Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. PENGERTIAN DAN LATAR FILOSOPIS

Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan


untuk mempersiapkan warga negara berfikir kritis dan bertindak demokratis,
melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi
adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat. Lebih tegas dikatakan Pendidikan Kewarganegaraan membangun
kesiapan warga negara menjadi warga dunia (Global Society).
Undang-undang no. 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 39 ayat 2 menyebutkan bahwa isi Kurikulum wajib memuat : 1. Pendidikan
Pancasila, 2. Pendidikan Agama dan 3. Pendidikan Kewarganegaraan. Di
Perguruan Tinggi Pendidikan Kewarganegaraan diejawantahkan salah satunya
melalui mata Kuliah Pendidikan Kewiraan. Yang diajarkan pada masa Orde Baru.
Seiring dengan perkembangan Politis dari era otoriterian ke era demokratisasi.
Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan Kewiraan dianggap
sudah tidak relevan dengan semangat reformasi dan demokratisasi. Pendidikan
Kewiraan ditinggalkan karena berbagai alasan, antara lain; Pola pembelajaran
yang indoktrinatif dan monolitik, dan mengabaikan dimensi afektif dan
psikomotorik.
Secara histories, Kurikulum Pendidikan Nasional yang khusus mengemban
misi Demokrasi adalah: Civics (tahun 1957-1962), Pendidikan Kemasyarakatan
(tahun 1964), Pendidikan Kewargaan Negara (tahun 1968-1969), Pendidikan
Kewargaan Negara, Civics dan Hukum (tahun 1973), PMP (tahun 1975-1984), dan
PPKn (tahun 1994), di Tingkat Perguruan Tinggi ada mata kuliah Manipol dan
USDEK, Pancasila dan UUD 1945 (tahun 1960-an), Filsafat Pancasila (tahun 1970
sampai sekarang), Pendidikan Kewiraan (tahun 1989-1990-an) dan Pendidikan
Kewarganegaraan (tahun 2000-sekarang). Nama mata Kuliah Kewarganegaraan,
ada fakar lain menyebutnya dengan nama Pendidikan Kewargaan (Civic
Education) seperti Azyumardi Azra (Tim ICCE: : Indonesian Central of Civic
Education)

A. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Dasar Kelompok MPK


1. Pentingnya Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Bahwa di Negara maupun di dunia ini akan menginginkan Negara dan
bangsanya tetap berdiri tegak, berbagai upaya akan dilakukan tidak terkecuali
melalui dunia pendidikan, oleh karena itu dalam General Education/Humanities
selalu ada materi sebagai pembekuan dasar sikap prilaku bangsanya, seperti di:
- Amerika Serika mempunyai:
History, Humanity, and Philosophy
- Jepang mempunyai:
Japanese History, Ethis, Philosophy and Science Religion
- Philipina mempunyai:
Philipino, Family Planning, Taxion and Land Reform, ThePhilipina New
Constitution, Study of Human Right
- Indonesia mempunyai:
Agama, Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan

2. Rasionalisasi Pendidikan
Pendidikan hakekatnya sebagai upaya sadar dari masyarakat dan
pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan
generasi penerusnya selaku warga masyarakat, bangsa dalam Negara, secara
berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan dengan dinamika
perubahannya karena adanya pengaruh global.
Untuk menjawab itu dibutuhkan pembekuan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni yang berlandaskan nilai-nilai keagamann dan nilai-nilai budaya bangsa
yang dapat menjadi pedoman hidup warga Negara.
Keanekaragaman suku, adapt-istiadat, dan agama serta berada pada
ribuan pulau yang berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan untuk
terjadi keanekaragaman kehendak dalam Negara karena tumbuhnya sikap
premordalisme sempit, yang akhirnya dapat terjadi konflik yang negative, oleh
karena itu dalam pendidikan dibutuhkan alat perekat bangsa dengan adanya
kesamaan cara pandang tentang misi dan visi Negara melalui wawasan nusantara
sekaligus akan menjadi kemampuan menangkal ancaman pada berbagai
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Kompetisi yang Diharapkan dari Pendidikan Kewarganegaraan


 Hakekat Pendidikan
Masyarakat dan pendidikan suatu Negara berupaya untuk menjamin
kelangsungan hidup serta kehidupan generasi penerusnya secara berguna
(berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan
kemampuan koknitif dan spikomotorik). Generasi penerus tersebut diharapkan
akan mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan
selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dan hubungan
internasional. Pendidikan tinggi tidah dapat mengabaikan realita kehidupan global
yang digambarkan sebagai perubahan kehidupan yang penuh paradoks dan
ketakterdugaan. Karena itu Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan agar kita
memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola
piker, pola sikap dan prilaku sebagai pola tindak cinta tanah air berdasarkan
pancasila. Semua itu diperlukan demi tetap utuhnya dan tegaknya NKRI.
 Kemampuan Warga Negara
Tujuan utama Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan
wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta prilaku yang cinta tanah air dan
bersendikat kebudayaan bangsa, wawasan nusantara serta ketahanannasional
dalam diri para mahasiswa calon sarjana/ilmuan warga Negara NKRI yang sedang
mengkaji dan akan menguasai IPTEK dan seni. Kwalitas warga negara akan
ditentukan terutama oleh keyakinan dan sikap hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara disamping derajat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dipelajari.
Berkaitan dengan pemupukan nilai, sikap, dan kepribadian seperti yang
tersebut diatas, pembekalan pada peserta didik di Indonesia dilakukan melalui
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara, Ilmu social Dasar, Ilmu Budaya dasar, dan
Ilmu Alamiah Dasar sebagai latar aplikasi nilai dalam kehidupan yang disebut
kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) kurikulum perguruan
tinggi.
 Dasar Pemikiran Pendidikan Kewarganegaraan
Jiwa patriotic, rasa cinta tanah air, semangat kebangsaan, kesetiakawanan
social, kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan
dikalangan mahaisiwa hendak dipupuk melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Kehidupan kampus pendidika tinggi dikembangkan sebagai lingkungan ilmiah yang
dinamis, berwawasan budaya bangsa, bermoral keagamaan dan berkepribadian
Indonesia.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional
menyebutkan bahwa kurikulum dan isi pendidikan yang memuat Pendidikan
Pancasila, Pendidikan agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan terus
ditingkatkan dan dikembangkan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Itu
berarti bahwa materi instruksional Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan
tinggi harus terus-menerus ditingkatkan, metodologi pengajarannya dikembangkan
kecocokannya dan efektifitas manajemenpembelajarannya termasuk kwalitas dan
prospek karir pengajarnya.
 Kompetensi yang Diharapkan
Kompetisi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh rasa
tanggung jawab yang harus dimiliki oleh seorang pengajar agar Ia mampu
melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.
Adapun kompetensi yang diharapkan dari pendidikan kewarganegaraan
adalah:
- Terbentuknya sikap prilaku dan cara berpikir dari cara berpikir sektoral
pada acra berpikir komperhensif integral dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
- Menumbuhkan rasa cinta tanah air sehingga rela berkorban untuk
membela tetap tegaknya Negara dan keutuhan bangsa.

B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan


1. UU No. 2, 1989 tentang system pendidikan nasional dalam pasal 39 yang
memuat klosul jenis-jenis kurikulum pendidikan antara lain kurikulum
pendidikan kewarganegaraan.

2. Penjelasan tentang pasal 39 khusus mengenai pendidikan


kewarganegaraan dikatakan:
a. Ayat 1 mengatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah
hubungan warga Negara, warga Negara dengan Negara serta
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara.
b. Ayat 2 mengatakan untuk Perguruan Tinggi melalui Pendidikan
Kewiraan

3. UU No. 20, 1989 tentang Pokok-Pokok Negara, dalam pasal 17, 18 ataupun
pada UU No. 3 tahun 2000 memberikan penjelasan tentang kewajiban
warga Negara untuk membela Negara melalui Pendidikan Pendahuluan
Bela Negara yang terbagi dalam dua tahapan, yaitu:
a. PPBN tahap awal diberikan dari tingkat TK-SMA
b. PPBN tahap lanjutan diberikan di Perguruan Tinggi disebut Kewiraan

4. Tuntutan Reformasi tentang Supremasi Hukum


Berdasarkan acuan diatas maka Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional menganggap perlu mengadakan
penyesuaian GBPP di perguruan tinggi, yaitu:
a. Kurikulum pendidikan agama, kurikulum pendidikan pancasila dan
kurikulum pendidikan kewarganegaraan dari kelompok mata kuliah
umum (MKDU) menjadi Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian (MKPK)
b. GBPP pendidikan kewiraan menjadi GBPP poendidikan
kewarganegaraan.

5. KEP. MENDIKNAS No. 232/U/2000 tanggal 20 desember 2000 tentang


Pedoman Penyusunan kurikulum DIKTI dan Penilaian Hasil Belajar,
Kurikulum pendidikan tinggi meliputi KURIKULUM INTI dan KURIKULUM
INSTITUSIONAL yang berisikan:
- Kurikulum inti merupakan kelompokbahan kajian pelajaran yang harus
dicakup dalam satu program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang
berlaku secara nasional.
- Kurikulum instutional merupakan sejumlah bahan kajian dan pelajaran yang
merupakan bagian dari kurikulum pendidikn tinggi, terdiri atas tambahan
dari kelompok ilmu dan kurikulum inti yang disusun dengan memperhatikan
keadaan dan kebutuhan lingkungan serta cirri khas perguruan tinggi yang
bersangkutan.
KUTI, MPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian)
MKK (Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan)
MKB (Mata Kuliah Keahlian Berkarya)
MPB (Mata Kuliah Prilaku Berkarya)
MBB (Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat)
KUNAL : Keseluruhan atau sebagian dari KUTI

6. Keputusan Direktorat Pendidikan Tinggi No. 38/U/2002 tentang rambu-


rambu substansi kajian Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian meliputi
anatara lain:
a. Pengantar Penting Kewarganegaraan,
b. Pemahaman Kenegaraan
Melalui pendidikan kewarganegaraan, warga Negara NKRI ini
diharapkan mampu:
- Memehami, menganalisa dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi
oleh masyarakat, bangsa dan Negara secara berkesinambungan dan
konsisten dengan cita-cita serta tujuan nasional seperti yang digariskan
dalam pembukaan UUD 1945
- Mempertahankan jatidiri bangsa yang berjiwa patriotic dan cinta tanah air
didalam perjuangan nonfisik sesuai dengan prospesinya masing-masing.

B. VISI, MISI, DAN TUJUAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Visi Misi dari mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah: Pertama,


kemampuan penguasaan pengetahuan kewargaan (civic knowledge) yang terkait
materi inti Pendidikan Kewarganegaraan (civic education),antara lain Demokrasi,
HAM dan Masyarakat Madani (civil society), dan Kedua, Kecakapan dan
kemampuan sikap kewargaan (civic disposition) antara lain pengakuan
kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keberagaman, kepekaan
terhadap masalah warga negara, ketiga, Kecakapan dan kemampuan
mengartikulasikan keterampilan kewargaan (civic skill) seperti kemampuan
partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan public, kemampuan control
terhadap penyelenggara Negara dan pemerintahan.
Puncak dari perjuangan bangsa kita adalah saat diproklamasikan
kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Semangat
bangsa Indonesia saat itu tercurah dengan pekik kemerdekaan. Di sana sini
terdengar teriakan “MERDEKA”. Bendera merah putih dibentangkan dimana-
mana.
Tapi jika kita lihat kenyataan saat ini, ironis memang. Perjuangan para
pahlawan dengan mengorbankan jiwa dan raga disia-siakan begitu saja. Buktinya,
kini kita tidak lagi menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri. Para pemuda sebagai
cikal bakal bangsa ini, sudah tidak lagi bangga dengan bangsanya. Mereka lebih
memilih kebudayaan barat yang menurut mereka lebih modern dan lebih baik.
Rasa nasionalisme mereka pun sudah sangat berkurang. Selain itu, isu-isu yang
setiap hari mengancam kita, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar tidak
pernah berhenti.
Jika kita mau berpikir sebenarnya mau dikemanakan negeri ini?? Siapa
yang akan mengurus negeri ini?? Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh
hati nurani kita masing-masing.
Banyak usaha yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan rasa
nasionalisme para pemuda. Salah satu contohnya adalah pelaksanaaan upacara
bendera setiap hari Senin dan hari-hari bersejarah. Upacara tersebut bukan hanya
sebagai upaya untuk mengumpulkan siswa atau mahasiswa tetapi sebenarnya arti
dari upacara itu adalah untuk mengingatkan kita akan jasa para pahlawan yang
telah berjuang untuk bangsa ini. Selain itu agar kita menyadari betapa
berharganya bangsa ini.
Selain itu untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa diadakan mata kuliah
umum yang wajib untuk diikuti yakni, Pendidikan Kewarganegaraan yang dulunya
disebut dengan Pendidikan Kewiraan.

C. RUANG LlNKUP PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Pendidikan Kewargaan (CI'CT'C Education) memiliki atas tiga-materi pokok


(core materials) yaitu demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (civil
society). Ketiga materi inti tersebut kemudian dijabarkan menjadi beberapa materi
yang menjadi bahan kajian dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic
Education) yaitu (1) Pendahuluan; (2) Identitas Nasional; (3) Negara; (4)
Kewarganegaraan;
(5) Konstitusi; (6) Demokrasi; (7) Otonomi Daerah; (8) Good Governance;
(9) HaK Asasi Manusia (HAM) dan (10) Masyarakat Madani.
Dengan demikian isi pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
diarahkan untuk nation and character building bangsa Indonesia yang relevan
dalam memasuki era demokratisasi.

D. PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan


menunjukkan bagaimana proses pendidikan berlangsung dan pada tahap
berikutnya akan dapat meramalkan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil dari
proses pendidikan. Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang
menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen,
materi dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praksis),
paling tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal yaitu
paradigma feodalistik dan paradigma humanistik.
Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan
(Perguruan Tinggi) merupakan tempat melatih dan mem persiapkan peserta untuk
masa datang. Oleh karena itu peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan
sebagai obyek semata dalam pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-
satunya sumber ilmu, kebenaran dan informasi, berperilaku otoriter dan birokratis.
Materi pembelajaran disusun secara rigid sehingga memasung kreativitas peserta
didik (mahasiswa) dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan termasuk
manajemen pembelajaran bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam
penerapan strategi pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinadf dan otoriter.
Akibat dari orientasi tersebut, lulusan pendidikan menjadi manusia robot dan tidak
kreatif serta tidak demokratis atau otoriter. Paradigma feodalistik dalam praksis
pendidikan telah berlangsung cukup lama dalam dunia pendidikan nasional mulai
dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Sementara itu paradigma humanistik mendasarkan pada asumsi bahwa
peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang
berbeda-beda. Karena itu, dalam pandangan ini peserta didik (mahasiswa)
ditempatkan sebagai subyek sekaligus obyek pembelajaran, sementara dosen
diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran
yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik,
bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat
kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Model
materi pembelajaran tersebut mendorong terdptanya kelas pembelajaran yang
hidup (life classroom) yang dalam istilah Ace Suryadi disebut sebagai global
classroom. Begitu juga manajemen pepdidikan dan pembelajarannya menekankan
pada dimensi desentralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan
pnggunaan strategi pembelaj'aran yang bervariasi dan demokratis. Untuk itu kelas
pembelajaran Pendidikan Kewargaan, dalam istilah Udin S. Winataputra,
diperlakukan sebagai laboratorium demokrasi di mana semangat
kewarganegaraan yang memancar dari cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan
secara interaktif.
Dalam situasi itu, dosen dan mahasiswa secara bersama-sama
mengembangkan dan memelihara iklim demokrasi. Implikasi dari paradigma
humanistik tersebut, peserta didik (mahasiswa) dimungkinkan menjadi lulusan
yang memiliki kreativitas tinggi, kemandirian dan sikap toleransi yang tinggi,
karena dalam proses pembelajaran telah tumbuh iklim dan kultur yang demokratis.
Karenanya, orientasi Pendidikan Kewargaan (Civic Education), mulai dari
pendidikan dasar sampai Pendidikan Tinggi, harus lebih menerapkan paradigma
humanistik. Dengan paradigma humanistik, pengalaman belajar (learning
experience) yang diterima peserta didik menjadi lebih bermakna dan menjadikan
pengetahuan yang diperolehnya (learning to know) tersimpan dalam memori yang
sejati dan menjadi pendorong untuk selalu belajar tentang masalah demokrasi, hak
asasi manusia dan masyarakat madani (civil society).
Di samping itu, pengalaman pembelajaran yang berorientasi humanistik
membuat peserta didik menemukan jati dirinya (learning to be) sebagai manusia
yang sadar akan tanggung jawab individu dan sosial. Pengetahuan dan kesadaran
diri yang tercipta dari hasil pembelajaran tersebut mendorong peserta untuk
melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari oleh pengetahuan yang
dimilikinya. Apa yang dilakukan oleh peserta didik dimaksudkan dalam rangka
pembelajaran untuk membangun kehidupan bersama (learning to live together).
Kehidupan bersama tersebut dibangun atas dasar kesadaran akan realitas
keragaman dan saling memerlukan.
Learning to Live together menjadi penting, khususnya menghadapi dunia
yang penuh konflik dan banyaknya pelanggaran HAM. Kehidupan yang damai ird
bukan hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat, orang tua,
siswa/mahasiswa, guru/dosen dan semua pihak. Dalam lingkup Asia-Pasifik yang
ditandai dengan keragaman budaya, bahasa, tatanan geografis, sosio-politik,
agama, dan tingkat ekonomi, kaum muda perlu diajarkan kepada keindahan dari
keragaman kultural ini. Learning to live together dalam konteks globalisasi yang
kooperatif berarti juga upaya pelestarian nilai-nilai budaya dan kemanusian
sehingga ada usaha bersama untuk saling mengasihi dalam kehidupan bersama.
Dengan demikian, pembelajaran Pendidikan Kewargaan baik sebagai pendidikan
demokrasi maupun sebagai pendidikan HAM mensyaratkan situasi pembelajaran
yang interaktif, empiris, kontekstual, kasuistis, demokratis dan humanis.
E. URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Tata pemerintahan dan kenegaraan menuju era demokratisasi ditandai
paling tidak oleh beberapa hal yaitu (a) lahirnya kepemimpinan politik nasional
yang dipilih melalui mekanisme demokrasi yaitu proses pemilu yang dalam sejarah
Indonesia dipandang sangat bebas, jujur dan adil serta demokratis; (b) proses
pemilihan kepemimpinan politik nasional dalam sidang umum MPR tahun 1999
yang juga berlangsung sangat demokratis; (c) terjadinya peralihan kekuasan politik
dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati dalam forum Sidang Istimewa MPR
tahun 2001 juga berlangsung damai.
Momentum historis itu sangat berguna bagi terselenggaranya tata
kehidupan politik kenegaraan di tanah air lebih baik. Namun demikian, proses dan
tata kehidupan politik yang telah berjalan dalam usia relatif dini nampaknya belum
memberikan dampak yang mengembirakan dan menunjukkan tanda-tanda yang
meyakinkan (convincing signs), karena masih ditemukan beberapa tindakan
kontra-produktif dan destruktif seperti tindakan pelanggaran HAM, kecenderungan
tindakan yang mengarah pada "destabilisasi", kecenderungan tindakan mobokrasi,
tindak kekerasan, rendahnya penegakan hukum bagi para pelaku pelanggaran
HAM, penyalahgunaan kekuasaan, masih maraknya tindak korupsi, tingginya
pertentangan antara legislatif dengan yudikatif dalam kerangka otonomi daerah
dan sebagainya.
Demokrasi menurut Prof. Dr. A. Syafi'i Ma'arif bukan sebuah umumnya
wacana, pola pikir atau perilaku politik yang dapat dibangun sekali jadi, bukan pula
"barang instan". Demokrasi menurutnya adalah proses yang masyarakat dan
negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan
yang dapat menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara sosial,
ekonomi maupun politik. Dari sudut pandang tersebut demokrasi dapat tercipta bila
masyarakat membangun kesadaran sendiri tentang pentingnya demokrasi dalam
kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, negara sebagai
instrumen politik dan ekonomi suatu bangsa juga harus memiliki kemauan politik
(political will) dan tindakan politik (political action) untuk mendukung terwujudnya
demokrasi.
Proses demokrasi yang baru (disbanding dengan Negara-negara lain,
misalnya Amerika Serikat) dialami bangsa Indonesia dalam era transisi ini berada
dalam situasi carut marut, karena sebagian komponen bangsa masih
menunjukkan dan mempertontonkan perilaku anarkis, akrobat politik yang tidak
berkeadaban dan perilaku destruktif lainnya baik oleh kalangan elit politik dan
pemerintahan maupun oleh massa. Sebagian besar perilaku massa memahami
dan menjalankan demokrasi sebagai ajang kebebasan yang tanpa batas dan
aturan, sedangkan sebagian perilaku elit politik yang seharusnya memberi teladan
demokrasi berkeadaban justru melakukan artikulasi politiknya secara totaliter,
intoleran yang pada akhirnya membuat rakyat miris, muak dan apatis melihatnya.
Hal itu terjadi, seperti dikatakan oleh Azyumardi Azra, karena belum tumbuhnya
demokrasi keadaban (civilitized democracy) atau apa yang dikatakan oleh Robert
W. Heffner sebagai keadaban demokrasi (democratic civility).
Selain itu, masih ada pihak-pihak tertentu yang melakukan pemaknaan
demokrasi secara sepihak yaitu hanya menjadi jargon verbalistik, jualan dan
retorika politik kaum elit tetapi "jauh panggang dari api” praktik demokrasi". Karena
demokrasi dipahaminya hanya -berada dalam alam utopia dan idea, tidak dapat
eksis dalam alam praksis. Daftar kemerosotan keadaban demokrasi dapat dilihat
dengan tidak berdayanya law and order di kalangan masyarakat luas, masih
terpuruknya kewibawaan aparatur penegak hukum dan keamanan, sehingga
sering terjadi proses "hukum dan pengadilan jalanan" terhadap orang-orang yang
disangka melakukan tindak pidana dan kriminal. Situasi demikian semakin
membuat demokrasi terpuruk, yang pada akhimya justru akan menggerogoti iklim
dan kultur demokratis itu sendiri. Dengan demikian, keadaan tersebut jelas tidak
kondusif bagi transisi Indonesia menuju demokrasi, karena demokrasi
berkeadaban hanya dapat terwujud melalui aktor-aktor demokrat (bukan nama
Partai) dari kalangan elit politik dan masyarakat dalam berkata dan bertindak yang
mengedepankan moralitas politik.
Keberhasilan transisi Indonesia ke arah tatanan demokrasi keadaban yang
lebih genuine dan otentik merupakan suatu proses yang komplek dan panjang.
Sebagai proses yang komplek dan panjang transisi Indonesia menuju demokrasi
keadaban tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra, mencakup tiga
agenda besar yang berjalan secara simultan dan sinergis. Pertama, reformasi
konstitusional (constitutional reforms) yang menyangkut perumusan kembali
falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi
kelembagaan (institutional reformis) yang menyangkut pengembangan dan
pemberdayaan lembaga-lembaga politik dan lembaga kenegaraan seperti MPR,
DPR, MA, MK dan sebagainya. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik
(political culture) yang lebih demokratis melalui pendidikan.
Jika pada point pertama dan kedu, reformasi dilakukan pada ttaran lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka menurut Azra, ada point ketiga yakni
pengembangan kultur demokratis harus dilakukan dengan melibatkan semua
segmen masyarakat mulai dari elit politik hingga rakyat awam. Salah satu cara
untuk mengembangkan ultur demokratis berkeadaban adalah melalui Pendidikan
Kewargaan (Civic Education). Dengan demikian pendidikan (Pendidikan
Kewargaan) isa menjadi pilar kelima (the fifth estate) bagi tegaknya demokrasi
berkeadaban.
Pendidikan Kewargaan (Civic Education) dengan demikian harus ciampu
menjadikan dirinya sebagai salah. satu instrumen pendidikan politik yang mampu
melakukan empowerment bagi masyarakat, terutama masyarakat kampus melalui
berbagai program pembelajaran yang mencerminkan adanya rekonstruksi sosial
(social reconstruction) dengan cara demikian, berbagai patologi sosial (penyakit
masyarakat) dapat dianalisis untuk kemudian dicarikan solusi atau terapinya.
Selain tu, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) harus dapat pula dijadikan
ebagai wahana dan instrumen untuk melakukan social engineering lalam rangka
membangun social capital yang efektif bagi tumbuhnya cultur demokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta tumbuhnya
masyarakat madani (civil society). Untuk menjadi pilar penegakan demokrasi
berkeadaban, wndidikan (Pendidikan Kewargaan) harus keluar dari sistem yang
oleh Paulo Freire disebut pendidikan sistem bank (banking system education)
yaitu sistem pendidikan yang sangat rigid, otoriter dan doktriner. Sistem pendidikan
gaya bank tersebut melahirkan budaya bisu (silent culture), juga dapat menjadi
kendaraan politik, kepentingan suatu rezim, karena indoktrinasi, alat
melanggengkan kekuasaan suatu rezim dan pemasungan kreativitas manusia.
Dalam sistem pendidikan itu, proses yang berlangsung hanya proses pengajaran
yaitu kegiatan transfer of knowledge. Gambaran buruk tentang penyelenggaraan
pendidikan di atas merupakan bukti empirik adanya pemahaman yang salah
terhadap hakikat pendidikan. Aktivitas pendidikan yang berbau paksaan tersebut
harus diubah, yang menekankan kerja dan prestasi individual harus dilengkapi
secara berimbang dengan kerja dan prestasi kelompok. Dengan demikian,
sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Buchori, reformasi pendidikan merupakan
suatu keharusan. Arah reformasi pendidikan menurutnya diorientasikan pada
restorasi budaya politik yaitu pembentukan basic political competencies,
pengembangan budaya berpolitik yang santun, pengembangan tata kehidupan
bermasyarakat yang damai dan menghindari kekerasan (avoidance of vialence)
mengajak masyarakat menegakkan sendi-sendi untuk menegakkan Good and
clean governance, membangun masyarakat madani (civil society) yang mampu
mengurus diri sendiri sambil mengawasi pemerintah dan penciptaan kemampuan
belajar (learning capacity) yang tinggi.
Hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran yang tidak saja pemberian
pengetahuan, melainkan aktivitas untuk membangun kesadaran, kedewasaan dan
kemandirian serta pembebasan. Kesadaran, kedewasaan, kemandirian dan
pembebasan merupakan tujuan inti pendidikan dan demokrasi. Dengan demikian,
batasan antara pendidikan dan demokrasi terdapat titik temu yang sangat
signifikan. Karena itu, pendidikan (Pendidikan Kewargaan) yang merupakan
pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM merupakan arena
yang efektif dalam membangun mentalitas dan kultur demokratis berkeadaban. Hal
itu sejalan dengan misi sejarah (historical mission) dan tanggung jawab
fundamental dunia pendidikan (Pendidikan Kewargaan).
Pendidikan Kewargaan versi lain menyebutnya Pendidikan
Kewarganegaraan- berlangsung dalam lingkup persekolahan dan luar sekolah.
Pada lingkup persekolahan, Pendidikan Kewargaan berlangsung sejak dini sampai
perguruan tinggi. Dengan demikian, Pendidikan Kewargaan di Perguruan Tinggi
pada dasarnya merupakan komponen utama pendidikan demokrasi yang sengaja
dirancang, dilaksanakan, dievaluasi dan secara kreatif dikembangkan secara
sinambung yang memusatkan perhatian pada pengkajian konsep dan proses
demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil Society).
Menurut Azra, Pendidikan Kewargaan merupakan kebutuhan mendesak
bagi bangsa dalam membangun demokrasi berkeadaban karena beberapa alasan.
Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political literacy, tidak melek
politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya di
kalangan warga negara. Kedua, menmgkatnya political apathism yang ditunjukan
dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses politik.
Pembentukan warga negara yang cerdas secara intelektual, emosional dan sosial,
memiliki keadaban demokratis dan demokrasi berkeadaban merupakan tuntutan
dan keniscayaan. Karena Pendidikan Kewargaan (Civic Education) merupakan
sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh negara-negara demokrasi baru untuk
melahirkan generasi muda dan

Anda mungkin juga menyukai