Anda di halaman 1dari 26

KRISIS PENGELOLAAN SAMPAH DI

BEKASI: EVALUASI TPA BURANGKENG

HMTKI x HMTL
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
Latar Belakang

1. Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bekasi


Kabupaten Bekasi adalah kota besar dengan penduduk lebih dari 3,5 juta jiwa.
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bekasi, pada tahun 2021 pemerintah daerah
Kabupaten Bekasi mengelola rata-rata 568 ton sampah per hari. Timbulan sampah bersumber
dari kegiatan rumah tangga, institusi, jalan, pasar, area komersial, area publik dan industri.
Komposisi dari sampah padat di Kabupaten Bekasi, layaknya wilayah rural lain di Indonesia,
didominasi oleh sampah organik. 67% dari timbulan sampah merupakan sampah organik
seperti sisa makanan, dedaunan, dan lainnya. Sedangkan sampah anorganik yaitu plastik
sebanyak 11%, kertas 13%, dan sisanya merupakan logam, kayu, karet, kaca dan kain [1].
Sistem pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi cenderung konvensional [2]. Sistem
tersebut terdiri dari pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan penimbunan. Pada sistem ini
tidak diakomodasi pemilahan sampah baik dari sumber sampah maupun pada pengumpulan dan
pengangkutan. Pewadahan dilakukan dengan penyediaan TPS ataupun pewadahan komunal
untuk daerah dengan kepadatan tinggi. Pengumpulan dan pengangkutan umumnya dilakukan
dengan metode Stationary Container System (SCS) dimana sampah diangkut dari wadah
sumber menuju wadah pada kendaraan pengangkut. Kebanyakan dari truk pengangkut
mengambil sampah langsung ke rumah warga, sedangkan yang lain mengambil sampah dari
wadah komunal ataupun TPS. Sampah tersebut kemudian diangkut menuju TPA Burangkeng.

(1)

(2)
Gambar (1) dan (2): Pengangkutan sampah secara SCS
Sumber : Setiyono dan Wahyono, 2001

Pada sistem ini, pengolahan sampah yang direncanakan untuk mengurangi volume
sampah sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh minimnya ketersediaan sarana dan prasarana
pengolahan sampah seperti TPS 3R, PLTSa, dan fasilitas lain. Adapun pengurangan dari
sumber dengan pemanfaatan komposting skala kecil maupun bank sampah tidak berjalan
dengan menyeluruh sehingga dampak yang dihasilkan tidak signifikan. Penerapan konsep
reduce, reuse, dan recycle (3R) pada pengolahan sampah di Kabupaten Bekasi sangat
bergantung pada kegiatan sektor informal seperti pengepul dan pelapak.
Menurut data dari Pemerintah Kabupaten Bekasi, jumlah sampah yang mampu dikelola
hanya 47,62% dari jumlah timbulan sampah yang dihasilkan oleh wilayah pelayanan
persampahan Kabupaten Bekasi pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas
sampah yang belum terkelola oleh sistem pengelolaan sampah Kabupaten Bekasi masih cukup
besar. Sampah yang tak terkelola ini umumnya berakhir pada tempat pembuangan sampah liar
di bantaran kali. Praktik pembuangan sampah secara liar ini dipicu terutama oleh jauhnya jarak
pengangkutan sampah dari sumber menuju TPA. Salah satu tempat pembuangan liar yang
disebut masyarakat lokal dengan nama TPS Cikarang-Bekasi-Laut (CBL) baru saja ditertibkan
oleh pemerintah daerah. Sekitar 3,6 hektar wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang
dijadikan TPS liar ini kini sudah penuh dengan sampah [3]. Pada tempat pembuangan liar
seperti CBL, pengelolaan dilakukan secara mandiri oleh warga sekitar. Akibatnya, kerap terjadi
salah kelola dalam bentuk pembakaran sampah secara terbuka dan pencemaran sampah ke
badan air maupun tanah terdekat.

Gambar 3. Daerah Aliran Sungai Citarum

2. Kondisi TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi


a. Sistem Pengelolaan TPA
TPA Burangkeng terletak di Desa Burangkeng, Kecamatan Setu. TPA ini sudah
beroperasi sejak tahun 1997 dengan luas awal 3,5 ha dan masih beroperasi sampai saat
ini. TPA ini merupakan satu-satunya TPA bagi 2,8 juta penduduk Kabupaten Bekasi.
Luasnya sekitar 11 ha dengan daya tampung 600-800 ton per hari.  Namun, sejak tahun
beroperasinya TPA tersebut hingga sekarang, TPA tersebut tidak mengalami
perkembangan. Sistem persampahan yang digunakan masih sistem open dumping.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013 sistem tersebut kemudian harus diganti dengan
sistem lahan urug saniter (sanitary landfill). Hal ini memicu perubahan sistem TPA
menjadi suatu bentuk lahan urug terkendali (controlled landfill). Pada sistem ini, sampah
yang telah ditimbun kemudian diurug dengan tanah dan dipasangi pipa gas untuk
mencegah ledakan ataupun kebakaran pada lokasi TPA. Namun, karena minimnya
pendanaan, operasional TPA Burangkeng kini kembali pada sistem yang lama yaitu open
dumping. TPA Burangkeng juga mengalami kelebihan kapasitas. [4] Di beberapa zona,
ketinggian penumpukan sudah mencapai lebih dari 30 meter. Kelebihan kapasitas,
bersama dengan penimbunan sampah open dumping, menghasilkan gas metan yang
terperangkap dalam jumlah besar. Hal ini sangat membahayakan karena sewaktu-waktu
gas tersebut dapat tersulut api, menyebabkan ledakan dan kebakaran yang cukup dahsyat.
Berdasarkan penuturan pengelola TPA Burangkeng, kebakaran telah terjadi beberapa
kali. Salah satu kebakaran terparah yang terjadi di TPA Burangkeng membutuhkan
waktu lebih dari 3 bulan untuk dipadamkan seluruhnya. Polusi udara dari kebakaran
sampah tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat di sekitar.

b. Kondisi Sarana dan Prasarana


Sarana dan prasarana pada TPA meliputi fasilitas utama serta fasilitas dasar dan
penunjang. Fasilitas dasar dan penunjang terdiri dari 18 komponen [5]. Komponen
tersebut antara lain jalan akses, pos jaga, pagar pengaman, pintu pagar, lahan parkir,
jalan inspeksi/kerja, drainase lingkungan, kantor, sarana air bersih, sarana listrik, gudang
peralatan, bengkel, tempat cuci kendaraan, kantin, tempat istirahat pekerja, laboratorium,
dan zona penyangga. Adapun fasilitas utama terdiri dari 22 komponen yaitu sel TPA,
lapisan kedap air, lapisan kerikil, saluran pengumpul lindi, instalasi pengolahan lindi,
instalasi pipa gas, sumur pantau, peralatan sampel lindi, jembatan timbang, alat pencatat
timbangan, tempat pemilahan, bangunan komposter, peralatan komposter, tempat tanah
penutup, truk sampah, area maneuver, tanah penutup, buldozer, ekskavator, kompaktor,
tanggul pengaman, dan saluran pelindung tanggul.
 Fasilitas dasar dan penunjang
Prasarana jalan terdiri dari jalan akses, jalan operasional, dan jalan
penghubung. Jalan akses adalah jalan yang menghubungkan jalan utama menuju
TPA. Jalan operasional adalah jalan yang digunakan kendaraan pengangkut untuk
menuju titik pembongkaran. Jalan penghubung adalah jalan yang menhubungkan
antarbagian di wilayah TPA. Keseluruhan jalan yang dibangun berbahan beton
dengan lebar jalan sekitar 4-5 meter. Jalan tersebut dapat menampung paling
banyak 2 mobil. Sayangnya, jalan operasional TPA Burangkeng saat ini juga
digunakan sebagai satu-satunya jalan akses menuju pemukiman warga yang
berada didekat TPA. Karena itu, sering terjadi kemacetan dan warga yang berlalu-
lalang harus menghirup aroma sampah ketika melewati jalan tersebut. Jalan akses
tersebut juga seringkali tergenang oleh air lindi dari TPA. Selain itu, karena
kelebihan kapasitas, beberapa jalan penghubung juga sudah tertutup oleh sampah.

Gambar 4. Genangan air lindi di jalan akses menuju TPA Burangkeng

Lahan parkir tidak tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga antrian truk
terkadang berada pada jalan akses tersebut, memperparah kemacetan. Saat
aktivitas TPA padat, antrian menjadi sangat panjang bahkan keluar dari pintu TPA
dan menuju jalan utama. TPA juga tidak dilengkapi dengan drainase yang
memadai karena pengelolaannya yang masih menggunakan sistem open dumping.
Ketika hujan terjadi, wilayah di sekitar akan tergenang air lindi karena tidak
adanya drainase tersebut. Fasilitas air bersih dan listrik di TPA hanya tersedia pada
wilayah kantor pengelola TPA serta gudang dan bengkel. Untuk pencucian
kendaraan pengangkut, tersedia jasa pencucian kendaraan yang dikelola secara
mandiri oleh masyarakat dan menggunakan air tanah. Fasilitas penunjang yang
tersedia yaitu gudang, garasi dan bengkel. Garasi berukuran sekitar 150 m 2 dan
dapat menampung 3-4 alat berat. Wilayah gudang dan bengkel menjadi satu
bagian dengan luas sekitar 400 m2. Keseluruhan luas dari fasilitas penunjang tidak
sebanding dengan jumlah armada alat berat yang dikelola oleh TPA. Pos jaga
tersedia di wilayah fasilitas penunjang, namun fungsi pos jaga dilakukan pada
kantor TPA bersama dengan jembatan timbang dan administrasi truk yang masuk.
Kantor berada dalam kondisi yang baik, dengan lahan parkir yang hanya
mencukupi untuk kendaraan roda dua. Gapura papan nama sekaligus pintu masuk
terbuat dari beton dan kondisinya cukup baik. Zona penyangga terdiri dari
tanaman atau pohon yang berada pada perbatasan antara TPA dan zona
pemukiman serta pertanian di sekitar TPA. Tempat istirahat juga tersedia dan diisi
oleh pedagang makanan dan minuman. Beberapa pedagang makanan dan
minuman berada pada lokasi yang sangat dekat dengan timbunan sampah sehingga
sanitasinya cenderung tidak layak.

Gambar 5. Area TPA yang dijadikan tempat berjualan

 Fasilitas utama
Saat ini tidak ada pemetaan sel yang baku di TPA Burangkeng. Sampah
yang dibongkar langsung dipindahkan tanpa perencanaan yang jelas. Sampah juga
tidak dipadatkan sehingga efisiensi penggunaan lahan menjadi minim. Hal ini
menyebabkan tingginya timbunan sampah pada beberapa zona. Fasilitas alat berat
yang kurang memadai menjadi salah satu pemicu masalah ini. Terdapat paling
tidak 14 unit excavator dan 6 unit buldoser di TPA Burangkeng. Namun, hanya 8
unit excavator yang operasional sedangkan tidak ada buldoser yang operasional.
Beberapa alat ini rusak ringan dan rusak berat sehingga tidak dapat digunakan.
Beberapa bahkan sempat disita karena dijadikan objek korupsi pengadaan fasilitas
persampahan. Kendaraan pengangkut yang masuk ke TPA umumnya adalah milik
Dinas Lingkungan Hidup atau milik swasta. Jumlah kendaraan yang dimiliki oleh
pemerintah yaitu 50 unit gerobak, 143 unit motor sampah, dan 109 unit dump
truck, 73 unit armroll truck, dan 17 unit mobil pickup. Pada kantor TPA terdapat
jembatan penimbangan yang digunakan untuk menimbang berat sampah yang
masuk. Jalan operasional yang sempit dan minim area maneuver membuat wilayah
sekitar jembatan seringkali macet.
Sejak awal berdirinya TPA Burangkeng, belum pernah terjadi pengelolaan
dengan sanitary landfill sehingga tidak terdapat lapisan geomembran dan lapisan
kerikil yang mencegah air lindi menuju permukaan tanah. Begitu pula dengan
fasilitas lain yang terkait dengan pengelolaan menggunakan sanitary landfill
seperti pengumpul lindi, pelindung tanggul, tanggul, drainase lingkungan dan juga
pipa gas. Tanah penutup tidak tersedia di lokasi TPA sehingga tanah umumnya
diambil dari pihak ketiga.
Fasilitas pengolahan seperti instalasi pengolahan lindi, pemilahan dan
komposting tersedia. Namun karena pengelolaan yang buruk dan kelebihan
kapasitas, fasilitas tersebut tidak berfungsi optimal. Instalasi pengolahan lindi
(IPL) saat ini sudah tidak operasional karena timbunan sampah sudah mencapai
bagian IPL.

Gambar 6. Penampung lindi yang sudah tidak dioperasikan

Begitu pula dengan fasilitas komposting. Karena komposting memerlukan


pemilahan dan juga pengelolaan tertentu, kegiatan komposting di TPA
Burangkeng kini terbatas pada sampah yang telah dipilah atau didominasi organik
dari sumbernya. Hanya sampah dari pasar dan bekas produksi makanan yang dapat
dijadikan kompos. Hal ini sangat disayangkan mengingat sebagian besar sampah
yang dihasilkan Kabupaten Bekasi adalah sampah organik. Jika tidak dikelola,
sampah organik akan menghasilkan gas metan yang berbahaya bagi keselamatan
dan berkontribusi bagi pemanasan global. Fasilitas komposting yang tersedia yaitu
mesin pencacah dan mesin pengayak. Fasilitas yang tersedia ini hanya mampu
mengolah sampah organik dengan kapasitas kecil. Ketersediaan lahan yang
terbatas menutup kemungkinan untuk penerapan windrow composting.
Gambar 7. Peralatan yang tersedia di area komposting

Adapun untuk kegiatan pemilahan hanya dilakukan oleh pemulung dan


pelapak yang berada di sekitar lokasi TPA. Pemulung dan pelapak bergerak secara
mandiri sehingga peralatan daur ulang pun terbatas. Proses daur ulang yang terjadi
hanya sebatas sortir, kemas dan angku, tanpa proses lain seperti pembersihan dan
pencacahan. Jumlah pelapak yang ada di sekitar TPA kurang lebih 20 dengan
kapasitas sekitar 200-300 kg per hari. Maka dari itu, pengurangan yang terjadi dari
proses daur ulang tidak signifikan.
Fasilitas untuk pemantauan kualitas air lindi dan air tanah seperti alat
sampling dan sumur pantau tidak dikelola dengan baik pada TPA burangkeng.
Sumur pantau kini sudah tertutup sampah dan tidak digunakan lagi. Hal ini terjadi
karena pemantauan tidak dilakukan secara teratur atau berkala.

Gambar 8. Sumur pantau yang sudah tidak di operasikan

Sebesar 11,6 hektar lahan yang dikelola oleh TPA Burangkeng merupakan
lahan milik Kabupaten Bekasi. Bagian barat dari TPA Burangkeng berbatasan
dengan wilayah Kota Bekasi. TPA Burangkeng dibangun pada daerah yang tidak
rawan banjir, sehingga banjir tidak pernah menjadi masalah yang berarti. Jarak
TPA dari badan air sangat dekat, begitu pula dengan perumahan dan pertanian. Hal
ini dikarenakan tidak dialokasikannya subzona penyangga pada tata ruang TPA
Burangkeng.
Gambar 9. Letak lokasi TPA Burangkeng

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 19/PRT/M/2012


tentang pedoman tata ruang sekitar TPA, diperlukan subzona penyangga untuk
mencegah dampak buruk TPA bagi masyarakat. Dalam pedoman tersebut,
dibutuhkan paling tidak subzona penyangga sejauh 500 meter dari sumber sampah.
Selain mengatur ketentuan jarak subzone penyangga dan subzone budi daya
terbatas, pedoman tersebut juga mengatur kegiatan dan penggunaan lahan yang
diperbolehkan pada wilayah sekitar TPA. Beberapa kegiatan yang ditemui di
subzona penyangga TPA Burangkeng dan menyalahi ketentuan pada pedoman
Permen PU tersebut antara lain : perumahan (rumah tunggal), perdagangan dan
jasa (warung dan toko), fasilitas peribadatan (masjid), dan pertanian. Adapun
penggunaan zona penyangga untuk sabuk hijau sejauh 100 meter tidak terpenuhi.
Hal ini menyebabkan bau sampah tercium hingga bagian luar dari subzona
penyangga. Sampah yang menumpuk tinggi terlihat bahkan dari kejauhan sehingga
dapat dianggap sebagai gangguan estetika.

Gambar 10. Tata ruang kawasan TPA


3. Kondisi Masyarakat Terdampak
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi tidak berjalan
optimal. Perencanaan pembangunan TPA Burangkeng, misalnya, tidak disertai dengan
sosialisasi yang baik dengan masyarakat. Masyarakat mengaku tertipu sebab Desa Burangkeng
awalnya diperuntukkan sebagai tempat kandang ayam. Namun perlahan-lahan, daerah tersebut
berkembang menjadi TPA. Masyarakat sempat kecewa namun segera berubah ketika melihat
prospek ekonomi dari sampah. Saat ini, sudah banyak warga yang menggantungkan hidup pada
kegiatan persampahan di TPA Burangkeng. Kegiatan daur ulang memberikan keuntungan yang
cukup baik bagi warga sekitar. Bahkan, pekerja pengangkutan sampah juga kerap kali
merangkap sebagai pemilah ketika berada di truk sampah. Hal ini dilakukan untuk
menghasilkan pendapatan tambahan karena upah pengangkut yang minim – sekitar 70 sampai
80 ribu rupiah per hari kerja. Sayangnya, keuntungan ekonomi dari sampah tidak didapatkan
secara cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar yaitu dari segi kesehatan masyarakat.
Masyarakat yang berada di dekat TPA harus hidup bersama dengan sampah dan
masalahnya. Bau dan bisingnya alat berat adalah dampak yang kecil bagi masyarakat, terutama
bila dibandingkan dengan bahaya penyakit dan pencemaran lingkungan yang terjadi.
Pencemaran air lindi menyebabkan sumur-sumur di rumah warga menjadi hitam dan bau. Air
tanah yang telah tercemar sudah tidak dapat lagi digunakan untuk kegiatan sanitasi. Beberapa
warga bahkan menolak untuk beribadah pada salah satu masjid di dekat TPA karena
kekhawatiran akan air yang tercemar. Saat ini, warga mengandalkan air galon yang harganya
lebih mahal. Dekatnya warga dengan sampah juga menimbulkan bahaya kesehatan. Namun,
tidak ada pemantauan kesehatan khusus oleh Dinas Kesehatan untuk warga sekitar TPA
Burangkeng.
Terkait dampak buruk yang disebabkan TPA, warga sudah berulang kali melayangkan
komplain pada pengelola TPA. Namun, karena proses birokrasi yang berbelit-belit, tidak ada
perubahan yang signifikan bagi masyarakat. Beberapa pegawai TPA berdalih bahwa yang
mereka kerjakan hanya yang bersifat teknis, sehingga aspirasi dari masyarakat perlu dibawa ke
Dinas terkait di pemerintah kabupaten. Hal inilah yang menginspirasi terbentuknya Persatuan
Pemuda Burangkeng Peduli Lingkungan (Prabu PL). Sejak 2019, Prabu mengorganisir
masyarakat untuk bersuara dengan cara yang lebih birokratis. Prabu telah membuat kajian
mandiri terkait permasalahan yang ada di TPA Burangkeng berikut rekomendasi dan solusi
yang ditawarkan. Melalui audiensi dengan Dinas Lingkungan Hidup, laporan tersebut sudah
diserahkan untuk dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah. Saat ini, partisipasi masyarakat
mulai diperhatikan dengan diundangnya LSM seperti Prabu dalam diskusi-diskusi terkait
pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah. Belum banyak tindak lanjut pemerintah dalam
perbaikan tata kelola TPA. Saat ini, hanya ada pemberian uang kompensasi bagi warga
terdampak TPA sebesar 300 ribu rupiah per tiga bulan. Jumlah penerima kompensasi saat ini
sekitar 2500 keluarga. Pemberian kompensasi itu dirasa kurang dan sering tertunda. Saat ini,
sudah lebih dari 7 bulan tidak dibayarkan.
Pada umumnya, ada dua pokok tuntutan dari masyarakat sekitar TPA Burangkeng. Yang
pertama yaitu perbaikan tata kelola dan fasilitas TPA. Permasalahan yang mendesak seperti
perbaikan infrastruktur jalan, sistem lahan urug, instalasi pengolahan air lindi, drainase,
pengolahan sampah dan fasilitas penting lain menjadi fokus utama. Selain itu, pemantauan dan
pengelolaan yang baik juga diperlukan terutama menyangkut kewajiban pengelola pada izin
lingkungan. Tuntutan yang kedua yaitu adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah. Hal ini meliputi pemberdayaan masyarakat dan juga bantuan terhadap
masyarakat sekitar TPA. Pemberdayaan yang dimaksud dapat berupa penyediaan fasilitas
pengolah sampah untuk pemulung dan pelapak ataupun program lain untuk meningkatkan
produktivitas warga dan memanfaatkan potensi desa. Adapun bantuan yang diharapkan yaitu
kompensasi untuk warga yang terdampak, penyediaan air bersih, serta sarana pendidikan dan
peribadatan. Selain itu, warga berharap dapat terlibat dalam perencanaan maupun implementasi
program pengelolaan sampah dari pemerintah. Salah satu usulan yaitu untuk membentuk tim
monitoring dan evaluasi yang terdiri sebagian oleh masyarakat sekitar agar terdapat keterlibatan
masyarakat dalam pengawalan operasional TPA. Partisipasi masyarakat ini diharapkan dapat
mencegah tata kelola yang buruk di kemudian hari.
Maka dari itu dilakukan kajian terhadap TPA Burangkeng. untuk mengetahui bagaimana
seharusnya pemerintah dalam penerapan kapasitas institusional, menerapkan pengolahan
sampah yang bermanfaat, menerapkan sistem operasional TPA yang ideal, serta peran
masyarakat dalam permasalahan ini.
Pembahasan
1. Pengelolaan Sampah dan TPA
Sampah yang ada disekitar kita seharusnya ditangani dengan baik. Penanganan sampah
meliputi kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, serta pemrosesan akhir
sampah. Pemilahan merupakan kegiatan mengelompokkan sampah sesuai dengan jenis.
Kemudian, pengumpulan merupakan kegiatan memindahkan sampah dari sumber sampah
menuju TPS atau TPS 3R, bisa menggunakan kendaraan seperti gerobak. Selanjutnya,
pengangkutan adalah kegiatan membawa sampah dari sumber atau TPS menuju TPST atau
TPA menggunakan kendaraan yang diperuntukan untuk mengangkut sampah, bisa
menggunakan kendaraan seperti truk pengangkut sampah. Kemudian, pengolahan merupakan
kegiatan mengubah karakteristik, komposisi, dan/atau jumlah sampah, dapat dilakukan dengan
adanya proses kompos, pencacahan sampah, ataupun kompaksi sampah. Kemudian yang
terakhir adalah pemrosesan akhir sampah, yaitu kegiatan mengembalikan sampah dan/atau
residu hasil pengolahan sebelumnya ke lingkungan secara aman (UU Nomor 81 Tahun 2012).
Pewadahan sampah adalah aktivitas menampung sampah sementara dalam suatu wadah
individual atau komunal di lokasi sumber sampah. Adanya pewadahan agar sampah tidak
berserakan dan memudahkan proses pengumpulan sampah. Pewadahan sampah dibagi ke
dalam 2 jenis yaitu pewadahan individual dan komunal. Pewadahan individual adalah aktivitas
penanganan penampungan sampah sementara dalam suatu wadah khusus. Pada umumnya
diperuntukkan di daerah pemukiman tinggi dan daerah komersial. Sedangkan, pewadahan
komunal adalah aktivitas penanganan penampungan sampah sementara dalam suatu wadah
bersama yang pada umumnya diperuntukkan pada daerah kumuh, taman kota dan pasar. Wadah
sampah setidaknya terbagi menjadi 3 jenis, antara lain:
 Sampah organik, seperti sisa sayuran, sisa makanan, dedaunan
 Sampah anorganik, seperti gelas, plastik, logam
 Sampah B3 (Bahan berbahaya beracun) dianjurkan diberikan label khusus
Pengumpulan sampah adalah proses pengambilan sampah mulai dari sumbernya seperti
rumah tangga, jalan, taman, perkantoran, pertokoan, pasar, hotel, dan fasilitas umum lainnya.
Sampah–sampah tersebut dikumpulkan dalam suatu wadah berupa bak, tong, kantong plastik,
keranjang atau ember. Sampah yang telah dikumpulkan dari sumbernya selanjutnya diangkut ke
tempat penampungan sementara (TPS) lantas diangkut lagi ke tempat pembuangan akhir (TPA)
.Berdasarkan kriteria perencanaan pewadahan sampah rumah tangga (SRT) yang telah
ditentukan, dapat dihitung kebutuhan wadah sampah komunal dan berat sampah rumah tangga,
untuk mengetahui kebutuhan volume masing-masing wadah sampah. Berdasarkan SNI 19-
2454-2002, pewadahan sampah yang baik pada umumnya kedap air dan udara, mudah
dibersihkan, mudah dikosongkan dan memiliki tutup agar higienis. Pengumpulan sampah
hendaknya dilakukan tiap 1-4 hari dan untuk sampah yang mudah membusuk dapat dilakukan
pengumpulan maksimal 3 hari sekali namun lebih baik setiap hari, untuk sampah kering dapat
dilakukan pengumpulan dengan periode 3 hari sekali dan untuk sampah B3 disesuaikan dengan
ketentuan yang berlaku (Damanhuri, 2010).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
03/PRT/M/2013 yang berisi mengenai Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan
Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Pengangkutan adalah kegiatan membawa sampah dari sumber atau tempat penampungan
sementara menuju tempat pengolahan sampah terpadu atau tempat pemrosesan akhir dengan
menggunakan kendaraan bermotor yang didesain untuk mengangkut sampah.Pengangkutan
sampah yang tertampung diangkut dengan menggunakan metode HCS (Hauled Container
System) dan metode SCS (Stationary Container System). 
Menurut (Damanhuri, 2010), HCS atau Hauled Container System adalah sistem
pengangkutan sampah yang dimana kontainer untuk menyimpan sampah diangkut (hauled)
menuju ke tempat pembuangan, kemudian dikosongkan dan dikembalikan ke lokasi mereka
semua atau ke beberapa lokasi lain. Keuntungan metode ini yaitu hanya membutuhkan satu truk
dan satu pengemudi untuk menyelesaikan ritasi pengangkutan. 
SCS atau Stationary Container System adalah sistem pengangkutan sampah yang wadah
pengumpulannya tidak dibawa berpindah pindah dan bersifat tetap. Wadah pengumpulan ini
dapat berupa wadah yang dapat diangkat atau yang tidak dapat diangkat. Namun tidak
berpindah dari lokasi TPS dan melekat di truk ketika proses pemindahan sampah. Sistem SCS
merupakan perencanaan yang dilakukan secara manual artinya menggunakan tenaga kerja dan
container dapat berupa dump truck, compactor truck.

Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008 dikatakan bahwa Tempat Pemrosesan Akhir atau
TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara
aman bagi manusia dan lingkungan. Sedangkan jika mengacu pada SNI 03-3241-1994, TPA
merupakan sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah berupa
tempat yang digunakan untuk mengkarantinakan sampah kota secara aman. Sampah kota
merupakan sampah non B3 (bahan berbahaya beracun), seperti yang berasal dari perkantoran,
sekolah, pasar, industri, dan lain sebagainya. 
Berdasarkan PP Nomor 81 Tahun 2012, TPA diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu
lahan urug terkendali, lahan urug saniter, dan teknologi ramah lingkungan. Lahan urug
terkendali atau controlled landfill merupakan metode yang dilakukan dengan memadatkan
sampah dan ditutup menggunakan tanah minimal setiap tujuh hari sekali. Lahan urug saniter
atau sanitary landfill dioperasikan dengan pengurugan sampah ke lingkungan yang telah
disiapkan dan diberikan perlakuan seperti penyebaran, pemadatan, dan penutupan sampah
setiap hari. Ada beberapa fasilitas yang harus terdapat dalam TPA, yaitu:
 Fasilitas dasar, seperti jalan masuk, listrik atau genset, air bersih, drainase, pagar, dan kantor
 Fasilitas perlindungan lingkungan, seperti lapisan kedap air, saluran pengumpul dan instalasi
pengolahan lindi, wilayah penyangga, sumur pantau, dan penanganan gas
 Fasilitas operasi, seperti alat berat dan truk pengangkut sampah dan tanah
 Fasilitas penunjang, seperti bengkel, garasi, tempat pencucian alat angkut, alat pertolongan
pertama pada kecelakaan, jembatan timbang, laboratorium, serta tempat parkir
Salah satu negara yang telah menerapkan pengelolaan sampahnya dengan baik adalah
Jepang. Masyarakat Jepang telah mengimplementasikan konsep 3R (Reduce, Reuce, Recycle)
dengan baik. Sampah rumah tangga dipisahkan atau dipilah sesuai jenisnya berdasarkan dengan
ketentuan yang berlaku. Biasanya sampah akan dibawa oleh warganya ke suatu tempat
pengumpulan yang telah ditentukan. Sampah organik nantinya akan dijadikan kompos
sedangkan sampah anorganik akan didaur ulang menjadi barang lain yang bernilai ekonomis.
Sampah residu atau sampah yang sudah tidak dapat digunakan kembali maka akan dilakukan
insinerasi di TPA. Sampah tersebut dibakar dan akan menghasilkan energi lain yang dapat
digunakan. Alternatif lain selain insinerasi adalah sampah yang ditimbun di TPA dapat
dialihfungsikan menjadi daratan baru atau reklamasi lahan.

2. Signifikansi Tata Kelola yang Baik (Good Governance) dalam Pengelolaan Sampah
Pemerintahan memiliki peranan yang penting dalam pengelolaan sampah. Hal ini
ditunjukkan oleh UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Dalam peraturan tersebut
ditegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengelolaan
sampah secara sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan. Pemerintah daerah secara
spesifik memiliki peran sebagai berikut:
a. Pengatur Kebijakan (Regulator)
Fungsi regulasi dari pemerintah dilakukan dengan menetapkan kebijakan dan strategi
terkait penyelenggaraan pengelolaan sampah. Regulasi tersebut menjadi payung hukum
untuk melaksanakan dan mengawasi kinerja pengelolaan sampah.
b. Penyedia Layanan (Service Provider)
Peran pemerintah sebagai penyedia layanan yaitu memfasilitasi pembangunan dan
pelaksanaan infrastruktur persampahan. Hal ini tidak hanya untuk penanganan sampah
tapi juga untuk reduksi baik dari sumber maupun dengan pengolahan sampah di TPA [6].
Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi
adalah tanggung jawab dari pemerintah daerah Kabupaten Bekasi. Maka dari itu, penting bagi
pemerintah daerah untuk memperbaiki tata kelola sehingga pengelolaan sampah dapat terjadi
dengan optimal. Berikut adalah identifikasi masalah dalam tata kelola persampahan di
kabupaten Bekasi:
a. Permasalahan pembiayaan dan perencanaan
Dari kondisi eksisting pengelolaan sampah, dapat dilihat bahwa salah satu masalah yang
dialami TPA Burangkeng yaitu penyediaan sarana dan prasarana persampahan yang
kurang memadai. Penyebab dari masalah ini terdiri dari banyak faktor. Beberapa
diantaranya yaitu pembiayaan yang bermasalah dan perencanaan yang buruk [7]. Hal ini
dibuktikan dari adanya alat berat yang disita karena menjadi objek korupsi. Selain itu,
menurut penuturan operator TPA Burangkeng, operasional TPA menjadi tidak optimal
akibat minimnya pendanaan untuk operasional TPA. Perencanaan TPA yang tidak sesuai
dengan pedoman tata ruang juga mengindikasikan bahwa perencana tidak
memperhatikan regulasi yang berlaku di skala nasional.
b. Minimnya koordinasi antar pemangku kepentingan
Perencanaan kebijakan pengelolaan sampah perlu dilakukan secara kolaboratif. Hal ini
kerap kali tidak diindahkan oleh pemerintah daerah. Keterlibatan masyarakat dan pelaku
pengelolaan sampah seringkali minim sehingga memungkinkan adanya konflik antar
pemangku kepentingan. Keterlibatan masyarakat penting untuk memastikan bahwa
perencanaan kebijakan sudah sesuai dengan keadaan sosial dan ekonomi yang ada.

c. Belum adanya peraturan daerah mengenai pengelolaan sampah


Sejauh ini, belum ada Perda oleh Kabupaten Bekasi yang membahas terkait pengelolaan
sampah. Padahal, Perda merupakan dasar hukum yang penting untuk
mengimplementasikan teknologi pengolahan dalam pengelolaan sampah. Perda juga
dapat menjadi dasaran untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang lebih baik.
d. Kekurangan sumber daya manusia (SDM)
SDM yang ada dalam pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi kurang baik secara
kualitas dan kuantitas. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah sampah yang dapat diangkut
tenaga kebersihan yaitu hanya 47,6 persen dari jumlah timbulan sampah. Secara kualitas,
pemerintah daerah juga kekurangan ahli untuk membantu menyelesaikan masalah
sampah secara teknis.
Dari penjabaran atas masalah tersebut, berikut adalah rekomendasi untuk perbaikan tata
kelola pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi :
a. Penguatan Kapasitas Institusional
United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan kapasitas institusional
sebagai kemampuan suatu institusi untuk menentukan dan mencapai target sosial
maupun ekonomi melalui pengetahuan, keterampilan, sistem dan institusi. Kapasitas
institusional yang baik memungkinkan pemerintah untuk merencanakan, membiayai,
mendesain, dan membangun infrastruktur pengelolaan sampah dengan optimal.
b. Peningkatan Komitmen dan Koordinasi
Pemerintah perlu meningkatkan komitmen terhadap perlindungan lingkungan serta
masyarakat. Peningkatan komitmen dari manajemen dapat meyakinkan pemegang
kepentingan untuk mendukung program serta kebijakan pemerintah dalam pengelolaan
sampah. Lalu, dengan penguatan koordinasi antara setiap pemangku kepentingan,
diharapkan terjadi perencanaan yang lebih kolaboratif dan menyeluruh.
c. Peningkatan Tenaga Kerja yang Kapabel
Pemerintah dapat melibatkan lebih banyak tenaga ahli dan mengadakan pelatihan
kapasitas teknis untuk menghasilkan tenaga kerja yang baik. Tenaga kerja yang baik
pada akhirnya menentukan hasil dari kebijakan maupun program yang disusun
pemerintah. Dengan keterlibatan tenaga yang ahli dan kapabel, pemerintah dapat
menghasilkan program dan kebijakan yang diperlukan untuk menjawab tantangan terkait
pengelolaan sampah.

3. Evaluasi Pengelolaan TPA Burangkeng


Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan Dalam
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, perencanaan
umum penyelenggaraan PSP meliputi studi kelayakan yang menggunakan teknologi
pengolahan dan pemrosesan akhir berupa proses biologi, termal atau teknologi lain dengan
kapasitas lebih besar dari 100 ton/hari. Sedangkan yang terjadi pada TPA Burangkeng dalam
catatan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020 timbulan sampah harian mencapai 1800 ton
per hari dan yang masuk ke dalam TPA adalah hingga 800 ton perhari. Jumlah tersebut jauh
lebih tinggi dari kapasitas harian teknologi pengolahan dan pemrosesan akhir. Sehingga perlu
mengadakan teknologi pengolahan dan pemrosesan sampah dengan kapasitas yang sama
dengan sampah masuk harian, dengan adanya teknologi pengelohan dan pemrosesan akhir
tersebut dapat mengurangi penimbunan sampah yang terjadi pada TPA.
Selain itu, dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa pemilihan lokasi TPA juga
harus memenuhi kriteria diantaranya jarak dari pemukiman yang lebih dari 1 km dengan
mempertimbangkan pencemaran lindi, kebauan, penyebaran vektor penyakit serta aspek sosial.
Namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah warga di sekitar bahkan hidup bersebelahan
dengan sampah dikarenakan timbunan sampah yang semakin menumpuk menyebabkan lahan
TPA meluas mendekati pemukiman warga. Di TPA juga harus terdapat kegiatan yang
menunjang pemrosesan akhir sampah diantaranya seperti pemadatan, penutupan tanah,
pengolahan lindi dan penanganan gas. TPA Burangkeng hingga saat ini masih menerapkan
sistem open dumping dimana pembuangan sampah dilakukan begitu saja di lahan terbuka tanpa
dilakukan upaya pemadatan sampah atau penutupan dengan tanah dan tanpa dilengkapi dengan
fasilitas pencegahan pencemaran lingkungan. Pada sistem open dumping ini, sampah hanya
dibiarkan begitu saja hingga terurai secara otomatis dengan sendirinya tanpa adanya
penanganan lebih lanjut. sistem ini membutuhkan lahan yang cukup luas untuk menampung
sampah yang ada. Sistem ini sangat rentang menimbulkan kebakaran dan pencemaran air tanah
karena gas metana dan air lindi yang tidak terkendali. Tumpukan sampah yang dibiarkan begitu
saja dapat mengakibatkan kebakaran akibat dari panasnya terik matahari mengakibatkan gas
metana yang dihasilkan mudah meledak.
Adapun, evaluasi terhadap sarana dan prasarana yaitu sebagai berikut :
a. Fasilitas dasar dan penunjang
 Jalan menuju TPA Burangkeng kotor, becek, licin, dan bau apalagi ketika musim
hujan bahkan penuh dengan tanah. Solusi untuk kondisi ini adalah melakukan
perlebaran jalan menuju TPA Burangkeng dan perawatan dengan menanam pohon
di sisi kanan dan kiri jalan.
 Tidak ada penanggung jawab di jalan menuju TPA sehingga abanyak sampah dan
lindi yang tercecer di jalan. Solusi untuk kondisi ini adalah TPA Burangkeng dna
pemkab Bekasi bertanggung jawab untuk kebersihan daerah yang dilalui oleh
pengangkut sampah.
 Kemacetan akibat jalan yang dilalui truk sampah menggunakan jalan warga
sehingga mengganggu mobilitas warga. Solusi untuk kondisi ini adalah melakukan
perlebaran lahan TPA untuk pembangunan lahan parkir dan mengatur ulang jam
pengangkutan diluar jam mobilitas warga yang sedang ramai.
 Air lindi menetes di jalan sehingga menyebabkan bau dan licin bahkan memakan
korban tergelincir sebab pengangkut sampah belum menggunakan truck
compactor. Solusi untuk kondisi ini adalah pengangkutan menggunakan truck
compactor supaya air lindi tidak tidak menetes di sepanjang jalan.
 Sepanjang jalan masuk TPA tidak ada drainase sehingga air lindi masuk ke daerah
pemukiman warga. Solusi untuk kondisi ini adalah dibangun drainase sepanjang
jalan masuk TPA.
 TPA Burangkeng belum memiliki jalan operasional TPA dan jalan operasional
keliling zona-zona aktif dan non-aktif. Solusi untuk kondisi ini adalah harus
membangun jalanoperasional sendiri dan jalan operasional zona-zona aktif dan
non-aktif.
 Gudang di TPA Burangkeng masih belum ada sehingga alat-alat TPA tidak bisa
disimpan dengan aman. Solusi untuk kondisi ini adalah TPA Burangkeng harus
membangun Gudang yang memadai sehingga alat-alat dapat disimpan denga
aman.
 Sarana pencucian kendaraan pengangkut masih belum ada. Solusi untuk kondisi
ini adalah membangun sarana pencucian untuk mencegah sisa kotoran pada
kendaraan yang menyebabkan korosif dan bau.
b. Fasilitas utama
Pengelolaan yang terjadi di TPA Burangkang mulai dari awal berdirinya tidak
pernah dilakukan secara sanitary landfill, sehingga air lindi mudah masuk ke dalam
tanah diakibatkan tidak adanya lapisan penahan seperti lapisan geomembran dan lapisan
kerikil. Karena sistem yang digunakan bukanlah sanitary landfill, maka fasilitas
penunjang lainnya juga tidak dibangun antara lain seperti: pengumpul lindi, plindung
tanggul, tanggul, drainase lingkungan, dan pipa gas. Tanah penutup di TPA biasanya
diperoleh dari pihak ketiga. Fasilitas utama yang tersedia di TPA Burangkeng selain sel
yaitu instalasi pengolahan lindi, tempat pemilahan, dan area komposting. Untuk saat ini
instalasi pengolahan lindi sudah tidak dioperasionalkan dikarenakan pengelolaan yang
buruk dan kapasitas yang berlebih.
Fasilitas komposting juga tidak dioperasikan secara optimal dikarenakan
terbatasnya pemilahan sampah yang dilakukan, sehingga sampah yang dikompos rata-
rata berasal dari sampah organik langsung dari sumber seperti sampah pasar. Sebagian
besar sampah organik ditimbun dalam sel yang dapat memperbesar kemungkinan
timbulnya gas metan. Peralatan yang tersedia antaralain mesin pencacah dan mesin
pengayak berkapasitas kecil. Untuk fasilitas pemantauan air lindi dan air tanah seperti
sumur pantau dan alat sampling pada TPA Burangkeng tidak dikelola dengan baik. Saat
ini, sumur pantau telah tertutup oleh sampah sehingga tidak dapat digunakan kembali.
Berikut ini beberapa faktor penyebab dan solusi yang dapat dilakukan:
a. TPA Burangkeng dikelola dengan sistem open dumping. Solusi yang dapat
dilakukan yaitu dengan merubah sistem pengelolaan menjadi sistem sanitary
landfill sesuai dengan mandate UU No. 18 Tahun 2019 tentang pengelolaan
sampah.
b. Sampah yang tidak terpilah secara optimal dikarenakan kurangnya pembinaan
secara serius terhadap pelapak dan pemulung. Solusi yang dapat dilakukan yaitu
dengan meningkatkan pembinaan terhadap para pelapak dan pemulung sehingga
jumlah sampah terpilah semakin meningkat.
c. Kurangnya fasilitas yang tersedia. Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengadakan program income-generating dan pemberdayaan masyarakat secara
rutin dan permanen.
d. Bantuan dan teknologi yang diterapkan belum maksimal. Solusi yang dapat
dilakukan yaitu dengan pemberian bantuan dari pemerintah kabupaten setempat.
e. Data pengujian laboratorium dan laporan tidak tersedia. Solusi yang dapat
dilakukan yaitu dengan melakukan pengujian laboratorium dan laporan secara
rutin setiap bulannya.
f. Sumur pantau yang tersedia sudah tidak dapat digunakan kembali karena telah
tertutup sampah. Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan pembangunan
beberapa sumur pantau kembali untuk mengontrol pencemaran air.
g. Tidak terdapat manajemen leachate dan gas-gas sampah untuk mencegah
mengalirnya air lindi ke persawahan dan pemukiman warga. Solusi yang dapat
dilakukan yaitu dengan melakukan pembangunan infrastruktur yang mengikuti
standar sanitary landfill dan peraturan perudangan.
h. IPAS yang tersedia tidak memenuhi standar dan tidak dioperasikan. Solusi yang
dapat dilakukan yaitu dengan mengoperasikan IPAS sebisa mungkin supaya tidak
mencemari pemukiman warga sekitar.
i. Tidak terdapat infrastruktur dan sistem drainase keliling. Solusi yang dapat
dilakukan yaitu dengan membangun infrastruktur dan sistem drainase keliling
sebagai pemisah antara otoritas TPA dengan pemukiman warga.
j. Penataan sampah dan cover-soil yang tidak sesuai standar. Solusinya yaitu dengan
mengadakan penataan sampah yang lebih terkontrol dan kegiatan cover soil harus
memenuhi standar dengan mempekerjakan tenaga ahli berpengalaman.
4. Evaluasi Pengelolaan Sampah
A. Sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan
Pengelolaan sampah saat ini menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi
pemerintah. Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia.
Menurut World Bank, secara global sekitar 2 miliar ton limbah rumah tangga dihasilkan
tiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 33% tidak ditangani sehingga dapat menjadi bahaya
bagi lingkungan. Jumlah sampah secara global diprediksi akan meningkat menjadi 3,4
miliar ton pada tahun 2050. Di negara berkembang seperti indonesia, diperkirakan
kenaikan produksi sampah mencapai 40% atau bahkan lebih. Dengan meningkatnya
produksi sampah, meningkat pula kesulitan untuk menangani sampah baik dari segi
teknis maupun finansial.
Tujuan dalam pengelolaan sampah berbeda-beda berdasarkan status
perkembangan negara. Pada negara berkembang, tujuan yang hendak dicapai umumnya
berupa perbaikan sanitasi dan kebersihan. Sedangkan ekonomi yang lebih maju
seringkali menekankan pada ide keberlanjutan dalam strategi pengelolaan sampah.
Bagaimanapun, dalam setiap upaya pengelolaan sampah, dapat dilihat bahwa terdapat
tujuan umum yaitu melestarikan sumber daya dan melindungi lingkungan. Ide
keberlanjutan menjadi konsep penting dalam meminimalisir beban lingkungan di masa
depan. Hal ini digambarkan dengan munculnya konsep ekonomi sirkular yang berfokus
pada pengurangan limbah dan konsumsi sumber daya. Adapun, dalam menentukan
rencana atau strategi pengelolaan sampah berkelanjutan, terdapat panduan umum untuk
memastikan kelayakannya terkait dengan keberlanjutan.

Gambar 11. Hirarki pengelolaan sampah yang berkelanjutan

Hal yang utama dalam penanganan sampah berkelanjutan yaitu pencegahan dan
pengurangan dari timbulan sampah itu sendiri. Pencegahan dilakukan dengan perubahan
perilaku konsumsi baik dari sisi konsumen maupun produsen. Bagi produsen, terdapat
insentif untuk memproduksi barang murah dengan masa pakai yang rendah dan mudah
dibuang. Produk dengan kualitas demikian memastikan bahwa produsen terus
menghasilkan produk dan penjualan dari waktu ke waktu. Hal tersebut tentu saja
berlawanan dengan semangat konservasi sumber daya alam. Untuk menjamin
pencegahan dan pengurangan sampah yang optimal, diperlukan dukungan dari setiap
pihak yang berperan dalam pengelolaan sampah. Beberapa usaha yang dapat dilakukan
antara lain:

 Pemerintah
● Mengadakan program pemilahan dan pencegahan dalam sistem pengelolaan
sampah
● Menetapkan larangan atau pembatasan pada kemasan dan produk tertentu
● Melakukan studi dan diseminasi informasi
● Legislasi terkait kewajiban produsen untuk memenuhi kriteria kemasan dan
produk
● Menetapkan pajak terkait penggunaan material dan limbah
● Melaksanakan program edukasi
● Menuntut adanya audit persampahan dan pengembangan rencana
pencegahan limbah dari bisnis/usaha
 Produsen
● Berpartisipasi dalam program pencegahan seperti Extended Producer
Responsibility (EPR), sistem deposit untuk kemasan dan produk, ataupun
program lain.
● Meningkatkan efisiensi material dalam produksi
● Meningkatkan masa pakai, potensi guna ulang dan daur ulang, dan
kemudahan untuk reparasi produk
● Meningkatkan kepatuhan pada regulasi yang berlaku
 Masyarakat
● Berperan aktif dalam program pemilahan maupun pengolahan dari sumber
sampah seperti komposting dan daur ulang skala rumah tangga
● Merubah perilaku dengan mengurangi konsumsi serta memilih produk yang
lebih ramah lingkungan
● Melakukan donasi atau penjualan untuk barang yang sudah tidak diinginkan
● Meningkatkan kesadaran terkait pengelolaan dan pencegahan sampah

Program pencegahan dan pengurangan sampah yang dilakukan dengan baik dapat
mengurangi jumlah sampah yang harus ditangani sebesar 20% sampai 30% dari timbulan
sampah. Adapun, sebagian besar sampah lainnya kemudian ditangani dengan pengolahan
(pemulihan material dan energi) maupun penimbunan. Pemulihan material biasanya
berupa daur ulang yang secara umum dilakukan oleh sektor informal dan juga proses
komposting di TPS3R. Proses pemulihan material erat kaitannya dengan tingkat
partisipasi masyarakat. Masyarakat dengan tingkat partisipasi tinggi dapat diarahkan
untuk melakukan pemilahan dari sumber untuk membantu proses daur ulang pada
fasilitas daur ulang. Pemrosesan sampah terpisah ini lebih sederhana, namun
memerlukan sistem pengumpulan dan pengangkutan yang dapat mengakomodasi sampah
terpisah tersebut. Pada tingkat partisipasi rendah, sampah yang ditangani merupakan
sampah tercampur. Sampah tercampur memerlukan sumber daya lebih banyak untuk
didaur ulang. Hal ini dikarenakan sampah tersebut lebih kotor dan membutuhkan
peralatan dan sumber daya manusia yang cukup untuk dapat dipilah. Kabupaten Bekasi,
sama seperti banyak daerah lain di Indonesia, tidak memiliki tingkat partisipasi
masyarakat yang cukup. Ditambah dengan minimnya teknologi pada fasilitas daur ulang,
hal ini menyebabkan rendahnya performa pemulihan material dalam pengelolaan sampah
saat ini. Maka, terdapat dua pendekatan untuk meningkatkan laju daur ulang. Yang
pertama yaitu dengan penyediaan fasilitas daur ulang dengan teknologi yang lebih
memadai. Pendekatan ini membutuhkan komitmen dari pemerintah daerah untuk
memprioritaskan pembiayaan terhadap pengadaan fasilitas daur ulang. Pembiayaan untuk
penanganan sampah umumnya bersumber dari anggaran daerah dan retribusi. Sayangnya,
anggaran dan retribusi tersebut tidak terstruktur dengan baik sehingga operasi
penanganan sampah kerap kali mengalami defisit [8]. Penyesuaian struktur tarif dapat
dilakukan, namun perlu memperhatikan konteks ekonomi dan sosial dari masyarakat
lokal. Pendekatan kedua dalam meningkatkan laju daur ulang yaitu dengan mendorong
pemilahan dari sumber sampah [9]. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan sistem
pengumpulan dan pengangkutan yang mengakomodasi sampah terpilah. Hal ini
dilakukan dengan penyediaan wadah terpilah sesuai kategori pemilahan yang dibutuhkan
oleh fasilitas daur ulang. Kemudian, diperlukan pula insentif ekonomi dan peningkatan
kesadaran lingkungan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program
tersebut [10]. Bagaimanapun, partisipasi publik menjadi hal yang krusial untuk
memastikan performa daur ulang yang baik.
Dalam beberapa tahun belakangan, perhatian pemerintah Indonesia berada pada
pengurangan volume sampah di TPA sehingga pendekatan pemulihan energi menjadi
opsi yang lebih sering dijumpai. Tantangan yang ada pada proses pemulihan energi di
Indonesia yaitu komposisi sampah yang didominasi sampah organik. Sampah organik
cenderung memiliki kandungan air yang tinggi sehingga mengurangi nilai kalor pada
pengolahan termal. Karena itu, proses termal di Indonesia memerlukan lebih banyak
sumber daya untuk dijalankan, mengurangi efisiensinya. Pengolahan termal juga
membutuhkan teknologi yang tepat untuk mengurangi dampak lingkungan yang
dihasilkan produk pembakarannya. Walau begitu, kelayakannya secara ekonomi dan
teknis cukup menjanjikan [11]. Kemampuan proses termal untuk menghasilkan
keuntungan sekaligus mengatasi volume penimbunan sampah menjadi alasan pemerintah
merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota di
Indonesia [12]. Pengolahan sampah dengan proses termal mulai diadaptasi di Indonesia
dengan pembangunan pilot project PLTSa di Surabaya dan TPST Refuse Derived Fuel
(RDF) di Cilacap. PLTSa dapat mengonversi sampah perkotaan menjadi energi listrik
yang kemudian dapat digunakan di rumah-rumah. Adapun RDF dapat mengolah sampah
menjadi bahan bakar yang diperlukan industri semen. Dari perspektif lingkungan,
substitusi energi dari pembangkit tradisional seperti minyak dan batubara ke pembangkit
tenaga sampah menghasilkan dampak yang baik bagi lingkungan.
Pemulihan material dan energi di daerah dengan komposisi sampah yang
didominasi organik dapat dilakukan lebih baik lagi dengan melibatkan perspektif
bioekonomi dalam pengelolaan sampah. Bioekonomi menganggap limbah organik
sebagai bahan baku yang dapat ditransformasi menjadi produk yang berguna [13].
Konversi biomassa melalui teknik pemrosesan tertentu mampu menghasilkan bahan
bakar ataupun senyawa lain yang memiliki nilai tambah. Bioekonomi menekankan
pentingnya mengeksploitasi fraksi material organik yang saat ini tidak didaur ulang dan
menyebabkan berbagai masalah di TPA. Salah satu masalah yaitu timbulnya gas rumah
kaca yang memperparah krisis iklim. Produksi landfill gas (LFG) dalam bentuk metana
yang dihasilkan Indonesia tiap tahunnya yaitu sebesar 875.130 ton [14]. Dengan jumlah
tersebut, secara teoretis LFG berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 54.142 MW
per tahun. LFG dapat menjadi sumber bahan bakar alamiah yang dapat langsung
diinjeksi pada sistem perpipaan dengan adanya sistem pemulihan gas. Untuk mencapai
hal tersebut, TPA harus terlebih dahulu beroperasi dengan sistem sanitary landfill. Ini
merupakan tantangan terutama untuk TPA di Indonesia yang masih bergantung pada
open dumping maupun controlled landfill. Hal lain yang juga penting dalam bioekonomi
yaitu penerapan biodigester dan teknik biorefinery lainnya. Luaran yang saat ini
diharapkan dari proses biorefinery yaitu biofuel. Produk lain yang mungkin dimanfaatkan
meliputi kompos, biopolimer, bioplastik maupun senyawa lainnya.
Gambar 12. Proses dalam bioekonomi modern
Sumber : Tsui dkk., 2019

Penerapan biodigester sendiri di Indonesia sudah dikenal secara luas. Teknologi


biodigester relatif lebih matang dibandingkan dengan teknologi pengolahan yang lain
seperti insinerasi atau gasifikasi. Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah
Nasional (SIPSN) Kementrian Lingkungan Hidup, terdapat 324 unit biodigester yang
beroperasi di Indonesia. Namun, kebanyakan dari biodigester ini berskala kecil dan
belum terintegrasi dengan sistem pengelolaan sampah perkotaan. Tantangan dari proses
biorefinery adalah heterogenitas sampah organik yang menjadi input dalam proses
tersebut. Penggunaan biodigestate dari sampah heterogen sebagai pupuk dinilai beresiko
karena terdapat kemungkinan adanya senyawa yang tidak diinginkan dalam pupuk
tersebut. Beberapa wilayah seperti Uni Eropa saat ini melarang penggunaan pupuk dari
sampah heterogen. Selain itu, platform chemicals terkadang memerlukan jenis sampah
organik dari sumber tertentu yang memiliki karakteristik yang dibutuhkan untuk dapat
diproses menjadi senyawa yang memiliki nilai tambah. Maka dari itu, pengembangan
sistem pengumpulan terpilah dan kapasitas daur ulang menjadi sangat penting untuk
memastikan proses biorefinery berjalan dengan baik. Dari perspektif teknologi, tanpa
adanya pemilahan yang tepat, biaya yang diperlukan untuk teknologi pemilahan akan
dengan mudah menutupi profit dan mengurangi kelayakan ekonomi dari proses
biorefinery [15].
Keterkaitan antar tiap proses dalam pengelolaan sampah menuntut pemerintah
untuk merencanakan sistem pengelolaan sampah terpadu dalam menangani sampah.
Komponen pengurangan dan pemilahan dari sumber dapat mempengaruhi efektifitas dan
hasil pengolahan sampah secara umum. Karena itu, perencanaan perlu dilakukan dengan
pertimbangan yang matang terutama terkait teknologi dan sistem pengolahan. Dengan
kapasitas finansial yang rendah, opsi yang baik untuk diprioritaskan yaitu opsi yang
membutuhkan lebih sedikit sumber daya seperti penggunaan teknologi tepat guna.
Perencanaan sistem pengelolaan sampah juga harus didasarkan pada konteks daerah
seperti kondisi sosial-ekonomi, institusi, lingkungan dan lainnya. Pelibatan pemangku
kepentingan menjadi kunci dalam perencanaan terutama untuk menjamin tak hanya
keberlanjutan lingkungan, tapi juga keberlanjutan sosial.
B. Pengolahan Sampah Menjadi Energi
Salah satu upaya pengolahan sampah, khususnya sampah organik adalah
menjadikannya sebagai biogas. Pengolahan sampah organik dapat mengurangi bau dan
timbulan sampah baik di tempat pembuangan sementara (TPS) maupun di tempat
pembuangan akhir (TPA). Upaya sederhana yang dapat dilakukan untuk meminimalkan
sampah rumah tangga adalah melakukan pemilahan antara sampah organik dan sampah
anorganik. Pelibatan masyarakat dalam proses pengelolaan sampah dengan basis
partisipasi aktif masyarakat terdiri dari beberapa tahapan proses yaitu mengupayakan
agar sampah dikelola, dipilah, dan diproses pada tahap awal, mulai dari lingkungan
rumah tangga, upaya ini akan mengurangi jumlah sampah yang harus dikumpulkan dan
diangkut ke TPS. 
Biogas merupakan hasil dekomposisi bahan organik melalui proses fermentasi
anaerob yang menghasilkan gas metana yang dapat dibakar [16]. Biogas mengandung
50-70% metana dan 30-50% karbon dioksida serta sejumlah kecil gas lainnya. Biogas
memiliki nilai kalor 21-24 MJ/m3 [17]. Energi yang terkandung dalam biogas tergantung
dari konsentrasi metana. Semakin tinggi metana, semakin besar kandungan energi (nilai
kalor) yang terdapat pada biogas [18]. 
Biogas dihasilkan dari fermentasi secara anaerobik. Fermentasi anaerob
merupakan proses perombakan suatu bahan menjadi bahan lain dengan bantuan
mikroorganisme tertentu dalam keadaan tidak berhubungan langsung dengan udara bebas
atau anaerob [19]. Biogas juga dapat digunakan dalam digester anaerobik dimana energi
dalam gas diubah menjadi listrik dan panas menggunakan mesin gas [20]. Gas metana
menjadi parameter utama dalam menentukan kualitas hasil produksi pengolahan biogas.
Hal ini karena energi yang ada dalam biogas bergantung dari konsentrasi gas metana.
Semakin tinggi kandungan gas metana, maka semakin besar kandungan energi kalor
pada biogas, begitu pula sebaliknya. Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan beberapa
perlakuan, yaitu dengan menghilangkan gas-gas pengotor pada biogas, terutama
mereduksi kadar hidrogen sulfur (H2S) dan karbondioksida (CO2), serta Particulate
Matter (PM) yang disebut proses purifikasi. Ada banyak cara untuk mengurangi
kandungan gas H2S, salah satunya mempergunakan metode kontak dengan air atau yang
lazim disebut dengan metode water scrubber dan untuk menghilangkan kandungan gas
CO2 dapat mempergunakan filter batu kapur atau batu gamping [21].
Bahan baku biogas adalah bahan organik dan air. bahan organik didapat dari
sampah organik pada TPA Burangkeng yang kemudian dihaluskan supaya dapat
mempercepat proses fermentasi dan dicampur dengan kotoran sapi karena mengandung
methanobacteria yang berperan aktif dalam proses fermentasi. Campuran antara bahan
organik dan air harus membentuk bubur.

Reactor Biogas :

Gambar 12. Desain reaktor biogas


Sumber :  (Ajieh Mike Uche, 2020)
Desain reaktor ini disebut Chinese Dome Digester (CDC), CDC digunakan
karena memiliki cost yang cukup rendah dalam hal perancangan dan juga maintenance,
selain itu juga memiliki long life span. Prinsip kerja digester ini yaitu dengan mengubur
atau menutup slurry dari material organik yang telah dicampur dengan kotoran sapi
kedalam ruangan tertutup berupa dome melalui inlet tank. Sistem ini bersifat semi-
kontinyu slurry yang berada didalam dome akan terdorong keluar menuju effluent tank
ketika produksi gas didalam reaktor meningkat. Kemudian ketika gas yang mengalir
menuju pipa telah digunakan maka slurry yang berada pada effluent tank akan kembali
lagi menuju reaktor [22].
Kesimpulan
Sampah yang ada di lingkungan sekitar kita perlu ditangani dengan baik agar tidak ada dampak
buruk yang kita rasakan.  Saat ini, sistem pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi masih
menggunakan pendekatan kumpul-angkut-buang. Praktik ini menyebabkan permasalahan kelebihan
kapasitas penimbunan sampah di TPA Burangkeng. TPA juga tidak dikelola dengan baik sehingga
menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini menimbulkan dampak buruk bagi sosial dan kesehatan
masyarakat.  
Pada kajian ini, dibahas pengelolaan sampah menurut peraturan perundang-undangan yang ada,
praktik saat ini, peran pemerintah dalam tata kelola persampahan, paradigma pengelolaan sampah
berkelanjutan, serta evaluasi pengelolaan TPA Burangkeng. Pengelolaan sampah yang dibahas
meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, dan penimbunan sampah sesuai dengan regulasi
dan praktik yang ada. Pembahasan tata kelola persampahan mencoba mengidentifikasi permasalahan
serta solusi terkait tata kelola. Pada poin evaluasi pengelolaan TPA Burangkeng, dibahas
permasalahan dari kondisi eksisting saat ini serta saran perbaikan yang ditujukan pada pengelola TPA.
Di akhir, dibahas pula pendekatan pengelolaan sampah berkelanjutan untuk masa depan pengelolaan
sampah yang lebih baik. 
 
Saran
Untuk mencapai pengelolaan sampah yang baik, maka diperlukan keterlibatan baik dari
pemerintah, produsen, masyarakat, serta mahasiswa. Berikut merupakan beberapa saran yang dapat
diterapkan di TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi, antara lain:
a. Pemerintah
 Mengadakan program pemilahan dan pencegahan dan bekerja sama dengan instansi lain
dalam sistem pengelolaan sampah.
 Menetapkan larangan atau pembatasan pada kemasan dan produk tertentu
 Melaksanakan program edukasi, studi, dan diseminasi informasi
 Legislasi terkait kewajiban produsen untuk memenuhi kriteria kemasan dan produk
 Menetapkan pajak terkait penggunaan material dan limbah
 Menuntut adanya audit persampahan dan pengembangan rencana pencegahan limbah
dari bisnis/usaha
 Memperluas lahan TPA untuk mengatasi penumpukan sampah.
 Memperbaiki kinerja operasional TPA Burangkeng.
 Memperhatikan kondisi masyarakat sekitar TPA Burangkeng yang mengalami dampak
dari adanya TPA.
b. Produsen
● Berpartisipasi dalam program pencegahan seperti Extended Producer Responsibility
(EPR), sistem deposit untuk kemasan dan produk, ataupun program lain.
● Meningkatkan efisiensi material dalam produksi.
● Meningkatkan masa pakai, potensi guna ulang dan daur ulang, dan kemudahan untuk
reparasi produk.
● Meningkatkan kepatuhan pada regulasi yang berlaku.
c. Masyarakat
● Berperan aktif dalam program pemilahan maupun pengolahan dari sumber sampah
seperti komposting dan daur ulang skala rumah tangga
● Merubah perilaku dengan mengurangi konsumsi serta memilih produk yang lebih ramah
lingkungan
● Melakukan donasi atau penjualan untuk barang yang sudah tidak diinginkan
● Meningkatkan kesadaran terkait pengelolaan dan pencegahan sampah
● Meningkatkan kesadaran untuk mematuhi regulasi pemerintah terkait pembatasan
penggunaan material tertentu, contoh : pembatasan penggunaan plastik.
● Mengurangi penggunaan wadah sekali pakai.
d. Mahasiswa
 Melakukan kegiatan sosialisasi untuk pencerdasan kepada masyarakat terkait
pengelolaan sampah yang baik.
 Mendorong pemerintah untuk menyediakan layanan yang optimum terhadap TPA
Burangkeng melalui publikasi kajian agar kondisi ini lebih diperhatikan.
Sumber :

[1] M. T. D. Rimantho, "Usulan Strategi Pengelolaan Sampah Padat di TPA Burangkeng Bekasi
dengan Pendekatan SWOT dan AHP," Jurnal Ilmu Lingkungan, vol. 19, no. 2, pp. 383-391, 2021.

[2] S. W. Setiyono, "Sistem Pengelolaan Sampah Kota di Kabupaten Bekasi," Jurnal Teknologi
Lingkungan., vol. 2, no. 2, pp. 194-198, 2001.

[3] Republika, "Eksplora Republika," Republika.co.id, Sabtu Februari 2022. [Online]. Available:
https://eksplora.republika.co.id/posts/59414/klhk-tindak-tps-ilegal-di-bekasi-yang-cemari-kali-
cbl. [Accessed 27 Juli 2022].

[4] S. E. B. W. Manurung D, "Penentuan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah yang
Ramah Lingkungan di Kabupaten Bekasi," Jurnal Teknik ITS, vol. 8, no. 2, pp. 123-130, 2019.

[5] P. H. K. F. Ariyani S, "Evaluasi Pengelolaan Sampah di TPA Piyungan Kabupaten Bantul," UII,
Yogyakarta, 2019.

[6] T. K. Jati, "Peran Pemerintah Boyolali dalam Pengelolaan Sampah Lingkungan Permukiman
Perkotaan (Studi Kasus: Perumahan Bumi Singkil Permai)," Jurnal Wilayah dan Lingkungan, vol.
1, no. 1, pp. 1-16, 2013.

[7] T. G. C. Meidina, "Development of Waste Management Practices in Indonesia," European


Journal of Scientific Research, vol. 40, no. 2, pp. 199-210, 2010.

[8] T. P. E. Damanhuri, "Current Situation of Waste Recycling in Indonesia," ERIA Research Project
Report, pp. 23-52, 2008.

[9] I. G. R. A. A. Kristanto G., "The Performance of Municipal Solid Waste Recycling Program in
Depok," International Journal of Technology, no. 2, pp. 264-272, 2015.

[10] D. M. d. Z. C. A. Matter, "Improving the Informal Recycling Sector through Segregation of Waste
in the Household – the Case of Dhaka Bangladesh.," Habitat International, vol. 38, pp. 150-156,
2012.

[11] d. H. Sudibyo, "Technological Evaluation of Municipal Solid Waste Management System in


Indonesia," The 8th International Conference on Applied Energy, pp. 263-269, 2017.

[12] Y. N. A. S. Andrean W. Finaka, "Indonesiabaik.id," Indonesiabaik.id, 2019. [Online]. Available:


https://indonesiabaik.id/infografis/pltsa-siap-hadir-di-12-kota-indonesia. [Accessed 5
September 2022].

[13] J. W. T. Tsui, "A Critical Review: Emerging Bioeconomy and Waste-to-energy Technologies for
Sustainable Municipal Solid Waste Management.," Waste Disposal & Sustainable Energy, pp.
151-167, 2019.

[14] T. A. D. Andriani, "The Potentials of Landfill Gas Production: a Review on Municipal Solid Waste
Management in Indonesia.," Journal of Material Cycles and Waste Management, 2019.

[15] J. S. J-R Bastidas-Oyanedel, "Increasing Profits in Food Waste Biorefinery—A Techno-Economic


Analysis," Energies, vol. 11, no. 6, 2018.
[16] T. T. S. T. Y. Yahya, "PRODUKSI BIOGAS DARI CAMPURAN KOTORAN AYAM, KOTORAN SAPI,
DAN RUMPUT GAJAH MINI (Pennisetum Purpureum cv. Mott) DENGAN SISTEM BATCH," Jurnal
Teknik Pertanian Lampung (Journal of Agricultural Engineering), vol. 6, no. 3, pp. 151-160,
2018.

[17] S. T. A. T. Abbasi, Biogas Energy, 2012.

[18] S. D. A.-J. A. Sholeh, "ANALISIS KOMPOSISI CAMPURAN AIR DENGAN LIMBAH KOTORAN SAPI
DAN PELETAKAN POSISI DIGESTER TERHADAP TEKANAN GAS YANG DIHASILKAN," Journal of
Mechanical Engineering Learning, vol. 1, no. 1, 2012.

[19] R. R. A. B. D. Agusman, "Pengaruh Starter Ragi dalam Proses Pembentukan Biogas Limbah
Buah," Prosiding Seminar Nasional Teknoka, vol. 2502, no. 2, 2017.

[20] N. e. a. Sawyerr, "An Overview of Biogas Production : Fundamentals," Applications and Future
Research, vol. 9, no. 2, pp. 105-116, 2019.

[21] S. R. D. N. T. Soehartanto, "Pengembangan Teknologi Purifikasi Biogas (Kandungan Gas H2S Dan
CO2) dengan Mempergunakan Kombinasi Wet Scrubber-Batu Gamping," C I N I A, pp. 73-77,
2016.

[22] O. T. E. O. U. P. A. O. K. B. F. O. O. R. O. S. M. Ajieh Mike Uche, "Design and construction of fixed


dome digester for biogas production using cow dung and water hyacinth," African Journal of
Environmental Science and Technology, vol. 14, no. 1, pp. 15-25, 2020.

Anda mungkin juga menyukai