Anda di halaman 1dari 7

RITUAL PERANG SUKU DAYAK

Bangkit Fidya Pitaloka1 , Raka Nur Alim2 , Nova Putri Ramadhan3 ,


Angga Setiabudi4 , Nazwa Azzahra Irawan5
Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro

Abstrak
Keragaman budaya adalah satu diantara sekian banyak kekayaan yang dimiliki Indonesia.
Keragaman dalam hal ini mencakup banyak hal seperti tradisi, adat dan ritual yang berbeda-
beda pada setiap daerah di Indonesia. Kekayaan ini tercermin dari bahasa, tradisi, ritual dan
busana adat yang berbeda dari daerah lainnya. Satu diantara kekayaan adat yang memiliki ke
ciri khas yang menarik adalah ritual perang yang dimiliki suku Dayak adalah Terkait dengan
ritual perang, tujuan dibuatnya artikel ini adalah untuk mengenalkan kita pada kearifan lokal
suku Dayak dan mendorong kita untuk berpartisipasi aktif dalam pelesatarian adat
kebudayaan daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah metode
observasi dan studi literatur untuk menjawah rumusan masalah,seperti asal-usul suku Dayak,
pengertian ritual perang, urutan tahap ritual perang, makna filosofis dari ritual perang, dan
contoh ritual perang yang dilakukan suku Dayak. Hasil dari studi ini menyatakan bahwa asal
usul suku Dayak dijelaskan dalam tiga teori yang berbeda yang menyebabkan suku Dayak
memiliki variasi bahasa dan karakteristik budaya, ritual perang adalah sebuah ritual sakral
yang dilakukan sebelum, sesaat, dan pasca peperangan, terdaat tiga urutan tahapan ritual
perang yaitu sebelum peperangan dikenal dengan prosesi Nyari tariu dan Mangkok merah.
Ritual yang dilakukaan saat peperangan disebut Kayau Ritual terakhir adalah Tiwah Sehingga
dapat disimpulkan bahwa ritual perang yang dimiliki suku Dayak yang wajib dilakukan
sebelum, saat dan pasca peprangan yang memiliki unsur-unsur kebudayaan yang sangat kuat
karena ritual ini memuat filosofi terkait penghormatan terhadap leluhur, keyakinan akan
meraih kemenangan dan kepercayaan diri pada setiap masyarakat suku Dayak.
Kata Kunci : Budaya, ritual, Dayak, perang, Prosesi
Abstract
Cultural diversity is one of the many riches that Indonesia has. Diversity in this case includes
many things such as traditions, customs and rituals that differ in each region in Indonesia. This
wealth is reflected in the language, traditions, rituals and traditional clothing that are different
from other regions. One of the traditional wealth that has an interesting characteristic is the
war rituals owned by the Dayak tribe. Related to war rituals, the purpose of this article is to
introduce us to the local wisdom of the Dayak tribe and encourage us to actively participate in
the preservation of local cultural customs. The method used in this research is an observation
method and literature study to answer the formulation of the problem, such as the origin of the
Dayak tribe, the meaning of war rituals, the sequence of stages of war rituals, the philosophical
meaning of war rituals, and examples of war rituals carried out by the Dayak tribe. The results
of this study state that the origin of the Dayak tribe is explained in three different theories that
cause the Dayak to have variations in language and cultural characteristics, the war ritual is
a sacred ritual performed before, during, and after the war, there are three sequences of stages
of war rituals, namely before the war it was known as the Nyari tariu and red bowl processions.
The ritual carried out during the war is called Kayau. The last ritual is Tiwah. So it can be
concluded that the war rituals belonging to the Dayak tribe must be carried out before, during
and after the war which have very strong cultural elements because this ritual contains a
philosophy related to respect for ancestors, beliefs will achieve victory and confidence in every
Dayak community.
Keywords: Culture, ritual, Dayak, war, Procession

PENDAHULUAN Budaya dan masyarakat merupakan


satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Indonesia merupakan negara yang
Keduanya saling membutuhkan dan tidak
terdiri dari berbagai macam pulau yang
dapat berdiri sendiri (Linton,1936: 271).
menyebabkan keberagaman di setiap
Dalam perkembangannya, budaya
daerahnya.Bhineka Tunggal Ika sebagai
membutuhkan pelaku untuk menjaga
ideologi nasional merupakan lambang
kelestariannya, yaitu manusia. Di tengah
keberagaman yang dimiliki Indonesia.
budaya populer yang muncul akibat
Lambang yang memiliki arti ‘berbeda beda
modernisasi dan globalisasi, masih terdapat
tetap satu jua’ ini telah menyatukan
suku-suku di Indonesia yang menjaga
berbagai macam perbedaan dan menjadikan
tradisi dan budayanya. Suku ini umumnya
perbedaan tersebut sebagai salah satu
berasal dari kota kecil atau pulau yang
kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia.
perkembangan industrinya masih lambat,
Contoh kekayaan yang tak dapat dipungkiri
seperti kota-kota di Kalimantan, Sumatera,
kebenarannya adalah keanekaragaman
Sulawesi, dan Papua. Beberapa suku
budaya di Indonesia. Hal ini menjadikan
tersebut tetap melestarikan budaya dan
Indonesia sebagai salah satu negara
tradisinya serta menolak masuknya
multikultural (ragam kebudayaan) terbesar
kebudayaan dari peradaban luar. Salah satu
di dunia.
suku yang masih menjaga kelestariannya
hingga saat ini adalah Suku Dayak yang kelompok ini sudah menggunakan alat-alat
terdapat di Kalimantan. yang terbuat dari batu, mencari makan
dengan berburu dan mengumpulkan hasil
hutan, mereka juga sudah mengenal api.
METODE Kelompok ketiga datang kurang lebih 5000
tahun yang lalu. Mereka tergolong dalam
Metode yang digunakan dalam ras mongoloid dan datang dari daratan Asia.
penulisan artikel ini adalah metode
Kelompok ini sudah hidup menetap dan
Observasi nonpartisipasi dan studi literatur. telah hidup menetap serta mengenal teknik
Berdasarkan pendapat William dalam
bercocok tanam lahan kering atau
Given (2008) observasi non partisipasi berladang. Gelombang migrasi ini masih
adalah metode yang tidak menganggu berlangsung sampai abad ke-21. Persoalan
(unobtrusive) komunitas yang diteliti mengapa suku Dayak memiliki beragam
karena tidak berinteraksi langsung dengan
varian bahasa maupun karakteristik budaya
partisipan. Penulisan artikel ini dilakukan telah terjawab pada teori ini. Suku Dayak
dengan metode Observasi non partisipasi
memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang
yakni dengan memelajari video terkait khas seperti mandau, sumpit, beliong,
materi yang memiliki relevansi dengan rumah panjang dan lain-lain. Agama asli
topik pembahasan. Metode studi literatur suku Dayak adalah Kaharingan, yang lahir
dalam penulisan artikel ini dilakukan dari agama asli nenk moyang suku Dayak.
dengan mengambil sumber dari jurnal dan
Kehidupan sehari-hari suku Dayak
artikel yang relevan dengan topik umumnya berladang, bertani, dan
pembahasan. mengadakan ritual. Salah satu ritual yang
menjadi ciri khas suku Dayak adalah ritual
untuk berperang.
PEMBAHASAN
Pengertian Ritual Perang
Asal Usul Suku Dayak
Suku Dayak merupakan salah satu
Daya berasal dari kata “Daya” yang suku yang berasal dari Kalimantan, yang
artinya hulu, digunakan untuk memiliki beragam jenis kekayaan alam dan
menyebutkan masyarakat yang tinggal di budaya. Hal ini nampak dari pakaian adat,
daerah pedalaman. Terdapat banyak teori bahasa, dan rumah tradisional yang khas.
yang menyatakan mengenai asal usul dari Suku Dayak menganut kepercayaan
suku Dayak. Berdasarkan teori migrasi terhadap para leluhur yang disebut
Kalimantan Dayak merupakan satu diantara Kaharingan, dan tidak bisa lepas dari hal
suku suku pribumi terbesar dan tertua yang hal supranatural. Kehidupan sehari-hari
mendiami daratan Kalimantan. Berbanding masyarakat Dayak pada umumnya yaitu
terbalik dengan teori tersebut, diperkirakan berkebun, bertani, dan mengadakan ritual.
nenek moyang suku Dayak berasal dari Suku Dayak tersebar di seluruh wilayah di
beberapa gelombang migrasi. Gelombang Indonesia terutama para perantau maupun
pertama terjadi sekitar satu juta tahun yang yang sudah tinggal dan menetap di sana.
lalu pada zaman Interglasial-Pleistosen.
Kelompok ini terdiri dari ras Australoid. Salah satu ciri khas dari kegiatan
Kelompok kedua pada zaman Pre- suku Dayak yaitu mengadakan ritual. Ritual
neolitikum, kurang lebih 40.000-20.000 yang memiliki ciri khas dalam waktu
tahun yang lalu, datang kelompok semi pelaksanaannya yaitu ritual perang. Ritual
nomaden yang membuktikan bahwa perang adalah ritual yang diadakan suku
Dayak sebelum, saat dan sesudah perang. Ritual saat berperang dilaksanakan
Perang biasanya dilakukan apabila ada saat perang tersebut berlangsung. Kayau
pihak yang mengusik ketenangan dan atau ngayau dan manajah antang
merendahkan harga diri suku Dayak serta merupakan ritual yang dilaksanakan saat
pelaksanaannya dipimpin oleh panglima perang. Kayau atau ngayau merupakan
suku Dayak. tradisi berburu kepala musuh yang
dilakukan oleh suku Dayak saat berperang
Urutan Tahap Ritual Perang suku
dengan tujuan mendapatkan kekuatan.
Dayak
Sebelum dilaksanakan tradisi ini ada lima
Ada 3 urutan dalam pelaksanaan hal yang harus diperhatikan yaitu dengan
ritual perang suku Dayak, diantaranya ritual tujuan mempertahankan dan melindungi
sebelum perang, ritual saat perang, dan lahan, mendapatkan kekuatan magis, balas
ritual setelah perang. dendam, menambah daya tahan sebuah
bangunan, dan sebagai mas kawin. Suku
Ritual sebelum perang dilakukan Dayak percaya tumbal kepala manusia
dengan pertimbangan panglima suku
mampu membuat daya tahan bangunan
Dayak dan tidak bisa sembarangan karena lebih kokoh serta kepala dijadikan mas
pasti akan jatuh korban jiwa. Nyari tariu kawin sebagai wujud kekuatan dan
atau kamang tariu dan mangkok merah memiliki kemampuan dalam
merupakan 2 rangkaian kegiatan yang mempertahankan sebuah keluarga. Namun,
termasuk dalam ritual sebelum perang.
praktik ngayau ini sudah mulai berhenti
Mangkok merah merupakan sebuah metode dilakukan dan ditinggalkan setelah
penyampaian informasi di wilayah suku dilakukan perjanjian Tumbang Anoi tahun
Dayak berupa sistem kode/sandi akan 1894 yang diikuti oleh seluruh suku Dayak
adanya suatu bahaya. Mangkok merah yang tersebar di Kalimantan dengan
terdiri atas beberapa benda diantaranya memperoleh kesepakatan tradisi kayau atau
mangkok, darah ayam, abu, daun kajang, ngayau tidak boleh dilakukan dengan
batang korek api, dan bulu ayam. Selain tujuan yang tidak jelas dan harus
berfungsi sebagai media penyampaian
mempertimbangkan hukum adat serta
informasi yang mengindikasikan adanya
nyawa. Manajah antang juga merupakan
ancaman dari pihak lain yang mengancam upacara yang diadakan pada saat perang,
suku Dayak. Mangkok merah juga berlangsung dengan memanggil burung
merupakan simbol persatuan dan ajakan antang dengan tujuan mendapatkan lokasi
berperang. Nyari tariu atau kamang tariu musuh serta memohon petunjuk dari roh
merupakan acara atau ritual yang diadakan
leluhur agar diberi kelancaran saat
sebelum berperang dengan tujuan berperang. Namun upacara ini tidak wajib
memanggil roh-roh dengan dan meminta
dilakukan saat berperang karena lebih
bantuan kekuatan untuk menghadapi berfungsi untuk mencari orang hilang dan
peperangan. Kekuatan yang didapatkan dari mencari lokasi yang baik untuk tempat
leluhur setelah melakukan upacara ini yaitu tinggal.
kebal, sakti, dan berani menghadapi
peperangan. Upacara ini merupakan Tiwah yang merupakan ritual yang
upacara yang wajib dilakukan sebelum diadakan setelah perang berupa upacara
berperang karena berpengaruh terhadap pemakaman anggota suku Dayak yang
kekuatan mental dan fisik suku Dayak saat meninggal saat perang dan bertujuan
berperang. mengantar arwah ke surga dengan
memindahkan tulang belulang ke dalam
bangunan dengan ukiran indah yang disebut suatu upacara.Selain itu, dalam perang
sandung serta ada juga yang membakar Suku Dayak muncul tokoh mistis seperti
tulang belulang tersebut lalu dimasukkan ke Panglima Burung, Panglima api, Panglima
dalam bangunan yang disebut tambak. Petir.
Makna filosofis dari Ritual Perang suku Contoh Ritual Perang yang dilakukan
Dayak suku Dayak
Suku Dayak merupakan suku Contoh ritual saat perang yang
bangsa yang menghargai kehidupan. dilakukan oleh suku Dayak terjadi pada
Mereka dikenal sebagai suku bangsa perang sampit.Pemicu perselisihan Konflik
pengayau dan senang, kegiatan tersebut Sampit telah dimulai ketika para pendatang
telah berkurang sejak pertemuan Tumbang tiba di Sampit khususnya dan Kalimantan
Anoi pada tahun 1894. Bila terjadi Tengah umumnya. Suku Dayak yang telah
pertemuan hingga menyebabkan mendiami daerah tersebut selama berabad-
perkelahian, yang harus membayar ganti abad sedikit demi sedikit perlahan namun
rugi dan denda adalah orang yang pasti, tersingkir dari tanah yang mereka
menyebabkan perkelahian tersebut. Begitu duduki dan manfaatkan baik oleh
juga sebaliknya, apabila salah satu pihak kepentingan orang per orang maupun untuk
sampai pada tahap merenggut nyawa kepentingan skala organisasi dan
(kematian), yang membunuh harus perusahaan, baik yang dilakukan dengan
membayar ganti rugi dan denda kepada sukarela maupun yang dilakukan karena
keluarga yang meninggal melalui upacara berbagai tekanan, himbauan maupun
adat. Bila keluarga korban tidak menemui bujukan.Persinggungan dengan para
kerugian dan denda, dan tidak mau pendatang, perasaan tersingkir dari tanah
melakukan upacara adat dengan kematian, yang didiami secara turun temurun,
maka hal yang akan terjadi adalah kematian menghadapi tuduhan dari berbagai pihak
barus dibayar dengan nyawa. Dalam sebagai perusak lingkungan, pelaku
keadaan sadar, hati nurani Orang Dayak penebangan liar, pencuri kayu dan
tidak mampu melakukan balas dendam sebagainya membuat perselisihan terus
berupa nyawa dibayar nyawa. Oleh karena menerus antara Etnis Dayak dan etnis
itu, mereka melakukan upacara ”nyaru lainnya termasuk dan terutama Madura,
tariu” untuk memanggil kamang tariu atau antara etnis Dayak dengan Pemerintah yang
roh panglima-panglima perang yang akan dianggap bukan bagian dari mereka, antara
merasuki tubuh pelaku. Dalam keadaan etnis Dayak dengan para pengusaha hutan
kemasukan kamang tariu mereka mampu dan tambang dan juga antara etnis Dayak
melakukan pembunuhan, bahkan yang hidup di pinggiran atau di hutan
kanibalisme. dengan etnis Dayak yang sedikit banyak
berusaha membaur dengan kehidupan yang
Suku Dayak terdiri dari ratusan
mencoba menelan mereka dan menjelma
suku kecil (sub suku). Masing-masing sub
menjadi Dayak kota yang lebih realistis.
suku memiliki bahasa yang berbeda, tetapi
adat dan budaya mereka hampir mirip satu Di antara perselisihan yang paling
sama lain. Dengan pengaruh shamanisme menonjol adalah dengan warga etnis
(ajaran yang berdasar pada keyakinan Madura yang perangainya memang agak
bahwa roh yang ada di sekeliling manusia jauh berbeda dengan etnik-etnik lain seperti
dapat menyusup dalam tubuh seorang Jawa misalnya. Orang Jawa pandai
Syaman {dukun atau tukang sihir} dalam membaur, dapat dengan cepat beradaptasi,
tidak memiliki sejarah dan kultur kekerasan penenangan (abatement phase), dan 5) Fase
dan berusaha harmonis dengan alam penyelesaian damai (settlement phase).
lingkungan dan masyarakat sekitar. Orang
Jawa biasanya sudi diperintah oleh orang
dari etnis lain. tTidak ada hal yang tabu bagi
mereka untuk tunduk pada siapapun
KESIMPULAN
pemimpin terutama ketika mereka
menyadari bahwa mereka berada di Suku Dayak merupakan suku asli
perantauan dan memahami status mereka yang tersebar di seluruh Kalimantan.
sebagai orang yang menumpang. Orang Sebagai suku yang asing dari perabadan
Jawa juga dikenal taat hukum dan luar karena sebagian besar tinggal di
peraturan. Kebanyakan orang Jawa juga pedalaman, kebudayaan suku Dayak terjaga
terkenal memegang teguh adat istiadat kelestariannya. Namun praktik-praktik
Jawa/kejawen yang merupakan sinkretisme budaya masih dilakukan suku Dayak
Islam, Hindu, Budha dan hasil pemikiran sebagai bagian dari tradisi dan warisan
manusia lainnya sehingga mereka dapat leluhur. Salah satu ritual budaya dalam
lebih memahami alam pikir orang Dayak. suku Dayak yaitu ritual perang suku Dayak
Sementara Madura dapat dikatakan yang dilaksanakakan sebelum, saat, dan
sebaliknya. Alam mendidik mereka keras, sesudah peperangan. Ritual seperti
cenderung tega, susah diatur dan tidak mau mangkok merah, nyaru tariu, mengayau,
tunduk pada perintah orang lain kecuali manajah antang dan upacara tiwah
pada pemimpin dari kalangan mereka dan merupakan ritual-ritual yang terlibat dalam
kyai. Sekalipun banyak diantara warga tradisi peperangan suku Dayak. Beberapa
etnis Madura tidak melakukan kewajiban- ritual tersebut sudah mulai ditinggalkan
kewajiban dasar agama Islam namun karena kesadaran masyarakat suku Dayak
mereka sangat bangga dan fanatik dengan sendiri dengan adanya Perjanjian Tumbang
Islam bahkan seringkali juga berlebih- Anoi tahun 1894 dengan tujuan
lebihan. Tidak terbayang bahwa orang mengingatkan kelamnya sebuah akibat dari
Madura mau diperintah oleh orang Dayak peperangan dan meninggalkan praktik-
yang dianggap mereka bodoh, terbelakang, praktik yang memakan korban jiwa. Ritual
tidak beradab bahkan tidak perang dalam tradisi suku Dayak
beragama/musyrik karena begitu kuat menunjukkan kekayaan ragam budaya di
berpegang teguh dengan adat-istiadat yang Indonesia. Saat suku Dayak berperang pun
masih kental dengan kepercayaan pagan mereka memiliki ritual dan tradisi yang
animisme/dinamisme. Dengan demikian harus dipatuhi. Tulisan ini diharapkan
bibit dan sumber perselisihan telah memberi wawasan baru dalam keragaman
menyebar dalam masyarakat dengan budaya salah satu suku di Indonesia.
bertemunya dua etnis dan dua kebudayaan
yang secara sepintas lalu saling bertolak
belakang. Dalam tahapan ini perselisihan
dan silang sengketa menjaditidak
terhindarkan, yang meliputi: 1) Fase krisis
(crisis phase), 2) Fase kekerasan terbatas
(limited violence phase), 3) Kekerasan
massal (massive violence phase), 4) Fase
DAFTAR PUSTAKA
https://youtu.be/jtyAFFb52YQ
https://youtu.be/EhqlLyWIdSA
Linton, R, Ph.D. 1936. The Study of Man.
New York: Appleton-Century-
Crofts, Inc.
Putra, R. Masri Sareb. 2012. “Makna di
Balik Teks Dayak Sebagai Etnis
Headhunter”. Journal
Communication Spectrum, 1 (2),
109-126.
Sangatimbun, Masri. 1991. ”Beberapa
Aspek Kehidupan Masyarakat
Dayak”, Jurnal Humaniora, 3, 139-
151
Santosa, H. , Tapip, B. 2016. Mandau
Senjata Tradisional sebagai
Pelestari Rupa Lingkungan Dayak.
Ritme, 2 (2), 47-56.
Surya, A. 2012. “Filosofi Perang Dayak”.
Kompasiana. Kompasiana. Web.
Rachawati, T. 2017. Metode Pengumpulan
Data dalam penelitian Kualitatif.
Bandung: Unpar Press.
Ramdani, D. 2013. Kebudayaan Suku
Dayak. Jakarta: Universitas
Azzahra.

Anda mungkin juga menyukai