Anda di halaman 1dari 16

WUDHU

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “ Fiqih”

Dosen Pengampu:

H. Ubaidillah, S.HI

Disusun Oleh Kelompok 2 :

1. Nur Isti Ana


2. Della Rachmalia
3. Najwah Mumtaz Khoridah
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SAWANGAN KOTA DEPOK
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah Swt atas segala berkah dan rahmat-Nya
yang telah diberikan, sehingga kami mampu menyelesaikan tugas makalah dengan judul

“WUDHU” Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih.

Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, kami menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan
saran sangat kami nantikan. Agar pembuatan Makalah selanjutnya kami akan lebih baik lagi.
Terimakasih.

Dalam pelaksanaan tugas tersebut, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga
penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini perkenankan kami
menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

- Bapak H. Ubaidillah, S.HI

- Rekan-rekan mahasiswa STAISKA yang telah memberikan dukungan baik moral, material,
sertasaran-sarannya.

Depok, 30 September 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………………………1


A. Latar Belakang ...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Wudhu ..........................................................................................................4
B. Syarat dan Fardhu Wudhu...............................................................................................5
C. Hal-hal yang Membatalkan Wudhu ...............................................................................7
BAB III PENUTUP 10
Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hokum islam, soal bersuci dan segala seluk-beluknya termasuk
bagianilmudan amalan yang penting, terutama karena diantara syarat-syarat sholat telah
ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan sholat diwajibkan suci dari hadatsdan
suci pula badan, pakaian, dan tempatnya.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

َ‫اِ َّن اهّللا َ ي ُِحبُّ التّوابين ويحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّر ْين‬

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai


orang-orang yang mensucikan diri." (Al-Baqarah: 22).

Bersuci ada dua bagian: bersuci dari hadats dan bersuci dari najis, bersuci dari
hadats yaitu khusus untuk badan, seperti mandi, berwudhu, dan tayamum. Dan bersuci dari
najis yaitu bagian yang berlaku pada badan, pakaian dan tempat.
Barang siapa yang hendak mengerjakan sholat wajiblah ia berwudhu terlebih
dahulu. Berwudhu adalah salah satu syarat sahnya sholat, orang yang belum berwudhu
dinamakan masih berhadats kecil. Jadi untuk menghilangkan hadats kecil itu orang harus
bersuci terlebih dahulu dengan berwudhu.
Wudhu menurut lughat adalah perbuatan, menggunakan air pada anggota tubuh
tertentu, sedangkan wadhu' ialah air yang digunakan untuk berwudhu. Berwudhu adalah
cara untuk menghilangkan hadats kecil. Wudhu dilakukan ketika hendak beribadah, yang
mengharuskan adanya kebersihan dan kesucian dari hadas kecil.
1

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian wudhu?
2. Apa saja syarat dan fardhu (rukun) berwudhu ?
3. Apa yang membatalkan wudhu?

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini kami buat bertujuan untuk :
1. Untuk memahami makna berwudhu
2. Untuk menjelaskan syarat-syarat dan sesuatu yang membatalkan wudhu.
3. Untuk menambah pengetahuan seputar berwudhu.
2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wudhu
Menurut lughat, wudhu' adalah perbuatan, menggunakan air pada anggota tubuh
tertentu, sedangkan wadhu' ialah air yang digunakan untuk berwudhu'. Kata ini
berasal dari wadha'ah yang berarti baik dan bersih. Dalam istilah syara', wudhu' ialah
perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat.
Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, wudhu' diwajibkan
sebelum hijrah yaitu pada malam isra'-mi'raj, bersamaan dengan kewajiban sholat
lima waktu. Mula-mula wudhu' itu diwajibkan setiap kali hendak melakukan sholat,
tetapi kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats.
Adapun dalil-dalil wajibnya wudhu' ialah:
1. Ayat Al-Qur'an:

‫ ُك ْم‬CC‫س‬ ِ ‫ ُح ْوا ِب ُر ُء ْو‬CC‫س‬ ِ ‫ ٰلو ِة فَا ْغ‬C ‫الص‬


ِ ِ‫ ِديَ ُك ْم اِلَى ا ْل َم َراف‬C ‫ ْو َه ُك ْم َواَ ْي‬C‫لُ ْوا ُو ُج‬C ‫س‬
َ ‫ق َوا ْم‬CC ْٓ Cُ‫ٰ ٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمن‬
َّ ‫وا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى‬C
‫َواَ ْر ُجلَ ُك ْم اِلَى ا ْل َك ْعبَ ْي ۗ ِن‬

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan


salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki…(Al-
Ma'idah/5: 6).

2. Hadits Rasulullah Saw:


‫َث َحتَّى يَتَ َوضَّأ‬ َ ‫اَل يَ ۡقبَ ُل هللا‬
َ ‫صاَل ةَ َأ َح ِد ُكمۡ ِإ َذا َأ ۡحد‬ َ

“Allah tidak menerima salat salah seorang kalian apabila ia telah berhadas
sampai ia berwudu terlebih dulu.”(HR. Bayhaqi, Abu Daud dan Tirmidzi).

3. Ijma' ulama, dalam hal ini tidak ada sama sekali pendapat yang mengatakan
bahwa wudhu itu tidak wajib.
Untuk sahnya wudhu' harus terpenuhi beberapa syarat dan fardhu. Akan tetapi
untuk kesempurnaannya ada beberapa hal yang sunnah dilakukan pada waktu
berwudhu'.

3
B. Syarat dan Fardhu (Rukun) Wudhu
1. Syarat sahnya wudhu ialah:
a. Islam, karena wudhu' itu termasuk ibadah, maka tentu saja ia tidak sah
kecuali dilakukan oleh orang muslim
b. Tamyiz
c. Air mutlak
d. Tidak yang menghalangi, baik hissy maupun syar'i
e. Masuk waktu sholat (khusus bagi orang yang hadatsnya berkepanjangan)
2. Fardhu (Rukun) wudhu' ada enam yaitu:
a. Niat
Niat artinya menyengaja (qashd) sesuatu serentak dengan
melakukannya. Tempat dan pelaku niat itu adalah hati, namun sunah
menyertainya dengan ucapan lisan untuk pernyataan sengaja yang didalam
hati itu.
Niat adalah salah satu fardhu atau rukun wudhu. Tanpa niat, berarti
wudhu' itu tidak lengkap sehingga tidak sah. Kewajiban niat didasarkan atas
hadits Nabi Saw.
ِ ‫اِنّمااال ْع َما ُل بِالنّيَا‬
‫ت‬

"Sesungguhnya tiap-tiap amal didahulukan dengan niat."

Waktu untuk berniat itu ialah pada awal membasuh muka. Jika niat
tidak tepat dilakukan pada awal basuhan, maka bagian muka yang terbasuh
sebelum berniat dipandang sia-sia sehingga wajib diulangi membasuhnya
kembali.
Berkenaan dengan kedudukan niat didalam wudhu ini ada sebagian
ulama yang memandangnya sebagai syarat, bukan rukun. Bahkan Imam
Abu Hanifah dan Sufyan Sawry berpendapat bahwa niat tidak disyaratkan
pada wudhu, sebab mereka memandang bahwa wudhu bahwa wudhu itu
bukan ibadah mahdah.

4
b. Membasuh muka
Membasuh muka diwajibkan berdasarkan perintah membasuh muka
pada surat al-Ma'idah, ayat 6 diatas

‫فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم‬

"... maka basuhlah mukamu… " (Al-Ma'idah/5: 6)

Basuhan itu mesti merata keseluruh wajah yaitu bagian depan kepala.
Batas yang wajib dibasuh ketika berwudhu' ialah , memanjang dari tempat
tumbuh rambut sampai dengan ujung dagu dan melintang dari daun telinga
lainnya.
c.Membasuh tangan
Kewajiban membasuh kedua tangan pada wudhu didasarkan atas
firman Allah Swt:

‫ق‬ َ ‫َواَي ِديكم الى‬


ِ ِ‫المراف‬

"… dan tanganmu sampai dengan siku …"

Basuhan itu meliputi keseluruhan tangan dari ujung-ujung jari sampai


dengan kedua siku. Kedua siku termasuk bagian yang wajib dibasuh.
Dalam membasuh tangan ini pun, air harus sampai kepada seluruh
kulitdan bulu yang ada ditangan. Jika terdapat kotoran yang menghalangi
sampainya air ke ujung jari dibawah kukunya maka wudhu'nya tidak sah.
d.Menyapu kepala
Yang dimaksud dengan menyapu kepala ialah sekedar menyampaikan
air tanpa mengalir , dengan meletakkan ''tangan" yang basah pada kepala.
Kewajiban menyapu kepala didasarkan atas:

‫ُوُؤس ُكم‬
ِ ‫َوام َسحُوا بِر‬

"… dan sapulah kepalamu…"

Hadits Mughirah yang mengatakan bahwa ketika Nabi saw berwudhu', beliau menyapu
ubun-ubun dan sorbannya, kemudian menyapu kedua khufnya (H.R. Muslim).

Menurut Imam Malik, menyapu sebagian kepala saja tidak cukup, tetapi wajib menyapu
seluruhnya. Dalil beliau ialah bahwa kita diperintahkan menyapu kepala dan yang
dinamakan kepala itu keseluruhannya. Dengan demikian, berarti kita diperintahkan
menyapu seluruh kepala.

Menurut Imam Abu Hanifah, batas yang wajib disapu itu ialah seperempat bagian dari
kepala. Dalil beliau adalah pada ayat berwudhu' terdapat perintah menyapu kepala. Alat
utama untuk menyapu ialah telapak tangan. Darinitu dapat dipahami bahwa yang wajib
disapu itu adalah kira-kira selebar telapak tangan, yakni kira-kira seperempat bagian kepala.

e.Membasuh kaki

Membasuh kaki adalah wajib. Berdasarkan;

‫َواَرْ ُجلَ ُكم الى ْال َكعبَي ِن‬

"… dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki (Al-Ma'idah/5:
6)."

Hadits Jabir yang mengatakan bahwa Nabi saw memerintahkan agar


membasuh kaki bila berwudhu. Kewajiban ini berlaku bagi setiap orang
yang berwudhu, kecuali jika ia menyapu khuf dengan ketentuan dan syarat-
syarat.

Dalam membasuh kaki ini, kedua mata kaki ini, kedua mata kaki
mesti ikut terbasuh, sebab pada ayat diatas disebutkan 'sampai kedua mata
kaki'. Para ulama tafsir menafsirkannya dengan 'beserta kedua mata kaki'.
Jika dikaki terdapat sesuatu yang menghalangi air, misalnya kotoran
dibawah kuku, maka wajib membuangnya terlebih dahulu, agar ia benar-
benar sampai keseluruh kaki.

f.Tertib
Tertib ialah melakukan rukun-rukun wudhu' itu sesuai dengan
urutannya. Melainkan, ada juga yang mengatakan bahwa tertib itu tidak
wajib, hanya sunnah saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah,
Sawry, Daud al-Zahiry, dan sebagian ulama Malikiyah.

C. Hal-hal yang Membatalkan Wudhu


Orang yang tekah berwudhu' dipandang suci dari hadats, akan tetapi ada
beberapa hal yang dapat menghilangkan kesuciannya itu dan menyebabkanberhadats
kembali. Inilah yang disebut (nawaqid al-wudhu') (yang membatalkan wudhu') atau
(asbab al-hadats) (sebab-sebab berhadats). Jika seseorang mengalaminya maka ia
kembali berhadats.

Yang membatalkan wudhu itu ada lima, yaitu:

1. Keluar sesuatu dari qubul atau dubur, berupa apapun, benda padat, angina, atau
cairan kecuali air maninya sendiri, baik yang bisa maupun tidak keluar dengan
sendirinya atau dikeluarkan daripadanya.

Hadits yang menceritakan bahwa Ali r.a selalu keluar mazi dan menyuruh al-
Miqdad ibn al-Aswad al-Kindy menanyakan masalah itu kepada Nabi Saw.
Beliau menjawab:

ُ‫غس ُل َذ َك َره‬
ِ َ‫لِي‬

"Dibasuhnya saja zakarnya. (HR. Bukhori dan Muslim)."

Hadits tentang orang yang ragu-ragu bahwa telah keluar sesuatu (angin) dari
perutnya, lalu Nabi saw berkata:

‫صوْ تا اوْ يج ُد ريْحا‬ َ ‫اليَ ْن‬


َ ‫صرفُ َحتى يَسم َع‬

"Janganlah kau berpaling (keluar dari sholat) sampai ia mendengar atau mencium
bau".
7

Dari dalil dapat dipahami bahwa tinja, mazi dan angin yang keluar dari qubul
atau dubur adalah membatalkan wudhu, kemudian yang lain-lainya diqiyaskan,
sehingga semua yang keluar dari qubul atau dubur dianggap membatalkan wudhu,

Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa Imam Abu Hanifah, Tsawry, Ahmad dan
beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa setiap najis yang keluar dari tubuh itu
membatalkan wudhu, walaupun tidak dari qubul atau dubur. Imam Malik dan
sebagian besar sahabatnya berpendapat bahwa benda-benda itu akan
membatalkan wudhu bila keluar dari qubul atau dubur dan merupakan benda yang
biasa keluar darinya.

2. Tidur, kecuali dalam keadaan duduk dengan mantap


Rasulullah saw bersabda:

‫ْالعينان ِو َكا ُء ال َّس ِة فَ َم ْن نَا َم فَ ْليَتَ َوضَّا‬


"Kedua mata merupakan pengikat dari dubur, maka barang siapa tidur hendaklah
ia berwudhu". (HR. Abu Daud)

Ketika sesorang tidur, biasanya dari duburnya akan keluar sesuatu tanpa ia
sadari. Oleh karena itu, Nabi saw menetapkan bahwa tidur itu membatalkan
wudhu. Akan tetapi, jika ia tidur dalam keadaan duduk dengan ilyah menempel
rapat ketempat duduknya, maka tidak ada kemungkinan keluarnya sesuatu dari
duburnya.

Namun, bagi orang yang tidur dengan duduk itu tetap disunnahkan untuk
berwudhu, untuk menghindari khilaf.

3. Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk, pitam, penyakit atau lainnya.
Batalnya wudhu dengan hilang akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur,
dengan kehilangan kesadaran sebagai persamaannya.
4. Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dibatasi pada
sentuhan:
a. Antara kulit dengan kulit
b. Laki-laki dengan perempuan yang telah mencapai usia syahwat
c. Diantara mereka tidak ada hubungan mahram
d. Sentuhan langsung tanpa alas atau penghalang

Sentuhan yang memenuhi ketentuan ini membatalkan wudhu dengan


tidak membedakan apakah itu terjadi dengan sengaja atau tidak.
Sedangkan menurut Abu Hanifah bahwa menyentuh perempuan tidak
membatalkan wudhu, sebab menurut beliau yang dimaksud dengan
(lamatsum) pada ayat diatas adalah bersetubuh.
8

5. Menyentuh kemaluan manusia dengan perut telapak tangan tanpa


alas. Menurut Abu Hanifah, menyentuh kemaluan sama sekali tidak
membatalkan wudhu. Ia mengemukakan dalil bahwa ketika ditanyakan
tentang hal menyetuh kemaluan, Nabi menjelaskan bahwa kemaluan itu
hanyalah anggota tubuh biasa seperti yang lainnya.

Berkenaan dengan berwudhu ini perlu diperhatikan beberapa kaidah


fiqh yang terkait, seperti:

ِّ‫ْاليَقِينُ ال يُ َزا ُل بِال َّشك‬


dan

َ‫ْالبَقَا ُء َما َكانَ على َما َكان‬


Apabila seseorang telah yakin bahwa dirinya suci (berwudhu)
kemudian ragu-ragu, apakah wudhunya itu telah batal, maka ia dapat
berpegang pada keyakinannya tadi bahwa ia masih suci, jadi ia tidak
wajib berwudhu, dan sebaliknya jika ia yakin telah berhadats dan ragu-
ragu, apakah ia telah berwudhu, maka ia dipandang berhadats
9

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan yang berhubungan dengan
tertawa di dalam shalat dapat membatalkan wudhu’ menurut Imam Abu Hanifah,
maka dapat di simpulkan sebagai berikut:

1. Imam Abu Hanifah mewajibkan mengulangi wudhu’ apabila seseorang itu tertawa
terbahak-bahak di dalam shalat, jika seseorang itu sudah baligh, baik tertawanya itu
dilakukan dengan sengaja ataupun terlupa. Oleh karena itu tidak menjadi batal shalat
anak-anak yang tertawa terbahak-bahak, di karenakan dia belum mencapai umur
yang patut diberi peringatan (belum mukallaf). Sedangkan at-tabassum dan adh-
dhahku tidak membatalkan wudhu’.

2. Adapun metode istinbat hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan


pendapatnya tentang batalnya wudhu’ karena tertawa terbahak-bahak di dalam shalat
adalah memakai hadist, yaitu hadist dari Abi Aliyah, Hasan Basri, Ibrahim dan
Zuhri, yang mengatakan bahwasanya ada seorang yang kurang penglihatannya dan
ia terjatuh kedalam lobang yang terdapat di dalam masjid, lalu tertawa sahabat yang
shalat di belakang Nabi, maka selesai shalat Nabi menyuruh sahabat untuk
mengulangi wudhu’ dan shalat. 3. Dalam fiqih ibadah mengenai tentang wudhu’
menetapkan bahwa tertawa terbahak-bahak di dalam shalat hanya dapat
membatalkan shalat, tetapi tidak membatalkan wudhu’. Penulis menilai bahwa dalil
yang dipakai oleh Abu Hanifah adalah lemah karena hadits tersebut mursal,
ditambah lagi kebanyakan jumhur lebih berpendapat bahwa tertawa di dalam shalat
dapat membatalkan shalat dan tidak membatalkan wudhu’.
10
DAFTAR PUSTAKA

Agus Solahudin. Ulumul Hadist. Bandung: CV. Pustaka Setia.


Kasman. Nurrudin, Ulumul Hadis.PT Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan pertama.
2012
http://ilh.fuf.uin-alauddin.ac.id/assets/file/JURNAL_Jan_2017.pdf?1550564246
http://fariskayosi.blogspot.com/2014/07/makalah-hadist-maudhu-dan.html

11

Anda mungkin juga menyukai