Anda di halaman 1dari 20

HAK GUNA BANGUNAN, HAK PAKAI, HAK SEWA UNTUK

BANGUNAN, DAN HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT SEMENTARA

Arip Patul Mudin, Alvin Rully Herlangga, Dicky Charlos Ginting, Harariawan Priyatna,
Muhammad Shidqi Mubarok, Raden Bella Bintang Maharani
Kelas: HK20B

ABTSRAK
Bahwa dasar dari pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan diatur dalam Perjanjian
Penggunaan Tanah, antara pemegang hak pengelolaan dan pihak yang akan menggunakan lahan dalam
bentuk Hak Guna Bangunan.Sistem hukum pertanahan di Indonesia dalam konteks hak pakai di dalam
UUPA (sesuai dengan Tujuan Negara) bersifat normatif yaitu, “memajukan kesejahteraan umum, dan
mewujudkan keadilan sosial”,yang kemudian didelegasikan lebih lanjut. Hak sewa untuk bangunan
adalah salah satu hak yang dapat diperoleh oleh orang asing untuk menguasai tanah di Indonesia. Hak
sewa diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.Hak atas tanah yang bersifat sementara dalam pergeseran motivasi, cara, dan
hubungan hukum hak-hak yang bersifat sementara (gadai, bagi hasil dan sewa tanah pertanian) dari pola
aslinya, terutama sifat-sifat hak gadai dan usaha bagi hasil berdasarkan hukum adat yang dalam UUPA
dipandang mengandung unsur-unsur pemerasan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan
menganalisis mengenai hak Guna Bangunan,hak sewa untuk Bangunan, hak atas tanah yang bersifat
sementara, prosedur pendaftaran hak pakai atas tanah dan faktor-faktor yang menghambat proses
pendaftaran hak pakai atas tanah Metode penelitian, ini mengadopsi metode penelitian hukum normatif
yang mengumpulkan literatur seperti peraturan dari bahan hukum utama dan literatur seperti buku-buku
yang berkaitan dengan diskusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asas kebebasan berkontrak terhadap
perjanjian sewa mempunyai batasan , mengatur tentang bagaimana apabila Hak Guna Bangunan diatas
Hak Pengelolaan tersebut akan berakhir jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Prosedur
pendaftaran hak pakai atas tanah masih belum optimal dikarenakan sumber daya aparatur dan kesadaran
hukum masyarakat serta tingkat ekonominya,bahwa praktik penerapan hak-hak yang bersifat sementara
dalam hubungan hukum penggunaan tanah pertanian oleh bukan pemiliknya masih berlangsung dengan
bagi hasil.

Kata kunci: prosedur pendaftaran, kebebasan berkontrak, hukum


ABSTRACT

Whereas the basis for granting building use rights over management rights is regulated in a land use
agreement, between the management right holder and the party who will use the land in the form of
building use rights. The land law system in Indonesia in the context of usufructuary rights is in the UUPA
(according to state objectives). Normative, that is, “advancing general welfare, and realizing social
justice”, which was then further delegated. The right to lease a building is one of the rights that can be
obtained by a foreigner to control land in Indonesia. Lease rights are regulated in Article 44 and Article
45 of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations. Temporary rights to land in terms
of shifts in motivation, method, and legal relations of temporary rights (mortgage, profit sharing) and
agricultural land leases) from the original pattern, especially the characteristics of liens and profit-sharing
businesses based on customary law which in the BAL are seen as containing elements of extortion. The
purpose of this study is to find out and analyze the building use rights, rental rights for buildings,
temporary land rights, procedures for registering usufructuary rights and the factors that hinder the
process of registering usufructuary rights over land. This research method adopts legal research methods.
Normative which collects literature such as regulations from the main legal materials and literature such
as books related to the discussion. The results of the study show that the principle of freedom of contract
on rental agreements has limitations, governing what if the building use rights above the management
rights expire as stipulated in the Law of the Republic of Indonesia Number 5 of 1960 concerning Basic
Agrarian Regulations, Registration Procedures the right to use land is still not optimal due to the
resources of the apparatus and the legal awareness of the community as well as their economic level, that
the practice of applying temporary rights in legal relations to the use of agricultural land by non-owners is
still ongoing with profit sharing.

Keywords: registration procedures, freedom of contract, law


PENDAHULUAN
Pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas
tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka fihak-fihak yang bersangkutan
dengan mudah dapat mengetahui status atas kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang
dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya.Dalam kaitannya dengan jual-beli perumahan,
pengembang sebagai badan hukum hanya dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan atau
Hak pakai dan umumnya tanah yang dikuasai pengembang berstatus Hak Guna bangunan. Maka
dari itu perlu diberikan perhatian yang lebih untuk menjamin kepemilikan rumah tinggal bagi
masyarakat. Hal ini disebabkan rumah tinggal merupakan kebutuhan primer manusia setelah
pangan. Hak Guna Bangunan (HGB) perlu dipahami secara lengkap, yaitu hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling
lama 30 tahun dan bisa diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun hal ini dijelaskan
dalam Pasal 35 undang-Undang Pokok Agraria(UUPA). Dari penjelasan dalam Undang-undang
Pokok Agraria maka yang dipunyai oleh pemegang hak sangatlah terbatas oleh karena didirikan
diatas tanah yang bukan haknya, jadi hanya erjadi sepanjang waktu tertentu. Berbeda halnya
dengan Hak Milik yang haknya adalah terpenuh diantara hak-hak atas tanah. Hak Milik menurut
Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang Atas tanah dengan mengingat bahwa hak tersebut mempunyai fungsi sosial Sifat khas dari
Hak Milik ialah “Hak yang turun-temurun, terkuat, dan terpenuh”. Hak yang tidak mempunyai
ciri yang tiga itu sekaligus bukanlah Hak Milik. Turun-temurun, artinya hak milik tidak hanya
berlangsung selama hidup orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya1
apabila pemiliknya meninggal dunia. Terkuat, menunjukkan jangka waktunya yang tidak
terbatas. Berlainan dengan Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya
tertentu. Terpenuh, artinya Hak Milik itu memberikan wewenang kepada yang mempunyai,yang
paling luas jika dibandingkan dengan yang lain.Hak Guna Bangunan yang masih berlaku atau
sudah habis masa berlakunya. Kemudian apabila habis jangka waktu Hak Guna Bangunan
tersebut, dan pemegang hak atas tanah tidak melakukan proses pembaharuan lagi, maka tanah
tersebut menjadi tanah Negara2

1
Urip Santoso, 2014, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, hal.109
2
Efendi Perangin, 1991, HUKUM AGRARIA INDONESIA: Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers, hal. 95
Hak pakai juga merupakan salah satu alas hak yang bersifat primer selain daripada Hak
Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan atas tanah. Dalam pasal 41 UUPA dinyatakan
bahwa:
“Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-
menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.”
Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu dan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau
pemberian jasa berupa apa pun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur pemerasan sedangkan perkataan ”memungut hasil” dalam Hak Pakai
menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan
bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.
Dari rumusan yang dipaparkan dalam pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut
dapat ditelaah lebih lanjut bahwa antara hak pakai dan hak guna bangunan memiliki persamaan
dari segi kejadiannya, walaupun tidak disebutkan secara rinci di dalam Undang-Undang Pokok
Agraria bahwa terjadinya hak pakai dengan beberapa syarat yaitu mengenai tanah yang dikuasai
langsung oleh negara karena penetapan pemerintah dan mengenai tanah milik karena perjanjian
yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan
memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut Hak pakai atas
tanah merupakan hak milik yang lahir dari perjanjian memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Pakai untuk memanfaatkan tanah yang bukan miliknya tersebut, tetapi tidak
untuk dikelola lebih lanjut, maupun dalam rangka keperluan bangunan di atas milik orang lain
tersebut. Sebagaimana halnya Hak Guna Bangunan, pemberian Hak Pakai ini pun3dapat
bersumber pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam bentuk keputusan pemberian
hak oleh pejabat yang berwenang. 4

3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2008,
hlm. 246.
4
Urip Santoso II, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm.119
Pasal 4 UUPA menegaskan bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 UUPA, negara mempunyai wewenang untuk mengatur adanya macam-
macam hak atas tanah. Dengan demikian negara juga mempunyai wewenang untuk mengatur
pemberian hak atas tanah bagi masyarakat penyelenggara pendidikan yang mendirikan bangunan
sekolah di atas tanah yang bukan miliknya. Salah satu hak atas tanah yang diberikan oleh negara
adalah Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan. Ketentuan mengenai Hak Sewa Tanah Untuk
Bangunan diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUPA dan secara khusus ditegaskan dalam
Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA. Pasal 44 UUPA berisi ketentuan:
(1) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan :
a. satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b. sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
(2) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur-unsur pemerasan.Ditegaskan dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) mengenai
subyek hukum yang berhak mempunyai hak sewa yaitu seseorang atau suatu badan hukum.
Ditegaskan juga dalam ayat (2) bahwa hak sewa hanya dapat diberikan untuk tanah bangunan,
hak sewa untuk pertanian tidak dibenarkan dan hanya dapat dibebankan di atas tanah milik
orang lain, tidak dijelaskan mengenai Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan di atas tanah negara
maupun Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan di atas tanah hak pengelolaan.
Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan tidak sama dengan Hak Sewa Atas Bangunan. Dalam
Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan pemilik menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada
penyewa dengan maksud supaya penyewa dapat mendirikan bangunan diatas tanah tersebut.
Bangunan itu menurut hukum yang berlaku saat ini menjadi milik pihak penyewa tanah tersebut,
kecuali jika ada perjanjian lain. Sedangkan dalam Hak Sewa Atas Bangunan yang terjadi adalah
penyewa menyewa bangunan di atas tanah hak milik orang lain dengan membayar sejumlah uang
sewa dan dalam jangka waktu yang tertentu atas dasar kesepakatan antar pemilik bangunan dan
penyewa bangunan. Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan. Ada kemungkinan pengaturan mengenai sewa
diakomodasi dalam Peraturan Daerah.5
Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara. Dikatakan bersifat sementara karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas,
5
http://pemilikandanpengurusantanah.blogspot.com/2009/04/persamaan-dan-perbedaan-antara-Hak.html,
diakses pada hari Jumat, 17 September 2015.
lagi pula hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53
UUPA yang mengatur mengenai hak- hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu:
a. Hak gadai;
b. Hak usaha bagi hasil;
c. Hak menumpang;
d. Hak menyewa;
e. Hak menyewa atas tanah pertanian
Pemilik atas tanah dapat memberikan manfaat dan kegunaan dalam berbagai aspek
kehidupan kepada pemiliknya, baik dalam aspek ekonomi,aspek sosial, termasuk dalam
hubungannya dengan pembangunan. Dari aspek ekonomi, tentunya tanah dapat dimanfaatkan
untuk pertanian,perkebunan, perkantoran sebagai tempat usaha, dapat dijadikan agunan,disewakan
dan sebagainya Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut.
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang-orang , baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-
badan hukum.Dengan demikian, yang dimaksud istilah dalam Pasal di atas ialah permukaan bumi.
Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan
hukum. Oleh karena itu, hak-hak yang timbul di atas hak atas permukaan bumi (hak atas tanah)
termasuk didalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat diatasnyadiatasnya merupakan
suatu persoalan hukum. Persoalan hukum yang dimaksud di sini adalah persoalan yang berkaitan
dengan dianutnya/adanya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman
dan bangunan yang terdapat diatasnya Dapat disimpulkan bahwa yang termasuk pengertian hak
atas tanahmeliputi juga kepemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanahyang dihaki,6
kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak lain (KitabUndang-Undang Hukum Perdata Pasal
500 dan 571).7

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana definisi hak guna bangunan Dan hak pakai?


6
Supriadi, op.cit., h. 3.
7
Adrian Sutedi, Peralihan hak atas tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika,2007), h. 9.
2. Bagaimana hak sewa dan hak atas tanah yang bersifat sementara?

3. Bagaimana kasus hak guna bangunan di Medan ?

4. Bagaimana faktor-Faktor Penyebab timbulnya kasus hak guna bangunan di medan?

METODE PENELITIAN
Metode studi kasus hak pakai usaha yaitu Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
status penguasaan tanah yang terletak di Jalan Gajah Mada, lingkungan VI Kelurahan Petisah
Tengah, Kecamatan Medan Barat, perlindungan hukum bagi pemilik tanah yang memiliki
sertipikat yang sah yaitu PT. Putera Sejahtera Pioneerindo, Tbk, langkah – langkah yang
dilakukan oleh PT. Putra Sejahtera Pioneerindo, Tbk untuk memperoleh hak atas tanah Hak
Guna Bangunan dan penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan tanah Hak Guna Bangunan di
Jalan Gajah Mada Kota Medan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif yang merupakan
penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder di bidang hukum melalui
penelitian studi dokumen, meliputi bahan hukum primer berupa data Undang – Undang Pokok
Agraria, keputusan – keputusan ditingkat peradilan yang terkait dengan penelitian ini, tesis dan
penelitian penulis lain sebagai sumber lain sebagai sumber referensi tambahan dan bahan hukum
sekunder yaitu data yang bersumber dari Akta – akta Notaris, penerbitan surat keputusan
Pemerintah daerah Kota Medan dan analisa penasehat hukum Analisis data yang digunakan
adalah analisis deskriptip kualitatif, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif. Hasil
penelitian yang diperoleh :
1) Status penguasaan tanah Hak Guna Bangunan oleh PT. Putera Sejahtera Pioneerindo, Tbk
didasarkan pada aturan perundang – undangan yang berlaku, dibuktikan dengan adanya
sertipikat Hak Guna Bangunan yang dikeluarkan secara resmi oleh Kantor Pertanahan Negara
Medan, merupakan alat bukti kepemilikan yang sah.
2) Perlindungan hukum bagi PT. PSP, Tbk sebagai pemegang hak atas tanah di Jalan Gajah
Mada sebenarnya sudah diatur dalam Pasal – pasal yang terdapat dalam UUPA dan Peraturan
Pemerintah yang salah satunya adalah PP No. 24 Tahun 1997, yang memuat mengenai
kekuatan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah, tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu
kekuatan pembuktiannya oleh si pemegang sertipikat sesuai dengan sistem publikasi yang
digunakan di Indonesia.
3) Upaya penyelesaian sengketa mengenai tanah Hak Guna Bangunan di Jalan Gajah Mada Kota
Medan diselesaikan melalui jalur hukum perdata yang pada akhirnya dikeluarkan keputusan
oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan yang menyatakan sertipikat Hak Guna
Bangunan tersebut sah atas nama PT. Putera Sejahtera Pioneerindo, Tbk.Sengketa tanah yang
timbul diakibatkan gugatan yang timbul akibat alasan atau alat bukti yang tidak kuat yaitu
Akta Bagi Hasil dan dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan, yang dalam putusan
tersebut Hakim mengesampingkan sertipikat sebagai bukti kepemilikan atau alas hak yang sah
dan kuat atas suatu bidang tanah.

PEMBAHASAN
A. Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai
Hak Guna Bangunan yang masih berlaku atau sudah habis masa berlakunya. Kemudian
apabila habis jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut, dan pemegang hak atas tanah tidak
melakukan proses pembaharuan lagi, maka tanah tersebut menjadi tanah Negara. Untuk itu
pemegang hak harus selalu memperhatikan pembaharuan Hak Guna Bangunannya
lagi.Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertahanan
Nasional Nomor 6 tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk rumah tinggal:
a. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan
warga negara Indonesia yang luasnya 600 M2 atau kurang, atas permohonan yang
bersangkutan
dihapus dan diberikan kembali kepada bekas pemegang haknya dengan Hak Milik;
b. Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan
perseorangan warga negara Indonesia yang luasnya 600 M2 atau kurang yang sudah habis
jangka8 waktunya dan masih dipunyai oleh bekas pemegang hak tersebut, atas permohonan
yang bersangkutan diberikan Hak Milik kepada bekas pemegang hak. Dalam hal ini, apabila
tanah sudah mereka dapatkan manusia akan mempertahankan tanah tersebut sebagai kekayaan
turun temurun.

8
Lihat Skripsi Widiyanti, 2006, Pelaksanaan Peningkatan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik untuk Rumah
Tinggal di Kantor Pertanahan Kota Semarang, Universitas Negeri Semarang, Lib.unnes.ac.id/6303/1/3824.pd, hal.3
Keputusan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 tahun 1998
menerangkan bahwa tanah sebagai tempat tinggal manusia dan dapat digunakan untuk hidup
secara nyaman dan tenteram tanpa ada gangguan apapun, asalkan berdasarkan Undang-Undang
yang berlaku.Secara hukum Hak Guna Bangunan bukanlah hak milik atas sebuah lahan, pemilik
hanya memiliki hak untuk memanfaatkan bangunan yang berdiri di suatu lahan milik negara.
Apabila membeli sebuah properti dengan status sertifikatnya Hak Guna Bangunan, maka yang
dimiliki hanya bangunannya saja, sedangkan tanahnya berstatus dikuasai negara. Sehingga
diperlukan perpanjangan atas hak penggunaan lahan dan hanya bisa dilakukan sebanyak 2 (dua)
kali perpanjangan. Kemudian karena jangka waktu penggunaan yang terbatas tersebut, pemilik
properti tidak bisa bebas melakukan perubahan-perubahan terhadap bangunan yang berdiri. Hal
ini biasanya terjadi untuk pembelian rumah yang dikelola oleh developer tertentu, sehingga
pemilik harus mematuhi aturan yang ditetapkan oleh developer.
Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemerintah sesuai yang diatur oleh pasal 50
Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1966 mengatur kewajiban pemegang Hak Pakai yang
berbunyi;
a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan
pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian
pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik
b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau
perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
c. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian
lingkungan hidup;
d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus;
e. menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. Dalam
Pasal 50 poin (a) tersebut jelas bahwa pemegang Hak Pakai berkewajiban membayar uang
pemasukan kepada pemilik tanah.9

B. Hak Sewa Dan Hak Atas Tanah Yang Bersifat Sementara

9
Hasil wawancara dengan Ketua DPD KOMNASPAN pada hari sabtu, 9 september 2017 pukul 14.00
Hak Sewa Atas Bangunan yang terjadi adalah penyewa menyewa bangunan di atas tanah
hak milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa dan dalam jangka waktu yang
tertentu atas dasar kesepakatan antar pemilik bangunan dan penyewa bangunan. Selanjutnya
Pasal 45 berisi ketentuan bahwa yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :
a. Warga negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwalikan di Indonesia.
“Sewa adalah pemanfaatan Barang Milik Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu
tertentu dengan menerima imbalan uang tunai.” Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa
dalam sewa ada jangka waktu dan pembayaran imbalan uang tunai. Dalam praktek di tengah
masyarakat, sewa menyewa lebih banyak dibuat atas dasar Pasal 1548 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu:
“Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu
waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya.”
Dari pengertian sewa-menyewa dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maka dapat diketahui bahwa sewa-menyewa adalah suatu perjanjian yang melibatkan
dua pihak atau lebih, di mana satu pihak memberikan sesuatu barang pada pihak lain dalam
kurun waktu tertentu dengan pembayaran sesuai yang telah disanggupi. Konsep hak-hak atas
tanah yang terdapat dalam Hukum AgrariaNasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua
bentuk. Pertama, hak- hak atas tanah yang bersifat primer. Kedua, hak-hak atas tanah yang
bersifat sekunder. Pengertian hak-hak atas tanah primer adalah hak-hakatas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorangatau badan hukum yang mempunyai waktu
lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya. 10
Pemilik atas tanah dapat memberikan manfaat dan kegunaan dalam berbagai aspek
kehidupan kepada pemiliknya, baik dalam aspek ekonomi, apek sosial, termasuk dalam
hubungannya dengan pembangunan. Dari aspek ekonomi, tentunya tanah dapat dimanfaatkan

10
Supriadi, Hukum Agraria, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 64.
untuk pertanian, perkebunan, perkantoran sebagai tempat usaha, dapat dijadikan
agunan,disewakan dan sebagainya.

C. Kasus Hak Guna Bangunan Di Medan


Pada tahun 1997 sebuah perusahaan yang berkedudukan di Jakarta yaitu PT. PSP,Tbk
berkeinginan untuk mendirikan bangunan yang akan digunakan untuk usaha restoran di Kota
Medan, untuk itu diperlukan lokasi yang strategis untuk usaha tersebut, Saudara PHO ENG SHE
perwakilan PT. PSP, Tbk Medan mendapat penawaran dari Saudari AYU LASIMIN, bahwa ada
tanah yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, simpang Jalan Majapahit Medan yang akan dijual dan
tanah tersebut talah bersertipikat Hak Guna Bangunan No. 2328/Petisah Tengah, tanggal 17 Mei
1996, atas nama JACOB alias TJIO TJANG KOK. Setelah dilakukan peninjauan kelokasi dan
karena tanah terletak didaerah yang strategis serta sesuai untuk peruntukkan restoran dan setelah
PT. PSP, Tbk melakukan pengecekan dan pemeriksaan pada instansi terkait antara lain BPN,
Camat dan Lurah setempat bahwa sertipikat HGB tanggal 17 Mei 1996 atas nama Jacob adalah
sah dan tidak dalam keadaan sengketa, maka PT. PSP, Tbk memutuskan untuk membeli tanah
tersebut dan dibuatkan Akta Jual Beli No 44/M. Petisah Tengah/1997 tanggal 28 Oktober 1997,
dihadapan Notaris MUNIR NASUTION, SH Notaris/ PPAT di Medan antara TJIO TJANG
KOK alias Jacob selaku penjual kepada PO ENG SU/PO ENG SHE, mewakili Direksi PT. PSP,
Tbk, selaku pembeli. Setelah terjadi jual beli kemudian pada tanggal 16 Desember 1997 PT.
PSP, Tbk membalik nama sertipikat HGB atas tanah seluas 1.264 m2 tersebut dari nama Jacob
menjadi atas nama PT. PSP, Tbk, walaupun tanah di Jalan Gajah Mada Kota Medan tersebut
telah beralih kepemilikan.

D. Faktor-Faktor kasus hak guna bangunan di medan


Kondisi yang didapat dari pencarian data adalah bahwa yang menguasai dan memiliki
tanah pada awalnya adalah para ahli waris dari mendiang Encik Samsiah yang diketahui
bernama:
a. Djuned Hamdani Nasution.
b. Sjamsi Gamariah.
c. Syamsul Fatimah. 11
d. Harmaini.
e. Ahmad Djailani.
f. Kamarul Jaman.
g. Djamilah.
Para ahli waris menguasai/memiliki sebidang tanah seluas 1.264 m2 yang terletak disudut
Jalan Majapahit dan Jalan Gajah Mada, lingkungan VI, Kelurahan Petisah Tengah Kecamatan
Medan Barat dan dikenal dengan tanah Grant C, eks tanah Kesultanan Deli. Pada tanggal 11
November 1972 dibuat persetujuan dihadapan Notaris Rusli, Medan atas tanah tersebut antara
para ahli 12
waris tersebut dengan saudara Johannes, pekerjaan pemborong, dikenal dengan
persetujuan bagi hasil. Yang isinya bahwa diatas tanah tesebut atas peretujuan para ahli waris
oleh Johannes akan didirikan pertokoan dan beberapa pintu rumah petak dibagian belakang, yang
pengaturan pembagian lebih lanjut diatur dalam pasal – pasal persetujuan bagi hasil yang
dimaksud.
Dalam Akta Perjanjian Bagi Hasil antara Johannes dan para ahli waris disebutkan batas
waktu dari perjanjian ini adalah sepuluh bulan, dengan syarat apabila Johannes tidak berhasil
membangun satu bangunan ataupun tidak dapat menyelesaikan pembangunan toko – toko diatas
tanah tersebut, maka penguasaan tanah dan bangunan yang terdapat diatas tanah tersebut menjadi
hak dari para ahli waris. Setelah hampir 18 tahun tepatnya tahun 1990 ternyata Johannes tidak
berhasil membangun satu gedungpun dan para ahli waris dalam keadaan terkatung – katung
tanpa kepastian, dikarenakan para ahli waris dalam kondisi ekonomi yang lemah dan satu –
satunya kekayaan yang tertinggal adalah tanah warisan tersebut, maka para ahli waris bermaksud
untuk melepaskan hak atas tanah tersebut kepada saudara Jacob yang berniat untuk memiliki dan
membeli dengan cara memberikan ganti rugi sebesar Rp 120.000.000,- kepada para ahli waris.
Pada tanggal 7 Mei 1990 dibuatlah Akta Pelepasan Hak dengan ganti rugi, dari keenam ahli
waris kepada Jacob, sesuai Akta Notaris Sartutiyasmi, SH. Setelah mengetahui bahwa tanah
tersebut telah berpindah haknya kepada saudara Jacob, maka saudara Johannes pada tanggal 6
Agustus 1990 mengajukan gugatan ke pengadikan Negeri Medan menggugat ketujuh ahli waris,
karena menurut Johannes para ahli waris telah ingkar janji atau melakukan wanprestasi dan telah
melawan hukum.
11
Prof. Boedi harsono , hukum Agraria indonesia
12
Gatot Sunarto, wawancara pribadi, Pengacara PT. PSP, Tbk, (Jakarta : 15 November 2005)
Didalam petitum gugatan terdapat kekeliruan seharusnya tidak dicampur adukkan antara
wanprestasi dengan melawan hukum. Dengan nomor berkas perkara No. 293/Pdt.G/PN.
Mdn.Untuk perkara No. 293 ini pada tanggal 3 September 1990 oleh Majelis Hakim dikabulkan
permohonan Sita Jaminan yang dimohonkan oleh saudara Johannes atas tanah di Jalan Gajah
Mada tersebut dan dalam amar putusan perkara No. 293 ini telah diputuskan:
1) Majelis Hakim menyatakan syah Akta Persetujuan tanggal 11 November 1972, No. 42 antara
Johannes dengan para ahli waris yang dibuat dihadapan Notaris Rusli di Medan.
2) Menyatakan Johannes berhak membangun diatas tanah berperkara yang terletak di Jalan
Gajah Mada sudut Jalan Majapahit Medan. Sebagaimana yang tertera didalam Akta
Persetujuan tanggal 11 November 1972. 13
3) Menyatakan sah dan berharganya sita jaminan yang diletakkan dalam perkara ini sebagaimana
berita acara sita jaminan tanggal 3 September 1990, No. 293/Pdt.G/1990/PN. Mdn.
Jacob yang merasa mendapatkan tanah tersebut dengan itikad baik, setelah mengetahui tanah
tersebut dalam kondisi sita jaminan dan dikuasai oleh Johannes, pada tanggal 11 0ktober 1990
mengajukan gugatan perlawanan yang ditujukan kepada Tergugat Johannes dan para ahli waris
dengan perkara No. 24/Pdt. Plw/1990/PN.Mdn dengan Hakim tunggal Suharto, SH dalam amar
putusan :
1. Pelawan adalah pelawan yang benar.
2. Menyatakan tanah Grant C 1939 yang telah diletakkan sita jaminan berdasarkan penetapan
Ketua Pengadilan tanggal 3 September 1990 adalah kepunyaan Jacob sebagai pelawan.Pada
kenyataannya tanggal 7 Maret 1991 Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya menyatakan
bahwa gugatan yang diajukan oleh Johannes dengan Nomor Gugatan No 293 tahun 1990 di
Pengadilan Negeri Medan tidak dikabulkan hal mengenai sita jaminan tetapi membenarkan
perjanjian bagi hasil antara Johannes dan para ahli waris sehingga status tanah menjadi tidak
jelas.
Pada tanggal 27 Maret 1991 kuasa hukum dari para tergugat khususnya kuasa hukum dari
para ahli waris mengajukan banding yang kemudian pada tanggal 25 Mei 1991 oleh Pengadilan
Tinggi Medan dikeluarkan putusan No. 145/Pdt/1991/PT.Mdn yang dalam amar putusannya
menetapkan :
1. Mengadili :

13
Ramli Zein, 1995, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta. Jakarta
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 7 Maret 1991 No. 24/Pdt.
Plw/1990/PN Mdn yang dimohonkan banding.
2. Mengadili sendiri :
a. Pelawan yang dalam hal ini adalah saudara Jacob adalah Pelawan yang tidak baik.
b. Menolak perlawanan Pelawan untuk seluruhnya. Walaupun putusan Pengadilan Negeri
Medan No. 24 tanggal 7 Maret 1991 telah menetapkan tanah eks Grant C 1939 adalah
milik Jacob namun dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan No.145 tanggal 25 Mei
1991, telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut dan menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Medan.Dengan demikian putusan Hakim Suharto tersebut
membingungkan dikarenakan untuk perkara No.293 Hakim memenangkan saudara
Johannes, sedangkan untuk perkara No. 24 Hakim Suharto memenangkan saudara Jacob
maka stasus kepemilikan tanah eks Grant C 1939 14menjadi tidak jelas.
Pada tanggal 29 Juni 1994 dikeluarkan keputusan kasasi yang dimohonkan oleh Jacob
dan para ahli waris. Kasasi ini dimohonkan karena stasus tanah belum jelas menurut Jacob dan
para ahli waris. Putusan kasasi ini menyatakan bahwa permohonan Jacob dan para ahli waris
ditolak ( dikalahkan ) oleh Mahkamah Agung dengan Hakim Agung yang memimpin sidang
Hakim Soeharso, SH. Pengucapan putusan dalam sidang untuk terbuka untuk umum oleh majelis
hakim mengenai putusan ini adalah pada tanggal 12 Juli 1994. Setelah pengucapan putusan ini,
Jacob dan para ahli waris meminta permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung pada
tanggal 5 Juli 1995. Permohonan kembali ini diputuskan pada tanggal 15 September 1998, yang
diucapkan disidang yang terbuka untuk umum oleh Ketua Mahkamah Agung H. German
Hoediarto, SH, yang memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali dari para pemohon.
Para ahli waris yang sekarang berjumlah enam orang karena salah seorang ahli waris yang
bernama Djamilah telah meninggal dunia, maka pada tanggal 10 Januari 1996 menggugat
saudara Johannes dan Notaris Rusli melalui Pengadilan Negeri Medan, yang memohon kepada
Pengadilan Negeri Medan bahwa persetujuan No. 42 tanggal 11 November 1972 dibuat oleh
Notaris Rusli, SH adalah cacat hukum dan oleh karenanya dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Pada tanggal 8 Januari 1996 para ahli waris mengajukan kembali gugatan di
Pengadilan Negeri Medan dengan menggugat Johannes dan Notaris Rusli, SH, yang telah
digantikan oleh protokol Notaris yaitu Ny. Aida Daulay, SH. Pengadilan Negeri Medan sesuai

14
Soedharyo Soimin, 2001, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Cetakan Pertama.Sinar Grafika. Jakarta.
dengan putusan tanggal 28 November 1996 No.12/Pdt.G/PN.Mdn, yang dalam amar putusannya
dan diucapkan dipersidangan yang terbuka untuk umum menyebutkan antara lain :
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
2. Menyatakan bahwa persetujuan No. 42 tanggal 11 November 1972 yang dibuat oleh Notaris
Rusli, SH adalah cacat hukum dan karenanya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.
3. Tentang eksepsi : menolak eksepsi tergugat.
Sehubungan dengan putusan provisionil Pengadilan Negeri Medan tanggal 28 Februari
1996 Reg No.12/Pdt.G/1996/PN.Mdn,dikeluarkan Penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri
Medan tanggal 11 Maret 1996 Reg No.12/Pdt.G/1996/PN.Mdn, yang isinya antara lain
mengangkat sita jaminan No.293/Pdt.G/1990/PN.Mdn, tanggal 3 September 1990.
Pengangkatan/pencabutan sita jaminan telah dilaksanakan pada tanggal 13 Maret 1996. Tanggal
8 April 1997 Johannes mengajukan 15
banding ke Pengadilan Tinggi Medan dan pada tanggal 5
Juli 1997 dalam sidang yang terbuka untuk umum diputuskan oleh Majelis Hakim dengan Ketua
Majelis M. Soeroto, SH, menerima permohonan banding Johannes dan membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Medan tanggal 28 November 1996. Putusan ini menyatakan Akta 11
November 1972 sah dan nama baik Johannes dan Notaris Rusli harus dipulihkan.
Setelah diputuskan demikian oleh Pengadilan Tinggi Medan, Johannes kemudian
menggugat ke PTUN Kepala Kantor Pertanahan Negara Medan dalam gugatan yang diajukan
melalui kuasa hukumnya pada tanggal 13 Juni 2000 untuk membatalkan sertipikat atas tanah di
Jalan GajahMada Kota Medan, dan Juga menggugat Jacob dan setelah mendengar dan membaca
bukti – bukti yang ada, maka majelis Hakim PTUN mengeluarkan putusan :
a. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya.
b. Menyatakan batal atau tidak sah sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 238/Petisah Tengah
Kotamadya Medan tanggal 17 Mei 1996 atas nama Tjio Tjang Kok alias Jacob.
c. Mewajibkan tergugat mencabut surat keputusan penerbitan sertipikat atas nama Tjio Tjang
Kok alias Jacob.
d. Menyatakan masih berlaku penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Nomor
39/G/2000/PTUN.Mdn, tentang penundaan pelaksanaan dan tindak lanjut Surat Keputusan
Tata Usaha Negara berupa sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 238 Petisah Tengah
Kotamadya Medan tanggal 17 Mei 1996 atas nama Johannes ternyata ketika akan

15
Ramli, 2003,upaya kasus hak guna bangunan, Jakarta
membangun bangunan diatas tanah milik dari PT. PSP, Tbk, telah mendapatkan ijin dari
Walikota Medan berupa Surat Ijin Mendirikan Bangunan, hal ini memperlihatkan kekliruan
yang telah dibuat oleh Pejabat daerah, Karena bukti kepemilikan tanah adalah milik PT. PSP,
Tbk dan tidak pernah PT. PSP, Tbk mengijinkan siapapun untuk membangun diatas tanah
tersebut.
Oleh karena itu PT. PSP, Tbk mengajukan gugatan ke PTUN Medan yang ditujukan
kepada Walikota Medan dan Kepala Bagian Bangun Bangunan Kodya Medan untuk mencabut
Surat Ijin Membangun Bangunan dan merupakan hal yang sangat wajar apabila PT. PSP, Tbk
menuntut agar pembangunan dihentikan oleh Johannes, mengingat Johannnes tidak melakukan
pemasangan ijin tersebut sesuai ketentuan dan sengaja tidak mencantumkannya karena Johannes
beritikad tidak baik. Upaya hukum yang pertama kali dilakukan oleh PT PSP, Tbk terhadap
kondisi tanah yang ternyata pada waktu akan dibangun tidak dapat digunakan karena ada sita
jaminan dari Pengadilan Negeri, yaitu dengan melaporkan Johannes ke Poltabes Medan, karena
melakukan 16
perbuatan tidak menyenangkan, memasuki tanah milik PT. PSP, Tbk tanpa ijin,
merusak pagar dan menyiarkan berita yang menyesatkan masyarakat ( upaya hukum pidana ).
Sebaliknya kemudian Johannes mengajukan gugatan perdata kepada Jacob dan pemilik
tanah sebelum Jacob, yaitu tujuh orang ahli waris tanah di Jalan Gajah Mada tersebut, yang
bernama Djuned Hamdani Nasution, Sjamsi Gamariah, Syamsul Fatimah, Harmaini, Ahmad
Djailani, Kamarul Jaman dan Djamilah. Oleh para pihak yang bersengketa tersebut telah
diupayakan jalan penyelesaian sengketa secara perdata dan juga penyelesaian di Pengadilan Tata
Usaha Negara, hasil akhir dari penyelesaian sengketa ini dimenangkan oleh PT. PSP, Tbk
melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan status sertipikat yang dimiliki
oleh PT. PSP, Tbk adalah sah. Sehingga pada waktu terjadi permohonan gugatan yang dilakukan
oleh Johannes ke Pengadilan Negeri Medan yang telah menetapkan sita jaminan, PT. PSP,Tbk
juga telah melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi agar dapat sita jaminan
tersebut dibatalkan. Begitu seterusnya dari upaya banding di Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata
Usaha Negara dan juga melalui upaya – upaya kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah
Agung sampai kembali kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang pada akhirnya mengeluarkan
putusan bahwa PT. PSP, Tbk berhak atas tanah di Jalan Gajah Mada Kota Medan adalah sah
menurut hukum sebagai miliknya dengan pertimbangan

16
Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, UI Press; Jakarta.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan – pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Status penguasaan tanah yang terletak di Jalan Gajah Mada Kota Medan yang dilakukan oleh
PT. PSP, Tbk sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Hal tersebut terbukti dengan adanya
sertipikat yang sah dan telah diatasnamakan atas nama PT. PSP, Tbk dari pemilik sebelumnya
yaitu Jacob. Tanah yang bersertipikat Hak Guna Bangunan tersebut telah diperiksa oleh pihak
yang berwenang dari Kantor Pertanahan Kota Medan, PPAT, Camat dan Lurah setempat dan
dinyatakan tidak ada sengketa atas tanah tersebut. Sehingga semua syarat sahnya tata cara
mendapatkan tanah sudah dilengkapi oleh pihak PT. PSP, Tbk.
2. Perlindungan hukum bagi para pemegang/pemilik sertipikat dalam hal ini khususnya PT.
PSP,17 Tbk sebagai pemegang hak atas tanah di Jalan Gajah Mada Medan salah satunya diatur
pada Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997 Pasal 32 ayat (2) yang memuat mengenai
kekuatan sertipikat, selain itu diatur pula dalam Pasal 19 ayat (2) sub Undang – Undang
Pokok Agraria. Peraturan – peraturan tersebut adalah suatu bentuk perlindungan atas
kepemilikan suatu bidang Upaya – upaya hukum yang diupayakan oleh PT. PSP, Tbk
terhambat faktor – faktor pengabaian bukti – bukti kepemilikan yang sah oleh Majelis Hakim,
sehingga memperpanjang dan memperumit masalah. Mengenai penyelesaian sengketa tanah
di Jalan Gajah Mada Medan ini, para pihak yang bersengketa telah melakukan upaya hukum
secara perdata dan mempertahankan keabsahan sertipikat melalui pembuktian di Pengadilan
Tata Usaha Negara. Hakim sebagai pengambil keputusan akan selalu merujuk pada peraturan
yang terdapat pada kedua aturan tersebut, walaupun keputusan Hakim untuk
memihak/memenangkan pemilik sertifikat selalu diputuskan setelah sipemilik melakukan
pembuktian terlebih dahulu dan melalui tahapan pembuktian yang lama dan menghabiskan
banyak biaya. Hal ini dapat dilihat ketika Hakim ditingkat Pengadilan Negeri Medan
memberikan putusan memenangkan Johannes dan memberikan sita jaminan atas tanah di
Jalan Gajah Mada Medan, padahal PT. PSP, Tbk sudah jelas memiliki sertipikat, tetapi pada
tingkat peradilan yang lebih tinggi yaitu ketika Johannes meminta agar Pengadilan Tata
Usaha Negara membatalkan sertipikat tersebut dan dikabulkan, Pengadilan Tinggi Tata Usaha

17
Notonegoro, 1974, Politik Hukum Agraria Di Indonesia, CV Pancoran Tujuh; Jakarta.
Negara ketika Kepala Kantor Pertanahan Negara mengajukan banding, tetap menyatakan
sertipikat atas tanah di Jalan Gajah Mada adalah sah dan tidak dapat diganggu gugat.18

18
Irawan Soerodjo. 2003, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Indonesia. Cetakan
Pertama. Arkola. Surabaya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku & Jurnal
Adrian Sutedi, Peralihan hak atas tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika,2007).
Dr. Suyono Sanjaya, S.H., Sp.N., M.H., Dr. Mulyono, S.H., S.I.P., M.H., Dr. Yuniar Rahmatiar.,
S.H., M.H., 2002, Hak-Hak Atas Tanah, Depok: PT Raja Grafindo Persada.

Efendi Perangin, 1991, HUKUM AGRARIA INDONESIA: Suatu Telaah Dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers.
Gatot Sunarto, wawancara pribadi, Pengacara PT. PSP, Tbk, (Jakarta : 15 November 2005).
Irawan Soerodjo. 2003, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Indonesia. Cetakan
Pertama. Arkola. Surabaya.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak-Hak Atas Tanah,
Jakarta, Kencana, 2008.
Notonegoro, 1974, Politik Hukum Agraria Di Indonesia, CV Pancoran Tujuh; Jakarta.
Prof. Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia. Jilid 1, Djambata: Jakarta.
Ramli Zein, 1995, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta. Jakarta.
Ramli, 2003,Upaya Kasus Hak Guna Bangunan, Jakarta
Soedharyo Soimin, 2001, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Cetakan Pertama.Sinar Grafika.
Jakar Prof. Boedi harsono , hukum Agraria indonesia
Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, UI Press; Jakarta.
Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, UI Press; Jakarta.
Soerjono Soekamto, Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Urip Santoso, 2014, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, hal.109
Urip Santoso II, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2012.
Widiyanti, 2006, Pelaksanaan Peningkatan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik untuk
Rumah Tinggal di Kantor Pertanahan Kota Semarang, Universitas Negeri Semarang.
B. Internet
Hasil wawancara dengan Ketua DPD KOMNASPAN pada hari sabtu, 9 september 2017 pukul
14.00
https://www.rumah.com/panduan-properti/hak-guna-bangunan-lebih-untung-ini-fakta-
lengkapnya-15328

https://abplawfirm.co.id/hak-sewa/

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA).

Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1966 mengatur Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Anda mungkin juga menyukai