Anda di halaman 1dari 9

TUGAS INDIVIDU

FILSAFAT ILMU

Dosen : Prof. Dr., Iriyanto Widisuseno, MHum

Disusun Oleh :

INEKE NOVIANA

NIM : P1337420818015

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN MAGISTER TERAPAN

KESEHATAN PROGRAM PASCA SARJANA

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

TAHUN 2018
Kajian Dari Artikel

Didalam artikel ini kita dapat menemukan banyak hal yang menyangkut mengenai etika
dan hukum. Dalam kajian kali ini sebelumnya kita harus memahami mengenai apa itu
filsafat ilmu yang mendasari kita mempelajari dan membahas mengenai etika dan hukum
yang terjadi pada kasus-kasus di artikel tersebut.
Menurut Lewis White ( 1976 dalam M. Haitami 2010 ) memberikan definisi filsafat
ilmu atau philosophy of science sebagai ilmu yang mengkaji dan mengevaluasi metode-
metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai
suatu keseluruhan.
Berikut beberapa kajian lain dari artikel menurut para ahli :
Martinson, Anderson & de Vries, Nature 435, 737 (9 Juni 2005) jajak pendapat dari 3.247
ilmuwan yang didanai oleh NIH Persentase ilmuwan yang mengakui yang terlibat dalam
perilaku yang tercantum dalam 3 tahun sebelumnya (pilihan):
1. 0.3 % Memalsukan atau hanya"mengolah" data penelitian
2. 1.4% Menggunakan ide-ide orang lain tanpa izin atau pemberian pengakuan
3. 1.7% Penyalahgunaan bahan rahasia untuk penelitian sendiri
4. 6% Gagal unt menyajikan data yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya
5. 12.5% Menghadapi penggunaan data cacat /interpretasinya dipertanyakan
6. 4.7% mempublikasi data yang sama atau hasil diberbagai publikasi
7. 10% Kurang tepat menetapkan kntributor karya ilmiah
8. 10.8 % Pemenggalan rincian metodologi dalam makalah atau proposal
9. 13.5% Menggunakan rancangan penelitian tidak memadai atau tidak patut
10. 15.3% Menjatuhkan pengamatan atau titik data melalui"firasat/ perasaan“
11. 27.5% Pencatatan yang tidak memadai terkait dengan proyek-proyek penelitian
"Jika ada usaha manusia dimana tindak pidana tidak perlu membayar, hal itu dapat
dijumpai dalam ilmu "(E. Racker).
Kesalahan yang Jujur vs kesalahan kelalaianvs kesalahan
1. Kadang sulit untuk membedakan “zona abu-abu” ( A. Van Maanen dan kontroversi
nebular 1920 )
2. Kesalahan yang jujur tetapi tidak menyadari bias oleh keyakinan yang kuat ? (
Polywater 1960 )
3. Rangcangan eksperimental yang lemah ( Schon kasus )
Didalam artikel tersebut juga dapat kita sangkut pautkan dengan etika profesi dimana
bagian dari etika sosial, yaitu filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan
tanggung jawab manusia sebagia anggota umat manusia (Magnis Suseno et.al., 1991 : 9).
untuk melaksanakan profesi yang luhur itu secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari
pelakunya ( Magnis Suseno et.al., 1991 : 75). Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah :
1. Berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi.
2. Sadar akan kewajibannya, dan
3. Memiliki idealisme yang tinggi.

Kemudian mengenai hukum dapat dikaji bahwa Profesi hukum adalah profesi yang
melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu
negara (C.S.T. Kansil, 2003 : 8). profesi hukum dari aparatur hukum negara Republik
Indonesia dewasa ini diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara.
Pengemban profesi hukum harus bekerja secara profesional dan fungsional, memiliki
tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan. kritis, dan pengabdian yang tinggin karena
mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri dan sesama anggota masyarakat, bahkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengemban profesi hukum bekerja sesuai dengan kode etik
profesinya, apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, mereka harus rela
mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam
organisasi profesi, ada dewan kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.
OPINI ATAU PENDAPAT DARI ARTIKEL

1. OPINI ATAU KOMENTAR DARI KASUS 1


RINGKASAN ARTIKEL KASUS 1 :
Protokol penelitian untuk studi tentang obat hipertensi memerlukan pemberian obat
pada dosis yang berbeda untuk 50 tikus laboratorium, dengan tes kimia dan perilaku
untuk menentukan efek toksik. Tom telah hampir menyelesaikan percobaan untuk Dr.
Q. Dia hanya memiliki 5 tikus yang tersisa untuk diuji. Namun, dia benar-benar ingin
menyelesaikan pekerjaannya tepat pada waktunya untuk pergi ke Florida pada liburan
musim semi bersama teman-temannya, yang akan berangkat malam ini. Dia telah
menyuntikkan obat di semua 50 tikus tapi belum menyelesaikan semua tes. Oleh
karena itu, dia memutuskan untuk melakukan ekstrapolasi dari 45 hasil yang telah
selesai untuk menghasilkan 5 hasil tambahan.
Banyak kebijakan etika penelitian yang berbeda akan berpendapat bahwa Tom telah
bertindak tidak etis dengan membuat data. Jika penelitian ini disponsori oleh agen
federal, seperti NIH, tindakannya akan merupakan bentuk kesalahan penelitian, yang
oleh pemerintah didefinisikan sebagai "rekayasa, pemalsuan, atau plagiat" (atau FFP).
Tindakan yang hampir semua peneliti anggap tidak etis dipandang sebagai kesalahan.
Penting untuk diingat, bagaimanapun, kesalahan itu terjadi hanya ketika para periset
berniat untuk menipu: kesalahan jujur yang berkaitan dengan kecerobohan, pencatatan
yang buruk, kesalahan perhitungan, bias, penipuan diri sendiri, dan bahkan kelalaian
tidak merupakan kesalahan. Juga, ketidaksepakatan yang wajar mengenai metode
penelitian, prosedur, dan interpretasi tidak merupakan kesalahan penelitian.
OPINI ATAU PENDAPAT DARI KASUS 1 :
Dari kasus 1 yang saya baca, perlu diketahui bahwa pelanggaran etik belum tentu
melanggar hukum namun melanggar hukum sudah pasti melanggar etik. Dalam kasus
ini terlihat jelas bahwa sebenarnya peneliti atau periset telah melanggar etik karena
sudah memanipulasi data dengan sengaja karena pada subyek penelitian masih kurang
5. Tetapi periset bisa tidak dianggap melakukan kesalahan apabila kesalahan itu tidak
disengaja. Karena dalam artikel tersebut dikatakan bahwa yang dikatakan salah apabila
peneliti atau periset dengan sengaja melakukan penelitian dengan kebohongan barulah
dinyatakan bersalah. Jadi pada kasus ini memang masih singpang siur dikarena banyak
hal yang mendasarinya.
Saya tidak sepaham dengan artikel tersebut yang mengatakan bahwa pelanggaran etis
yang dilakukan oleh periset tersebut adalah merupakan kesalahan yang melanggar
hukum mengingat bahwa sebenarnya pelanggaran etik belum tentu melanggar hukum
namun melanggar hukum sudah pasti melanggar etik. Karena dalam hal ini penelitian
yang dilakukan oleh periset tersebut 45 dari 50 yang seharusnya diteliti, 45 diantaranya
sudah mewakili dari penelitian. Ini jika kita membicarakan mengenai salah atau tidak
salah.tetapi jika melihat dari kasus bahwa sebenarnya secara etis memang tidak
dibenarkan bahwa seorang peneliti memanipulasi data dari data penelitiannya karena
mengingat bahwa penelitian harus benar-benar dilakukan dan diharapkan bermanfaat
bagi masyarakat tidak malah merugikan beberapa pihak atau masyarakat. Jadi jika
dilihat dari kasus tersebut saya berpendapat bahwa peneliti sebaiknnya tidak
melakukan manipulasi data.
2. OPINI ATAU KOMENTAR DARI KASUS 2
RINGKASAN ARTIKEL KASUS 2 :
Dr. T baru saja menemukan kesalahan matematis dalam makalahnya yang telah
diterima untuk dipublikasikan dalam sebuah jurnal. Kesalahan tersebut tidak
mempengaruhi keseluruhan hasil penelitiannya, namun hal itu berpotensi menyesatkan.
Jurnal baru saja pergi untuk menekan, jadi sudah terlambat untuk menangkap
kesalahan sebelum muncul di media cetak. Untuk menghindari rasa malu, Dr. T
memutuskan untuk mengabaikan kesalahan tersebut.
Kesalahan Dr. T tidak salah, juga keputusannya untuk tidak melakukan kesalahan.
Sebagian besar periset, serta banyak kebijakan dan kode yang berbeda akan
mengatakan bahwa Dr. T harus memberi tahu jurnal (dan rekan penulis lainnya)
tentang kesalahan tersebut dan pertimbangkan untuk mempublikasikan koreksi atau
kesalahan. Gagal mempublikasikan koreksi akan menjadi tidak etis karena akan
melanggar norma yang berkaitan dengan kejujuran dan objektivitas dalam penelitian.
Ada banyak kegiatan lain yang tidak didefinisikan oleh pemerintah sebagai "kesalahan"
namun masih dianggap oleh sebagian besar peneliti sebagai tidak etis.
Tindakan ini akan dianggap tidak etis oleh kebanyakan ilmuwan dan beberapa bahkan
mungkin ilegal dalam beberapa kasus. Sebagian besar juga akan melanggar kode etik
profesional atau kebijakan kelembagaan yang berbeda. Namun, mereka tidak termasuk
dalam kategori sempit tindakan yang dikelompokkan pemerintah sebagai kesalahan
penelitian. Memang, ada banyak perdebatan tentang definisi "kesalahan penelitian" dan
banyak periset dan pembuat kebijakan tidak puas dengan definisi sempit pemerintah
yang berfokus pada FFP. Namun, mengingat daftar besar pelanggaran potensial yang
mungkin masuk dalam kategori "penyimpangan serius lainnya," dan masalah praktis
dengan menentukan dan mengawasi penyimpangan lainnya, dapat dimengerti mengapa
pejabat pemerintah memilih untuk membatasi fokus mereka.
Akhirnya, situasi sering muncul dalam penelitian di mana orang yang berbeda tidak
setuju tentang tindakan yang tepat dan tidak ada konsensus luas tentang apa yang harus
dilakukan. Dalam situasi seperti ini, mungkin ada argumen bagus di kedua sisi isu dan
prinsip etika yang berbeda mungkin bertentangan. Situasi ini membuat keputusan sulit
untuk penelitian yang dikenal sebagai dilema etika atau moral.
OPINI ATAU PENDAPAT DARI KASUS 2 :
Dalam kasus 2 ini tidak jauh berbeda dengan kasus pada kasus pertama dimana
pemerintah menyalahkan peneliti karena tidak mengindahkan perbaikan pada
jurnalnya. Peneliti tidak melakukan perbaikan pada jurnalnya dikarena waktu yang
sudah mendesak dan akan lebih tidak etis apabila peneliti atau periset tersebut tidak
jadi mempublikasikan karyanya dikarena keterlambatan.
Saya tidak setuju dengan pemerintah yang menyalahkan peneliti dikarena tidak
melakukan perbaikan terhadap jurnalnya tersebut , karena sebenanrnya didalam artikel
tersebut tidak dijelaskan bahwa perbaikan tersebut apakah mempengaruhi hasil
penelitian atau tidak dalam artiaan apakah kesalahan tersebut fatal sehingga perlu
diperbaikai karena diangap akan merugikan banyak pihak dan melanggar kode etik
penelitian. Karena menurut saya selama peneliti atau periset tidak melakukan kode etik
penelitian dan tidak merugikan banyak orang atau masyrakat, jika seperti kasus
tersebut karena waktu yang sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan perbaikan
saya rasa tidak perlu dilakukan perbaikan.
Namun peneliti tetap harus memperhatikan etika penelitian apabila kesalahan ini sangat
fatal dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas. Sehingga memang sebaiknya
diperbaiki jika waktu masih ada dan sangat fatal jika sampai merugikan publik dan
masyarakat luas.
3. OPINI ATAU KOMENTAR DARI KASUS 3
RINGKASAN ARTIKEL KASUS 3 :
Dr. Wexford adalah peneliti utama dari sebuah studi epidemiologi besar mengenai
kesehatan 10.000 pekerja pertanian. Dia memiliki dataset yang mengesankan yang
mencakup informasi tentang demografi, paparan lingkungan, diet, genetika, dan
berbagai hasil penyakit seperti kanker, penyakit Parkinson (PD), dan ALS. Dia baru
saja menerbitkan sebuah makalah tentang hubungan antara paparan pestisida dan PD
dalam sebuah jurnal bergengsi. Dia berencana untuk menerbitkan banyak makalah lain
dari datasetnya. Dia menerima permintaan dari tim riset lain yang menginginkan akses
ke kumpulan data lengkapnya. Mereka tertarik untuk meneliti hubungan antara
eksposur pestisida dan kanker kulit. Dr. Wexford berencana untuk melakukan studi
tentang topik ini.
Wexford menghadapi pilihan yang sulit. Di satu sisi, norma keterbukaan etika
mewajibkan dia untuk berbagi data dengan tim peneliti lainnya. Agen pendanaannya
mungkin juga memiliki peraturan yang mewajibkan dia untuk berbagi data. Di sisi lain,
jika dia membagikan data dengan tim lain, mereka mungkin mempublikasikan hasil
yang ingin dia publikasikan, sehingga merampas (dan timnya) pengakuan dan
prioritasnya. Tampaknya ada argumen bagus di kedua sisi masalah ini dan Dr. Wexford
perlu meluangkan waktu untuk memikirkan apa yang harus dilakukannya. Salah satu
kemungkinan opsi adalah untuk berbagi data, asalkan para peneliti menandatangani
perjanjian penggunaan data. Kesepakatan tersebut dapat menentukan penggunaan data
yang dapat diijinkan, rencana publikasi, kepengarangan, dan lain-lain. Pilihan lain
adalah menawarkan untuk berkolaborasi dengan para peneliti.
OPINI ATAU PENDAPAT DARI KASUS 3 :
Saya sangat setuju dengan Dr. Wexford dimana ia membuat sebuah perjanjian atau
Kesepakatan yang dapat menentukan penggunaan data yang dapat diijinkan, rencana
publikasi, kepengarangan, dan lain-lain. Kesepakan ini tentunya menguntungkan dan
tidak merugikan kedua belah pihak. Karena setiap karya memang haus dihargai , ini
sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 mengenai
hak cipta.
Dan dalam Undang-Undangpun tidak dicantumkan jika seorang peneliti melakukan
kesepakan adalah dilarang kecuali adalah kesepakan yang merugikan publik.
Sehingga dari tiga kasus diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa semua peneliti
sebenarnya melakukan pelanggaran etika hanya bagaimana kita sebagai masyarakat
dapat melihat dari sudut pandang yang berbeda dan melihat dari banyak sisi sehingga
dapat menyimpulkan apakah mereka salah atau benar karena pada dasarnya salah atau
benar jika tidak didasari oleh segala hal yang paten akan berbeda-beda pada setiap
orang dalam mengartikan benar atau salah tersebut.
KESIMPULAN :
Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi diatas sya dapat menarik sebuah kesimpulan dari
sebuah pertanyaa mengapa etika dalam penelitian itu penting :
Fakta yang paling penting yang harus kita ingat tentang penelitian adalah hubungan
implisit antara kejujuran dalam pelaksanaan penelitian dan validitas data penelitian.
Jika aplikasi teori dan teknologi harus berlaku dan berfungsi, maka suatu hal penting
bahwa temuan peneliti didasarkan pada kejujuran.
Sehingga seorang peneliti atau periset yang melakukan pelanggaran etika belum tentu
ia melanggar hukum namun peneliti atau periset yang melakukan pelanggaran hukum
sudah pasti melakukan pelanggaran etika. Nah ini lah yang membuat etika penelitian
sangat penting karena banyak diantara peneliti sering mengabaikan etika penelitian ini
karena secara hukum tidak semua pelanggaran etika adalah pelanggaran hukum namun
pelanggaran etika bisa menjadi sebuah kerugian yang besar bagi publik atau
masyarakat luas jika peneliti mengabaikannya. Karena pada dasarnya salah atau benar
jika tidak didasari oleh segala hal yang paten akan berbeda-beda pada setiap orang
dalam mengartikan benar atau salah tersebut.
Kemudian menjawab pertanyaan bahwa apa itu etika penelitian :
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos. Istilah etika bila ditinjau dari aspek etimologis
memiliki makna kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut pandangan Sastrapratedja (2004), etika dalam konteks filsafat merupakan
refleksi filsafati atas moralitas masyarakat sehingga etika disebut pula sebagai filsafat
moral. Etika mencakup norma untuk berperilaku, memisahkan apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Etika membantu manusia
untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika juga membantu
kita untuk merumuskan pedoman etis yang lebih adekuat dan norma-norma baru yang
dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam tata kehidupan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai