Draft Kajian Burangkeng Edited
Draft Kajian Burangkeng Edited
HMTKI x HMTL
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
Latar Belakang
(1)
(2)
Gambar (1) dan (2): Pengangkutan sampah secara SCS
Sumber : Setiyono dan Wahyono, 2001
Pada sistem ini, pengolahan sampah yang direncanakan untuk mengurangi volume
sampah sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh minimnya ketersediaan sarana dan prasarana
pengolahan sampah seperti TPS 3R, PLTSa, dan fasilitas lain. Adapun pengurangan dari
sumber dengan pemanfaatan komposting skala kecil maupun bank sampah tidak berjalan
dengan menyeluruh sehingga dampak yang dihasilkan tidak signifikan. Penerapan konsep
reduce, reuse, dan recycle (3R) pada pengolahan sampah di Kabupaten Bekasi sangat
bergantung pada kegiatan sektor informal seperti pengepul dan pelapak.
Menurut data dari Pemerintah Kabupaten Bekasi, jumlah sampah yang mampu dikelola
hanya 47,62% dari jumlah timbulan sampah yang dihasilkan oleh wilayah pelayanan
persampahan Kabupaten Bekasi pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas
sampah yang belum terkelola oleh sistem pengelolaan sampah Kabupaten Bekasi masih cukup
besar. Sampah yang tak terkelola ini umumnya berakhir pada tempat pembuangan sampah liar
di bantaran kali. Praktik pembuangan sampah secara liar ini dipicu terutama oleh jauhnya jarak
pengangkutan sampah dari sumber menuju TPA. Salah satu tempat pembuangan liar yang
disebut masyarakat lokal dengan nama TPS Cikarang-Bekasi-Laut (CBL) baru saja ditertibkan
oleh pemerintah daerah. Sekitar 3,6 hektar wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang
dijadikan TPS liar ini kini sudah penuh dengan sampah [3]. Pada tempat pembuangan liar
seperti CBL, pengelolaan dilakukan secara mandiri oleh warga sekitar. Akibatnya, kerap terjadi
salah kelola dalam bentuk pembakaran sampah secara terbuka dan pencemaran sampah ke
badan air maupun tanah terdekat.
Lahan parkir tidak tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga antrian truk
terkadang berada pada jalan akses tersebut, memperparah kemacetan. Saat
aktivitas TPA padat, antrian menjadi sangat panjang bahkan keluar dari pintu TPA
dan menuju jalan utama. TPA juga tidak dilengkapi dengan drainase yang
memadai karena pengelolaannya yang masih menggunakan sistem open dumping.
Ketika hujan terjadi, wilayah di sekitar akan tergenang air lindi karena tidak
adanya drainase tersebut. Fasilitas air bersih dan listrik di TPA hanya tersedia pada
wilayah kantor pengelola TPA serta gudang dan bengkel. Untuk pencucian
kendaraan pengangkut, tersedia jasa pencucian kendaraan yang dikelola secara
mandiri oleh masyarakat dan menggunakan air tanah. Fasilitas penunjang yang
tersedia yaitu gudang, garasi dan bengkel. Garasi berukuran sekitar 150 m 2 dan
dapat menampung 3-4 alat berat. Wilayah gudang dan bengkel menjadi satu
bagian dengan luas sekitar 400 m2. Keseluruhan luas dari fasilitas penunjang tidak
sebanding dengan jumlah armada alat berat yang dikelola oleh TPA. Pos jaga
tersedia di wilayah fasilitas penunjang, namun fungsi pos jaga dilakukan pada
kantor TPA bersama dengan jembatan timbang dan administrasi truk yang masuk.
Kantor berada dalam kondisi yang baik, dengan lahan parkir yang hanya
mencukupi untuk kendaraan roda dua. Gapura papan nama sekaligus pintu masuk
terbuat dari beton dan kondisinya cukup baik. Zona penyangga terdiri dari
tanaman atau pohon yang berada pada perbatasan antara TPA dan zona
pemukiman serta pertanian di sekitar TPA. Tempat istirahat juga tersedia dan diisi
oleh pedagang makanan dan minuman. Beberapa pedagang makanan dan
minuman berada pada lokasi yang sangat dekat dengan timbunan sampah sehingga
sanitasinya cenderung tidak layak.
Fasilitas utama
Saat ini tidak ada pemetaan sel yang baku di TPA Burangkeng. Sampah
yang dibongkar langsung dipindahkan tanpa perencanaan yang jelas. Sampah juga
tidak dipadatkan sehingga efisiensi penggunaan lahan menjadi minim. Hal ini
menyebabkan tingginya timbunan sampah pada beberapa zona. Fasilitas alat berat
yang kurang memadai menjadi salah satu pemicu masalah ini. Terdapat paling
tidak 14 unit excavator dan 6 unit buldoser di TPA Burangkeng. Namun, hanya 8
unit excavator yang operasional sedangkan tidak ada buldoser yang operasional.
Beberapa alat ini rusak ringan dan rusak berat sehingga tidak dapat digunakan.
Beberapa bahkan sempat disita karena dijadikan objek korupsi pengadaan fasilitas
persampahan. Kendaraan pengangkut yang masuk ke TPA umumnya adalah milik
Dinas Lingkungan Hidup atau milik swasta. Jumlah kendaraan yang dimiliki oleh
pemerintah yaitu 50 unit gerobak, 143 unit motor sampah, dan 109 unit dump
truck, 73 unit armroll truck, dan 17 unit mobil pickup. Pada kantor TPA terdapat
jembatan penimbangan yang digunakan untuk menimbang berat sampah yang
masuk. Jalan operasional yang sempit dan minim area maneuver membuat wilayah
sekitar jembatan seringkali macet.
Sejak awal berdirinya TPA Burangkeng, belum pernah terjadi pengelolaan
dengan sanitary landfill sehingga tidak terdapat lapisan geomembran dan lapisan
kerikil yang mencegah air lindi menuju permukaan tanah. Begitu pula dengan
fasilitas lain yang terkait dengan pengelolaan menggunakan sanitary landfill
seperti pengumpul lindi, pelindung tanggul, tanggul, drainase lingkungan dan juga
pipa gas. Tanah penutup tidak tersedia di lokasi TPA sehingga tanah umumnya
diambil dari pihak ketiga.
Fasilitas pengolahan seperti instalasi pengolahan lindi, pemilahan dan
komposting tersedia. Namun karena pengelolaan yang buruk dan kelebihan
kapasitas, fasilitas tersebut tidak berfungsi optimal. Instalasi pengolahan lindi
(IPL) saat ini sudah tidak operasional karena timbunan sampah sudah mencapai
bagian IPL.
Sebesar 11,6 hektar lahan yang dikelola oleh TPA Burangkeng merupakan
lahan milik Kabupaten Bekasi. Bagian barat dari TPA Burangkeng berbatasan
dengan wilayah Kota Bekasi. TPA Burangkeng dibangun pada daerah yang tidak
rawan banjir, sehingga banjir tidak pernah menjadi masalah yang berarti. Jarak
TPA dari badan air sangat dekat, begitu pula dengan perumahan dan pertanian. Hal
ini dikarenakan tidak dialokasikannya subzona penyangga pada tata ruang TPA
Burangkeng.
Gambar 9. Letak lokasi TPA Burangkeng
Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008 dikatakan bahwa Tempat Pemrosesan Akhir atau
TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara
aman bagi manusia dan lingkungan. Sedangkan jika mengacu pada SNI 03-3241-1994, TPA
merupakan sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah berupa
tempat yang digunakan untuk mengkarantinakan sampah kota secara aman. Sampah kota
merupakan sampah non B3 (bahan berbahaya beracun), seperti yang berasal dari perkantoran,
sekolah, pasar, industri, dan lain sebagainya.
Berdasarkan PP Nomor 81 Tahun 2012, TPA diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu
lahan urug terkendali, lahan urug saniter, dan teknologi ramah lingkungan. Lahan urug
terkendali atau controlled landfill merupakan metode yang dilakukan dengan memadatkan
sampah dan ditutup menggunakan tanah minimal setiap tujuh hari sekali. Lahan urug saniter
atau sanitary landfill dioperasikan dengan pengurugan sampah ke lingkungan yang telah
disiapkan dan diberikan perlakuan seperti penyebaran, pemadatan, dan penutupan sampah
setiap hari. Ada beberapa fasilitas yang harus terdapat dalam TPA, yaitu:
Fasilitas dasar, seperti jalan masuk, listrik atau genset, air bersih, drainase, pagar, dan kantor
Fasilitas perlindungan lingkungan, seperti lapisan kedap air, saluran pengumpul dan instalasi
pengolahan lindi, wilayah penyangga, sumur pantau, dan penanganan gas
Fasilitas operasi, seperti alat berat dan truk pengangkut sampah dan tanah
Fasilitas penunjang, seperti bengkel, garasi, tempat pencucian alat angkut, alat pertolongan
pertama pada kecelakaan, jembatan timbang, laboratorium, serta tempat parkir
Salah satu negara yang telah menerapkan pengelolaan sampahnya dengan baik adalah
Jepang. Masyarakat Jepang telah mengimplementasikan konsep 3R (Reduce, Reuce, Recycle)
dengan baik. Sampah rumah tangga dipisahkan atau dipilah sesuai jenisnya berdasarkan dengan
ketentuan yang berlaku. Biasanya sampah akan dibawa oleh warganya ke suatu tempat
pengumpulan yang telah ditentukan. Sampah organik nantinya akan dijadikan kompos
sedangkan sampah anorganik akan didaur ulang menjadi barang lain yang bernilai ekonomis.
Sampah residu atau sampah yang sudah tidak dapat digunakan kembali maka akan dilakukan
insinerasi di TPA. Sampah tersebut dibakar dan akan menghasilkan energi lain yang dapat
digunakan. Alternatif lain selain insinerasi adalah sampah yang ditimbun di TPA dapat
dialihfungsikan menjadi daratan baru atau reklamasi lahan.
2. Signifikansi Tata Kelola yang Baik (Good Governance) dalam Pengelolaan Sampah
Pemerintahan memiliki peranan yang penting dalam pengelolaan sampah. Hal ini
ditunjukkan oleh UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Dalam peraturan tersebut
ditegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengelolaan
sampah secara sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan. Pemerintah daerah secara
spesifik memiliki peran sebagai berikut:
a. Pengatur Kebijakan (Regulator)
Fungsi regulasi dari pemerintah dilakukan dengan menetapkan kebijakan dan strategi
terkait penyelenggaraan pengelolaan sampah. Regulasi tersebut menjadi payung hukum
untuk melaksanakan dan mengawasi kinerja pengelolaan sampah.
b. Penyedia Layanan (Service Provider)
Peran pemerintah sebagai penyedia layanan yaitu memfasilitasi pembangunan dan
pelaksanaan infrastruktur persampahan. Hal ini tidak hanya untuk penanganan sampah
tapi juga untuk reduksi baik dari sumber maupun dengan pengolahan sampah di TPA [6].
Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi
adalah tanggung jawab dari pemerintah daerah Kabupaten Bekasi. Maka dari itu, penting bagi
pemerintah daerah untuk memperbaiki tata kelola sehingga pengelolaan sampah dapat terjadi
dengan optimal. Berikut adalah identifikasi masalah dalam tata kelola persampahan di
kabupaten Bekasi:
a. Permasalahan pembiayaan dan perencanaan
Dari kondisi eksisting pengelolaan sampah, dapat dilihat bahwa salah satu masalah yang
dialami TPA Burangkeng yaitu penyediaan sarana dan prasarana persampahan yang
kurang memadai. Penyebab dari masalah ini terdiri dari banyak faktor. Beberapa
diantaranya yaitu pembiayaan yang bermasalah dan perencanaan yang buruk [7]. Hal ini
dibuktikan dari adanya alat berat yang disita karena menjadi objek korupsi. Selain itu,
menurut penuturan operator TPA Burangkeng, operasional TPA menjadi tidak optimal
akibat minimnya pendanaan untuk operasional TPA. Perencanaan TPA yang tidak sesuai
dengan pedoman tata ruang juga mengindikasikan bahwa perencana tidak
memperhatikan regulasi yang berlaku di skala nasional.
b. Minimnya koordinasi antar pemangku kepentingan
Perencanaan kebijakan pengelolaan sampah perlu dilakukan secara kolaboratif. Hal ini
kerap kali tidak diindahkan oleh pemerintah daerah. Keterlibatan masyarakat dan pelaku
pengelolaan sampah seringkali minim sehingga memungkinkan adanya konflik antar
pemangku kepentingan. Keterlibatan masyarakat penting untuk memastikan bahwa
perencanaan kebijakan sudah sesuai dengan keadaan sosial dan ekonomi yang ada.
Hal yang utama dalam penanganan sampah berkelanjutan yaitu pencegahan dan
pengurangan dari timbulan sampah itu sendiri. Pencegahan dilakukan dengan perubahan
perilaku konsumsi baik dari sisi konsumen maupun produsen. Bagi produsen, terdapat
insentif untuk memproduksi barang murah dengan masa pakai yang rendah dan mudah
dibuang. Produk dengan kualitas demikian memastikan bahwa produsen terus
menghasilkan produk dan penjualan dari waktu ke waktu. Hal tersebut tentu saja
berlawanan dengan semangat konservasi sumber daya alam. Untuk menjamin
pencegahan dan pengurangan sampah yang optimal, diperlukan dukungan dari setiap
pihak yang berperan dalam pengelolaan sampah. Beberapa usaha yang dapat dilakukan
antara lain:
Pemerintah
● Mengadakan program pemilahan dan pencegahan dalam sistem pengelolaan
sampah
● Menetapkan larangan atau pembatasan pada kemasan dan produk tertentu
● Melakukan studi dan diseminasi informasi
● Legislasi terkait kewajiban produsen untuk memenuhi kriteria kemasan dan
produk
● Menetapkan pajak terkait penggunaan material dan limbah
● Melaksanakan program edukasi
● Menuntut adanya audit persampahan dan pengembangan rencana
pencegahan limbah dari bisnis/usaha
Produsen
● Berpartisipasi dalam program pencegahan seperti Extended Producer
Responsibility (EPR), sistem deposit untuk kemasan dan produk, ataupun
program lain.
● Meningkatkan efisiensi material dalam produksi
● Meningkatkan masa pakai, potensi guna ulang dan daur ulang, dan
kemudahan untuk reparasi produk
● Meningkatkan kepatuhan pada regulasi yang berlaku
Masyarakat
● Berperan aktif dalam program pemilahan maupun pengolahan dari sumber
sampah seperti komposting dan daur ulang skala rumah tangga
● Merubah perilaku dengan mengurangi konsumsi serta memilih produk yang
lebih ramah lingkungan
● Melakukan donasi atau penjualan untuk barang yang sudah tidak diinginkan
● Meningkatkan kesadaran terkait pengelolaan dan pencegahan sampah
Program pencegahan dan pengurangan sampah yang dilakukan dengan baik dapat
mengurangi jumlah sampah yang harus ditangani sebesar 20% sampai 30% dari timbulan
sampah. Adapun, sebagian besar sampah lainnya kemudian ditangani dengan pengolahan
(pemulihan material dan energi) maupun penimbunan. Pemulihan material biasanya
berupa daur ulang yang secara umum dilakukan oleh sektor informal dan juga proses
komposting di TPS3R. Proses pemulihan material erat kaitannya dengan tingkat
partisipasi masyarakat. Masyarakat dengan tingkat partisipasi tinggi dapat diarahkan
untuk melakukan pemilahan dari sumber untuk membantu proses daur ulang pada
fasilitas daur ulang. Pemrosesan sampah terpisah ini lebih sederhana, namun
memerlukan sistem pengumpulan dan pengangkutan yang dapat mengakomodasi sampah
terpisah tersebut. Pada tingkat partisipasi rendah, sampah yang ditangani merupakan
sampah tercampur. Sampah tercampur memerlukan sumber daya lebih banyak untuk
didaur ulang. Hal ini dikarenakan sampah tersebut lebih kotor dan membutuhkan
peralatan dan sumber daya manusia yang cukup untuk dapat dipilah. Kabupaten Bekasi,
sama seperti banyak daerah lain di Indonesia, tidak memiliki tingkat partisipasi
masyarakat yang cukup. Ditambah dengan minimnya teknologi pada fasilitas daur ulang,
hal ini menyebabkan rendahnya performa pemulihan material dalam pengelolaan sampah
saat ini. Maka, terdapat dua pendekatan untuk meningkatkan laju daur ulang. Yang
pertama yaitu dengan penyediaan fasilitas daur ulang dengan teknologi yang lebih
memadai. Pendekatan ini membutuhkan komitmen dari pemerintah daerah untuk
memprioritaskan pembiayaan terhadap pengadaan fasilitas daur ulang. Pembiayaan untuk
penanganan sampah umumnya bersumber dari anggaran daerah dan retribusi. Sayangnya,
anggaran dan retribusi tersebut tidak terstruktur dengan baik sehingga operasi
penanganan sampah kerap kali mengalami defisit [8]. Penyesuaian struktur tarif dapat
dilakukan, namun perlu memperhatikan konteks ekonomi dan sosial dari masyarakat
lokal. Pendekatan kedua dalam meningkatkan laju daur ulang yaitu dengan mendorong
pemilahan dari sumber sampah [9]. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan sistem
pengumpulan dan pengangkutan yang mengakomodasi sampah terpilah. Hal ini
dilakukan dengan penyediaan wadah terpilah sesuai kategori pemilahan yang dibutuhkan
oleh fasilitas daur ulang. Kemudian, diperlukan pula insentif ekonomi dan peningkatan
kesadaran lingkungan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program
tersebut [10]. Bagaimanapun, partisipasi publik menjadi hal yang krusial untuk
memastikan performa daur ulang yang baik.
Dalam beberapa tahun belakangan, perhatian pemerintah Indonesia berada pada
pengurangan volume sampah di TPA sehingga pendekatan pemulihan energi menjadi
opsi yang lebih sering dijumpai. Tantangan yang ada pada proses pemulihan energi di
Indonesia yaitu komposisi sampah yang didominasi sampah organik. Sampah organik
cenderung memiliki kandungan air yang tinggi sehingga mengurangi nilai kalor pada
pengolahan termal. Karena itu, proses termal di Indonesia memerlukan lebih banyak
sumber daya untuk dijalankan, mengurangi efisiensinya. Pengolahan termal juga
membutuhkan teknologi yang tepat untuk mengurangi dampak lingkungan yang
dihasilkan produk pembakarannya. Walau begitu, kelayakannya secara ekonomi dan
teknis cukup menjanjikan [11]. Kemampuan proses termal untuk menghasilkan
keuntungan sekaligus mengatasi volume penimbunan sampah menjadi alasan pemerintah
merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota di
Indonesia [12]. Pengolahan sampah dengan proses termal mulai diadaptasi di Indonesia
dengan pembangunan pilot project PLTSa di Surabaya dan TPST Refuse Derived Fuel
(RDF) di Cilacap. PLTSa dapat mengonversi sampah perkotaan menjadi energi listrik
yang kemudian dapat digunakan di rumah-rumah. Adapun RDF dapat mengolah sampah
menjadi bahan bakar yang diperlukan industri semen. Dari perspektif lingkungan,
substitusi energi dari pembangkit tradisional seperti minyak dan batubara ke pembangkit
tenaga sampah menghasilkan dampak yang baik bagi lingkungan.
Pemulihan material dan energi di daerah dengan komposisi sampah yang
didominasi organik dapat dilakukan lebih baik lagi dengan melibatkan perspektif
bioekonomi dalam pengelolaan sampah. Bioekonomi menganggap limbah organik
sebagai bahan baku yang dapat ditransformasi menjadi produk yang berguna [13].
Konversi biomassa melalui teknik pemrosesan tertentu mampu menghasilkan bahan
bakar ataupun senyawa lain yang memiliki nilai tambah. Bioekonomi menekankan
pentingnya mengeksploitasi fraksi material organik yang saat ini tidak didaur ulang dan
menyebabkan berbagai masalah di TPA. Salah satu masalah yaitu timbulnya gas rumah
kaca yang memperparah krisis iklim. Produksi landfill gas (LFG) dalam bentuk metana
yang dihasilkan Indonesia tiap tahunnya yaitu sebesar 875.130 ton [14]. Dengan jumlah
tersebut, secara teoretis LFG berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 54.142 MW
per tahun. LFG dapat menjadi sumber bahan bakar alamiah yang dapat langsung
diinjeksi pada sistem perpipaan dengan adanya sistem pemulihan gas. Untuk mencapai
hal tersebut, TPA harus terlebih dahulu beroperasi dengan sistem sanitary landfill. Ini
merupakan tantangan terutama untuk TPA di Indonesia yang masih bergantung pada
open dumping maupun controlled landfill. Hal lain yang juga penting dalam bioekonomi
yaitu penerapan biodigester dan teknik biorefinery lainnya. Luaran yang saat ini
diharapkan dari proses biorefinery yaitu biofuel. Produk lain yang mungkin dimanfaatkan
meliputi kompos, biopolimer, bioplastik maupun senyawa lainnya.
Gambar 12. Proses dalam bioekonomi modern
Sumber : Tsui dkk., 2019
Reactor Biogas :
[1] M. T. D. Rimantho, "Usulan Strategi Pengelolaan Sampah Padat di TPA Burangkeng Bekasi
dengan Pendekatan SWOT dan AHP," Jurnal Ilmu Lingkungan, vol. 19, no. 2, pp. 383-391, 2021.
[2] S. W. Setiyono, "Sistem Pengelolaan Sampah Kota di Kabupaten Bekasi," Jurnal Teknologi
Lingkungan., vol. 2, no. 2, pp. 194-198, 2001.
[3] Republika, "Eksplora Republika," Republika.co.id, Sabtu Februari 2022. [Online]. Available:
https://eksplora.republika.co.id/posts/59414/klhk-tindak-tps-ilegal-di-bekasi-yang-cemari-kali-
cbl. [Accessed 27 Juli 2022].
[4] S. E. B. W. Manurung D, "Penentuan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah yang
Ramah Lingkungan di Kabupaten Bekasi," Jurnal Teknik ITS, vol. 8, no. 2, pp. 123-130, 2019.
[5] P. H. K. F. Ariyani S, "Evaluasi Pengelolaan Sampah di TPA Piyungan Kabupaten Bantul," UII,
Yogyakarta, 2019.
[6] T. K. Jati, "Peran Pemerintah Boyolali dalam Pengelolaan Sampah Lingkungan Permukiman
Perkotaan (Studi Kasus: Perumahan Bumi Singkil Permai)," Jurnal Wilayah dan Lingkungan, vol.
1, no. 1, pp. 1-16, 2013.
[8] T. P. E. Damanhuri, "Current Situation of Waste Recycling in Indonesia," ERIA Research Project
Report, pp. 23-52, 2008.
[9] I. G. R. A. A. Kristanto G., "The Performance of Municipal Solid Waste Recycling Program in
Depok," International Journal of Technology, no. 2, pp. 264-272, 2015.
[10] D. M. d. Z. C. A. Matter, "Improving the Informal Recycling Sector through Segregation of Waste
in the Household – the Case of Dhaka Bangladesh.," Habitat International, vol. 38, pp. 150-156,
2012.
[13] J. W. T. Tsui, "A Critical Review: Emerging Bioeconomy and Waste-to-energy Technologies for
Sustainable Municipal Solid Waste Management.," Waste Disposal & Sustainable Energy, pp.
151-167, 2019.
[14] T. A. D. Andriani, "The Potentials of Landfill Gas Production: a Review on Municipal Solid Waste
Management in Indonesia.," Journal of Material Cycles and Waste Management, 2019.
[18] S. D. A.-J. A. Sholeh, "ANALISIS KOMPOSISI CAMPURAN AIR DENGAN LIMBAH KOTORAN SAPI
DAN PELETAKAN POSISI DIGESTER TERHADAP TEKANAN GAS YANG DIHASILKAN," Journal of
Mechanical Engineering Learning, vol. 1, no. 1, 2012.
[19] R. R. A. B. D. Agusman, "Pengaruh Starter Ragi dalam Proses Pembentukan Biogas Limbah
Buah," Prosiding Seminar Nasional Teknoka, vol. 2502, no. 2, 2017.
[20] N. e. a. Sawyerr, "An Overview of Biogas Production : Fundamentals," Applications and Future
Research, vol. 9, no. 2, pp. 105-116, 2019.
[21] S. R. D. N. T. Soehartanto, "Pengembangan Teknologi Purifikasi Biogas (Kandungan Gas H2S Dan
CO2) dengan Mempergunakan Kombinasi Wet Scrubber-Batu Gamping," C I N I A, pp. 73-77,
2016.