Anda di halaman 1dari 2

Etika dan Moral Bangsa Masyarakat Jepang

Pentingnya kesadaran kita dalam mengendalikan diri dalam berkomunikasi menjadi kunci dasar
agar tidak menimbulkan gesekan dengan orang lain yang berawal dari tidak adanya sikap
menghargai satu sama lain. Sikap yang menjadi budaya negatif inilah yang akhirnya
memunculkan adanya ujaran kebencian (hate speech) hingga mengganggu keharmonisan dalam
masyarakat. Sejalan dengan Filsuf dan ahli psikolog Jerman mengatakan “Man’s biological
weakness is the condition of human culture” artinya kelemahan biologis manusia adalah kondisi
dari budaya manusia.
Dengan alasan tersebut, etika menjadi karakter dasar yang harus dimiliki oleh setiap generasi
muda untuk menguatkan pondasi bangsa. Pembentukan karakter inilah yang menjadi tugas
pendidikan di Indonesia, salah satunya Pendidikan Generasi Muda (PGM) di mana mungkin kita
masih terasa asing karena memang hal yang baru saja kita dengar.
Perlu kita ketahui bahwa Pendidikan Generasi Muda merupakan pendidikan karakter yang
diberikan kepada mereka sebagai generasi muda yang termasuk dalam usia produktif dari umur
15-35 tahun. Pendidikan Generasi Muda (PGM) membuktikan bahwa kita sebagai generasi muda
yang memasuki usia dewasa juga masih membutuhkan pendidikan karakter yang tidak hanya
berhenti pada usia anak sekolah pada umumnya.
Perbedaan mendasar dalam Pendidikan Generasi Muda (PGM) tidak hanya mengadopsi dan
mempelajari nilai-nilai positif dari masyarakat lokal yang ada di Indonesia tetapi juga negara-
negara lain. Salah satunya adalah negara Jepang yang dikenal oleh banyak orang di dunia
sebagai negara yang memiliki karakter yang kuat.
Jepang atau yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai “negeri sakura” merupakan salah satu
negara maju di kawasan Asia yang mampu bersaing dengan Korea Selatan dan China. Jepang
terbukti mampu melahirkan perusahaan besar yang dikenal oleh dunia seperti Toyota, Sony,
Fujifilm, dan Panasonic. Membicarakan Jepang tidak hanya pada kemajuan teknologinya saja,
melainkan dikenal sebagai negara yang dinilai sukses menanamkan budaya mereka kepada para
generasi mudanya untuk memiliki karakter yang tidak hanya pada kedisiplinan saja, tetapi juga
kesopanan yang tinggi kepada orang lain. Tentu saja keunggulan masyarakatnya membuat
Jepang dikenal dengan negara yang ramah dan memiliki etika yang membawa nama baiknya
semakin positif di dunia Internasional.
Etika kuat ini yang berasal dari penanaman karakter budaya sejak dini yang dilakukan di Jepang
dengan mengajarkan para siswanya untuk memiliki rasa takut untuk melakukan sesuatu tindakan
yang berbeda dari orang lain dan bersikap hati-hati untuk menghindari konflik satu sama lain.
Kita tahu bahwa orang-orang di negara Jepang selalu mendahulukan kepentingan kelompok
dibandingkan kepentingan individu.
Adanya istilah “wa” / ( 和 ) yang memiliki arti “harmoni” dalam karakter kanji Jepang yang
berbeda dengan makna kanji yang digunakan di China. Istilah “wa” dalam budaya Jepang
menjadi budaya yang sangat dipegang teguh oleh setiap orang di sana. Utamanya dijadikan kunci
dasar kehidupan bagi masyarakat Jepang. Atas dasar inilah yang membuat budaya Jepang tidak
mengizinkan kegagalan dalam bersikap atau bertindak pada masyarakatnya. Budaya Jepang
“wa” masuk di semua aspek kehidupan sehari-hari termasuk dalam berkomunikasi.
Dalam berkomunikasi, pastinya kita akan melihat bagaimana masyarakat Jepang selalu
memberikan prioritasnya kepada orang lain sehingga terlihat baik di depan umum. Ini bukti dari
masyarakat Jepang yang berusaha tidak menyinggung perasaan orang lain melalui tindakan dan
sikap. Budaya Jepang “wa” atau “harmoni” menjadi pengendali masyarakat untuk selalu
menghormati dan menghargai satu sama lain.
Masyarakat Jepang memiliki sifat “honne” atau “perasaan dalam diri” dan sifat “tatemae” atau
“perasaan menyesuaikan norma”. Adanya anggapan masyarakat Jepang memiliki sikap
komunikasi yang kontradiktif, saat mereka berkomunikasi terlihat menyembunyikan perasaan
mereka dengan mengutamakan perasaan orang lain untuk berusaha tidak menyinggungnya. Hal
ini tidak dapat dipisahkan dari budaya Jepang yang menanamkan rasa malu dan menghormati
orang lain sejak kecil hingga dewasa.
Seperti contohnya, saat kita mengundang atau meminta bantuan pada orang Jepang pastinya
tidak akan bisa menolak permintaan kita. Mereka hampir tidak mau mengatakan kata “tidak”,
baik itu saat “honne” atau perasaan mereka tidak senang, mereka akan langsung sadar dengan
“tatemae” yang mereka miliki dengan menyembunyikan perasaan mereka untuk lebih
menghargai orang lain. Tentu saja budaya Jepang “wa” mampu memberikan keseimbangan
masyarakat Jepang untuk memegang teguh karakternya mewujudkan keharmonanisan dan
kerukunan. Kita bisa menyadari bahwa menyembunyikan perasaan diri di depan umum memang
sangat penting karena dengan begitu kita sadar adanya orang lain.
Menurut T. Morimoto yang ada di dalam bukunya yang berjudul “Nihongo omote to ura” yang
mengenai kepura-puraan dan kebenaran dalam Bahasa Jepang menjelaskan bahwa masyarakat
Jepang selalu menganggap keterusterangan merupakan bentuk ketidaksopanan. Tentunya ini
menandakan adanya upaya menutupi keinginan dengan sopan untuk berhati-hati tidak
menyinggung orang lain.
Menghubungkannya dengan dunia digital sekarang ini yang sering dipertanyakan mengenai
etikanya harusnya membuat kita sadar akan tanggung jawab kita untuk tetap menghargai
keberadaan orang lain. Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya dikenal dengan budaya
timurnya harus bisa mencontoh bagaimana Jepang yang lingkupnya masih di Asia masih kuat
memegang budayanya. Jawaharlal Nehru sebagai negarawan India mengatakan budaya yang
dimiliki akan memperluas pikiran dan semangat kita. Tentunya dukungan budaya Jepang ini
menjadi contoh untuk menguatkan pondasi kita khususnya generasi muda dalam menghadapi
gelombang budaya lainnya.

Anda mungkin juga menyukai