Anda di halaman 1dari 25

KRISIS PENGELOLAAN SAMPAH DAN


TEMPAT PEMROSESAN AKHIR DI
KABUPATEN BEKASI

KAJIAN HMTKI x HMTL


INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
TAHUN 2022
Latar Belakang

1. Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bekasi


Kabupaten Bekasi adalah kota besar dengan penduduk lebih dari 3,5 juta jiwa. Berdasarkan
data Pemerintah Kabupaten Bekasi, pada tahun 2021 pemerintah daerah Kabupaten Bekasi
mengelola rata-rata 568 ton sampah per hari. Timbulan sampah bersumber dari kegiatan rumah
tangga, institusi, jalan, pasar, area komersial, area publik dan industri. Komposisi dari sampah
padat di Kabupaten Bekasi, layaknya wilayah rural lain di Indonesia, didominasi oleh sampah
organik. 67% dari timbulan sampah merupakan sampah organik seperti sisa makanan, dedaunan,
dan lainnya. Sedangkan sampah anorganik yaitu plastik sebanyak 11%, kertas 13%, dan sisanya
merupakan logam, kayu, karet, kaca dan kain [1].
Sistem pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi cenderung konvensional [2]. Sistem
tersebut terdiri dari pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan penimbunan. Pada sistem ini
tidak diakomodasi pemilahan sampah baik dari sumber sampah maupun pada pengumpulan dan
pengangkutan. Pewadahan dilakukan dengan penyediaan TPS ataupun pewadahan komunal
untuk daerah dengan kepadatan tinggi. Pengumpulan dan pengangkutan umumnya dilakukan
dengan metode Stationary Container System (SCS) dimana sampah diangkut dari wadah sumber
menuju wadah pada kendaraan pengangkut. Kebanyakan dari truk pengangkut mengambil
sampah langsung ke rumah warga, sedangkan yang lain mengambil sampah dari wadah komunal
ataupun TPS. Sampah tersebut kemudian diangkut menuju TPA Burangkeng.

(1)

(2)
Gambar (1) dan (2): Pengangkutan sampah secara SCS
Sumber : Setiyono dan Wahyono, 2001

Pada sistem ini, pengolahan sampah yang direncanakan untuk mengurangi volume sampah
sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh minimnya ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan
sampah seperti TPS 3R, PLTSa, dan fasilitas lain. Adapun pengurangan dari sumber dengan
pemanfaatan komposting skala kecil maupun bank sampah tidak berjalan dengan menyeluruh
sehingga dampak yang dihasilkan tidak signifikan. Penerapan konsep reduce, reuse, dan recycle
(3R) pada pengolahan sampah di Kabupaten Bekasi sangat bergantung pada kegiatan sektor
informal seperti pengepul dan pelapak.
Menurut data dari Pemerintah Kabupaten Bekasi, jumlah sampah yang mampu dikelola
hanya 47,62% dari jumlah timbulan sampah yang dihasilkan oleh wilayah pelayanan
persampahan Kabupaten Bekasi pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas sampah
yang belum terkelola oleh sistem pengelolaan sampah Kabupaten Bekasi masih cukup besar.
Sampah yang tak terkelola ini umumnya berakhir pada tempat pembuangan sampah liar di
bantaran kali. Praktik pembuangan sampah secara liar ini dipicu terutama oleh jauhnya jarak
pengangkutan sampah dari sumber menuju TPA. Salah satu tempat pembuangan liar yang disebut
masyarakat lokal dengan nama TPS Cikarang-Bekasi-Laut (CBL) baru saja ditertibkan oleh
pemerintah daerah. Sekitar 3,6 hektar wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang
dijadikan TPS liar ini kini sudah penuh dengan sampah [3]. Pada tempat pembuangan liar seperti
CBL, pengelolaan dilakukan secara mandiri oleh warga sekitar. Akibatnya, kerap terjadi salah
kelola dalam bentuk pembakaran sampah secara terbuka dan pencemaran sampah ke badan air
maupun tanah terdekat.

Gambar 3. Daerah Aliran Sungai Citarum

2. Kondisi TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi


a. Sistem Pengelolaan TPA
TPA Burangkeng terletak di Desa Burangkeng, Kecamatan Setu. TPA ini sudah
beroperasi sejak tahun 1997 dengan luas awal 3,5 ha dan masih beroperasi sampai saat ini.
TPA ini merupakan satu-satunya TPA bagi 2,8 juta penduduk Kabupaten Bekasi. Luasnya
sekitar 11 ha dengan daya tampung 600-800 ton per hari. Namun, sejak tahun
beroperasinya TPA tersebut hingga sekarang, TPA tersebut tidak mengalami
perkembangan. Sistem persampahan yang digunakan masih sistem open dumping. Dengan
adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 03/PRT/M/2013 sistem tersebut kemudian harus diganti dengan sistem lahan urug
saniter (sanitary landfill). Hal ini memicu perubahan sistem TPA menjadi suatu bentuk
lahan urug terkendali (controlled landfill). Pada sistem ini, sampah yang telah ditimbun
kemudian diurug dengan tanah dan dipasangi pipa gas untuk mencegah ledakan ataupun
kebakaran pada lokasi TPA. Namun, karena minimnya pendanaan, operasional TPA
Burangkeng kini kembali pada sistem yang lama yaitu open dumping. TPA Burangkeng
juga mengalami kelebihan kapasitas. [4] Di beberapa zona, ketinggian penumpukan sudah
mencapai lebih dari 30 meter. Kelebihan kapasitas, bersama dengan penimbunan sampah
open dumping, menghasilkan gas metan yang terperangkap dalam jumlah besar. Hal ini
sangat membahayakan karena sewaktu-waktu gas tersebut dapat tersulut api,
menyebabkan ledakan dan kebakaran yang cukup dahsyat. Berdasarkan penuturan
pengelola TPA Burangkeng, kebakaran telah terjadi beberapa kali. Salah satu kebakaran
terparah yang terjadi di TPA Burangkeng membutuhkan waktu lebih dari 3 bulan untuk
dipadamkan seluruhnya. Polusi udara dari kebakaran sampah tersebut sangat berbahaya
bagi kesehatan masyarakat di sekitar.
b. Kondisi Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pada TPA meliputi fasilitas utama serta fasilitas dasar dan
penunjang. Fasilitas dasar dan penunjang terdiri dari 18 komponen [5]. Komponen tersebut
antara lain jalan akses, pos jaga, pagar pengaman, pintu pagar, lahan parkir, jalan
inspeksi/kerja, drainase lingkungan, kantor, sarana air bersih, sarana listrik, gudang
peralatan, bengkel, tempat cuci kendaraan, kantin, tempat istirahat pekerja, laboratorium,
dan zona penyangga. Adapun fasilitas utama terdiri dari 22 komponen yaitu sel TPA,
lapisan kedap air, lapisan kerikil, saluran pengumpul lindi, instalasi pengolahan lindi,
instalasi pipa gas, sumur pantau, peralatan sampel lindi, jembatan timbang, alat pencatat
timbangan, tempat pemilahan, bangunan komposter, peralatan komposter, tempat tanah
penutup, truk sampah, area maneuver, tanah penutup, buldozer, ekskavator, kompaktor,
tanggul pengaman, dan saluran pelindung tanggul.
• Fasilitas dasar dan penunjang
Prasarana jalan terdiri dari jalan akses, jalan operasional, dan jalan
penghubung. Jalan akses adalah jalan yang menghubungkan jalan utama menuju
TPA. Jalan operasional adalah jalan yang digunakan kendaraan pengangkut untuk
menuju titik pembongkaran. Jalan penghubung adalah jalan yang menhubungkan
antarbagian di wilayah TPA. Keseluruhan jalan yang dibangun berbahan beton
dengan lebar jalan sekitar 4-5 meter. Jalan tersebut dapat menampung paling banyak
2 mobil. Sayangnya, jalan operasional TPA Burangkeng saat ini juga digunakan
sebagai satu-satunya jalan akses menuju pemukiman warga yang berada didekat
TPA. Karena itu, sering terjadi kemacetan dan warga yang berlalu-lalang harus
menghirup aroma sampah ketika melewati jalan tersebut. Jalan akses tersebut juga
seringkali tergenang oleh air lindi dari TPA. Selain itu, karena kelebihan kapasitas,
beberapa jalan penghubung juga sudah tertutup oleh sampah.

Gambar 4. Genangan air lindi di jalan akses menuju TPA Burangkeng

Lahan parkir tidak tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga antrian truk
terkadang berada pada jalan akses tersebut, memperparah kemacetan. Saat aktivitas
TPA padat, antrian menjadi sangat panjang bahkan keluar dari pintu TPA dan
menuju jalan utama. TPA juga tidak dilengkapi dengan drainase yang memadai
karena pengelolaannya yang masih menggunakan sistem open dumping. Ketika
hujan terjadi, wilayah di sekitar akan tergenang air lindi karena tidak adanya
drainase tersebut. Fasilitas air bersih dan listrik di TPA hanya tersedia pada wilayah
kantor pengelola TPA serta gudang dan bengkel. Untuk pencucian kendaraan
pengangkut, tersedia jasa pencucian kendaraan yang dikelola secara mandiri oleh
masyarakat dan menggunakan air tanah. Fasilitas penunjang yang tersedia yaitu
gudang, garasi dan bengkel. Garasi berukuran sekitar 150 m2 dan dapat menampung
3-4 alat berat. Wilayah gudang dan bengkel menjadi satu bagian dengan luas sekitar
400 m2. Keseluruhan luas dari fasilitas penunjang tidak sebanding dengan jumlah
armada alat berat yang dikelola oleh TPA. Pos jaga tersedia di wilayah fasilitas
penunjang, namun fungsi pos jaga dilakukan pada kantor TPA bersama dengan
jembatan timbang dan administrasi truk yang masuk. Kantor berada dalam kondisi
yang baik, dengan lahan parkir yang hanya mencukupi untuk kendaraan roda dua.
Gapura papan nama sekaligus pintu masuk terbuat dari beton dan kondisinya cukup
baik. Zona penyangga terdiri dari tanaman atau pohon yang berada pada perbatasan
antara TPA dan zona pemukiman serta pertanian di sekitar TPA. Tempat istirahat
juga tersedia dan diisi oleh pedagang makanan dan minuman. Beberapa pedagang
makanan dan minuman berada pada lokasi yang sangat dekat dengan timbunan
sampah sehingga sanitasinya cenderung tidak layak.

Gambar 5. Area TPA yang dijadikan tempat berjualan

• Fasilitas utama
Saat ini tidak ada pemetaan sel yang baku di TPA Burangkeng. Sampah yang
dibongkar langsung dipindahkan tanpa perencanaan yang jelas. Sampah juga tidak
dipadatkan sehingga efisiensi penggunaan lahan menjadi minim. Hal ini
menyebabkan tingginya timbunan sampah pada beberapa zona. Fasilitas alat berat
yang kurang memadai menjadi salah satu pemicu masalah ini. Terdapat paling tidak
14 unit excavator dan 6 unit buldoser di TPA Burangkeng. Namun, hanya 8 unit
excavator yang operasional sedangkan tidak ada buldoser yang operasional.
Beberapa alat ini rusak ringan dan rusak berat sehingga tidak dapat digunakan.
Beberapa bahkan sempat disita karena dijadikan objek korupsi pengadaan fasilitas
persampahan. Kendaraan pengangkut yang masuk ke TPA umumnya adalah milik
Dinas Lingkungan Hidup atau milik swasta. Jumlah kendaraan yang dimiliki oleh
pemerintah yaitu 50 unit gerobak, 143 unit motor sampah, dan 109 unit dump truck,
73 unit armroll truck, dan 17 unit mobil pickup. Pada kantor TPA terdapat jembatan
penimbangan yang digunakan untuk menimbang berat sampah yang masuk. Jalan
operasional yang sempit dan minim area maneuver membuat wilayah sekitar
jembatan seringkali macet.
Sejak awal berdirinya TPA Burangkeng, belum pernah terjadi pengelolaan
dengan sanitary landfill sehingga tidak terdapat lapisan geomembran dan lapisan
kerikil yang mencegah air lindi menuju permukaan tanah. Begitu pula dengan
fasilitas lain yang terkait dengan pengelolaan menggunakan sanitary landfill seperti
pengumpul lindi, pelindung tanggul, tanggul, drainase lingkungan dan juga pipa gas.
Tanah penutup tidak tersedia di lokasi TPA sehingga tanah umumnya diambil dari
pihak ketiga.
Fasilitas pengolahan seperti instalasi pengolahan lindi, pemilahan dan
komposting tersedia. Namun karena pengelolaan yang buruk dan kelebihan
kapasitas, fasilitas tersebut tidak berfungsi optimal. Instalasi pengolahan lindi (IPL)
saat ini sudah tidak operasional karena timbunan sampah sudah mencapai bagian
IPL.

Gambar 6. Penampung lindi yang sudah tidak dioperasikan

Begitu pula dengan fasilitas komposting. Karena komposting memerlukan


pemilahan dan juga pengelolaan tertentu, kegiatan komposting di TPA Burangkeng
kini terbatas pada sampah yang telah dipilah atau didominasi organik dari
sumbernya. Hanya sampah dari pasar dan bekas produksi makanan yang dapat
dijadikan kompos. Hal ini sangat disayangkan mengingat sebagian besar sampah
yang dihasilkan Kabupaten Bekasi adalah sampah organik. Jika tidak dikelola,
sampah organik akan menghasilkan gas metan yang berbahaya bagi keselamatan
dan berkontribusi bagi pemanasan global. Fasilitas komposting yang tersedia yaitu
mesin pencacah dan mesin pengayak. Fasilitas yang tersedia ini hanya mampu
mengolah sampah organik dengan kapasitas kecil. Ketersediaan lahan yang terbatas
menutup kemungkinan untuk penerapan windrow composting.
Gambar 7. Peralatan yang tersedia di area komposting

Adapun untuk kegiatan pemilahan hanya dilakukan oleh pemulung dan


pelapak yang berada di sekitar lokasi TPA. Pemulung dan pelapak bergerak secara
mandiri sehingga peralatan daur ulang pun terbatas. Proses daur ulang yang terjadi
hanya sebatas sortir, kemas dan angku, tanpa proses lain seperti pembersihan dan
pencacahan. Jumlah pelapak yang ada di sekitar TPA kurang lebih 20 dengan
kapasitas sekitar 200-300 kg per hari. Maka dari itu, pengurangan yang terjadi dari
proses daur ulang tidak signifikan.
Fasilitas untuk pemantauan kualitas air lindi dan air tanah seperti alat
sampling dan sumur pantau tidak dikelola dengan baik pada TPA burangkeng.
Sumur pantau kini sudah tertutup sampah dan tidak digunakan lagi. Hal ini terjadi
karena pemantauan tidak dilakukan secara teratur atau berkala.

Gambar 8. Sumur pantau yang sudah tidak di operasikan

Sebesar 11,6 hektar lahan yang dikelola oleh TPA Burangkeng merupakan
lahan milik Kabupaten Bekasi. Bagian barat dari TPA Burangkeng berbatasan
dengan wilayah Kota Bekasi. TPA Burangkeng dibangun pada daerah yang tidak
rawan banjir, sehingga banjir tidak pernah menjadi masalah yang berarti. Jarak TPA
dari badan air sangat dekat, begitu pula dengan perumahan dan pertanian. Hal ini
dikarenakan tidak dialokasikannya subzona penyangga pada tata ruang TPA
Burangkeng.
Gambar 9. Letak lokasi TPA Burangkeng

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 19/PRT/M/2012 tentang


pedoman tata ruang sekitar TPA, diperlukan subzona penyangga untuk mencegah
dampak buruk TPA bagi masyarakat. Dalam pedoman tersebut, dibutuhkan paling
tidak subzona penyangga sejauh 500 meter dari sumber sampah. Selain mengatur
ketentuan jarak subzone penyangga dan subzone budi daya terbatas, pedoman
tersebut juga mengatur kegiatan dan penggunaan lahan yang diperbolehkan pada
wilayah sekitar TPA. Beberapa kegiatan yang ditemui di subzona penyangga TPA
Burangkeng dan menyalahi ketentuan pada pedoman Permen PU tersebut antara lain
: perumahan (rumah tunggal), perdagangan dan jasa (warung dan toko), fasilitas
peribadatan (masjid), dan pertanian. Adapun penggunaan zona penyangga untuk
sabuk hijau sejauh 100 meter tidak terpenuhi. Hal ini menyebabkan bau sampah
tercium hingga bagian luar dari subzona penyangga. Sampah yang menumpuk tinggi
terlihat bahkan dari kejauhan sehingga dapat dianggap sebagai gangguan estetika.

Gambar 10. Tata ruang kawasan TPA


3. Kondisi Masyarakat Terdampak
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi tidak berjalan
optimal. Perencanaan pembangunan TPA Burangkeng, misalnya, tidak disertai dengan sosialisasi
yang baik dengan masyarakat. Masyarakat mengaku tertipu sebab Desa Burangkeng awalnya
diperuntukkan sebagai tempat kandang ayam. Namun perlahan-lahan, daerah tersebut
berkembang menjadi TPA. Masyarakat sempat kecewa namun segera berubah ketika melihat
prospek ekonomi dari sampah. Saat ini, sudah banyak warga yang menggantungkan hidup pada
kegiatan persampahan di TPA Burangkeng. Kegiatan daur ulang memberikan keuntungan yang
cukup baik bagi warga sekitar. Bahkan, pekerja pengangkutan sampah juga kerap kali merangkap
sebagai pemilah ketika berada di truk sampah. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan pendapatan
tambahan karena upah pengangkut yang minim – sekitar 70 sampai 80 ribu rupiah per hari kerja.
Sayangnya, keuntungan ekonomi dari sampah tidak didapatkan secara cuma-cuma. Ada harga
yang harus dibayar yaitu dari segi kesehatan masyarakat.
Masyarakat yang berada di dekat TPA harus hidup bersama dengan sampah dan
masalahnya. Bau dan bisingnya alat berat adalah dampak yang kecil bagi masyarakat, terutama
bila dibandingkan dengan bahaya penyakit dan pencemaran lingkungan yang terjadi. Pencemaran
air lindi menyebabkan sumur-sumur di rumah warga menjadi hitam dan bau. Air tanah yang telah
tercemar sudah tidak dapat lagi digunakan untuk kegiatan sanitasi. Beberapa warga bahkan
menolak untuk beribadah pada salah satu masjid di dekat TPA karena kekhawatiran akan air yang
tercemar. Saat ini, warga mengandalkan air galon yang harganya lebih mahal. Dekatnya warga
dengan sampah juga menimbulkan bahaya kesehatan. Namun, tidak ada pemantauan kesehatan
khusus oleh Dinas Kesehatan untuk warga sekitar TPA Burangkeng.
Terkait dampak buruk yang disebabkan TPA, warga sudah berulang kali melayangkan
komplain pada pengelola TPA. Namun, karena proses birokrasi yang berbelit-belit, tidak ada
perubahan yang signifikan bagi masyarakat. Beberapa pegawai TPA berdalih bahwa yang
mereka kerjakan hanya yang bersifat teknis, sehingga aspirasi dari masyarakat perlu dibawa ke
Dinas terkait di pemerintah kabupaten. Hal inilah yang menginspirasi terbentuknya Persatuan
Pemuda Burangkeng Peduli Lingkungan (Prabu PL). Sejak 2019, Prabu mengorganisir
masyarakat untuk bersuara dengan cara yang lebih birokratis. Prabu telah membuat kajian
mandiri terkait permasalahan yang ada di TPA Burangkeng berikut rekomendasi dan solusi yang
ditawarkan. Melalui audiensi dengan Dinas Lingkungan Hidup, laporan tersebut sudah
diserahkan untuk dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah. Saat ini, partisipasi masyarakat
mulai diperhatikan dengan diundangnya LSM seperti Prabu dalam diskusi-diskusi terkait
pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah. Belum banyak tindak lanjut pemerintah dalam
perbaikan tata kelola TPA. Saat ini, hanya ada pemberian uang kompensasi bagi warga
terdampak TPA sebesar 300 ribu rupiah per tiga bulan. Jumlah penerima kompensasi saat ini
sekitar 2500 keluarga. Pemberian kompensasi itu dirasa kurang dan sering tertunda. Saat ini,
sudah lebih dari 7 bulan tidak dibayarkan.
Pada umumnya, ada dua pokok tuntutan dari masyarakat sekitar TPA Burangkeng. Yang
pertama yaitu perbaikan tata kelola dan fasilitas TPA. Permasalahan yang mendesak seperti
perbaikan infrastruktur jalan, sistem lahan urug, instalasi pengolahan air lindi, drainase,
pengolahan sampah dan fasilitas penting lain menjadi fokus utama. Selain itu, pemantauan dan
pengelolaan yang baik juga diperlukan terutama menyangkut kewajiban pengelola pada izin
lingkungan. Tuntutan yang kedua yaitu adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah. Hal ini meliputi pemberdayaan masyarakat dan juga bantuan terhadap
masyarakat sekitar TPA. Pemberdayaan yang dimaksud dapat berupa penyediaan fasilitas
pengolah sampah untuk pemulung dan pelapak ataupun program lain untuk meningkatkan
produktivitas warga dan memanfaatkan potensi desa. Adapun bantuan yang diharapkan yaitu
kompensasi untuk warga yang terdampak, penyediaan air bersih, serta sarana pendidikan dan
peribadatan. Selain itu, warga berharap dapat terlibat dalam perencanaan maupun implementasi
program pengelolaan sampah dari pemerintah. Salah satu usulan yaitu untuk membentuk tim
monitoring dan evaluasi yang terdiri sebagian oleh masyarakat sekitar agar terdapat keterlibatan
masyarakat dalam pengawalan operasional TPA. Partisipasi masyarakat ini diharapkan dapat
mencegah tata kelola yang buruk di kemudian hari.
Maka dari itu dilakukan kajian terhadap TPA Burangkeng. untuk mengetahui bagaimana
seharusnya pemerintah dalam penerapan kapasitas institusional, menerapkan pengolahan sampah
yang bermanfaat, menerapkan sistem operasional TPA yang ideal, serta peran masyarakat dalam
permasalahan ini.
Pembahasan
1. Evaluasi Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bekasi
Sampah yang ada disekitar kita seharusnya dikelola dengan baik. Pengelolaan sampah
yang buruk dapat menjadi masalah serius yang harus dihadapi oleh pemerintah selaku pihak yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah. Pada bagian ini, akan dibahas permasalahan pada
pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi.
a. Tidak adanya sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi
Komponen kegiatan dari pengelolaan sampah memiliki keterkaitan antara satu sama
lain. Dalam perencanaan pengelolaan sampah yang baik, diperlukan suatu sistem
pengelolaan sampah yang terintegrasi. Komponen seperti reduksi dari sumber, pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan penimbunan perlu dipadukan sehingga
penanganan sampah dapat terjadi secara optimal. Merencanakan kegiatan pengolahan
sampah dengan cara komposting, misalnya, perlu memperhatikan proses pemilahan di
sumber dan pengangkutan sampah terpilah. Hal ini dikarenakan komposting hanya dapat
berjalan dengan baik apabila sampah sebelumnya telah melalui pemilahan dan hanya
menyisakan sampah organik. Keterpaduan antar komponen kegiatan dalam sistem
pengelolaan sampah adalah hal yang krusial dalam perencanaan sistem pengelolaan
sampah. Perencanaan teknis yang kompleks ini harus dilakukan oleh tenaga ahli yang
kapabel. Selain itu, kapasitas kelembagaan juga perlu ditingkatkan untuk menjamin
pelaksanaan dan pengawasan sistem pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan baik.
b. Pengurangan dan pemilahan dari sumber
Kebijakan pengurangan dan pemilahan dari sumber saat ini masih belum optimal.
Pengurangan dari sumber terjadi pada kegiatan bank sampah yang belum dapat dijangkau
oleh kebanyakan penghasil sampah. Proses pemilahan dari sumber juga terbatas oleh
ketersediaan wadah terpilah yang minim serta praktik pencampuran kembali sampah
terpilah di kendaraan pengumpul atau pengangkut. Untuk mengatasi masalah tersebut,
dapat dilakukan beberapa hal:
▪ Penyediaan wadah terpilah
Wadah terpilah paling tidak dibagi menjadi tiga jenis yaitu organik, anorganik,
dan residu. Ukuran dan jenis wadah perlu disesuaikan dengan karakteristik sampah di
lokasi penghasil sampah. Sebagai contoh, sampah organik adalah sampah yang
dominan di sampah rumah tangga, maka ukuran wadah harus mengikuti timbulan
sampah organik.

Gambar 11. Tempat Pemilahan Sampah


▪ Pengangkutan terpilah dan terjadwal
Sampah yang sudah terpilah dilarang untuk dicampurkan kembali di kendaraan
pengumpul ataupun pengangkut. Penyesuaian yang bisa dilakukan antara lain
penyediaan kendaraan dengan beberapa kompartemen ataupun penjadwalan kendaraan
yang spesifik untuk satu jenis sampah.

Gambar 12. Gerobak Pengangkut Sampah


▪ Pengadaan program atau insentif
Peningkatan kesadaran untuk memilah dan mengurangi sampah secara sukarela
seringkali sulit dilakukan. Maka dari itu perlu program atau insentif bagi masyarakat
untuk melakukan hal tersebut. Program atau insentif dapat berupa larangan
penjemputan sampah tidak terpilah, pajak layanan yang disesuaikan dengan jumlah
sampah, pemberian benefit untuk sampah yang dapat didaur ulang, dan lain-lain.
c. Pengangkutan sampah
Hanya sekitar 47,62% sampah dari keseluruhan timbulan sampah di Kabupaten
Bekasi yang berhasil ditangani pada tahun 2021. Angka ini berada di bawah target yang
ditetapkan pemerintah Kabupaten Bekasi dalam Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada)
yaitu sebesar 74%. Sampah yang tidak tertangani kemudian berakhir di tempat
pembuangan sampah liar atau dibuang sembarangan dan berpotensi merusak lingkungan.
Tingkat pelayanan suatu sistem persampahan berkaitan dengan ketersediaan sarana dan
prasarana penanganan sampah seperti kendaraan pengangkut, kendaraan pengumpul, TPS,
TPA/TPST dan transfer depo. Jumlah armada yang kurang mencukupi serta jarak antara
TPS dan TPA/TPST yang jauh dan tidak ekonomis adalah masalah utama dalam sistem
pengangkutan. Untuk dapat memahami permasalahan ini, perlu dilakukan analisis sistem
pengangkutan.
Pada umumnya terdapat dua macam sistem pengangkutan yaitu Hauled Container
System (HCS) dan Stationary Container System (SCS). Pada sistem HCS, kontainer
sampah diangkut beserta sampah didalamnya menuju TPS/TPA untuk kemudian
dibongkar dan dikembalikan kontainernya di posisi semula. Metode ini hanya
membutuhkan satu kru yaitu pengemudi truk untuk dapat beroperasi. Sistem SCS,
sebaliknya, hanya mengangkut sampah tanpa membawa kontainernya. Truk bergerak dari
satu kontainer ke kontainer lain hingga volume angkut terpenuhi. Proses bongkar muat
yang digunakan di sistem SCS dapat berupa mekanis ataupun manual. Kebutuhan kru pada
truk mekanis sama dengan sistem HCS sedangkan truk manual akan membutuhkan kru
tambahan untuk mengumpulkan sampah. Sistem SCS direkomendasikan karena tingkat
utilisasi volume kendaraan yang lebih tinggi dan biaya modal yang lebih rendah untuk
volume angkut yang sama dibandingkan dengan sistem HCS. Maka dari itu, investasi
sarana dan prasarana persampahan di waktu mendatang perlu mempertimbangkan
penambahan armada truk kompaktor atau truk lain yang kompatibel dengan sistem SCS.
Faktor lain yang juga penting dalam analisis sistem pengangkutan yaitu
penjadwalan dan rute pengangkutan. Pemodelan dapat dilakukan untuk menemukan
jadwal dan rute yang tepat berdasarkan jarak tempuh, biaya, kondisi lalu lintas dan lain-
lain. Optimisasi penjadwalan dan rute tidak hanya meningkatkan ritasi dan volume sampah
terangkut namun juga mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan. Analisis
ini juga dapat menentukan kebutuhan stasiun transfer untuk lebih jauh lagi meningkatkan
efisiensi dari sistem pengangkutan. Stasiun transfer menjadi penting terutama karena
wilayah pelayanan Kabupaten Bekasi cukup luas dengan beberapa daerah pelayanan
berjarak lebih dari 25km dari TPA. Stasiun transfer berfungsi sebagai tempat
berkumpulnya kendaraan pengangkut dari sumber atau TPS dengan kendaraan pengangkut
yang lebih besar yang menuju TPA. Adanya stasiun transfer dapat mengurangi biaya pada
perjalanan yang jauh sehingga biaya angkut tetap terjangkau bagi daerah pelosok.

Gambar 13. Perbandingan Hauling Cost terhadap ada tidaknya stasiun transfer
d. Pengolahan sampah
Kuantitas sampah yang terus meningkat serta ketersediaan lahan penimbunan yang
semakin terbatas terutama pada daerah padat penduduk menjadi sebab pentingnya
pengolahan sampah. Pengolahan awalnya hanya dilihat sebagai cara untuk mengurangi
sampah yang masuk atau berada di TPA. Saat ini, pengolahan lebih banyak dilihat dari
segi keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dimana sampah dapat dipulihkan menjadi
energi ataupun material yang dapat digunakan kembali. Dalam hirarki pengelolaan
sampah, pengolahan menjadi prioritas setelah pencegahan dan pengurangan sampah.

Gambar 14. Hirarki Pengelolaan Sampah Yang Berkelanjutan


Program pencegahan dan pengurangan sampah yang dilakukan dengan baik dapat
mengurangi jumlah sampah yang harus ditangani sebesar 20% sampai 30% dari timbulan
sampah. Sebagian besar sampah lainnya kemudian ditangani dengan pengolahan
(pemulihan material dan energi) maupun penimbunan. Pemulihan material biasanya
berupa daur ulang oleh sektor informal ataupun kegiatan 3R di TPS3R. Tantangan pada
proses guna ulang dan daur ulang saat ini yaitu sampah yang masih tercampur dan fasilitas
daur ulang yang kurang memadai. Pemilahan dari sumber menjadi salah satu solusi yang
dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini. Konsep pemilahan dari sumber sampah
telah dibahas di sub bab b pada bagian pembahasan laporan ini. Kemudian untuk
penyediaan fasilitas daur ulang dapat dilakukan dengan membangun TPS3R,
meningkatkan kapasitas TPS3R yang telah ada, atau bekerja sama dengan bank sampah
serta usaha yang dikelola komunitas dan sektor informal. Pendekatan ini membutuhkan
komitmen dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembiayaan terhadap
pengadaan fasilitas daur ulang. Pembiayaan untuk penanganan sampah umumnya
bersumber dari anggaran daerah dan retribusi. Sayangnya, anggaran dan retribusi tersebut
tidak terstruktur dengan baik sehingga operasi penanganan sampah kerap kali mengalami
defisit[3]. Penyesuaian struktur tarif dapat dilakukan, namun perlu memperhatikan konteks
ekonomi dan sosial dari masyarakat lokal. Yang juga penting untuk diperhatikan adalah
pemulihan material untuk bahan organik yang mendominasi komposisi sampah di
Kabupaten Bekasi. Proses yang biasanya digunakan yaitu komposting atau anaerobic
digestion dengan biodigester. Partisipasi masyarakat dapat dimanfaatkan untuk program
komposting skala rumah tangga dengan menggunakan peralatan sederhana. Proses tersebut
lebih direkomendasikan dibanding komposting skala kawasan yang kerap kali tidak efektif
karena kebutuhan lahan yang tinggi dan ketersediaan lahan yang tidak mencukupi. Proses
anaerobic digestion sendiri sudah mulai diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Proses
tersebut memberi nilai tambah yang besar dalam bentuk biogas yang juga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Sayangnya, biodigester yang saat ini diterapkan
masih dalam skala kecil. Pembangunan biodigester skala besar di Kabupaten Bekasi
sejatinya dapat diterapkan dengan baik mengingat sumber sampah organik yang
besar.Namun, jika hal itu hendak diterapkan maka pemilahan sampah organik secara masif
perlu dilakukan untuk menjamin kontinuitas reaktor biodigester tersebut. Dari perspektif
teknologi, tanpa adanya pemilahan yang tepat, biaya yang diperlukan untuk teknologi
pemilahan akan dengan mudah menutupi profit dan mengurangi kelayakan ekonomi dari
proses tersebut [10].
Pemulihan energi adalah opsi yang lebih menarik bagi pemerintah saat ini.
Tantangan yang ada pada proses pemulihan energi di Indonesia yaitu komposisi sampah
yang didominasi sampah organik. Sampah organik cenderung memiliki kandungan air
yang tinggi sehingga mengurangi nilai kalor pada pengolahan termal. Karena itu, proses
termal di Indonesia memerlukan lebih banyak sumber daya untuk dijalankan, mengurangi
efisiensinya. Pengolahan termal juga membutuhkan teknologi yang tepat untuk
mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan produk pembakarannya. Walau begitu,
kelayakannya secara ekonomi dan teknis cukup menjanjikan[6]. Kemampuan proses
termal untuk menghasilkan keuntungan sekaligus mengatasi volume penimbunan sampah
menjadi alasan pemerintah merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) di 12 kota di Indonesia[7]. Pengolahan sampah dengan proses termal
mulai diadaptasi di Indonesia dengan pembangunan pilot project PLTSa di Surabaya dan
TPST Refuse Derived Fuel (RDF) di Cilacap. PLTSa dapat mengonversi sampah
perkotaan menjadi energi listrik yang kemudian dapat digunakan di rumah-rumah. Adapun
RDF dapat mengolah sampah menjadi bahan bakar yang diperlukan industri semen. Dari
perspektif lingkungan, substitusi energi dari pembangkit tradisional seperti minyak dan
batubara ke pembangkit tenaga sampah menghasilkan dampak yang baik bagi lingkungan.
Pemulihan material dan energi di daerah dengan komposisi sampah yang didominasi
organik dapat dilakukan lebih baik lagi dengan melibatkan perspektif bioekonomi dalam
pengelolaan sampah. Bioekonomi menganggap limbah organik sebagai bahan baku yang
dapat ditransformasi menjadi produk yang berguna [8]. Konversi biomassa melalui teknik
pemrosesan tertentu mampu menghasilkan bahan bakar ataupun senyawa lain yang
memiliki nilai tambah. Bioekonomi menekankan pentingnya mengeksploitasi fraksi
material organik yang saat ini tidak didaur ulang dan menyebabkan berbagai masalah di
TPA. Salah satu masalah yaitu timbulnya gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim.
Produksi landfill gas (LFG) dalam bentuk metana yang dihasilkan Indonesia tiap tahunnya
yaitu sebesar 875.130 ton [9]. Dengan jumlah tersebut, secara teoretis LFG berpotensi
menghasilkan energi listrik sebesar 54.142 MW per tahun. LFG dapat menjadi sumber
bahan bakar alamiah yang dapat langsung diinjeksi pada sistem perpipaan dengan adanya
sistem pemulihan gas. Untuk mencapai hal tersebut, TPA harus terlebih dahulu beroperasi
dengan sistem sanitary landfill. Ini merupakan tantangan terutama untuk TPA di Indonesia
yang masih bergantung pada open dumping maupun controlled landfill. Hal lain yang juga
penting dalam bioekonomi yaitu penerapan biodigester dan teknik biorefinery lainnya.
Luaran yang saat ini diharapkan dari proses biorefinery yaitu biofuel. Produk lain yang
mungkin dimanfaatkan meliputi kompos, biopolimer, bioplastik maupun senyawa lainnya.

Gambar 13. Proses dalam bioekonomi modern


Sumber : Tsui dkk., 2019
Produk biofuel biasanya merupakan turunan dari biogas. Biogas merupakan hasil
dekomposisi bahan organik melalui proses fermentasi anaerob yang menghasilkan gas
metana yang dapat dibakar. Biogas mengandung 50-70% metana dan 30-50% karbon
dioksida serta sejumlah kecil gas lainnya. Biogas memiliki nilai kalor 21-24 MJ/m3.
Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana. Semakin tinggi
metana, semakin besar kandungan energi (nilai kalor) yang terdapat pada biogas.
Biogas dihasilkan dari fermentasi secara anaerobik. Fermentasi anaerob merupakan
proses perombakan suatu bahan menjadi bahan lain dengan bantuan mikroorganisme
tertentu dalam keadaan tidak berhubungan langsung dengan udara bebas atau anaerob.
Biogas juga dapat digunakan dalam digester anaerobik dimana energi dalam gas diubah
menjadi listrik dan panas menggunakan mesin gas. Gas metana menjadi parameter utama
dalam menentukan kualitas hasil produksi pengolahan biogas. Hal ini karena energi yang
ada dalam biogas bergantung dari konsentrasi gas metana. Semakin tinggi kandungan gas
metana, maka semakin besar kandungan energi kalor pada biogas, begitu pula sebaliknya.
Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan beberapa perlakuan, yaitu dengan
menghilangkan gas-gas pengotor pada biogas, terutama mereduksi kadar hidrogen sulfur
(H2S) dan karbondioksida (CO2), serta Particulate Matter (PM) yang disebut proses
purifikasi. Ada banyak cara untuk mengurangi kandungan gas H2S, salah satunya
mempergunakan metode kontak dengan air atau yang lazim disebut dengan metode water
scrubber dan untuk menghilangkan kandungan gas CO2 dapat mempergunakan filter batu
kapur atau batu gamping.
Bahan baku biogas adalah bahan organik dan air. bahan organik yang dapat
digunakan sebagai biogas antara lain limbah peternakan seperti kotoran sapi, limbah
pertanian seperti jerami, limbah industri seperti serbuk gergaji, umbi-umbian seperti
singkong dan masih banyak lagi. Bahan baku harus berbentuk bubur sehingga kandungan
air harus cukup tinggi sekitar 7-9%. Jika kandungan air terlalu tinggi maka perlu
diencerkan dengan air.
Terdapat 4 tahap pembuatan biogas yaitu Hidrolisis, Asidogenesis, Asetogenesis
dan Metanogenesis. Hidrolisis merupakan tahap awal dari proses fermentasi. Tahap ini
merupakan penguraian bahan organik dengan senyawa kompleks berupa polimer yang
memiliki sifat mudah larut seperti lemak, protein, dan karbohidrat menjadi senyawa yang
lebih sederhana serta tidak terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan oleh bakteri
fakultatif seperti lipolytic bacteria, cellulolytic bacteria, dan proteolytic bacteria.
Senyawa-senyawa yang terbentuk pada tahap hidrolisis dikonversi menjadi senyawa
organik sederhana seperti asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa mineral
seperti karbondioksida, hidrogen, amoniak, dan gas hidrogen sulfida oleh acidogenic
bacteria pada tahap asidogenesis. Selanjutnya hasil asidogenesis tersebut kemudian
dikonversi menjadi hasil akhir bagi produksi metana berupa asetat, hidrogen, dan
karbondioksida oleh acetogenic bacteria pada tahap asetogenesis.
Produk asetogenesis adalah gas H2 yang terbentuk pada tahap asidogenik dari
proses digester anaerob maka tahap ini juga dikenal sebagai tahap dehidrogenasi
dikarenakan metabolisme bakteri asetogenik dihambat oleh gas H2 yang dihasilkan.
Namun, gas H2 dapat dikonsumsi oleh bakteri penghasil CH4 untuk memproduksi CH4.
Bakteri metanogen seperti methanococus, methanosarcina, dan methanobacterium akan
mengubah produk lanjutan dari tahap pengasaman menjadi gas metan, karbiondioksida,
dan air yang merupakan komponen penyusun biogas. Metan diproduksi dengan dua
mekanisme yang berbeda, yaitu pemutusan ikatan langsung dari CH3COOH dengan gugus
metil dikonversikan menjadi metan dan gugus karbonil menjadi karbondioksida.
Mekanisme yang lain adalah reduksi karbondioksida oleh atom-atom hydrogen yang pada
awalnya dipisahkan dari asam-asam organik.
CH3COOH → CH4 + CO2
CO2 + 4 H2 → CH4 + 2 H2O
2 CH3CH2OH + CO2 → CH4 + 2 CH3COOH
Persamaan pertama menunjukkan konversi CH3COOH menjadi CH4 dan CO2.
CO2 yang terbentuk direduksi menjadi CH4 melalui gas H2 pada persamaan kedua.
Persamaan terakhir merupakan produksi CH4 dengan dekarboksilasi CH3CH2OH.
Reactor Biogas :

Gambar 14. Desain reaktor biogas


Sumber : (Ajieh Mike Uche, 2020)

Desain reaktor ini disebut Chinese Dome Digester (CDC), CDC digunakan karena
memiliki cost yang cukup rendah dalam hal perancangan dan juga maintenance, selain itu
juga memiliki long life span. Prinsip kerja digester ini yaitu dengan mengubur atau
menutup slurry dari material organik yang telah dicampur dengan kotoran sapi kedalam
ruangan tertutup berupa dome melalui inlet tank. Sistem ini bersifat semi-kontinyu slurry
yang berada didalam dome akan terdorong keluar menuju effluent tank ketika produksi
gas didalam reaktor meningkat. Kemudian ketika gas yang mengalir menuju pipa telah
digunakan maka slurry yang berada pada effluent tank akan kembali lagi menuju reaktor.
2. Evaluasi Pengelolaan TPA Burangkeng
TPA Burangkeng mengalami berbagai masalah dalam pengelolaannya. Hal ini dikaitkan
pada kapasitas institusional, rendahnya sumber daya, dan faktor lain. Sejak awal terdapat
kecurigaan terkait pelibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL yang tidak
berjalan sesuai prosedur pada awal pembangunan TPA. Sistem pembuangan terbuka yang
diterapkan selama bertahun-tahun menyebabkan kontaminasi serius terhadap lingkungan dan
berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Pada bagian ini dilakukan identifikasi masalah
terkait pengelolaan TPA Burangkeng berikut solusi yang dapat diterapkan untuk
memperbaikinya.
A. Perbaikan kondisi sarana dan prasarana
Perbaikan sarana dan prasarana dimaksudkan untuk memastikan operasi TPA yang baik
sehingga dapat meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan dan manusia serta
menjamin keberlanjutan operasi TPA. Komponen fasilitas yang perlu diperbaik yaitu:
▪ Akses Jalan
Saat ini, kondisi jalan baik itu jalan akses, operasional maupun penghubung tidak
memadai. Jalan operasional yang saat ini digunakan merupakan bagian dari jalan umum
yang digunakan masyarakat untuk keluar masuk pemukiman yang ada di sekitar TPA.
Beberapa jalan penghubung juga sudah tertutup dengan sampah akibat kelebihan
kapasitas. Tindakan yang dapat diambil meliputi :
o Melakukan penataan kembali pada sampah yang menutupi jalan
o Menyediakan jalan alternatif bagi warga sehingga tidak perlu melewati jalan
operasional TPA
o Memperlebar jalan untuk mengakomodasi truk yang datang sehingga tidak
menimbulkan antrean yang panjang
▪ Drainase
Drainase di TPA Burangkeng dalam kondisi tidak memadai atau tidak terkelola
sehingga air lindi dari timbunan sampah meluap ke berbagai lokasi. Bila terjadi hujan,
genangan air lindi dapat mencapai lokasi yang lebih jauh, bahkan ke badan air terdekat.
Tindakan yang perlu diambil yaitu:
o Pembangunan infrastruktur drainase serta pengumpulan lindi yang memadai
o Pemeliharaan infrastruktur tersebut dengan pemantauan dan pembersihan berkala
▪ Gudang dan Alat berat
Fasilitas penunjang seperti gudang dan tempat parkir alat berat tidak sesuai dengan
jumlah alat berat yang dikelola. Selain itu, beberapa alat berat tidak atau belum
direparasi akibat rusak berat dan tidak dapat difungsikan. Maka dari itu, tindakan yang
dapat diambil yaitu :
o Perluasan prasarana penunjang dan penyediaan alat-alat bengkel untuk
memperbaiki kerusakan pada alat berat
o Perbaikan alat berat yang mengalami kerusakan sehingga dapat difungsikan kembali
▪ Tempat istirahat dan pencucian
Tempat istirahat tersedia namun sangat dekat dengan timbunan sampah. Hal ini
membuat sanitasi dalam penyediaan makanan dan minuman layak dipertanyakan.
Selain itu, tempat untuk pencucian alat berat juga belum tersedia secara memadai.
Untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pengelola TPA, baiknya dilakukan:
o Penyediaan tempat yang didesain untuk istirahat dan makan dengan aman
o Penyediaan tempat cuci alat berat

▪ Sistem penimbunan
Saat ini, sistem penimbunan sampah masih menggunakan open dumping. Untuk
menjaga kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat serta memanfaatkan potensi
LFG di TPA Burangkeng, maka diperlukan sistem sanitary landfill. Berikut adalah
panduan untuk menerapkan sistem sanitary landfill:
o Perhitungan volume
Untuk dapat mengetahui volume yang timbunan, perlu pemahaman atas laju
timbulan sampah yang masuk serta kapasitas lahan yang diusulkan. Rasio sampah
dan material untuk menutup sampah umumnya sekitar 4:1 sampai 3:1. Hal ini
dipengaruhi pula atas desain material penutup dan konfigurasi sel TPA (Brunner
dan Keller, 1972)
o Pengendalian air limpasan
Pengendalian air limpasan berupa drainase diperlukan untuk mencegah air
limpasan berkontak langsung dengan sampah dan menimbulkan air lindi.
Drainase biasanya berbentuk parit yang berada di bagian atas atau luar dari sel
sampah. Untuk bagian dalam sel sampah, material penutup dapat didesain dengan
kemiringan tertentu agar air hujan dapat terlimpas dengan cepat ke bagian luar dari
sel sampah tersebut.
Gambar 15. Desain pengendalian air limpasan (Sumber : Brunner dan
Keller, 1972)
o Pencegahan kontaminasi air tanah
Untuk mencegah kontaminasi air tanah, dilakukan penambahan lapisan
impermeabel yang mampu mencegah infiltrasi air lindi menuju muka air tanah.
Secara tradisional, tanah lempung yang dibasahkan digunakan sebagai salah satu
media untuk lapisan impermeabel ini. Saat ini, penggunaan geomembran berbahan
HDPE lebih umum digunakan karena lebih efisien dan efektif. Pemasangan
geomembran dilakukan pada bagian dasar sel.
Alternatif lain yang dapat dilakukan yaitu penurunan muka air tanah dibawah sel
sampah dengan pembentukan kanal/drainase. Proses ini memerlukan pemahaman
yang menyeluruh terhadap kondisi geo-hidrologi dari tempat yang akan dibangun.
o Penangkapan/kontrol terhadap gas
Gas yang dihasilkan oleh dekomposisi bahan organik seperti metana dapat
terakumulasi dalam kadar yang dapat meledak dan membahayakan. Maka dari itu
dilakukan kontrol terhadap gas yang dihasilkan. Gas ini juga dapat ditangkap
untuk dimanfaatkan sebagai energi. Umumnya ada dua pendekatan dalam kontrol
gas yaitu metode permeabel dan impermeabel. Metode permeabel yaitu
menyediakan bagian yang lebih permeabel dibanding bagian lain sebagai jalur
untuk mengelola gas. Hal ini meliputi penggalian parit atau pemasangan pipa
ventilasi untuk penangkapan gas. Sedangkan untuk metode impermeabel yaitu
penggunaan lapisan impermeabel untuk mengarahkan gas ke tempat-tempat
dimana gas tersebut tidak terakumulasi.

Gambar 15. Impermeabel


Gambar 16. Kontrol Gas dengan Metode Permeabel
o Konstruksi sel dan material penutup
Sel adalah bagian penyusun utama dari timbunan di sanitary landfill. Proses
konstruksi sel meliputi lapisan impermeabel pada dasar, penimbunan sampah
terkompaksi dan penutupan dengan material penutup.

Gambar 17. Konstruksi Sel


Dimensi dari sel disesuaikan dengan kompaksi dan densitas dari sampah
terkompaksi. Pada saat operasi, penting untuk menentukan luas bidang kerja yang
tepat. Ukuran bidang kerja harus mencukupi untuk akses alat berat dan mencegah
antrean truk tapi tidak terlalu besar sehingga mempersulit pengelolaan. Ketinggian
sel disesuaikan dengan volume penimbunan. Secara umum sel dibuat tidak lebih
dari 3 meter untuk menjaga ketahanan sel tersebut. Volume material penutup yang
dibutuhkan bergantung pada konfigurasi sel dan tinggi material penutup yang
dibutuhkan untuk fungsi tertentu. Idealnya, sel berbentuk persegi dan memiliki
kemiringan di ujungnya sekitar 20 sampai 30 derajat. Secara umum penimbunan
sampah sendiri memiliki dua pendekatan yaitu metode area dan metode parit. Pada
metode area, sampah dikompaksi dan ditimbun langsung pada permukaan dan
material penutup dipadatkan di atasnya. Untuk metode parit, permukaan digali
terlebih dahulu untuk membentuk parit yang kemudian ditimbun dengan sampah
dan material penutup.

Gambar 18. Metode Penimbunan Area

Gambar 19. Metode Penimbunan Parit


▪ Pengolahan lindi
Menurut [12] Instalasi Pengolahan Air Lindi yang efektif, terjangkau dari segi
cost, dan ramah lingkungan yaitu:
a. Kolam Anaerobik (kedalaman 2-5 m)
Kolam anaerobik berfungsi untuk mengolah cairan keluar dari kolam pengumpul
yang masih mengandung kandungan BOD relatif sangat tinggi. Sesuai namanya
anaerobik atau tanpa oksigen, proses yang terdapat dalam kolam ini pada
permukaan dibiarkan untuk terbentuk kerak buih sebagai pencegah masuknya
sinar matahari ke kolam.
b. Kolam Aerobik (kedalaman 0,3-0,6 m)
Kolam aerobik dibuat lebih dangkal daripada kolam anaerobik, dikarenakan
membutuhkan oksigen dan membiarkan cahaya matahari masuk untuk mereduksi
BOD, COD, dan Suspension Solid serta bakteri e-coli.
c. Kolam Fakultatif (kedalaman 1-2 m)
Kolam fakultatif berfungsi untuk kolam stabilisasi yaitu menerima air lindi dari
kolam anaerobik dan meneruskannya menuju kolam maturasi.
d. Kolam Maturasi (1-1,5 m)
Fungsi utama dari kolam ini yaitu menghilangkan bakteri atau mereduksi BOD,
COD, Suspension Solid serta bakteri e-coli. Beban dari kolam maturasi relatif
lebih ringan dikarenakan sebagian besar zat organik sudah terambil pada kolam
anaerobik dan fakultatif.
e. Constructed Wetland (kedalaman 2 m)
Constructed wetland merupakan suatu rawa buatan yang di buat untuk mengolah
air lindi, wetland dapat berupa biofilter yang dapat meremoval sedimen dan
polutan seperti logam berat. Desain dapat dibuat sub surface wetland dengan
menggunakan bahan untuk penyaringan berasal dari gravel yang diberi lapisan
pasir.
f. Bak Kontrol
Bak kontrol berfungsi sebagai controlling terhadap air lindi, untuk memastikan
bahwa lindi sudah layak atau memenuhi baku mutu untuk dibuang menuju Badan
Air Penerima (BAP).
g. Sumur Pantau
Sumur pantau berfungsi untuk mengontrol apakah terjadi pencemaran terhadap
tanah pada TPA.
Air lindi merupakan air dengan konsentrasi kandungan organik tinggi, air lindi
dihasilkan dari perkolasi air hujan yang melewati timbunan sampah itu sendiri [12]. Air
lindi merupakan air rembesan yang didapat dari komponen–komponen sampah
baik sampah organik maupun non organic. Air lindi didapat dari sampah yang
mengalami pembusukan oleh pengurai secara organik. Air lindi dapat dikatakan
sebagai pupuk karena dalam kandungan air lindi mengandung unsur–unsur
yang dibutuhkan tanaman antara lain kandungan organik nitrogen dan fosfor pada air
lindi [13].
Pupuk Cair adalah jenis pupuk yang berbentuk cair yang mudah sekali larut pada
tanah dan membawa unsur-unsur penting. Pupuk cair dapat memberikan hara yang
sesuai dengan kebutuhan tanaman pada tanah. Hal ini dikarenakan memiliki fase yang
cair sehingga tanaman akan mudah mengatur penyerapan komposisi pupuk yang
dibutuhkan [14].
Penggunaan lindi sebagai pupuk cair tentunya perlu dilakukan treatment untuk
menghilangkan senyawa – senyawa yang berbahaya untuk tanaman. Lindi dengan pH
asam memiliki senyawa asam oganik dan beberapa oksidan serta senyawa organic
nonpolar. Penurunan senyawa tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penyesuaian
pH, filter, aerasi, ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA), dan reduksi oksidan [15].
Pada penelitian [16] lindi yang telah dilakukan proses elektrokoagulasi memiliki
kandungan bahan organic yang dapat diterima oleh tanaman dan memiliki potensi
untuk dijadikan pupuk cair. Sedangkan pada penelitian [17] menyampaikan bahwa lindi
dengan kandungan organik awal 42.310 mg O2/L COD, nitrogen total 3320 mg/L dan
potassium 4376 mg/L. Setelah perlakuan biologis, kandungan organik berkurang
menjadi 18.950 mg O2/L COD dan cairan yang diperoleh tidak memiliki bau.
Kandungan nitrogen berkurang menjadi 2319 mg/L total nitrogen (TN), menjadi 829
mg/L amonia dan 330 mg/L nitrat. Cairan ini dapat digunakan sebagai pupuk dalam
pertanian.
Kesimpulan

1. Kurang terlihat sistem pengelolaan sampah yang berkesinambungan, seperti kegiatan komposting
yang memerlukan proses pemilahan terlebih dahulu sebelum diproses menjadi kompos. Penerapan
pemilahan sampah dapat diterapkan dengan menyediakan wadah terpilah, menjadwalkan pengangkutan
sampah terpilah, dan pengadaan insentif untuk petugas. Pengankutan sampah dapat dilakukan dengan
menggunakan dua cara yakni Hauled Container System dan Stationary Container System. Pengolahan
sampah memiliki beberapa opsi diantaranya pembuatan biodigester untuk sampah organik dengan
diiringi sistem pemilahan sampah yang efektif dan efisien. Opsi lainnya yakni melakukan pemulihan
energi dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah.

2. TPA Burangkeng perlu memperbaiki kondisi sarana dan prasarana antara lain Akses jalan yang
tertutup akibat overload sampah, Drainase yang tidak terkelola sehingga menyebabkan lindi meluap ke
berbagai lokasi, alat berat yang sudah telah rusak parah, serta lahan untuk parkir alat berat sempit,
sistem penimbunan yang masih menggunakan open dumping dapat diubah menjadi sanitary landfill
yang dapat dipasang gas capture untuk memanfaatkam LFG. Memperbaiki Instalasi Pengolahan Air
Lindi (IPAL) dengan membuat Kolam Anaerobik, Kolam Aerobik, Kolam Fakultatif, Kolam Maturasi,
Wetland, Bak Kontrol, dan Sumur Pantau. Serta terdapat potensi untuk mengubah air lindi menjadi
pupuk cair.

Saran
Untuk mencapai pengelolaan sampah yang baik, maka diperlukan keterlibatan baik dari
pemerintah, masyarakat, serta mahasiswa. Berikut merupakan beberapa saran yang dapat diterapkan di
TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi, antara lain:
a. Pemerintah
• Perlu merancang regulasi mengenai pemilahan sampah kepada masyarakat Kabupaten
Bekasi dan juga sistem pengangkutan sesuai sampah yang telah dipilah. Sehingga Ketika
sampah masuk TPA telah dalam kondisi terpilah dapat mengoptimalkan proses pengolahan
sampah.
• Bekerja sama dengan sebuah institusi untuk melakukan pengolahan sampah.
• Memperbaiki Kembali fasilitas yang diperlukan TPA, seperti Gudang, lahan parkir alat
berat, IPAL, serta akses jalan.
b. Masyarakat
• Menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai pemilahan sampah.
c. Mahasiswa
• Melakukan kegiatan sosialisasi untuk pencerdasan kepada masyarakat terkait pengelolaan
sampah yang baik.
• Mengawal isu untuk mendorong pemerintah untuk menyediakan layanan yang optimum
terhadap TPA Burangkeng melalui publikasi kajian agar kondisi ini lebih diperhatikan.
Sumber :

[1] M. T. D. Rimantho, "Usulan Strategi Pengelolaan Sampah Padat di TPA Burangkeng Bekasi
dengan Pendekatan SWOT dan AHP," Jurnal Ilmu Lingkungan, vol. 19, no. 2, pp. 383-391,
2021.

[2] S. W. Setiyono, "Sistem Pengelolaan Sampah Kota di Kabupaten Bekasi," Jurnal Teknologi
Lingkungan., vol. 2, no. 2, pp. 194-198, 2001.

[3] Republika, "Eksplora Republika," Republika.co.id, Sabtu Februari 2022. [Online]. Available:
https://eksplora.republika.co.id/posts/59414/klhk-tindak-tps-ilegal-di-bekasi-yang-cemari-kali-
cbl. [Accessed 27 Juli 2022].

[4] S. E. B. W. Manurung D, "Penentuan Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah yang
Ramah Lingkungan di Kabupaten Bekasi," Jurnal Teknik ITS, vol. 8, no. 2, pp. 123-130, 2019.

[5] P. H. K. F. Ariyani S, "Evaluasi Pengelolaan Sampah di TPA Piyungan Kabupaten Bantul,"


UII, Yogyakarta, 2019.

[6] T. K. Jati, "Peran Pemerintah Boyolali dalam Pengelolaan Sampah Lingkungan Permukiman
Perkotaan (Studi Kasus: Perumahan Bumi Singkil Permai)," Jurnal Wilayah dan Lingkungan,
vol. 1, no. 1, pp. 1-16, 2013.

[7] T. G. C. Meidina, "Development of Waste Management Practices in Indonesia," European


Journal of Scientific Research, vol. 40, no. 2, pp. 199-210, 2010.

[8] T. P. E. Damanhuri, "Current Situation of Waste Recycling in Indonesia," ERIA Research


Project Report, pp. 23-52, 2008.

[9] I. G. R. A. A. Kristanto G., "The Performance of Municipal Solid Waste Recycling Program in
Depok," International Journal of Technology, no. 2, pp. 264-272, 2015.

[10] D. M. d. Z. C. A. Matter, "Improving the Informal Recycling Sector through Segregation of


Waste in the Household – the Case of Dhaka Bangladesh.," Habitat International, vol. 38, pp.
150-156, 2012.

[11] O. T. E. O. U. P. A. O. K. B. F. O. O. R. O. S. M. Ajieh Mike Uche, "Design and construction


of fixed dome digester for biogas production using cow dung and water hyacinth," African
Journal of Environmental Science and Technology, vol. 14, no. 1, pp. 15-25, 2020.

[12] D. H. S. Rezky Adipratama Thomas, “POTENSI PENCEMARAN AIR LINDI TERHADAP


AIRTANAH DAN TEKNIK PENGOLAHAN AIR LINDI DI TPA BANYUROTO
KABUPATEN KULON PROGO,” Jurnal Science TechJurnal Science Tech, vol. 5, no. 2, pp.
1-12, 2019.

[13] W. Wulandari, “Pemanfaatan Air LindiSampah Dapursebagai Pupuk Organik Cair terhadap
Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa),” Lentera Bio, vol. 11, no. 4, pp. 423-429, 2022.

[14] P. W. Erwin Riansyah, “PEMANFAATAN LINDI SAMPAH SEBAGAI PUPUK CAIR,”


Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, vol. 4, no. 1, pp. 10-18, 2012.
[15] S. Y. A. D. Hasnelly, “Pengolahan Lindi TPA Menggunakan Beberapa Metoda dan Prospeknya
Sebagai Pupuk Cair: Suatu Review,” JURNAL SAINS AGRO, vol. 3, no. 1, pp. 2-13, 2018.

[16] M. Morozesk, “Landfill leachate sludge use as soil additive prior and after electrocoagulation
treatment: A cytological assessment using CHO-k1cells,” Chemosphere, pp. 66-71, 2016.

[17] M. Tamrat, “Biological treatment of leachate from solid wastes: kinetic study and simulation.,”
Biochemical Engineering journal, pp. 46-51, 2012.

[18] Muhammad Jatmoko, “Perencanaan Proses Pengolahan Lindi di TPA Nusa Lembongan dengan
Menggunakan Kolam Stabilisasi,” Jurnal Teknik Pengairan, vol. 12, no. 2, pp. 165-173, 2021.

Anda mungkin juga menyukai