Anda di halaman 1dari 179
TT PERPISTAR ARN JURISAY AN TROPQLOG 6M FAK, SASTRA- OM: _ |_ FAR: SASTA Ag BAB IV PATRON, KLIEN DAN PENDIDIKAN PRIAYI Perubahan-perubahan dalam pola kepemimpinan di kalangan masyara- kat pribumi menjadi kentara selama dasawarsa menjelang Perang Dunia Pertama. Pola hubungan yang sudah ada antara penduduk desa dan priayi, antara pangreh praja dan BB, tidak sanggup lagi menyerap dan mengatur ketegangan-ketegangan dan Pertentangan-pertentangan baru. Selama akhir abad ke-19, telah disadari perlunya diadakan pembaruan administrasi pemerintahan, dan diperkirakan bahwa ini saja yang akan memungkinkan para pejabat untuk tetap berfungsi sebagai pemim- pin-pemimpin tunggal supra-desa atas rakyat, Terbukti bahwa asumsi ini tidak berdasar. Memang benar bahwa kebanyakan pemimpin pribumi terdahulu yang berpandangan maju terbentuk oleh suatu ikatan yang te- lah terjalin baik: hubungan antara patron Eropa dengen klien pribumi yang bersemangat maju. Tetapi kerangka-kerangka kerja baru iambat laun muncul ketika kelompok-kelompok dan pribadi-pribadi mulai membebaskan diri dari kekangan-kekangan yang ditimbulkan oleh ke- tergantungan pada para protektor Belanda. Mereka merasa bahwa pemerintah tidak berhasil memenuhi kebutuhan rakyat, karenanya mereka mencati struktur-struktur dan ideologi-ideologi yang bebas dari birokrasi, yang dapat menunjang dan memberi keabsahan terhadap tuntutan-tuntutan mereka untuk kesejahteraan dan keadilan. Organisa- si-organisasi ada beraneka ragam bentuknya, mulai dari perkumpulan kematian atau perhimpunan perdagangan, variasi baru dari tema-tema lama, sampai ke bentuk-bentuk organisasi baru seperti serikat buruh dan partai politik. Kegiatan ini disambut baik oleh sejumlah orang Eropa se- bagai pertanda kemajuan sesuai dengan kebijaksanaan kolonial baru yang disesuaikan dengan kesadaran baru, tetapi ditentang keras oleh yang lain, yang melihatnya sebagaimana adanya: suatu tantangan terse- Iubung terhadap kewibawaan pejabat-pejabat. Dalam tahun 1901 Ratu Wilhelmina secara tesmi membuka suatu era kolonial baru, tatkala ia berbicara tentang ”*kewajiban etis dan tanggung- 7 Dipindai dengan CamScanner jawab moral’ negeri Belanda terhadap Hindia Belanda. Kebijaksanaan etis ini menjadi kenyataan melalui interaksi yang rasanya sulit terjadi antara pemilik modal besar, partai-partai politik Kristen dan asas kema- nusiaan yang dibawakan oleh golongan liberal. Pengaruh modal swasta bukan main kuatnya baik di Den Haag maupun Batavia, dan para peng- usaha menggunakan kekuatan politik mereka untuk memudahkan eksploatasi yang mereka lakukan. Mereka menginginkan kebebasan dari pembatasan-pembatasan yang dirasakan mengganggu, pengadaan tenaga kerja yang mantap, keamanan bagi investasi, pasar-pasar yang le- bih makmur, dan pengembangan prasarana ekonomi yang diperlukan oleh pemerintah guna menunjang perluasan usaha. Ini berarti campur tangan langsung pemerintah dalam masyarakat setempat, yang juga se- suai dengan koalisi partai-partai konservatif Kristen yang pada saat itu sedang memegang kekuasaan. Partai-partai ini merasa mengemban suatu tugas mulia, yaitu suatu keinginan untuk memperkaya negeri Belanda dan memperbaiki keadaan penduduk pribumi. Walaupun berada dalam kedudukan oposisi, partai- partai kiri juga menginginkan suatu kebijaksanaan yang lebih aktif. Semua setuju agar dilakukan sesuatu yang menguntungkan penduduk pribumi, dan menurut keyakinan mereka peningkatan kemakmuran pen- duduk pribumi pada akhirnya akan menguntungkan negeri Belanda. Perluasan, efisiensi dan kesejahteraan merupakan masalah kunci, dan rencana pelaksanaannya sangat tergantung pada program-program pem- ‘bangunan dan pendidikan oleh negara. Setelah tahun 1900 kaum pembaharu yang menekankan kemajuan pri- ‘bumi, dengan berbagai tingkat cercaan dan pujian, diberi cap sebagai kaum ”*Etisi’’, Tetapi kebijaksanaan etis tidak pernah benar-benar berhasil dalam meraih dukungan dari semua, jika bukan sebagian besar, orang-orang BB. Bagi kebanyakan pejabat Hindia Belanda, hal yang ter- baik ialah membiarkan dunia pribumi dan dunia Eropa terpisah secara tegas: pendidikan bagi "'saudara‘berkulit-coklat”” hanya akan mencipta- kan manusia marginal, dengan gagasan-gagasan lebih tinggi daripada kedudukan mereka sendiri. Tentu saja dalam kenyataan selalu terdapat kontak antara priayi dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda abad ke-19, Senantiasa terdapat orang-orang Eropa yang bertindak sebagai penghubung, dan beberapa di antaranya memungkinkan sekelompok orang pribumi memperoleh pendidikan formal dan dengan demikian masuk ke dalam batas-batas lingkungan Eropa. Biografi dari priayi-priayi pertama yang melakukan transisi terbatas ini memperlihatkan peranan yang sangat penting dari patron-patron 98 Dipindai dengan CamScanner Eropa. Beberapa keluarga Relanda yang ingin memberikan teman bermain yang serasi bagi anak-anaknya, akan mengundang pemuda-pe- muda pribumi berketurunan Saik unisk tinggal di dalam lingkungan rumah tangeanya, Dari sudut pandangan priayi, hal ini merupakan suatu kesempatan yang berguna untuk mempelajari sesuatu dari cara- cara hidup kasta yang berkuasa itu dan mengadakan kontak-kontak yang berharga. Peranan dari patron-patron seperti itu, yang sering kali terdiri dari pejabat BB setempat, sangat menentukan dalam membentuk karir pribadi pribumi, dan di samping itu memperkuat momentum yang menghendaki diberlakukannya pendidikan Barat, Scjumlah pemuda pribumi bahkan dibawa ke negeri Belanda oleh pe- lindung-pelindungnya, Sebagai contoh, priayi muda Yogyakarta, RM Ismangoen Donoewinoto belajar di negeri Belanda di bawah pengawas- an seorang bekas residen selama tahun 1860-an dan 1890-an. Dengan di- lengkapi kualifikasi-kualifikasi yang tepat ia mencoba memasuki BB, tetapi karena tidak ada prospek bagi seorang Jawa untuk menjadi kontrolir atau residen, maka ia hanya ditempatkan di jawatan pendidik- an orang-orang pribumi. Patron-patron serupa itu telah membantu RA Djojodiningrat, Bupati Rembang (1889-1912) dan seorang Bupati Madiun, Pangeran Ronggo Ario Koesnodiningrat (1900-1929), yang kedua-duanya bersekolah di negeri Belanda sebelum memasuki pangreh praja.!) Tak diragukan lagi pasti ada lain-lainnya, Hanya sebagian yang sangat kecil dari priayi yang mendapat ke- sempatan untuk bersekolah sampai ke Eropa; kebanyakan priayi yang mendapat pendidikan Barat memperolehnya di tanah airnya sendiri; tetapi walaupun demikian jumlah mereka hanya meliputi bagian yang sangat kecil dari elite pribumi. Banyak orang pribumi tidak tertarik akan pendidikan seperti itu; mereka memandangnya sebagai hal yang tidak perlu dan kemungkinan besar justru membahayakan, karena pendidikan membawa tisiko menjadi terasing dari kebudayaan sendiri dan kemung- kinan terseret menjadi Kristen. Sekalipun demikian, jumlah priayi yang memasuki sekolah Belanda di Hindia Belanda berangsur-angsur mening- kat, Sejak tahun 1846 orang pribumi diizinkan memasuki sekolah dasar (ELS), dan pada tahun 1883 terdapat hampir 400 orang Indonesia non- Kristen masuk ELS; tahun 1898 jumlah itu meningkat menjadi 762. Jumlah murid HBS seluruhnya jauh lebih kecil, dan sangat tidak seimbang. Adanya tiga HBS di Jawa: Gymnasium Willem IIT di Batavia (dibuka tahun 1860), yang lain di Surabaya (1875) dan Semarang (1877). Hanya sedikit sekali jumlah orang Indonesia yang memasuki sekolah-se- kolah ini: lima orang tahun 1890, tiga puluh enam orang dalam tahun 99 Dipindai dengan CamScanner 1905, Sekalipun pemerintah mengadakan "Sekolah-sekolah Kelas Satu’”’ dalam tahun 1893 untuk memberikan pendidikan dasar dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu kepada anak-anak keturunan baik-baik, namun sekolah-sekolah ini nampak sekali jauh di bawah sekolah-seko- lah Barat, schingga tidak menarik. Dalam tahun 1914 sekolah-sekolah ini diganti dengan sekolah pribumi berbahasa Belanda, HIS.) Tidak semua priayi yang ingin memberi pendidikan Eropa kepada anak-anak mereka sanggup atau mampu berbuat demikian, dan anak- anak yang memasuki sekolah-sekolah berbahasa Belanda hampir se- muanya berasal dari masyarakat pribumi dari tingkatan yang lebih ting- gi. Orang-orang tua dari lingkungan ini nampak sangat sadar akan ke- untungan-keuntungan pendidikan, dan karena itu berusaha keras untuk menanggung beban biaya bagi anak-anak mereka. Para pejabat tinggi, terutama bupati, mempunyai kontak-kontak sosial dan profesional dengan orang-orang Eropa lebih Juas dibanding dengan sebagian terbe- sar rakyat pribumi. Sejak anak-anak mereka memiliki kesempatan lebih baik untuk mencapai pangkat yang seimbang, mereka cenderung untuk lebih peka terhadap keuntungan-keuntungan yang bisa didapat dari pen- didikan Barat, Suatu peraturan umum bahwa anak-anak pribumi harus memiliki pengetahuan berbahasa Belanda yang cukup untuk bisa masuk * BLS dan mereka diwajibkan membayar uang sekolah, walaupun orang- orang Eropa atau Indo yang miskin dikecualikan dari persyaratan ini. Syarat-syarat masuk sekolah dapat diubah oleh gubernur jenderal, yang pada tingkat pelaksanaan berarti oleh BB setempat. Di sini juga, keada- annya lebih menguntungkan para priayi tinggi: merekalah yang paling mempunyai koneksi dengan pe)1bat-pejcbat Eropa setempat. ; Sudah sejak tahun-tahun 1870-an, sejumlah priayi memberikan pendi- dikan Belanda kepada anak-anaknya; khususnya daerah Priangan nampak sangat sadar akan pentingnya pendidikan, dan banyak Sunda men, irimkeancan k-anaknya untuk bersekolah pada ocbuak ELS) swasta di fon Gara Beberape pejabat pribumi menggaji gur prive Belanda-untiik mengajar anak-anak mereka, dan demikian pula sejumlah priayi lainnya mengitimkan anak-anak mereka untuk tinggal bersama keluarga-keluarga untuk mendapatkan manfaat yang serupa. Bupati Ciamis (Koesoemo Adiningrat, 1839-1886) misalnya, mengumpul- kan sekelompok anak untuk tinggal dan belajar di rumah kabupaten di bawah bimbingan seorang guru prive dan beberapa tahun kemudian guru-guru prive Eropa semacam itu juga ditemukan di rumah Bupati Cirebon, Majalengka dan Juwana. Sementara itu sejumlah anak muda masih terus pergi ke negeri Belanda; mereka bukan hanya anak asuhan 100 Dipindai dengan CamScanner orang-orang Belanda, tetapi juga anak-anak dari lingkungan keraton-ke- raton Jawa, Keluarga pangeran Paku Alam menghasilkan sejumlah orang-orang pertama berpendidikan (pengacara pribumi pertama, dokter, insinyur, guru wanita terkemuka, dan sebagainya) dengan mene- kankan pendidikan di negeri Belanda, sedangkan beberapa putra Susuhunan Surakarta juga belajar di negeri tersebut selama awal abad ke-203) Tetapi mungkin keluarga yang paling menonjol dalam prestasi yang dicapainya di bidang pendidikan sdalah keluarga Tjondronegoro, termasuk keluarga besar Bupati yang berpangkal di bagian tengah pantai utara Jawa. Sekitar pertengahan abad ke-19, Pangeran Ario Tjondronegoro (Bu- pati Kudus tahun 1836, Demak 1850-1866) memutuskan untuk menggaji seorang guru prive berbangsa Belanda untuk anak-anaknya, dan ia me- milih C.E. van Kesteren untuk maksud itu. Van Kesteren yang kemudian menjadi seorang wartawan terkemuka di Hindia Belanda, agaknya telah melaksanakan tugasnya dengan baik, karena empat bersaudara yang dididiknya itu semua berhasil dalam karir pangreh prajanya, semuanya mencapai pangkat bupati. RMAA Sosroningrat (Jepara 1880-1905) men- jadi seorang penganjur agar para priayi pemerintah mendapat pendidik- an dan syarat-syarat kerja yang lebih baik; RMA Tjondronegoro (Kudus dan Brebes) menulis banyak artikel dan buku dalam bahasa Jawa, se- dangkan RMAA Poerbodiningrat menjabat bupati di Demak (1866- 1881) dan Semarang (1881-1883). Tetapi mungkin yang paling terkenal dari keempat bersaudara ini adalah P.A, Hadiningrat (atau Adiningrat, Demak 1811-1915). Ia mengikuti kuliah bidang teknologi kereta api di Delft, dan kemidian bekerja di jawatan kereta-api. Ketika ayahnya me- ninggal tahun 1871 ia keluar dari jawatan kereta api dan memasuki dinas pangreh praja. Ia menjadi seorang juru bicara terkemuka dalam soal pe- merintahan dan masyarakat pribumi, dan ia mendapatkan pengakuan dalam masalah itu dari pemerintah Belanda, sekalipun beberapa orang Belanda tidak menyukai bahwa seorang pribumi dapat mencapai prestasi sedemikian tinggi, dan yang pasti bahwa BB setempat tidak selalu me- mandang tinggi kepadanya. Meskipun demikian ia dan saudara-saudara- nya telah menjadi contoh klasik dari priayi yang berhasil mencapai pres- tasi tinggi pada akhir abad ke-19. Citra ini menjadi semakin kuat lagi de- ngan ditulisnya surat-surat oleh putri Sosrodiningrat, Raden Ajeng Kartini. Kartini (lahir 1879, meninggal 1904) oleh ayahnya dimasukkan ke se- kolah ELS setempat, suatu tindakan yang sangat tidak biasa dalam ke- hidupan seorang gadis priayi pada waktu itu. Tetapi ketika ia mencapai 101 Dipindai dengan CamScanner usia remaja, kekuatan adat menang, dan Kartini dipingit di dalam kabupaten itu, Hal ini membuatnya merasa sangat frustrasi, dan banyak energi serta idealismenya dituangkan ke dalam surat-suratnya dengan para simpatisannya di negeri Belanda, di mana ia mendiskusikan harapan-harapannya serta pandangan-pandangannya mengenai masya- rakat sekitarnya, Pandangan-pandangannya mengenai pangreh praja, tak diragukan lagi; merupakan pencerminan sikap ayah dan paman- pamannya, Ta-menekankan perlunya pendidikan dan tanggung jawab moral priayi: jika mereka maju, maka seluruh masyarakat akan ikut me- rasakan manfaatnya, Ia mengecam keras penyalahgunaan tata cara penghormatan oleh orang-orang Eropa, dan ia merasakan bahwa peng- hinaan yang mereka lontarkan terhadap pribumi yang berbahasa Belanda itu sangat menyakitkan. Sementara ia menyadari akan adanya kebobrokan-kebobrokan di kalangan pejabat pribumi seperti korupsi, namun ia berpendapat — dan pendapatnya sebagian besar adalah benar — bahwa keadaan itu merupakan akibat dari tuntutan-tuntutan sosial dan. finansial dari jabatan yang dipangkunya., Namun sebagian besar tulisannya melukiskan keinginannya untuk memperbaiki nasib wanita dalam masyarakat Jawa.‘) Salah satu aspek yang paling menarik dalam karir Kartini yang singkat itu (ia meninggal dunia ketika nielahirkain anak dari perkawinannya de- ngan Djojoadiningrat, Bupati Rembang, seperti tersebut di atas), adalah konflik antara cita-citanya sendiri dengan harapan-harapan masyarakat- nya, Tanggapannya yang bersemangat terhadap pendidikan Barat diha- langi oleh adat-istiadat yang berlaku, dan semua usaha yang dilakukan oleh patron-patronnya berbangsa Belanda itu tidak cukup kuat untuk membebaskannya dari ikatan keluarga dan kelas. Di antara orang-orang, Belanda yang menaruh perhatian besar kepatia Kartini dan mencoba me- nolongnya adalah J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan (1900-1905), yang juga bersikap bersahabat dan memberi dorongan se- mangat kepada orang-orang muda Jawa lainnya, Tujuan Abendanon adalah, melalui pendidikan menciptakan suatu) inti yang terdiri dari pribumi-pribumi muda yang berkemampuan dant berpendidikan, yang akan memimpin rakyatnya ke arah kemajuan/ Dalam hal ini ia merupakan salah seorang patron dari kelompok etisi yang khas, di mana penasihat-penasihat urusan pribumi juga menonjol peranannya, Penasihat-penasihat itu ditunjuk untuk bertindak sebagai barometer politik, dengan mencatat perubahan perasaan dan pandangan kalangan pribumi, Dengan tugas demikian, dan biasanya terbawa oleh kepentingan mereka atas masyarakat dan kebudayaan setempat, mereka 102 Dipindai dengan CamScanner berhubungan crat dengan kclompok elite pribumi, dan setidak-tidaknya beberapa orang di antaranya melakukan perkawinan secara adat dengan keluarga priayi, Pengusaha perkebunan di Priangan, K.F. Holle diang: ~ Kat''sebagai penasihat kchormatan; ia disusul oleh Snouck Hurgronje yang penggantinya dalam jabatan itu kalau bukan penerusnya secara vital ya bekas muridnya, Tak terelakkan lagi, penasihat-penasihat itu tidak dipercaya oleh BB yang berpendapat bahwa mereka subversif dan kadang-kadang naif dalam simpatinya terhadap pandangan-pandangan Jawa, Di antara anak-didik para etisi telah muncul bukan saja tokoh-tokoh politik musiman, tetapi juga para pemimpin pangreh praja pertama yang tidak banyak jumlahnya itu, yang mampu menandingi orang-orang Be- landa dengan cara Belanda pula. Tiga orang di antara para juru bicara bupati yang paling menonjol dalam abad ke-20 memperoleh pendidikan awalnya di bawah bimbingan Snouck Hurgronje, penasihat-penasihat lainnya serta pejabat BB setempat yang berbeda dengan biasanya ber- sikap simpatik. Ketiga orang itu adalah RAA Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang 1901-1920, Batavia 1924-1927), RMT Koesoemo Oetojo (Ngawi 1902-1905, Jepara 1905-1925) dan RAA Wiranatakusuma (Cian- jur 1912-1920, Bandung 1920-1931, 1935-setelah Perang Dunia Il). Mereka ini bersama RMA Koesoemo Joedo (Ponorogo 1916-1927) dan RAA Soejono (Pasuruan 1915-1928) menguasai panggung pangreh praja sampai akhir tahun 1920-an. Sekitar tahun 1902 baru_ada 4, orang bupati di Jawa yang menguasai bahasa Belanda dengan cukup baik, dua orang dari keluarga Tjondronegoro (Sosrodiningrat dan Hadiningrat), dua lainnya adalah Djajadiningrat dan Koesoemo Oetojo. Tetapi semen- tara dua orang terdahulu dapat dianggap sebagai suatu penyimpangan yang kebetulan, dua lainnya merupakan wakil-wakil pertama dari pejabat pangreh praja gaya baru. Achmad Djajadini ‘at, putra Bupati Serang yang sadar akan pen- tingnya arti\pendidjkan, mula-mula menggabungkan pendidikan Islam dengan pendidikan Belanda, tetapi ketika kemampuannya menjadi makin. menonjol, para pejabat Eropa setempat dan kemudian Snouck Hurgronje mengarahkannya menuju ke pendidikan Barat sepenuhnya. Pada tahun 1888 ia memasuki ELS di Batavia dan kemudian HBS tahun 1893. Setelah lulus, kematian ayahnya memaksanya untuk menunda per- jalanan yang sudah direncanakannya ke negeri Belanda, dan ia memasuki pangreh praja untuk dipersiapkan menggantikan ayahnya. Setelah berdinas dengan pangkat yang lebih rendah untuk waktu singkat, ia diangkat menjadi bupati. Ia bukan satu-satunya dari anggota 103 Dipindai dengan CamScanner keluarganya yang mendapat pendidikan Belanda; beberapa orang sauda- tanya mendapat pendidikan HBS dan bahkan universitas dan dengan demikian memantapkan hak keluarga Djajadiningrat untuk menjadi contoh yang berikutnya dari gaya keluarga Tjondronegoro mengenaj keluarga priayi yang berkemauan untuk maju.>) Koesoemo Oetojo mempunyai karir yang serupa. Ia dilahirkan tahun 1871, putra Patih Pekalongan dan cucu seorang bupati. Ia lulus dari HBS Semarang tahun 1891, Sevagai seorang juru tulis muda, ia menarik perhatian kontrolirnya dan juga K.F. Holle. Yang tersebut belakangan itu memperkenalkannya kepada Snouck Hurgronje, yang merencanakan untuk mempercepat kenaikan pangkatnya menjadi asisten wedana dan menempatkannya di bawah pimpinan residen yang progresif itu dan penulis H.E. Steinmetz, Berkat pengaruh Snouck dan Steinmetz, Koe- soemo Oetojo dinaikkan pangkatnya menjadi bupati setelah bekerja kurang dari 10 tahun, Hubungan*;ubungaa yang serupa juga membantu Wiranatakusuma, seorang pria yang lebih muda. Ia putra seorang Bupati Bandung dan merupakan bagian inti dari elite Priangan yang terjalin rapat itu; ketika masih sangat muda ia tinggal bersama keluarganya yang anti-Belanda, tetapi kemudian ia pindah dan tinggal bersama keluarga Belanda. Akhirnya berkat campur tangan Snouck Hurgronje dan Penasihat G. Hazeu (1906-1912), ia memasuki HBS. Sejak itu Hazeu terus memperhatikan anak tersebut, dan memang salah satu tugas seorang penasihat adalah mengamati perkembangan anak-anak pribumi dari keturunan baik-baik yang bersekolah di kota-kota.§) Hubungan mereka dengan orang-orang Eropa yang berpengaruh, pen- didikan dan pengetahuan mereka tentang bahasa Belanda, telah membe- dakan anak-anak muda ini dari teman-teman sejawatnya. Ini tercermin dalam karir mereka yang semuanya memperoleh kenaikan pangkat dengan cepat. Koesoemo Oetojo, berkat penguasaannya atas bahasa Belanda, untuk sementara waktu dipindahkan dari pangreh praja ke Su- rakarta untuk membantu menyelesaikan tumpukan peraturan yang be- lum diterjemahkan, Selama di Surakarta ia bertindak selaku -editor Pewarta Prijaji, sebuah majalah bulanan yang pertama kali terbit dalam tahun 1900 dan tampaknya merupakan penerbitan pertama di Hindia Belanda yang ditujukan kepada kaum priayi, Pewarta.Priayi memuat terjemahan dari peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan resmi, disamping tulisan-tulisan umum mengenai pemerintahan. Majalah ini beserta organisasi yang menerbitkannya diharapkan bisa menaikkan tingkat korps pribumi, 104 Dipindai dengan CamScanner Koesoemo Oetojo dan Djajadiningrat segera disusul oleh sejumlah priayi muda lainnya yang mempunyai kualifikasi istimewa. Dalam tahun 1904, Koesoemo Joedo putra Paku Alam V lulus dari Universitas Leiden dengan meraih ijazah dalam ilmu indologi, dan karenanya memenuhi persyaratan untuk diangkat menjadi BB. Ia segera diikuti olen RM Sajoga, yang pada tahun 1905 kembali ke Jawa setelah lulus dari ujian groot ambtenaars (pejabat tinggi). Dalam tahun 1907, Mas Mohammad Achmad seorang anggota keluarga Djajadiningrat, memperoleh ijazah dari Gymnasium Willem III, sedangkan pada tahun berikutnya, R. Soejono putra Bupati Tulungagung juga memperoleh diploma groot ambtenaars. Pria-pria muda ini menimbulkan masalah yang cukup me- musingkan bagi Batavia: di mana mereka akan dipekerjakan? Dalam BB atau pangreh praja? Kedua lembaga itu tampaknya tidak cocok bagi mereka, karena sekalipun ajaran etis telah diumumkan, sistem yang berlaku tidak dapat menampung orang-orang pribumi yang berpendidik- an sedemikian tinggi. Suatu penyelesaian yang lebih bersifat advonturistis agaknya cukup tegas — masukkan mereka ke korps orang- orang Eropa. Tetapi ini akan bera-ti bahwa garis pemisah antara pangreh praja dan BB tidak memiliki arti lagi, karena *hirarki ganda” yang ditegakkan selama ini yang berakar dalam prinsip "*memerintah melalui pemimpin-pemimpin pribumi’’, harus ditinggalkan. Snouck Hurgronje memperjuangkan dengan gigih agar langkah ini di- ambil. Ia menekankan bahwa administrasi pemerintahan kembar bu- kanlah merupakan suatu prinsip setengah suci yang tak bisa diubah, tetapi asal mulanya hanyalah merupekan suatu jawaban praktis terhadap keadaan tertentu, suatu susunan peralihan yang tidak perlu di- lanjutkan secara berkepanjangan. Tetapi hanya sedikit orang yang se- pendapat dengannya. Keberatan-keberatan mereka, sebagaimana di- ikhtisarkan oleh Snouck sendiri, ialah adanya kekhawatiran bahwa orang-orang pribumi akan menandingi orang-orang Eropa dan mengam- bil alin administrasi pemerintahan, bahwa semata-mata tidak masuk akal adanya seorang residen coklat dan bupati putih. Adalah gila untuk memberikan hak-hak BB kepada pribumi, dan bahwa penghapusan garis pemisah antara kedua korps ini adalah bertentangan dengan ajaran po- kok bahwa orang-orang Eropa harus memimpin pejabat-pejabat pribu- mi, Secara rasional argumentasi-argumentasi semacam itu harus dibuang jauh-jauh, tetapi prasangka dan asumsi yang mendasari argumentasi itu juga sukar ditundukkan. Betapa pun juga dinding pemisah itu untuk sementara tertembuskan, ketika Koesoemo Joedo diangkat menjadi calon kontrolir, yang bertugas selama tahun-tahun 1904-1905 di Mage- 105 Dipindai dengan CamScanner lang, Kebumen dan Wonosobo. Pengangkatan ini dilakukan atas per- mintaan pribadi Gubernur Jenderal J.B, van Heutz (1904-1909). Tetapi setelah tujuh bulan Koesoemo Joedo dipindahkan ke Dinas Kredit Perta- nian, sementara pengaruh dari dinas dan pengangkatannya dipelajari le- bih lanjut.?) Tampaknya scbagai seorang calon kontrolir, tingkah laku dalam men- jalankan tugasnya tidak memuaskan pihak yang mana pun juga, dan begitulah perdebatan mengenai pembauran rasional terus berpusat pada kemampuan pribumi untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan admi- nistrasi pemerintahan tingkat tinggi, Gubernur Jenderal van Heutz cu- kup bersikap terbuka dalam masalah itu; dalam bulan April 1906 misal- nya, ia masih belum memutuskan apakah BB akan terbuka bagi priayi atau tidak, Sebaliknya, Menteri Urusan Jajahan A.W.F. Idenburg (1902-1905) sangat yakin bahwa pembauran politik tidak mungkin dilak- sanakan, dan nyatanya tidak ada pribumi lagi yang dimasukkan ke dalam BB. Dalam bulan September 1906, Direktur Departemen Dalam Negeri (DIA) yang baru, Simon de Graaff menyindir dengan tajam bahwa walaupun terdapat pengagum-pengagum idealis terhadap bakat- bakat intelektual yang luar biasa di kalangan pribumi, setiap pengamat yang jujur pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa masih dibutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun lamanya sebelum pribumi dapat mengambil alih tugas-tugas BB, Dengan kata lain, secara tegas ia tidak membenarkan pandangan Snouck dan berpihak kepada pejabat-pejabat Eropa yang lebih konservatif. Mengingat pengaruh de Graaff yang begitu menentukan atas perkembangan selama 30 tahun berikutnya — sebagai seorang bekas BB ia menjadi Direktur DIA 1906-1910, Komisi Reorganisasi Tata Pemerintahan 1913-1915, Menteri Urusan Jajahan 1919-1925 dan 1929-1933 — maka patutlah untuk mencatat kehebatan pengaruh penolakan tersebut terhadap pandangan yang progresif.8) Dengan demikian tertutuplah gerbang masuk ke BB bagi pejabat pri- bumi yang berpendidikan tinggi; namun bahkan para penganjur perbe- daan rasial yang berhaluan konservatif sekalipun, mengakui bahwa se- orang lulusan atau pemegang ijazah Leiden tidak seharusnya menghabis- kan waktu bertahun-tahun sebagai magang, Ini akan membuang-buang waktu dan membahayakan: menyia-nyiakan bakat dan tenaga-kerja yang sangat dibutuhkan, berbahaya karena akan mengasingkan para Priayi terdidik yang telah menyambut baik penunjukkan Koesoemo Joedo sebagai kontrolir sebagai fajar dari suatu zaman baru. Tetapi sistem yang ada tidak menawarkan alternatif, Pembauran korps pribumi dan korps Eropa sama sekali tidak mungkin, sehingga tak terhindarkan 106 Dipindai dengan CamScanner lagi pembicaraan akan berpusat pada pembagian kerja antara kedua korps itu, pada penentuan kembali garis pembatas untuk memberikan ruang lingkup yang lebih luas dari priayl yang berpendidikan, Masalah pokok mengenai bagaimana membagi tanggung jawab ini, pada akhir- nya mendasari seluruh pembicaraan tentang pembaruan pangreh praja pada akhir abad ke-20, Dari tahun 1905 sampai 1910, de Graaff, Idenburg, van Heutz, Snouck Hurgronje dan Penasihat Hazeu memperbincangkan pemecah- an-pemecahan yang mungkin diambil terhadap persoalan yang diajukan oleh kaum pribumi yang berpendidikan baik. Dalam tahun 1905, de Graaff yang terikat pada tatanan yang ada, mengusulkan pembentukan ajun bupati’”’, yang pada hakikatnya adalah kontrolir yang benar-be- nar coklat, Pejabat pribumi dari keturunan baik-baik, lulusan HBS yang mendapat latihan tambahan di Gymnasium bagian B, akan mengambil alih sebagian dari tugas kontrolir dan membantu bupati. Pemecahan ini akan memberikan pekerjaan memuaskan kepada pribumi berpendidik- an, memperkuat fungsi bupati dan mempertahankan perbedaan ras. Tetapi gagasan ini sangat lamban dan tidak pernah dilaksanakan. Ga- gasan Idenburg untuk memberikan sejumlah bagian kecil dari tugas kontrolir kepada wedana lebih bisa dilaksanakan, dan gagasan ini mendapat dukungan dari mereka yang beranggapan bahwa setiap penciutan kekuasaan BB adalah tak dapat diterima. Gagasan ini diterapkan bagi wedana pada tahun 1912 dan bagi bupati setelah tahun 1918, tetapi dampaknya hanya kecil saja; di bawah akan dibicara- kan secara lebih terperinci. Hizeu dan Snouck, sebagaimana mungkin telah diharapkan sebelumnya, menekankan perlunya perubahan-peru- bahan yang lebih luas, suatu penataan kembali seluruh organisasi peme- rintahan. Dalam pada itu, masa depan yang dekat bagi priayi-priayi pe- megang ijazah masih harus diselesaikan, Sebagaimana kebiasaan yang khas, persoalannya bukan terselesaikan melainkan dikesampingkan. Koesoemo Joedo, Sajoga dan Achmad di- tempatkan dalam Dinas Kredit Pertanian, suatu cabang khusus dari De- parteman Pemerintahan Dalam Negeri yang tidak mengenal pemisahan sasial. Koesoemo Joedo menikmati kemajuan menonjol dalam karirnya, tetapi pemindahannya dari korps Eropa itu tetap merupakan kekecewa- an besar dalam hidupnya, Sajoga bahkan tidak sampai memasuki BB: Batavia memberitahu kepadanya bahwa permohonan penempatan yang bagaimanapun pasti tak akan berhasil, dan oleh karena itu dalam tahun 1905 ia masuk ke Dinas Kredit dan bekerja di situ sampai tahun 1912. Kemudian ia pindah ke pangreh praja, tetapi walaupun ia berpendidikan 107 Dipindai dengan CamScanner dan berpengalaman, ia erpaksa memulai karirnya dari tingkat terendah, yaitu sebagai manteri polisi, sama seperti pegawai-pegawai tak terlatih dan orang-orang muda yang baru saja lulus dari OSVIA. Hal ini terjadi, walaupun dikatakan bahwa keadaan demikian adalah tidak benar. Mohammad Achmad memasuki Dinas Kredit itu dalam tahun 1908, tetapi segera dipindahkan dari dinas ini dan diberi jabatan tinggi sebagai Jaksa Kepala di Scrang. Pengangkatan ini diserang oleh pers pribumi se- bagai nepotisme (Serang adalah rumah dari keluarga Djajadiningrat yang berpengaruh), tetapi sebenarnya pengangkatan itu merupakan aki- bat dari tekanan Snouck Hurgronje dan Hazeu. Snouck mendorong Gu- bernur Jenderal Idenburg agar mengutuk hambatan-hambatan BB terha- dap priayi yang telah mendapat pendidikan cukup baik: hal ini, seba- gaimana pengamatan Idenburg, berarti menentang kebijaksanaan untuk menggalakkan pendidikan Barat bagi pribumi. De Graaff, yang mewakili sebagian terbesar orang-orang Eropa yang konservatif, meragukan integritas pengecam-pengecam semacam itu, dan ia menge- luh bahwa kecaman-kecaman terhadap BB dibuat dengan motif-motif yang tidak sehat. Hazeu menjawab dengan mengatakan bahwa sikap permusuhan BB terhadap kemajuan pribumi adalah sebagai akibat dari penilaian fundamental mereka yang terlalu rendah terhadap perubahan- perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Jawa. Pada tahap ini argu- mentasi liberal semacam itu masih didengar, dan campur tangan Hazeu telah membantu Achmad untuk mencapai kemajuan pesat dalam karir- nya sebagai pegawai negeri; ia diangkat menjadi Bupati Kuningan pada tahun 1923. Lulusan groot ambtenaar terdahulu yang keempat, R. Soejono juga ikut mendapat manfaat dari tekanan kaum liberal tersebut. Ta menjadi wedana setelah tiga tahun berdinas di pangreh praja, dan pada tahun 1915, setelah berdinas 7 tahun saja, ia diangkat menggantikan mertuanya sebagai Bupati Pasuruan (1915-1928).9) Orang-orang muda yang sangat memenuhi syarat ini berasal dari ka- Jangan berlatar belakang aristokrat, sehingga kenaikan pangkat mereka tidak bertentangan dengan ide dasar tentang hak istimewa bagi keturun- an baik-baik, Aspek revolusioner dari karir mereka tak lain adalah bahwa mereka menerima pendidikan terlalu tinggi sehingga disesuaikan dengan tempat yang disediakan bagi pribumi, baik menurut struktur kolonial maupun menurut purbasangka BB. Bahkan setelah adanya te- kanan dari kaum liberal yang memaksa DIA untuk mencari alternatif penyelesaian dengan menggunakan Dinas Kredit sebagai tempat penam- pungan yang menyenangkan, namun apa yang dihasilkannya hanyalah suatu kompromi untuk mengelakkan masalah’ yang sebenarnya. Taktik 108 Dipindai dengan CamScanner baru yang digunakan untuk menghadapi para priayi yang berpendidikan terlalu tinggi adalah dengan mempercepat kemajuan mereka lewat jen- jang kepangkatan. Ini bahkan bukan merupakan suatu ’’kebijaksana- an” resmi, tetapi suatu persetujuan tidak resmi untuk menjamin bahwa orang-orang Jawa yang ditakdirkan berkat keturunan atau pendidikan- nya akan mencapai kedudukan tinggi, hendaknya bisa melaksanakan hal tersebut secepat mungkin, tanpa perlu adanya perubahan dalam struktur pemerintahan atau kebijaksanaan yang diumumkan secara resmi. Dengan cara ini diharapkan untuk mendapatkan pengakuan akan pen- tingnya pendidikan tanpa mengucilkan pandangan konservatif. Pada dasarnya hal ini merupakan pemecahan jangka pendek. Walaupun bisa diterima bahwa pejabat-pejabat pangreh praja harus mendapatkan pendidikan yang lebih baik, tetapi terus diberlakukannya pemisahan rasial menggarisbawahi keyakinan bahwa unsur terpokok dari pangreh praja adalah kepribumiannya. Di dalam sistem kembar ter- sebut, pangreh praja harus memberi keabsahan kepada supra-struktur Belanda dengan tradisi pribumi dan bentuk-bentuk politik prakolonial. Keahlian dan ketrampilan birokrasi disambut baik, tetapi jangan sampai mengancam sifat ’’ketimuran”’ priayi-priayi tersebut. Setelah hal ini menjadi kenyataan, maka tidak mengherankan bahwa para penganjur westernisasi yang tuntas seperti Snouck hanya mendapat sedikit penyo- kong, dan titik berat pada pendidikan pejabat pribumi lebih bersifat la- tihan ketrampilan dan bukan pendidikan akademis. Bentuk pendidikan yang lebih disukai terdiri dari pelajaran-pelajaran praktis yang sejauh mungkin disesuaikan dengan lingkungan pribumi, dan dengan demikian perhatian dipusatkan pada sekolah-sekolah latihan bagi para pejabat pribumi dan bukannya pada perluasan kemungkinan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan Belanda, Sejak tahun 1900 di Jawa terdapat tiga OSVIA (fnula-mula bernama Hoofdenscholen). Masing-m: “sekolah menerima murid dari daerah penampungannya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, dalam tahun 1905 di antara 70 orang siswa OSVIA di Bandung sebagian besar berasal dari Jawa Barat, dengan perkecualian 3 orang siswa dari Kalimantan, OSVIA Magelang yang besarnya kira-kira sama dengan Bandung, menarik siswa-siswanya dari Jawa Tengah, sedangkan OSVIA Probolinggo yang agak lebih kecil, diperuntukkan siswa-siswa dari Jawa Timur, Soal ketu- runan merupakan faktor penting dalam penerimaan siswa di OSVIA; hal ini ditetapkan dalam suatu peraturan sampai tahun 1919, dan sekalipun uang sekolah disesuaikan dengan penghasilan orang tua, namun bagi ke- luarga-keluarga berpenghasilan rendah menyekolahkan anak di OSVIA 109 Dipindai dengan CamScanner tetap dirasakan sangat mahal. Penerimaan siswa tergantung pada rekomendasi pribadi pejabat BB setempat dan bupati; bupati-bupati menggunakan hak patronnya untuk mengajukan sanak keluarga dan orang-orang yang disenanginya, Walaupun demikian, semakin banyak saja murid OSVIA yang berasal dari keluarga priayi menengah, bahkan priayi rendah. Apabila pada awal abad ini lebih separuh dari orang tua murid menjabat kedudukan dalam pangreh praja mulai dari asisten wedana sampai bupati, maka sejak tahun 1915 jumlah murid yang berasal dari keluarga-keluarga lebih rendah meningkat secara menyolok, Sementara hal ini untuk sebagian tercermin dengan pembukaan 3 OSVIA baru pada 1910 (Serang, Madiun dan Blitar) yang meningkatkan jumlah murid lebih dari dua kali lipat, hal ini juga memperlihatkan kecenderungan umum ke arah masuknya murid dari lapisan yang lebih rendah. Keputusan pemerintah untuk mempertahankan OSVIA sebagai sekolah ketrampilan tingkat menengah, berarti bahwa sekolah-sekolah itu kehilangan martabat dibanding dengan sekolah-sekolah Belanda yang bertingkat akademi. Sekolah-sekolah ini juga hanya menawarkan pilihan karir yang jauh lebih sempit kepada para lulusan, Seorang anak yang memasuki ELS dapat menjadi seorang pejabat jika ia mengingin- kannya, tetapi ia juga dapat memilih keahlian-keahlian lainnya. Banyak anak-anak dari keluarga yang sangat kaya atau dari keturunan tinggi yang cenderung untuk memilih pendidikan akademis; kemudian bebe- rapa Orang di antaranya membelot dari pekerjaan tradisional sebagai pejabat pangreh praja dan mengejar karir di bidang lainnya, mereka le- bih menyukai pekerjaan sebagai orang-orang profesional yang bebas, seperti dokter dan pengacara, atau bekerja di departemen-departemen pemerintah yang bersifat teknis di mana tidak terdapat garis pemisah rasial yang sering menimbulkan kekecewaan. Dengan adanya perluasan administrasi pemerintah, penekanan pada ketrampilan dan mundurnya orang-orang muda berketurunan tinggi dari pangreh praja, maka per- bandingan keseluruhan antara jumlah priayi rendah terhadap priayi tinggi terus meningkat secara mantap.!0) Pada waktu itu juga terjadi perluasan besar dalam bidang pendidikan umum untuk pribumi, termasuk diluaskannya secara bertahap sekolah teknik secara bertahap, sekolah ketrampilan dan sekolah menengah atas khusus untuk orang-orang Indonesia, Sekolah-sekolah ini menghasilkan orang-orang muda berpendidikan yang mengejar pekerjaan halus dan dengan demikian juga martabat, sungguhpun hak yang diberikan oleh asal-usulnya untuk pekerjaan itu adalah sedikit sekali. Secara profesi, 110 Dipindai dengan CamScanner mereka berada pada satu tingkat yang sama dengan banyak pejabat menengah pribumi, dan sekalipun departemen-departemen lain dan per- usahaan-perusahaan swasta kurang mentereng dibanding dengan dinas kepegawaian negeri yang lama, timbulnya orang-orang baru ini telah membantu mengaburkan perbedaan yang sempit antara status tinggi dan kedudukan pangreh praja. Bagaimanapun, pangreh praja sendiri diharapkan untuk bergerak se- suai dengan pergerakan waktu. OSVIA merupakan tempat persemaian yang diharapkan akan menumbuhkan pejabat-pejabat gaya baru, dan untuk itu setelah tahun 1907 terjadi peningkatan yang cukup besar dalam pembiayaan untuk sekolah-sekolah itu. Dalam tahun 1908, sekolah itu diperpanjang dari lima tahun menjadi tujuh tahun, dan akhirnya OSVIA disamakan tingkatnya dengan sekolah menengah per- tama.!) Tetapi diperlukan waktu sebelum dampak yang sesungguhnya dari pe- nekanan baru pada latihan itu bisa dilihat pada dinas-dinas pemerintah- an setempat. Walaupun pada tahun 1891 Batavia mengeluarkan edaran yang mengharuskan semua calon pejabat pribumi memenuhi persyarat- an telah menempuh suatu pendidikan formal, namun 18 tahun setelah ditetapkannya peraturan itu, di Keresidenan Pekalongan misalnya, hanya 124 dari hampir 500 anggota pangreh praja di bawah pangkat patih memenuhi persyaratan ’minimum’”? ini. Dalam tahun 1907, hanya 10 orang dari 260 pejabat pribumi di Keresidenan Rembang adalah lulusan OSVIA, sementara itu setahun kemudian di Kediri 75 persen dari pejabat pribumi tidak pernah mengikuti pendidikan formal; di Cirebon angka itu malah mencapai 92 persen.12) Sekalipun demikian, kebijaksa- naan baru yang mengutamakan pendidikan itu merupakan keputusan yang menentukan bagi pembaruan korps pribumi selama dasawarsa-da- sawarsa selanjutnya, Pada permulaan abad ini, pengalaman yang didapat seorang anak di luar bangku sekolah dalam banyak hal hampir sama pentingnya dengan pelajaran yang diterimanya. Anak-anak ini masih berusia muda ketika memasuki OSVIA — berumur antara 12 dan 16 tahun — dan banyak di antaranya menemukan bahwa kebebasan yang diperoleh dari kehidupan di asrama dan kota-kota besar nierupakan sesuatu yang baru dan mem- beri semangat. Mereka bukan saja tinggal bersama teman-temannya yang berasal dari daerah-daerah lain yang jauh, tetapi mereka juga ber- gaul dengan penduduk setempat: kadang-kadang dengan teman yang agak meragukan, seperti misalnya ’perempuan-perempuan gampangan’”. Te- tapi beberapa orang siswa juga berhubungan dengan tokoh-tokoh politik Mb Dipindai dengan CamScanner yang tak disukai; pada awal abad ini seorang buangan Aceh di Bandung telah ditangkap karcna melakukan kegiatan mengubah pandangan murid-murid OSVIA ke arah yang membahayakan, dan kemudian se- jumlah murid menaruh perhatian besar pada gerakan nasionalis yang baru tumbuh, walaupun pengawasan di sekolah lebih ketat daripada se- belumnya. Sekalipun kebanyakan murid OSVIA tetap berasal dari keluarga pangreh praja, dari kelompok yang berada, dan kendatipun sekolah di- tujukan ke arah pelestarian peranan priayi yang sudah mantap, namun mereka tetap merupakan sumber potensial ke arah perubahan. Lulusan OSVIA merupakan minoritas kecil, tetapi mereka memainkan peranan pemimpin dalam gerakan-gerakan yang timbul belakangan untuk mem- pembarui korps itu. Hal ini tidak begitu mengherankan, karena pendi- dikan — setidak-tidaknya pada sejumlah murid tertentu — telah mem- bangkitkan perhatian yang lebih Juas serta keterbukaan bagi perubahan, dan ini membedakan mereka dari teman sejawatnya yang lain. Tetapi se- lama dasawarsa pertama dari abad ini, petunjuk-petunjuk akan adanya perubahan di kalangan pangreh praja masih belum kentara, petunjuk itu baru terlihat akan adanya segelintir pangreh praja yang mampu menya- mai orang-orang Eropa, serta dalam rencana pembaruan jangka pan- jang yang dikemukakan oleh sejumlah pendukung kebijaksanaan etis. Kendatipun demikian, di luar bidang pemerintahan tanda-tanda akan terjadinya perubahan radikal tak dapat diragukan lagi. Catatan 1) J. Oudemans, ’’R.M. Ismangoen Danoewinoto”’, TBB 11 (1895); memo yang dilampirkan pada M.V.Q. dari L. Ch. E, Fraenkel (Residen Rembang 1901-1907), Arsip Kolonial, Vb. 5 Maret 1908 no. 36; biografi: ’Pangeran Ronggo Ario Koesnodiningrat”’, Pandji Poestaka, 3(November, 1925) dan Politiek Economische 2) P.W. van der Veur, ’’Progress and procrastination in education in Indonesia prior to World War II”, di dalam karyanya Education and Social Change in Colonial Indonesia (Athens, Chio, 1959); C.L.M. Penders, "Colonial Education Poiicy and Practice in Indonesia, 1900-1942” (tesis Ph.D. Australian National Univer- sity, 1968); S.L, van der Wal (editor), Het Onderwijsbeleid in Ne- derlands-Indie 1900-1942 (Groningen, 1963). 3) Kolonia! Verslag, (1876, 1877, 1880); Colonial Archives Maillrap- port (kemudian Mr) 636/07; S. Scherer, hlm, 28-37, 4) R.A. Kartini, Letters of a Javanese Princess (New York, 1964). M2 Dipindai dengan CamScanner 5) 6) 0} 8) 9) 10 1). 12) Djajadiningrat, Herinneringen, "'Riwayat Hidope: RMAA Koesoemo Oetojo”’ (otobiografi yang diketik); RAA Wiranatakoesoemah, Mijn Reis naar Mekka (Ban- dung, 1925), C, Snouck Hurgronje, Ambtelijke Adviezen Jilid 1, hlm. 555-556; Van der Wal, Onderwijsbeleid, him. 138-141, Vb. 28 Juli 1906 no, 10; Vb. 31 Januari 1907, no. 8; B.J. Brouwer, De Houding van Idenburg en Colijn Tegenover de Indonesische Beweging (Kampen, 1958), Simon de Graaff (1861-1948) adalah se- orang bekas pejabat BB, diuraikan oleh Robert van Neil di dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite (The Hague, 1960) him. 185-186 sebagai seorang yang ”’konservatif, sahabat kapitalis- me, sangat percaya akan desentralisasi administrasi daripada de- sentralisasi politik, meyakini tentang ketidakmatangan bangsa Indonesia .... Kepala lawan-lawannya, dan mereka itu sangat ba- nyak, pikirannya itu nampak bergoyang ke kiri ke kanan seiring dengan goyangan badannya, dan umumnya dijuluki sebagai ’Simon si Pembohong’’’, Sutherland, ’’Pangreh Praja’, catatan pada him. 190, 195-198 mengenai perincian lebih lanjut. Ibid, Lampiran tambahan Vb. : Laporan Tahunan Departemen Pendidikan Pemerintah Hindia-Be- landa Verslag van het Onderwijs (Batavia, 1905 dan 1915). J.J, van Helsdingen, ’’De inrichting van het Inlandsch Bestuur, de opleiding en positie der Inlandsche Bestuursambtenaren op Java en Madoera’’, Koloniaal Tijdschrift, 1 (1912) him. 182-212 dan 285- 324; RAA Koesoemodikdo, '’Soewatoe Timbangan yang tiada diminta’”’, TBB, 30 (1907) hlm. 34-45; A.H.J.G. Walbeehm, ’’Zijn wij met ons Inlandsch onderwijs op Java op der goeden weg?”’, De Banier, | (1909) hm. 413-415, 425-427, 438-441 dan 449-451, ts ll Dipindai dengan CamScanner 113 BAB V MOBILITAS SOSIAL DAN PEMBARUAN POLITIK Pada awal abad ini, muncul suatu unsur baru dalam masyarakat pribumi di kota-kota Hindia Belanda, yaitu lapisan cendekiawan. Walaupun para anggotanya pada umumnya berasal dari lingkungan priayi, namun mereka telah keluar dari kerangka pangreh.praja dan, setidak-tidaknya sampai batas tertentu, keluar dari Kultur tradisional. Mereka hidup di perbatasan antara masyarakat pribtmi-daii masyarakat kolonial, be- kerja di dalam lembaga-lembaga yang sedang tumbuh dari kalangan ke- hidupan pribumi kota kelas menengah, sebagai guru-guru atau warta- wan-wartawan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pe- kerjaan ke pekerjaan yang lain. Mereka termasuk satu kelompok masya- rakat yang terdiri dari suatu campuran heterogen kaum peranakan Cina dan Arab (kelahiran setempat, namun telah disesuaikan statusnya), Indo-Eropa, priayi yang telah tercabut dari akarnya, dan santri-santri liberal; yang masing-masing dipersatukan -oleh sikap yang mirip satu sama lain, pengalaman yang sama, kekecewaan politik yang semakin membesar dan, sering kali juga, oleh suatu kegairahan bersama akan usaha-usaha ekonomi spekulatif, Orang-orang ini tidak lagi merasa senang menduduki tempat yang telah disediakan baginya dan yang telah mapan di masyarakat Hindia Belanda; mereka memperoleh kesempatan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan baru, sarana-sarana penunjang baru, gagasan-gagasan baru dan informasi-informasi baru. Dunia pers, terutama pers Cina peranakan, sangat penting bagi ke- lompok ini untuk memperoleh pekerjaan dan untuk menyebarkan gagas- an-gagasan mereka. Surat: surat kabar semac: A tide terkenal ka- rena kritik-kritik ‘aa P " ftakannya; nsasional, masalah 4 Dipindai dengan CamScanner Eropa maupun orang-orang Cina, dan semakin banyak mempekerjakan orang-orang pribumi. Koran itu merupakan model dari surat kabar perta- ma yang dimiliki oleh orang-orang Indonesia, dan juga menyediakan la- pangan untuk mencari pengalaman profesional bagi editor dan warta- wan-wartawan pribumi yang muncul pertama kali, Di samping kaum cendekiawan perkotaan yang berjumlah kecil dan mengambang itu, perubahan sosial juga menciptakan peranan jabatan dan peranan sosial baru di kota-kota kecil dan di desa-desa Jawa. Diferensiasi yang semakin meningkat yang ditimbulkan oleh perkem- bangan ekonomi dan perluasan pemerintahan telah mengabaikan perbe- daan pokok antara priayi dan wong cilik, rakyat jelata. Lulusan sekolah- sekolah kejuruan, pegawai-pegawai pemerintah, guru-guru dan para tek- nisi jelas sekali berada jauh di atas rakyat tani, nelayan, pedagang kecil atau pengrajin desa, walaupun mereka tidak betul-betul sederajat dengan pangreh praja. Dengan pekerjaan mereka, keahlian serta ka- dang-kadang gaya hidup dan sikap mereka, priayi “baru”? atau priayi profesional” ini (berbeda dengan priayi pemerintah), memperlihatkan bahwa korps pegawai pribumi tidak lagi merupakan satu-satunya sarana untuk menanjak ke atas, bahwa jalan yang ditempuh priayi tradisional itu bukanlah satu-satunya bentuk kehidupan yang baik. Perubahan-perubahan seperti itu dalam masyarakat luas menyebab- kan pangreh praja mendapat tekanan dari dua front. Di kota-kota kecil priayi-priayi ’baru’’ dengan status menengah itu mene besar dan mudah mendapatkan informasi, yang memdngkinkan mereka berperan sebagai alternatif terbatas bagi pejabat-pejabat pemerintah. Se- mentara pada tingkat lebih tinggi anggota-anggota kelompok cendeki- awan kota yang lebih: radikal secara terus terang menolak kekuasaan moral, sosial dan politik pangreh praja. Kedua kelompok baru ini mera- sa bahwa mereka telah mengisi kekosongan yang ditimbulkan oleh kega- galan para pejabat pribumi untuk mewakili rakyat dalam hubungannya dengan pemerintah, oleh kegagalan para pejabat tersebut untuk mem- bantu dan menyokong wong cilik pada masa-masa percobaan yang dengan menurunnya kesejahteraan rakyat. Betapa pun, tak ada pembagian sosial yang mutlak antara priayi baru’? dan priayi lama, antara kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pribumi. Banyak orang dari keturunan rendah yang berkat kedudukan teknis atau profesinya menjadi priayi baru’; mereka tidak mengingin- kan lebih daripada penerimaan sosial oleh elite yang telah mapan itu, dan untuk itu mereka berusaha menyesuaikan tingkah-lakunya. Lebih daripada itu, karena keturunan merupakan masalah penting untuk mem- MS Dipindai dengan CamScanner peroleh pendidikan, maka banyak di antara kaum cendekiawan berasal dari keluarga-keluarga pangreh praja, atau anak-anak pegawai peme- rintah yang mempunyai hubungan-dengan priayi. Lebih-lebih lagi, kaum cendekiawan baru itu bukanlah marmer-marmer putih polos tempat menuliskan gagasan-gagasan Barat. Sebaliknya, mereka merupakan produk dari tradisi politik Jawa yang maju dan tinggi tingkatannya; dan mereka berusaha mendapatkan dasar ideologi mereka dengan mengombi- nasikan nilai-nilai pribumi dan nilai-nilai Eropa. Perbedaan dalam sikap merupakan ciri pokok yang membedakan juru-juru bicara baru yang kritis itu dari pejabat-pejabat pribumi. Selama para priayi baru dan kaum cendekiawan itu menentang status quo yang ditunjang oleh korps pegawai pribumi, maka selama itu pula- lah mereka berada dalam kedudukan bersaing dengan pangreh praja. Wajarlah jika yang berasal dari keturunan rendah, yang menjadi korban diskriminasi, adalah yang paling mungkin menentang masyarakat Hindia Belanda; tetapi ada juga pemimpin-pemimpin baru asal kelas elite yang telah mapan itu, yang disebabkan oleh kekecewaan pribadi, pindah memasuki organisasi-organisasi yang melancarkan kecaman. Satu contoh yang paling khas dari orang-orang seperti itu adalah Ra- den Mas Tritoadisurjo (lahir 1875, meninggal 1918), yang berasal dari keluarga Bupati Bojonegoro tetapi menolak memasuki pangreh praja dan sebaliknya merintis jalan bagi dirinya sendiri sebagai wartawan dan organisator gerakan. Penolakannya memasuki dinas pemerintahan itu kemungkinan besar disebabkan oleli keadaan yang sangat tidak menye- nangkan sekitar pensiun paksa atas diri kakeknya dari kedudukan bupati dalam tahun 1888, yang nampaknya menjadi korban dari serangan ber- sama oleh patih dan saudara tirinya, seorang Indo yang menjabat asisten residen, Dalam tahun 1906, Tirtoadisurjo mendirikan Sarekat Prijaji, yang bertujuan membantu anak-anak Jawa agar bisa memasuki sekolah- sekolah Barat. Ini merupakan bagian dari suatu gerakan umum oleh ma- syarakat Cina, Arab dan pribumi untuk mengorganisasi diri dalam usaha untuk memenuhi tuntutan akan pendidikan modern. Sarekat Prijaji menerbitkan sebuah surat kabar, Medan Prijaji dari tahun 1907 sampai 1912, yang memiliki dampak cukup besar. Koran ini tidak di- sambut baik oleh Belanda, tetapi sangat disenangi oleh priayi rendahan dan pegawai-pegawai kecil pemerintahan, yang merasakan bahwa nada- nya yang bersifat kekeluargaan itu enak dibaca, bahwa tiada penghor- matan berlebih-lebihan kepada orang-orang tinggi, serta adanya se- mangat melawan yang menyegarkan lewat gaya penulisannya. Salah satu pembuluh darah paling subur yang disadap oleh Tirto- 116 Dipindai dengan CamScanner adisurjo adalah perubahan sikap masyarakat terhadap priayi tingsi. Timbulnya kekesalan terhadap kepongahan dan kekuasaan orang-orang berpangkat tinggl dan kaum aristokrat, sama sekali tidak mengherankan di dalam masyarakat Jawa yang sangat sadar status itu, Hal ini kemung- Kinan besar selalu dirasakan oleh sebagian besar priayi rendahan, di samping oleh kelompok-kelompok Islam dan rakyat jelata. Karena sekalipun ada mobilitas sosial terbatas, tetap berlakunya asas keturunan tinggi yang bersesuaian untuk mencapai pangkat tinggi itu berarti bahwa ada perbedaan yang menyolok dari apa yang dikenal sebagai priayi tinggi atau ningrat (terutama keluarga-keluarga besar bupati pada bi- dang kepegawaian tingkat atas) dengan priayi rendahan (seperti orang- orang yang bergelar Mas, atau tanpa gelar sama sekali, dengan pangkat asisten wedana atau lebih rendah), Kelompok yang tersebut belakangan ini, seperti halnya golongan priayi di luar bidang pemerintahan, sangat peka terhadap daya tarik pikiran-pikiran demokratis atau kecaman-ke- caman terhadap pengangkatan orang-orang yang sebenarnya tak berke- mampuan untuk menduduki jabatan itu. Tirtoadisurjo mempunyai kemampuan untuk merumuskan keluhan- keluhan yang disuarakan oleh banyak priayi *baru’? atau priayi rendah- an, kejengkelan mereka terhadap kesombongan atasan-atasan mereka. Mungkin karena keluarganya sendiri disingkirkan dari Kabupaten Bojonegoro dan sebagai gantinya seorang "baru’’ ditunjuk sebagai bupati. Tirtoadisurjo sendiri bersikap mendua terhadap birokrat-birokrat aristokrat. Di satu pihak ja menjadi seorang pengeritik yang tajam ter- hadap priayi-priayi tinggi tertentu, menyindir sikap mereka yang me- mentingkan diri sendiri dan di samping itu ia membela pejabat-pejabat rendahan, guru-guru, juru tulis dan dokter-dokter Jawa. Tetapi di lain pihak ia juga percaya bahwa kaum aristokrat mempunyai tugas untuk memerintah, baik di kalangan orang-orang Belanda maupun Jawa. [a bangga akan keluarganya, dan ia menunjukkan serangan-serangan ter- pahitnya kepada mereka yang dipandangnya sebagai penyelonong-pe- nyelonong ke atas, yaitu para kontrolir Indo dan bupati-bupati dari ke- turunan rendah, Ja memandang penyalahgunaan kekuasaan di dalam pe- merintahan di Jawa bukan sebagai bukti bahwa konsepsi sistem itu salah, melainkan sebagai tanda bahwa yang melaksanakannya tidak murni, Ia bukan pembela yang menganjurkan dilaksanakannya demo- kratisasi, tetapi ia menginginkan agar golongan-golongan sosial yang le- lebih rendah lebih banyak diperhatikan, mendapat perlakuan lebih adil: ia mengeluh banyak bupati terlalu jauh dari rakyat, "seperti bintang- bintang di langit yang jauh di awan’’. 117 Dipindai dengan CamScanner Medan Prijaji memuat banyak surat yang, ditulis oleh priayi rendahan atau pegawai rendahan pemerintah yang mengeluhkan ketidakadilan, se- perti pemberhentian atau penahanan kenaikan pangkat yang tidak jujur, kesewenang-wenangan polisi dan para priayi tinggi yang minta penghormatan secara berlebih-lebihan, Medan Prijaji juga sering melan- carkan kritik-kritik yang terus terang kepada pejabat-pejabat Eropa. Tirtoadisurjo memberikan julukan-julukan rendah kepada departemen- departemen pemerintah: BB misalnya dijulukinya sebagai '’Buaya Besar’’, Tetapi terhadap Mahkota Belanda dan Istana Oranye, ia meng- gunakan nada yang lembut bahkan ramah tamah, penuh pujian dan ia sering kali mengungkapkan loyalitasnya. Di sini lagi-lagi ia membedakan antara idealisme penegakan pemerintah yang jujur dan adil yang didu- kungnya, dan kenyataan suram dan tidak adil yang dikutuknya. Tirto- adisurjo dalam banyak hal mirip dengan orang-orang nasionalis radikal dari angkatan selanjutnya di dalam serangan-serangannya terhadap as- pek-aspek pemerintahan Belanda di.Hindia Belanda, tetapi berbeda dengan para pemimpin dari angkatan selanjutnya, ia tidak mengutuk sistem itu secara keseluruhan. Berkat karirnya, Tirtoadisurjo berhubungan dengan banyak pribadi dan kelompok yang aktif di dalam lingkungan cendekiawan yang tak suka diam dan kreatif pada awal abad ke-20. Banyak orang yang kemu- dian memainkan peranan penting dalam gerakan nasional pendahulu, bekerja pada Medan Prijaji sebelum memasuki organisasi-organisasi seperti Budi Utomo atau Sarekat Islam, Tirtoadisurjo sendiri mendiri- kan Sarekat Dagang Islamiah di Bogor pada bulan Maret 1909, untuk membuka kemungkinan bagi peranakan Arab dan pengusaha terkemuka dari kalangan Islam untuk mempersatukan sumber-sumber daya mereka, Ja juga ikut serta di dalam tahap-tahap pembentukan Sarekat Dagang Islam yang dipimpin oleh Haji Samanhudi, yang didirikan di Solo tahun 1911, Nampaknya ia diundang sebagai penasihat karena pengalaman-pengalamannya di dalam organisasi, tetapi peranannya yang pasti dan demikian pula sebab-sebab perpecahan dengan Haji Samanhudi tidak jelas, Bahkan ada ikatan tertentu antara jiwa Tirtoadisurjo yang selalu bergolak itu dengan Budi Utomo yang sampai sekarang dipandang sebagai lambang organisasi priayi yang sopan,2) Pembentukan Budi Utoma (BU) dalam bulan Mei 1908, biasanya dianggap sebagai pertanda dimulainya gerakan nasionalis di Indonesia. Pemilihan momen-momen simbolis seperti itu senantiasa bersifat men- cari-cari; dan melihat perkembangan Budi Utomo selanjutnya, pilihan tersebut tampak kurang sesuai, Sebabnya ialah karena dalam sebagian 118 . Dipindai dengan CamScanner besar kegiatannya, Budi Utomo bersifat sangat priayi, dan organisasi itu menarik anggota-anggotanya dari kalangan kelas atas dan kelas me- nengah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta menganjurkan suatu pro- gram paternalistis yang menekankan bahwa tugas kaum aristokrat ada- lah untuk membimbing massa ke arah budi pekerti yang tinggi. Betapa pun, suatu studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Akira Nagazumi telah mengubah citra ini dan menunjukkan bahwa setidak-tidaknya pada tahap-tahap awalnya, Budi Utomo lebih berhak dipandang sebagai per- himpunan nasionalis daripada apa yang terlihat sebelumnya. Mahasiswa-mahasiswa dari sekolah kedokteran STOVIA mendirikan Budi Utomo setelah mendengarkan pesan yang sangat mengesankan dari priayi dr. Wahidin, bahwa Jawa membutuhkan pendidikan dan kema- juan. Tetapi mahasiswa-mahasiswa yang kurang radikal, seperti Tjipto Mangoenkoesoemo melangkah lebih jauh lagi dan menekankan perlunya perubahan-perubahan sosial yang lebih luas. Landasan berpijak mereka mencakup kritik-kritik terhadap tata cara penghormatan, terhadap ke- sombongan aristokrat dan bahkan secara tidak langsung terhadap kebi- jaksanaan-kebijaksanaan Belanda, di samping program beasiswa dan pendidikan priayi. Tetapi tidak semua mahasiswa STOVIA, OSVIA dan sekolah Latihan Guru di dalam lingkungan Budi Utomo setuju dengan pandangan-pah- dangan radikal tersebut. Golongan priayi yang lebih hati-hati, baik tua maupun muda, lebih menyukai gaya moderat Dr. Wahidin. Di dalam kelompok ini terdapat sejumlah bupati yang, walaupun jauh lebih kon- servatif daripada mahasiswa-mahasiswa yang berhaluan radikal itu, betapa pun juga mereka mewakili bagian yang paling maju dari kaum priayi yang ada. Orang-orang ini telah cukup umur, punya kedudukan dan pengalaman, dan sekali mereka memberikan perhatiannya kepada BU, maka langkah yang serasi ialah memberikan kedudukan terkemuka kepada mereka. Maka kepemimpinan BU berpindah dari tangan maha- siswa ke tangan bupati, seperti RAA Tirtokoesoemo (Bupati Karang- anyar, 1903-1912),. RMAA Koesoemo Oetojo dan RT Danoesoegondho (Magelang 1908-1939). Tidak ada lagi masalah serangan terhadap hak- hak istimewa Belanda dan kaum ningrat, dan sebaliknya BU berkem- bang menjadi suatu organisasi dan lewat organisasi ini kaum ningrat dapat mengulurkan pertolongan kepada si miskin tanpa mereka sendiri harus betul-betul turun ke tingkat si miskin, Sebagaimana sudah diramalkan sebelumnya, taktik mencari perlindungan kepada priayi tinggi itu bermuara pada ketidaktegasan dalam menentukan pilihan, dan 119 Dipindai dengan CamScanner orang-orang radikal seperti Tjipto yang segera menarik diri karena merasa kecewa.3) Persoalan tentang seberapa jauh progresifnya bupati-bupati di dalam BU itu, merupakan satu hal yang menarik. Sekalipun mereka berada di barisan bupati yang paling liberal, namun liberalismenya ini berpusat pada persekutuan dengan Belanda dan dengan suatu perasaan umum bahwa kedudukan membawa tanggung jawab yang harus dipenuhi. Nagazumi menduga bahwa rasa simpati Tirtokoesoemo kepada BU dise- babkan oleh asal-usulnya yang relatif rendah. Tetapi kenyataannya ia berasal dari suatu keluarga priayi dan kukuh, dan jelas ia bukan orang revolusioner. Besar kemungkinannya bahwa pengaruh pendidikan yang diperolehnya dan pengaruh putranya, Iskandar, merupakan unsur penting atas sikapnya yang liberal. Iskandar (kemudian diangkat menja- di Bupati Karanganyar 1912-1935 dan Demak 1935-1942), pernah duduk di HBS di negeri Belanda dan kemudian kembali ke Jawa untuk menun- tut pelajaran di bagian pemerintahan sipil Gymnasium Willem III dalam tahun 1906-1907, Selama jangka waktu tersebut ia tampak berhubungan erat dengan kaum cendekiawan, karena ia juga pekerja sambilan untuk Medan Prijaji dan surat-surat kabar lain, serta cukup bersahabat dengan murid-murid STOVIA. Ia ikut dalam pertemuan ketika BU didirikan dan sangat mungkin bahwa ia berpengaruh atas sikap ayahnya. Pandangan-pandangannya sendiri jauh lebih radikal dari ayahnya, ia kadang-kadang bentrok dengan ayahnya mengenai berbagai masalah, seperti misalnya soal penghormatan. Bupati-bupati lain yang bergabung dengan Budi Utomo berasal dari keluarga-keluarga priayi yang berkedudukan baik. Ayah Koesoemo Oetojo adalah seorang patih, kakeknya seorang bupati, sementara Danoesoegondho berasal dari garis keturunan Bupati Danoeningrat, Magelang. Kedua-duanya luar biasa aktifnya dalam kehidupan umum. Tetapi tidak semua bupati yang berpandangan maju menyukai Budi Utomo: RMAA Tjondroadikoesoemo, Bupati Temanggung (1902-1923) dalam tahun 1905 mendirikan suatu perhimpunan yang bertujuan untuk kemajuan priayi, bernama Sasangka Purnama (Bulan Purnama). Tetapi walaupun dilakukan pendekatan-pendekatan (agaknya termasuk kun- jungan putranya, seorang murid OSVIA yang pro BU), ia menolak me- nyatukan gerakannya dengan Budi Utomo, Sebaliknya dengan mengambil gagasan dari Bupati Tuba: yang berpendidikan sangat baik (RAA Koesoemodikdo, 1893-1911), dalam bulan Oktober 1908, ia dan Koesoemo Oetojo menyebarkan surat edaran kepada seluruh bupati, mengusulkan agar dibentuk '’Persatuan Bupati se-Jawa dan Madura”, 120 Dipindai dengan CamScanner suatu langkah yang secara luas dipandang sebagai suatu pukulan balasan terhadap BU yang baru terbentuk. Langkah-langkah politik Budi Utomo.secara tersirat bersifat kritis ter- hadap keadaan satus quo; kehadirannya yang bertujuan untuk kema- juan massa rakyat luas, memberikan kesan bahwa pemimpin-pemimpin rakyat tradisonal. pangreh praja, dipandang tidak memadai lagi. Maka wajarlah jika sejumlah bupati yang berpandangan maju memutuskan untuk merebut kembali peran memimpin itu. Mereka juga berkepenting- an untuk menjaga agar teman sckerjanya yang konservatif tidak terlalu jauh ketinggalan dari tuntutan kemajuan zaman. Perhimpunan merupa- kan satu langkah menuju perbaikan diri para bupati, schingga mereka dapat memimpin rakyat secara lebih efektif — dan dengan demikian memperkuat kedudukan mereka yang lebih unggul. Koesoemo Oetojo sendiri mengatakan mereka yang lebih unggul. Koesoemo Oetojo sendiri memperkuat kedudukan mereka yang lebih unggul. Koesoemo Oetojo sendiri mengatakan bahwa ia memandang BU dan ’’Perhimpunan Bupa- ti” sebagai isi mengisi dan bukannya bersaingan, gerakan-gerakan itu berlandaskan pada dasar yang berbeda, dan ’’Perhimpunan Bupati” tidak mengancam Budi Utomo melainkan berada dalam kedudukan sejajar. BU yang bersifat defensif, dan nampaknya kehadiran ’*Perhimpunan Bupati’? memang diperlukan, mengingat bahwa kelompok radikal masih tetap berada di dalam Budi Utomo sampai bulan September 1909. Per- kembangan sikap BU yang kemudian menjadi moderat itu masih belum terjamin ketika Perhimpunan itu terbentuk. Karena selama BU menge- cam soal penghormatan, yang secara tersirat berarti mengecam sistem status di Jawa, maka kebanyakan bupati cenderung untuk memandang- nya dengan curiga. Tetapi setelah pimpinan BU dengan selamat berpin- dah ke tangan para bupati yang lebih liberal, maka hanya sedikit alasan bagi kaum bangsawan itu untuk merasa khawatir.4) Setelah tahun 1908, perkembangan organisasi-organisasi di Hindia Be- Janda berjalan lebih cepat; ada kebutuhan dan kepentingan di dalam ma- syarakat pribumi yang menyadari. bahwa perhimpunan-perhimpunan gaya Barat merupakan landasan terbaik bagi kegiatan-kegiatan mereka. Dengan mencontoh orang-orang Eropa dan Cina, orang-orang Indonesia mulai membentuk sarekat-sarekat sekerja mereka sendiri: sarekat buruh bea-cukai dalam tahun 1911, persatuan guru bantu tahun 1912, persatuan pegawai pemerintah sejak tahun 1914 dan seterusnya. Selama jangka waktu yang sama, dunia persuratkabaran pribumi berkembang dengan cepat pula, Sebagaimana halnya perhimpunan-per- himpunan utama, surat-surat kabar lebih baik terikat kepada organisasi- 121 Dipindai dengan CamScanner organisasi protonasionalis, dan hal ini menunjukkan peningkatan poli- tisasi dalam kehidupan umum masyarakat pribumi. Dari semua gerakan pendahuluan itu, yang paling mengejutkan dan bahkan paling menakutkan bagi para pejabat Belanda dan pribumi, ada- lah Sarekat Islam yang merupakan perkembangan dari Sarekat Dagang Islam pimpinan Haji Samanhudi. SI kurang menyérupai suatu organisasi dan lebih merupakan gabungan dari kelompok-kelompok dan pribadi- pribadi, sekte-sekte, subkultur-subkultur dan perhimpunan-perhimpur- an, yang semuanya menyadari bahwa segala sesuatu sedang berubah dan oleh karena itu mereka mencari suatu kerangka kerja untuk menam- pung, mengontrol, menerangkan. atau memanfaatkan perubahan tersebut. Tidak sebagaimana Budi Utomo yang berorientasikan priayi, gerakan massa Sarekat Islam itu mencari pengikut-pengikutnya di kalangan wong cilik — di kalangan penduduk desa, pedagang-pedagang keeil, guru-guru Islam dan nelayan-nelayan — dan tidak membatasi ke- giatannya hanya pada kelompok-kelompok pimpinan. Rakyat memberi- kan tanggapan kuat kepada prakarsa-prakarsa yang diambil oleh kaum cendekiawan non-pangreh praja dan pemimpin-pemimpin Islam ini, dan sudah barang tentu kebanyakan orang Belanda dan pejabat pribumi me- rasakannya sebagai sangat mengganggu. Tujuan semula dari perhimpunan yang dipimpin oleh Haji Samanhudi itu hanya terbatas saja; perhimpunan dibentuk untuk memperkuat kedu- dukan para usahawan Jawa dalam menghadapi saingan Cina dan juga sebagai satu hal yang cukup menarik terhadap kesombongan dan peme- rasan oleh kaum bangsawan Solo. Kekesalan terhadap tuntutan peng- hormatan dari kaum bangsawan itu juga menyebabkan timbulnya geru- tuan-gerutuan, yang menunjukkan bahwa keengganan untuk mengakui hak-hak priayi masih kuat di kalangan masyarakat santri. Keengganan seperti itu nampaknya makin meningkat, ketika perlawanan terhadap penghormatan yang berlebih-lebihan dijadikan tema, baik oleh Medan Prijaji maupun oleh unsur-unsur radikal di dalam Budi Utomo. Orang- orang yang lebih muda, yaitu orang-orang Indonesia yang berpendidikan Barat atau yang berpengetahua® Islam lebih mendalam, secara relatif tidak bisa membiarkan tata cara penghormatan yang berlebih-lebihan, sehingga kritik terhadap adat-istiadat penghormatan menjadi satu ke- kuatan penggerak bagi mereka yang menentang hak-hak istimewa bagi orang-orang berketurunan tinggi serta kekakuan sistem sosial yang di- perkukuh oleh Belanda pada umumnya. Dalam tahun 1912, E.F,E, Douwes Dekker menolak hirarki rasial ke- tika ia mendirikan Indische Partij dengan slogannya "'Hindia Belanda 122 Dipindai dengan CamScanner bagi mereka yang dilahirkan di Hindia Belanda”’, untuk semua orang dari semua ras yang mengangzap Nusantara sebagai tanah airnya. Dengan dipimpin oleh Douwes Dekker, dan ia sendiri adalah seorang Indo, Indische Partij menarik beberapa ribu orang anggota, termasuk sejumlah priayi pejabat. Sebagaimana dikatakan oleh Penasihat Masa- lah-masalah Bumiputra, D, Rinkes dan G.A.J. Hazeu, para priayi terse- but mempunyai alasannya sendiri untuk mendukung partai itu: mereka menolak dikuranginya hak pribumi untuk masuk ke sekolah ELS, me- reka juga berkeberatan terhadap hak-hak istimewa bupati, terhadap tata cara kenaikan pangkat dan terhadap kewajiban-kewajiban dalam masa- lah cara penghormatan di lingkungan pangreh praja. Walaupun peme- rintah memecahkan masalah Khusus yang ditimbulkan oleh Indische Partij itu dengan cara melarangnya dalam bulan Maret 1913, namun Batavia masih mewarisi persoalan yang lebih besar, yaitu bagaimana harus menanggulangi gerakan-gerakan baru itu dan sikap apa yang harus diambil terhadap pejabat-pejabat yang terlibat di dalamnya.5) Pertanyaan pertama ialah apakah gerakan-gerakan baru itu harus diakui atau tidak, Tanggapan orang-orang Belanda terhadap hal ini ter- gantung pada sifat gerakan itu masing-masing: dalam hal Sarekat Islam keputusan akhirnya adalah mengakui, sedangkan Indische Partij tidak diakui. Keputusan kedua yang harus diambil ialah apakah priayi peme- rintah diperbolehkan masuk dalam organisasi-organisasi seperti itu. Jika segalanya berjalan lancar, mereka bisa ikut mengontrol organisasi-or- ganisasi itu, schingga bisa dijamin tetap bersifat moderat. Tetapi di pihak lain, jika gagasan-gagasan baru itu menguasai para pejabat dan mendapatkan dukungan, maka pemerintah akan betul-betul berada dalam kesulitan, Banyak orang berpandangan bahwa seyogianya pangreh praja tetap berada di luar politik agar bisa dipertahankan seba- gai suatu kelompok elite yang nyata dan kompetitif. Dengan demikian kesetiaan rakyat akan dijauhkan dari partai-partai baru itu dengan cara yang sebaik-baiknya; atau sekurang-kurangnya kesetiaan itu akan terbagi antara partai-partai tersebut dan priayi pemerintah. Walaupun hal ini menyimpang dari kebiasaan untuk memberikan kebebasan politik kepada BB, namun hal ini sejalan serasi sekali dengan taktik manipulasi yang telah terlatih baik untuk mengadu sekelompok pemimpin pribumi dengan kelompok lainnya. Sementara orang-orang Belanda mem- perdebatkan masalah ini, sejumlah priayi telah menduduki jabatan-ja- batan pimpinan dalam cabang-cabang Sarekat Islam dan Indische Partij di daerah-daerah. Informasi mengenai hal ini memang hanya sepotong- 123 Dipindai dengan CamScanner sepotong, tetapi di Banten dan Jawa Timur priayi tinggi ternyata aktif di dalam kedua gerakan tersebut. Beberapa pejabat BB mendorong priayi bawahan mereka untuk me- masuki gerakan baru tersebut. Residen J, Hofland (Madiun, 1907-1914) misalnya, mendorong semua bupati bawahannya untuk menerima kedu- dukan ketua kehormatan pada cabang-cabang baru Sarekat Islam. Bupati Ponorogo dan bupati Pacitan mengikuti anjuran tersebut, dan sebagian besar pengurus SI di daerahnya adalah kaum priayi yang masih aktif bekerja. Tetapi di Ngawi dan Magetan, Residen itu tidak begitu berhasil: Bupati Tjondronegoro dari Ngawi tak mau melibatkan diri dan hanya priayi pensiunan yang duduk dalam kepengurusan SI di daerah itu. Hal serupa terjadi di Magetan, di mana bupatinya sangat dipenga- ruhi oleh ayahnya dan sekaligus yang digantikannya, seorang aristokrat angkatan lama yang dengan keras menentang Sarekat Islam. Banyak pejabat pribumi — malahan mungkin sekali sebagian besar dari mereka — mempunyai tanggapan negatif terhadap gerakan-gerakan baru. Baik kepentingan mereka yang tertanam kuat di dalam status- quo sosial maupun kedudukan mereka sebagai hamba-hamba rezim ko- lonial, membuat mereka curiga, bersikap memusuhi dan takut apabila ditentang atau dikecam. Lebih-lebih, peranan pangreh praja sebagai Ppegawai-pegawai pemerintah kiranya tidak memungkinkan bagi mereka untuk merebut popularitas, dan adalah mudah bagi SI atau juru-juru bicara lain untuk menampilkan diri sebagai pelindung rakyat terhadap kaum priayi. Bagi kebanyakan rakyat desa, pejabat-pejabat pribumi se- nantiasa dipandang sebagai pembawa berita buruk; mereka adalah agen- agen polisi, pengumpul pajak, organisator pekerja dan pembawa gagas- an-gagasan yang mengganggu dan menakutkan. Semuanya itu ditambah lagi dengan kesombongan banyak pejabat, keketatannya pada tata cara penghormatan dan peranannya dalam’ mengawasi gerakan-gerakan politik, maka tidak mengherankan jika jurang pemisah antara priayi pe- merintah dan pemimpin-pemimpin baru cukup besar, Sejumlah bupati dan priayi tinggi terpaksa harus diperingatkan oleh para pejabat Belanda karena kegiatan-kegiatan mereka yang anti-SI. Bupati Blitar yang berpengaruh, yang menggambarkan SI sebagai suatu perhimpunan yang mendatangkan kesulitan, penipuan dan kekacauan, dikecam oleh Penasihat Rinkes, dan Rinkes sebaliknya dituduh sebagai melebih-lebihkan oleh BB di Blitar, Demikian pula, pejabat-pejabat Eropa di Bangkalan menyanggah laporan-laporan bahwa para priayi ba- wahan mereka mengancam akan memotong telinga setiap orang yang berani memasuki gerakan itu. 124 Dipindai dengan CamScanner Kebanyakan BB lebih bersimpati pada pangreh praja, yang terjun langsung menanggulangi pembuat-pembuat kekacauan yang potensial, daripada pejabat-pejabat di Batavia yang hanya bergelut dengan problema kebijaksanaan. Kadang-kadang kantor gubernur jenderal harus meminta perhatian BB s2tempat ‘crhadap tindakan-tindakan. para bupati mereka yang berlebihan, misalnya seperti yang terjadi di Mojo- kerto tahun 1914. Beberapa bupati yang berpandangan maju telah menarik perhatian secara tak menguntungkan akibat sikap permusuhan- nya yang terus terang terhadap Sarekat Islam: sikap Koesoemo Joedo yang menentang SI di Ponorogo telah diserang di dalam pers pribumi. Gubernur Jenderal A.W.F. Idenbrug (1909-1916) memandang Sarekat Islam sebagai bagian tak terelakkan dari kesadaran pribumi yang meru- pakan prasyarat bagi kemajuan. Karena sikapnya yang menenggang kesa- daran pribumi tersebut disokong oleh para penasihat dan orang-orang yang sealiran dengan Snouck Hurgronje, tetapi ia ditentang keras oleh kebanyakan masyarakat Eropa, pers berbahasa Belanda dan sebagian besar pegawai negeri sendiri. Dalam tahun 1911 ia melukiskan pejabat-pe- jabat tinggi Belanda sebagai "’sangat konservatif”’ dan ”’rasialis”, dan dua tahun kemudian ia mengeluh bahwa kebanyakan dari mereka hanya menjadi ’*mesin-mesin birokrasi”” belaka, kurang pengertian dan terpe- rangkap oleh keterikatan mereka pada prosedur. Penggantinya, Mr. J.P. Graaf van Lumburg Stirum (1916-1921) menyetujui sikapnya, baik dalam masalah dengan para birokrat Batavia maupun persetujuannya yang waspada terhadap Sarekat Islam, sekurang-kurangnya sampai SI mulai bergeser ke kiri dalam tahun 1917.9 Segera setelah Sarekat Islam terbentuk, lebih banyak organisasi ber- munculan: Pagoejoeban Pasundan, perhimpunan di Priangan yang seta- ra dengan Budi Utomo dan didirikan dalam tahun 1914, sedangkan Jong Java yang pertama dari serangkaian gerakan pemuda yang berorientasi kedaerahan didirikan pada tahun berikutnya. Kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok-kelompok lainnya mendirikan gerakan-ge- rakan mereka sendiri; kaum Islam reformis mendirikan Muhammadiyah dalam tahun 1912, sementara kesadaran politik dan solidaritas yang me- ningkat di kalangan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda dinyatakan dalam sebuah organisasi yang dibentuk di Leiden pada tahun 1917. Me- nurut pengertian politik yang murni, sayap kiri ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging, Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia Belanda), suatu partai yang dikemudikan oleh orang-orang Belanda dan didirikan dalam tahun 1914, adalah penyebab dari segala kekhawatiran. Partai ini merupakan pangkalan bagi kaum radikal sayap kiri yang 125 Dipindai dengan CamScanner masuk untuk mendominasi banyak cabang Sarekat Islam, dan partai ini kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia. Akibat-akibat ekonomi dari Perang Dunia Pertama mempercepat_ proses politisasi. Ketegangan di dalam Sarekat Islam tumbuh antara sayap kiri dan sayap kanan ketika anggota-anggota ISDV di dalam gerakan itu berusaha memperluas pengaruhnya. Gagasan .pembentukan pasukan milisi pribumi menyebabkan semua kelompok berpikir-pikir; Indie Weerbaar (mempersenjatai orang-orang Indonesia) mendapat du- kungan cukup besar dari para priayi dan bupati yang lebih dinamis.”) Satu masalah utama lainnya ialah keputusan pemerintah untuk men- dirikan sebuah dewan kolonial pada tahun 1916, sebagai puncak dari proses desentralisasi yang telah menciptakan Dewan Keresidenan dan Dewan Kotapraja antara tahun 1907 dan 1919. Dampak dewan-dewan ini terhadap penduduk pribumi hanya kecil saja; dewan-dewan ini lebih menyerupai badan pembantu kepada pemerintahan setempat daripada badan-badan politik perwakilan. Beberapa anggota dewan dari kalangan pribumi hampir selalu terdiri dari pegawai-pegawai tinggi pemerintah, yang cenderung untuk bisa dilihat tetapi tidak bisa didengar; hanya dengan sedikit perkecualian beberapa di antaranya ‘berhasil mengukir diri mereka direlung-relung kemerdekaan. Volksraad (Dewan Rakyat) baru yang dibuka pada bulan Mei 1981 mempunyai beberapa kekuasaan: diminta konsultasinya dalam masalah anggaran, dapat memberi nasiha: dan mergusulkan, tetapi tidak berhak memutuskan. Walaupun demikian, Volksraad menjadi forum penting bagi kaum nasionalis yang tidak begitu radikal dan para priayi berorien- tasi Barat yang lebih ambisius. Perdebatan-perdebatan di dalam dewan diberitakan secara luas oleh pers dan banyak mempengaruhi pendapat umum yang mulai berkembang. Secara tidak langsung Volksraad juga menguntungkan perkembangan organisasi-organisasi di Indonesia, ka- rena untuk pembentukannya diperlukan pelonggaran hukum-hukum yang menyangkut kegiatan politik, Semua ini mendorong pembentukan dan politisi partai-partai. Misalnya dalam tahun 1916, didirikan NIVB (Nederlandsch-Indische Vrijzinnige Bond, Perhimpunan Liberal Belanda- Indonesia) yang menganjurkan kebijaksanaan asosiasi antara orang orang Belanda dengan pribumi dan agak progresif, Perhimpunan ini se- gera menarik sejumlah anggota pribumi, di antaranya yang paling terke- muka adalah Djajadiningrat, dan koran perhimpunan Vrijzinnig Week- blad (Mingguan Liberal) memuat banyak artikel yang ditulis oleh para priayi, Bagi Gubernur Jenderal Idenburg dan Van Limburg Stirum hal ini menggembirakan, dan keduanya terus berharap bahwa dewan-dewan 126 Dipindai dengan CamScanner baru itu akan merangsang perkembangan politik yang bertanggung jawab.®) Sekalipun demikian, berlawanan dengan harapan-harapan ini, terdapat tanda-tanda bahwa penggunaan priayi pemerintah sebagai kontra clite serta ketentuan-ketentuan Volksraad paling-paling hanya bisa menetrali- sasi perasaan anti pemerintah, Gerakan-gerakan baru itu (terutama SI) memberikan jalan keluar bagi kekecewaan dan kekesalan rakyat awam dan kaum cendekiawan: karena pangreh praja tidak berbuat apa-apa untuknya, melainkan hanya berbuat untuk kepentingan sendiri dan ke- pentingan Belanda, maka kaum cendekiawan dan rakyat tani mulai mem- belakangi pejabat-pejabat pribumi dan mulai membentuk perserikatan sendiri sebagai usaha untuk memtela diri. Suatu pandangan Jawa yang radikal mengenai kegagalan pangreh praja itu dengan jelas dicerminkan — walaupun mungkin terlalu disederhana- kan — dalam satu novel politik, Hikajat Kadiroen, yang ditulis oleh pemimpin komunis Semaun dalain tahun 1919. Kadiroen adalah seorang priayi muda yang kuat dan gagah, yang berhasil mengalahkan penjahat- penjahat, para penjilat dan atasan yang tidak jujur, sehingga bisa menca- pai pangkat pejabat patil. Tetapi sekalipun ia mencapai sukses-sukses ter- sebut, ia selalu gelisah oleh ketidakmampuannya untuk mengangkat ra- kyat dari jurang kemiskinan. Ia berusaha menerapkan pembaruan, me- ngirimkan usul-usul kepada pejabat BB, bekerja siang malam, tetapi ia terbentur oleh kenyataan-kenyataan dalam birokrasi kolonial. Pembuatan keputusan memakan waktu berbulan-bulan, jenjang kepangkatan mendu- duki tempat paling penting, kebanyakan pejabat hanya memikirkan pang- katnya sendiri serta penghasilan-penghasilan tambahannya, dan tak suatu pun dibiarkan mengancam keuntungan pabrik-pabrik gula. Hanya sete- Jah menderita frustrasi yang berkepanjangan, ia menghadiri suatu perte- muan Partai Komunis sebagai seorang pejabat pemerintah yang bertugas mengawasi, dan di sanalah ia meyakini bahwa politik merupakan jalan ke arah perbaikan. Tetapi atasan-atasannya berusaha memaksanya agar ia menanggalkan komitmennya, maka ia mengundurkan diri dari kepegawaian negeri dan memasuki partai itu serta menemui kedamaian.) Gambaran yang diberikan oleh Semaun mengenai kenyataan pangreh Praja memang banyak diberi bumbu-bumbu namun cukup tepat. Sistem yang digambarkannya tidak memberikan kepemimpinan yang sebenarnya kepada rakyat, dan priyai progresif tidak memiliki cakrawala pandangan. Pejabat-pejabat baik memang ada, namun dibikin tak berdaya oleh ke- tangka ekonomi dan kerangka sosial yang membatasi pekerjaan mereka, Frustrasi dan kehinaan yang dirasakan oleh kelompok ini mendorong 127 Dipindai dengan CamScanner orang untuk memberontak. Banyak pemimpin utama kaum nasionalis yang berasal dari keluarga priayi namun tidak mau memasuki pangreh praja, seperti Tirtoadisurjo, atau meninggalkan jabatannya dalam pangreh praja karena tidak tahan lagi dipandang rendah atau karena ke- ketatannya. Pemimpin-pemimpin Sarekat Islam seperti Umar Said Tjokroaminoto, R, Gunawan dan Sosrokardono berasal dari keluarga pegawai negeri, se- dangkan pendiri Budi Utomo yang kemudian menjadi tokoh politik terkemuka. Soetomo adalah seorang tokoh lain yang tak dapat menerima karir pangreh praja. Tjokroaminoto dan Gunawan keluar dari jabatan pangreh praja setelah bentrok mengenai soal penghormatan dan keadaan yang tak berperikemanusiaan di dalam korps itu, sedangkan Soetomo merasa kecewa oleh pengalaman-pengalaman ayahnya di bidang pangreh praja serta oleh ingatannya sendiri semasa kanak-kanak mengenai kesom- bongan para pejabat yang bersifat memeras.!0) Tetapi bagi kebanyakan priayi, politik bukanlah jawabannya. Priayi yang lebih luwes dan lebih bisa menyersp keadaan mengakui adanya pe- nyalahgunaan jabatan dan keti¢akadilan, tetapi mereka yakin bahwa semua itu dapat disembuhkan. Mereka berpendirian, pangreh praja adalah pemimpin yang wajar dan terbaik bagi rakyat, maka mereka me- mandang lebih baik memperbaiki korps itu daripada memilih nasionalisme sebagai pemecahan bagi krisis kepemimpinan pribumi. Me- reka berharap bahwa suatu sistem kepegawaian yang jujur, rasional dan efektif akan dapat berfungsi secara terhormat, baik bagi Batavia maupun bagi wong cilik, schingga polarisasi yang merusak dapat dicegah. Tetapi tidak ada jaminan bahwa kualitas dari pejabat pribumi akan membaik, oleh karena tidak ada kontrol sistematis dalam penerimaan pejabat baru. Sistem magang seperti tergambar di atas tidak memberikan latihan-la- tihan; pengangkatan masih tetap berdasarkan kesukaan hati atasan, dan hal ini memperpanjang sifat pangreh praja yang terbatas pada kaum atasan dan tidak profesional. Jika priayi pemerintah ingin berusaha meng- atasi persoalan dan membuktikan ketidakbenaran tuduhan kaum nasiona- lis bahwa mereka telah gagal, maka penting sekali untuk menerapkan beberapa sistem alternatif dalam hal pengangkatan pegawai negeri, 128 Dipindai dengan CamScanner

Anda mungkin juga menyukai