Anda di halaman 1dari 15

Studi Pola Rantai Pasok Konstruksi Pada Proyek Jalan dan Jembatan

Kabupaten

(Studi Kasus pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumba Timur)

Adi Pandarangga, M. Agung Wibowo, Jati Utomo Dwihatmoko

Program Doktor Teknik Sipil Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang

Jl. Hayam Wuruk No. 5 –7 Semarang, Indonesia, Phone/Fax. (024) 8311946. Email :
benpandarangga@gmail.com

Abstract

Opportunities and challenges of local autonomy influences the efficiency of the


construction sector to perform the construction process through the application of
construction supply chain (CSC).The number of new autonomous regions
(approximately 500an) indirectly influences every area networks to form a pattern of
CSC in accordance with the context of local conditions. Procurement strategy and
procurement construction (construction site) on CSC area can be adapted to current
conditions of supply of construction materials and equipment, local administration
system, and geographical conditions. The aim of this study was to obtain a pattern of
CSC in one autonomous region, and can serve as an example for other regions in the
application of the concept of CSC. The whole strategy CSC pattern formation is the
process of formation and implementation process of the provision of construction that
will provide value added and will reduce waste.
Strengthening partnership strategy (partnering) and innovation needs to be done on
projects in the area as the implementation of regional autonomy in order to obtain
reinforcement concept CSC pattern corresponding to projects which are managed by
the autonomous regions. Therefore, this study uses a case study that further research
needs to be done to obtain the phenomenon CSC pattern throughout the autonomous
region with a quantitative approach in order to obtain a comprehensive picture RPK
regimes in Indonesia.

Keywords:
construction supply chain , pattern, road, project.

Abstrak

Peluang dan tantangan otonomi daerah turut mempengaruhi sektor konstruksi untuk
melakukan efesiensi proses konstruksi melalui penerapan RPK. Banyaknya daerah
otonom baru (sekitar 500an) secara tidak langsung turut mempengaruhi setiap daerah
untuk membentuk pola jaringan RPK yang sesuai dengan konteks kondisi daerahnya.
Strategi pengadaan dan pengadaan konstruksi (construction site) pada RPK didaerah
dapat diadaptasi sesuai kondisi ketersediaan material dan peralatan konstruksi, sistem
administrasi pemerintahan daerah, dan kondisi geografis. Penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran pola RPK di salah satu daerah otonom, dan dapat
dijadikan contoh bagi daerah lain dalam penerapan konsep RP. Seluruh strategi
pembentukan pola RPK adalah proses pembentukan proses pelaksanaan dan
penyediaan konstruksi yang akan memberi nilai tambah (value added) dan akan
mengurangi waste. Penguatan strategi kemitraan (partnering) dan inovasi perlu terus
dilakukan pada proyek-proyek di daerah seiring pelaksanaan otonomi daerah sehingga
dapat diperoleh penguatan konsep pola RPK yang sesuai dengan proyek-proyek yang
dikelola oleh daerah-daerah otonom. Oleh karena penelitian ini menggunakan satu
studi kasus maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperoleh penomena
pola RPK di seluruh daerah otonom dengan pendekatan kuantitatif sehingga diperoleh
gambar menyeluruh penerapan pola RPK di Indonesia.

PENDAHULUAN

Sejak dicanangkannya otonomi daerah maka sebagian besar kewenangan pemerintah


pusat di alihkan ke pemerintah daerah, begitu pula kewenangan pemerintah pusat
dalam hal ini beberapa penyediaan infrastruktur fisik oleh Kementerian Pekerjaan
Umum diserahkan kepada pemerintah daerah melalui dinas pekerjaan umum di tiap
tingkatan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dengan jumlah
kabupaten kota 497 dan jika ditambah pemerintah provinsi maka daerah otonomi akan
berjumlah 530 (Kemendagri, 2010). Jumlah pemerintah daerah yang besar dan
tersebar ini akan menunjukkan pemindahan sebuah rantai pasok konstruksi (RPK)
dalam konteks nasional kepada rantai pasok konstruksi (RPK) dalam konteks regional
(daerah).
Pada struktur pasar industri konstruksi nasional telah terjadi ketimpangan struktur
pasar, yang secara hipotetik, sekitar 85% nilai pasar konstruksi dikuasai oleh
kontraktor non kecil dengan jumlah sekitar 15% dari total 160.000 badan usaha,
sedangkan sekitar 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecil
dengan jumlah sekitar 85% dari total 160.000 badan usaha (Suraji dan Pribadi, 2012).
Keadaan ini tentunya menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi skala kecil
menjadi tidak sehat dan terdistorsi. Selanjutnya akan muncul pertanyaan adalah
bagaimana menstrukturkan kembali sistem industri konstruksi (restructuring the
industry) sehingga para pelaku usaha sektor khususnya perusahaan kontraktor tersebut
mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan kemudian juga mampu memperluas
pangsa pasar di luar negeri dan dapat terjadi keadilan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pekerjaan konstruksi yang sama bagi kontraktor kecil. Salah satu solusi
yang ditawarkan adalah kebijakan RPK, kebijakan ini mencakup perkuatan sistem
subletting, subcontracting dan partnership.

Perkuatan rantai pasok perlu memisahkan antara pembinaan dari pengelolaan proyek,
untuk pembinaan dari kontraktor besar kepada kontraktor kecil, menengah dan
spesialis sebagai bagian dari keluarga rantai suplainya. Kebijakan rantai pasok ini
perlu didukung dengan pembatasan dominasi kontraktor besar badan usaha milik
negara di berbagai daerah dengan menyediakan kuota pasar bagi subkontraktor kecil
menengah di daerah. Dalam rangka mentransformasi kontraktor kecil menengah
menjadi spesialis, suatu pengkajian pangsa pasar dan kebutuhan pendampingan teknis
perlu dilakukan secara komprehensif serta pemberlakuan persyaratan bahwa
kontraktor besar terutama BUMN untuk memberikan porsi minimum 20% dari total
kontrak pekerjaan konstruksi disubkontrakkan kepada kontraktor kecil menengah
spesialis (Abduh, 2012).

Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan sebuah penjabaran akan pentingnya


penerapan RPK di level mikro dalam hal ini penerapannya di daerah atau kabupaten,
kondisi ini menjadi tantangan tersendiri apalagi setelah dicanangkannya otonomi
daerah dan banyaknya daerah otonomi yang akan menerapkan sistem manajemen
RPK. Oleh karena itu pada tulisan ini akan dikaji permasalahan yang telah disajikan
pada latar belakang di atas yakni seperti apa pembentukan pola jaringan RPK dan
bagaimana proses pembentukannya pada proyek-proyek di daerah yang dikelola oleh
daerah otonomi melalui pemerintah daerah (pemda). Pada penelitian ini akan dipilih
sebuah studi kasus yang mengimplementasikan strategi yang sesuai dengan konsep
MRPK (manajemen rantai pasok konstruksi), sistem administrasi proyek pemerintah
(dinas pekerjaan umum – PU) dan sinergi pelaksanaan pada level proyek
(construction site).

II. Literature Review

RP merupakan suatu konsep yang awalnya dikembangkan pada industri manufaktur,


konsep ini kemudian diadopsi pada industri konstruksi untuk pencapaian efisiensi
mutu, waktu dan biaya yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dalam
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, serta kepuasan pelanggan.

Vrijhoef (2011) menyatakan bahwa manfaat utama dalam mengadopsi konsep RP dari
manufaktur adalah untuk meningkatan kinerja pelaksanaan proyek konstruksi, seiring
semakin meningkatnya pekerjaan pengulangan, besarnya kapasitas, semakin
terintegrasi dan terstandarisasinya sebuah proyek maka diperlukan efektifitas dan
efisiensi yang terintegrasi dalam organisasi dan proses manajemen untuk
menghasilkan produk yang khas dengan waktu yang terbatas. Kondisi ini akan
menjadi hal yang berharga dan penting untuk mengadopsi konsep RP yang akan
diterapkan pada sektor konstruksi yang diketahui bersama memiliki beberapa
kelemahan seperti kompleks, terfragmentasi, dan temporal.

Konsep RPK sebenarnya telah ada pada manajemen proyek tradisional, dimana
terjadinya proses pengadaan secara sederhana yang digambarkan apabila persediaan
material di lokasi proyek yang sudah menipis dan diukur dari safety stock yang telah
ditentukan, atau adanya rencana pemakaian material oleh pihak pengguna di proyek,
dan kemudian pihak yang menganalisa kebutuhan mengirimkan catatan kebutuhan
yang meliputi jenis, dan jumlah material serta informasi waktu kapan material
tersebut dibutuhkan, sehingga pihak pengadaan dapat memperkirakan waktu
pembeliannya (Huston, 2001 dalam Rahmadi, 2008). Sehingga dapat dikatakan jika
konsep RPK merupakan konsep baru yang lebih luas dari logistik dan distribusi, Serta
RPK lebih mengutamakan pengurangan waste di setiap jaringannya dan peningkatan
value–added pada setiap jaringannya. Beberapa definisi RPK dari beberapa peneliti
sebagai berikut :
Tabel 1. Definisi Rantai Pasok Konstruksi dari Beberapa Peneliti.

Definisi Penulis
Keterlibatan jaringan organisasi mulai dari (Vrijhoef
hubungan hulu (upstream) hingga ke hilir dan
(downstream), dalam proses dan kegiatan yang Koskela,
berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang 1999)
bernilai hingga sampai kepada pelanggan terakhir.
“… lebih dari sebuah gerakan fisik barang “dari Ayers
satu lokasi ke lokasi yang lain”, berisi informasi, (2001)
perpindahan uang, penciptaan dan penyebaran
modal intelektual atau “pekerjaan pengetahuan”.
“sebuah proses siklus hidup yang meliputi barang, Joel
informasi, keuangan dan arus pengetahuan yang Sutherland
tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pengguna dalam
akhir dengan produk dan layanan yang terhubung Ayers
dengan beberapa pemasok” (2001)
“Sebuah rantai pasokan yang terdiri dari semua Chopra
tahapan yang terlibat, baik langsung atau tidak dan
langsung, dalam rangka memenuhi permintaan Meindl
pelanggan. Rantai pasokan ini tidak hanya (2007)
mencakup produsen dan pemasok tetapi juga
transportasi, gudang, pengecer, dan pelanggan itu
sendiri”
“jaringan perusahaan-perusahaan yang secara Pujawan
bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan (2005)
menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai
akhir….termasuk didalamnya supplier, pabrik
distributor, toko/ritel serta perusahaan pendukung
seperti perusahaan logistik”
“urutan peristiwa/kejadian yang mencakup seluruh Blanchard
siklus hidup suatu produk, sejak tahap konsep (2010)
hingga konsumsi”.
“melibatkan sekumpulan organisasi atau sebuah Hatmoko
jaringan perusahaan dimana bekerja sama untuk (2008)
menyediakan material, pelayanan, informasi dari
sumber kepada pengguna akhir.

Jadi berdasarkan definisi-definisi yang disajikan oleh beberapa peneliti maka RPK
merupakan keterlibatan jaringan berbagai pihak atau organisasi (supplier, manufaktur,
distributor dan retailer) yang saling berhubungan mulai dari hulu (upstream) hingga
ke hilir (downstream) dalam bekerja sama untuk menyediakan material, pelayanan,
informasi dari sumber kepada pengguna akhir. Secara lebih jelas alur tersebut
digambarkan oleh Vrijhoef (1998) pada Gambar 1.

Gambar 1. Representasi Konseptual Rantai Pasok Konstruksi (Vrijhoef, 1998)

Secara tradisional pembentukan RPK telah terlihat melalui suatu proses produksi,
diawali pada tahap penawaran, ketika jaringan RPK suatu kontraktor akan memiliki
daya saing tertentu terhadap jaringan RPK dari kontraktor lainnya dalam
memenangkan tender. Pada tahap ini menunjukkan bahwa persaingan yang terjadi
bukan lagi persaingan antar perusahaan konstruksi secara individu, namun merupakan
persaingan antar jaringan RPK atau antar jaringan perusahaan-perusahaan yang
tergabung dalam suatu hubungan proses produksi konstruksi, yang ditawarkan dalam
bentuk penawaran. Selanjutnya dalam tahap pelaksanaan terjadi proses pengadaan
yang dilakukan oleh kontraktor dalam penyusunan jaringan RP-nya. Pada bagian ini
akan menentukan seberapa besar tingkat efisiensi yang terjadi didalam proses
produksinya hingga mengahasilkan produk dan jasa yang sesuai dengan nilai (value)
yang diinginkan oleh pemilik (owner). Kondisi ini seperti yang dikatakan oleh
Christopher (1998) bahwa persaingan yang sesungguhnya terjadi dimasa yang akan
datang adalah persaingan antara jaringan RP.

Pada penelitian terdahulu yang bertujuan untuk mencari pola RPK pada proyek,
Vaidyanathan (2009) memperkenalkan pola RPK pada proyek konstruksi pada
Gambar 2. Pola yang ditawarkan menunjukkan penyediaan layanan yang memiliki
nilai tambah (value added) oleh beberapa komponen arsitek, engineer, kontraktor,
manajer proyek, dan finansial. Sehingga dapat dikatakan jika seluruh komponen
dalam proses konstruksi memiliki peran yang lebih aktif dari pada bidang manufaktur.
Singkatnya waktu dan produk yang dihasilkan dalam satu kali produksi membuat
desainer/arsitek dan engineer memainkan peran yang sangat besar dalam sebuah
proses RPK.

Gambar 2 Pola RPK menurut Vaidyanathan (2009)

Selanjutnya pada penelitian di Indonesia, Susilawati (2005) mengkaji pola RPK


dengan menganalisis proyek konstruksi yang dikerjakan oleh kontraktor pada tingkat
pusat dan pada tingkat perusahaan. Pada tingkat proyek ditemukan adanya peran
owner yang besar dalam menentukan keluasan jaringan RPnya. Hal ini bermula pada
pemilihan metode kontrak yang dilakukan oleh owner, yang akan menunjukkan
pihak-pihak mana saja yang akan berperan dalam penyusunan jaringan RPKnya, dan
seberapa luas jaringan RP dari pihak-pihak tersebut. Peran owner ini ditemui
khususnya pada produk konstruksi yang memiliki tujuan investasi. Munculnya
hubungan yang memposisikan kontraktor, spesialis, dan subkontraktor dalam pola
hubungan yang setara, serta terjadinya hubungan langsung antara owner dengan
penyedia material yang potensial merupakan pola khusus yang teridentifikasi dalam
produk konstruksi jenis ini. Namun produk konstruksi yang tidak memiliki tujuan
investasi, maka kontraktorlah yang berperan dalam penyusunan jaringan RPKnya,
dalam pola hubungan yang umum terjadi. Sedangkan pada tingkat perusahaan dari
tiga kontraktor X, Y dan Z, diperoleh temuan bahwa kontraktor memiliki tiga
kebijakan yang berbeda dalam melakukan pengadaannya (kebijakan sentralisasi,
desentralisasi dan modifikasi dari keduanya) yang akan membedakan proporsi
kewenangan pengadaan yang dilakukan oleh tingkat pusat dan tingkat proyek.
Dengan melihat refleksinya pada jaringan RPK pada masing-masing proyeknya,
diketahui bahwa ketiga kebijakan tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan
sepenuhnya. Walaupun konsep RP masih terbatas penerapannya dalam konstruksi,
pembelian secara terpadu yang dilakukan oleh kontraktor telah menunjukkan bahwa
cikal bakal penerapan konsep ini sudah mulai dilakukan oleh kontraktor pada tingkat
pusat dalam bentuk kontrak payung. Pola RPK yang diperoleh pada penelitian ini
dibagi menjadi dua yakni pola umum dan khusus yang disajikan dalam Gambar 3 dan
Gambar 4.

Gambar 3. Pola Umum dalam Rantai Pasok Konstruksi (Susilawati, 2005).

Gambar 4. Pola Khusus dalam Rantai Pasok konstruksi (Susilawati, 2005).

Pada penelitian lainnya tentang pola RPK, Juarti (2008) memaparkan pola RPK yakni
dari tiga belas pola RP pengembangan perumahan yang ditinjau diperoleh pola umum
dan pola khusus yang terjadi. Pola umum dibentuk berdasarkan hubungan kontrak
yang terjadi antara pengembang dengan pihak lain dalam mengembangkan
perumahan. Pola umum tersebut diidentifikasi pada tahap desain/perancangan
perumahan dan tahap pelaksanaan konstruksi perumahan. Dalam pola umum tersebut
terjadi 6 variasi pola khusus yang dasar pembentukan polanya didasarkan atas
keterlibatan pihak pengembang dalam pengadaan barang dan/jasa dalam
pengembangan perumahan.

Berdasarkan pada penelitian terdahulu tersebut maka dirasa perlu mengembangkan


sebuah kajian pendahuluan tentang pola RPK pada proyek skala mikro yang dikelola
oleh pemerintah daerah, bernilai kecil dan berjumlah banyak serta banyak dipengaruhi
oleh organisasi pemerintah.

III. Maksud dan Tujuan Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pola RPK yang
terjadi pada proyek jalan dan jembatan yang dikelola oleh pemerintah daerah melalui
Dinas Pekerjaan Umum. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
pola-pola RPK yang terdapat dalam praktek proyek-proyek jalan dan jembatan di
Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

IV. Metodelogi Penelitian


Penelitian ini dirancang berdasarkan studi kasus pada proyek jalan dan jembatan yang
dilakukan pada Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bidang Bina Marga, yang masing-
masing ditinjau pada tingkatan manajemennya – tingkatan organisasi proyek. Untuk
menjawab tujuan penelitian maka akan di cari pola jaringan RPK, seperti apa yang
dapat diidentifikasi dari praktek yang dilakukan oleh dinas selama ini. Proses ini
dilakukan melalui pendekatan kajian pada proyek-proyek yang dilakukan selama
tahun 2005 – 2012 secara menyeluruh. Artinya tidak fokus pada siapa pihak yang
akan teridentifikasi berkontrak dengan dinas (owner). Sehingga diharapkan diperoleh
gambaran menyeluruh dari pola RP yang ada dalam praktek.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis dan bahasan yang dilakukan berdasarkan kerangka studi kasus pada
penelitian ini berdasarkan pada pelaksanaan proyek jalan dan jembatan pada Bidang
Bina Marga-Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumba Timur. Teknik analisis yang
dilakukan dengan mengidentifikasi beberapa aspek yang ditinjau pada setiap
tingkatan pelaksanaan proyek. Analisis dilakukan pada tingkat proyek Bidang Bina
Marga (BM) dan pada tingkat pelaksanaan oleh kontraktor sebagai rekanan Dinas
Pekerjaan Umum. Selanjutnya untuk memvalidasi setiap proses identifikasi pola
RPK, dilakukan wawancara mendalam terhadap beberapa pihak terkait yakni: kepala
dinas Pekerjaan Umum, Kepala Bidang Bina Marga, PPK (pejabat pembuat
komitmen), ketua panitia lelang dan anggota, pengawas lapangan, beberapa
kontraktor terpilih dan unsur diluar dinas PU (bapeda, anggota DPRD, bagian
keuangan Setda). Dari analisis dan identifikasi penerapan RPK diperoleh hal-hal
sebagai berikut:

• Proyek jalan dan jembatan kabupaten dimulai dengan inisiatif pemilik proyek
(owner) dalam hal ini Pemerintah Daerah melalui Bidang Bina Marga-Dinas
Pekerjaan Umum.
• Proyek jalan kabupaten dan jembatan merupakan proses proyek yang dikelola
oleh pemerintah sebagai pemilik proyek melalui Dinas PU / BM.
• Banyaknya proyek jalan bernilai kecil (K, <1 Milyar) dengan item pekerjaan
lapen dan agregat (sekitar 80%) berjumlah 20-30 paket dan jembatan dengan
bentang 6-12 meter berjumlah 2-4 paket, sedangkan sisanya paket pekerjaan
bernilai M (>1Milyar) untuk pekerjaan hotmix (2-3 paket).
• Karena hampir seluruh paket pekerjaan jalan menggunakan alat perataan
permukaan dalam rangka membentuk permukaan secara mekanis, maka
digunakan Grader (terdapat dua jenis yakni motor grader dan towed grader,
ditarik dengan traktor untuk penggeraknya, Wigroho dan Suryadharma, 1993).
Namun investasi untuk motor grader sangat besar sedangkan kontraktor kecil
belum mampu untuk menyediakan, sehingga hampir semua kontraktor kecil
akan menyewa pada Dinas PU sebagai satu-satu pemilik. Maka pekerjaan
perataan akan disubkontrakkan dan pendapatan tersebut di masukan sebagai
pendapatan daerah (PAD).
• Kondisi di atas berpengaruh pada strategi pengadaan yang dilakukan oleh
dinas untuk memperhatikan kemampuan dari kontraktor K (<1milyar),
memberi peluang kontraktor kecil memperoleh pekerjaan dan pengaturan
jadwal pelaksanaan pekerjaan.
• Alat pemecah batu (stone crusher) yang selama ini digunakan bersifat
tradisional (dibutuhkan mobilisasi dan pemasangan yang membutuhkan waktu
lama), maka kontraktor didorong untuk melakukan strategi pengadaan
material dengan berinovasi dari alat produksi aggregat konvensional statis
(stone crusher) ke alat produksi dinamis yakni stone crusher dump truck.
Strategi ini dilakukan agar tidak terlalu lama dalam mobilisasi dan mensetting
alat stone crusher, letak geografis yang sulit turut menambah lama waktu
operasionalisasi produksi agregat. Pada tahun 2010 baru tersedia satu alat
stone crusher dump truck, yang dimiliki oleh satu kontraktor.
• Penggunaan inovasi stone crusher dump truck ini dapat mendorong dinas PU
untuk dapat memfasilitasi para kontraktor untuk melakukan kemitraan
(partnering) sehingga paket pekerjaan dapat mempersingkat waktu pekerjaan
dan atau kontraktor dapat melakukan sub-kontraktor pekerjaan pada
kontraktor lainnya.
• Strategi pengadaan alat konstruksi lainnya dengan inisiatif investasi alat motor
grader oleh Dinas Pekerjaan Umum melalui Bidang Bina Teknik dan
Peralatan untuk pekerjaan perataan/leveling. Karena pengadaan alat ini
memerlukan investasi awal yang besar sehingga seringkali kontraktor-
kontraktor kecil kesulitan mengadakan atau menginvestasikannya
membutuhkan biaya yang besar. Peranan Dinas PU melalui Bidang Bina
Teknik dan Peralatan akan mengadakan alat tersebut sehingga kontraktor kecil
dapat mensubkontrakkan pekerjaan atau dengan sistem sewa alat dan dengan
biaya sewa yang bayarkan kepada pemerintah berupa pendapatan daerah.
• Pemecahan paket proyek untuk pengadaan pada paket jalan dan jembatan
kabupaten, merupakan strategi pengadaan pada jaringan rantai pasok
konstruksi dengan tujuan pemerataan paket pekerjaan bagi kontraktor lokal
yang berjumlah lebih besar dari kontraktor besar.
• Strategi pembagian paket tersebut merupakan strategi untuk mengatasi kondisi
geografis luas dan sulit terjangkau, paket pekerjaan jalan dan jembatan yang
tersebar di berbagai wilayah dan lokasi, dan waktu pelaksanaan yang sangat
singkat. Sehingga strategi ini dapat mengurangi kondisi keterbatasan di
daerah.
• Peran pemasok/supplier banyak diambil oleh supplier aspal dan semen, yang
mendatangkan material tersebut dari luar pulau (pulau Jawa) dan
pemesanannya juga harus menyesuaikan kepastian memperoleh paket
pekerjaan. sedangkan material agregat dan batu ketersediaannya cukup di
seluruh Kabupaten Sumba Timur.
• Kontraktor mengadakan strategi pengadaan material dan peralatan konstruksi
non lokal dengan memesan dari luar pulau (Surabaya) sesuai estimasi
kebutuhan pekerjaan hal ini untuk mengantisipasi keterlambatan pengiriman
dengan melalui kapal laut yang sangat tergantung pada cuaca.
• Strategi partnering pun diadakan diantara para kontraktor lokal dengan
pemakaian peralatan konstrukai bersama dengan sistem sewa alat dengan
mempertimbangkan kemampuan alat dan waktu. Sedangkan strategi
partnering material lokal dan non lokal dilakukan bila kontraktor yang
bersangkutan telah memesan namun tidak memperoleh pekerjaan (tender
pekerjaan).
• Paket pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dinas PU bidang BM, tidak
hanya menyangkut paket pekerjaan jalan dan jembatan kabupaten tetapi juga
jalan propinsi dan jalan negara dimana Dinas Pekerjaan kabupaten sebagai
pembina jalan di wilayah kabupaten dan juga memiliki jalan dan jembatan
yang memiliki status jalan Negara dan Jalan Provinsi, selain itu terdapat pula
paket pekerjaan berupa paket pekerjaan swakelola, yang dikerjakan sendiri
oleh dinas PU. Sehingga Bidang BM akan melalukan strategi dan kebijakan
yang akan mensinkronkan dengan tugas dan fungsi utama dinas PU
kabupaten.
• Hal dilakukan karena beberapa pekerjaan tersebut akan melibatkan beberapa
staf dan tenaga lapangan serta peralatan yang sama pada pekerjaan proyek
jalan dan jembatan kabupaten.
• Selanjutnya akan dijelaskan pola gambaran RPK pada proyek jalan dan
jembatan kabupaten berupa pola RPK paket pekerjaan besar M (bernilai >
1milyar) dan pola RPK paket pekerjaan kecil K (bernilai < 1 milyar) serta
disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Pola Rantai Pasok Konstruksi Paket Pekerjaan Besar M. (> 1 Milyar)

Gambar 6. Pola Rantai Pasok Konstruksi Paket Pekerjaan Kecil K. (< 1 Milyar).

Pola di atas dapat diperoleh gambaran owner made product. Hal ini sesuai dengan
peran owner atau dinas PU sebagai pemilik proyek pemerintah. Inisiatif terjadinya
proses produksi konstruksi yang dimulai dari owner (dinas PU) dan diakhiri oleh
owner, sehingga peran yang besar dari owner untuk membentuk jaringan RPK pada
proyek jalan dan jembatan.

Produk konstruksi jalan dan jembatan yang diproduksi memiliki tujuan penyediaan
barang publik untuk fasilitas infrastruktur yang mendukung pembangunan di daerah,
sehingga peran pemda melalui dinas PU untuk membentuk jaringan RPK yang efisien
dan efektif.

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan pola tersebut dibedakan berdasarkan nilai


proyek, perbedaan tersebut memudahkan dalam memonitoring dan evaluasi.
Konstribusi paling mendasar dalam pembentukan pola jaringan ini adalah owner
dalam hal ini dinas PU untuk mengkolaborasikan aspek manajemen proyek konstruksi
dengan tata kelola administrasi birokrasi pemerintah dan menjadikan sinergi dan
efektif.
Pada pola RP manufaktur yang lebih stabil, maka pola RPK pada proyek pemerintah
ini memiliki karakteristik jaringan RPK yang bersifat sementara (temporal
organization), terbatas pada saat proyek dilaksanakan, maka diperlukan usaha untuk
menstabilkan hubungan yang ada, dapat dilakukan dengan menerapkan konsep
partnering. Potensi hubungan partnering disesuaikan dengan tingkatan dan peran
organisasi proyek, Seperti dijelaskan di atas.

SIMPULAN

Beberapa simpulan yang diperoleh pada penelitian ini sebagai berikut :

• Peluang dan tantangan otonomi daerah turut mempengaruhi sektor konstruksi


untuk melakukan efesiensi proses konstruksi melalui penerapan RPK.
• Banyaknya daerah otonom baru, secara tidak langsung turut mempengaruhi
setiap daerah untuk membentuk pola jaringan RPK yang sesuai dengan
konteks kondisi daerahnya.
• Strategi pengadaan dan pengadaan konstruksi (construction site) pada RPK
didaerah dapat diadaptasi sesuai kondisi ketersediaan material dan peralatan
konstruksi, sistem administrasi pemerintahan daerah, dan kondisi geografis.
• Seluruh strategi pembentukan pola RPK adalah proses pembentukan proses
pelaksanaan dan penyediaan konstruksi yang akan memberi nilai tambah
(value added) dan akan mengurangi waste.
• Penguatan strategi kemitraan (partnering) dan inovasi perlu terus dilakukan
pada proyek-proyek di daerah seiring pelaksanaan otonomi daerah sehingga
dapat diperoleh penguatan konsep pola RPK yang sesuai dengan proyek-
proyek yang dikelola oleh daerah-daerah otonom.

REKOMENDASI

Rekomendasi pada penelitian lanjutan yakni perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
memperoleh penomena pola RPK di seluruh daerah otonom dengan pendekatan
kuantitatif sehingga diperoleh gambar menyeluruh penerapan pola RPK di Indonesia.

REFERENSI
Abduh, M. (2012). Rantai Pasok Konstruksi Indonesia. Konstruksi Indonesia 2012,
Harmonisasi Rantai Pasok Konstruksi: Konsep, Inovasi dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruksi.

Ayers, J. B. (2001). Handbook of Supply Chain Management. CRC Press LLC.

Blanchard, D. (2010). Supply Chain Management Best Practices : Second Edition.


New Jersey – USA: John Wiley & Sons, Inc.

Chopra, S. & Meindl, P. (2007). Supply Chain Management; Startegy, Planning, dan
Operation, Third edition. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Christopher, M. (1998). Logistics and Supply Chain Management, Second edition.


Prentice Hall.

Hatmoko, J. U. D. (2008). The Impact of Supply Chain Management Practice on


Construction Project Performance – PhD. Dissertation. Newcastle – UK: Newcastle
University.

Juarti, E. R. (2008). Kajian Pola Rantai Pasok Pengembangan Perumahan, Tesis


Master. Bandung: Program Magister Teknik Sipil, Pengutamaan Manajemen dan
Rekayasa Konstruksi – Institut Teknologi Bandung.

Kemendagri. (2010). Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Edisi: Juni


2009. Ditjen Otonomi Daerah Depdagri. Retrieved January 11, 2013, from
http://www.kemendagri.go.id/basis-data/2010/01/28/daftar-provinsi

Pujawan, N. (2005). Supply Chain Mangement – Edisi Pertama. Surabaya: Penerbit


Guna Widya.

Rahmadi, M. A. (2008). Kajian Penerapan Manajemen Supply Chain Pada Proyek


Konstruksi (Studi kasus pada PT. X), Tesis-Master. Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Suraji, A. & Pribadi, K. S. (2012). Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional


Yang Kokoh, Andal Dan Berdayasaing Serta memberikan Kesempatan Kepada Para
Pelaku Usaha Tumbuh Dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem.
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) Jakarta. Retrieved from
lpjk.net/download/Updated_Konsep_Consolidated_Position_Paper.pdf

Susilawati. (2005). Studi Supply Chain Konstruksi Pada Proyek Konstruksi Bangunan
Gedung, Tesis Master. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Vaidyanathan, K. (2009). Overview of IT Applications in the Construction Supply


Chain. Construction Supply Chain Management, (O’Brien, W.J., Formoso, C.T.,
London, K.A., dan Vrijhoef, R.). New York – USA: CRC Press LLC.

Vrijhoef, R. (1998). Co-makership in Construction-Towards Construction Supply


Chain Management, Tesis. Delft: Delft University of Technology.

Vrijhoef, R. (2011). Supply Chain Integration in the Building Industry: The


Emergence of Integrated and Repetitive Strategies in a Fragmented and Project –
Driven Industry, Ph.D. Dissertation. Amsterdam: Delft University Press – IOS Press.

Vrijhoef, R., & Koskela, L. (1999). Roles of Supply Chain Management in


Construction. Proceedings IGLC (Vol. 31, pp. 133–146). Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0969701200000137

Wigroho, H.Y., & Suryadharma, H. (1993). Pemindahan Tanah Mekanis.


Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai