Anda di halaman 1dari 3

C.

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN PERCOBAAN

2. SYARAT DAN UNSUR-UNSUR PERCOBAAN

Pasal 53 KUHPidana memuat intisari terkait bentuk percobaan yang dapat dipidana. Sesuai
dengan pasal 53 KUHPindana tersebut bentuk percobaan memiliki syarat untuk dapat
dipidananya percobaan tindak pidana kejahatan meliputi:

1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan (Voornemen)


Percobaan tindak pidana dapat diancam pidana ketika melakukan percobaan kejahatan
saja.1 Sementara dalam pasal 54 KUHPidana ditegaskan bahwasannya melakukan percobaan
pelanggaran tidak dipidana. Syarat pertama tindak pidana percobaan ini diartikan sama
dengan kesengajaan (opzettelijk). Akan tetapi dalam pengartian tersebut menimbulkan
perbedaan pendapat dari beberapa pakar hukum. Di Indonesia, menurut Moeljatno
berpendapat bahwa niat tidak sama dengan kesengajaan.2 Kesengajaan dalam doktrin hukum
menurut tingkatannya ada 3 macam, meliputi:
a. Kesengajaan sebagai maksud dan tujuan (opzet als oogmerk), yang dapat juga disebut
kesengajaan dalam arti sempit;
b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijin) atau kesadaran
mengenai perbuatan yang disadari sebagai pasti menimbulkan suatu akibat;
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn) atau suatu
kesadaran mengenai suatu perbuatan terhadap kemungkinan timbulnya suatu akibat
dari suatu perbuatan, disebut juga dengan dolus eventualis.3
2. Adanya permulaan pelaksanaan (Begin van Uitvoering)
Dengan niat yang ada mengakibatkan timbulnya tindak pidana, yang dapat diartikan
segala sesuatu yang akan dilakukan itu pasti memiliki niat untuk melakukannya. Dalam niat
melakukan itulah yang harus diwujudkan dalam bentuk sikap atau tingkah laku. Hanya
dengan niat saja tanpa melakukan bentuk sikapnya atau tingkah laku itu tidak dapat dipidana.

1
Aris C. Montolalu, “Tindak Pidana Percobaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Lex Crimen, Vol. V,
No. 2, Tahun 2016, hlm. 77.
2
Moeljatno, Hukum Pidana : Delik-Delik Percobaan – Delik-Delik Penyertaan, Jakarta: PT Bina Aksara, Jakarta,
1985, hlm. 18.
3
Ibid, hlm. 32-33.
Jika seseorang telah mempunyai niat dan telah mewujudkannya dengan sikap atau tingkah
lau dari percobaan tindak pidana itulah telah terjadi permulaan pelaksanaan. Dalam hal ini
telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsur
dari norma pidana.4 Seperti dalam hukum pidana dikenal dengan adanya adagium
cogitationis poenam nemo patitur, yaitu: tidak seorangpun dapat dipidananya atas apa yang
semata-mata hanya ada dalam pikirannya.5
Dalam teori percobaan obyektif menurut D. Simons, dalam menentukan kapan telah ada
permulaan pelaksanaan, mengadakan pembedaan antara delik formal dengan delik material. 6
Perbedaan antara delik formal dengan delik material meliputi:
a. Dalam delik formal, permulaan pelaksanaan itu mucul atau ada saat perbuatan itu
yang dilarang oleh undang-undang mulai dilakukan.
b. Dalam delik material, permulaan pelaksanaan itu muncul atau ada saat perbuatan itu
tidak memerlukan perbuatan yang lain untuk menjadi atau menimbulkan akibatnya.

Dalam teori percobaan subyektif menurut G.A van Hamel, dalam menentukan kapan
telah ada permulaan pelaksanaan, jika dalam keadaan konkrit sudah ada kepastian niat
tersebut.7

3. Pelaksanaan itu tidak selesai


Pasal 53 ayat (1) KUHPidana membedakan antara syarat kedua yakni permulaan
pelaksanaan dengan pelaksanaan. Dalam syarat ketiga ini tentang dapat dipidananya
melakukan percobaan kejahatan ialah pada kalimat terakhir yang menyebutkan pelaksanaan
atau perbuatan pelaksanaan terdapat dalam kalimat yang berbunyi: “dan tidak selesainya
pelaksanaan (uitvoering) itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya”. 8 Dalam
tidak selesainya suatu pelaksanaan tersebut menjadikan perbuatan itu menjadi suatu
percobaan. Jika pelaksanaan itu tidak selesai maka dapat dikatakan sebagai percobaan, jika
pelaksanaan itu selesai dilaksanakan maka dapat dikatakan sebagai delik selesai.

4
Dodi Ksatria Damapolii, “Percobaan Melakukan Kejahatan Menurut Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana”, Lex Privatum, Vol. IV, No. 2, Tahun 2016, hlm. 142.
5
Aris C.Montolalu, op.cit., hlm. 78.
6
Ibid, hlm. 78.
7
Ibid, hlm. 79.
8
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 95.
4. Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri
Dalam tidak selesainya pelaksanaan perbuatan itu yang disebabkan atas kehendak sendiri
dapat dikatakan telah terjadi pengunduran diri secara bebas atau sukarela. Secara teori tidak
selesainya perbuatan karena kehendak sendiri dapat dibedakan menjadi :9
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yakni tidak menyelesaikan perbuatan
pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan;
b. Penyesalan (tatiger reue), meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi
dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut.

Oleh karena itu, pada syarat keempat ini sebenarnya seseorang tidak dapat dipidana jika
seseorang tersebut tidak menyelesaikan pelaksanaan perbuatannya dengan kehendaknya
sendiri. Serta dalam syarat keempat ini merupakan suatu syarat untuk dipidananya pelaku
percobaan melakukan kejahatan, melainkan merupakan suatu alasan pengecualian pidana
(strafuitsluitingsgrond).10

9
Dodi Ksatria Damapolii, op.cit., hlm. 143.
10
Aris C.Montolalu, op.cit., hlm. 80.

Anda mungkin juga menyukai