Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
melaporkan prevalensi status gizi kurang di Indonesia meningkat dari tahun 2007 hingga
2018 dari 13% kemudian meningkat menjadi 13,8%. Gizi kurang pada bayi dapat
memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan fisik maupun mental, yang selanjutnya
akan menghambat prestasi belajar (Riskesdas, 2018).
Indonesia merupakan negara peringkat kelima dunia dengan jumlah anak balita yang
mengalami gangguan pertumbuhan dan 7,7 juta anak balita yang berat badannya di
Bawah Garis Merah (BGM). Pada tahun 2014, kejadian BGM di Puskesmas Awal
Terusan sebesar 2 anak balita. Tapi pada tahun 2015 kejadian BGM mengalami
peningkatan yang signifikan sebesar 53 anak balita. BGM merupakan kekurangan gizi
tingkat berat sehingga pada saat ditimbang berat badan berada di bawah garis merah
pada KMS (Novitasari et al, 2016).
Masalah gizi semakin meningkat, yang salah satunya disebabkan oleh tidak
terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi. Masalah gizi dapat menimpa siapa saja, khususnya
anak balita, karena anak balita merupakan golongan rawan (rentan) gizi. Status gizi
adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi makanan, penyerapan dan
penggunaan makanan, terutama ASI ekslusif sampai usia 6 bulan. Baik buruknya status
gizi seseorang, salah satunya dapat dilihat dari konsumsi makanannya. Kebanyakan anak
balita susah makan, sehingga asupan makanannya berkurang, terutama zat besi, dan
akhirnya pertumbuhan dan perkembangannya terhambat. Rendahnya konsumsi zat besi
akan berpengaruh terhadap status gizi anak balita dan dapat terjadi kekurangan zat besi,
sehingga mengakibatkan kadar hemoglobin (Hb) darah menurun dan menyebabkan
anemia. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang
dari normal, yang berbeda untuk setiap umur dan jenis kelamin. Jika anak balita
menderita anemia, maka daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit,
penurunan daya konsentrasi serta kemampuan belajar (Rosanti, Ike, 2009).
Beberapa penelitian menunjukkan anemia pada saat bayi menyebabkan gangguan
tingkah laku dibandingkan dengan bayi anemia yang terkoreksi sebelum usia 2 tahun dan
bayi yang tidak ADB. Pemberian suplemen besi dapat memperbaiki perkembangan
psikomotor, tetapi tidak terjadi pada perkembangan kognisi dan tingkah laku. Penelitian
1
kohort di Beijing ditunjukkan status besi bayi yang mendapatkan susu formula lebih
rendah daripada bayi yang mendapat ASI eksklusif dan bayi laki-laki memiliki risiko
anemia lebih besar daripada perempuan (Giyantini, Henne. 2013).
Menurut WHO (2011), hanya 40% bayi di dunia yang mendapatkan ASI eksklusif
sedangkan 60% bayi lainnya ternyata telah mendapatkan susu formula saat usianya
kurang dari 6 bulan. Hal tersebut menggambarkan bahwa pemberian ASI eksklusif masih
rendah sedangkan praktek pemberian susu formula dini di berbagai negara masih
tinggi.Jumlah peningkatan pemberian susu formula dini dan penurunan ASI eksklusif
tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga terjadi di negara berkembang
seperti di Indonesia (Hajrah, 2016).
Kurangnya bayi yang mendapatkan ASI ekslusif tidak lepas dari pengaruh
pengetahuan dan sikap dari orang tua dalam hal ini ibu yang kurang menyadari dan
mendapat informasi lengkap mengenai pemberian ASI ekslusif yang benar tetapi justru
memberikan susu formula sebelum bayi berusia 6 bulan.Perlu diketahui salah satu faktor
yang menyebabkan bayi mengalami gizi kurang dan anemia salah satunya adalah faktor
pemberian susu formula dibawah 6 bulan (Desiyanti, 2016).
Berdasarkan uraian tersebut yang menyatakan masih tingginya praktik pemberian
ASI no ekslusif dibawah 6 bulan, maka peneliti tertarik meneliti tentang perbandingan
risiko bayi BGM yang mendapatkan ASI ekslusif dengan ASI non ekslusif dengan
kejadian anemia.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian dalam latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
“Adakah perbandingan risiko bayi BGM yang mendapatkan ASI ekslusif dengan ASI
non ekslusif dengan kejadian anemia?”
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan risiko bayi BGM yang
mendapatkan ASI ekslusif dengan ASI non ekslusif dengan kejadian anemia.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan Kedokteran
Hasil penelitian ini dapat sebagai masukan dan tambahan ilmu bagi profesi
kedokteran di seputar ASI ekslusif yang tepat untuk anak
2. Bagi Masyarakat

2
Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi yang berguna untuk masyarakat
khususnya masyarakat yang mempunyai anggota keluarga yang memiliki anak agar
bisa mengetahui betapa pentingnya ASI ekslusif sampai usia 6 bulan.
3. Bagi Puskesmas Pejeruk
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi petugas
Puskesmas pejeruk dalam mengkaji, menganalisis bagaimana tingkat pengetahuan
ibu tentang ASI ekslusif sampai usia 6 bulan.
4. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi atau gambaran untuk pengembangan
penelitian selanjutnya.

3
12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bawah Garis Merah pada Anak Balita

2.1.1. BGM

Gizi di bawah garis merah adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang

disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan

terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis

besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (WHO,

2005).

Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein tingkat berat akibat

kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu

lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB terhadap TB) dan atau

hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor atau marasmik

kwashiorkor (Supriasa, 2001).

Gizi merupakan suatu proses organisme menggunakan makan yang

dikonsumsi secara normal melalui proses digesti absorpsi, transportasi, penyimpanan,

metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang digunakan untuk mempertahankan

kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan

energi. Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk

variabel-variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture, (Supriasa, 2001).

4
2.1.2. Kebutuhan Nutrisi Gizi pada Balita

Anak kelompok balita di Indonesia menunjukkan prevalensi paling tinggi

untuk penyakit kurang kalori protein dan defesiensi vitamin A serta anemia

defesiensin Fe. Kelompok umur sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan

pebaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat

berkumpul yang telah ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang

semua, (Seadiaoetama, 2000). Adapun kebutuhan nutrisi pada anak balita sebagai

berikut :

1. Asupan Kalori, Anak-anak usia balita membutuhkan kalori yang cukup banyak

disebabkan bergeraknya cukup aktif pula. Mereka membutuhkan setidaknya

1500 kalori setiap harinya. Dan balita bisa mendapatkan kalori yang dibutuhkan

pada makanan-makanan yang mengandung protein, lemak dan gula.

2. Pasokan Lemak

Roti, santan, mentega merupakan makanan yang mengandung lemak dan baik

diberikan pada anak balita sebab lemak sendiri mampu membentuk Selubung

Mielin yang terdapat pada saraf otak.

3. Kebutuhan Protein

Asupan gizi yang baik bagi balita juga terdapat pada makanan yang mengandung

protein. Karena protein sendiri bermanfaat sebagai prekursor untuk

neurotransmitter demi perkembangan otak yang baik nantinya. Protein bisa

5
didapatkan pada makanan-makanan seperti ikan, susu, telur 2 butir, daging 2 ons

dan sebagainya.

4. Zat besi

Usia balita merupakan usia yang cenderung kekurangan zat besi sehingga balita

harus diberikan asupan makanan yang mengandung zat besi. Makanan atau

minuman yang mengandung vitamin C seperti jeruk merupakan salah satu

makanan yang mengandung gizi yang bermanfaat untuk penyerapan zat besi.

5. Karbohidrat

Dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan karbohidrat sebagai energi

utama serta bermanfaat untuk perkembangan otak saat belajar dikarnakan

karbohidrat di otak berupa Sialic Acid. Begitu juga dengan balita, mereka juga

membutuhkan gizi tersebut yang bisa diperoleh pada makanan seperti roti, nasi

kentang dan lainnya.

6. Kalsium

Balita juga membutuhkan asupan kalsium secara teratur sebagai pertumbuhan

tulang dan gigi balita. Salah satu pemberi kalsium terbaik adalah susu yang

diminum secara teratur.

7. Vitamin

Vitamin merupakan nutrisi yang juga dibutuhkan, tidak hanya balita, namun

untuk semua umur membutuhkannya. Banyak manfaat yang bisa didapat dari

vitamin seperti misalnya vitamin A sebagai perkembangan kulit sehat, vitamin C

6
yang berfungsi sebagai penyerapan zat besi. Vitamin E yang berperan untuk

mencegah kerusakan struktur sel membrane dan antioksidan (Suhardjo, 2000).

Dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) Rata-rata Per Hari
Berat Tinggi Vitamin
Golongan Energi Protein Besi/Fe
Badan A
Umur (Kkal) (g) (Mg)
(Kg) (Cm) (RE)
0-6 bulan 5.5 60 560 12 350 3
7-12 bulan 8.5 71 800 15 350 5
1-3 tahun 12 90 1250 23 350 8
4-6 tahun 18 110 1750 32 460 9
Sumber: Huwae, 2005

Tabel 2.2. Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Protein (AKP) pada Anak

No. Umur Energi (kkal) Protein (gr)


1 0-6 bulan 550 10
2 7-11 bulan 650 16
3 1-3 tahun 1000 25
4 4-6 tahun 1550 39
Sumber: Huwae, 2005

2.1.3. Faktor Penyebab BGM

BGM dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Namun, secara

langsung dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu : anak tidak cukup mendapat makanan bergizi

seimbang, anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai dan anak mungkin

menderita penyakit infeksi. Ketiga penyebab langsung tersebut diuraikan sebagai

berikut :

1. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang

Bayi dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi. Makanan alamiah

terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat

7
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya.

MPASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga

mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral

lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga

dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, seringkali seorang anak

harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita

karena ketidaktahuan.

2. Anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai

Suatu studi “positive deviance” mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi

dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang BGM, padahal orang tua

mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak

berpengaruh pada timbulnya BGM. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih

sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat

posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.

Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak.

Sebaliknya sebagian anak yang BGM ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang

juga miskin dan tidak berpendidikan.

3. Anak menderita penyakit infeksi

Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan BGM.

Anak yang menderita BGM akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga anak

rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain, anak yang menderita sakit infeksi akan

cenderung menderita gizi buruk.

8
2.1.4. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi secara langsung menurut Supariasa (2001) dapat

dilakukan dengan empat cara:

1. Secara Klinis

Penilaian Status Gizi secara klinis sangat penting sebagai langkah pertama untuk

mengetahui keadaan gizi penduduk. Karena hasil penilaian dapat memberikan

gambaran masalah gizi yang nyata. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel

seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral.

2. Secara Biokimia

Penilaian status gizi secara biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji

secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan

tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan

tubuh seperti hati dan otot. Salah satu ukuran yang sangat sederhana dan sering

digunakan adalah pemeriksaan haemoglobin sebagai indeks dari anemia.

3. Secara Biofisik

Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan

melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur

dari jaringan. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda dan gejala kurnag

gizi. Pemeriksaan dengan memperhatikan rambut, mata, lidah, tegangan otot dan

bagian tubuh lainnya.

4. Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut

pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam

pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan

9
tingkat Gizi,

Pengukuran antropometrik : pada metode ini dilakukan beberapa macam

pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan,berat badan, dan lingkar lengan

atas. Beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan

atas sesuai dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Di dalam

ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai

dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang

dapat merupakan kombinasi dari ketiganya.

2.1.5. Dampak Gizi Dibawah Garis Merah pada Balita

Keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan

pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak

yang bergizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap

akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal. Dampak yang mungkin

muncul dalam pembangunan bangsa di masa depan karena masalah gizi antara lain :

1. Kekurangan gizi adalah penyebab utama kematian bayi dan anak-anak. Hal ini

berarti berkurangnya kuantitas sumber daya manusia di masa depan. Kekurangan

gizi berakibat meningkatnya angka kesakitan dan menurunnya produktivitas kerja

manusia. Hal ini berarti akan menambah beban pemerintah untuk meningkatkan

fasilitas kesehatan.

2. Kekurangan gizi berakibat menurunnya tingkat kecerdasan anak - anak.

Akibatnya diduga tidak dapat diperbaiki bila terjadi kekurangan gizi semasa anak

dikandung sampai umur kira-kira tiga tahun. Menurunnya kualitas manusia usia

muda ini, berarti hilangnya sebagian besar potensi cerdik pandai yang sangat

dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.

10
3. Kekurangan gizi berakibat menurunnya daya tahan manusia untuk bekerja, yang

berarti menurunnya prestasi dan produktivitas kerja manusia. Kekurangan gizi

pada umumya adalah menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Masalah gizi

masyarakat pada dasarnya adalah masalah konsumsi makanan rakyat. Karena

itulah program peningkatan gizi memerlukan pendekatan dan penggarapan

diberbagai disiplin, baik teknis kesehatan, teknis produksi, sosial budaya dan lain

sebagainya (Suhardjo, 2000).

2.2. Anemia
2.2.1. Definisi
Anemia adalah keadaaan berkurangnya jumlah eritosit atau hemoglobin
(protein pembawaO2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer sehingga pengiriman O2 jaringan sekitar (Hoffbrand, 2005).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan
besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk
eritropoesisberkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb)
berkurang (Bakta, 2007).
Anemia defisiensi besi merupakan tahapan terberat dari proses defisiensi besi,
hal ini ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum dan
konsentrasi besi yang rendah dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit
yang menurun (Muthalib, Abdul, 2009).
Kebutuhan zat besi rata rata ialah:
0-6 bulan : 3 mg/hari
7-12 bulan : 5 mg/hari
1-3 tahun : 8 mg/hari
4-6 tahun : 9 mg/hari
2.2.2. Etiologi
Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan salahsatunya oleh faktor
nutrisi, dimana asupan makanan yang mengandung heme kurang. Seorang bayi
berumur 1 tahun pertama kehidupan membutuhkan makanan yang banyak
mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap kurang lebih 200 mg besi
11
selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk
pertumbuhannya. Kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi
disebabkan oleh:
a. Masukan zat besi dari makanan yang tidak adekuat.
b. Jumlah asupan makanan yang rendah (Soegijanto, S, 2004)

2.2.3. Manifestasi Klinis


Pada defisiensi besi yang ringan biasanya diagnosis ditegakan berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium. Bila sudah terjadi defisiensi berat yang disertai
anemia, gejala kliniknya sama dengan gejala anemia lainnya. Onset terjadinya
ADB ini berjalan lambat dan gejalanya timbul secara bertahap.
Pada anak penderita ADB akan lebih mudah terkena infeksi karena
menurunnya kemampuan netrofi untuk membunuh bakteri karena enzim
mieloperoksidase yang mengandung zat besi didalam netrofi berkurang,
sehingga menurunkan kemampuan netrofi untuk membunuh bakteri. Bakteri
yang telah terfagosit tidak mampu dibunuh oleh netrofil.
Gejala gejala iritabel, berkurangnya nafsu makan, berkurangnya perhatian
terhadap sekitar, menggambarkan adanya defisiensi pada tingkat jaringan
beberapa gejala yang mungkin terjadi pada ADB. Ada beberapa tanda dan
gejala dari ADB yaitu:
a. Pucat
Merupakan salah satu tanda dan gejala yang sering terjadi, dimana hal ini
disebabkan oleh berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin,
dan vasokontriksi untuk memperbesar pengiriman O2 ke organ sekitar.
b. Lemah, pusing, dan sakit kepala
Hal ini disebabkan berkurangnya oksigenase pada saraf pusat.
c. Perubahan pada kuku
Merupakan simptom yang terjadi pada seluruh anemia, termasuk anemia
defisiensi besi dimana penderita memiliki kecenderungan kuku menjadi
robek dan retak. Koilonikia yaitu kuku jari seperti sendok yang di sebabkan
oleh perubahan jaringan epitel yang abnormal yang dihubungkan dengan
anemia defisiensi besi.
d. Disfagia

12
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan makan, diakibatkan adanya
gangguan pada proses menelan. Pada ADB disebabkan oleh pharyngeal
web
e. Atrofi papil lidah
Permukaan lidah tampak licin dan mengkilap disebabkan oleh hilangnya
papil lidah.
f. Stomatitis angularis
Stomatitis angularis adalah adanya inflamasi disekitar (Andrew, 2004).
2.2.4. Diagnosis
Untuk penegakan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Penyebab anemia seringkali dapat diduga dari anamnesis seksama sesuai umur
pasien. Anemia segala usia membutuhkan pencarian adamya perdarahan.
Riwayat ikterus, pucat, saudara yang mengalami hal serupa sebelumnya, obat
yang dimakan oleh ibu, dan perdarahan dalam jumlah yang besar pada saat
kelahiran dapat menjadikan petunjuk untuk diagnosis pada bayi baru lahir.
Defisiensi besi yang murni karena diet jarang terjadi kecuali pada bayi, saat
intoleransi protein susu sapi dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal
yang akan menurunkan asupan besi.
Pada pemeriksaan fisik menunjukan adanya gejala anemia dan dapat mengarah
penyebab penyebab potensial. Langkah pertama adalah menilai stabilitas
fisiologi pasien. Perdarahan akut dan hemolisis akut dapat bermanifestasi
sebagai takikardia, perubahan tekanan darah dan perubahan tingkat kesadaran.
Adanya ikterus menandakan adanya hemolisis. Petekie dan purpura
menandakan adanya kecendrungan perdarahan. Gagal tumbuh atau kenaikan
berat badan yang buruk menandakan adanya anemia pada penyakit yang kronik
(Beutler, 2006)
2.2.5. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasi
serta memberikan terapi pengganti dengan preparat besi.
Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui dengan tepat. Pemberian
preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman,
murah dan sama efektifnya dengan pemberian parenteral.

13
a. Pemberian peroral
Garam ferous diabsorbsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan dengan
garam feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan
suksinant. Pemberian tersering adalah ferous sulfat dikarenakan harga
yang lebih murah.
Ferous sulfat mengandung 67 mg besi tiap tablet 200 mg dan diberikan
pada saat perut kosong, berjarak sedikitnya 6 jam, diantara dua waktu
makan dan biasanya akan memberikan efek samping pada saluran cerna.
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis bayi yang dipakai 4-6 mg besi
elemental / kgBB/hari. Dosis dihitung berdasarkan kandungan besi
elemental yang ada dalam garam ferous.
Terapi besi oral harus diberikan cukup lama untuk mengoreksi anemia dan
untuk memulihkan cadangan besi tubuh, yang biasanya memberikan hasil
setelah penggunaan selama sedikitnya 6 bulan. Kadar hemoglobin harus
meningkat harus meningkat dengan kecepatan sekitar 2 g/dl tiap 3 minggu.
Kegagalan respon terhadap besi oral dikarenakan perdarahan berkelanjutan,
tidak mengonsumsi tablet besi dengan rutin, defisiensi campuran,
malabsopsi.
b. Pemberian preparat besi parenteral
Pemberian besi secara intravaskular menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi.
Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung
50 mg besi/ml, dimana dosis dihitung berdasarkan.
Dosis besi = BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5 (IDAI, 2015).
2.2.6. Pencegahan
a. Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif
b. Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun sehubungan dengan
resiko terjadinya perdarahan saluran cerna.
c. Memberi makan bayi yang mengandung besi serta makanan yang kaya
dengan asam askorbat.
d. Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan.
e. Pemakaian susu formula yang kaya mengandung besi (IDAI, 2015).

14
2.3. ASI Ekslusif
2.3.1. Definisi
Secara global sesuai dengan WHO (2006), pengertian ASI Ekslusif adalah bayi
hanya menerima ASI dari ibu, tanpa penambahan cairan atau makanan padat
lain sampai umur enam bulan. (WHO,2006) Pemberian ASI Ekslusif sampai
enam bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi
daya tahan tubuh bayi, pertumbuhan, dan perkembangan.ASI memberikan
semua energi dan zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi selama enam bulan
pertama hidupnya. Pemberian ASI dapat mengurangi berbagai penyakit yang
menimpa anakanak seperti diare dan radang paru serta mempercepat pemulihan
bila sakit dan mengurangi kelahiran dengan jarak dekat.
2.3.2. Keuntungan Pemberian ASI Ekslusif
Pemberian ASI Ekslusif memberikan manfaat kepada bayi yang meliputi :
a. Melindungi dari infeksi gastrointestinal
b. Kandungan gizi sesuai dengan kebutuhan bayi
c. Menyempurnakan pertumbuhan bayi sehingga bayi lebih sehat dan cerdas
d. Memperindah kulit, gigi, dan bentuk rahang
e. Bayi akan jarang diare dan mengalami alergi
f. Meningkatkan daya penglihatan dan kemampuan berbicara
g. Meningkatkan jalinan kasih sayang dengan ibu
h. Menunjang perkembangan kepribadian dan hubungan sosial yang baik
(Krisnatuti, 2004)
2.3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan ASI Ekslusif
Berbagai keuntungan yang diperoleh dari pemberian ASI secara ekslusif, akan
tetapi sangat sedikit ibu yang sanggup untuk menerapkan ASI Ekslusif.
Menurut Baskoro (2008), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian
ASI Ekslusif yaitu tingkat pengetahuan ibu, pekerjaan ibu, faktor sosial budaya
(dukungan keluarga dan gencarnya promosi susu formula), kondisi fisik ibu
(produksi ASI, keadaan sakit), keadaan psikologis ibu, serta dukungan petugas
dan fasilitas kesehatan juga turut mempengaruhi pemberian ASI Ekslusif.
2.4. ASI NON EKSLUSIF
2.4.1. Definisi
ASI non ekslusif adalah Pemberian makanan selain ASI sebelum usia bayi 6

15
bulan. Makanan yang diberikan ini biasa disebut MP-ASI. MP-ASI diberikan
mulai umur 6-24 bulan dan merupakan makanan makanan peralihan dari ASI
ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MPASI harus dilakukan
secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk
menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes
RI, 2006).
2.4.2. Manfaat dan Tujuan Pemberian MP-ASI
Manfaat pemberianMP-ASI adalah untuk menambah energy dan zat gizi yang
diperlukan bayi karena ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan bayi secara terus-
menerus. Pertumbuhan dan perkembangan bayi yang normal dapat diketahui
dengan cara melihat kondisi penambahan berat badan seorang bayi, jika anak
tidak mengalami peningkatan maka menunjukan bahwa kebutuhan energy bayi
tidak terpenuhi (WHO, 2006).
Tujuan pemberian makanan tambahan adalah untuk mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal, menghindari terjadinya kekurangan gizi,
mencegah risiko malnurisi, defisiensi mikronutrien. Anak mendapat makanan
ekstra yang dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan energy dengan nutrient,
memelihara kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan bila sakit, membantu
perkembangan jasmani, rohani, psikomotor, mendidik kebiasaan yang baik
tentang makanan dan memperkenalkan bermacam-macam bahan makanan yang
sesuai dengan keadaan fisiologi bayi (Husaini, 2001).
2.4.3. Syarat MP ASI
Persyaratan makanan tambahan untuk bayi antara lain : mengandung nilai
energy dan protein yang tinggi, memiliki suplementasi yang baik, yaitu
mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup, dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat, harganya ralatif murah, sebaiknya dapat
diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara local dan jenis MP-ASI
disesuaikan dengan jenis sasaran (Depkes RI,2006)
2.4.4. Waktu Pemberian MP ASI
Air Susu Ibu (ASI) memenuhi seluruh kebutuhan bayi terhadap zatzat gizi yaitu
untuk pertumbuhan dan kesehatan sampai umur enam bulan, sesudah itu ASI
tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan bayi. Makanan tambahan mulai diberikan
pada umur enam bulan satu hari, pada usia ini otot saraf didalam mulut bayi

16
cukup berkembang untuk mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan
baik, mulai tmbuh gigi suka memasukkan sesutu ke dalam mulutnya dan
berminat terhadap rasa yang baru (Riksani,2012). Waktu yang baik dalam
memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah umur 6 bulan.
Pemberian makanan bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko
sebagai berikut (Hayati, 2009):
(a) Seseorang anak belum memerlukan makanan tambahan pada umur kurang
dari 6 bulan, sehingga apabila makanan diberikan, maka anak minum ASI
lebih sedikit dan ibu akan memproduksi ASI nya lebih sedikit sehingga
akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
(b) Anak mendapat faktor pelindung ASI lebih sedikit shingga resiko infeksi
meningkat
(c) Resiko diare juga meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih ASI
(d) Makanan yang diberikan sebagai pengganti ASI sering encer sehingga
mudah dicerna bayi, makanan ini memang membuat lambung penuh tetapi
memberikan nutrisi sedikit.
Pemberian MP-ASI terlalu dini menimbulkan dampak buruk bagi sistem
pencernaan karena pada usia itu sistem pencernaan anak belum sempurna dan
tidak siap menerima makanan apapun selain ASI. Selain itu pemberian MP-ASI
sebelum 6 bulan akan mempengaruhi fungsi mengunyah, menelan, dan
artikulasi saat berbicara (Khomsan dkk, 2009)

2.5. HUBUNGAN BGM DENGAN ASI EKSLUSIF DAN ASI NON EKSLUSIF
TERHADAP KEJADIAN ANEMIA
Pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat dalam pemenuhan gizi bayi dan
perlindungan bayi dalam melawan kemungkinan serangan penyakit. ASI sangat kaya
akan sari-sari makanan yang mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan
perkembangan sistem saraf (Roesli, 2000). ASI memiliki kandungan yang berperan
dalam pertumbuhan bayi seperti protein, lemak, elektrolit, enzim dan hormon
(Suhardijo, 2000).
Frekuensi atau durasi pemberian ASI yang tidak cukup menjadi faktor resiko untuk
terjadinya defisiensi makronutrien maupun mikronutrien pada usia dini. Keadaan gizi
kurang yang banyak ditemukan pada bayi-bayi terlihat ketika para ibu didaerah
perkotaan memilih untuk menggunakan susu formula sebagai pengganti ASI.
17
kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak
memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna serta mengandung
lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai
sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi sehingga dari
beberapa penelitian didapatkan bahwa ASI berpengaruh terhadap status gizi bayi.
Status gizi kurang ditemukan pada bayi dengan ASI ekslusif yang mempunyai riwayat
penyakit infeksi atau kronis dan produksi ASI ibu yang kurang (Riskani, 2012)
ASI merupakan makanan yang higienis, murah, mudah diberikan, dan sudah tersedia
bagi bayi. ASI menjadi satu-satunya makanan yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan
pertama hidupnya agar menjadi bayi yang sehat. Komposisinya yang dinamis dan
sesuai dengan kebutuhan bayi menjadikan ASI sebagai asupan gizi yang optimal bagi
bayi. ASI dan plasma memiliki konsentrasi ion yang sama sehingga bayi tidak
memerlukan cairan atau makanan tambahan (Suhardijo, 2000).
Kandungan zat besi baik di dalam ASI maupun susu formula keduanya rendah serta
bervariasi. Hal ini didasarkan pada litertur yang di tulis oleh hendarto dan Pringgadini,
bahwa penyerapan zink di dalam ASI, susu sapi dan susu formula berturut-turut 60%,
43-50% dan 27-32%. Namun bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko yang lebih
kecil untuk mengalami kekurangan zat besi dibanding dengan bayi yang mendapat susu
formula. Hal ini disebabkan karena zat besi yang berasal dari ASI lebih mudah diserap,
yaitu 20-50% dibandingkan hanya 4 -7% pada susu formula). Fe merupakan salah satu
zat yang berperan dalam pertumbuhan bayi (Soegijanto, 2004).

18
2.6. Kerangka Teori

ASI EKSLUSIF ASI NON EKSLUSIF

Produksi Penyakit Infeksi


ASIkurang dan kronis Pemberian MP ASI
Kandungan asam amino <6 bulan bisa
esensial, lemak jenuh, mengakibatkan
Kandungan Protein trigliserid, dan kolesterol gangguan
Tinggi tidak sebaik ASI pencernaan.

Bayi Bawah Garis


Merah(BGM)

Anemia

Keterangan :

= di teliti

19
= tidak diteliti.

20
2.7. Kerangka Konsep

BGM

ASI Ekslusif ASI Non Ekslusif

ANEMIA TIDAK AEMIA

2.8. HIPOTESIS
H1. Bayi BGM dengan ASI Non Ekslusif mempunyai risiko menderita anemia lebih

tinggi daripada bayi BGM dengan ASI Ekslusif.

Ho. Bayi BGM dengan ASI Non Ekslusif tidak mempunyai risiko menderita anemia lebih

tinggi daripada bayi BGM dengan ASI Ekslusif.

21
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan

desain studi cross sectional yang mengkaji hubungan antara efek (dapat berupa efek atau

kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Pada awal studi dilakukan

identifikasi kasus dengan kriteria yang jelas (Sastroasmoro, 2008).

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Tempat penelitian akan dilakukan di Puskesmas Pejeruk dan lingkungan kelurahan pejeruk,

dimulai pada bulan desember 2019 sampai januari 2020.

3.3 VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.3.1 Variabel

1. Variabel independent (bebas) adalah variabel yang nilainya tidak dipengaruhi oleh

variabel lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independent yaitu ASI

ekslusif dan ASI non ekslusif.

2. Variabel dependent (terikat) adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh

perubahan variabel lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependent

yaitu anemia.

22
3.3.2 Definisi Operasional

Definisi Operasional Alat Ukur Cara ukur Hasil Ukur Skala


1. ASI Ekslusif adalah bayi hanya 1.Waktu Wawancar 1. Pemberian ASI Nominal
menerima ASI dari ibu, tanpa a ibu 6 bulan secara
penambahan cairan atau makanan responden. ekslusif
padat lain sampai umur enam
bulan (WHO,2006).

2. ASI Non Ekslusif adalah 2.Waktu Wawancar 2. Pemberian


Pemberian makanan atau a ibu makanan selain Nominal
minuman selain ASI pada usia responden. ASI < 6 bulan.
bayi < usia 6 bulan (Giyantini,
2013).

3. Gizi di bawah garis merah


adalah keadaan kurang gizi 3. Grafik Analisa
tingkat berat yang disebabkan 3. Interpretasi
Tumbuh Grafik
oleh rendahnya konsumsi energi Grafik Tumbuh
Kembang Tumbuh
dan protein dari makanan sehari- Kembang sesuai
hari dan terjadi dalam waktu yang Kembang dengan yang ada Nominal
cukup lama. Tanda-tanda klinis yang ada di di buku KMS
dari gizi buruk secara garis besar buku KMS
dapat dibedakan marasmus,
kwashiorkor atau marasmic-
kwashiorkor (WHO, 2005)

4. Anemia adalah keadaaan Mengambil 4.


4. Easy
berkurangnya jumlah eritosit atau sampel Nominal
hemoglobin (protein pembawa touch
darah di a. Hb Normal = >
O2) dari nilai normal dalam darah Hemoglobin
jari tangan 11 mg/dl
sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa O2 responden
b. Anemia = < 11
dalam jumlah yang cukup ke dengan
mg/dl
jaringan perifer sehingga stick Hb.
pengiriman O2 jaringan sekitar
(Hoffbrand, 2005).

23
3.4 POPULASI DAN SAMPEL

3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generasi yang terdiri dari atas obyek atau subyek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2005).

Populasi yang digunakan adalah bayi BGM yang ada di Kelurahan Pejeruk.

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari data di Puskesmas Pejeruk jumlah bayi

BGM yang ada di kelurahan pejeruk sebanyak 56 orang

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga

memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap bisa memiliki

populasi (Sugiyono, 2005).

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan Simple Total

Sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel

sama dengan populasi (Sugiyono, 2007).

Alasan mengambil total sampling karena menurut Sugiyono (2007) jumlah populasi

yang kurang dari 100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.

Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah bayi BGM di kelurahan pejeruk pada

tahun 2019.

3.4.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Bagi Objek Penelitian

3.4.3.1 Kriteria Inklusi

1. Bayi dengan BGM

2. Bayi dengan HB < 12 mg/dl

3. Bayi dengan usia 6 – 60 bulan.

24
3.4.3.2 Kriteria eksklusi

1. Bayi tidak BGM

2. Bayi dengan usia kurang dari 6 bulan

3. Bayi dengan usia lebih dari 5 tahun

3.5 INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen
dalam penelitian ini adalah:

a. Kuesioner
b. Easytouch Hb
c. Buku KMS
d. Alat tulis.
3.6 CARA PENELITIAN (ALUR PENELITIAN)

Alur penelitian ini adalah sebagai berikut :

Subjek Penelitian

BGM

ASI Ekslusif ASI Non Ekslusif

Anemia Tidak Anemia Anemia Tidak Anemia

Analisis perbedaan kejadian


BGM dengan anemia

25
3.7 TEKNIK PENGOLAHAN DATA

Setelah data dikumpulkan, selanjutnya dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing

Mengumpulkan data dan mengidentifikasi data sekunder dari data yang diambil.

b. Coding

Memberikan kode pada setiap data yang terdiri dari beberapa kategori.

c. Processing

Memproses data agar dapat dianalisa.

d. Entry

kegiatan memasukkan data yang telah didapat kedalam program komputer yang

ditetapkan program Statistical Product and Service Solution (SPSS).

e. Cleaning

Data diperiksa kembali sehingga bebas dari kesalahan, dan dapat diuji kebenarannya.

3.8 ANALISIS DATA

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisa secara univariat dilakukan untuk

melihat distribusi atau besarnya proporsi menurut variabel yang diteliti dengan bantuan

program SPSS.

Analisa dalam penelitian ini menggunakan :

a. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing variabel, baik

variabel independen dan variabel dependen. Adapun variabel yang dianalisis meliputi

jenis kelamin responden, umur responden, ASI ekslusif dan ASI non ekslusif.

26
Tabel 3.1 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

BGM

Umur Frekuensi Persentasi

6 bulan- < 2 tahun

2 tahun-5 tahun

Tabel 3.2 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

BGM
Jenis Kelamin Frekuensi Persentasi
Laki-laki

Perempuan

Tabel 3.3 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Anemia

BGM
Jenis Kelamin Frekuensi Persentasi
Anemia

Tidak Anemia

27
Tabel 3.4 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian ASI Non

Ekslusif dan ASI Ekslusif

Responden

Risiko Frekuensi Persentasi

ASI NON

EKSLUSIF

ASI
EKSLUSIF

Tabel 3.5 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyebab Tidak

Memberi Bayi ASI Ekslusif

Responden
Penyebab Frekuensi Persentasi
Puting Susu Lecet
Karena Kesibukan
Penyakit Ibu
Pengetahuan
Anjuran Tenaga Kesehatan
Faktor suami
Budaya

28
b. Analisa Bivariat

Setelah dilakukan validasi dan pengelompokkan data penelitian yang diperoleh,

hasil penelitian akan disusun dalam tabel 2x2. Risiko relatif untuk rancangan cross

sectional dihitung secara tidak langsung yaitu menggunakan odds ratio. Kemudian

berdasarkan data akan dicari odds ratio untuk mengetahui perbandingan antara ASI

Ekslusif dan ASI Non Ekslusif pada terjadinya BGM dengan anemia dan dilakukan uji

hipotesis. Dimana variabel-variabel yang digunakan untuk mencari odds ratio akan

disajikan dalam tabel 2x2 berikut ini :

Tabel 3.4 Odds Ratio

BGM

Diagnosis ANEMIA TIDAK ANEMIA Jumlah

ASI NON EKSLUSIF A B A+B

ASI EKSLUSIF C D C+D

Jumlah A+C B+D A+B+C+D

Berdasarkan tabel di atas diketahui adanya empat kelompok subyek (a,b,c,d) yang

merupakan kombinasi variabel independen dengan dependen. Sehingga diperoleh rumus

sebagai berikut :

Rumus odds ratio : or = AD/BC

29
Dalam penelitian ini digunakan uji statistik Chi-Square dengan bantuan komputer

untuk mengetahui perbedaan bayi BGM yang mendapatkan ASI ekslusif dan ASI non

ekslusif terhadap kejadian anemia. Tarif signifikan yang digunakan adalah 95% dengan

taraf kesalahan 0,05%.

Kemudian digunakan uji korelasi koefisien kontingensi karena dalam penelitian

ini menggunakan hubungan antara variabel dengan data berbentuk nominal. Rumus

koefisien kontingensi sebagai berikut :

Keterangan :

C = Koefisien kontingensi

X2 = Nilai chi square

N = Besar sampel

Nilai koefisien kontingensi (C) berkisar antara nol hingga satu jika C=0 maka

tidak dapat keterkaitan antara keduanya. Jika C=1 maka terdapat keterkaitan yang sangat

kuat diantara keduanya, jika C > 0,05 maka terdapat keterkaitan antara keduanya dan

keterkaitan tersebut dikatakan cukup kuat, sedangkan jika C < 0,05 maka terdapat

keterkaitan antara keduanya namun keterkaitan tersebut dikatakan lemah.

30
3.9 ETIKA PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika penelitian. Etika

penelitian meliputi:

a. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian maka peneliti tidak

mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup dengan memberi nomor kode pada

masing-masing lembar yang hanya diketahui oleh peneliti.

b. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti menyimpan data penelitian pada dokumen pribadi penelitian dan data-

data penelitian dilaporkan dalam bentuk kelompok bukan sebagai data-data yang

mewakili pribadi sampel penelitian (Sastroasmoro, 2008).

31
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 KARAKTERISTIK PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan desain studi cross

sectional yang dilakukan di Puskesmas Pejeruk dan Lingkungan Kelurahan Pejeruk pada

bulan Desember 2019 sampai dengan Januari 2020. Yang menjadi sampel pada penelitian

ini yaitu balita yang menderita BGM di Lingkungan Kelurahan Pejeruk periode tahun 2019

yang memiliki riwayat BGM. Total sampel yang diperoleh sebanyak 34 responden.

4.2 HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Pengambilan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data primer yakni dengan

melakukan wawancara kepada ibu responden di Puskesmas Pejeruk dan Lingkungan

Kelurahan Pejeruk.

Adapun hasil yang diperoleh disajikan sebagai berikut:

4.2.1 Analisa Univariat

4.2.1.1 Karakteristik Responden

o Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

BGM

Umur Frekuensi Persentasi

6 bulan - 2 tahun 6 Orang 17,65 %

>2 tahun -5 tahun 28 Orang 82,35 %

Sumber : Data sekunder yang diolah

32
Tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah responden kategori usia 6

bulan sampai 2 tahun sebanyak 6 orang dengan persentasi 17,65%,

dan yang berusia > 2 tahun sampai 5 tahun sebanyak 28 orang dengan

persentasi 82,35%, sehingga jumlah keseluruhan responden sebanyak

34 orang dengan persentasi 100%. Persentasi responden berdasarkan

umur dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut :

BGM Berdasarkan Umur


82.35%

BGM Berdasarkan
Umur

17.65%

6 bulan - 2 tahun > 2 tahun - 5 tahun

Gambar 4.1 Persentasi Responden Berdasarkan Umur


Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa responden yang

berusia 6 bulan sampai 2 tahun sebesar 17,65% dan jumlah responden

yang berusia > 2 tahun sampai 5 tahun sebesar 82,35%, sehingga

jumlah keseluruhan responden sebanyak 140 orang dengan persentase

100%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase responden yang berusia

> 2 tahun sampai 5 tahun lebih besar dibandingkan dengan responden

yang brusia 6 bulan sampai 2 tahun.

33
o Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin

BGM

Jenis Kelamin Frekuensi Persentasi

Laki-laki 11 orang 32,35%

Perempuan 23 orang 67,65%

Total 34 orang 100%

Sumber : Data sekunder yang diolah

Tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah responden yang berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 11 orang dengan persentasi 32,35% dan jumlah

responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 23 orang dengan

persentase 67,65% sehingga jumlah keseluruhan responden sebanyak 140

orang dengan persentase 100%. Persentasi responden berdasarkan jenis

kelamin dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut :

67.65%

32.35% Laki-laki
Perempuan

BGM dengan Anemia

Gambar 4.2 Persentasi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

34
Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa sebesar

32,35% responden yang berjenis kelamin laki-laki dan sebesar

67,65% responden yang berjenis kelamin wanita.

Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase responden yang

berjenis kelamin perempuan lebih besar dibandingkan dengan

responden yang berjenis kelamin laki-laki.

Ini sejalan dengan penelitian Hafzah (2018) merumuskan dari

penelitianya bahwa kejadian BGM pada perempuan (58,4%) lebih

tinggi daripada laki-laki (41,6%), yaitu prevalensi ratio 2.4.

o Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Anemia

Tabel 4.3 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Kejadian Anemia

Responden

HB Frekuensi Persentasi

Anemia 21 Orang 61,77 %

Tidak 13 orang 38,23%


Anemia

Jumlah 34 orang 100%

Sumber : Data sekunder yang diolah

Tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah responden dengan anemia

sebanyak 21 orang dengan persentase sebesar 61,77% sedangkan

35
responden dengan tidak anemia sebanyak 13 orang dengan persentase

sebesar 38,23% sehingga jumlah keseluruhan responden sebanyak 34

orang dengan persentase 100%. Persentase responden berdasarkan

anemia dan tidak anemia dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut :

Responden
61.77%

38.23% Frekuensi

Anemia Tidak Anemia

Gambar 4.3 Persentasi Responden Berdasarkan Anemia dan

Tidak Anemia

Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa sebesar

61,77% responden dengan anemia dan sebesar 38,23% responden

dengan tidak anemia.

Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase responden

dengan anemia lebih besar dibandingkan dengan responden dengan

tidak anemia.

Ini sejalan dengan penelitian Hafzah (2018) merumuskan dari

penelitianya bahwa kejadian BGM dengan anemia (95,8%) lebih

tinggi daripada yang tidak anemia(4,2%).

36
Salah satu penyebab anemia adalah dapat disebabkan oleh faktor

defisiensi atau kekurangan bahan-bahan yang berasal dari luar yaitu

makanan. Anemia bisa disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang

diperlukan dalam pembentukan dan produksi sel-sel darah merah

(Sadikin, M, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian ini yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan

kejadian anemia pada balita. Anak balita yang memiliki status gizi

tidak normal lebih beresiko mengalami anemia dibandingkan dengan

anak balita yang berstatus gizi normal. Hal ini sejalan pula dengan

hasil penelitian Andriana (2006) yang menunjukkan bahwa status gizi

berhubungan dengan kejadian anemia pada balita.

o Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian ASI

Ekslusif dan ASI Non Ekslusif

Tabel 4.4 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Pemberian ASI Ekslusif dan ASI Non Ekslusif

Responden

Pemberian ASI Frekuensi Persentasi

ASI Ekslusif 14 Orang 41,18 %

ASI Non Ekslusif 20 Orang 58,82%

Jumlah 34 Orang 100%

Sumber : Data sekunder yang diolah

37
Tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah responden dengan ASI

ekslusif sebanyak 14 orang dengan persentase sebesar 41,18%

sedangkan responden dengan ASI non ekslusif sebanyak 20 orang

dengan persentase sebesar 58,82% sehingga jumlah keseluruhan

responden sebanyak 34 orang dengan persentase 100%. Persentase

responden berdasarkan ASI ekslusif dan ASI non ekslusif dapat dilihat

dalam diagram sebagai berikut :

Pemberian ASI
58.82%

41.18%
Frekuensi

ASI ekslusif ASI non ekslusif

Gambar 4.4 Persentasi Responden Berdasarkan ASI Ekslusif

dan ASI Non Ekslusif.

Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa sebesar 41,18%

responden dengan ASI ekslusif dan sebesar 58,82% responden dengan

ASI non ekslusif.

Hal tersebut menunjukkan bahwa persentasi responden dengan ASI

non ekslusif lebih besar dibandingkan dengan responden dengan ASI

ekslusif.

38
ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu

formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah

dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja

ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna. Selain itu, ASI

mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak

jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang

mencukupi kebutuhan bayi (Citrakesumasari, 2012). Pertiwi, 2006,

dalam penelitiannya “Hubungan Karakteristik ibu dengan pemberian

ASI Eksklusif dengan penyakit infeksi dan status gizi pada balita yang

dilaksanakan di Semarang”, diperoleh adanya hubungan antara usia,

pekerjaan , pengalaman menyusui sebelumnya dan tingkat pendidikan

ibu dengan status gizi balita hubungan dengan sgnifikanis statistik

p=0,017 ditemukan pada pengujian hipotesis adanya hubungan antara

lama pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita.

39
o Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyebab Tidak

Memberi Bayi ASI Ekslusif

Tabel 4.5 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyebab Tidak Memberi

Bayi ASI Ekslusif

Sumber : Data Responden

sekunder yang Penyebab Frekuensi Persentasi


Puting Susu Lecet 0 Orang 0%
diolah
Karena Kesibukan 4 Orang 20 %
Penyakit Ibu 0 Orang 0%
Pengetahuan 13 Orang 65%
Faktor suami 0 Orang %
Budaya 3 Orang 15%
Total 20 Orang 100 %

Tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah responden karena kesibukan

ibu sebanyak 4 orang dengan persentase sebesar 20%, karena

kurangnya pengetahuan ibu sebanyak 13 orang dengan persentase

65%, karena faktor budaya sebanyak 3 orang dengan persentase 15%

sedangkan responden dengan puting susu lecet, faktor suami, dan

penyakit ibu tidak ada, sehingga jumlah keseluruhan responden

sebanyak 20 orang dengan persentase 100%. Persentase responden

berdasarkan penyebab tidak memberi bayi ASI ekslusif dapat dilihat

dalam diagram sebagai berikut :

40
Penyebab Tidak Memberi Bayi
ASI Ekslusif
65.00%

20.00% Frekuensi
15.00%
0.00% 0.00% 0.00%

et n u n i ya
lec uka it ib
hua u am da
s u
su sib ak
ge
ta r b
g su ke eny n kto
a P e fa
tin re
n P
Pu Ka

Gambar 4.5 Persentasi Responden Berdasarkan Penyebab

Tidak Memberi Bayi ASI Ekslusif

Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa sebesar 20%


responden karena kesibukan ibu, sebesar 65% responden dengan
pengetahuan yang rendah tentang pentingnya ASI ekslusif, sebesar
15% karena budaya sekitar, dan sebesar 0% karena faktor puting susu
lecet, penyakit ibu, dan faktor suami.

Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase responden dengan


pengetahuan ibu yang rendah menjadi faktor yang terbesar kenapa
bayi tidak mendapatkan ASI ekslusif.

Ini sejalan dengan penelitian Nofiani (2015) merumuskan dari


penelitianya bahwa pengetahuan ibu yang cukup pengetahuan tentang
pentingnya ASI ekslusif (72,3%) lebih tinggi daripada yang memiliki
pengetahuan yang kurang tentang pentingnya ASI ekslusif (27,7%)
terhadap kejadian BGM.

41
4.2.2 Analisa Bivariat

Analisis yang digunakan untuk perkiraan besarnya risiko pada hubungan antara

variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent) dihitung dengan rumus

odds ratio (OR) = AD / BC, yakni perbandingan antara prevalensi efek pada

kelompok subyek yang memiliki penyebab dengan prevalensi efek pada kelompok

subyek tanpa penyebab menggunakan tabel 2x2.

Tabel 4.6 Tabel 2 X 2 ASI Non Ekslusif, ASI Ekslusif, dan BGM dengan

Anemia

BGM

Pemberian ASI Anemia Tidak Anemia Jumlah

ASI Non Ekslusif (A) 16 (80%) (B) 4 (20%) 20

ASI Ekslusif (C )5 (35,71%) (D) 9 (64,29%) 14

Jumlah 21 13 34

Sumber : Data sekunder yang diolah

OR = AD / BC

= (16X9) / (4X5)

= 144 / 20

= 2,880

Berdasarkan tabel silang dan perhitungan odds ratio di atas diperoleh hasil odds

ratio (OR) sebesar 2,88, hal ini menunjukkan bahwa variabel independen dalam

penelitian yaitu bayi dengan ASI non ekslusif merupakan faktor risiko untuk

mempengaruhi terjadinya anemia pada bayi BGM, dimana bayi yang dengan ASI

42
non ekslusif memiliki risiko 2 kali lipat atau hampir 3 kali lipat menderita anemia

pada bayi BGM dibandingkan dengan bayi yang dengan ASI ekslusif.

Salah satu penyebab anemia adalah tidak di berikannya ASI secara ekslusif sampai

usia 6 bulan sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh bayi sehingga gampang sakit.

Apabila daya tahan tubuh buruk, menyebabkan bayi memiliki risiko menderita

penyakit kronis tinggi dan mengakibatkan status besi jadi menurun (Ghassemi,

2014).

Untuk mengetahui perbandingan antara ASI non ekslusif dan ASI ekslusif dengan

risiko terjadinya anemia pada bayi BGM, peneliti menggunakan Chi-Square test.

Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Chi-Square Test

Uji Value Signifikansi (P-Value)


Pearson Chi-Square 6.839a 0.009
Sumber: data sekunder yang diolah

Berdasarkan analisis menggunakan chi-square test diperoleh nilai p=0,009 yang

lebih kecil dari nilai α (0,05), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara kasus bayi BGM dengan ASI non ekslusif terhadap terjadinya

anemia daripada bayi BGM dengan ASI ekslusif.

43
Tabel 4.8 Tabel Uji Contingency Coefficient

Uji Value Signifikansi (P-Value)


Contingency Coefficient 0.509 0.009

Sumber : Data sekunder yang diolah

Berdasarkan tabel 4.5 hasil uji korelasi di atas, didapatkan juga nilai signifikansi p =

0,009 yang berarti lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian menunjukkan H0

ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada hubungan signifikan antara bayi BGM

dengan ASI non ekslusif terhadap terjadinya anemia, diperoleh juga nilai p value =

0,509 yang menunjukkan bahwa tingkat hubungan yang kuat dan tanda positif pada

p value menunjukkan bahwa ada hubungan searah, sehingga jika bayi BGM dengan

ASI non ekslusif akan semakin berisiko terjadinya anemia di Lingkungan

Puskesmas Pejeruk.

Ini sejalan dengan penelitian (Ouff, 2015) dimana dalam penelitiannya didapatkan

juga nilai signifikansi p = 0,020 yang berarti lebih kecil dari nilai α (0,05), bahwa

bayi BGM dengan pemberian makanan selain ASI sebelum usia 6 bulan berisiko

lebih tinggi menderita anemia defisiensi besi.

Pemberian MP ASI terlalu dini akan mengakibatkan anak minum ASI lebih sedikit

dan ibu akan memproduksi ASI nya lebih sedikit sehingga akan lebih sulit untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi. Anak juga mendapat faktor pelindung ASI lebih

sedikit shingga resiko infeksi meningkat, risiko diare berat juga meningkat karena

makanan tambahan tidak sebersih ASI sehingga risiko terjadinya anemia jadi tinggi

(Ouff, 2015).

44
4.3 KETERBATASAN PENELITIAN

1. Peneliti mengabaikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi BGM dalam penelitian

ini seperti: diare dan penyakit kronis lainnya.

2. Pada hal sampel, peneliti mengalami kesulitan dalam hal mengumpulkan semua

populasi yang didiagnosa BGM karena beberapa faktor seperti: bayi dibawa kerja sama

ibunya saat dilakukan penelitian, bayi sudah tidak tinggal di alamat yang tertera dan

beberapa faktor lainnya.

3. Hal-hal di atas dikarenakan terbatasnya jumlah waktu dan sampel untuk diteliti. Selain

itu juga karena hal-hal tersebut diluar kemampuan peneliti untuk diteliti.

45
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa bayi BGM dengan ASI non

ekslusif mempunyai risiko menderita anemia lebih tinggi daripada bayi BGM dengan ASI

ekslusif di Lingkungan Kelurahan Pejeruk. Ini dapat dilihat dari hasil analisa Contingency

Coeffisient yang menunjukkan nilai p = 0.009 (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa bayi BGM

dengan ASI non ekslusif sebagai faktor risiko menderita anemia di Lingkungan Kelurahan

Pejeruk.

1.2 SARAN

1. Kepada institusi

a) Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bacaan diperpustakaan dan sebagai

referensi penelitian selanjutnya.

b) Perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ASI Ekslusif, diantaranya

dengan cara melakukan konseling kepada masyarakat terutama yang memiliki bayi.

c) Untuk menghindari pengenalan MP-ASI terlalu dini, perlu diberikan penguatan

dengan penekanan melalui konseling dan pemberian materi bahwa dengan ASI saja

sudah cukup sampai usia 6 bulan (tanpa pemberian MP-ASI).

2. Kepada masyarakat

Menjadikan masukan bagi ibu untuk memberikan ASI Eksklusif bagi bayi agar dapat

terhindar dari BGM maupun anemia.

46
3. Kepada kader kesehatan

Menjadikan masukan untuk kader agar memberikan penyuluhan tentang arti pentingnya

pemberian ASI Eksklusif, perbaikan status gizi sejak masa prekonsepsi dan selama

kehamilan, serta status ekonomi untuk mampu menurunkan kejadian BGM.

4. Kepada peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan agar meneliti faktor lain yang berhubungan dengan

kejadian BGM pada balita seperti ASI Eksklusif dan status gizi atau ekonomi keluarga,

serta melakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar.

47
Refrensi

Andarina. 2006. Hubungan Status Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin pada Balita Usia 13–36
Bulan. The Indonesian Journal of Public Health.3(1):19-23.

Andrew, NC. 2004. Iron Deficiency and Related Disorders in Wintrobe Clinical Hematology.
11th ed. Lippincott Williams & Wilkins

Citrakesumasari. 2012. Anemia Gizi, Masalah dan Pencegahannya. Kalika.Yogyakarta:9-10.

Bakta IM. 2007. Hematologi Ringkas. Jakarta: EGC;: 26-39.

Baskoro, Anton, 2008, ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Yogyakarta Banyumedia

Beutler E. 2006. Disorders of Iron metabolisme in Williams Hematology. 7th ed. McGraw-Hill;
511-53.

Dasiyanti. 2016. Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang PemberianMakanan Pendamping Asi (Mp-
Asi) pada BayiUsia 6-12 Bulan Di Puskesmas PoasiaKota KendariTahun 2016.
Politeknik Kesehatan KendariJurusan Kebidanan

Departemen Kesehatan R.I. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP-ASI) Lokal. Available on : http://gizi. depkes.go.id/asi/Pedoman%20MP-ASI
%20Lokal.pdf. diakses pada tanggal 26 Januari 2020

Ghassemi, A., & Keikhaei, B. (2014). Effects of Nutritional Variables in Children with Iron
Deficiency Anemia. International Journal of Pediatric, 2(7), 183–187

Giyantini, Henne. 2013. Perbedaan Status Besi Bayi Normal yang Mendapat Air Susu Ibu
Eksklusif dengan Susu Formula Standar. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Hafzah. 2018. Hubungan Status Besi Bayi yang Mendapat ASI Eksklusif dengan ASI Non
Eksklusif. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah
Mada, Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakrta
Hajrah.2016. Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Pemberian Makanan Pendamping
Asi (Mp-Asi) Dini Di Rb. Mattiro Baji Kabupaten Gowa Tahun 2016.Jurusan Kebidanan

48
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (Uin) Alauddin
Makassar

Hayati, Alis Wirda.2009. Buku Saku Gizi Bayi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Hoffbrand A, Petit J, Moss P. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC; 2005:11-18.

Husaini, Anwar.2001. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Huwae. 2005, Hubungan antara Status Gizi dan Kadar Hb dengan Prestasi Belajar Murid SD di
Daerah Endemis Malaria (tesis yang tidak dipublikasikan), Program Sarjana UGM

IDAI. 2015. Rekomendasi suplementasi besi pada bayi dan anak. Diunduh pada:
http://www.idai.or.id/rekomendasi/artikel.asp?q=201201161038 pada 19 desember 2020.

Khomsan. 2009. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Krisnatuti,D & Rian Y, 2004, Menyiapkan Makanan Pendamping ASI, Cetakan keempat, Jakarta
: Puspaswara

Muthalib, Abdul. 2009. Kelainan Hematologi.Jakarta: PT Bina Pustaka

Novitasari et al. 2016. “Determinan Kejadian Anak Balita Di Bawah Garis Merah Di Puskesmas
Awal Terusan”. Jurnal Ilmu Kesehatab Mmasyarakat. Universitas Sriwijaya
Ouf, N., & Jan, M. (2015). The impact of maternal iron deficiency and iron deficiency anemia.
Saudi Medical Joiurnal, 36(2), 146–149. https://doi.org/10.15537/smj.2015.2.10289
Pertiwi. 2006. “Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Penyakit
Infeksi Dan Status Gizi Pada Balita Yang Dilaksanakan Di Semarang”. Fakultas
Kedokteran Unisula: Semarang.
Riskani. 2012. Keajaiban ASI. Jakarta : Dunia Sehat
Riskesdas. 2018. “Hasil Utama Riskesdas 2018”. Kementerian Kesehatan Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan
Rosanti, Ike. 2009. “Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada Anak Balita di
Wilayah Bendan Ngisor Kota Semarang”. Skripsi, Teknologi Jasa dan Produksi,
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang
Sadikin, M. 2002. Biokimia Darah. Widya Medika.

49
Sastroasmoro, S. dan Ismail, S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi III.
Jakarta: CV Agung Seto.
Soegijanto S. 2004. Anemia Defisiensi Besi Pada Bayi Dan Anak. IDI .Jakarta
Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian Cetakan ke-17. Bandung: CV. Alfabeta
Suhardjo. 2000. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta.
Supariasa. 2001, Penilaian Status Gizi, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
WHO, 2005. Definisi Bayi BGM. Available on: andhika.blog.uii.ac.id/noted/2013/bayi-bgm-
PDF.pdf (diakses pada tanggal 26 Januari 2020)
WHO, 2006. Definisi ASI Ekslusif. Available on: dyahpurnamasari.blog.unsoed.ac.id/files
/2011/ASI Ekslusif-PDF.pdf (diakses pada tanggal 26 Januari 2020)

50
LAMPIRAN 1

KUISIONER PEELITIAN

Nama Bayi : Tanggal Wawancara:


Nama Ibu : Nomer Responden :
TTL : Usia :
Alamat : BB/PB :
HB :
1.      Apakah ibu memberikan ASI saja tanpa makanan tambahan lainnya sampai usia 6 bulan?
a.       Ya
b.      Tidak
2.      Apakah ibu mengalami puting susu lecet sehingga menghentikan pemberian ASI sebelum 6
bulan?
a.       Ya
b.      Tidak
3.      Apakah karena kesibukan ibu sehari-hari sehingga ibu memberikan ASI disertai makanan
tambahan atau susu formula sebelum 6 bulan?
a.       Ya
b.      Tidak
4.      Apakah ibu mengalami penyakit tertentu sehingga ibu tidak memberikan ASI sampai 6 bulan?
a.       Ya
b.      Tidak
5.      Apakah ibu tidak mengetahui pentingnya pemberian ASI sehingga ibu tidak memberikan ASI
saja sampai 6 bulan?
a.       Ya
b.      Tidak
6.      Apakah ibu pernah diberikan anjuran oleh bidan atau dokter harus memberikan ASI saja
sampai 6 bulan?
a.       Ya
b.      Tidak
7.      Apakah ibu tidak diperbolehkan suami untuk memberikan ASI saja sampai 6 bulan?
a.       Ya
b.      Tidak
8.      Apakah budaya di tempat ibu menganjurkan untuk memberikan makanan tambahan sebelum
bayi berusia 6 bulan?
c.       Ya
d.      Tidak

PEMBERIAN ASI EKSLUSIF HANYA DITENTUKAN PADA NO 1


SEDANGKAN NO 2-8 ADALAH ALASAN TIDAK DIBERIKANNYA ASI EKSKLUSI

51
LAMPIRAN 2

OLAHAN DATA

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6,839a 1 ,009
Continuity Correctionb 5,092 1 ,024
Likelihood Ratio 6,969 1 ,008
Fisher's Exact Test ,014 ,012
Linear-by-Linear Association 6,638 1 ,010
N of Valid Cases 34
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,35.
b. Computed only for a 2x2 table

PERIODE PEMBERIAN ASI * HB Crosstabulation


Count
HB
ANEMIA TIDAK ANEMIA Total
PERIODE PEMBERIAN ASI ASI EKSLUSIF 5 9 14
ASI NON EKSLUSIF 16 4 20
Total 21 13 34

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
PERIODE PEMBERIAN ASI 34 100,0% 0 0,0% 34 100,0%
* HB

Symmetric Measures
Approximate
Value Significance
Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,509 ,009
N of Valid Cases 34

52
LAMPIRAN 3

DAFTAR RESPONDEN

NO. KODE JK UMUR HB ASI EKSKLUSIF


1 FN P 3,10 11,4 IYA
2 FK P 4,2 10,5 TIDAK
3 RR L 1,8 9,2 TIDAK
4 GR P 4,6 9,1 TIDAK
5 MF L 3,9 10,7 IYA
6 ZM P 2,8 10,2 TIDAK
7 RD P 3,3 10,6 TIDAK
8 MH P 3,5 10,6 TIDAK
9 BA P 3,1 8,6 IYA
10 MY L 3,7 9,2 TIDAK
11 LM P 4 10,4 TIDAK
12 IH P 3,1 10,6 TIDAK
13 Z P 3,3 10,4 IYA
14 MA L 3,5 9,2 TIDAK
15 NR P 2 10,8 IYA
16 DM P 3 10,6 TIDAK
17 AS P 3,8 10,8 TIDAK
18 AH L 2,8 11,1 IYA
19 KB P 1,10 12,2 TIDAK
20 MP P 2,8 10,8 TIDAK
21 AM L 3,10 10,6 IYA
22 AF L 1,8 10,9 TIDAK
23 NP P 3,3 10,9 TIDAK
24 SO P 4,2 13,2 IYA
25 SA P 3 11,6 IYA
26 NS P 3,7 11,6 IYA
27 NL P 2 11 IYA
28 CP P 4,3 12,9 IYA
29 AA P 3,6 11,9 IYA
30 HS L 4,6 11,3 IYA
31 RA L 1,8 11,9 TIDAK
32 ZA L 2,3 10,4 TIDAK
33 GP L 3,8 11,6 TIDAK
34 VM P 2,7 13,6 TIDAK

53
LAMPIRAN 4

DOKUMENTASI

54

Anda mungkin juga menyukai