Anda di halaman 1dari 13

ASY’ARIYAH

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Aliran-Aliran Islam 1

Dosen pengampu;
Daden Robi Rahman, M.A.

Oleh:
Zenab Siti Maryam
20.01.026

PROGRAM STUDI ILMU HADITS


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
PERSATUAN ISLAM
GARUT
2021M/1443H
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulilah, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah


memberikan nikmat iman, islam, serta ikhsan. Sehingga dengan kenikmatan itu penulis
mampu menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Aliran-Aliran Islam
1.

Makalah ini penulis susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan


bantuan serta arahan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis menyadari


sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dari segi susunan maupun tata bahasa.
Oleh karena itu sekurang-kurangnya penulis meminta maaf jika terdapat banyak
kesalahan dalam makalah ini, dan penulis pun tidak menolak atas kritik dan saran dari
pembaca.

Garut, 10 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Aliran Asy’ariyah ....................................................................................... 2
1. Sejarah Lahirrnya Aliran Asy’ariyah ..................................................... 2
2. Perkembangan dan Pengaruh Aliran Asy’ariyah ................................... 4
B. Epistemology Kalam Asy’ariyah................................................................. 5

BAB III PENUTUPAN


A. Kesimpulan ................................................................................................ 9
B. Saran ......................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang mulia serta agama yang diterima di
sisi Allah Swt. Namun, dalam agama Islam itu pasti banyak sekali perbedaan
pemahaman. Ketika perbedaan-perbedaan tersebut lahir dan berkembang maka
muncullah berbagai kelompok-kelompok atau firqah-firqah. Kelompok
tersebut dibuat dengan maksud menguatkan argumen-argumen atau
pemahaman-pemahaman mereka dalam segala aspek ibadah. Kelompok
tersebut banyak sekali diantaranya adalah seperti kelompok khawarij,
mu’tazilah, asy’ariyah, syi’ah, jabariyah, qadariyah dan lain sebagainya.
Terjadinya kelompok-kelompok tersebut pasti disebabkan oleh sebuah
permasalahan ataupun juga dalam hal perbedaan pemahaman. namun pada
kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan tentang Asy’ariyah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Aliran Asy’ariyah?
2. Bagaimana corak dan Pokok-pokok Ajaran Asy’ariyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah serta perkembangan aliran Asy’ariyah
2. Untuk mengetahui ajaran-ajaran aliran Asy’ariyah

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Asy’ariyah
1. Sejarah Lahirnya Aliran Asy’ariyah
Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa
kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut
Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal
jama’ah.1 Pendiri teologi Asy'ariyah ini adalah Imam Asy'ari (Abu al-Hasan
Ali bin Ismail al-Asy'ari. Abu Hasan al-Asy'ari, nama lengkapnya adalah
Abul Hasan bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi
Burdah bin Abi Musa al-Asy'ari. Ia adalah seorang ulama yang dikenal
sebagai salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah.
Abul Hasan al-Asy'ari lahir di Basrah pada 260 H/873 M dan meninggal di
Bagdad pada 324 H/935 M.
Dalam suasana Mu’tazilah yang sedang keruh, al-Asy'ari dibesarkan dan
dididik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela aliran Mu’tazilah
sebaik-baiknya, tetapi kemudian aliran ini ditinggalkannya bahkan
dianggapnya sebagai lawan.2 Al-Asy'ari semula dikenal sebagai tokoh
Mu’tazilah, dia adalah murid dari al-Juba’i, seorang yang cerdas yang dapat
dibanggakan serta pandai berdebat, sehingga al-Juba’i sering menyuruh al-
Asy'ari untuk menggantikannya bila terjadi suatu perdebatan. Dia menjadi
pengikut aliran Mu’tazilah sampai berumur 40 tahun. Pada 300 H, yaitu
ketika beliau mencapai umur 40 tahun, dia menyatakan keluar dari
Mu’tazilah dan membentuk aliran teologi sendiri yang kemudian dikenal
dengan nama Asy'ariyah. Sebabnya Imam al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah
tidak begitu jelas. 3 Al-Asy'ari, sungguhpun telah puluhan tahun menganut
paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang
biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan ibn Asyakir ialah bahwa pada
suatu malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad saw,
mengatakan padanya bahwa madzhab ahli haditslah yang benar, dan

1
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta,
1992, hlm. 131.
2
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet. 8, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm. 127.
Lihat juga A. Hanafi, Tologi Islam Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 54.
3
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, al-Nahdah, Kairo, 1965, hlm. 65.

2
madzhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy'ari berdebat dengan
gurunya al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab
tantangan murid.
Abu Bakar Ash-Shairafi berkata, “Kelompok Mu’tazilah telah
menampakkan diri mereka sampai akhirnya Allah memperlihatkan Imam
Al-Asy'ari yang berhasil mengalahkan dan membuat mereka tidak berkutik
lagi.”4
Ibnu Khallikan berkata tentang Imam al- Asy’ari, “Ia adalah penulis kitab-
kitab yang membantah orang-orang yang mengingkari Tuhan dan
mengingkari kelompok selain mereka seperti Mu'tazilah, Rafidhah,
Jahmiyah, Khawarij dan semua ahli bid’ah.” 5
Patut juga diperhatikan pendapat Ali Musthafa al-Ghurabi bahwa
keadaan al-Asy'ari 40 tahun menjadi penganut Mu’tazilah, membuat kita
tidak mudah percaya bahwa al-Asy'ari meninggalkan paham Mu’tazilah
hanya karena di dalam perdebatan, dimana al-Jubba’i gurunya tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan. Sayyed Amir Ali menuduh,
mungkin sekali karena faktor ambisi, sehingga al-Asy'ari keluar dari
Mu’tazilah. Dengan caranya yang licik dia dapat mempengaruhi dan
meyakinkan orang banyak serta menggabungkan diri dengan golongan
Ahmad bin Hanbal (Ahlul Hadits) yang waktu itu mendapat simpati
Khalifah dan masyarakat.6
Bagaimanapun juga banyak analisa orang dikemukakan tentang alasan
keluarnya al-Asy'ari dari Mu’tazilah dan dalam suatu perdebatan tidak
mendapat jawaban yang memuaskan baginya, sehingga menimbulkan
keraguan. Harus pula diakui bahwa saat itu golongan Mu’tazilah sedang
berada dalam masa kemunduran. Demikian pula pertentangan paham
sesama kaum muslimin seperti tak akan bisa teratasi. Al-Asy'ari, sebagai
seorang ulama yang gairah akan keselamatan dan keutuhan Islam serta
kaum muslimin, ia sangat khawatir perbedaan dan pertentangan pendapat
pada waktu itu, akan menyeret ke dalam situasi yang tak diinginkan. Oleh

4
Abu Bakar Ahmad al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami,
2002). Jilid 11 hlm 346-347.
5
Abu Abbas Syamsyuddin al-Irbili, Wafiyyah al-’Ayan (Beirut: Dar Shadar, 1900). Jilid I hlm
411.
6
Nurchilis Majid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 28.

3
sebab itu perlu segera adanya pedoman yang dapat jadi pegangan umat.
Faktor-faktor inilah yang lebih dekat kepada kemungkinan, mengapa al-
Asy'ari keluar dari Mu’tazilah, di mana kemudian membentuk aliran teologi
baru.
2. Perkembangan dan Pengaruh Aliran Asy’ariah
Pikiran-pikiran Imam al-Asy'ari, merupakan jalan tengah antara
golongan-golongan berlawanan atau antara aliran rasionalis dan tekstualis.
Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia juga memakai dalil-dalil akal dan
naqli bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, ia
mencari alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidak
menganggap akal pikiran sebagai hakim atas nash-nash agama untuk
mena’wilkan dan melampaui ketentuan arti lahirnya, melainkan
dianggapnya sebagai pelayan dan penguat arti lahir nash tersebut. Ia tidak
meninggalkan cara yang lazim dipakai oleh ahli filsafat dan logika, sesuai
dengan alam pikiran dan selera masanya. Meskipun demikian, Imam al-
Asy'ari tetap menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahamd bin Hanbal atau
aliran ahlus sunnah yaitu suatu aliran yang menentang aliran Mu’tazilah
sebelum al-Asy'ari, bahkan ia mengikuti jejak ulama salaf yaitu sahabat-
sahabat dan tabi’in-tabi’in, terutama dalam menghadapi ayat-ayat
mutasyabihat, di mana mereka tidak memerlukan pena’wilan, pengurangan
atau melebihkan atau melebihkan arti lahirnya. 7
Akan tetapi aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami
perkembangan dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya, aliran
Asy'ariyah lebih condong kepada segi aliran mendahulukannya sebelum
nash dan memberikan tempat yang lebih luas daripada tempat untuk nash-
nash itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta’wilan terhadap
ayat-ayat mutasyabihat.8 Bahkan menurut al-Ghazali, pertalian antara dalil
akal dengan dalil syara’ (naqli) ialah kalau dalil akal merupakan fondamen
bagi sesuatu bangunan, maka dalil syara’ merupakan bangunan itu sendiri.

7
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet. 8, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm. 67.
8
Imam al-Juwaini, al-Irsyad, Maktabah al-Khanji, 1950, hlm. 41-42.

4
Fondamen tidak akan ada artinya, kalau tidak ada bangunan di atasnya,
sebagaimana bangunan tidak akan kokoh senantiasa tanpa fondamen. 9
Di samping itu dalam perkembangannya Asy’ari selalu dapat uluran
tangan dari penguasa dalam penyiaran ajarannya. Hal ini dapat di lihat
dalam sejarah di antara penguasa yang membantu perkembangan Asy’ari
ialah kerajaan Shalahuddin Al-Ayyubi di Mesir, Muhammad bin Tumart
dengan kerajaan Muwahhidin-nya di Andalusia (Spanyol) dan Afrika Utara
Barat, dan Mahmud Ghanawi di India dan Iran.
Ajaran aliran Asy’ariah sempat dipelajari di perguruan tinggi Islam yang
terkenal seperti Universitas Nizamiah dan sekolah tinggi Islam di Baghdad,
dan masuk ke Indonesia melalui pesantren-pesantren dan madrasah-
madrasah yang hampir tersebar di seluruh tanah air, hingga sekarang
pengaruh aliran Asy’ariah masih kokoh dan kuat dibidang teologi Islam.
B. Epistemologi kalam Asy’ariyah
Al-Asy'ari sesungguhnya dari segi intelektual dan pahamnya adalah
seorang Mu’tazilah, karena kecewa oleh beberapa pemikiran Mu’tazilah yang
tidak dapat memuaskan pikirannya, maka ia meninggalkan Mu’tazilah dan
mengembangkan aliran yang dikenal dengan namanya Asy'ariyah. Sebagai
bekas seorang Mu’tazilah ia tetap menggunakan metode filsafat dan ilmu kalam
serta argumentasinya, 10 sehingga seringkali masih mencurigakan bagi
kebanyakan umat. Salah satu risalahnya yang terkenal Risalah fi Istihsan
Ahaudel fi Illmi Kalam memberikan gambaran kepada kita betapa al-Asy'ari
membela diri dari berbagai serangan dan bagaimana dalam perjuangannya
mengkonsolidasi faham kaum suni itu di mana ia menyerukan pentingnya
mempelajari merode ilmu kalam yakni disiplin berpikir.
Formulasi pemikiran Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah
upaya sintesis antar formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah
pada sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat
ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis
terhadap Mu’tazilah, sebuah

9
M. Yusuf Musa, al-Islam wal Hajat al-Insania Illahi, as-Syarikatul Arabiah Lit Hiba’ati wan
Nasyr, 1959, hlm. 44.
10
Nurchilis Majid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 178-179

5
reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya. 11 Corak pemikiran sintesis ini,
menurut Watt dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi sunni yang dipelopori Ibn
Kullab) (w.854 M).12
Adapun epistemologi kalam Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut:
a. Tuhan dan Sifat-sifat Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah
tidak dapat dihindarkan meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah
adalah wajib hukumnya. Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang
ekstrem. Pada satu pihak, ia berhadapan dengan kelompok sifatiah (pemberi
sifat), kelompok mujassimah,dan kelompok musyabbihah yang berpendapat
bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Alquran dan
sunnah bahwa sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Pada
pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi -Nya, dan tangan, kaki,telinga
Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi harus
dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan
Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak
boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan
pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Asy’ari berpendapat bahwa sifat-
sifat Allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia
yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh
menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian,
tidak berbeda dengan Nya.
b. Kebebasan dalam Berkehendak
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta
mengaktualisasikan perbuatanya.Asy’ari mengambil pendapat menengah di
antara dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan
menganut paham pra determinisme semata-mata, dan Mu’tazilah yang
menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia

11
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hlm. 147
12
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hlm. 147

6
menciptakan perbuatanya sendiri.13 Untuk menengahi dua pendapat diatas,
Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang
mengupayakanya. Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu.14
c. Akal dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazlah mengakui pentingnya
akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalanyang
memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari
mengutamakan wahyu, sementar mu’tazilah mengutamakan akal. 15
d. Qadimnya Alquran
Mu’tazilah mengatakan bahwa Alquran diciptakan (makhluk) sehingga
tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan
bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan).
Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Alquran
adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Alquran terdiri atas
kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim. 16
e. Melihat Allah
Ada beberapa nas al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah dapat
dilihat,
٢٣ ٌ‫ إِ َ َٰل َرِِّبَا ََن ِظَرة‬٢٢ ٌ‫ُو ُجوهٌ يَ ْوَمئِ ٍذ ََن ِضَرة‬

Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.


Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem,
terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat
dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari
tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah di
akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
digambarkan. kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah menyebabkan

13
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hlm. 148
14
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hlm. 148
15
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hlm. 149
16
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hlm. 149

7
dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk
melihat-Nya.17
f. Keadilan Allah Swt
Pada dasarnya Asy’ariyah dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy’ari
tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah
berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa
Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi
seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena
itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah
mukmin yang fasik sebagai iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufur.18
h. Perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diciptakan sendiri, tetapi diciptakan
Tuhan
Al Asy’ari menggunakan istilah kasb untuk perbutan manusia yang
diciptakan Tuhan. Untuk mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya
yang ada dalam diri manusia tidak mempunyai efek.
i. Tentang Antropomorphisme
Al-Asy’ari menerima apa yang terdapat dalam nash, seperti Tuhan
mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya. Tetapi tidak ditentukan
bagaimana (bila, kaifa), yaitu tidak mempunyai bentuk dan batasan
(layukayyaf wa la yuhad).

17
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 150
18
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 150

8
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Aliran Asy'ariyah meruopakan aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa
kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Dengan pendiri yang bernama Abu al-
Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari. Al-Asy'ari dari segi intelektual dan pahamnya
adalah seorang Mu’tazilah, karena kecewa oleh beberapa pemikiran Mu’tazilah
yang tidak dapat memuaskan pikirannya, maka ia meninggalkan Mu’tazilah dan
mengembangkan aliran yang dikenal dengan namanya Asy'ariyah.
B. Saran
Tingkatkan ghirah kita untuk mendalami perkembangan aliran-aliran yang
menyimpang dalam Islam, sebab karena ketidaktauan kita bisa saja kita masuk
pada lubang yang salah.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Ahmad al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Beirut: Dar al-Gharb al-
Islami, 2002.
Al- Irbili Abu Abbas Syamsyuddin, Wafiyyah al-’Ayan, Beirut: Dar Shadar, 1900. Jilid
I
Amin Ahmad, Zuhr al-Islam al-Nahdah, Kairo: 1965.
Hanafi A, Pengantar Teologi Islam, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta: 2003, cet: 8.
Hanafi A, Tologi Islam Ilmu Kalam, Jakarta:1974.
Hidayatullah Syarif, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: 1992.
Imam al-Juwaini, al-Irsyad, Maktabah al-Khanji, 1950.
Majid Nurchilis, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1984.
Musa M. Yusuf Musa, al-Islam wal Hajat al-Insania Illahi, as-Syarikatul Arabiah Lit
Hiba’ati wan Nasyr, 1959.
Rozak Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.

10

Anda mungkin juga menyukai