Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

SIKLUS KEPERAWATAN KGD III

OLEH :

NAMA : RIRIN ILMA, S.Kep

NIM : 1914901017

PROGRAM STUDI : PROFESI NERS

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

YAYASAN HARAPAN IBU JAMBI

TA 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN SYOK HIPOVOLEMIK
A. Definisi
Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak
adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok adalah tidak adekuatnya perfusi ke
jaringan atau tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen
dan bisa cedera. syok hipovolemik merupakan suatu keadaan dimana volume cairan tidak
adekuat didalam pembuluh darah. akibatnya perfusi jaringan (Purwadianto.A,2013).

Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling umum ditandai dengan penurunan
volume intravascular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intraselular dan
ekstraseluler. Cairan intra seluler menempati hamper 2/3 dari air tubuh total sedangkan cairan
tubuh ekstraseluler ditemukan dalam salah satu kompartemen intravascular dan intersisial.
Volume cairan interstitial adalah kira- kira 3-4x dari cairan intravascular. Syok hipovolemik
terjadi jika penurunan volume intavaskuler 15% sampai 25%. Syok hipovolemik terjadi
apabila ada defisit volume darah 215%, sehingga menimbulkan ketidakcukupan pengiriman
oksigen dan nutrisi ke jaringan dan penumpukan sisa-sisa metabolisme sel. Berkurangnya
volume intravaskular dapat diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh secara akut atau kronik,
misalnya karena oligemia, hemoragi, atau kebakaran (Hardisman,2014).

B. Etiologi
Syok hipovolemik diakibatkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat. Yang paling sering,
syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan darah tiba-tiba atau dehidrasi berat. Beberapa
cidera, sperti luka bakar, menyebabkan perpindahan cairan yang signifikan dari ruang
intramuscular menuju ruang interstisial, yang menyebabkan hipovolemia. Gangguan volume
pada klien yang sakit kritis bisa digolongkan menjadi gangguan kekurangan dan kelibihan
atau melibatkan kompartemen intraselular dan ektraseluler. Penurunan volume cairan akut
tidak memungkinkan mekanisme kompensasi normal untuk memulihkan volume sirkulasi
yang seharusnya dengan cukup cepat. Jika dibiarkan atau tidak ditangani, hipovolemia bisa
menyebabkan berbagai komplikasi sekunder, seperti hipertensi, gangguan elektrolit dan asam
basah, dan kerusakan fungsi organ akibat hipoperfusi. (Morton et al., 2012)
C. Patofisiologi
(Hardisman, 2013) Pada saat terhadi perdarahan gejala klinis belum terlihat jika belum
berkurang sampai sebanyak 10%dari total volume darah didalam tubuh, karena pada saat
terjadi kondisi seperti ini darah masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan
tekanan pembuluh darah dan kontraktilitas jantung. Bila perdarahan terjadi secara terus-
menerus, maka tubuh tidak dapat mengkompensasi darah. Gejala-gejala yang dapat timbul
adalah takikardi, denyut nadi lemah, kulit teraba dingin dan turgor kulit jelek, ujung-ujung
ekstremitas teraba dingin dan pengisian kapiler lambat. Berdasarkan presentase kehilangan
darah, syok hpovolemik dibagi menjdi 4 stadium yaitu:
1. Stadium 1
Pada kondisi syok hipovolemik stadium ini, terjadi kehilangan darah sebanyak maksimal 15%
dari total darah dalam tubuh. Pada kondisi ini tubuh akan secara otomatis mengkompensasi
dengancara vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan refilling kapiler. Di stadium
ini pasien akan mengalami cemas atau gelisah, tekanan darah dan tekanan nadi masih dalam
rata-rata normal, sedangkan frekuensi nadi dan frekuensi napas masih normal.
2. Stadium 2
Perdarah pada stadium ini terjadi kehilangan darah sebanyak 15-30% darah dari total darah
didalam tubuh. Pada keadaan ini vasokontriksi arteri tidak bisa lagi mengkompensasi darah
yang berdampak terjadinya takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, frekuensi pernapasan
meningkat dan pasien tampak cemas.
3. Stadium 3
Pada kondisi stadium tiga ini, pasien mengalami perdarahan sebanyak 30-40% dari total
darah. Gejala yang timbul lebih berat dibandingkan dengan stadium dua yaitu; frekuens nadi
>120x/menit, pernapasan >30x/menit, tekanan nadi menurun dan tekanan darah sistolik
menurun CRT sangat lambat.
4. Stadium 4
Stadium 4 adalah stadium tertinggi dari syok hipovolemik. Pada stadium ini pasien sangat
benyak mengalami kehilangan darah yaitu sekitar 40% dari umlah total darah. Pada stadium
ini gejala yang timbul antara lain adalah terjadinya takikardi 140x/menit dengan tekanan atau
denyut lemah dan hamper tidak teraba, terjadi hipotensi yang berat, terjadi penurunan
kesadaran.

D. Manifestasi Kinik
1. Penurunan tekanan vena, takikardi
2. Kulit dingin dan lembab : pucat, dehidrasi, diaphoresis.
3. Perubahan sensori, oliguria (banyak kencing), asidosismetabolik, takipnu
4. Criteria sangat penting : tingkat tekanan darah arteri (Smeltzer, 2016)

E. Penatalaksanaan
a. Mempertahankan suhu tubuh
Suhu tubuh dipertahankan dengan mengunakan selimut pada penderita untuk menghidari
kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanskan tubuh klien
karena sangat berbahaya.
b. Pemberian cairan
1 Jangan berikan minum kepada klien yang tidak sadar mual, muntah dan kejang
karena bahaya terjadi aspirasi cairan dalam paru.
2 Klien boleh minum ketika klien sadar dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian
minum dihentikan apabila klien mual dan muntah.
3 syok hipovolemik, jumlah cairan diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan
yang hilang. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik.
4 Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk pencegah pemrian cairan (Fitria,
2010).

Syok Kardiogenik

A. Definisi
Syok kardiogenik terjadi ketika kemampuan jantung untuk berkontraksi dan memompa darah
terganggu dan suplai oksigen tidak memadai bagi jantung dan jaringan tubuh (Brunner &
Suddarth, 2013). Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg
selama > 1 jam (Hubabarat & Chandra Syah Putra, 2016).

B. Etiologi
Menurut (Hubabarat & Chandra Syah Putra, 2016) penyebab syok kardiogenik adalah :
1. Infark miokard akut
2. Infark ventrikel kiri
3. Takiaritmia atau bradiaritmia

C. Patofisiologi
Syok kardiogenik di tandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan
gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Nekrosis fokal
diduga merupakan akibat dari ketidakseimbangan yang terus- menerus antara kebutuhan
suplai oksigen miokardium. Pembuluh coroner yang terserang juga tidak mampu
meningkatkan aliran darah secara memadai sebagai respons terhadap peningkatan beban kerja
dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas respons kompensatorik seperti perangsang
simpatik. Kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu akibat dari
proses infark. Pertahanan perfusi jaringan menjadi tidak memadai, karena ventrikel kiri gagal
bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah jantung dengan baik. Maka
dimulailah siklus yang terus berulang. Siklus dimulai saat terjadinya infark yang berkelanjut
dengan gangguan fungsi miokardium (Muttaqin, 2009).
Kerusakan miokardium baik iskemia dan infark pada miokardium mengakibatkan perubahan
metabolism dan terjadi asidosis metabolic pada miokardium yang berlanjut pada gangguan
kontraktilitas miokardium yang berakibat pada penurunan volume sekuncup yang di
keluarkan oleh ventrikel. Penurunan curah jantung dan hipotensi arteria disebabkan karena
adanya gangguan fungsi miokardium yang berat. Akibat menurunnya perfusi coroner yang
lebih lanjut akan mengakibatkan hipoksia miokardium yang bersiklus ulang pada iskemia dan
kerusakan miokardium ulang. Dari siklus ini dapat di telusuri bahwa siklus syok kardiogenik
ini harus di putus sedini mungkin untuk menyelamatkan miokardium ventrikel kiri dan
mencegah perkembangan menuju tahap irreversible dimana perkembangan kondisi bertahap
akan menuju pada aritmia dan kematian (Muttaqin, 2009).

D. Manisfestasi Klinis
Menurut buku Aspiani 2015 timbulnya syok kardiogenik dengan infark miokard akut dapat
dikategorikan dalam beberapa tanda dan gejala berikut:
1. Timbulnya tiba-tiba dalam waktu 4-6 jam setlah infark akibat gangguan miokard miokard
atau rupture dinding bebas ventrikel kiri
2. Timbulnya secara perlahan dalam beberapa hari sebagai akibat infark berulang
3. Timbulnya tiba-tiba 2 hingga 10 hari setelah infark miokard disertai timbulnya bising
mitral sistolik, ruptur septum atau disosiasi elektro mekanik.
Episode ini disertai atau tanpa nyeri dada, tetapi sering disertai dengan sesak napas akut
Keluhan dada pada infark miokard akut biasanya didaerah substernal, rasa seperti ditekan,
diperas, diikat, rasa dicekik, dan disertai rasa takut. Rasa nyeri menjalar ke leher, rahang,
lengan dan punggung. Nyeri biasanya hebat dann berlangsung lebih dari 1⁄2 jam, tidak
menghilang dengan obat-obatan nitrat. Syok kardiogeenik yang berasal dari penyakit
jantung lainnya, keluhan sesuai dengan penyakit dasarnya.
Tanda penting yang muncul pada syok kardiogenik adalah sebagai berikut (Yudha, 2011):
a. Takikardia : Jantung berdenyut lebih cepat karena stimulasi simpatis yang berusaha
untuk meningkatkan curah jantung. Namun, hal ini akan menambah beban kerja
jantung dan meningkatkan konsumsi oksigen yang menyebabkan hipoksia
miokardium
b. Kulit pucat dan dingin : vasokontriksi sekunder akibat stimulasi simpatis membawa
aliran darah yang lebih sedikit (warna dan kehangatan) ke kulit
c. Berkeringat : stimulasi simpatis mengakibatkan kelenjar keringat
d. Sianosis pada bibir dan bantalan kuku : stagnasi darah di kapiler setelah oksigen yang
tersedia di keluarkan
e. Peningkatan CVP (tekanan vena sentral) dan PWCP ( tekanan baji kapiler
pulmonal ) : pompa yang mengalami kegagalan tidak mampu memompa darah, tetapi
darah tetap masuk ke jantung, menambah jumlah darah di dalam jantung, sehingga
meningkatkan preload

E. Klasifikasi
Menurut Muttaqin 2009 Syok dapat dibagi menjadi tiga tahap yang semakin lama semakin
berat :
1. Tahap I, syok terkompensasi (non-progresif) ditandai dengan respons kompensatorik,
dapat menstabilkan sirkulasi, mencegah kemunduran lebih lanjut
2. Tahap II, tahap progresif, ditandai dengan manisfestasi sistemis dari hipoperfusi dan
keemunduran fungsi organ
3. Tahap III, refrakter (irreversible), ditandai dengan kerusakan sel yang hebat tidak pdapat
lagi dihindari, yang pad akhirnya menuju ke kematian
F. Komplikasi
Menurut buku yang di tulis oleh Aspiani 2015 komplikasi yang muncul dari syok kardiogenik
adalah :
1. Henti jantung paru
2. Disritmia
3. Gagal multisystem organ
4. Stroke
5. Tromboemboli

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis syok
kardiogenik adalah sebagai berikut (Asikin, 2016):
1. EKG : untuk mengetahui adanya infark miokard dan/atau iskemia miokard
2. Rongent Dada : menyingkirkan penyebab syok atau nyeri dada lainnya. Klien dengan
syok kardiogenik sebagian besar menunjukkan adanya gagal ventrikel kiri.
3. Kateterisasi Jantung : Menentukan penyebab dan jenis syok dengan melihat tekanan
kapiler paru dan indeks jantung
4. Enzim Jantung : mengetahui syok kardiogenik disebabkan oleh infark miokard akut.
Enzim jantung dapat berupa kreatinin kinase, troponin, myoglobin dan LDH
5. Hitung Darah Lengkap : melihat adanya anemia, infeksi atau koagulopati akibat sepsis
yang mendasari terjadinya syok kardiogenik
6. Ekokardiografi : menentukan penyebab syok kardiogenik dengan melihat fungsi sistolik
dan diastolik jantung
Terdapat beberapa tambahan pemeriksaan penunjang pada syok kardiogenik menurut
pendapat Yudha 2011 :
1. Pemindaian Jantung : tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan jantung
2. Elektrolit : mungkin berubah karena perrpindahan cairan atau penurunan fungsi ginjal,
terapi deuretik
3. Oksimetri nadi : saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif
memperburuk penyakit paru obstruktif menahun (POM)
4. AGD : gagal ventrikel kiri diatandai alkalosis respiratorik ringan atau hipoksiemia dengan
peningkatan tekanan karbondioksida

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Penanganan Syok kardiogenik yaitu kegawadaruratan yang memerlukan terapi resusitasi
segera sebelum syok merusak organ secara irreversible (Asikin et all, 2016).
a) Penanganan awal : resusitasi cairan, oksigenasi dan proteksi jalan nafas, koreksi
hipovolemia dan hipotensi
b) Intervensi farmakologi :
- sesuai penyebabnya, misalnya infark miokard atau sindrom coroner akut
diberikan aspirin dan heparin
- obat vasokontriksi, misalnya dopamine, epinefrin, dan norepinefrin
- mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk mempertahankan perfusi
jaringan dan volume intravaskuler
c) Farmakologi
Syok kardiogenik, setelah tercapainya preload yang optimal, sering kali dibutuhkan
inotropic untuk memperbaiki kontraktilitas dan obat lain untuk menurunkan
afeterload
a. Katekolamin
Hormone yang termasuk dalam kelompok ini yaitu adrenalin (epinefrin),
noradrenalin (norepinephrine), isoproterenol, dopamine dan dobutamine.
Golongan obat ini akan menaikkan tekanan arteri, perfusi coroner, kontraktilitas
dan kenaikkan denyut jantung, serta vasontriksi perifer. Kenaikan tekanan arteri
akan meningkatkan konsumsi oksigen, serta kerja yang tidak diinginkan
berpotensi mengakibatkan aritmia.
b. Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol
Hormone ini memiliki aktivitas stimulasi alfa yang kuat. Ketiga obat tersevut
memiliki aktivitas kronotropik. Stimulasi alfa yang kuat menyebabkan
vasokontriksi yang kuat, sehingga meningkatkan tekanan dinding miokard yang
dapat mengganggu aktivitas inotropic. Isoproterenol merupakan vasodilator kuat,
serta cenderung menurunkan aliran darah dan tekanan perfusi coroner.
Isoproterenolakan meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju jantung, yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen miokard yang sangat
berbahaya pada syok kardiogenik
c. Dopamine
Dopamine mempengaruhi stimulasi reseptor beta 1 pada dosis 5-
10μg/kgBB/menit, sehingga terdapat peningkatan kontraktilitas dan denyut
jantung, sedangkan pada dosis > 10μg/kgBB/menit, reseptor alfa 1 yang
menyebabkan peningkatkan tekanan arteri sistemik dan tekanan darah akan
distimulasi oleh dopamine. Dopamine adalah prekusor endogen noradrenalin,
yang menstimulasi reseptor beta, alfa, dan dopaminergic. Dopamine
menyebabkan vasodilatasi ginjal, menseterika dan coroner pada dosis < 5
μg/kg/menit. Takikardia merupakan efek samping dari dopamine.
d. Dobutamine
Dobutamine merupakan katekolamin inotropic standart yang digunakan sebagai
pembanding. Efek dobutamine terbatas pada tekanan darah. Dobutamine juga
meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh bermakna pada tekanan darah. Oleh
karena itu, tahanan vaskulat sistemik, tekanan vena dan denyut jantung menurun,
sehingga umumnya menandakan adanya hipovolemia. Dobutamin terutama
bekerja pada reseptor beta dengan rentan dosis 2-40 mcg/kgBB/menit. Pada dosis
tersebut, dobutamin akan meningkatkan kontraktilitas dengan sedikit efek
kronotropik tanpa vasokontriksi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pencegahan syok kardiogenik adalah salah satu tanggung jawab utama perawat di area
keperawatan kritis. Tindakan pencegahan teermasuk mengidentifikasi pasien pada resiko
dan pengkajian serta manajemen status kardiopulmoner pasien. Pasien dalam syok
kardiogenik mungkin memiliki sejumlah diagnosis keperawatan, tergantung pada
perkembangan penyakit Prioritas keperawatan diarahkan terhadap :
1. Membatasi permintaan oksigen miokard
2. Peningkatan pasokan oksigen miokard
3. Mempromosikan kenyamanan dan dukungan emosi
4. Mempertahankan pengawasan terhadapp komplikasi
Langkah-langkah untuk membatasi kebutuhan oksigen miokard meliputi :
1. Pemberian analgesic, sedative, dan agens untuk mengontrol afterload dan
disritmia
2. Posisikan pasien untuk kenyamanan
3. Membatasi aktivitas
4. Menyediakan lingkungan yang tenang dan nyaman
5. Memberikan dukungan untuk mengurangi kecemasan
6. Memberikan pemahaman kepada pasien tentang kondisinya
Pengukuran untuk meningkatkan suplai oksigen miokard mencakup pemberian
oksigen tambahan, pemantauan status pernapasan pasien dan memberikan obat yang
diresepkan. Manajemen keperawatan yang efektif dari syok kardiogenik
membutuhkan pemantauan yang tepat dan pengelolaan SDM, preload, afterload dan
kontraktilitas. Hal ini dapat dicapai melalui pengukuran akurat dari variable
hemodinamik dan pengontrolan pemberian cairan serta inotropic dan agen vasoaktif.
Hasil penilaian dan pengelolaan fungsi pernapasan juga penting untuk
mempertahankan oksigenasi yang adekuat (Aspiani, 2015).
Syok septik

A. Defenisi
Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg
atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski
telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk mempertahankan
tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2009).

B. Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap sepsis
adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri gram negatif.
LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler
dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri
gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih
sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat
menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun
secara langsung (Hermawan, 2007).

C. Patofisiologi Syok Septik


Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan
berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana
terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi
kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi
berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat
sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan maldistribusi
volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh mediator juga
menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal
sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan
pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia reperfusi,
dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya
faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein,
translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang
diberikan (Chen dan Pohan, 2007).

D. Gejala Klinis Sepsis


Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti lemah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus
digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi
lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan
pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
1. Sindrom distress pernapasan pada dewasa
2. Koagulasi intravaskular
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian
(Hermawan, 2007).
E. Penatalaksanaan
TigaDua prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
1. Stabilisasi pasien langsung
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus
dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat.
Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri
pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin
2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini
dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan
dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah
ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab
sepsis tersebut (Hermawan, 2007).

F. Penatalaksanaan Syok Septik


Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,
dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b)
circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena
sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen
ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard
menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat
perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke
jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus
dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.Oksigenasi
bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah,
meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid
maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak
kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat
dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi,
perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran.
Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik melebihi
tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu
diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu
misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis
dipertahankan pada 8-10 g/dl.
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor
diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan
sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis
2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau
inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9 meq/l,
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien
tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan
gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila
tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.
7. Kortikosteroil
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal, dan
diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan
dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibanding kontrol.
(Chen dan Pohan, 2007).
SYOK ANAFILATIK

A. Defenisi
Syok Anafilatik merupakan reaksi alergi yang sangat tipe fatal dan dapat menimbulkan
bencana bagi pasiennya, yang dapat terjadi dalam beberapa detik atau menit sebagai reaksi
antigen dan antibodi pada orang-orang yang hipersensitif setelah pemberian obat secara
parentral, pemberian vaksin atau serum, dan setelah digigit serangga (Lumbantoruan, 2015)
Syok Anafilatik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang di tandai
dengan adanya hipotensi dan kolaps sirkulasi darah, isitilah syok anafilatik menunjukkan
derajat kegawatan tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan suatu reaksi ini di perankan
oleh antibodi Ig E yang dapat menyebabkan pelepasan mediator kimia dari sel mast dan sel
basofil yang beredar dalam sirkulasi darah berupa fistamin, SRS-A, serotonin dan lain-lainnya
(Hutabarat, 2016)
Syok anafilatik ini juga berhubungan dengan syok septik. Syok septik merupakan jenis syok
sirkulasi yang paling sering dijumpai, yang di sebabkan oleh infeksi patogen (bakteri gram-
negatif) yang menyebar (Sudart, 2016)

B. Patofisiologi Syok Anafilatik


Mekanisme ini umum biasanya terjadinya reaksi anafilaksis dan anafilaktoid berhubungan
dengan degranulasi sel mast dan basophil yang kemudian mengeluarkan mediator kimia yang
selanjutnya bertanggung jawab terhadap symptom, degranulasi tersebut dapat terjadi melalui
antigen dan Ig E maupun tanpa adanya kompleks dengan Ig E melalui pelepasan histamine
secara langsung,
Mekanisme lainnya yaitu adanya gangguan metabolisme asam arachidonat yang akan
menghasilkan leukotrien yang berlebihan kemudian menimbulkan keluhan yang secara klinis
tidak dapat dibedakan dengan mekanisme umum, hal ini dapat terjadi pada pengunaan obat-
obat NSAID atau pemberian gama-globulin intramuskular (Lumbantoruan, 2015)

C. Tindakan Farmakologi
1. Pemberian injeksi epinefrin (ardenalin), harus segera di berikan kepada pasien yang
memiliki gejala atau tanda yang menunjukkan dengan anafilaksis yang tinggi.
Pemberian injeksi epinefrin melalui rute IM, rute IM sering di pakai karena dapat
mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular seperti hipertensi berat dan aritmia
ventrikel.
Dosis pemberiannya untuk pasien dewasa dari segala usia ialah 0,01mg/kg (dosis 0,3-
0,5mg) perdosis tunggal, di suntikkan IM ke tengah luar paha (otot vastus laterasi), dosis
harus diambil menggunakan jarum suntik 1ml menggunakan formulasi epinefrin 1mg/kg,
pemberian ini di ulangi tiap 15menit sampai keadaan membaik (Simons, 2013)
2. Pemberian injeksi kortikosteroid
Misalnya hidrokortison 100mg atau deksametason 5-10mg melalui rute IV sebagai terapi
penunjang untuk mengatasi efek anafilatik yang membandel (Nugroho, 2016)

D. Penatalaksanaan Syok Anafilatik


Penatalaksanaan syok di mulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki
perfusi jaringan, memperbaiki oksigen tubuh, dan mempertahankan suhu tubuh pasien, segera
berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC (Airway, Breathing,
Circulation) (Nugroho, 2016)
Segera baringkan pasien pada alas yang keras, kaki di angkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik ke vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah (Nugroho, 2016)
1. Hilangkan agen penyebab syok.
2. Pemberian IM epinefrin dapat meningkatkan vasokontriksi, dilatassi bronkiolus, dan
menghambatkan pelepasan pada mediator lebih lanjut.
3. Airway, bebaskan jalan nafas pasien dengan pemasangan pipa endotrakeal.
4. Breathing, segera berikan oksigen menggunakan nasal kanul dan bila perlu memberikan
ventilasi buatan.
5. Circulation, berikan cairan intravena untuk mempertahankan fungsi jantung dan perfusi
jaringan.
DAFTAR PUSTAKA

Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. (2013). Kedaruratan Medik. Tangerang: Binapura
Aksara.

Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis.Yogyakarta:Gosyen Publishing.

Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak,  carolyn M., & Gallo, B. M. (2012). Keperawatan Kritis
Pendekatan Asuhan Holistik. EGC.

Hardisman. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3), 178–182.
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/167/162

Smeltzer, S. C. (2016). Keperawatan Medikal Bedah. EGC

Fitria, C. N. (2010). Syok dan Penangananya. GASTER, 7.

Hubabarat, R. Y., & Chandra Syah Putra. (2016). Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan.

Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika.

Aspiani, R. Y. (2015). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskular Aplikasi
NIC & NOC. (EGC, Ed.). Jakarta.

Yudha, E. K., & Yulianti, D. (2011). Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah Vol. 1. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Aspiani, R. Y. (2015). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler aplikasi NOC &
NIC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC .

Asikin, M., Nuralamsyah, M., & Susaldi. (2016). Keperawatan Medikal Sistem Kardiovaskuler.
Jakarta : Penerbit Erlangga

Chen K & Pohan HT, 2009. ―Penatalaksanaan Syok Septik‖. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
5th ed, Ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, InternalPublishing, Jakarta
Pusat, p: 252-55.

Hermawan AG. 2007. SIRS dan sepsis (imonologi, diagnosis, penatalaksanaan). Solo, Universitas
Sebelas Maret, 2007

Hutabarat, R. Y. (2016). Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan. IN MEDIA.

Lumbantoruan, P. (2015). BTCLS & DISASTER. YPIKI.

Nugroho, T. (2016). Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.

Simons, F. (2013). Anaphylaxis: Rapid Recognition and Treatment. Bonchner BS.

Sudart, B. &. (2016). Keperawatan Medikal Bedah (Mardella,). Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai