Anda di halaman 1dari 4

Melihat Kembali Gagasan Pluralitas dalam Pandangan Islam

Oleh: Salman Akif Faylasuf *


Konsep pluralitas sesungguhnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah Islam,
meskipun dalam Islam term ini belum menjadi sebuah konsep yang disusun secara
sengaja dan sistematis sebagai sebuah teori atau paham. Pluralitas sebenarnya merupakan
keniscayaan yang mustahil ditolak dari kehidupan ummat manusia. Karena Allah Swt
sendiri menjamin bahwa, diantara salah satu ciri ciptaannya adalah keragaman, yaitu
setiap kita dari sejak sediakala diciptakan Tuhan dalam perbedaan.
Oleh karenanya, rasul berkesempatan memanifestasikan pandangan tersebut,
ketika beliau membangun sebuah masyarakat kosmopolit di Madinah yang dinamakan
dengan Madinah al-Munawarah. Kota Madinah merupakan prototype dari konsep
pluralitas dan kosmopolitan Islam, karena dalam masyarakat Madinah tersebut hidup
berdampingan secara harmonis kaum dari berbagai kelompok agama dan suku bangsa.
Saking idealnya negara tersebut, maka oleh para sarjana studi Islam kemudian,
diambilnya ini sebagai sebuah konsep masyarakat kosmpolit, egaliter dan pluralistis
dengan term masyarakat Madani.
Contoh terbaik juga tentang elan vital pluralisme dalam Islam juga diperlihatkan
oleh para tokoh Islam ketika membangun peradaban Islam di Eropa Barat (Andalusia,
Spanyol). Bagaimana Islam tampil sebagai penguasa politik selama berabad-abad di
tanah Eropa tersebut, mengayomi ummat beragama lainnya (meskipun jumlah ummat
Islam relatif minoritas dibandingkan penganut agama lainnya) dalam suatu keteraturan
yang harmonis. Sejarah menunjukkan bahwa, kekuasaan politik yang dimiliki tidak
dipergunakan untuk memaksakan pandangan agama kepada orang yang berbeda
keyakinan dengan mereka.
Karakteristik pluralisme dalam Islam ini bahkan diakui oleh beberapa penulis
Barat, seperti Arnold Toynbee seperti dikutip oleh Paul F. Knitter. Dikatakan bahwa,dari
ketiga agama besar penerus ajaran Nabi Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam) yang dinilai
memiliki reputasi terjelek dalam hal sikap toleransi terhadap agama lain adalah agama
Kristen.
Penganut Kristen dinilai bersikap arogan, baik arogansi etnis-teologis sebagai
warisan dari tradisi Yahudi, maupun pengaruh Barat sentris yang cenderung menganggap
rendah peradaban di luarnya. Sementara Islam memiliki landasan teologis dan
pengalaman historis yang panjang dalam mengimplementasikan gagasan tentang
pluralisme.
Karakteristik tersebut kemudian menjadi satu supporting factor atau faktor
penopang keberhasilan proses Islamisasi di berbagai belahan dunia. Karena semangat
pluralitas tersebut pada hakikatnya merupakan prinsip kredo (ketauhidan) dalam Islam,
dimana satu-satunya realitas tertinggi dan berkedudukan mutlak hanya Tuhan, sesuatu
selain Tuhan adalah relatif secara mutlak.
Masih tentang pluralisme agama. Tema tersebut seringkali disalah artikan sebagai
konsep penyamarataan atau semua agama adalah sama benar. Oleh karenanya, tidak
sedikit kritik terhadap pandangan tersebut, karena dinilai “absurd”. Hal ini bisa
dimengerti karena dalam logika formal, yang banyak dipahami oleh ummat beragama
(disadari atau tidak), dianggap mustahil jika ada lebih dari satu kebenaran yang murni.
Keadaan ini yang kemudian menimbulkan kegelisahan dan bahkan ketakutan teologis di
kalangan yang menentang gagasan tersebut.
Sebenarnya, apa yang menjadi inti gagasan pluralisme agama, apa benar bahwa,
konsep ini adalah upaya untuk menyeragamkan atau menyamaratakan kebenaran agama.
Persoalan ini memang tidak sederhana, karena disamping ini sebuah konsep sosiologis ia
juga merupakan sebuah kontruksi filosofis.
Karena itu, secara sosiologis konsep pluralisme relatif tidak ada masalah. Namun,
dalam kontek filosofis dan normatif, biasanya polemik akan sangat kuat. Sisi lainnya,
dalam kontek filosofis inilah sesungguhnya akar masalah dari kontroversi ini.
Kita tahu, pada hakikatnya, gagasan pluralisme merupakan konsep perennialis
bahwa, ada satu kebenaran mutlak dan realitas tertinggi (ultimate reality) yaitu Allah.
Sementara sesuatu yang selain Tuhan adalah nisbi, relatif atau terbatas. Tuhan
mengintrodusir kebenarannya kepada ummat manusia, melalui kitab suci, para nabi,
filosof, pemikir dan ayat-ayat (tanda-tanda) yang Ia hamparkan di muka bumi.
Relasi antara Tuhan dan makhluknya biasanya oleh kaum perennialis dan
fenomenologis diibaratkan dengan gerakan cincin konsentris, dimana ada ruang eksoteris
yang plural dan esoteris yang bersifat tunggal (konsentris) dan bergerak secara konsisten
menuju Tuhan.
Gagasan Pluralisme berpandangan bahwa, dalam kontek esoteris (ruang esoteris)
terdapat kesamaan esensial atau kalimah as-Sawa agama-agama di dunia, terutama dalam
konsepsi dasar dan tujuan dari semua agama. Kesamaan konsep dasar ini yang kita
istilahkan dengan common platform, yaitu sama-sama agama yang berasal dari Tuhan dan
memiliki sebuah koneksi historis dan teologis antara para nabi dan rasul yang membawa
masing-masing risalah tersebut.
Adapun kesamaan tujuan adalah level pencapaian (atau pusat konsentris) dari
semua gerak makhluk (baik dalam lingkup mikro kosmos dan makro kosmos), yaitu
menuju kepada kebenaran dan kebahagiaan “Ilahiah” (divine truth and happiness).
Berkenaan dengan konsep tentang titik temu agama-agama tersebut, Nur cholis
Madjid menerangkan bahwa, kesamaan agama bukan dalam arti kesamaan secara formal
dalam aturan-aturan positif (seperti dalam Islam tentang syari’ah) maupun tentang
keyakinan tertentu. Sebab Islam par excellence memiliki segi-segi perbedaan dengan
agama-agama lainnya, meskipun mereka memiliki kedekatan geneologis sebagai agama
monotheisme.
Namun, kesamaan di sini adalah kesamaan dalam pesan dasar atau al-Qur’an
menyebutkannya dengan kata washiyah, yaitu ajakan untuk menemukan dasar-dasar
kepercayaan. Dasar kepercayaan adalah sikap hidup yang hanif atau lurus. Cak Nur
mendasarkan konsepsi tentang kesamaan tersebut berdasarkan QS. Al-Imran: 64.
Jelasnya, gagasan kesamaan dalam konsep pluralisme beragama bukan
dimaksudkan untuk mengabaikan perbedaan antar agama. Akan tetapi, lebih merupakan
upaya kembali mempertemukan kesamaan pesan dasar dari agama-agama yang memiliki
koneksi baik secara geneologis maupun teologis tersebut. Perbedaan antara agama
mustahil dihapuskan, karena selain di bawah dari masa yang sangat jauh selisih waktunya
antara satu dengan lainnya, juga sasaran dan objek pembinaan agamanya yang berbeda-
beda.
Perbedaan dan keragaman ini akan tampak menonjol dalam ranah eksoteris, yaitu
lingkup sosiologis atau empirikal. Masalahnya kemudian, kebenaran Tuhan yang mutlak
tersebut dipancarkan (illuminated) kedalam ruang eksoteris tersebut, sehingga spektrum
kebenaran tersebut menjadi majemuk (semajemuk manusia yang menerima pesan-pesan
suci tersebut).
Konsep Pluralisme beragama, adalah satu konsep filosofis dan sekaligus sosilogis
yang berpandangan bahwa, kebenaran agama itu tidak bersifat homogen atau tunggal.
Kebenaran agama termanifestasi dalam wujud atau wajah yang beragam. Oleh karenanya
kebenaran yang diterima dan dipahami oleh manusia adalah kebenaran yang bersifat
peripheral, sederajat dengan kualitas kerelatifan manusia itu sendiri.
Konsekuensi dari paham pluralisme ini, sebenarnya bukan untuk merelatifkan
kebenaran semua agama, akan tetapi memberikan ruang dialog bagi masing-masing
agama untuk berupaya menyempurnakan pandangan keagamaan menuju kebenaran
Tuhan. Dan di sisi lain, akan mendorong munculknya satu persfektif keagamaan yang
lebih inklusif, egaliter, demokratis dan damai.
Karena masing-masing penganut agama akan berupaya memahami kebenaran
agamanya dalam batas-batas pemaknaan dan keyakinan masing-masing, tanpa harus
berpikir bagaimana mengeliminasi peluang munculnya kebenaran-kebenaran lain di luar
yang mereka yakini.
Iklim beragama yang seperti ini yang ingin diwujudkan melalui gagasan
pluralisme beragama, jadi bukan paham untuk menyamarakatan (equalizing) semua
agama, seolah-olah tidak ada kebenaran. Atau setiap orang dengan bebas untuk beralih-
alih agama semaumaunya, sesuai dengan mood dan kepentingan praktisnya masing-
masing.
Dengan demikian, gagasan pluralisme ini merupakan sesuatu yang fundamental
dan mendasar untuk diintrodusir ke dalam masyarakat beragama yang cenderung tertutup
(eksklusif), menolak dialog dan mengembangkan prasangka antar penganut agama.
Dengan paham pluralisme ini, diharapkan setiap penganut agama, dapat menjalankan
keyakinanan agama dengan baik dan benar,dengan tanpa harus dibebani pikiran harus
pasti benar, dan khawatir kalau ada kebenaran lain yang berbeda dengan kebenaran yang
kita yakini.

)* Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul


Jadid, dan Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Anda mungkin juga menyukai