindungan hak
cipta tidak optimal mengingat perlindungan teknis tidak dapat menjadi
perlindungan hak cipta secara kuat (baca: tidak ada teknologi yang
memiliki kekuatan keamanan penuh, teknologi senantiasa memungkinkan
untuk dapat dirusak dan dihilangkan). Sementara, apabila perlindungan
teknis disinergikan dengan ketentuan hak cipta, maka kekuatan keamanan
teknologi dapat dilakukan lebih kuat mengingat perlindungan teknis
mendapatkan dukungan dari perlindungan hukum.
Dengan menyadari perlunya sinergitas antara perlindungan teknis
dengan ketentuan hak cipta, kini kesepakatan multilateral secara global
telah menyediakan sinergitas dari perlindungan teknis dan ketentuan
hak cipta. Kesepakatan multilateral tersebut tertuang di dalam WIPO
Internet Treaties. WIPO Internet Treaties adalah kesepakatan multilateral
dalam bidang hak cipta di lingkungan digital. WIPO Internet Treaties
ini diberlakukan pada tahun 1996. WIPO Internet Treaties memuat dua
konvensi intemasional hak cipta, yakni WIPO Copyright Treaty dan WIPO
Performance and Phonogram Treaty. WIPO Copyright Treaty memiliki
lingkup perlindungan pada karya seni dan sastra di lingkungan digital, di
antaranya; buku, program komputer, musik, fotografi, lukisan dan film,
sedangkan WIPO Performance and Phonogram Treaty memiliki lingkup
perlindungan pada rekaman suara, seperti rekaman, kaset, CD dan juga hak
pelaku pertunjukan yang menampilkan karya rekaman. 340
340 WIPO, "The WIPO Internet Treaties," http://www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/
ecommerce/450/wipo_pub_l450in.pdf, diakses tanggal 7 Agustus 2016.

130 I
WIPO Internet Treaties memiliki keterkaitan dengan perlindungan
teknis mengingat salah satu isi kesepakatan dalam WIPO Internet Treaties
adalah mengenai sinergitas ketentuan hak cipta dan perlindungan teknis. Di
dalam WIPO Internet Treaties ada dua tipe teknologi yang dapat diadopsi
dalam upaya perlindungan hak cipta. Dua tipe teknologi tersebut adalah
Pertama, teknologi anti-circumvention. Teknologi ini dapat menghandel
permasalahan "hacking". Negara-negara dapat menerapkan perlindungan
hukum yang layak dan ganti rugi yang efektif terhadap teknologi anti­
circumvention (seperti teknologi enkripsi) yang digunakan oleh pemegang
hak cipta untuk melindungi hak mereka ketika ciptaannya disebarluaskan
melalui internet; dan Kedua, teknologi pengaman yang terpercaya dan
menjamin keutuhan data di pasar online melalui persyaratan-persyaratan
yang ditentukan oleh negara untuk melarang pengrusakan dan penghapusan
atas manajemen informasi hak cipta. 341
Apabila mengkaji dua konvensi hak cipta ini, maka terlihat dengan
jelas bahwa dua konvensi internasional hak cipta ini berupaya memberikan
pengaturan yang lebih kuat terhadap perlindungan hak cipta di internet,
termasuk penguatan perlindungan hak cipta tersebut dengan cara
mensinergikan antara aspek perlindungan teknis (baca: teknologi) dan
ketentuan hak cipta.

E. PENGATURAN DAN CATATAN MANAJEMEN INFORMASI


HAK CIPTA DAN SARANA KONTROL TEKNOLOGI DALAM
KETENTUAN HAK CIPTA INDONESI A
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah melakukan ratifikasi
terhadap WIPO Copyright Treaty sebagai bagian dari WIPO Internet
Treaties. Ratifikasi terhadap WIPO Copyright Treaty ini dilakukan melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. Dengan ratifikasi ini telah
membawa konsekuensi kepada Indonesia untuk melakukan harmonisasi
ketentuan hak ciptanya dengan WIPO Copyright Treaty.
Dalam prakteknya, Indonesia mulai melakukan harmonisasi WIPO
Copyright Treaty dimulai sejak dilakukan penggantian UU No. 12 Tahun

341Ibid.

I 131
1997 tentang Hak Cipta menjadi UU No. 19 Tahun 2002. Hal ini dapat
dibuktikan dengan melihat kepada dasar pertimbangan dari pembentukan
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya Penjelasan bagian
umum. Di dalam penjelasan bagian umum dinyatakan:

Selain itu, Indonesia juga meratifikasi ... World Intellectual Property


Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO),
selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19
Tahun 1997 ...
Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk
mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang barn. ...

Dengan mempertimbangkan pada ratifikasi WIPO Copyright Treaty, maka


ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah memperluas
cakupan perlindungan hak cipta pada aspek pemanfaatan teknologi
internet. Hal ini setidaknya dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 5
yang memberikan definisi pengumuman sebagai berikut:

Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,


pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat
apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa
pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang
lain

Di samping ketentuan tersebut di atas, wujud harmonisasi ratifikasi WIPO


Copyright Treaty juga dapat dilihat pada ketentuan Pasal 25 dan 27 UU No.
19 Tahun 2002. Pasal 25 ayat (1) dan (2) UU No.19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta selengkapnya berbunyi:

(1) Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak


Pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan ketentuan Pasal 27 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


menyatakan bahwa Kecuali atas izin Pencipta, sarana kontrol teknologi

132 I
sebagai pengaman hak Pencipta tidak diperbolehkan dirusak, ditiadakan,
atau dibuat tidak berfungsi.
Cakupan perlindungan hak cipta juga disertai dengan diberikannya
ketentuan mengenai sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 25 ayat (1) dan
(2) dan Pasal 27 UU No. 19 Tahun 2002. Sanksi pidana atas pelanggaran
Pasal 25 ayat (1) dan (2) dan Pasal 27 UU No. 19 Tahun 2002 tertuang di
dalam ketentuan Pasal 72 ayat (7) dan (8) yang selengkapnya berbunyi:

(7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal


25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
(8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal
27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).

Dengan memperhatikan harmonisasi WIPO Copyright Treaty kepada


ketentuan UU No. 19 Tahun 2002, maka ada beberapa catatan yang dapat
dikemukakan, yakni; Pertama, ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 tentang
hak Cipta telah mengharmonisasi WIPO Copyright Treaty meskipun
dengan materi muatan yang masih sangat terbatas; Kedua, ketentuan
UU No. 19 Tahun 2002 dalam hal perlindungan hak cipta di internet
telah memasukan aspek perlindungan teknis sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari perlindungan hak cipta sebagaimana yang diatur di dalam
WIPO Copyright Treaty; Ketiga, ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 dalam
hal perlindungan hak cipta di internet yang memuat ketentuan perlindungan
teknis mencakup dua tipe teknologi yakni manajemen informasi hak cipta
dan sarana kontrol teknologi; dan Keempat, ketentuan UU No. 19 Tahun
2002 dalam hal perlindungan hak cipta di internet telah menetapkan sanksi
pidana sebagai upaya penindakan terhadap pelanggaran perlindungan
teknis atas hak cipta di internet.
Dalam perkembangannya, ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 telah
mengalami pergantian dengan ditetapkan dan diberlakukannya UU No.
28 Tahun 2014. Pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2014 dimaksudkan

I 133
untuk lebih menguatkan lagi perlindungan hak cipta. Adapun penguatan
perlindungan hak cipta ini dilakukan dengan mengutamakan kepentingan
nasional dan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan Pencipta,
Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, dengan masyarakat serta
memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional di bidang Hak
Cipta dan Hak Terkait.
Pergantian UU No. 19 Tahun 2002 menjadi ketentuan UU No. 28
Tahun 2014 sendiri didasarkan pada beberapa alasan, Pertama, telah
berkembangnya ekonomi kreatif dan pemanfaatan teknologi informasi
di Indonesia, di mana menuntut perlindungan dan kontribusi bagi
pembangunan perekonomian nasional; dan Kedua, keikutsertaan Indonesia
terhadap beberapa konvensi internasional dalam bidang hak cipta, yang
dibuktikan dengan dilakukannya ratifikasi atas konvensi internasional
tersebut. Konvensi internasional yang terakhir diratifikasi Indonesia adalah
World Intellectual Property Organization Performances and Phonograms
Treaty (Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram
WIPO) yang selanjutnya disebut WPPT, melalui Keputusan Presiden
Nomor 74 Tahun 2004.
Konsekuensi dari dua alasan tersebut salah satunya, ketentuan UU
No. 28 Tahun 2014 hams dapat menjangkau juga perlindungan hak cipta
di internet. Oleh karena itu, apabila memperhatikan pengaturan hak
cipta yang tertuang di dalam UU No. 28 Tahun 2014, maka pengaturan
tersebut juga melingkupi perlindungan hak cipta di internet. Pengaturan
hak cipta di internet dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
tertuang di dalam Bab VIII mengenai Konten Hak Cipta dan Hak Terkait
dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi. Inti pengaturan dalam Bab
VIII tersebut adalah bahwa pemerintah memiliki kewenangan dalam
hal perlindungan hak cipta di internet untuk melakukan tiga hal, yakni;
Pertama, pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten
pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait; Kedua, kerja sama dan koordinasi
dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri dalam pencegahan
pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak
Terkait; dan Ketiga, pengawasan terhadap tindakan perekaman dengan

134 I
menggunakan media apapun terhadap Ciptaan dan produk Hak Terkait di
tempat pertunjukan.
Hal lain dari pengaturan hak cipta di internet berdasarkan pada
ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terkait perlindungan
teknis, khususnya penggunaan manajemen informasi hak cipta, informasi
elektronik hak cipta dan sarana kontrol teknologi. Pengaturan terhadap
manajemen informasi hak cipta, informasi elektronik hak cipta dan
sarana kontrol teknologi sendiri memuat aspek penggunaan, pembatasan
dan pengecualian dan sanksi hukum yang dapat dikenakan terhadap
pelanggaran atas manajemen informasi hak cipta dan sarana kontrol
teknologi. Penggunaan manajemen informasi hak cipta dan informasi
elektronik hak cipta guna melindungi hak moral. Hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 6 UU No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi:

Untuk melindungi hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5


ayat (1), Pencipta dapat memiliki:
a. informasi manajemen Hak Cipta; dan/atau
b. informasi elektronik Hak Cipta.

Pembatasan dan pengecualian yang diberlakukan terhadap


kemungkinan pengrusakan, penghilangan dan pengubahan atas penggunaan
manajemen informasi hak cipta dan informasi elektronik hak cipta tidak
diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sedangkan untuk sanksi hukum apabila ada pengrusakan, penghilangan
dan pengubahan manajemen informasi hak cipta dan informasi elektronik
hak cipta telah diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2014. Sanksi
hukum yang memungkinkan baik secara perdata maupun pidana. Sanksi
hukum secara perdata dapat dilakukan gugatan ganti kerugian berdasarkan
pada ketentuan Pasal 98 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi:

Pengalihan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak
mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat setiap
Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak dan tanpa persetujuan
Pencipta yang melanggar hak moral Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1)

I 135
Untuk sanksi hukum pidana atas manajemen informasi hak cipta dan
informasi elektronik hak cipta juga telah diatur di dalam ketentuan Pasal
112 UU No. 28 Tahun 2014 tentang hak cipta yang berbunyi:

Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau pasal 52 untuk Penggunaan
Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah)

Sementara itu pengaturan sarana kontrol teknologi sebagai bagian


yang tidak terpisahkan dari perlindungan teknis dan hukum atas hak
cipta di internet memuat tiga aspek, yakni; penggunaan, pembatasan dan
pengecualian dan sanksi hukum. Penggunaan sarana kontrol teknologi
diatur dalam ketentuan Pasal 52 UU No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang merusak, memusnahkan, menghilangkan, atau


membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi yang digunakan
sebagai pelindung Ciptaan atau produk Hak Terkait serta pengaman
Hak Cipta atau Hak Terkait, kecuali untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan negara, serta sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, atau diperjanjikan lain.

Penggunaan sarana kontrol teknologi dapat dilakukan untuk


perlindungan ciptaan. Sejalan dengan penggunaan ini di dalam ketentuan
Pasal 52 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memuat juga
ketentuan pengecualian dan pembatasan. Pengecualian dan pembatasan
itu dibenarkan oleh ketentuan hukum ini guna merusak, memusnahkan,
menghilangkan atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi
guna kepentingan pertahanan dan keamanan, serta sebab lain sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan, atau diperjanjikan lain. Apabila
merusak, memusnahkan, menghilangkan atau membuat tidak berfungsi
sarana kontrol teknologi di luar pengecualian tersebut dapat dikenai
sanksi hukum berupa sanksi pidana. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada
ketentuan Pasal 112 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sedangkan
sanksi perdatanya juga dapat dilakukan dengan melakukan gugatan ganti

136 I
rugi dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 99 ayat (1) UU No. 28
Tahun 2014 yang berbunyi: "Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik
Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan
Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait."
Setelah memahami pengaturan perlindungan teknis, khususnya
manajemen informasi hak cipta, informasi elektronik hak cipta dan
sarana kontrol teknologi sebagaimana yang tertuang di dalam UU No. 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta, maka ada beberapa catatan yang dapat
dikemukakan, yakni; Pertama, pengaturan manajemen informasi hak cipta,
informasi elektronik hak cipta dan sarana kontrol teknologi lebih terinci
dan jelas; Kedua, pengaturan manajemen informasi hak cipta dan informasi
elektronik hak cipta belum memberikan pembatasan dan pengecualian,
sedangkan sarana kontrol teknologi telah memberikan pembatasan dan
pengecualian; Ketiga, pengaturan manajemen informasi hak cipta, informasi
elektronik hak cipta dan sarana kontrol teknologi belum memberikan
ruang bagi kemungkinan pembatasan dan pengecualian untuk kepentingan
pendidikan, nirlaba, perlindungan data pribadi dan beberapa kepentingan
publik lainnya; dan Keempat, pengaturan manajemen informasi hak cipta,
informasi elektronik hak cipta dan sarana kontrol teknologi dalam hal
sanksi hukuman berupa sanksi pidana masih menggunakan sanksi penjara
dan/atau denda, di mana dalam implementasinya masih dipandang belum
dapat memberikan sanksi efektif bagi proses pemulihan kerugian negara
atas perbuatan tersebut.

F. KESIMPULAN
Pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah
memperkuat perlindungan hak cipta di internet. Penguatan perlindungan
hak cipta di internet ini salah satunya dengan mensinergikan perlindungan
teknis ke dalam ketentuan hak cipta. Adapun perlindungan teknis tersebut
meliputi pada manajemen informasi hak cipta, informasi elektronik hak
cipta dan sarana kontrol teknologi. Hal ini sebagaimana diatur di dalam
ketentuan Pasal 7, Pasal 52 dan Pasal 112 UU No. 28 Tahun 2014.
Namun demikian, pengaturan ini pada kenyataannya masih memiliki

I 137
beberapa catatan yang meliputi belum dimungkinkannya pembatasan dan
pengecualian yang terkait dengan kepentingan publik di bidang pendidikan,
nirlaba dan perlindungan data pribadi dan sanksi pidana yang nampaknya
belum dapat memulihkan kerugian negara atas perbuatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Denise Rosemary Nicholson, "Digital Rights Management and Access to
Information: a Developing Country's Perspective, LIBRES Library
and Information Science Research Electronic Journal Volume 19,
Issue 1, March 2009.
Earl R. Brubaker, "Free Ride, Free Revelation, or Golden Rule?," Journal
of Law & Economics 18, no. 1 (April 1975).
Edmund W. Kitch, "The Nature and Function of the Patent System,"
Journal of Law and Economics 20, no. 2 (October 1977).
http://nasional.republika.eo.id/berita/nasional/umum/15/08/18/nta324365-
21-situs-pelanggar-hak-cipta-film-diblokir-menkominfomenkum­
ham, diakses tanggal 10 Oktober 2015.
http ://www.wipo.int/ edocs/pubdocs/ en/ ecommerce/ 450/wi po_pub_
1450in.pdf, diakses tanggal 7 Agustus 2016.
https://hakicase.wordpress.com/2010/04/09/kasus-kasus-pelanggaran­
desain-grafis-di-internet/, diakses tanggal 10 September 2016.
John F. Duffy, "Rethinking the Prospect Theory of Patents," University of
Chicago Law Review 71, no. 2 (Spring 2004).
Nie Garnett, "Automated Rights Management Systems and Copyright
limitations and Exceptions" Informative Session on Limitations and
rd
Exceptions Geneva November3 2008.
Peter K. Yu dalam Digital Piracy and the Copyright Response.
Stewart E. Sterk, "Rhetoric and Reality in Copyright Law," Michigan Law
Review 94, no. 5 (March 1996).
Trampas A. Kurth, Digital Rights Management: An Overview of the Public
Policy Solutions to Protecting Creative Works in a Digital Age, WISE
2002 Intern, Kansas State University, Agustus 2002.

138 I
Victoria Banti-Markouti, The Interface between Technological Protection
Measures and the Exemptions to Copyright under Article 6 Paragraph
4 of the Infosoc Directive and Section 1201 of the Digital Millennium
Copyright Act, with Particular Respect to the Implementation of
Article 6 Paragraph 4 in the National Laws of Greece, UK, and
Norway, Issues in Informing Science and Information Technology
Volume 4, 2007.
Wendy J. Gordon, "A Property Right in Self-Expression: Equality and
Individualism in the Natural Law of Intellectual Property," Yale Law
Journal 102, no. 7 (1993)
Wendy J. Gordon, "An Inquiry into the Merits of Copyright: The Challenges
of Consistency, Consent and Encouragement Theory," Stanford Law
Review 41, no. 6 (July 1989)
William M. Landes & Richard A. Posner, "An Economic Analysis of
Copyright Law," Journal of Legal Studies 18, no. 2 (June 1989).

I 139
BAB VI
COLLECTIVE MANAGEMENT ORGANIZATION
INDONESIA: PELUANG DAN TANTANGANNYA
PASCA PEMBERLAKUAN UU NO. 28
TAHUN2014
Budi Agus Riswandi

A. PENDAHULUAN
Permasalahan pengumpulan dan pendistribusian royalti hak cipta
acapkali selama ini menimbulkan konflik antara pihak pengumpul dan
pendistribusi royalti hak cipta--dalam hal ini selanjutnya disebut Collective
Management Organization atau disingkat CMO, dengan pengguna hak
cipta atau antara pemegang hak cipta dengan CMO di Indonesia. Adapun
akar permasalahannya, karena tidak tersedianya pengaturan yang jelas
terhadap eksistensi dan kedudukan CMO yang melakukan pengumpulan
dan pendistribusian royalti hak cipta itu sendiri.
Dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
di mana di dalamnya mengatur eksistensi dan kedudukan CMO, telah
memberikan peluang dan sekaligus tantangan dalam hal pengelolaan hak
cipta. Di samping itu, pengaturan eksistensi dan kedudukan CMO ini juga
semakin menarik lagi manakala pemerintah terlibat dalam hal pengawasan
CMO. Dari kondisi ini, maka pengaturan eksistensi, kedudukan dan

140 I
pengawasan CMO menjadi suatu hal yang menarik untuk ditelaah dan
diulas, terutama dari perspektif peluang dan tantangannya.

B. ARTI, FUNGSI, LINGKUP DAN MANFAAT COLL ECTIVE


MANAGEMENT ORGANIZATION
Hak cipta sebagai hak eksklusif salah hak satunya memuat hak
ekonomi. Hak ekonomi itu sendiri mengandung arti hak untuk mengambil
manfaat ekonomi dari ciptaan yang dilindungi hak cipta. Salah satu
implementasi dari hak ekonomi berupa lisensi hak cipta. Dalam konteks
lisensi hak cipta, maka hal tersebut memungkinkan pemegang hak cipta
mendapatkan kompensasi berupa royalti. 342
Dalam kenyataannya, implementasi lisensi hak cipta oleh pemegang
hak cipta dengan kompensasi royalti kepada pengguna nampaknya
menjadi sangat sulit dan tidak efisien apabila hal tersebut dilakukan secara
individual dan menyangkut banyak hak ekonomi dari pemegang hak cipta.
Oleh karena itu, dalam beberapa ciptaan, seperti musik dan lagu dalam hal
implementasi lisensi hak hak cipta tidak dilakukan secara langsung antara
pemegang hak cipta dengan pengguna, namun melibatkan suatu lembaga
yang memiliki fungsi pengumpul dan pendistribusi royalti hak cipta itu
sendiri. Lembaga ini dikenal dengan istilah Collective Management
Organization atau disingkat CMO.
CMO sebelum tahun 1990 dikenal dengan istilah Collective
Administrative of Copyright and Neghboring Rights. Setelah tahun 1990
istilah "Administration" diubah menjadi "Management". Hal ini pada
akhirnya menghadirkan istilah Collective Management of Copyright and
Neghboring Rights. Penggunaan kata Management dalam konteks ini
didasarkan pada alasan; Pertama, istilah ini cenderung memiliki konotasi
resmi adanya campur tangan negara dalam administrasi hak cipta (istilah ini
dipahami merujuk kepada otoritas yang bertanggung jawab dalam struktur
pemerintah untuk melakukan fungsi negara dalam bidang hak cipta);
Kedua, istilah ini tidak cukup mengekspresikan pada peran organisasi yang

342 Royalti merupakan salah satu bentuk kompensasi ekonomi, namun bentuk kompensasi
ekonomi dapat juga diwujudkan dalam bentuk lainnya, seperti lumpsum.

I 141
pro aktif dalam mengelola hak kolektif; dan Ketiga, istilah management
banyak dipergunakan dalam kajian-kajian mengenai hak kolektif ini sejak
tahun1990. 343
CMO sendiri secara historis dalam hal pengelolaan hak cipta telah
dilakukan sejak akhir tahun 1700-an. CMO diawali di Prancis pada tahun
1977 di bidang seni teater pada karya drama dan sastra. CMO dalam
perkembangannya biasa digunakan pada bidang musik. CMO pertama
dalam bidang musik didirikan pada tahun 1851 di Prancis. Organisasi
serupa yang sekarang eksis ada di 121 negara (hingga bulan Juni 2012). 344
Intellectual Property Office of Singapore (IPOS) dalam layanan
websitenya memberikan defisnisi CMO sebagai berikut:

A collective management organisation is generally formed or appointed


by copyright holders to manage the rights in their copyright works.
Collective management organisations are appointed by copyright
owners to administer the licensing of rights, collection of royalties
and enforcement of rights on their behalf. 345

Selanjutnya, Alhaji Tejan-Cole dalam hal memberikan pengertian CMO


menyampaikan pendapatnya sebagai berikut:

Collective management is the exercise of copyright and related rights


by organizations and societies representing the interests of the owners
of such rights.These organizations or societies are usually referred to
in national copyright laws as licensing bodies.346

Dengan memperhatikan definisi CMO di atas, maka dapat dipahami


bahwa CMO merupakan organisasi yang dibentuk atau ditunjuk oleh
pemegang hak cipta dalam pengelolaan hak cipta yang mereka miliki.

343 Mihaly Ficsor, Collective Management of Copyright and Related Rights, WIPO,
Geneva, 2002, him. 12.
344 Tarja Koskinen-Olsson clan Nicholas Lowe, Educational Material on Collective
Management of Copyright and Related Rights, WIPO, Ganeva, 2012, him. 19
345 IPOS,"Collective Management Organizations," www.ipos.gov.sg, diakses tanggal 9
September 2016.
346 Alhaji Tejan-Cole, "Collective Management of Copyright and Related Rights," www.
belipo.bz, diakses tanggal 9 September 2016.

142 I
CMO dapat disamakan juga dengan badan perlisensian (licencing bodies)
yang mewakili kepentingan pemegang hak cipta.
CMO dalam menjalankan peranannya memiliki dua fungsi
utama. Pertama, CMO menyediakan pemegang hak cipta untuk
mengadministrasikan hak-haknya secara efektif dan murah agar
mendapatkan pendapatan yang adil dari karyanya tersebut; dan Kedua,
CMO menetapkan layanan untuk penggunaan hak-hak tersebut melalui
fasilitasi akses dan lisensi hak cipta secara mudah dan biaya yang lebih
efektif.347
Dengan dua fungsi utama, maka CMO dapat dinyatakan sebagai
organisasi intermediari antara pencipta/pemegang hak cipta dan pengguna
hak cipta dalam hal pengelolaan hak cipta. Dalam melaksanakan
kegiatannya CMO melakukan pengelolaan terhadap beberapa jenis hak
cipta dan hak terkait. Beberapa hak cipta dan hak terkait tersebut terdiri
dari..348
1. Karya Musik (Musical Works)
Karya musik meliputi semua jenis musik seperti, modern, jazz, klasik,
simpony, blues dan pop baik instrumental atau vokal. Dokumentasi,
lisensi dan distribusi yang merupakan tiga pilar dalam hal manajemen
kolektif dari public performing right dan broadcasting right.
2. Karya Drama (Dramatic Works)
Karya drama meliputi script, sceenplay, mime show, balet, permainan
teater, opera dan musikal. Manajemen kolektif bertindak sebagai agen,
di mana melakukan negosiasi kontrak dengan organisasi yang mewakili
teater yang mana ketentuan minimumnya adalah dikhususkan untuk
penggunaan karya khusus.
3. Karya Percetakan (Printed Works)
Karya percetakan meliputi buku, majalah, surat kabar, laporan dan
lirik lagu. Manajemen kolektif utamanya memberikan hak untuk

347 CISAC, "The Role of Collective Management Organization," www.cisac.org, diakses


tanggal 3 September 2016.
348 WIPO, "Collective Management of Copyright and Related Rights," WIPO Publication
No. L450CM(E), hlm. 6-7.

I 143
penggandaan. Manajemen kolektif melakukan pengadministrasian atas
remunerasi yang dibayarkan kepada pemegang hak cipta.
4. Seni Visual (Vi.sual Arts)
Karya visual mencakup karya tiga dimensi (paintings, statues, drawings,
lithographs, sculptures), grafik (ilustrasi, karikatur dan kartun), dan
karya fotografi. Manajemen kolektif melakukan pengelolaan hak
reproduksi, droit de suit, hak pinjam, dan hak eksibisi.
5. Hak terkait (Related Rights)
Pengaturan di beberapa negara menyediakan pembayaran bagi
pelaku pertunjukan atau produser rekaman atau keduanya ketika
dikomersialisasikan rekaman suara yang dikomunikasikan kepada
publik dengan menggunakan lembaga penyiaran.

Dengan melihat pada pengertian dan fungsi serta ciptaan yang dapat
dikelola, maka CMO ini sangat diperlukan keberadaannya untuk memenuhi
kepentingan pemegang hak cipta di satu sisi, dan kepentingan pengguna
hak cipta di sisi lainnya. Keberadaan CMO membantu pemegang hak cipta
dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan penggunaan haknya yang
dimanfaatkan oleh pengguna hak cipta yang jumlahnya sangat banyak
melalui pemberian kuasa kepada pihak CMO, sedangkan keberadaan
CMO membantu pengguna hak cipta dengan mudah dan terbantu untuk
melakukan hubungan kontraktual dengan pemegang hak cipta yang
jumlahnya banyak dengan cara hanya diwakili oleh pihak CMO.
Namun demikian menurut Tarja Koskinen-Olsson dan Nicholas
Lowe sebenarnya ada beberapa pihak yang dapat mengambil manfaat dari
kehadiran CMO. Pihak-pihak tersebut adalah: 349
1. Pihak pemegang hak cipta
Melalui layanan CMO, maka pencipta atau pelaku pertunjukan akan
dapat lebih konsentrasi pada pengembangan kreativitas. Untuk
melanjutkan aktivitas kreatif, maka diperlukan jaminan keuntungan
finansial dari penggunaan karya mereka tersebut. Dalam banyak kasus,
CMO memainkan peran yang menentukan dalam mata rantai. Apabila

349 Tarja Koskinen-Olsson dan Nicholas Lowe, Op.,Cit., hlm. 21.

144 I
penggunaan massal ditangani secara individu, maka kemungkinan
besar akan rum.it dan mahal.
2. Pihak pengguna hak cipta
Layanan CMO akan mempermudah dan membantu pengguna. Pengguna
dapat memperoleh lisensi hak cipta yang diperlukan dari sumber
utamanya baik pada tingkat nasional maupun intemasional. Misalnya,
hal yang akan sulit bagi sebuah stasiun radio untuk memperoleh lisensi
hak cipta musik dalam setiap programnya apabila dilakukan dengan
individu-individu pemegang hak cipta musik dan lagu tersebut. Hal
yang lazim dalam praktek dilakukan dengan cara bemegosiasi dengan
organisasi profesional seperti CMO.
3. Pihak pemerintah
CMO akan membantu dalam mengadptasi pelaksanaan penggunaan
hak cipta, tanpa hams melakukan perubahan peraturan perundang­
undangan dalam setiap kasus yang terkait dengan penggunaan hak
cipta. Hal ini menjadikan CMO sebagai solusi praktis yang menawarkan
penyelesaian lebih cepat dan jawaban yang layak untuk tantangan
teknologi yang terns berkembang.
4. Pihak masyarakat secara luas
Industri kreatif berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan sosial dari suatu bangsa. Selain aspek ekonomi,
pengetahuan dan budaya menambah nilai bagi kehidupan manusia.
Hal ini mungkin dalam bentuk pendidikan dengan bantuan buku dan
CD-ROM yang bersifat interaktif atau penelitian dengan bantuan
jumal ilmiah. Bahkan mungkin dalam bentuk hiburan melalui
musik, bioskop, video dan DVD. Dalam dunia global, penting untuk
mendorong kreativitas nasional dan budaya yang beragam. Hal ini
demi kepentingan masing-masing negara, di mana para penciptanya
dapat terns bekerja di negara mereka sendiri. Hal ini mendorong
mereka dapat menciptakan kehidupan dengan membawa produk dan
jasa mereka ke pasar. Oleh karena itu, pasar hams sehat, tanpa diwarnai
dengan pembajakan dengan dibantu melalui manajemen hak cipta yang
benar-benar berfungsi.

I 145
Oleh karena itu dengan adanya pendapat dari Tarja Koskinen-Olsson
dan Nicholas Lowe, maka keberadaan CMO pada dasamya memiliki
manfaat yang sangat luas. Berdasarkan pada hal ini, maka wajarlah apabila
CMO saat ini sangat mendapatkan perhatian dalam hal pengaturan hak
cipta di dunia, terutama yang terkait dengan pengelolaan hak cipta.

C. MODEL COLLECTIVE MANAGEMENT ORGANIZATION


DIBEBERAPANEGARA
Dengan memahami arti, fungsi, lingkup dan manfaat urgensi dari
CMO sebagaimana dikemukakan di atas, maka banyak negara melalui
ketentuan hak cipta membuat pengaturan mengenai CMO itu sendiri.
Adapun pengaturan itu terkadang antara satu negara dengan negara yang
lain berbeda. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Wengi Liu.
Ia menyatakan bahwa beberapa negara menetapkan bentuk khusus dari
CMO, sedangkan yang lain tidak.
Sebagai contoh, di Negara Italia CMO yang merupakan wadah
masyarakat pengarang dan publisher Italia disebut sebagai lembaga publik
(public authority), di Negara China CMO hams merupakan organisasi
sosial non-profit, sedangkan di Negara Kanada tidak menetapkan bentuk
khusus dari CMO. Dalam kenyataannya saat ini, negara-negara banyak
membentuk lembaga CMO sebagai lembaga non profit, meskipun
dibolehkan juga negara membentuk lembaga CMO bersifat profit. 350
Selanjutnya Wengi Liu menyatakan juga bahwa model CMO juga
dilihat dari cara kerjanya terbagi menjadi beberapa model. Pertama, terdapat
CMO dalam melakukan kerjanya cenderung menggunakan pendekatan
monopoli. Dalam konteks ini CMO merupakan lembaga publik dan
hanya terdiri dari satu CMO yang mengurusi semua bidang bisnis. Dalam
pengelolaan satu hak cipta (atau hak terkait) dengan model satu CMO
ini akan mengurangi konflik dengan CMO lainnya yang telah diakui dan
diregistrasi menurut ketentuan hukum yang berlaku. Negara-negara yang
menganut pendekatan ini adalah Belgia, Yunani, Belanda, Spanyol, Prancis,
350 Wengi Liu, "Models For Collective Management of Copyrights from an International
Perspective: Potential Changes for Enhacing Performance," Journal of Intellectual
Property Rights Vol. 17, Januari 2012, hlm. 46.

146 I
Jerman (kecuali sektor audiovisual), Swedia dan China. Kedua, terdapat
CMO dalam melakukan kerjanya cenderung menggunakan pendekatan
umum (tidak monopoli). Dalam konteks pendekatan ini CMO bersifat
co-eksistensi dan mengakui iklim persaingan usaha di antara CMO yang
ada. Model CMO seperti ini dibuat dalam rangka melindungi kepentingan
pemegang hak cipta untuk mendapatkan hasil yang maksimum. Negara
yang menganut model CMO ini adalah Amerika Serikat dan Kanada. 351
Dari pendapat Wengi Liu di atas, nampak bahwa pengaturan model
CMO berbeda-beda. Perbedaan pengaturan ini pada dasarnya tidak terlepas
dari beberapa alasan. Beberapa alasan yang dapat diketahui di antaranya;
Pertama, melihat kepada tujuan dari dibentuknya CMO itu sendiri. Ada
beberapa negara yang mengatur CMO ini menghendaki dibuat dalam
bentuk badan publik, sedangkan negara lainnya justru tidak demikian.
Kedua, adanya keinginan proses dan cara kerja CMO yang efektif dan
efisien serta menghargai iklim persaingan usaha yang sehat, sedangkan
yang lainnya menghendaki adanya monopoli. Dari keinginan ini, maka
pada akhirnya ada beberapa negara mengatur CMO dalam bentuk yang
tidak bersifat tunggal, namun terbuka untuk dibentuk banyak CMO.
Terlepas dari adanya perbedaan pengaturan model CMO, keberadaan
CMO di suatu negara saat ini memiliki peran yang sangat strategis.
Peran strategis CMO terletak pada dua hal, yakni, secara mikro terkait
dengan fungsinya sebagai lembaga yang memungut dan mendistribusikan
royalti dari pengguna hak cipta kepada pemegang hak cipta, sedangkan
secara makro terkait dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat suatu bangsa.

D. SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN PENGATURAN CMO


DI INDONESIA
Sejarah CMO di Indonesia diawali dengan berdirinya suatu lembaga
yang disebut dengan Yayasan Karya Cipta Indonesia atau disingkat YKCI
yang bergerak dalam bidang hak cipta musik dan lagu. YKCI berdiri
pada tanggal 12 Juni 1990 yang diinisiasi oleh beberapa tokoh seniman

351 Ibid, hlm. 47.

I 147
musik yakni; H Enteng Tanamal, Titiek Puspa, A. Riyanto, Rinto Harahap,
Guruh Soekarno Putra, Candra Darusman, Dimas Wahab, Paul Hutabarat,
Tubagus Sadikin Zuchra. YKCI ini didirikan dengan tujuan sebagai
wadahnya para pencipta lagu yang akan berjuang untuk kehidupan para
pencipta lagu. Para Tokoh dan insan musik Indonesiapun menyadari
kondisi tersebut dan memrakarsai untuk membentuk sebuah wadah untuk
memperjuangkan dan melaksanakan kegiatan kolektif hak para pencipta
khususnya mengenai hak mengumumkan yang dapat dinikmati oleh para
Pencipta Lagu sebagai Pemilik hak cipta selama hidupnya bahkan ketika
yang bersangkutan meninggal, maka para ahli warisnya dapat menikmati
royalti (hak ekonomi) tersebut sepanjang 50 tahun. 352
YKCI sebagai lembaga CMO tunggal dalam bidang musik dan
lagu di Indonesia dalam menjalankan fungsinya menarik, menghimpun
dan mendistribusikan royalty hak cipta musik dan lagu keberadaannya
dapat dipertahankan hingga tahun 2007. Namun setelah tahun 2007
YKCI sebagai lembaga CMO tunggal dalam bidang musik dan lagu di
Indonesia tidak lagi mampu dipertahankannya. Setelah tahun 2007 banyak
bermunculan lembaga-lembaga CMO dalam bidang musik dan lagu di
Indonesia. Beberapa lembaga CMO yang sejenis seperti WAMI, Asirindo,
Prisindo dan lain sebagainya. Dengan banyak bermunculannya lembaga
CMO dalam bidang musik dan lagu, maka CMO di Indonesia tidak lagi
menganut sistem CMO tunggal, namun lebih menganut pada sistem Multi
CMO. Adanya pergeseran sistem CMO di Indonesia dari yang bersifat
tunggal menjadi multi CMO salah satunya disebabkan karena pengaturan
CMO di Indonesia memang sangat terbuka bagi dianutnya sistem CMO
tunggal ataupun multi CMO pada bidang hak cipta yang sama.
Berbicara pengaturan CMO di Indonesia di beberapa ketentuan
undang-undang hak cipta sebelum UU No. 28 Tahun 2014 diatur secara
voluntary. Pengaturan CMO secara voluntary artinya dibuat berdasarkan
kesepakatan antara pemegang hak cipta dengan pihak yang menjalankan
peran CMO. Ketika, pengaturan CMO di Indonesia diatur secara voluntary,

352 KCI, "Sejarah Karya Cipta Indonesia, www.kci-lmk.or.id diakses pada tanggal 5
September 2016

148 I
CMO di Indonesia banyak menimbulkan berbagai macam kasus. Beberapa
contoh kasus yang dapat dikemukakan di antaranya:
Pertama, kasus pelanggaran HKI di Indonesia belakangan ini
semakin meningkat. Salah satu yang cukup menyita perhatian adalah
kasus antara pihak Inul Vista dengan KCI perihal melanggar hak cipta
dengan mengedarkan dan menyalin lagu tanpa membayar royalti untuk
produser dan pencipta lagu. YKCI adalah pemegang hak cipta dari 2.636
para pencipta lagu Indonesia dengan karya sebanyak 130 ribu lagu.
Selain menjadi pemegang hak cipta para pencipta lagu Indonesia, YKCI
juga mendapat Reciprocal Agreement oleh International Confederation
of Societies of Authors and Composers (CISAC) yang berkedudukan di
Paris. Atas hal tersebut, YKCI mendapat hak untuk mengelola sebanyak
10 juta lagu asing dari buah karya 2 juta pencipta lagu asing yang
bergabung di ISAC. Sebagai pemegang hak cipta, YKCI mempunyai hak
untuk memungut royalti terhadap para pengguna lagu yang menggunakan
lagu-lagu para pencipta untuk tujuan komersial. Karaoke, termasuk
yang dikelola Vizta Pratama, dan kafe adalah tempat lagu-lagu penyanyi
diperdengarkan. Tempat karaoke wajib membayar royalti sesuai UU
No. 19 tahun 2002. Inul Vista dituding melanggar hak cipta berdasarkan
Undang-Undang Hak Cipta Pasal 2 Ayat 1, Pasal 72, Pasal 49 ayat 1 dan
Undang-Undang nomor 19 Tahun 2002, "bahwa perkembangan di bidang
perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga
memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik Hak
Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas." Pihak
KCI sebelumnya telah mengajukan gugatan pada tanggal 8 agustus 2014.
Dalam kasus ini pihak KCI menuding pihak Inul Vista hanya membayar
royalti sebesar 5.500.000/outlet/tahun, bahkan kemudian turun menjadi
3.500.000/outlet/tahun. Padahal sebenamya YKCI mengatakan harga
standar yang ditetapkan oleh CISAC sebesar 720.000/ruangan/tahun.
Ditengah tuntutan yang dilayangkan oleh pihak KCI pihak Inul Vista justru
mengajukan gugatan balik. Kuasa hukum Inul Vizta Karaoke, Anthony
LP Hutapea menolak dikatakan kliennya membayar royalti secara tidak
layak. Soalnya, angka Rp3,5 juta tersebut ditetapkan YKCI sendiri. Kala
itu, YKCI mengatakan harga standar yang ditetapkan oleh CISAC sebesar

I 149
Rp720 ribu/ruangan/tahun belum dapat diterapkan di Indonesia mengingat
keadaan ekonomi pelaku usaha Indonesia berbeda dengan kemampuan
pengusaha luar negeri. Juga, bisnis karaoke masih berkembang di Indonesia.
Atas hal tersebut, para pihak sepakat menentukan royalti sebesar Rp720
ribu per/kamar/tahun dipotong 40% sehingga menjadi Rp3,5 juta per
tahun. Apalagi, angka Rp3,5 juta yang sudah ditetapkan penggugat lebih
besar daripada biaya royalti yang ditetapkan lembaga pemungut royalti
lainnya, seperti Royal Musik Indonesia dan Wahana Musik Indonesia
yang hanya berkisar Rp2,5 juta/tahun. Dengan mengubah pembayaran
royalti menjadi Rp720 ribu/ruangan/tahun tanpa kesepakatan bersama,
Anthony menilai tindakan YKCI adalah tindakan sewenang-wenang dan
melanggar hukum. Namun setelah tarik ulur di pengadilan beberapa bulan
terakhir ini, akhimya Inul Daratista selaku pemilik tempat karaoke Inul
Vista dan Karya Cipta Indonesia (KCI) sebagai wadah bagi pencipta lagu
di Indonesia berdamai. Kesepakatan dan kesepahaman Inul Daratista dan
KCI ini dilakukan di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta Pusat.353
Kedua, Kasus ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) melawan
YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia). ASIRI memenangkan kasus
sengketa dengan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). YKCI dihukum
membayar denda Rp. 84.823.200. ASIRI menuding tindakan YKCI yang
menagih dan memungut royalti dari lagu merupakan tindakan tidak sah
dan tidak berdasar hukum. Sebab, tidak satu pasal di dalam UU Hak Cipta
No 19/2002 yang memberikan kewenangan kepada YKCI untuk menagih
dan memungut royalti dari semua pihak yang memakai/mengumumkan
produk rekaman suara milik dan atau yang berasal dari ASIRI. YKCI
berhak memungut royalti dari pihak-pihak yang memakai lagu ciptaan
para pencipta, tapi dengan syarat pencipta lagu memberikan kuasa kepada
YKCI. Itu juga masih ditambahi syarat, apabila pencipta/pemberi kuasa
tersebut belum pemah memberikan hak mengumumkan ciptaan kepada
produser rekaman.354 Berdasarkan hal ini, maka ASIRI melakukan gugatan

353 https://onewytria.wordpress.com/2016/04/02/kasus-inul-vista-vs-kci/, diakses tanggal


09 September 2016
354. http://celebrity.okezone.com/read/2008/05/14/33/109334/asiri-menangkan-kasus­
ykci-didenda-rp84-juta, diakses tanggal 09 September 2016.

1so I
kepada pihak YKCI dan pengadilan memutuskan gugatanASIRI dikabulkan
dengan kewajiban membayar dari YKCI sebesar Rp84.000.000,-
Ketiga, Kasus YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) melawan
PT. Telkomsel. Kasus tersebut dimulai pada saat gugatan KCI terhadap
Telkomsel pada sidang pertamanya di Pengadilan Negeri Jakarta, Rabu
(29/11) siang, danmenyatakan bahwa karya cipta lagu yang telah diumumkan
oleh Telkomsel dalam bentuk Nada Sambung Pribadi (NSP) ada lebih dari
1.500 karya cipta lagu dalam negeri maupun luar negeri, Telkomsel tidak
melakukan pembayaran royalti kepada YKCI selaku pemegang hak cipta
atas karya lagu-lagu tersebut. Atas perbuatan pelanggaran hak cipta ini,
YKCI memperhitungkan Telkomsel telah menimbulkan kerugian materiil
bagi YKCI sebesar Rp78.408.000.000,-. Selain kerugian tersebut,YKCI
menyatakan juga telah kehilangan keuntungan yang seharusnya diharapkan
dan atau didapatkan dari royalti yang tidak dibayarkan. Sehingga
YKCI menuntut Telkomsel untuk membayar secara tunai dan sekaligus
kehilangan keuntungan tersebut sebesar 10 % per bulan dari nilai kerugian
materiil.355 Hingga saat ini KCI hanya bisa menagih senilai Rp 400 juta
bagi para komposer internasional, padahal bisnis ring tone dan RBT telah
begitu marak. Mungkin orang semakin tak sabar menunggu hasil sidang
gugatan KCI terhadap Telkomsel yang ditunda untuk kelengkapan data­
data akurat hingga 6 Desember mendatang. Upaya gugatan KCI itu,
menurut James, telah berlangsung lama sejak tahun 2002 ketika bisnis ring
tone barn dimulai. Lalu sampai RBT muncul (2004), KCI masih mencari
siapa pelaku utama kesalahan di baliknya.356
Dengan maraknya berbagai kasus yang berkaitan dengan CMO,
pemerintah melalui pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2014 CMO mengatur
CMO secara voluntary dengan dukungan ketentuan undang-undang hak
cipta. Dukungan ketentuan undang-undang hak cipta terhadap eksistensi
dan kedudukan CMO, ini dari mulai pengertian, cara pendirian, mekanisme
kerja dan pengawasannya.

355. http://innasakinahs.blogspot.eo.id/2016/03/ykciVStelkomsel.html, diakses tanggal 09


September 2016.
356 Ibid.

I 1s1
CMO di dalam UU No. 28 Tahun 2014 lebih diterjemahkan kepada
istilah Lembaga Manajemen Kolektif atau disingkat LMK. Selanjutnya,
LMK ini apabila memperhatikan pada ketentuan UU No. 28 Tahun 2014
telah ditetapkan bentuk hukum khusus yang hams dipenuhi dan diakui. Hal
ini sebagaimana yang tertuang di dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 UU
No. 28 Tahun 2014 menyatakan:

Institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa


oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait
guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan
mendistribusikan royalti.

Memperhatikan pada ketentuan bentuk hukum LMK di atas, maka


jelas bahwa bentuk hukum LMK hams memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut: Pertama, berbentuk badan hukum nirlaba; Kedua, memperoleh
kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta, dan atau pemilik hak terkait; dan
ketiga, melakukan pengelolaan hak ekonomi bempa penghimpunan dan
pendistribusian royalti. Dari tiga unsur ini, maka dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Unsur LMK pertama bahwa LMK hams dalam bentuk badan hukum
nirlaba. Berbentuk badan hukum nirlaba mengandung arti LMK tidak boleh
memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Kemudian,
dalam konteks hukum Indonesia LMK yang berbentuk badan hukum
nirlaba, maka sangat tepat hal tersebut diwujudkan dalam bentuk Yayasan.
Untuk menjalankan fungsinya, LMK tidaklah cukup hanya bempa badan
hukum nirlaba, namun berdasarkan pada ketentuan Pasal 88 ayat (1) dan
(2) UU No. 28 Tahun 2014, maka LMK tersebut juga hams memiliki izin
operasional. Adapun untuk memperoleh izin operasional ini, maka LMK
hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;
2. Mendapatkan kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik
hak terkait untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti
3. Memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 orang
pencipta untuk lembaga manajemen kolektif bidang lagu dan/atau
musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50

1s2 I
(lima puluh) orang untuk lembaga manajemen kolektif yang mewakili
pem.ilik hak terkait dan/atau objek hak cipta lainnya.
4. Bertujuan menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti.
5. Mampu menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada
pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait.

Unsur kedua LMK, LMK hams memiliki kuasa dari pencipta,


pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait. Pemenuhan unsur memiliki
kuasa ini hams dibuktikan dengan adanya suatu perjanjian pemberian
kuasa antara LMK dengan pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak
terkait. Adapun perjanjian pemberian kuasa mem.iliki substansi penyerahan
kekuasaan dari pemberi kuasa (pencipta, pemegang hak cipta atau pem.ilik
hak terkait) kepada penerima kuasa (LMK) untuk melakukan penarikan,
penghimpunan dan pendistribusian royalti atas ciptaan yang dilindungi
hak cipta. Kepemilikan kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta atau
pemilik hak terkait ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 telah memberikan
pembatasan. Pembatasan terkait dengan hal ini, yakni; Pertama, untuk
ciptaan musik dan lagu, maka paling sedikit 200 orang pencipta musik dan
lagu, sedangkan untuk ciptaan lain di luar musik dan lagu atau pemilik hak
terkait paling sedikit 50 orang pencipta atau pem.ilik hak terkait.
Unsur ketiga LMK, LMK hams melakukan pengelolaan hak ekonomi
bempa penghimpunan dan pendistribusian royalti. Melakukan pengelolaan
hak ekonom.i dalam konteks ini sebenamya ketentuan UU No. 28 Tahun 2014
telah menetapkan dalam hal melakukan penghimpunan dan pendistribusian
royalti. Namun demikian, istilah penghimpunan dan pendistribusian
royalti ini apabila dicermati sangat membutuhkan penjabaran yang lebih
detail. Adapun penjabaran yang lebih detail biasanya tertuang di dalam
perjanjian pemberian kuasa. Khusus, untuk penetapan besaran royalti,
maka menumt ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 hal
tersebut hams ditetapkan bukan saja berdasarkan kesepakatan, tetapi hams
berdasarkan kelaziman praktek berdasarkan keadilan, sedangkan dalam hal
pemanfaatan royalti oleh LMK di dalam ketentuan Pasal 91 ayat (1) dan
(2) UU No. 28 Tahun 2014 dinyatakan bahwa pemanfaatan dana royalti
LMK secara umum hanya diperbolehkan memanfaatkan dana tersebut

I 153
pada lima tahun pertama sebesar 30%, sedangkan tahun-tahun berikutnya
sebesar 20%.
Untuk mendukung LMK dapat bekerja secara efektif, efisien dan
profesional, maka ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 telah memberikan
beberapa bentuk pengawasan atas kinerja dan laporan keuangan LMK.
Adapun hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 90 UU No. 28
Tahun 2014 yang menyatakan:

Dalam melaksanakan pengelolaan hak Pencipta dan pemilik Hak


Terkait Lembaga Manajemen Kolektif wajib melaksanakan audit
keuangan dan audit kinerja yang dilaksanakan oleh akuntan publik
paling sedikit I (satu) tahun sekali dan diumumkan hasilnya kepada
masyarakat melalui I (satu) media cetak nasional dan 1 (satu) media
elektronik.

Selanjutnya, di dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) dan (2) UU No. 28


Tahun 2014 yang menyatakan:

(1) Menteri melaksanakan evaluasi terhadap Lembaga Manajemen


Kolektif, paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menunjukkan Lembaga Manajemen Kolektif tidak memenuhi
ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, Pasal
89 ayat (3), Pasal 90, atau Pasal 91, Menteri mencabut izin
operasional Lembaga Manajemen Kolektif.

Dari ketentuan Pasal 90, 92 ayat (1) dan (2) UU No. 28 tahun 2014,
maka dapat ditentukan pengawasan lembaga LMK dilakukan oleh dua
pihak, yakni; akuntan publik dan pemerintah. Akuntan publik merupakan
lembaga independen yang melakukan pengawasan pada dua aspek, yakni
laporan keuangan dan laporan kinerja LMK, sedangkan pemerintah
merupakan institusi pemerintah yang melakukan pengawasan baik pada
aspek keorganisasian, kinerja dan pengelolaan keuangan.
Dengan adanya keterlibatan auditor independen dan pemerintah dalam
pengawasan LMK, maka LMK diharapkan dapat menjalankan fungsinya
secara profesional, efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Oleh karena

154 I
itu, jika hal ini dapat diwujudkan, maka secara mikro pemegang hak cipta
dan pengguna akan sangat diuntungkan. Lalu secara makro, kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan dapat segera diwujudkan.

E. PELUANG DAN TANTANGAN CMO INDONESIA


CMO di Indonesia pasca pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2014 telah
mendapatkan pengaturan yang lebih jelas dibandingkan pengaturan pada
ketentuan undang-undang hak cipta sebelumnya. Bentuk pengaturan CMO
dalam UU No. 28 Tahun 2014 merupakan ketentuan pendukung pada
sistem CMO yang bersifat voluntary. Dengan pengaturan CMO seperti ini,
maka ada beberapa peluang yang dapat diambil, yakni;
1. CMO sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 dapat dibentuk melebihi dari satu asalkan menenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Hal ini akan
menciptakan iklim persaingan usaha yang dapat menguntungkan bagi
kepentingan pemegang hak cipta;
2. CMO sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 dapat melakukan pengelolaan hak cipta pada jenis ciptaan
tertentu yang sifatnya spesifik. Oleh karena itu, akan diharapkan akan
memberikan peluang bagi optimalisasi pengelolaan hak ekonomi dari
ciptaan yang dilindungi hak cipta;
3. CMO sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 telah menetapkan model kelembagaan yang sifatnya non-profit.
Oleh karena itu, lembaga ini diharapkan dapat benar-benar membawa
kepentingan pemegang hak cipta dalam memperoleh kompensasi dari
ciptaan yang dimanfaatkan oleh pihak lain;
4. CMO sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 akan dilakukan pengawasan oleh lembaga audit independen
berkenaan dengan laporan keuangan dan kinerja, sedangkan pemerintah
melakukan pengawasan dalam hak kelembagaan, laporan keuangan
dan kinerja dari CMO, maka dengan pengaturan seperti ini, maka
optimalisasi nilai ekonomi dari hak cipta bagi pemegang hak cipta akan
dapat diwujudkan.

I 155
Dengan memahami beberapa peluang, sebenarnya kehadiran aturan
barn sebagai bentuk dukungan terhadap CMO yang bersifat voluntary
nampaknya akan menghadirkan sejumlah tantangan. Beberapa tantangan
yang dapat diidentifikasi adalah:
1. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014, karena dapat lebih dari satu CMO dalam suatu bidang ciptaan,
maka CMO tersebut hams dapat menciptakan model kerja dan kinerja
yang efektif dan efisien bagi kepentingan pemegang hak cipta;
2. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 dimana lembaga auditor independen dan pemerintah dapat
melakukan pengawasan, maka CMO hams mampu melakukan penarikan,
penghimpunan dan pendistribusian royalti secara profesional dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
3. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 di mana dalam hal pemanfaatan dana hasil pemungutan royalti
hanya sebesar 30% sampai 20%, maka CMO tersebut dihadapkan
pada suatu tantangan mencari strategi yang efektif agar CMO tetap
dapat eksis dalam menjalankan peranannya menarik, menghimpun dan
mendistribusikan royalti kepada pemegang hak cipta;
4. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 dimana dalam menjalankan kegiatannya hams didasarkan pada
kuasa dari pemegang hak cipta secara sah dan benar, maka dituntut
dapat menyajikan data pemegang hak cipta yang akurat dan valid.
5. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 hendaknya tidak hanya dapat menjalankan kegiatan penarikan,
penghimpunan dan pendistribusian royalti pada pengguna hak cipta
secara konvensional, tetapi juga hams dapat menjangkau kepada
pengguna hak cipta yang menggunakan medium digital.

F. KESIMPULAN
CMO dalam perspektif internasional merupakan organisasi yang
melakukan penarikan, penghimpunan dan pendistribusian royalti hak
cipta memiliki berbagai macam varian. Setidaknya, ada dua varian dari

156 I
CMO yakni lembaga yang bersifat profit dan non profit, sedangkan dari
kegiatannya ada yang bersifat monopoli maupun non monopoli. Dalam
konteks Indonesia, CMO dikenal dengan Lembaga Manajemen Kolektif.
Lembaga ini dikenal juga dengan singkatan LMK. Setelah diberlakukannya
UU No. 28 Tahun 2014, maka LMK di Indonesia berbentuk lembaga non
profit dan tidak bersifat monopolistik. LMK juga dibentuk berdasarkan
voluntary dengan dukungan UU No. 28 Tahun 2014. Dari bentuk LMK
seperti ini, maka temyata telah menghadirkan sejumlah peluang dan
tantangan. Peluang dan tantangan ini apabila dapat diselesaikan dengan
baik, maka akan membawa kepada semangat berkreativitas yang tinggi
dan meningkatkan kesejahteraan dari pemegang hak cipta.

DAFTAR PUSTAKA
Mihaly Ficsor, Collective Management of Copyright and Related Rights,
WIPO, Geneva, 2002.
Tarja Koskinen-Olsson dan Nicholas Lowe, Educational Material on
Collective Management of Copyright and Related Rights, WIPO,
Ganeva, 2012.
IPOS, "Collective Management Organizations," www.ipos.gov.sg, diakses
tanggal 9 September 2016.
Alhaji Tejan-Cole, "Collective Management of Copyright and Related
Rights, "www.belipo.bz, diakses tanggal 9 September 2016.
CISAC, "The Role of Collective Management Organization," www.cisac.
org, diakses tanggal 3 September 2016.
WIPO, "Collective Management of Copyright and Related Rights," WIPO
Publication No. L450CM(E).
Wengi Liu, "Models For Collective Management of Copyrights from
an International Perspective: Potential Changes for Enhacing
Performance," Journal of Intellectual Property Rights Vol. 17,
Januari 2012.
KCI, "Sejarah Karya Cipta Indonesia, www.kci-lmk.or.id diakses pada
tanggal 5 September 2016.

I 157
https://onewytria.wordpress.com/2016/04/02/kasus-inul-vista-vs-kci/,
diakses tanggal 09 September 2016.
http://cele brity.okezon e.c om/read/2008/05/14/33/109334/asiri­
menangkan-kasus-ykci-didenda-rp84-juta, diakses tanggal 09
September 2016.
http://innasakinahs.blogspot.eo.id/2016/03/ykciVStelkomsel.html, diakses
tanggal 09 September 2016.

1ss I
BAB VII
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 28 TAHUN
2014 DALAM KONT EKS KEPENTINGAN
PENGEMBANGAN INDUS T RI KR EATIF MUSIK
DAN LAGU DI INDONESIA
Budi Agus Riswandi

A. PENDAHULUAN
Industri kreatif pada beberapa dekade ini nampaknya telah menjadi
perhatianserius di beberapaNegara. BeberapaNegaramemberikan perhatian
serius disebabkan industri kreatif dianggap dapat menciptakan lapangan
kerja dan kesejahteraan bagi masyarakat suatu Negara. Namun demikian,
hams diakui dalam pengembangan industri kreatif itu sendiri ada banyak hal
yang hams diperhatikan. Perlindungan hak kekayaan intelektual, khususnya
perlindungan hak cipta atas karya musik dan lagu sebagai produk industri
kreatif adalah salah satu contohnya. Hal ini tidak terkecuali dalam konteks
pengembangan industri kreatif musik dan lagu yang ada di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, beberapa dekade sebelum diberlakukannya
UU No. 28 Tahun 2014 perlindungan hak cipta atas musik dan lagu masing
dianggap oleh banyak kalangan sangat lemah. Lemahnya perlindungan
hak cipta atas musik dan lagu ini ada beberapa faktor yang menyebabkan
hal tersebut. Salah satu faktornya terkait dengan keberadaan UU hak
cipta yang berlaku saat itu masih belum antisipatif terhadap kemungkinan
untuk dilakukannya perlindungan hak cipta atas musik dan lagu. Selain,

I 159
belum antisipatif terhadap perlindungan hak cipta atas musik dan lagu juga
ketentuan UUHak Cipta dianggap dalam hal pemberian insentifbelum punya
keberpihakan yang kuat terhadap pencipta musik dan lagu di Indonesia.

B. INDUSTRI KREATIF = INDUSTRI MUSIK DAN LAGU =


INDUSTRI HAK CIPTA
Industri kreatif merupakan industri yang basisnya pada talenta dan
keterampilan seseorang dalam menghasilkan sebuah kreasi yang kemudian
dapat dilakukan komersialisasi terhadap kreasi tersebut. Dari pemahaman
atas industri kreatif seperti ini, maka sangat jelas bahwa industri kreatif
itu tumpuannya adalah pada upaya kreatif dan inovatif seseorang atau
sekelompok orang atas suatu kreasi. Untuk dapat dilakukannya upaya
kreatif dan inovatif ini, maka talenta, skill dan keterampilan seseorang
atau sekolompok orang menjadi sangat penting dan strategis. Dari sini,
wajar apabila berbicara industri kreatif, maka tidak bisa dilepaskan dari
kapasitas, kapabilatas dan kualitas sumber daya manusianya.
Upaya kreatif dan inovatif dari seseorang atau sekelompok orang
terjadi juga dalam proses menghasilkan musik dan lagu. Musik dan lagu
pada dasarnya merupakan produk kreatif dan inovatif dari seseorang atau
sekelompok orang. Musik dan lagu dihasilkan dengan cara mencari ide/
gagasan atas musik dan lagu tersebut. Ide dan gagasan dalam musik dan lagu
dapat berupa tema percintaan, ketuhanan, kritik sosial dan lain sebagainya.
Kemudian, tema tersebut dituangkan dalam bentuk syair lagu dan notasi
musik dan lagu. Musik dan lagu akan sangat terasa hasilnya, manakala
musik dan lagu tersebut dapat ditampilkan dengan diiringi oleh permainan
alat-alat musik yang mampu menghasilkan untaian suara yang harmoni.
Dengan memahami proses musik dan lagu dihasilkan, tidak salah
apabila musik dan lagu dianggap sebagai produk kreatif. Musik dan lagu
yang telah dihasilkan dan dikomersialisasikan dalam sekala yang besar
dan masif biasanya melahirkan konsep industri musik dan lagu. Konsep
industri musik dan lagu pada dasarnya basisnya adalah suatu kreativitas
yang terkait dengan dihasilkannya musik dan lagu. Dengan memahmi
demikian, maka dapat diketahui industri musik dan lagu merupakan bagian

160 I
dari industri kreatif. Alasan musik dan lagu bagian dari industri kreatif. Hal
ini dapat dipahami karena industri kreatif memiliki cakupan yang sangat
luas, di mana berbagai produk kreatif dan inovatif yang dihasilkan umat
manusia dan dapat dikomersialisasikan dalam rangka penciptaan lapangan
kerja dan kesejahteraan masyarakat, maka sesungguhnya adalah industri
kreatif. Untuk produk kreatif dan inovatif, maka ragamnya sangat banyak,
di antaranya musik dan lagu.
Dalam perspektif hak kekayaan intelektual, produk kreatif seperti
musik dan lagu ini dikualifikasikan sebagai karya di bidang seni. Dengan
dimasukkannya musik dan lagu dalam kategorisasi karya seni, maka
konsekuensi dari sisi hak kekayaan intelektual, musik dan lagu dapat
dilindungi berdasarkan hak cipta. Hak cipta dapat diartikan sebagai hak
eksklusif pencipta yang lahir secara otomatis melalui sistem deklaratif
ketika ciptaan telah diwujudkan secara nyata tanpa mengurangi pembatasan
sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tatkala dalam musik dan lagu terlahir hak cipta, maka ada dua hal
yang diperoleh, yakni; Pertama, seseorang atau sekelompok orang yang
menghasilkan musik dan lagu hams dilindungi hak-hak hukumnya---dalam
hal ini hak cipta yang memuat hak moral dan hak ekonomi; dan Kedua,
seseorang atau sekelompok orang yang menghasilkan musik dan lagu dapat
mengambil manfaat ekonomi dari musik dan lagu yang dilindungi hak
cipta. Mengambil manfaat ekonomi dari musik dan lagu yang dilindungi
hak cipta dapat berupa manfaat dari penggandaan musik dan lagu dan juga
pengumuman dari musik dan lagu. Adapun wujud manfaat ekonomi ini
dapat diejawantahkan dalam bentuk royalti. Dalam sekala yang besar, di
saat musik dan lagu dioptimalisasikan manfaat ekonominya, maka lahirlah
suatu bentuk industri barn yang dikenal dengan industri hak cipta.

C. K O NT RI B US I IN DUST RI K R EA T I F MUS I K
DANLAGU DALAM PEREKONOMIANNASIONAL
Industri kreatif diyakni dapat dijadikan salah satu strategi dalam
rangka penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
World Intellectual Property Organization (WIPO) yang berfokus pada

I 161
pengadministrasian hak kekayaan intelektual juga telah melakukan kajian
atas dampak dan kontribusi ekonomi kreatif terhadap pembangunan
ekonomi suatu negara. Ada dua hal yang telah dikaji oleh lembaga ini,
yakni menyangkut dampak dan kontribusi pada Produk Domestik Produk
dan penciptaan lapangan pekerjaan secara nasional. Dari dua aspek yang
dikaji WIPO dapat dikemukakan sebagai berikut: 357
1. Kontribusi industri kreatif pada PDB
Kontribusi industri kreatif pada PDB di setiap negara signifikasinya
bervariasi dari mulai 10% (Amerika Serikat dan Australia) hingga di
bawah 2% untuk Brunai. Dengan rata-rata 5,4%, � dari negara-negara
mempunyai kontribusi antara 5% dan 6,5%. Tiga negara yangmempunyai
PDB lebih tinggi, yakni Amerika Serikat, Australia dan Korea.
Chart 2: Cortribition of Copyriglt Industries to GDP

Avg(Y}S•'l.

IHllll 111111,
�p1�111pnn1�ni;n11qnq
i
COUNTRY
SOurce: WIPO

2. Kontribusi industri kreatif pada penciptaan lapangan pekerjaan


Dampak dan kontribusi industri kreatif terhadap penciptaan lapangan
kerja memiliki signifikasi yang bervariasi juga, rata-rata 5,9%. Hampir
� negara memiliki kisaran penciptaan lapangan kerja antara 4% dan
7%. Meksiko dan Filipina merupakan negara yang memiliki angkatan
kerja tertinggi dalam bidang industri kreatif.

357 WIPO, "Copyright + Creativity= Jobs and Economic Growth," dalam WIPO Studies
on the Economic Contribution of the Copyright Industries, 2012, http://www.ip-watch.
org/weblog/wp-content/uploads/2012/02/WIPO-Copyright-Economic-Contribution­
Analysis-2012-FINAL-230-2.pdf, diakses tanggal 04 Juni 2016

162 I
Chart 3: Contribution of Copyright Industries to National Employment

Source: W1PO

Pada tahun 2011, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Uni Eropa,


temyata ekonomi kreatif telah memberikan dampak dan kontribusi pada
pembangunan ekonomi Uni Eropa secara primer sebagai berikut; Pertama,
industri kreatif inti di 27 negara Uni Eropa telah meningkatkan nilai tambah
558 juta euro, kira-kira 4,4% dari total GDP Eropa; Kedua, nilai tambah
dari industri kreatif diperkirakan 860 juta euro, mewakili 6,8% share dari
GDP; Ketiga, industri kreatif mewakili kira-kira 8,3 miliar pekerja yang
bekerja penuh waktu atau total 3,8% pekerja penuh waktu di Eropa; dan
Keempat, pekerjaan yang total di industri kreatif kira-kira 14 miliar, atau
kira-kira 6,8% dari keseluruhan pekerjaan.358
Lain lagi dengan Singapura, dampak dan kontribusi dari ekonomi
kreatif di negara ini secara primer pada tahun 2000 tergambarkan sebagai
berikut; Pertama, industri kreatif berkontribusi dan memberikan nilai
tambah sebesar 2.98 juta dolar Singapura atau kira-kira 1,9% dari PDB;
Kedua, jumlah tenaga kerja yang dapat diserap sebanyak 47.000 orang,
kira-kira 2,2% dari total seluruh tenaga kerja; Ketiga, produktivitas tenaga
kerja di industri kreatif 63,543 dolar Singapura per pekerja; dan Keempat,
ekspor industri kreatif Singapura mencapai 536 miliar dolar Singapura.359

358 Forum Davignon dan TERA Consultation, "Executive Summary" dalam The economic
contribution of the creative industries to EU GDP and employment Evolution 2008-
2011, September 2014, hlm. 5.
359 Toh Mun Heng, dkk, Op., Cit., hlm. 54.

I 163
Di Indonesia, peran industri kreatif dalam ekonom.i Indonesia cukup
signifikan dengan besar kontribusi terhadap PDB rata-rata tahun 2002-2006
adalah sebesar 6,3% atau setara dengan 104,6 triliun rupiah (nilai konstan)
dan 152,5 triliun rupiah (nilai nominal). Industri ini telah mampu menyerap
tenaga kerja rata-rata tahun 2002-2006 adalah sebesar 5,4 juta dengan
tingkat partisipasi sebesar 5,8% (Departemen Perdagangan RI, 2007).
Dalam hal kontribusi industri kreatif musik dan lagu di Indonesia
kecenderungannya lebih tinggi dibandingkan dengan produk industri
kreatif yang lainnya. Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI)
menyatakan industri musik saat ini menguasai 85% pasar dalam negeri
industri kreatif, meskipun distribusi musik sudah bergeser dari semula
dalam bentuk album fisik menjadi musik digital. ASIRI juga mencatat nilai
tambah yang dihasilkan subsektor ini mencapai Rp4,8 triliun pada 2012
dan diperkirakan meningkat hingga Rp5 triliun di tahun 2013. 360
Selanjutnya, menurut Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis
Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonom.i Kreatif
(Kemenparekraf) Ahman Sya menuturkan bahwa saat ini industri musik
telah menyumbang Rp5,2 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
sepanjang 2013 dengan jumlah usaha dan serapan tenaga kerja yang
mengalam.i peningkatan setiap tahunnya. 361
Berdasarkan pada kajian yang dilakukan di beberapa negara dan
organisasi intemasional, maka dapat dikemukakan bahwa ekonom.i kreatif
mem.iliki potensi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di suatu
negara. Atas dasar hal ini, maka tidak mengherankan apabila banyak
negara mulai semakin serius mengembangkan ekonom.i kreatif ini. Bentuk
keseriusan itu, dilakukan juga melalui pembentukan hukum yang berkaitan
dengan ekonom.i kreatif. Adapun pembentukan hukum ini dimaksudkan
untuk melakukan rekayasa sosial agar perkembangan ekonom.i kreatif
dapat diarahkan pada maksud dan tujuan yang telah ditetapkan.

360. http://lifestyle.bisnis.com/read/20140930/225/261214/-industri-musik-kuasai-85-
pasar-industri-kreatif, diakses pada tanggal 15 September 2016.
361. http://www.neraca.eo.id/article/44026/industri-musik-sumbang-rp52-triliun-ke-pdb­
ekonomi-kreatif, diakses pada tanggal 15 September 2016.

164 I
D. UU HAK CIPTA DALAM KONTEKS KEPENTINGAN
PENGEMBANGAN IN D US TRI KRE ATIF MUS IK
DAN LAGUINDONESIA
Peraturan perundang-undangan hak cipta dapat mencerm.inkan
dua sisi kepentingan pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang dapat
diakomodasi. Dua sisi kepentingan tersebut adalah; Pertama, sisi
kepentingan perlindungan. Sisi kepentingan perlindungan ini biasanya
peraturan perundang-undangan hak cipta mengatur tentang aspek
ciptaan yang dapat dilindungi, mekanisme perlindungan, jangka waktu
perlindungan dan sanksi hukum apabila ada pihak yang melanggar atas
perlindungan hak cipta itu sendiri. Kedua, sisi kepentingan insentif. Sisi
kepentingan insentif ini biasanya dengan adanya perlindungan hak cipta,
maka pencipta atau pemegang hak cipta akan memperoleh insentif. Bentuk
nyata insentif tersebut berupa penghargaan terhadap diri pencipta dan
kompensasi dalam bentuk nilai ekonom.i dari ciptaan yang dihasilkannya.
Sejalan dengan pemikiran di atas, apabila dikontekstualisasikan
dengan ciptaan musik dan lagu, maka pada dasarnya para pencipta musik
dan lagu sesungguhnya sangat memerlukan dua kepentingan sebagaimana
yang terdapat di dalam paraturan perundang-undangan hak cipta tersebut.
Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, yakni;
Pertama, musik dan lagu merupakan kreasi yang dihasilkan dari olah fikir
dan talenta pencipta musik dan lagu. Kemudian, kreasi ini dilakukan dengan
menggunakan segenap kemampuan intelektual, waktu, biaya dan tenaga
yang dim.iliki oleh pencipta musik dan lagu. Upaya kreasi ini dilakukan
juga dengan cara difiksasikan, hams memenuhi syarat orisinalitas dan
kreativitas. Dari karakteristik proses penciptaan musik dan lagu seperti ini,
maka sangat logis apabila ciptaan musik dan lagu masuk sebagai objek
dari peraturan perundang-undangan hak cipta. Hal ini karena peraturan
perundang-undangan hak cipta mem.iliki lingkup pada wujud penciptaan
dalam bidang seni, termasuk salah satunya ciptaan musik dan lagu.
Dengan memposisikan ciptaan musik dan lagu sebagai ciptaan yang
ada pada lingkup peraturan perundang-undangan hak cipta, maka pencipta
musik dan lagu menjadi sangat tepat apabila mereka mendapatkan dua
kepentingan sebagaimana yang terdapat di dalam peraturan perundang-
1 165
undangan bak cipta; Kedua, secara empirik, ciptaan musik dan lagu
merupakan ciptaan yang ada pada lingkup peraturan perundang-undangan
bak cipta, di mana realitasnya ciptaan musik dan lagu ini telab banyak
dilakukan perbanyakan atau pengumuman tanpa bak dari penciptaannya,
sehingga sangat merugikan pada kepentingan penciptanya. Di sisi
lain, ciptaan musik dan lagu merupakan ciptaan yang ada pada lingkup
peraturan perundang-undangan bak cipta yang secara ekonomi potensial
mengbasilkan manfaat ekonomi. Hal ini juga menjadi alasan kuat pencipta
musik dan lagu membutubkan dua kepentingan sebagaimana yang tertuang
di dalam peraturan perundang-undangan bak cipta.
Dari pemabaman atas bal di atas, maka apabila merujuk pada
ketentuan UU No. 28 Tabun 2014 sebagai landasan peraturan perundang­
undangan bak cipta di Indonesia akan ditemukan beberapa norma yang
mengakomodir dua kepentingan untuk pencipta musik dan lagu. Dari
sisi perlindungan, ketentuan UU No. 28 Tabun 2014 telab mendudukkan
ciptaan musik dan lagu sebagai bagian yang dilindungi bak cipta. Adapun
ketentuan yang menguatkan bal tersebut tertuang di dalam ketentuan Pasal
1 angka 3 UU No. 28 Tabun 2014 yang menyatakan:

Ciptaan adalab setiap basil karya cipta di bidang ilmu pengetabuan,


seni, dan sastra yang dibasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan, alau keahlian yang diekspresikan
dalam bentuk nyata.

Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 28 Tabun 2014 dengan tegas


menyatakan babwa ciptaan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut
ada pada basil karya cipta di bidang seni salab satunya. Ciptaan musik
dan lagu merupakan ciptaan yang masuk basil karya cipta di bidang seni.
Penegasan ciptaan musik dan lagu sebagai objek ciptaan yang dilindungi
bak cipta juga diatur pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) burn£ d UU No.
28 Tabun 2014 yang berbunyi: "Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: ...d. lagu
dan/atau musik dengan atau tanpa teks; ..."
Selanjutnya, sisi perlindungan lainnya, keentuan UU No. 28 Tabun
2014 telah mengatur mekanisme dan jangka waktu perlindungan bak cipta.

166 I
Mekanisme perlindungan hak cipta didasarkan melalui sistem deklaratif,
yakni ketika suatu ciptaan diwujudkan secara nyata, maka ciptaan tersebut
mendapatkan perlindungan secara otomatis. Hal ini sebagaimana tertuang
di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi:

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Jangka waktu perlindungan hak cipta musik dan lagu telah diatur di
dalam ketentuan Pasal 58, (1), (2) dan 28 Tahun 2014. Di dalam ketentuan
Pasal 58 ayat (1) (2) dan (3) UU No. 28 Tahun 2014 dijelaskan dua hal
yakni, ciptaan yang dilindungi dan masa waktu perlindungan ciptaan
tersebut. Adapun menurut ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU No. 28 Tahun
2014 menyatakan perlindungan hak cipta atas ciptaan; ...d. lagu atau
musik dengan atau tanpa teks...berlaku selama hidup Pencipta dan terus
berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal
dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Sanksi hukum
yang dikenakan kepada pihak yang melakukan pelanggaran atas cipataan
lagu atau musik berupa sanksi ganti kerugian dan sanksi pidana penjara
dan denda.
Dari sisi insentif, ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 telah memberikan
bentuk insentif berupa penghargaan terhadap diri pencipta dan kompensasi
dalam bentuk nilai ekonomi dari ciptaan musik dan lagu yang dihasilkannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur penghargaan terhadap diri pencipta
musik dan lagu dan kompensasi dalam bentuk nilai ekonomi dari ciptaan
musik dan lagu dapat dilihat pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan
Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2014. Di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf
a UU No. 28 Tahun 2014 berbunyi: "Hak moral sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta
untuk: a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada
salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum ..." Dari
ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 28 Tahun 2014 tegas ketentuan
ini memberikan penghargaan pada diri pencipta berupa pencantuman nama

I 167
pencipta. Dalam hal kompensasi dalam bentuk nilai ekonomi dari ciptaan
music dan lagu dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No.
28 Tahun 2014 yang berbunyi: "Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan
Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh
pencipta atau pemilik hak terkait." Ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No. 28
Tahun 2014 tidak secara spesifik menyatakan royalti sebagai kompensasi
dalam bentuk nilai ekonomi bagi ciptaan musik dan lagu, namun dalam
ketentuan tersebut dinyatakan imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi
suatu ciptaan. Akan tetapi makna ciptaan itu sendiri pada dasarnya memuat
ciptaan musik dan lagu juga.

E. KESIMPULAN
Kehadiran UU No. 28 Tahun 2014 merupakan babak barn dalam
pengembangan industri kreatif musik dan lagu Indonesia. Hal ini
setidaknya dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2014, maka industri
kreatif musik dan lagu diharapkan akan mencapai dua kepentingan, yakni;
kepentingan perlindungan hukum dan kepentingan memberikan insentif.
Dalam hal kepentingan perlindungan hukum ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 telah memberikan perlindungan bagi industri kreatif musik dan lagu
lebih lama lagi, yakni seumur hidup plus 70 tahun, sedangkan kepentingan
memberikan insentif bagi industri kreatif musik dan lagu dibuktikan dengan
diakuinya pemberian royalti melalui sistem Lembaga Manajemen Kolektif.

DAFTAR PUSTAKA
WIPO, "Copyright + Creativity = Jobs and Economic Growth," dalam
WIPO Studies on the Economic Contribution of the Copyright
Industries, 2012, http://www.ip-watch.org/weblog/wp-content/
uploads/2012/02/WIPO-Copyright-Economic-Contribution­
Analysis-2012-FINAL-230-2.pdf, diakses tanggal 04 Juni 2016

168 I
Forum Davignon dan TERA Consultation, "Executive Summary" dalam
The Economic Contribution of the Creative industries to EU GDP
and Employment Evolution 2008-2011, September 2014.
http://lifestyle.bisnis.com/read/20140930/225/261214/-industri-musik­
kuasai-85-pasar-industri-kreatif, diakses pada tanggal 15 September
2016.
http://www.neraca.eo.id/artic1e/44026/industri-musik-sumbang-rp52-
triliun-ke-pdb-ekonomi-kreatif, diakses pada tanggal 15 September
2016.

I 169
BAB VIII
PROBLEMATIKA JAMINAN FIDUSIA HAK
CIPTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF
DI INDONESIA
Budi Agus Riswandi

A. PENDAHULUAN
Abad ini merupakan abad pengembangan ekonomi kreatif di dunia.
Betapa tidak, melalui pengembangan ekonomi kreatif banyak negara
mampu mengembangkan kegiatan ekonominya. Salah satu negara yang
mengawali konsep pengembangan ekonomi kreatif adalah Austria yang
termaktub dalam laporan "creative nation" pada tahun 1994. Kemudian,
hal ini diimplementasikan secara formal pertama kali di dunia pada tahun
1998 oleh Inggris melalui DCMS (Department of Culture, Media and
Sports). Pengimplementasian ini diharapkan dapat mendorong peningkatan
kesejahteraan dan lapangan kerja.
Dari dampak positif tersebut, ekonomi kreatif mulai dikembangkan di
banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Kesungguhan Indonesia dalam
mengembangkan ekonomi kreatif dimulai sejak terbentuknya Kementerian
Ekonomi Kreatif dan Pariwisata pada masa rezim Susilo Bambang
Yudoyono. Pembentukan kementerian tersebut juga diikuti dengan
pembuatan Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia yang

110 I
didasarkan kepada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009. Pengembangan
ekonomi kreatif di Indonesia semakin digiatkan lagi melalui pembentukan
Badan Ekonomi Kreatif berdasarkan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 2015
tentang Badan Ekonomi Kreatif.
Namun demikian, upaya pengembangan ekonomi kreatif, khususnya
pada industri kreatif tidaklah cukup hanya dengan membuat kebijakan
di atas. Pemerintah dalam konteks ini hams dapat lebih produktif lagi
mengeluarkan berbagai kebijakan yang pro dengan pengembangan
industri kreatif. salah satunya, pemerintah saat ini telah melakukan
perubahan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjadi UU No.
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Di dalam salah satu ketentuan UU No.
28 Tahun 2014 dinyatakan bahwa hak cipta dapat dijadikan sebagai objek
jaminan fidusia. Dengan adanya ketentuan ini, maka industri kreatif yang
menopang pengembangan ekonomi kreatif mempunyai peluang untuk
dapat dikembangkan sedemikian rupa. Permasalahannya, apakah dengan
ketentuan tersebut serta merta industri kreatif dapat dikembangkan?
Permasalahan apakah yang dapat ditimbulkan? Implikasi apakah yang
akan timbul apabila ketentuan tersebut tidak dapat diimplementasikan atau
"dipaksakan" untuk diimplementasikan?

B. INDUSTRI KREATIF SEBAGAI INDUSTRI YANG BERBASIS


PADA KREATIVITAS
Kegiatan bisnis hari ini tidak terlepas dari suatu kreativitas. Bahkan,
kreativitas telah menjadi kunci penting dalam pengembangan bisnis hari
ini dan kedepan. Kreativitas yang menurut Christ Bilton kata "kreativitas"
mengandung beberapa arti. Pertama, kreativitas berkaitan dengan
sesuatu yang barn atau berbeda, atau a deviation from conventional tools
and perspectives. Kedua, istilah tersebut berarti bahwa individu hams
diberikan kebebasan untuk mengekspresikan bakat dan visi mereka (aspek
manajemen) atau bahwa sesuatu yang barn tersebut hams bermanfaat bagi
publik (aspek piskologis). 362 Perlu diketahui, dalam konteks ini kreativitas

362 Basuki Antariksa, Konsep Ekonomi Kreatif: Peluang dan Tantangan dalarn
Pembangunan di Indonesia, Bagian Hukum, Kepegawaian, dan Organisasi,

I 111
dan inovasi merupakan dua hal yang berbeda. Menurut John Howkins
kreativitas dan inovasi perbedaannya sebagaimana dikemukakan sebagai
berikut:

Creativity is in the individual and it is subjective; Innovation is group­


based and is objective. Innovation always goes to a Committee at some
stage and will only be allowed to continue if it is approved. Whereas
creativity is much more fuzzy and subjective. Creativity can move to
innovation; creativity can power innovation; creativity can result in
innovation. Innovation never causes creativity...363•

Memperhatikan pada perbedaan kreativitas dan inovasi, ternyata


kreativitas dapat merupakan kekuatan dalam berinovasi. Mengingat
kreativitas memiliki nilai yang strategis tidak mengherankan apabila
para sarjana ekonomi banyak berpendapat bahwa suatu negara apabila
menghendaki maju secara ekonomi, maka harus mampu mengelola
pekerjaan kreatif. Dari sini juga, lahirlah model ekonomi barn yang dikenal
dengan a concept-driven economy.364 Daniel Pink dalam bukunyaA Whole
New Mind menjelaskan model ekonomi a concept-driven economy, dimana
ia menyatakan:

that the shift from the Information Age to the Conceptual Age rests on
three modern occurrences: (1) Abundance, or the easy availability of
a wide variety of quality products at a low cost; (2) Outsourcing of
jobs toAsia; and (3)Automation, allowing many analytical tasks to be
done more easily and effectively by computers rather than humans...365

Dampak dari hal ini, John Howkins menyatakan:

Sekretariat Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya,


Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, t.t; t.t, him. 1.
363 Donna Ghelfi, "Understanding the Engine of Creativity in a Creative Economy: An
Interview with John Howkins," Creative Industries Division, Office of Strategic Use
of Intellectual Property for Development, WIPO, hlm. 4.
364 Daniel H. Pink, A Whole New Mind: Moving From the Information Age to the
Conceptual Age, (2005), hlm. 28-47
365 Ibid.

112 I
On the supply side, automation in the manufacturing industries and,
to a smaller extent, in the service industries has cut the demand for
manual labour, so young people are looking elsewhere for work. Many
turn to the creative industries, which may offer an attractive lifestyle
and above-average economic rewards. 366

Dari penyataan John Howkins sangatjelas salah satu dampaknya telah


banyak tercipta berbagai macam industri kreatif yang digerakkan oleh
kaum muda. Industri kreatif sendiri ada banyak pihak yang mendefinisikan.
Menurut United Nation Confrence on Trade and Development (UNCTAD)
yang dinyatakan bahwa:

Creative industries can be defined as the cycles of creation,


production, and distribution of goods and services that use creativity
and intellectual capital as primary inputs. They comprise a set of
knowledge-based activities that produce tangible goods and intangible
intellectual or artistic services with creative content, economic value
and market objectives. 367

Sementara itu, pengertian industri kreatif sebagaimana yang dikemukakan


oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) sebagai berikut:

Creative industries- industries that include the cultural industries


plus all cultural or artistic production whether live or produced as an
individual unit. The creative industries are those in which the product
or service contains a substantial element of artistic or creative
endeavor.368

Pengertian industri kreatif juga dinyatakan oleh Departement of


Culture, Media and Sport. Departement of Culture, Media and Sport
menyatakan: Creative Industry: Those industries which have their origin
in individual creativity, skill and talent and which have a potential for

366 John Howkins, The Creative Economy: How People Make Money from Ideas 124 (2d
ed. 2007, Wm.xv.
367 United Nation, Creative Economy: A Fesable Development Option, UN Report 2010,
hlm.3.
368 http://www.wipo.int/ip-development/en/creative_industry/, diakses tanggal 02 Juni
2016.

I 173
wealth and job creation through the generation and exploitation of
intellectual property.369
Dalam Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia,
industri kreatif dinyatakan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan dan lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan
memberdayakan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Secara konseptual industri kreatif telah melahirkan sektor-sektor
industri kreatif. Dalam hal sektor-sektor industri kreatif ini ada banyak
konsep yang berkembang. UNCTAD menyatakan sektor industri kreatif
dapat dibagi menjadi empat, yakni; heritage, arts, media dan functional
creations. Secara lengkap sektor industri kreatif yang dikonseptualisasikan
oleh UNCTAD dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

UNCTAD classification of creative mdustnes

Heritage

Arts

Media

Functional
creations

WIPO membagi industri kreatif ke dalam delapan sektor. Adapun


sektor-sektor yang dimaksudkan adalah; Press and Literature; Music,
Theatrical Productions and Opera; Motion Picture, Vi.deo and Sound;
Radio and Television; Photography, Vi.sual and Graphic Arts, Related
Professional and Technical Services; Software, Databases and New Media;
Advertising Services; Copyright Collective Management Societies.
369 Benhua Wang, "Creative industries-a summary of international research and
comparisons," Powerpoint Presentation, t.t; t.t, him. 3.

174 I
Sementara itu, Departement of Culture, Media and Sport telab
membagi industri kreatif menjadi tiga belas sektor yakni; Advertising,
Architecture, Arts, Crafts, Design, Fashion, Film & Video, interactive
leisure software, music, performing arts, publishing, television, dan radio.
Indonesia yang saat ini juga berupaya mengembangkan industri kreatif
telab membagi industri kreatifnya ke dalam lima belas sektor, yakni;
periklanan, arsitektur, seni dan pasar antik, kerajinan, desain, fashion, film
video dan fotografi, game interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan
dan percetakan, layanan komputer dan software, radio dan televisi, riset
dan pengembangan, dan kuliner.
Dengan memabami berbagai definisi industri kreatif dan sektor-sektor
yang ada di dalamnya, maka dapat dikemukakan beberapa bal mengenai
industri kreatif, yakni; Pertama, industri kreatif merupakan bagian dari
kegiatan industri yang didasarkan pada kreativitas individual; Kedua,
industri kreatif pada kenyataannya banyak digerakkan oleb orang-orang
yang usianya masib muda; dan ketiga, industri kreatif memiliki orientasi
pada upaya menciptakan kesejabteraan dan lapangan pekerjaan.

C. HAK CIPTA SEBAGAI HAK KEBENDAAN DAN MULT IHAK


Hak cipta merupakan salab satu jenis dari bak kekayaan intelektual.
Hak cipta merupakan bak eksklusif yang dilekatkan pada suatu karya
dibidang seni, sastra dan ilmu pengetabuan. Hak cipta sendiri sebagai basil
kreasi bukum pada dasarnya merupakan upaya memberikan pengbargaan
dan perlindungan atas basil dari suatu penciptaan. Bagaimanapun, suatu
penciptaan dalam kenyataannya dapat mengbasilkan ciptaan membutubkan
upaya yang sunggub-sunggub dari penciptanya. Upaya sunggub-sunggub
tersebut tidak banya dalam proses penciptaan itu memanfaatkan saran dan
prasarana, biaya, waktu dan tenaga, tetapi yang lebib utama lagi adalab
kemampuan dalam mencari ide/gagasan yang sifatnya kreatif dalam bidang
seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Dalam konteks inilab pentingnya bak
cipta sebagai kreasi bukum dalam rangka memberikan suatu pengbargaan
dan perlindungan.

I 11s
Perlu diketahui, di dalam konsep hak cipta suatu ciptaan akan
memperoleh hak cipta apabila ciptaan tersebut telah memenuhi beberapa
persyaratan, yakni; Pertama, ciptaan dalam bidang seni, sastra dan ilmu
pengetahuan. Ciptaan dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan
merupakan lingkup khusus untuk hak cipta. Bentuk dari ciptaan dalam
bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sangat beraneka ragam. Semisal,
ciptaan seni ukir, patung, lukis, karya tulis, novel, animasi dan software.
Kedua, hams dilakukan fiksasi. Fiksasi artinya, suatu ide atau gagasan
dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan hams diwujudkan dalam
bentuk yang nyata. Hak cipta tidak untuk suatu ide atau gagasan, meskipun
ide atau gagasan tersebut dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.
Ketiga, hams memiliki unsur orisinalitas. Orisinalitas mengandung
arti bahwa seseorang yang dianggap sebagai pencipta adalah benar telah
membuat ciptaan tersebut. Orisinalitas bukan diartikan bahwa ciptaan
tidak dipengamhi oleh ciptaan-ciptaan orang lain. Dalam hal orisinalitas
yang dipengamhi oleh ciptaan-ciptaan orang lain tidak berakibat pada
orisinalitas tetapi lebih kepada tinggi rendahnya kreativitas. dan Keempat,
memiliki kreativitas. Kreativitas pada dasarnya berhubungan dengan
orisinalitas. Apabila orisinalitas dari ciptaan tinggi, maka kreativitas juga
akan tinggi. Sebaliknya, ketika orisinalitas rendah, maka kreativitas juga
menjadi rendah.
Dengan memahami ciptaan yang dapat memperoleh hak cipta di atas
menegaskan bahwa ciptaan yang pada dasarnya produk kreatif. Adapun
letak produk kreatif tersebut pada hal ciptaan memiliki keunikan, terutama
dalam hal orisinalitas dan kreativitasnya.
Ketika ciptaan sebagai produk kreatif dalam perspektif hak
cipta, ciptaan tersebut dapat diberikan hak cipta. Pengertian hak cipta
sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angkat 1 UU No. 28 Tahun 2014
dinyatakan: Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara
otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dari pengertian hak cipta ini, maka dapat
diketahui unsur-unsur hak cipta, yaitu;

176 I
1. Hak eksklusif
Hak eksklusif artinya hak monopoli. Hak monopoli ini terdiri dari; hak
untuk menggunakan sendiri ciptaannya, hak untuk mengizinkan orang
lain menggunakan ciptaannya, hak untuk mengalihkan kepada pihak
lain, dan hak untuk melarang orang lain menggunakan ciptaannya.
2. Otomatis dengan sistem deklaratif
Otomatis dengan sistem deklaratif mengandung arti untuk lahirnya
hak cipta tidak memerlukan proses pendaftaran, namun dengan telah
diwujudkannya ciptaan ke dalam bentuk nyata, maka hak cipta telah
lahir.
3. Ciptaan yang diwujudkan secara nyata
Ciptaan yang diwujudkan secara nyata mengandung arti ciptaan
tersebut harus dapat dirasakan oleh panca indra.
4. Tanpa mengurangi pembatasan
Tanpa mengurangi pembatasan artinya hak cipta yang bersifat monopoli
tidak diartikan secara absolut, namun bersifat relatif. Ada dua hal
sifat monopoli hak cipta bersifat relatif, yakni; adanya jangka waktu
perlindungan serta pembatasan dan pengecualian hak cipta.

Hak cipta secara konsepsional dibagi lagi menjadi beberapa jenis


hak, yakni hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk
mengambil manfaat ekonomi dari ciptaan yang dilindungi hak cipta,
sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta dan tidak
dapat dialihkan atau diperalihkan. Sejalan dengan dua macam hak ini,
berkembang lagi jenis-jenis hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi
terdiri dari: 370
a. The reproduction right atau hak reproduksi merupakan hak yang
paling fundamental dari seluruh hak ekonomi dan hak ini diakui
baik dalam Konvensi Bern, Universal Copyright Convention
maupun hukum hak cipta di setiap negara. Hak ini pada hakekatnya
adalah memberi izin untuk mereproduksi atau mengkopi atau
menggandakan jumlah ciptaan dengan berbagai cara, misalnya

370. Ibid, hlm.72-74.

I 177
dengan cara mencetak (print) atau secara mekanik. Itu sebabnya
hak mereproduksi ini sering di bagi lagi menjadi printing right dan
mechanical right.
b. The adaptation right adalah hak memberi izin melakukan adaptasi,
aransemen, atau perbuatan lain untuk mengubah bentuk sebuah
karya, misalnya menerjemahkan satu karya dari satu bahasa
ke bahasa lain, membuat aransemen musik dan lain-lain. The
adaptation right dengan jelas diakui oleh the Berne Convention dan
Universal Copyright Convention. Saal terminologi ada juga penulis
yang menamai hak ini sebagai alteration right yang mencakup
adaptation right dan translation right.
c. The distribution right adalah hak memberi izin untuk
mendistribusikan (menyebarkan) basil penggandaan suatu karya
kepada publik. Termasuk pada kelompok hak ini, antara lain
menjual, menyewakan dan bentuk-bentuk lain pengalihan basil
perbanyakan dari suatu karya. Kecuali yang berhubungan dengan
karya cinematografi. di dalam the Bern Convention, the distribution
right ini tidak jelas diakui di dalam the Bern Convention dan
Universal Copyright Convention.
d. The public performance right adalah hak memberi izin untuk
menampilkan suatu karya kepada publik. Hak ini juga diakui,
baik dalam the Bern Convention maupun Universal Copyrights
Convention. Oleh penulis dan juga kalangan collecting society
seperti Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), istilah yang
dipergunakan adalah performance right yang di dalamnya termasuk
menampilkan karya kepada publik secara langsung (live) maupun
melalui penyiaran (broadcast).
e. The broadcasting right hak memberi izin untuk menyiarkan suatu
karya dengan menggunakan kabel. Ada dua bentuk penyiaran dengan
kabel ini, yaitu; cabel transmission dan cable origination. Bentuk
yang pertama adalah pentransmisian kembali dengan kabel suatu
penyiaran karya, jadi merupakan sebuah kegiatan meneruskan yang
sudah ada (pre-existing). Bentuk yang kedua adalah pentransmisian
asli dengan kabel sebuah karya. Di dalam the Bern Convention

178
bentuk yang pertama ditempatkan sebagai bagian dari broadcasting
right dan bentuk yang kedua diberlakukan sebagai salah satu bagian
dari the public performance right.
Di dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 telah dikemukakan
beberapa hak ekonomi yang diakui, yakni;
a. Penerbitan Ciptaan;
b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c. Penerjemahan Ciptaan;
d. Pengadaptasian, pengaransemenan, pentransformasian Ciptaan;
e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f. Pertunjukan Ciptaan;
g. Pengumuman Ciptaan;
h. Komunikasi Ciptaan; dan
i. Penyewaan Ciptaan
Stewart sebagaimana dikutip oleh Otto Hasibuan mengkonstatir
bahwa ada tiga basis hak moral, yakni; 371
a. Droit de divulgation (the right of publication) is the right to decide
whether the work is to be made public.
b. Droit de paternite (the right of paternity) is the right to claim
authorship of published works.
c. Droit de respect de ]'oeuvre (the right of integrity) is the right of
author to safeguard his reputation by preserving the integrity of the
work.
Hak moral ini merupakan hak yang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
Hak moral di dalam UU No. 28 Tahun 2014 telah dirinci dalam ketentuan
Pasal 5, 6, dan 7 UU No. 28 Tahun 2014. Secara lengkap hak moral yang
diakui dalam UU No. 28 Tahun 2014 adalah:
a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada
salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;
b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

371 Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (1injauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights dan Collecting Society), Bandung: Alumni, 2008, hlm.70. Lihat
juga Tomi Swyo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global Sebuah
Kajian Kontemporer, Bandung: Graha Ilmu, 2010, him. 89.

I 179
c. Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
e. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi
Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan
kehormatan diri atau reputasinya

Di samping hak cipta memiliki pengertian di atas, hak cipta juga sering
diartikan sebagai benda tidak berwujud (intangable asset). Pemahaman
hak cipta sebagai benda tak berwujud sesungguhnya dapat ditarik dari
pengertian benda itu sendiri. Di dalam ketentuan Pasal 499 KUH Perdata
dinyatakan: "Kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang
dapat dikuasai oleh hak milik". Dari pengertian ketentuan Pasal 499 KUH
Perdata ini, maka kebendaan dapat ditafsirkan luas, di mana benda yang
dimaksud tidak hanya barang, namun dapat juga berupa hak. Benda dalam
pengertian barang merujuk pada benda berwujud, sedangkan benda dalam
pengertian hak merujuk pada benda tak berwujud.
Secara konseptual, hak cipta sebagai benda tak berwujud ini,
pada dasarnya tidak bersifat tunggal, namun bersifat multihak. Hal ini
sebagaimana diketahui bahwa di dalam hak cipta terdapat dua macam
hak, yakni hak moral dan ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas. Sejalan
dengan hal tersebut, di dalam hal hak moral dan ekonomi ini ternyata ada
berbagai macam hak lainnya yang memiliki orientasi dan cakupan yang
berbeda.

D. JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI SISTEM JAMINAN KEBENDAAN


Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang
mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap
seorang debitur.372 Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan
hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

372 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2007, hlm. 3.

1so I
hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.373
Dasar hukum jaminan secara umum didasarkan pada ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata dan 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata
selanjutnya berbunyi:

"Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak


bergerak, baik yang sudah ada maupun yang barn akan ada di kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan".

Kemudian dalam Pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan:

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang


yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Jaminan dilihat dari sifatnya dapat dibedakan menjadi dua macam,


yakni jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan yang bersifat umum
ditujukan kepada seluruh kreditur dan mengenai segala kebendaan debitur.
Setiap kreditur mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan
utang dari basil pendapatan penjualan segala kebendaan yang dipunyai
debitur. Dalam hak jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditumya
mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditur lain (kreditur
konkuren), tidak ada kreditur yang diutamakan, diistimewakan dari kreditur
lain. Para kreditur tersebut tidak mendapatkan hak preferensi.Karenanya
pelunasan utang mereka dibagi secara "seimbang" berdasarkan besar
kecilnya jumlah tagihan dari masing-masing kreditur dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan utang debitur. Hak jaminan yang bersifat umum ini
dilahirkan atau timbul karena undang-undang, sehingga hak jaminan yang
bersifat umum tidak perlu diperjanjikan sebelumnya. Ini berarti, kreditur

373 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2008, him. 6.

I 1a1
konkuren secara bersamaan memperoleh hak jaminan yang bersifat umum
dikarenakan oleh undang-undang.374
Agar seorang kreditur mempunyai kedudukan yang lebih baik
dibandingkan kreditur konkuren, utang kreditur dapat diikat dengan hak
jaminan yang bersifat khusus, sehingga krediturnya memiliki hak preferensi
dalam pelunasan piutangnya. Apabila kita perhatikan klausul terakhir dari
ketentuan dalam Pasal 1132 KUH Perdata, yaitu kata-kata " ....., kecuali
apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan" maka memberikan kemungkinan sebagai pengecualian
adanya kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur. Adapun kreditur yang diutamakan tersebut, yaitu
kreditur yang mempunyai hak jaminan yang bersifat khusus, dinamakan
pula kreditur preferent. 375
Salah satu jaminan khusus tersebut adalah jaminan fidusia. Jaminan
fidusia secara hukum telah diatur di dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 diuraikan mengenai
pengertian jaminan fidusia yang selengkapnya berbunyi:

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditor lainnya.

Berdasarkan pada pengertian jaminan fidusia di atas, maka dapat


dikemukakan bahwa jaminan fidusia pada dasarnya merupakan jaminan
kebendaan juga. Namun, jaminan kebendaan yang dimaksud melingkupi
beberapa jenis benda, yakni:
1. Benda bergerak yang berwujud maupun yang tidak berwujud

374 Dilva Muzdaliva Sawotong, "Jaminan Kebendaan pada PT. Pegadaian terhadap
Barang yang Digadaikan," Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014, hlm. 38.
375 Ibid.

1s2 I
2. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan.
Selain jaminan fidusia mencakup pada benda-benda di atas, jaminan
fidusia ini juga menyatakan bahwa penguasaan benda tersebut tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia. Hal yang sangat spesifik dari jaminan
fidusia sebagai jaminan khusus adalah mendudukkan penerima fidusia
terhadap kreditur lainnya diutamakan.
Dalam hal suatu jaminan diakui sebagai jaminan fidusia, maka
ketentuan UU No. 42 Tahun 1999 telah mengatumya sedemikian rupa.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan prosedur pembebanan jaminan
fidusia, di antaranya;
1. Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan
Fidusia;
2. Pendaftaran Jaminan Fidusia hams dilakukan pendaftaran di Kantor
Pendaftaran Fidusia;
3. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal
dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia;
4. Sertifikat Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
5. Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada,
kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia;
6. Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur
lainnya.
Dari beberapa ketentuan di atas terlihat dengan jelas bahwa jaminan
fidusia merupakan jaminan kebendaan yang bersifat khusus. Beberapa
kekhususan ini menjadikan jaminan fidusia memiliki nilai lebih
dibandingkan dengan jaminan kebendaan yang bersifat umum.

I 183
E. P R O BLEMA T I K A JAMI N A N FIDUSIA HAK CI P TA
DAN IMPLIKASINYA PADA PENGEMBANGAN INDUSTRI
KREATIF DI INDONESIA
Industri kreatif yang pada prinsipnya menekankan pada aspek
kreativitas, dalam implementasinya tetap memerlukan dukungan aspek
lainnya, seperti sarana dan permodalan. Permodalan merupakan salah
satu aspek yang harusnya menjadi perhatian dalam pengembangan
industri kreatif. Permodalan merupakan instrumen pendukung yang akan
mendorong industri kreatif. Dalam praktek selama ini, industri kreatif
dalam implementasinya lebih mengandalkan modal sendiri, di banding
sumber-sumber permodalan lain. Hal ini barangkali dapat dipahami karena
industri kreatif umumnya diimplementasikan oleh pelaku-pelaku yang dari
segi pengalaman dan pengetahuan berusaha masih sangat terbatas sekali.
Di samping pengalaman dan pengetahuan yang terbatas dalam
pengembangan usaha, terkadang jika pelaku industri kreatif tersebut
memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, khususnya dalam
hal akses permodalan, temyata masih memiliki kendala lain semisal
adanya keterbatasan jaminan dalam hal akses permodalan berupa kredit
perbankan. Rata-rata kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap
para pelaku usaha termasuk pelaku usaha industri kreatif mensyaratkan
adanya jaminan berupa hak tanggungan. Jaminan hak tanggungan ini
adalah jaminan kebendaan hak atas tanah. Padahal, dalam kenyataannya
untuk dapat mengajukan kredit dengan jaminan hak tanggungan pelaku
industri kreatif tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Justru yang
dimiliki oleh pelaku industri kreatif adalah kreativitasnya itu sendiri.
Hal ini tentunya selain tidak memenuhi persyaratan kredit, di sisi lain
menimbulkan problematika sendiri.
Dalam perkembangannya, mensikapi persoalan di atas, kini pemerintah
telah menerbitkan suatu aturan yang berkenaan dengan dimungkinkannya
kreativitas yang dihasilkan oleh pelaku industri kreatif dan dilindungi hak
cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan. Adapun objek jaminan yang
dapat diterapkan pada kreativitas yang dilindungi hak cipta tersebut berupa
jaminan fidusia. Hal ini sebagaimana ditemukan pada ketentuan Pasal 16

184 I
ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berbunyi: "Hak
Cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia."
Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menetapkan
bahwa hak cipta sebagai objek jaminan fidusia, disebabkan hak cipta pada
dasarnya merupakan hak kebendaan yang bersifat benda bergerak tidak
berwujud. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang selengkapnya berbunyi: "Hak
Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud." Sementara, apabila
mengacu kepada ketentuan jaminan yang berlaku di Indonesia, untuk
benda bergerak tidak berwujud merupakan bagian dari aspek jaminan
fidusia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 42 Tahun
1999 tentang Jaminan fidusia yang berbunyi:

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditor lainnya.

Setelah dipahami adanya peluang secara normatif kreativitas yang


dilindungi hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia,
hal ini tidak serta merta bahwa ketentuan tersebut dengan mudah dapat
diimplementasikan. Dalam implementasinya, ada beberapa aspek yang
berpotensi menjadi permasalahan ketika kreativitas yang dilindungi hak
cipta dijadikan sebagai objek jaminan fidusia. Permasalahan-permasalahan
tersebut melingkupi antara lain:
1. Sistem perlindungan hak cipta dilakukan secara otomatis yang bersifat
deklaratif
Hak cipta sebagai bagian dari klasifikasi hak kekayaan intelektual dalam
hal sistem perlindungannya didasarkan pada sistem otomatis yang
bersifat deklaratif. Dengan berdasarkan pada sistem perlindungan hak
cipta demikian, maka hak cipta dilindungi tidak didasarkan pada bukti

I 1as
kepemilikan sertifikat, namun lebih dititikberatkan pada terwujudnya
suatu ciptaan dalam bentuk yang nyata. Dalam konteks jaminan fidusia,
hal ini agak menyulitkan dalam kaitannya dengan ciptaan yang tidak
dicatatkan kemudian akan dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
Artinya jika itu tetap bisa dilakukan maka akan menimbulkan resiko
hukum dan ekonomi kepada si Penerima Fidusia.
2. Penentuan nilai benda hak cipta sebagai objek jaminan fidusia
Hak cipta sebagai hak kebendaan yang sifatnya benda bergerak
tidak berwujud semestinya memiliki nilai ekonomi. Namun, dalam
konteks jaminan fidusia menetapkan nilai ekonomi dari hak cipta saat
ini masih menimbulkan kesulitan. Hal ini disebabkan lembaga yang
dapat melakukan penilaian atas hak cipta sebagai benda bergerak tidak
berwujud belum tersedia secara khusus. Jikalau, secara kelembagaan
dapat ditangani melalui apraisal atau lainnya, sudah barang tentu tidak
serta merta juga dapat melaksanakan kegiatan penilai atas hak cipta
sebagai benda bergerak tak berwujud. Bagaimanapun, dalam melakukan
penilaian atas hak cipta sebagai benda bergerak tak berwujud tidak
cukup sekedar memiliki pengetahuan mengenai tata cara penilaian
benda bergerak tak berwujud, namun diperlukan juga pengetahuan
yang cukup berkaitan dengan konsep hak cipta. Sementara kondisinya
lembaga appraisal atau lainnya sampai saat ini belum banyak yang
memahami tentang konsep hak cipta.
3. Hak cipta sebagai konsep hak eksklusif yang bersifat multihak
Hak cipta sebagai sebuah konsep hak eksklusif pada dasarnya memiliki
dua macam hak, yakni hak ekonomi dan hak moral sebagaimana
diuraikan di atas. Konsekuensi dari adanya hak ekonomi dan hak moral
ini telah melahirkan konsep mutli hak. Dari kondisi demikian dikaitkan
dengan jaminan fidusia, maka pihak penerima jaminan fidusia benar­
benar hams hati-hati dalam memberikan uraian mengenai benda yang
menjadi objek jaminan fidusia. Hal ini sangat penting mendapatkan
perhatian yang serius, sehingga jangan sampai dalam prakteknya
dapat menimbulkan permasalahan. Apabila hal ini, tidak mendapatkan
perhatian yang sungguh-sungguh tidak menutup kemungkinan hal
tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.

186 I
Contohnya, adanya dugaan dari si penerima jaminan bahwa yang
dijaminkan itu adalah hak cipta secara keseluruhan ternyata si pemberi
jaminan itu sendiri menganggap ia hanya menjaminkan sebagian dari
hak ciptanya. Tentunya dengan kondisi demikian akan menimbulkan
interpretasi yang berbeda dan berpotensi menimbulkan sengketa
hukum.
4. Rendahnya pemahaman notaris atas isu hak cipta
Hak cipta sebagai objek jaminan fidusia telah memberikan peluang barn
bagi Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Adapun
tugas dan kewenangan notaris tersebut terletak dalam hal pembebanan
benda dengan jaminan fidusia. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 5 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang
berbunyi: "Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan
akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan
Fidusia." Dengan adanya ketentuan yang menyatakan dibuat dengan
akta notaris, maka dalam hal pembebanan benda berupa benda bergerak
tidak berwujud yang disebut hak cipta dengan jaminan fidusia, notaris
pun sangat perlu memahami terlebih dahulu konsep hak cipta. Hal
ini agar supaya tidak menimbulkan kesalahan dalam membuat akta.
Apabila, notaris tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap
konsep hak cipta dan kemudian ia membuat akta jaminan fidusia, maka
besar kemungkinan hal tersebut akan menimbulkan permasalahan
dikemudian hari. Dalam kenyataannya, saat ini masih banyak notaris
yang belum memahami dan memiliki pengetahuan yang terkait dengan
hak cipta, sehingga tentunya berpotensi ketentuan jaminan fidusia hak
cipta tidak dapat diimplementasikan atau apabila diimplementasikan
pun dapat berpotensi menimbulkan masalah.

Dengan mengetahui berbagai permasalahan jaminan fidusia hak


cipta di atas, maka sudah dapat dipastikan ketentuan jaminan fidusia yang
terdapat di dalam UU No. 28 Tahun 2014 tidak dapat diimplementasikan.
Apabila diimplementasikanpun, pastinya akan berpotensi timbulnya
berbagai sengketa hukum. Sehubungan dengan hal ini, apabila dikaitkan
dengan pengembangan industri kreatif, maka sudah jelas permasalahan

I 187
tersebut akan berimplikasi pada dua hal pokok dari pengembangan industri
kreatif. Dua hal pokok tersebut meliputi:
1. Implikasi ekonomi terhadap pengembangan industri kreatif. Implikasi
ekonomi terhadap pengembangan industri kreatif, di mana industri
kreatif akan menghadapi kesulitan dalam akses pembiayaan guna
pengembangan industri kreatif itu sendiri, yang sebenarnya hal ini tidak
perlu terjadi, mengingat hak cipta sebagai hak kebendaan bergerak
yang tidak berwujud dapat dijadikan sebagai salah satu objek jaminan
fidusia;
2. Implikasi hukum terhadap pengembangan industri kreatif. Implikasi
hukum terhadap pengembangan industri kreatif, di mana industri kreatif
akan dihadapkan kepada sengketa-sengketa hukum terkait jaminan
fidusia hak cipta yang disebabkan karena rendahnya pemahaman
yang baik dari lembaga-lembaga yang memberikan dukungan atas
implementasi jaminan fidusia hak cipta.

F. KESIMPULAN
Industri kreatif memiliki orientasi pada mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan penciptaan lapangan kerja. Untuk mencapai orientasi
tersebut, maka industri kreatif menjadi penting untuk dikembangkan.
Dalam hal pengembangan industri kreatif, mendorong kreativitas
saja tidak cukup, namun diperlukan juga dukungan permodalan yang
kuat. Dalam kenyataannya, industri kreatif masih kesulitan untuk
mendapatkan permodalan tersebut melalui skema perkreditan mengingat
tidak tersedianya jaminan yang dipersyaratkan. Untuk memberikan
solusi terhadap permasalahan tersebut pemerintah, telah membuat
ketentuan barn, dimana kreativitas yang dilindungi hak cipta yang
dimiliki oleh industri kreatif dapat dijadikan sebagai alat jaminan. Hal
ini sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU No.
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun demikian, apabila dicermati
dalam implementasinya, jaminan fidusia hak cipta ini berpotensi dapat
menimbulkan beberapa permasalahan. Dari beberapa permasalahan yang

188 I
timbul pada akhimya dapat menimbulkan implikasi ekonomi dan hukum
terhadap pengembangan industri kreatif.

DAFTAR PUSTAKA
Basuki Antariksa, "Konsep Ekonomi Kreatif: Peluang dan Tantangan
dalam Pembangunan di Indonesia," Bagian Hukum, Kepegawaian,
dan Organisasi, Sekretariat Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif
Berbasis Seni dan Budaya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, t.t; t. t.
Benhua Wang, "Creative Industries-A Summary of International Research
and Comparisons," Powerpoint Presentation, t.t; t.t.
Daniel H. Pink, A Whole New Mind: Moving From the Information Age to
the Conceptual Age, (2005).
Dilva Muzdaliva Sawotong, "Jaminan Kebendaan pada PT. Pegadaian
terhadap Barang yang Digadaikan," Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan­
Mar/2014.
Donna Ghelfi, "Understanding the Engine of Creativity in a Creative
Economy: An Interview with John Howkins, "Creative Industries
Division, Office of Strategic Use of Intellectual Property for
Development, WIPO.
http://www.wipo.int/ip-development/en/creative_industry/, diakses tanggal
02 Juni 2016.
Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2007.
John Howkins, The Creative Economy: How People Make Money From
Ideas 124 2d ed. 2007.
Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (Ti.njauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights dan Collecting Society), Bandung: Alumni,
2008.
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2008.

I 189
Tomi Suryo Utomo, HakKekayaan Intelektual (HKI) di Era Global Sebuah
KajianKontemporer, Bandung: Graha Ilmu, 2010.
United Nation, Creative Economy: A Fesable Development Option, UN
Report 2010.
UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jam.inan Fidusia
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

190 I
INDEKS

A Convention 3,7,11,13,17,18,19,
22,23,91,96,102,103,106,
aplikasi 92,96,100,129 121,122,177,178
asli 7,27,30,31,37,42,43,55,64, copyright 28,38,40,41,45,49,50,
66,67,70,72,78,79,82,83, 51,80
90,113,117,178 copyright law 41,51
asuransi 36
atribusi 10,11,12,14,15,17,18,19, D
21,22,23,24
audience 9 damages 74
authorised distributors 27 dampak 30,81, 126,162,163,170,
authorized importer 69 172
Ayurveda 111 dealing 39,44,45,53,61
defensive 93,102,107
B defensive protection 93,102,107
deklaratif 161,167,176,177,185
barang bebas 44,45 denda 65,70,74,81,133,136,137,
bisnis 31,55,94,146,150,151,164, 150,167
169,171 digital 9,26,126,128,129,130,138,
156,164
C
dinamis 90
ciptaan 7,8,9,10,11,13,15,16,18, disparage 112,114
19,21,22,23,24,25,78,79, distributor 27,29,32,33,34,57,63,
81,127,132,134,135,136, 69,70,71,72,73,82
141,144,150,153,155,156, DRMs 128,129
161,165,166,167,168,175,
176,177,179,180,186 E
claim 74 eksebisi 144
CMO 4,140, 141,142,143,144, eksklusif 3,15,20,21,22,24,25,29,
145,146,147,148,151,152, 30,40,42,59,66,67,68,69,
155,156 71,72,73,74,77,80,81,82,
control 39,40,41,57,64,69

I 191
83,93,94,141,161,167,175, 23,24,25,26,96,135,161,
176,177,186 177,179,180,186
ekspresi budaya tradisional 3,88,89, hak penyingkapan 8,10,24,25
93,113,116,119 hak terkait 143,144,146,152,153
exhaust 46,78 hukumjaminan 180,181,189
exhaustion 3,36,38,40,42,44,45,
46,47,48,49,50,52,53,54, I
55,56,57,58,59,60,61,62, impor 3,27,28,29,30,31,32,33,
63,64,69,76,77,78,79,81, 34,35,36,37,38,42,45,47,
82,83,84,86 48,50,53,54,55,57,58,59,
F 60,61,62,63,64,65,66,68,
69,70,71,72,73,74,75,76,
fair use 10 77,78,79,80,81,82,83,85,
farmasi 3,45,72,75,76,77,82 86,87
fidusia 5,171,182,183,184,185, importer 29,45
186,187,188 Indonesia 31,38,65,67,71,77,80,
84,85
G industri 2,4,5,76,145,149,150,
ganti rugi 65,74,75,76,77,80,131, 159,160,161,162,163,164,
136 165,168,169,170,171,173,
genetik 92,96,102,103,107,109 174,175,184,187,188
industri kreatif 4,5,145,159,160,
H 161,162,163,164,165,168,
170,171,173,174,175,184,
hak cipta 2,3,4,5,7,9,10,13,14, 187,188
15,16,18,19,20,22,23,25, infringement 40,49,50,66,69,74
26,27,28,31,32,33,34,35, integritas 7,8,10,11,12,14,17,18,
38,40,45,46,47,48,49,50, 19,21,23,24
51,53,54,60,69,78,79,80, invensi 52,94,95,99,100,101,102,
81,83,89,93,110,118,120, 105,106,107,108,109,120
121,124,125,126,127,128,
129,130,131,132,133,134, J
135,136,137,140,141,142,
143,144,145,146,147,148, jaminan 5,144,171,180,181,182,
149,150,151,152,153,155, 183,184,185,186,187,188
156,159,160,161,165,166, jasad renik 98,101
167,170,171,175,176,177, K
179,180,184,185,186,187,
188,189,190 kebendaan 118,180,181,182,183,
hak ekonomi 2,6,11,14,17,18,20, 184,185,186,188
23,24,25,78,120,141,148, kebutuhan 71,89
152,153,155,161,168,177, kepentingan 4,6,8,9,38,40,48,50,
179,186 51,53,60,64,72,76,82,98,
hak moral 2,3,6,7,8,9,10,11,12, 108,119,120,125,127,134,
13,14,17,18,19,20,21,22, 136,137,143,144,145,147,

192 I
149,152,155,156,159,165, M
166,168
kesejahteraan 4,145,147,155,157, lMahkamah Agung 34,39,40,42,43,
159,161,164,170,174,175, 48,49,52,54,55,56,57,60,
188 65,66,68,70,71,72
ketentuan 2,3,4,5,7,14,15,16,17, manajemen informasi hak cipta 125,
19,20,21,22,23,25,27,39, 131,133,135,137
63,65,66,67,68,69,72,74, manajemen kolektif 4,5,119,143,
75,76,77,78,82,92,93,96, 152,154,157,168
97,98,99,100,101,102,103, material 11,57,58,118,142,157
104,105,106,107,108,109, melecehkan 112,114
111,112,113,115,119,120, mirip 20,43,44,65,113
125,130,131,132,133,134, model 25,26,62,146,147,155,156,
135,136,137,143,146,148, 172
151,152,153,154,155,156, monopoli 39,41,71,126,146,147,
160,166,167,168,171,176, 157,177
179,180,181,182,183,184, moral 2,3,6,7,8,11,12,13,14,15,
185,187,188 17,18,19,20,21,22,24,25,
ketidakpastian 22,23,27,126 26,94,95,96,167,177,179,
komersial 92,94,110,119,125,136, 180,186
149 multihak 180,186
komoditas 94 multinasional 32,95
komunitas 88,89,90,92,117 murah 30,32,33,35,37,45,70,72,
konsumen 38,43,45,48,52,57,60, 76,77,79,82,83,143
72,76,77,79,82,83,85 murni 11,12
konteks 34,90,141,146,152,153,
N
157,159,171,175,186
kontrol 8,9,41,54,56,57,64,78, notaris 183,187
135,136,137
konvensi 91,96,130,131,134,177 0
kredit 181,184
objek 153,165,166,171,184,185,
kuno 7,110
186,187,188
L online 28,34,87,131

lazim 145 p
legislator 125
parallel importation 33,54,57,60,
lisensi 10,13,29,30,31,32,33,34,
68,69,80
37,39,45,46,49,52,59,64,
parallel importer 80
65,67,70,71,73,74,75,108,
parsial 76,77
141,143,145
patent 39,40,41,44,45,52,59,74
LlMK 4,119,121,148,152,153,154,
patent law 41,45
157
pelaku 12,23,24,27,28,31,37,42,
lokal 32,51,71,76,79,85,88,90
64,67,70,71,72,74,75,76,

I 193
77,80,87,109,130,144,150, s
151,184
pembatasan 4,10,39,47,48,56, sanctions 76
135,136,137,153,161,167, sarana kontrol teknologi 124,125,
176,177 131,132,133,135,136,137
pengadilan niaga 74,80,108,137 scandalous 112,114
perlindungan 2,3,4,6,7,9,10,12, strategi 35,36,156,161
13,14,15,17,18,19,20,23, struktur 94,141
25,26,38,50,58,64,65,74, sumber 37,42,57,86,90,91,92,96,
80,85,88,89,90,91,92,93, 97,102,103,107,109,124,
94,96,97,98,99,100,102, 126,145,160,184
107,108,110,111,112,114, syarat kebaruan 96,101,105,107,
115,116,119,121,124,125, 114
126,128,129,130,131,132,
T
133,134,135,136,137,149,
159,165,166,167,168,175, tegas 20,21,72,78,82,83,92,99,
177,185 102,111,113,166,167
perusakan 17,18,23 teknologi 76,88,91,94,95,101,
pharmaceutical products 45,76 105,124,125,126,127,128,
pidana 3,4,65,70,72,74,75,76,80, 129,130,131,132,133,134,
81,82,109,110,133,135,136, 135,136,137,145
137,138,167 tindakan 7,17,18,21,23,27,28,30,
policy 69 31,32,33,39,40,42,45,46,
preferent 182 52,63,71,72,73,74,76,80,
pribumi 88,90,111 81,82,118,128,129,134,150
protection 50,52 trade mark 42,45,55,56,62,69
trend 14
R
regional 13,60,61,62,88,123
V
reproduksi 20,144,177 valid 66,156
resep 89 Vastu 111
reservasi 47 voluntery 4,148,155,156,157
right of withdrawal 8,25,26
ring tone 151 w
royalti 5,10,11,119,120,140,141,
wewenang 29,47,59,71
147,148,149,150,151,152,
153,156,161,168

194 I
SEKILAS TENTANG PENULIS

Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D adalah Guru Besar Tetap di Fakultas
Hukum UGM. Menjadi dosen tetap semenjak tahun 1990. Dia mengajar
Hukum Dagang, terutama Hukum Kekayaan Intelektual, Hukum Dagang
Intemasional dan Hukum Pemiagaan Intemasional. Pak Hawin adalah
alumni Fakultas Hukum UGM pada tahun 1989 dengan perdikat Cum
Laude. Pada tahun 1996, Pak Hawin menyelesaikan studi Master of Laws
(LL.M) di Washington College of Law, American University, AS. Pada
tahun 2004, Pak Hawin berhasil meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.)
di bidang Hukum Hak Kekayaan Intelektual dari University of Queensland,
Australia. Pak Hawin pemah menjadi Dekan Fakultas Hukum UGM.

Dr. Bodi Agus Riswandi, S.H., M.H. adalah dosen tetap Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia. Pak Budi mengajar Hukum Kekayaan
Intelektual di Fakultas Hukum UII. Dia lulus S1 dan S2 dari Fakultas
Hukum UII. Pak Budi meraih gelar Doktor di Fakultas Hukum UGM
pada tahun 2016. Selain aktif mengajar, Pak Budi juga aktif di Sentra HKI
Fakultas Hukum UII.

I 195
Buku ini mengkaji beberapa isu penting dengan diterbitkannya beberapa undang-undang yang baru di bidang
hukum kekayaan intelektual. Penulis menemukan bahwa ternyata Undang-Undang Hak Cipta 2014 (UUHC
2014) tidak banyak memberikan perubahan terhadap UUHC 2002. UUHC hanya mengubah ketentuan
perlindungan hak moral dari pasif menjadi aktif. Ada kelemahan dalam UUHC 2014, yakni tidak secara eksplisit
memberikan hakauthorshipclaim.
Berkaitan dengan legalitas impor paralel, posisi UU Merek dan lndikasi Geografis 2016, tidaklah pasti. UU ini
memang memberikan hak kepada pemegang merek untuk menggugat orang lain yang tanpa persetujuannya
menggunakan atau meniru mereknya, namun tidak pasti apakah impor paralel termasuk dalam cakupan
ketentuan tersebut.
Sementara itu, UU Paten 2016 lebih tegas daripada UU Paten 2001. UU Paten 2016 secara tegas melarang
tindakan impor paralel. Namun, impor paralel produk farmasi diperbolehkan karena UU ini memuat prinsip
exhaustion untuk produk farmasi. UUHC 2014 mengandung prinsip first sale atau exhaustion, yakni bahwa
penjualan pertama oleh pemegang hak cipta menghilangkan haknya untuk mengontrol pendistribusian barang
ciptaannya sehingga tidak bisa melarang impor paralel. Namun, tidak tegas apakah UUHC 2014 menganut
prinsip International Exhaustion atau prinsip National Exhaustion.
Berkenaan dengan perlindungan pengetahuan tradisional, UU Paten 2016 berisi ketentuan-ketentuan baru,
termasuk kewajiban disclosure dan access and benefit sharing. UU Merek dan lndikasi Geografis 2016 dapat
melindungi pengetahuan tradisional dengan cara mencegah pendaftaran tanpa hak tanda-tanda pengetahuan
tradisional, dan memungkinkan pendaftaran tanda-tanda pengetahuan tradisional untuk dilindungi sebagai
merek atau indikasi geografis. Berkaitan dengan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), UUHC 2014 melindungi
EBT dengan cara menentukan pemegangnya, yakni Negara. Kelemahannya adalah UU ini tidak memuat
ketentuan tentang benefit sharing. Namun begitu, UUHC ini memuat fasilitas LMK yang dapat dimanfaatkan
dalam rangka penetapan syarat-syarat pemanfaatan EBT.
Penulis juga menyatakan bahwa pemberlakuan UUHC 2014 telah memperkuat perlindungan hak cipta di
internet, salah satunya dengan menyinergikan perlindungan teknis ke dalam ketentuan hak cipta. Namun
demikian, pengaturan ini pada kenyataannya masih memiliki beberapa catatan, yang meliputi belum
dimungkinkannya pembatasan dan pengecualian yang terkait dengan kepentingan publik di bidang pendidikan,
nirlaba, dan perlindungan data pribadi, serta sanksi pidana yang tampaknya belum dapat memulihkan kerugian
negara atas perbuatan tersebut.
Berkenaan dengan Lembaga Manajemen Koletif (LMK), berdasarkan UUHC 2014, LMK berbentuk lembaga non
profit dan tidak bersifat monopolistik. LMK juga dibentuk secara voluntary. Bentuk LMK seperti ini ternyata
telah menghadirkan sejumlah peluang dan tantangan. Peluang dan tantangan ini apabila dapat diselesaikan
dengan baik, maka akan membawa pada semangat berkreativitas yang tinggi dan meningkatkan kesejahteraan
dari pemegang hak cipta.
Penulis buku ini juga menemukan bahwa kehadiran UUHC 2014 merupakan babak baru dalam pengembangan
industri kreatif musik dan lagu Indonesia. Dengan UUHC 2014, industri kreatifmusik dan lagu diharapkan akan
mencapai dua kepentingan, yakni kepentingan perlindungan hukum dan kepentingan insentif. Dalam hal
kepentingan perlindungan hukum, ketentuan UUHC 2014 telah memberikan perlindungan bagi industri kreatif
musik dan lagu lebih lama lagi, yakni seumur hidup plus 70 tahun. Sedangkan, kepentingan insentif bagi industri
kreatif musik dan lagu dibuktikan dengan diakuinya pemberian royalti melalui sistem Lembaga Manajemen
Kolektif.
Buku ini juga menyatakan bahwa industri kreatif dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penciptaan
lapangan kerja. Oleh karena itu, industri kreatif perlu dikembangkan. Namun, industri kreatif masih mengalami
kesulitan untuk mendapatkan permodalan melalui skema perkreditan, karena tidak tersedianya jaminan yang
dipersyaratkan. Untuk memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut, UUHC 2014 menyatakan bahwa
kreativitas yang dilindungi hak cipta dapat dijadikan sebagai jaminan. Namun demikian, dalam
implementasinya, jaminan fidusia hak cipta ini berpotensi dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Dari
beberapa permasalahan yang timbul pada akhirnya dapat menimbulkan implikasi ekonomi dan hukum
terhadap pengembangan industri kreatif.

ISBN 978-602-386-266-5

e Gadjah Mada University Press


JI. Grafika No. 1, Kampus UGM, Yogyakarta 55281
Telp./Fax.: +62 274 561037, Mobile/WA: 081 228 47 8888
e
0 ugmpress O@ugmpress ugmpress.ugm.ac.id
.J U 11
Harga P. Jawa Rp xx.xxx,00

Anda mungkin juga menyukai