Anda di halaman 1dari 2

Tuntut Keadilan Tragedi Kanjuruhan

Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga paling populer di dunia. Lebih dari 3,5 miliar
penduduk dunia diperkirakan menyukai pertandingan sepak bola. Sepak bola juga menjadi cabang
olahraga paling digemari masyarakat Indonesia, walau prestasinya tidak secerah bulu tangkis yang telah
meraih berbagai juara sampai di tingkat internasional. Olahraga ini tetap memiliki ciri khas tersendiri
,pemain dan penggemar di Indonesia cukup beragam. Reaksi positif berupa semangat memperjuangkan
suatu bangsa itu bagus. Hingga memasuki tahun 2022, tim nasional dari cabang olahraga ini
memberikan harapan besar dengan berhasilnya meraih gelar juara satu pada ajang perlombaan AFF U-
16 tahun ini. Sungguh prestasi yang membanggakan, tetapi suatu hari terjadi satu peristiwa yang telah
mencoreng nama baik ini. Merusak harumnya nama bangsa Indonesia hingga tersebar ke penjuru dunia.
Prestasi yang telah diraih seperti tidak ada gunanya Peristiwa tersebut adalah tragedi Kanjuruhan

Pada tanggal 1 Oktober 2022 terjadi kerusuhan dan insiden pasca berakhirnya pertandingan
sepak bola profesional Liga 1 Indonesia antara Tim Arema FC berhadapan dengan Tim Persebaya pada
pekan ke-11 Liga 1 Periode Musim 2022-2023 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Tragedi yang mengakibatkan jatuh korban sebanyak 712 orang, terdiri dari 132 orang meninggal dunia
,96 luka berat, dan 484 luka ringan/sedang telah menimbulkan duka cita mendalam bagi korban,
keluarganya, maupun masyarakat Indonesia. Jumlah korban meninggal dalam peristiwa Stadion
Kanjuruhan Malang menempati urutan kedua peristiwa tragis dalam sejarah sepak bola dunia, namun
peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang menempati rekor pertama (kematian terbanyak) dalam tragedi
sepak bola di Indonesia dan Asia.

Pertandingan berjalan normal seperti laga pada umumnya. Tidak ada kericuhan yang terjadi
selama laga berlangsung. Bahkan semuanya masih kondusif hingga pertandingan selesai. Pertandingan
berakhir dengan kekalahan Arema dengan skor 2 dan 3 untuk Persebaya. Hal yang cukup mengejutkan
Ketika Arema kalah saat bermain di kandangnya sendiri. Akan tetapi tidak ada yang mengejutkan, inilah
pertandingan, ada kelompok yang kalah dan ada yang menang. Bukan suatu masalah besar jika Arema
mengalami kekalahan. Pertandingan berjalan dengan sportif, tidak ada kecurangan. Namun, pada akhir
pertandingan terdapat supporter Arema yang tiba-tiba turun ke lapangan. Diduga, mereka tidak terima
dengan kekalahan klub bolanya dan ingin menuntut pada pihak pemain.

Serbuan supporter awalnya hanya dihadang oleh aparat menggunakan tameng dan pemunduran
paksa biasa. Ini tentu Tindakan yang tepat bagi seorang aparat untuk menangani kerusuhan. Akan tetapi,
tiba-tiba gas air mata ditembakkan kepada para supporter hingga menyerang tribun. Terdapat sebelas
personel yang menembakkan gas air mata. Tembakan yang diarahkan ke tribun dimaksudkan untuk
mencegah para pendukung turun ke lapangan lagi. Jujur saya masih bingung pada bagian ini. Para polisi
yang tidak tahu akibat jika gas air mata langsung ditembakkan ke tribun akan seperti apa atau memang
keadaan pada saat itu sudah sangat mencekam. Namun, menurut saya tembakan tidak seharusnya
langsung ditargetkan kea rah tribun. Apalagi keadaan tribun saat itu benar-benar penuh. Lagipula
penggunaan gas air mata untuk menangani kerusuhan di stadion jelas dilarang.

Kondisi semakin diperparah dengan beberapa pintu keluar yang terkunci. Ini sangat keterlaluan.
Jelas-jelas pertandingan sudah selesai, tapi tidak semua pintu terbuka kuncinya. Sudahlah pintu yang
terbuka sempit, para penonton yang ingin keluar sangatlah banyak. Kepanikan yang terus bertambah
membuat keadaan semakin tak terkendali. Banyak dari mereka yang terinjak-injak, sesak nafas, hingga
kehilangan nyawa. Inilah tragedi yang sangat kelam. Kejadian ini memakan korba jiwa sebanyak 133
orang, ratusan lainnya luka-luka. Bayangkan ratusan nyawa hilang begitu saja dari sebuah pertandingan
sepak bola.

Peristiwa di Stadion Kanjuruhan Malang menjadi sorotan dunia Internasional karena


penggunaan gas air mata oleh petugas keamanan dalam mengendalikan massa yang turun dari tribun
masuk ke lapangan seusai laga. Akibat tembakan gas air mata ke arah lapangan dan sisi tribun yang
berada di sekitar pintu 3, 12, dan 13, mengakibatkan para suporter berusaha menghindar dan
menimbulkan kepanikan yang akhirnya berlarian dan berdesakan menuju pintu keluar sehingga
mengakibatkan banyak jatuh korban. Peristiwa kerusuhan pertandingan sepak bola sudah sering terjadi
mengingat fanatisme suporter terhadap klub di Indonesia sangat tinggi.

Menurut saya, gas air mata di sini menjadi senjata pembunuh utamanya. Supporter yang turun
ke lapangan memang salah, tapi tidak ditindak dengan penembakkan gas air mata. Tembakkan gas air
mata hanya menambah kekaacauan. Apalagi ditembakkan kearah tribun yang begitu padat.
Membayangkan orang-orang berlari berdesakan di tribun sangatlah menyeramkan. Hingga akhirnya
dijadikan tiga orang tersangka dari pihak polisi. Tiga orang ini yang telah memberikan perintah untuk
melepaskan gas air mata tersebut.

Selanjutnya, pihak panitia pelaksana juga telah dianggap lalai. Mereka tidak siap untuk
menangani berbagai kemungkinan yang terjadi. Bahkan, diketahui bahwa pihak panitia tidak
melakukan verifikasi terhadap stadion kanjuruhan pada tahun 2022. Stadion tersebut terakhir kali
diverifikasi pada tahun 2020. Dua tahun berlalu, tidak dilakukan pengecekan ulang apakah stadion ini
layak atau tidak untuk diadakan sebuah pertandingan. Rasanya mereka hanya ingin pertandingan ini
berjalan tanpa mempedulikan yang lain.

Akibat dari peristiwa kelam ini, liga satu Indonesia dihentikan sementara. Namun, tak lama
setelah itu, pihak PSSI memohon agar liga segera dilaksanakan lagi. Awalnya saya marah, mengapa
ingin cepat-cepat dibuka kembali. Apakah mereka lupa berapa banyak korban jiwa dari peristiwa
kanjuruhan itu? Namun, setelah merenung, terdapat banyak individu yang mencari nafkah di dunia
sepak bola. Tapi, saya tetap tidak setuju. Ini sudah seperti konsekuensi dari kelalaian mereka. Kita harus
mengevaluasi secara total dan keseluruhan agar peristiwa seperti itu tidak pernah terjadi lagi

Unjuk rasa pun terjadi untuk menuntut keadilan atas Tragedi Kanjuruhan, dilakukan ratusan
Aremania di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang. Tampak
massa yang turut dalam aksi itu menggunakan pakaian serba hitam dan hanya berdiam diri sepanjang
jalannya aksi. Mereka menyuarakan dalam bentuk poster berisi tulisan protes “Usut tuntas keadilan
untuk korban tragedi Kanjuruhan", "Kesewenangan aparat adalah bentuk nyata dari fasisme", dan "Stop
police brutality". Mereka juga menuntut pemerintah mengenai keadilan yang sesuai dengan hilangnya
132 nyawa manusia karena tidak ada sepakbola yang seharga nyawa.

Saya disini geram dengan tindakan yang dilakukan pihak panitia pelaksana maupun polisi
penjaga, mereka tidak profesional terhadap tugas yang diberikan. Rasa kemanusiaan yang hilang hanya
karena mereka takut diserbu aremania. Mereka seharusnya memahami tugas dan tanggung jawab dalam
menyelenggarakan pertandingan. Perlu ditindak lanjuti adanya proses hukum terpidana terhadap
tersangka dibalik tragedi ini. Semoga kejadian seperti ini tidak pernah terulang lagi.

Anda mungkin juga menyukai