PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN PERCOBAAN
Pasal 53 KUHPidana memuat intisari terkait bentuk percobaan yang dapat dipidana. Sesuai
dengan pasal 53 KUHPindana tersebut bentuk percobaan memiliki syarat untuk dapat
dipidananya percobaan tindak pidana kejahatan meliputi:
1
Aris C. Montolalu, “Tindak Pidana Percobaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Lex Crimen, Vol. V,
No. 2, Tahun 2016, hlm. 77.
2
Moeljatno, Hukum Pidana : Delik-Delik Percobaan – Delik-Delik Penyertaan, Jakarta: PT Bina Aksara, Jakarta,
1985, hlm. 18.
3
Ibid, hlm. 32-33.
Jika seseorang telah mempunyai niat dan telah mewujudkannya dengan sikap atau tingkah
lau dari percobaan tindak pidana itulah telah terjadi permulaan pelaksanaan. Dalam hal ini
telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsur
dari norma pidana.4 Seperti dalam hukum pidana dikenal dengan adanya adagium
cogitationis poenam nemo patitur, yaitu: tidak seorangpun dapat dipidananya atas apa yang
semata-mata hanya ada dalam pikirannya.5
Dalam teori percobaan obyektif menurut D. Simons, dalam menentukan kapan telah ada
permulaan pelaksanaan, mengadakan pembedaan antara delik formal dengan delik material. 6
Perbedaan antara delik formal dengan delik material meliputi:
a. Dalam delik formal, permulaan pelaksanaan itu mucul atau ada saat perbuatan itu
yang dilarang oleh undang-undang mulai dilakukan.
b. Dalam delik material, permulaan pelaksanaan itu muncul atau ada saat perbuatan itu
tidak memerlukan perbuatan yang lain untuk menjadi atau menimbulkan akibatnya.
Dalam teori percobaan subyektif menurut G.A van Hamel, dalam menentukan kapan
telah ada permulaan pelaksanaan, jika dalam keadaan konkrit sudah ada kepastian niat
tersebut.7
4
Dodi Ksatria Damapolii, “Percobaan Melakukan Kejahatan Menurut Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana”, Lex Privatum, Vol. IV, No. 2, Tahun 2016, hlm. 142.
5
Aris C.Montolalu, op.cit., hlm. 78.
6
Ibid, hlm. 78.
7
Ibid, hlm. 79.
8
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 95.
4. Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri
Dalam tidak selesainya pelaksanaan perbuatan itu yang disebabkan atas kehendak sendiri
dapat dikatakan telah terjadi pengunduran diri secara bebas atau sukarela. Secara teori tidak
selesainya perbuatan karena kehendak sendiri dapat dibedakan menjadi :9
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yakni tidak menyelesaikan perbuatan
pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan;
b. Penyesalan (tatiger reue), meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi
dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut.
Oleh karena itu, pada syarat keempat ini sebenarnya seseorang tidak dapat dipidana jika
seseorang tersebut tidak menyelesaikan pelaksanaan perbuatannya dengan kehendaknya
sendiri. Serta dalam syarat keempat ini merupakan suatu syarat untuk dipidananya pelaku
percobaan melakukan kejahatan, melainkan merupakan suatu alasan pengecualian pidana
(strafuitsluitingsgrond).10
9
Dodi Ksatria Damapolii, op.cit., hlm. 143.
10
Aris C.Montolalu, op.cit., hlm. 80.