Project Fixx
Project Fixx
PENDAHULUAN
2
Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi yang berguna untuk masyarakat
khususnya masyarakat yang mempunyai anggota keluarga yang memiliki anak agar
bisa mengetahui betapa pentingnya ASI ekslusif sampai usia 6 bulan.
3. Bagi Puskesmas Pejeruk
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi petugas
Puskesmas pejeruk dalam mengkaji, menganalisis bagaimana tingkat pengetahuan
ibu tentang ASI ekslusif sampai usia 6 bulan.
4. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi atau gambaran untuk pengembangan
penelitian selanjutnya.
3
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. BGM
Gizi di bawah garis merah adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan
terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis
2005).
Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein tingkat berat akibat
kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu
lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB terhadap TB) dan atau
energi. Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
4
2.1.2. Kebutuhan Nutrisi Gizi pada Balita
untuk penyakit kurang kalori protein dan defesiensi vitamin A serta anemia
defesiensin Fe. Kelompok umur sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan
pebaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat
berkumpul yang telah ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang
semua, (Seadiaoetama, 2000). Adapun kebutuhan nutrisi pada anak balita sebagai
berikut :
1. Asupan Kalori, Anak-anak usia balita membutuhkan kalori yang cukup banyak
1500 kalori setiap harinya. Dan balita bisa mendapatkan kalori yang dibutuhkan
2. Pasokan Lemak
Roti, santan, mentega merupakan makanan yang mengandung lemak dan baik
diberikan pada anak balita sebab lemak sendiri mampu membentuk Selubung
3. Kebutuhan Protein
Asupan gizi yang baik bagi balita juga terdapat pada makanan yang mengandung
5
didapatkan pada makanan-makanan seperti ikan, susu, telur 2 butir, daging 2 ons
dan sebagainya.
4. Zat besi
Usia balita merupakan usia yang cenderung kekurangan zat besi sehingga balita
harus diberikan asupan makanan yang mengandung zat besi. Makanan atau
makanan yang mengandung gizi yang bermanfaat untuk penyerapan zat besi.
5. Karbohidrat
karbohidrat di otak berupa Sialic Acid. Begitu juga dengan balita, mereka juga
membutuhkan gizi tersebut yang bisa diperoleh pada makanan seperti roti, nasi
6. Kalsium
tulang dan gigi balita. Salah satu pemberi kalsium terbaik adalah susu yang
7. Vitamin
Vitamin merupakan nutrisi yang juga dibutuhkan, tidak hanya balita, namun
untuk semua umur membutuhkannya. Banyak manfaat yang bisa didapat dari
6
yang berfungsi sebagai penyerapan zat besi. Vitamin E yang berperan untuk
Tabel 2.1. Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) Rata-rata Per Hari
Berat Tinggi Vitamin
Golongan Energi Protein Besi/Fe
Badan A
Umur (Kkal) (g) (Mg)
(Kg) (Cm) (RE)
0-6 bulan 5.5 60 560 12 350 3
7-12 bulan 8.5 71 800 15 350 5
1-3 tahun 12 90 1250 23 350 8
4-6 tahun 18 110 1750 32 460 9
Sumber: Huwae, 2005
Tabel 2.2. Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Protein (AKP) pada Anak
BGM dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Namun, secara
langsung dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu : anak tidak cukup mendapat makanan bergizi
seimbang, anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai dan anak mungkin
berikut :
Bayi dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi. Makanan alamiah
terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat
7
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya.
MPASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga
mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral
lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga
dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, seringkali seorang anak
harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita
karena ketidaktahuan.
Suatu studi “positive deviance” mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi
dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang BGM, padahal orang tua
mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak
berpengaruh pada timbulnya BGM. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih
posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.
Sebaliknya sebagian anak yang BGM ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang
Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan BGM.
Anak yang menderita BGM akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga anak
rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain, anak yang menderita sakit infeksi akan
8
2.1.4. Penilaian Status Gizi
1. Secara Klinis
Penilaian Status Gizi secara klinis sangat penting sebagai langkah pertama untuk
gambaran masalah gizi yang nyata. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
2. Secara Biokimia
Penilaian status gizi secara biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan
tubuh seperti hati dan otot. Salah satu ukuran yang sangat sederhana dan sering
3. Secara Biofisik
Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
dari jaringan. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda dan gejala kurnag
gizi. Pemeriksaan dengan memperhatikan rambut, mata, lidah, tegangan otot dan
4. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
9
tingkat Gizi,
pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan,berat badan, dan lingkar lengan
atas. Beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas sesuai dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Di dalam
ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai
dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang
pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak
yang bergizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap
akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal. Dampak yang mungkin
muncul dalam pembangunan bangsa di masa depan karena masalah gizi antara lain :
1. Kekurangan gizi adalah penyebab utama kematian bayi dan anak-anak. Hal ini
manusia. Hal ini berarti akan menambah beban pemerintah untuk meningkatkan
fasilitas kesehatan.
Akibatnya diduga tidak dapat diperbaiki bila terjadi kekurangan gizi semasa anak
dikandung sampai umur kira-kira tiga tahun. Menurunnya kualitas manusia usia
muda ini, berarti hilangnya sebagian besar potensi cerdik pandai yang sangat
10
3. Kekurangan gizi berakibat menurunnya daya tahan manusia untuk bekerja, yang
diberbagai disiplin, baik teknis kesehatan, teknis produksi, sosial budaya dan lain
2.2. Anemia
2.2.1. Definisi
Anemia adalah keadaaan berkurangnya jumlah eritosit atau hemoglobin
(protein pembawaO2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer sehingga pengiriman O2 jaringan sekitar (Hoffbrand, 2005).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan
besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk
eritropoesisberkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb)
berkurang (Bakta, 2007).
Anemia defisiensi besi merupakan tahapan terberat dari proses defisiensi besi,
hal ini ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum dan
konsentrasi besi yang rendah dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit
yang menurun (Muthalib, Abdul, 2009).
Kebutuhan zat besi rata rata ialah:
0-6 bulan : 3 mg/hari
7-12 bulan : 5 mg/hari
1-3 tahun : 8 mg/hari
4-6 tahun : 9 mg/hari
2.2.2. Etiologi
Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan salahsatunya oleh faktor
nutrisi, dimana asupan makanan yang mengandung heme kurang. Seorang bayi
berumur 1 tahun pertama kehidupan membutuhkan makanan yang banyak
mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap kurang lebih 200 mg besi
11
selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk
pertumbuhannya. Kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi
disebabkan oleh:
a. Masukan zat besi dari makanan yang tidak adekuat.
b. Jumlah asupan makanan yang rendah (Soegijanto, S, 2004)
12
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan makan, diakibatkan adanya
gangguan pada proses menelan. Pada ADB disebabkan oleh pharyngeal
web
e. Atrofi papil lidah
Permukaan lidah tampak licin dan mengkilap disebabkan oleh hilangnya
papil lidah.
f. Stomatitis angularis
Stomatitis angularis adalah adanya inflamasi disekitar (Andrew, 2004).
2.2.4. Diagnosis
Untuk penegakan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Penyebab anemia seringkali dapat diduga dari anamnesis seksama sesuai umur
pasien. Anemia segala usia membutuhkan pencarian adamya perdarahan.
Riwayat ikterus, pucat, saudara yang mengalami hal serupa sebelumnya, obat
yang dimakan oleh ibu, dan perdarahan dalam jumlah yang besar pada saat
kelahiran dapat menjadikan petunjuk untuk diagnosis pada bayi baru lahir.
Defisiensi besi yang murni karena diet jarang terjadi kecuali pada bayi, saat
intoleransi protein susu sapi dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal
yang akan menurunkan asupan besi.
Pada pemeriksaan fisik menunjukan adanya gejala anemia dan dapat mengarah
penyebab penyebab potensial. Langkah pertama adalah menilai stabilitas
fisiologi pasien. Perdarahan akut dan hemolisis akut dapat bermanifestasi
sebagai takikardia, perubahan tekanan darah dan perubahan tingkat kesadaran.
Adanya ikterus menandakan adanya hemolisis. Petekie dan purpura
menandakan adanya kecendrungan perdarahan. Gagal tumbuh atau kenaikan
berat badan yang buruk menandakan adanya anemia pada penyakit yang kronik
(Beutler, 2006)
2.2.5. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasi
serta memberikan terapi pengganti dengan preparat besi.
Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui dengan tepat. Pemberian
preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman,
murah dan sama efektifnya dengan pemberian parenteral.
13
a. Pemberian peroral
Garam ferous diabsorbsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan dengan
garam feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan
suksinant. Pemberian tersering adalah ferous sulfat dikarenakan harga
yang lebih murah.
Ferous sulfat mengandung 67 mg besi tiap tablet 200 mg dan diberikan
pada saat perut kosong, berjarak sedikitnya 6 jam, diantara dua waktu
makan dan biasanya akan memberikan efek samping pada saluran cerna.
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis bayi yang dipakai 4-6 mg besi
elemental / kgBB/hari. Dosis dihitung berdasarkan kandungan besi
elemental yang ada dalam garam ferous.
Terapi besi oral harus diberikan cukup lama untuk mengoreksi anemia dan
untuk memulihkan cadangan besi tubuh, yang biasanya memberikan hasil
setelah penggunaan selama sedikitnya 6 bulan. Kadar hemoglobin harus
meningkat harus meningkat dengan kecepatan sekitar 2 g/dl tiap 3 minggu.
Kegagalan respon terhadap besi oral dikarenakan perdarahan berkelanjutan,
tidak mengonsumsi tablet besi dengan rutin, defisiensi campuran,
malabsopsi.
b. Pemberian preparat besi parenteral
Pemberian besi secara intravaskular menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi.
Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung
50 mg besi/ml, dimana dosis dihitung berdasarkan.
Dosis besi = BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5 (IDAI, 2015).
2.2.6. Pencegahan
a. Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif
b. Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun sehubungan dengan
resiko terjadinya perdarahan saluran cerna.
c. Memberi makan bayi yang mengandung besi serta makanan yang kaya
dengan asam askorbat.
d. Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan.
e. Pemakaian susu formula yang kaya mengandung besi (IDAI, 2015).
14
2.3. ASI Ekslusif
2.3.1. Definisi
Secara global sesuai dengan WHO (2006), pengertian ASI Ekslusif adalah bayi
hanya menerima ASI dari ibu, tanpa penambahan cairan atau makanan padat
lain sampai umur enam bulan. (WHO,2006) Pemberian ASI Ekslusif sampai
enam bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi
daya tahan tubuh bayi, pertumbuhan, dan perkembangan.ASI memberikan
semua energi dan zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi selama enam bulan
pertama hidupnya. Pemberian ASI dapat mengurangi berbagai penyakit yang
menimpa anakanak seperti diare dan radang paru serta mempercepat pemulihan
bila sakit dan mengurangi kelahiran dengan jarak dekat.
2.3.2. Keuntungan Pemberian ASI Ekslusif
Pemberian ASI Ekslusif memberikan manfaat kepada bayi yang meliputi :
a. Melindungi dari infeksi gastrointestinal
b. Kandungan gizi sesuai dengan kebutuhan bayi
c. Menyempurnakan pertumbuhan bayi sehingga bayi lebih sehat dan cerdas
d. Memperindah kulit, gigi, dan bentuk rahang
e. Bayi akan jarang diare dan mengalami alergi
f. Meningkatkan daya penglihatan dan kemampuan berbicara
g. Meningkatkan jalinan kasih sayang dengan ibu
h. Menunjang perkembangan kepribadian dan hubungan sosial yang baik
(Krisnatuti, 2004)
2.3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan ASI Ekslusif
Berbagai keuntungan yang diperoleh dari pemberian ASI secara ekslusif, akan
tetapi sangat sedikit ibu yang sanggup untuk menerapkan ASI Ekslusif.
Menurut Baskoro (2008), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian
ASI Ekslusif yaitu tingkat pengetahuan ibu, pekerjaan ibu, faktor sosial budaya
(dukungan keluarga dan gencarnya promosi susu formula), kondisi fisik ibu
(produksi ASI, keadaan sakit), keadaan psikologis ibu, serta dukungan petugas
dan fasilitas kesehatan juga turut mempengaruhi pemberian ASI Ekslusif.
2.4. ASI NON EKSLUSIF
2.4.1. Definisi
ASI non ekslusif adalah Pemberian makanan selain ASI sebelum usia bayi 6
15
bulan. Makanan yang diberikan ini biasa disebut MP-ASI. MP-ASI diberikan
mulai umur 6-24 bulan dan merupakan makanan makanan peralihan dari ASI
ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MPASI harus dilakukan
secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk
menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes
RI, 2006).
2.4.2. Manfaat dan Tujuan Pemberian MP-ASI
Manfaat pemberianMP-ASI adalah untuk menambah energy dan zat gizi yang
diperlukan bayi karena ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan bayi secara terus-
menerus. Pertumbuhan dan perkembangan bayi yang normal dapat diketahui
dengan cara melihat kondisi penambahan berat badan seorang bayi, jika anak
tidak mengalami peningkatan maka menunjukan bahwa kebutuhan energy bayi
tidak terpenuhi (WHO, 2006).
Tujuan pemberian makanan tambahan adalah untuk mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal, menghindari terjadinya kekurangan gizi,
mencegah risiko malnurisi, defisiensi mikronutrien. Anak mendapat makanan
ekstra yang dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan energy dengan nutrient,
memelihara kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan bila sakit, membantu
perkembangan jasmani, rohani, psikomotor, mendidik kebiasaan yang baik
tentang makanan dan memperkenalkan bermacam-macam bahan makanan yang
sesuai dengan keadaan fisiologi bayi (Husaini, 2001).
2.4.3. Syarat MP ASI
Persyaratan makanan tambahan untuk bayi antara lain : mengandung nilai
energy dan protein yang tinggi, memiliki suplementasi yang baik, yaitu
mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup, dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat, harganya ralatif murah, sebaiknya dapat
diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara local dan jenis MP-ASI
disesuaikan dengan jenis sasaran (Depkes RI,2006)
2.4.4. Waktu Pemberian MP ASI
Air Susu Ibu (ASI) memenuhi seluruh kebutuhan bayi terhadap zatzat gizi yaitu
untuk pertumbuhan dan kesehatan sampai umur enam bulan, sesudah itu ASI
tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan bayi. Makanan tambahan mulai diberikan
pada umur enam bulan satu hari, pada usia ini otot saraf didalam mulut bayi
16
cukup berkembang untuk mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan
baik, mulai tmbuh gigi suka memasukkan sesutu ke dalam mulutnya dan
berminat terhadap rasa yang baru (Riksani,2012). Waktu yang baik dalam
memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah umur 6 bulan.
Pemberian makanan bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko
sebagai berikut (Hayati, 2009):
(a) Seseorang anak belum memerlukan makanan tambahan pada umur kurang
dari 6 bulan, sehingga apabila makanan diberikan, maka anak minum ASI
lebih sedikit dan ibu akan memproduksi ASI nya lebih sedikit sehingga
akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
(b) Anak mendapat faktor pelindung ASI lebih sedikit shingga resiko infeksi
meningkat
(c) Resiko diare juga meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih ASI
(d) Makanan yang diberikan sebagai pengganti ASI sering encer sehingga
mudah dicerna bayi, makanan ini memang membuat lambung penuh tetapi
memberikan nutrisi sedikit.
Pemberian MP-ASI terlalu dini menimbulkan dampak buruk bagi sistem
pencernaan karena pada usia itu sistem pencernaan anak belum sempurna dan
tidak siap menerima makanan apapun selain ASI. Selain itu pemberian MP-ASI
sebelum 6 bulan akan mempengaruhi fungsi mengunyah, menelan, dan
artikulasi saat berbicara (Khomsan dkk, 2009)
2.5. HUBUNGAN BGM DENGAN ASI EKSLUSIF DAN ASI NON EKSLUSIF
TERHADAP KEJADIAN ANEMIA
Pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat dalam pemenuhan gizi bayi dan
perlindungan bayi dalam melawan kemungkinan serangan penyakit. ASI sangat kaya
akan sari-sari makanan yang mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan
perkembangan sistem saraf (Roesli, 2000). ASI memiliki kandungan yang berperan
dalam pertumbuhan bayi seperti protein, lemak, elektrolit, enzim dan hormon
(Suhardijo, 2000).
Frekuensi atau durasi pemberian ASI yang tidak cukup menjadi faktor resiko untuk
terjadinya defisiensi makronutrien maupun mikronutrien pada usia dini. Keadaan gizi
kurang yang banyak ditemukan pada bayi-bayi terlihat ketika para ibu didaerah
perkotaan memilih untuk menggunakan susu formula sebagai pengganti ASI.
17
kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak
memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna serta mengandung
lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai
sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi sehingga dari
beberapa penelitian didapatkan bahwa ASI berpengaruh terhadap status gizi bayi.
Status gizi kurang ditemukan pada bayi dengan ASI ekslusif yang mempunyai riwayat
penyakit infeksi atau kronis dan produksi ASI ibu yang kurang (Riskani, 2012)
ASI merupakan makanan yang higienis, murah, mudah diberikan, dan sudah tersedia
bagi bayi. ASI menjadi satu-satunya makanan yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan
pertama hidupnya agar menjadi bayi yang sehat. Komposisinya yang dinamis dan
sesuai dengan kebutuhan bayi menjadikan ASI sebagai asupan gizi yang optimal bagi
bayi. ASI dan plasma memiliki konsentrasi ion yang sama sehingga bayi tidak
memerlukan cairan atau makanan tambahan (Suhardijo, 2000).
Kandungan zat besi baik di dalam ASI maupun susu formula keduanya rendah serta
bervariasi. Hal ini didasarkan pada litertur yang di tulis oleh hendarto dan Pringgadini,
bahwa penyerapan zink di dalam ASI, susu sapi dan susu formula berturut-turut 60%,
43-50% dan 27-32%. Namun bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko yang lebih
kecil untuk mengalami kekurangan zat besi dibanding dengan bayi yang mendapat susu
formula. Hal ini disebabkan karena zat besi yang berasal dari ASI lebih mudah diserap,
yaitu 20-50% dibandingkan hanya 4 -7% pada susu formula). Fe merupakan salah satu
zat yang berperan dalam pertumbuhan bayi (Soegijanto, 2004).
18
2.6. Kerangka Teori
Anemia
Keterangan :
= di teliti
19
= tidak diteliti.
20
2.7. Kerangka Konsep
BGM
2.8. HIPOTESIS
H1. Bayi BGM dengan ASI Non Ekslusif mempunyai risiko menderita anemia lebih
Ho. Bayi BGM dengan ASI Non Ekslusif tidak mempunyai risiko menderita anemia lebih
21
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan
desain studi cross sectional yang mengkaji hubungan antara efek (dapat berupa efek atau
kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Pada awal studi dilakukan
Tempat penelitian akan dilakukan di Puskesmas Pejeruk dan lingkungan kelurahan pejeruk,
3.3.1 Variabel
1. Variabel independent (bebas) adalah variabel yang nilainya tidak dipengaruhi oleh
variabel lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independent yaitu ASI
perubahan variabel lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependent
yaitu anemia.
22
3.3.2 Definisi Operasional
23
3.4 POPULASI DAN SAMPEL
3.4.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generasi yang terdiri dari atas obyek atau subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
Populasi yang digunakan adalah bayi BGM yang ada di Kelurahan Pejeruk.
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari data di Puskesmas Pejeruk jumlah bayi
3.4.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga
memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap bisa memiliki
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan Simple Total
yang kurang dari 100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.
Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah bayi BGM di kelurahan pejeruk pada
tahun 2019.
24
3.4.3.2 Kriteria eksklusi
Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen
dalam penelitian ini adalah:
a. Kuesioner
b. Easytouch Hb
c. Buku KMS
d. Alat tulis.
3.6 CARA PENELITIAN (ALUR PENELITIAN)
Subjek Penelitian
BGM
25
3.7 TEKNIK PENGOLAHAN DATA
a. Editing
Mengumpulkan data dan mengidentifikasi data sekunder dari data yang diambil.
b. Coding
Memberikan kode pada setiap data yang terdiri dari beberapa kategori.
c. Processing
d. Entry
kegiatan memasukkan data yang telah didapat kedalam program komputer yang
e. Cleaning
Data diperiksa kembali sehingga bebas dari kesalahan, dan dapat diuji kebenarannya.
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisa secara univariat dilakukan untuk
melihat distribusi atau besarnya proporsi menurut variabel yang diteliti dengan bantuan
program SPSS.
a. Analisa Univariat
variabel independen dan variabel dependen. Adapun variabel yang dianalisis meliputi
jenis kelamin responden, umur responden, ASI ekslusif dan ASI non ekslusif.
26
Tabel 3.1 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
BGM
2 tahun-5 tahun
BGM
Jenis Kelamin Frekuensi Persentasi
Laki-laki
Perempuan
BGM
Jenis Kelamin Frekuensi Persentasi
Anemia
Tidak Anemia
27
Tabel 3.4 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian ASI Non
Responden
ASI NON
EKSLUSIF
ASI
EKSLUSIF
Responden
Penyebab Frekuensi Persentasi
Puting Susu Lecet
Karena Kesibukan
Penyakit Ibu
Pengetahuan
Anjuran Tenaga Kesehatan
Faktor suami
Budaya
28
b. Analisa Bivariat
hasil penelitian akan disusun dalam tabel 2x2. Risiko relatif untuk rancangan cross
sectional dihitung secara tidak langsung yaitu menggunakan odds ratio. Kemudian
berdasarkan data akan dicari odds ratio untuk mengetahui perbandingan antara ASI
Ekslusif dan ASI Non Ekslusif pada terjadinya BGM dengan anemia dan dilakukan uji
hipotesis. Dimana variabel-variabel yang digunakan untuk mencari odds ratio akan
BGM
Berdasarkan tabel di atas diketahui adanya empat kelompok subyek (a,b,c,d) yang
sebagai berikut :
29
Dalam penelitian ini digunakan uji statistik Chi-Square dengan bantuan komputer
untuk mengetahui perbedaan bayi BGM yang mendapatkan ASI ekslusif dan ASI non
ekslusif terhadap kejadian anemia. Tarif signifikan yang digunakan adalah 95% dengan
ini menggunakan hubungan antara variabel dengan data berbentuk nominal. Rumus
Keterangan :
C = Koefisien kontingensi
N = Besar sampel
Nilai koefisien kontingensi (C) berkisar antara nol hingga satu jika C=0 maka
tidak dapat keterkaitan antara keduanya. Jika C=1 maka terdapat keterkaitan yang sangat
kuat diantara keduanya, jika C > 0,05 maka terdapat keterkaitan antara keduanya dan
keterkaitan tersebut dikatakan cukup kuat, sedangkan jika C < 0,05 maka terdapat
30
3.9 ETIKA PENELITIAN
penelitian meliputi:
mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup dengan memberi nomor kode pada
b. Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menyimpan data penelitian pada dokumen pribadi penelitian dan data-
data penelitian dilaporkan dalam bentuk kelompok bukan sebagai data-data yang
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan desain studi cross
sectional yang dilakukan di Puskesmas Pejeruk dan Lingkungan Kelurahan Pejeruk pada
bulan Desember 2019 sampai dengan Januari 2020. Yang menjadi sampel pada penelitian
ini yaitu balita yang menderita BGM di Lingkungan Kelurahan Pejeruk periode tahun 2019
yang memiliki riwayat BGM. Total sampel yang diperoleh sebanyak 34 responden.
Pengambilan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data primer yakni dengan
Kelurahan Pejeruk.
BGM
32
Tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah responden kategori usia 6
dan yang berusia > 2 tahun sampai 5 tahun sebanyak 28 orang dengan
BGM Berdasarkan
Umur
17.65%
100%.
33
o Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Kelamin
BGM
67.65%
32.35% Laki-laki
Perempuan
34
Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa sebesar
Kejadian Anemia
Responden
HB Frekuensi Persentasi
35
responden dengan tidak anemia sebanyak 13 orang dengan persentase
anemia dan tidak anemia dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut :
Responden
61.77%
38.23% Frekuensi
Tidak Anemia
tidak anemia.
36
Salah satu penyebab anemia adalah dapat disebabkan oleh faktor
kejadian anemia pada balita. Anak balita yang memiliki status gizi
anak balita yang berstatus gizi normal. Hal ini sejalan pula dengan
Responden
37
Tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah responden dengan ASI
responden berdasarkan ASI ekslusif dan ASI non ekslusif dapat dilihat
Pemberian ASI
58.82%
41.18%
Frekuensi
ekslusif.
38
ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu
ASI Eksklusif dengan penyakit infeksi dan status gizi pada balita yang
39
o Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyebab Tidak
Tabel 4.5 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyebab Tidak Memberi
40
Penyebab Tidak Memberi Bayi
ASI Ekslusif
65.00%
20.00% Frekuensi
15.00%
0.00% 0.00% 0.00%
et n u n i ya
lec uka it ib
hua u am da
s u
su sib ak
ge
ta r b
g su ke eny n kto
a P e fa
tin re
n P
Pu Ka
41
4.2.2 Analisa Bivariat
Analisis yang digunakan untuk perkiraan besarnya risiko pada hubungan antara
variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent) dihitung dengan rumus
odds ratio (OR) = AD / BC, yakni perbandingan antara prevalensi efek pada
kelompok subyek yang memiliki penyebab dengan prevalensi efek pada kelompok
Tabel 4.6 Tabel 2 X 2 ASI Non Ekslusif, ASI Ekslusif, dan BGM dengan
Anemia
BGM
Jumlah 21 13 34
OR = AD / BC
= (16X9) / (4X5)
= 144 / 20
= 2,880
Berdasarkan tabel silang dan perhitungan odds ratio di atas diperoleh hasil odds
ratio (OR) sebesar 2,88, hal ini menunjukkan bahwa variabel independen dalam
penelitian yaitu bayi dengan ASI non ekslusif merupakan faktor risiko untuk
mempengaruhi terjadinya anemia pada bayi BGM, dimana bayi yang dengan ASI
42
non ekslusif memiliki risiko 2 kali lipat atau hampir 3 kali lipat menderita anemia
pada bayi BGM dibandingkan dengan bayi yang dengan ASI ekslusif.
Salah satu penyebab anemia adalah tidak di berikannya ASI secara ekslusif sampai
usia 6 bulan sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh bayi sehingga gampang sakit.
Apabila daya tahan tubuh buruk, menyebabkan bayi memiliki risiko menderita
penyakit kronis tinggi dan mengakibatkan status besi jadi menurun (Ghassemi,
2014).
Untuk mengetahui perbandingan antara ASI non ekslusif dan ASI ekslusif dengan
risiko terjadinya anemia pada bayi BGM, peneliti menggunakan Chi-Square test.
lebih kecil dari nilai α (0,05), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara kasus bayi BGM dengan ASI non ekslusif terhadap terjadinya
43
Tabel 4.8 Tabel Uji Contingency Coefficient
Berdasarkan tabel 4.5 hasil uji korelasi di atas, didapatkan juga nilai signifikansi p =
0,009 yang berarti lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian menunjukkan H0
ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada hubungan signifikan antara bayi BGM
dengan ASI non ekslusif terhadap terjadinya anemia, diperoleh juga nilai p value =
0,509 yang menunjukkan bahwa tingkat hubungan yang kuat dan tanda positif pada
p value menunjukkan bahwa ada hubungan searah, sehingga jika bayi BGM dengan
Puskesmas Pejeruk.
Ini sejalan dengan penelitian (Ouff, 2015) dimana dalam penelitiannya didapatkan
juga nilai signifikansi p = 0,020 yang berarti lebih kecil dari nilai α (0,05), bahwa
bayi BGM dengan pemberian makanan selain ASI sebelum usia 6 bulan berisiko
Pemberian MP ASI terlalu dini akan mengakibatkan anak minum ASI lebih sedikit
dan ibu akan memproduksi ASI nya lebih sedikit sehingga akan lebih sulit untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi. Anak juga mendapat faktor pelindung ASI lebih
sedikit shingga resiko infeksi meningkat, risiko diare berat juga meningkat karena
makanan tambahan tidak sebersih ASI sehingga risiko terjadinya anemia jadi tinggi
(Ouff, 2015).
44
4.3 KETERBATASAN PENELITIAN
1. Peneliti mengabaikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi BGM dalam penelitian
2. Pada hal sampel, peneliti mengalami kesulitan dalam hal mengumpulkan semua
populasi yang didiagnosa BGM karena beberapa faktor seperti: bayi dibawa kerja sama
ibunya saat dilakukan penelitian, bayi sudah tidak tinggal di alamat yang tertera dan
3. Hal-hal di atas dikarenakan terbatasnya jumlah waktu dan sampel untuk diteliti. Selain
itu juga karena hal-hal tersebut diluar kemampuan peneliti untuk diteliti.
45
BAB 5
1.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa bayi BGM dengan ASI non
ekslusif mempunyai risiko menderita anemia lebih tinggi daripada bayi BGM dengan ASI
ekslusif di Lingkungan Kelurahan Pejeruk. Ini dapat dilihat dari hasil analisa Contingency
Coeffisient yang menunjukkan nilai p = 0.009 (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa bayi BGM
dengan ASI non ekslusif sebagai faktor risiko menderita anemia di Lingkungan Kelurahan
Pejeruk.
1.2 SARAN
1. Kepada institusi
a) Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bacaan diperpustakaan dan sebagai
dengan cara melakukan konseling kepada masyarakat terutama yang memiliki bayi.
dengan penekanan melalui konseling dan pemberian materi bahwa dengan ASI saja
2. Kepada masyarakat
Menjadikan masukan bagi ibu untuk memberikan ASI Eksklusif bagi bayi agar dapat
46
3. Kepada kader kesehatan
Menjadikan masukan untuk kader agar memberikan penyuluhan tentang arti pentingnya
pemberian ASI Eksklusif, perbaikan status gizi sejak masa prekonsepsi dan selama
Peneliti selanjutnya diharapkan agar meneliti faktor lain yang berhubungan dengan
kejadian BGM pada balita seperti ASI Eksklusif dan status gizi atau ekonomi keluarga,
47
Refrensi
Andarina. 2006. Hubungan Status Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin pada Balita Usia 13–36
Bulan. The Indonesian Journal of Public Health.3(1):19-23.
Andrew, NC. 2004. Iron Deficiency and Related Disorders in Wintrobe Clinical Hematology.
11th ed. Lippincott Williams & Wilkins
Baskoro, Anton, 2008, ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Yogyakarta Banyumedia
Beutler E. 2006. Disorders of Iron metabolisme in Williams Hematology. 7th ed. McGraw-Hill;
511-53.
Dasiyanti. 2016. Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang PemberianMakanan Pendamping Asi (Mp-
Asi) pada BayiUsia 6-12 Bulan Di Puskesmas PoasiaKota KendariTahun 2016.
Politeknik Kesehatan KendariJurusan Kebidanan
Departemen Kesehatan R.I. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP-ASI) Lokal. Available on : http://gizi. depkes.go.id/asi/Pedoman%20MP-ASI
%20Lokal.pdf. diakses pada tanggal 26 Januari 2020
Ghassemi, A., & Keikhaei, B. (2014). Effects of Nutritional Variables in Children with Iron
Deficiency Anemia. International Journal of Pediatric, 2(7), 183–187
Giyantini, Henne. 2013. Perbedaan Status Besi Bayi Normal yang Mendapat Air Susu Ibu
Eksklusif dengan Susu Formula Standar. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Hafzah. 2018. Hubungan Status Besi Bayi yang Mendapat ASI Eksklusif dengan ASI Non
Eksklusif. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah
Mada, Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakrta
Hajrah.2016. Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Pemberian Makanan Pendamping
Asi (Mp-Asi) Dini Di Rb. Mattiro Baji Kabupaten Gowa Tahun 2016.Jurusan Kebidanan
48
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (Uin) Alauddin
Makassar
Hayati, Alis Wirda.2009. Buku Saku Gizi Bayi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Husaini, Anwar.2001. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Huwae. 2005, Hubungan antara Status Gizi dan Kadar Hb dengan Prestasi Belajar Murid SD di
Daerah Endemis Malaria (tesis yang tidak dipublikasikan), Program Sarjana UGM
IDAI. 2015. Rekomendasi suplementasi besi pada bayi dan anak. Diunduh pada:
http://www.idai.or.id/rekomendasi/artikel.asp?q=201201161038 pada 19 desember 2020.
Khomsan. 2009. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Krisnatuti,D & Rian Y, 2004, Menyiapkan Makanan Pendamping ASI, Cetakan keempat, Jakarta
: Puspaswara
Novitasari et al. 2016. “Determinan Kejadian Anak Balita Di Bawah Garis Merah Di Puskesmas
Awal Terusan”. Jurnal Ilmu Kesehatab Mmasyarakat. Universitas Sriwijaya
Ouf, N., & Jan, M. (2015). The impact of maternal iron deficiency and iron deficiency anemia.
Saudi Medical Joiurnal, 36(2), 146–149. https://doi.org/10.15537/smj.2015.2.10289
Pertiwi. 2006. “Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Penyakit
Infeksi Dan Status Gizi Pada Balita Yang Dilaksanakan Di Semarang”. Fakultas
Kedokteran Unisula: Semarang.
Riskani. 2012. Keajaiban ASI. Jakarta : Dunia Sehat
Riskesdas. 2018. “Hasil Utama Riskesdas 2018”. Kementerian Kesehatan Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan
Rosanti, Ike. 2009. “Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada Anak Balita di
Wilayah Bendan Ngisor Kota Semarang”. Skripsi, Teknologi Jasa dan Produksi,
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang
Sadikin, M. 2002. Biokimia Darah. Widya Medika.
49
Sastroasmoro, S. dan Ismail, S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi III.
Jakarta: CV Agung Seto.
Soegijanto S. 2004. Anemia Defisiensi Besi Pada Bayi Dan Anak. IDI .Jakarta
Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian Cetakan ke-17. Bandung: CV. Alfabeta
Suhardjo. 2000. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta.
Supariasa. 2001, Penilaian Status Gizi, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
WHO, 2005. Definisi Bayi BGM. Available on: andhika.blog.uii.ac.id/noted/2013/bayi-bgm-
PDF.pdf (diakses pada tanggal 26 Januari 2020)
WHO, 2006. Definisi ASI Ekslusif. Available on: dyahpurnamasari.blog.unsoed.ac.id/files
/2011/ASI Ekslusif-PDF.pdf (diakses pada tanggal 26 Januari 2020)
50
LAMPIRAN 1
KUISIONER PEELITIAN
51
LAMPIRAN 2
OLAHAN DATA
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6,839a 1 ,009
Continuity Correctionb 5,092 1 ,024
Likelihood Ratio 6,969 1 ,008
Fisher's Exact Test ,014 ,012
Linear-by-Linear Association 6,638 1 ,010
N of Valid Cases 34
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,35.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Approximate
Value Significance
Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,509 ,009
N of Valid Cases 34
52
LAMPIRAN 3
DAFTAR RESPONDEN
53
LAMPIRAN 4
DOKUMENTASI
54