Anda di halaman 1dari 18

FISIOLOGI TERNAK

“Suhu Tubuh dan Uji Kebuntingan”

LAPORAN PRAKTIKUM

Oleh :
Nama : Ghina Maulidia Amin
NIM : D1A020025
Kelompok : 1D
Asisten : Dian Purnama

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK TERAPAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Setiap hewan mempunyai daya kemampuan homeostatis yang berbeda pada setiap
spesiesnya. Homeostatis bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan sekitarnya. Bentuk homeostatis pada hewan untuk menjaga agar suhu tubuh
hewan tetap dalam keadaan stabil. Berdasarkan pengaruh lingkungan terhadap suhu
hewan, dibagi kedalam dua golongan, yaitu poikiloterm dan homoioterm. Hewan
poikiloiterm, naiknya suhu lingkungan dapat meningkatkan suhu tubuhnya begitu juga
sebaliknya. Hewan yang termasuk dalam poikiloterm adalah hewan berdarah dingin,
seperti katak dan reptil. Hewan homoioterm akan berusaha mempertahankan suhu
tubuhnya dalam kisaran tetap dengan suatu proses homeostasis, hewan yang termasuk
dalam homoioterm adalah manusia, sapi, ayam, dll.

Perubahan suhu tubuh sangat erat kaitannya dengan proses thermogenesis yang
berlebih maupun proses thermolisis yang belebih. Untuk mempertahankan suhu tubuh
manusia dalam keadaan konstan diperlukan regulasi tubuh. Suhu tubuh manusia diatur
dengan mekanisme umpan balik yang diperankan oleh pusat pengaturan suhu di
hipotalamus. Mekanisme umpan balik ini dilakukan dengan cara menyeimbangkan antara
produksi panas dengan pengeluaran panas.

Pertumbuhan dan perkembangan individu baru selama kebuntingan merupakan hasil


dari perbanyakan jumlah sel, pertumbuhan, perubahan susunan serta fungsi sel. Peristiwa
tadi mempengaruhi perubahan-perubahan tertentu, beberapa di antaranya merupakan
ciri dari tahap perkembangannya. Meskipun perkembangan anak dalam kandungan
berlangsung terus menerus, namun kebuntuingan kadang-kadang dinyatakan terdiri dari
3 tahap yaitu periode ovum, periode embrio dan periode fetus.

1.2 Tujuan
1. Mampu mengetahui cara adaptasi katak pada suhu panas dan dingin
2. Mampu mengetahui faktor thermoregulasi pada tubuh manusia
3. Mampu mengetahui metode pemeriksaan kebuntingan
1.3 Waktu dan Tempat

Acara praktikum “Suhu Tubuh dan Uji Kebuntingan” di laksanakan pada Rabu, 5 Mei
2021 pukul 10.40 - 12.27 WIB di laksanakan secara daring di rumah masing-masing
praktikan. Kegiatan praktikum digunakan menggunakan platform Google classroom,
WhatsApp Group, dan YouTube.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Termoregulasi merupakan suatu proses homeostatis untuk menjaga agar suhu tubuh
suatu hewan tetap dalam keadaan stabil dengan cara mengatur dan mengontrol
keseimbangan antara banyak energi (panas) yang diproduksi dengan energi yang
dilepaskan. Thermogenesis yang terdapat pada hewan diperoleh dari hewan sendiri atau
dari absorbsi panas lingkungan (Suripto, 1998). Hewan diklasifikasikan menjadi dua
berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh, yaitu poikiloterm dan
homoiterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring
dengan berubahnya suhu lingkungan. Contoh hewan poikiloterm adalah ikan, reptil, dan
amfibi. Hewan homoiterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan atau tidak
berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah (Isnaeni, 2006).

Pengaturan suhu tubuh berpusat pada hipotalamus. Termosfat hipotalamus memiliki


titik control yang disesuaikan untuk mempertahankan suhu tubuh, jika suhu tubuh naik
atau turun melebihi titik kontrol ini maka pusat akan memulai impuls untuk menahan
panas atau meningkatkan pengeluaran panas. Termoreseptor perifer yang terletak di
dalam kulit dapat mendeteksi perubahan suhu kulit dan membrane mukosa tertentu
serta mentrasmisi informasi tersebut ke hipotalamus. Termoreseptor sentral yang
terletak di antara hipotalamus anterior, medulla spinalis, organ abdomen dan struktur
internal lainnya juga mendeteksi perubahan suhu darah (Sloane, 2003).

Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran anak
yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang
majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal, yang mengalami peristiwa pembelahan diri
yang berantai dan terus menerus selama hidup individu tersebut tetapi berbeda dalam
kadar dan derajatnya sewaktu hewan menjadi dewasa dan menjadi tua. Sesudah
pembuahan, yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel
selanjutnya bersifat mitotik sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai
kromosom yang sama dengan induk selnya. Peristiwa ini berlangsung sampai hewan
menghasilkan sel kelamin (Marawali, 2010).
III. MATERI DAN CARA KERJA
3.1 Melihat Pengaruh Luar terhadap Suhu Tubug Katak dan Hambatan Eliminasi Panas
3.1.1 Materi
Alat : Bahan :
1.Papan pengikat katak 1. Katak sawah
2.Tali 2. Air es
3.Termometer 3. Minyak kelapa

0 0
4. Air panas 40 C dan 70 C
3.1.2 Cara Kerja
0
Air panas 40 C

Katak diikat terlentang pada papan operasi

Suhu tubuh diukur dengan memasukkan termometer ke dalam oeshophagus

0
Katak di masukkan ke dalam air panas 40 C selama 5 menit. Baca lagi suhunya
0
Air panas 70 C

Dua buah becker glass yang sama bentuk dan volumenya disiapkan, lalu
0
diisi dengan air panas 70 C sama banyak

Masing- masing tabung dipasang sebuah thermometer, lalu baca suhu


air panas pada masing-masing tabung

Salah satu becker glass ditambahkan minyak kelapa secukupnya


sampai seluruh permukaan air panas tetutup rapat

Suhu air pada becker glass dibaca setiap menit. Pembacaan dilakukan sebanyak 6 kali

Perubahan suhu dari dua buah becker glass dibuat grafik, dengan suhu
sebagai ordinat dan waktu sebagai absis
Percobaan 3

0
Percobaan dilakukan serupa dengan percobaan 2 (Air panas 70 C), akan tetapi
menggunakan dua buah kendi, yang salah satunya dicat dan yang lainnya tidak dicat.
0
Masing-masing kendi diisi air panas 70 C (tanpa minyak kelapa). Grafiknya dibuat.

3.2 Melihat Pengaruh Luar terhadap Suhu Tubuh Manusia


3.2.1 Materi
Alat : Bahan :
1. Thermometer tubuh 1. Probandus (manusia)
2. Thermometer ruang 2. Air es
3. Handuk kecil
4. Kipas angin
5. Gelas
3.2.2 Cara Kerja
Pengaruh Oral

0
Hg pada thermometer diturunkan dulu sampai 35 C, ujung
thermometer dibersihkan dengan kapas dan alkohol kemudian di
masukkan ke dalam rongga mulut sehingga ujung thermometer terselip
di bawah lidah. Mulut ditutup rapat, thermometer dibiarkan 10 menit
kemudian baca hasilnya

0
Hg pada thermometer diturunkan lagi sampai 35 C, dibersihkan
dengan alkohol, diselipkan di bawah lidah kemudian probandus
bernafas dengan tenang melalui mulut, selama 5 menit dibaca
hasilnya, kembalikan lagi di bawah lidah dan baca hasilnya 5 menit
kemudian

Probandus berkumur dengan es selama 1 menit, thermometer


dipasang dibawah lidah, setelah 10 menit hasilnya dibaca

Pengaruh Axiller

Probandus duduk, axiller dikeringkan dengan handuk


0
Hg pada thermometer diturunkan dulu sampai 35 C, kemudian
ujungnya disisipkan pada fossa axillaria dan pangkal lengan dihimpitkan
pada tubuh

Setelah 10 menit thermometer diambil dan dibaca

3.3 Uji Galli Mainini


3.3.1 Materi
Alat : Bahan :
1. Mikroskop 1. Katak jantan
2. Becker glass 2. Urin wanita hamil

3. Spuit
4. Cover glass
5. Objek glass
6. Pipet pastur
7. Lidi kapas
8. Stopwatch
9. Tempat katak
3.3.2 Cara Kerja

Katak jantan dewasa disediakan beberapa ekor

Bagian kloakanya dirangsang menggunakan lidi kapas, kemudian jika


keluar sesuatu, maka letakkan cairan tersebut pada objek glass

Cairan tersebut diperiksa mengandung sperma atau tidak. Jika


mengandung sperma maka katak tidak dapat digunakan untuk
praktikum. Jika tidak mengandung sperma maka :

3 ml urin wanita hamil disiapkan dengan menggunakan spuit


Urin tersebut disuntikkan secara sub cutan (di bawah kulit) dengan
cara mencubit atau menarik kulit kartak kemudian disuntikan

Katak dikembalikan pada tempatnya, tunggu 30 menit untuk dapat melihat


reaksinya. Setelah 30 menit, katak dirangsang lagi menggunakan lidi kapas pada
bagian kloakanya. Lihat adanya cairan yang keluar

Cairan yang keluar diamati menggunakan mikroskop. Jika hasil positif, maka pada
urin katak ditemukan adanya sperma. Jika hasil negatif, maka pada urin katak tidak
ditemukan adanya sperma
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Melihat Pengaruh Luar Terhadap Suhu Tubuh Katak dan Hambatan Eliminasi Panas
4.1.1 Hasil

4.1.2 Pembahasan

Termoregulasi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan antara produksi panas


dan hilangnya panas dalam rangka menjaga suhu tubuh. Termoregulasi dibagi menjadi
dua yaitu polikioterm dan homoiterm. Polikioterm atau biasa disebut hewan berdarah
dingin merupakan hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya
seperti ikan, reptil, dan amfibi. Hewan berdarah panas atau homoiterm adalah hewan
yang dapat menjaga suhu tubuhnya seperti aves dan mamalia. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Hapsari, dkk (2016) bahwa broiler merupakan hewan homoiterm yang
mampu menyeimbangkan suhu tubuhnya sehingga perbedaan suhu kandang dapat
diatasi oleh sistem termoregulasi pada broiler.

Pengaruh terhadap suhu luar katak dilakukan dengan cara mengikat katak pada
papan kemudian diukur suhu katak dengan memasukkan termometer ke dalam mulut
katak. Katak dimasukkan ke dalam beaker glass yang terdapat air panas 40˚C. Suhu
normal katak berkisar antara 30 – 34˚C mengikuti suhu lingkungannya. Suhu tubuh katak
ketika dimasukkan ke air panas 40˚C berubah menjadi 35˚C, sedangkan ketika dimasukkan
ke dalam air dingin suhu katak berubah menjadi 22˚C. Hal tersebut dipertegas oleh
Suripto, dkk (1998) bahwa pada lingkungan yang dingin katak akan menyesuaikan diri
dengan lingkungannya yaitu dengan menurunkan suhu tubuhnya, demikian pula pada
keadaan panas maka katak akan meningkatkan subu tubuhnya.

Eliminasi panas merupakan proses lama pelepasan atau penghilangan panas.


Perpindahan panas dibagi menjadi empat yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi.
Konduksi merupakan perpindahan panas yang disebabkan oleh adanya sentuhan dengan
benda yang lebih rendah suhunya. Konveksi merupakan gerakan molekul-molekul gas atau
cairan dengan suhu tertentu ke tempat lain yang suhunya berbeda, konveksi juga
membantu proses konduksi. Radiasi adalah panas yang disebabkan oleh pemancaran
langsung, sedangkan evaporasi adalah perubahan benda dari fase cair ke gas atau biasa
disebut menguap. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Suherman, dkk (2017) bahwa
upaya pada ternak untuk melepaskan beban panas yaitu dengan cara evaporasi melalui
saluran pernapasan.

Hambatan pada percobaan yang dilakukan yaitu dengan menuangkan minyak dan
perbedaan tempat air. Pelepasan panas pada kendi yang sudah di cat lebih konstan suhu
airnya dibandingkan pada kendi tanpa cat. Hal tersebut disebabkan oleh kendi yang di cat
pori-porinya tertutup sehingga proses pelepasan panas menjadi lambat. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Martini (1998) bahwa semakin banyak pori-pori dalam
luaspermukaan dan semakin tinggi perbedaan suhu antara sistem dengan lingkungan,
maka proses konveksi dan evaporasi semakin cepat.

Percobaan pada dua beaker glass yang diisi oleh air panas 70˚C dengan volume yang
sama, tetapi salah satu dari keduanya dituangi minyak hingga menutupi permukaan air.
Suhu air diukur setiap menitnya selama 6 menit. Suhu air yang tidak dituangi minyak
terjadi pelepasan suhu lebih cepat dibandingkan dengan air yang dituangi minyak. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Soedjono (1998) bahwa penambahan minyak dapat
membantu memperlambat penurunan suhu pada beaker glass.

Faktor yang mempengaruhi laju hilangnya panas yaitu luas permukaan benda yang
bersentuhan, perbedaan suhu awal antara kedua benda, dan konduktivitas panas dari
kedua benda. Kehilangan panas dapat ditentukan dengan mengurangi luas permukaan,
mengurangi evaporasi, dan memaksimalkan efek penutup agar panas tidak cepat
mengalami penguapan. Hal tersebut ditegaskan oleh Jamaluddin (2011) bahwa faktor lain
yang mempengaruhi laju penguapan adalah luas permukaan, lama evaporasi, dan panas
jenis bahan.
4.2 Melihat Pengaruh Luar Terhadap Suhu Tubuh Manusia
4.2.1 Hasil

4.2.2 Pembahasan

Termoregulasi adalah proses yang melibatkan mekanisme homeostatik yang


mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal yang dapat dicapai dengan
mempertahankan anatar panas yang dihasilkan dalam tubuh dan panas yang dikeluarkan.
Panas berlebihan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kombinasi dengan suhu
luar, kegiatan fisik, dan keringat tidak sesuai. Keringat tidak sesuai maksudnya adalah
produksi keringat berlebih yang diakibatkan oleh panas tubuh yang tidak sesuai. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Ariyanti, dkk (2018) bahwa efek tekanan panas terjadi
sebagai akibat dari metabolisme tubuh dalam mempertahankan panas tubuh tidak
berhasil yaitu berupa pengeluaran keringat.

Percobaan yang dilakukan yaitu dengan menyelipkan termometer pada lidah selama
10 menit yang dilakukan sebelum dan sesudah berkumur dengan air dingin selama 1
menit. Metode lain yang dipraktikan yaitu axiller dengan cara menyelipkan termometer di
bagian ketiak probandus selama 10 menit. Suhu tubuh pada probandus sebelum dan
sesudah berkumur dengan air dingin tetap konstan karena manusia termasuk mamalia
yang memiliki termoregulasi tubuh. Suhu pada bagian tubuh manusia berbeda-beda
tergantung pada aktivitas bagian tubuh tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Silverthorn (2004) bahwa pembentukan panas dalam tubuh manusia bergantung pada
tingkat metabolisme yang terjadi dalam jaringan tubuh tersebut.

Faktor yang mempengaruhi termoregulasi pada manusia diantaranya umur,


olahraga, hormon, menopause, dan waktu. Regulasi suhu tidak stabil terjadi sampai
pubertas. Hal tersebut diakibatkan karena seseorang ketika masih kecil sering mengalami
demam karena termoregulasi tubuh belum matang dan sistem imun yang belum
sempurna. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wowor, dkk (2017) bahwa pada balita
dan anak belum terjadi kematangan mekanisme pengaturan suhu tubuh yang drastis
terhadap lingkungan. Regulasi tubuh baru akan mencapai pubertas.

Seseorang yang melakukan olahraga panas tubuh dan aktivitas ototnya akan
meningkat, terjadi peningkatan suplai darah yang memecah karbohidrat dan lemak
sehingga tubuh memproduksi panas. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Minarto dan
Fattahilah (2019) bahwa selama aktifitas latihan darah terpompa lebih cepat sebagai
bentuk penanggulangan akibat meningkatnya suhu, selain suhu tersebut meningkat
akibat proses metabolisme dan proses perubahan energi. Hormon progresteron akan
menurun saat menstruasi yang menyebabkan suhu tubuh menjadi turun. Faktor
termoregulasi lainnya yaitu ketika menopause yang menyebabkan seseorang berkeringat
banyak sekitar 30 detik sampai 5 menit yang diakibatkan oleh tidak stabilnya kontrol
vasomotor.

Suhu tubuh normal berkisar antara 0,5 – 0,1˚C selama 24 jam. Suhu tubuh paling
rendah terjadi pada pukul 1 dini hari sampai pukul 4 pagi. Suhu tubuh akan naik hingga
pukul 6 sore. Faktor lainnya yang mempengaruhi termoregulasi pada manusia adalah
stress dan lingkungan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Sandi, dkk (2017) bahwa
suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan, apabila suhu lingkungan lebih tinggi
daripada suhu tubuh maka tubuh akan menerima panas dari lingkungan secara konveksi,
sedangkan bila suhu lingkungan lebih rendah dari suhu tubuh maka panas tubuh akan
berpindah ke udara sekitar.

Demam merupakan salah satu penyakit yang menyerang termoregulasi. Mekanisme


demam yaitu disebabkan oleh pengeluaran panas yang tidak mampu mengeluarkan
kelebihan panas produksi panas. Hipertermia dan hipotermia juga merupakan contoh
penyakit selain demam. Hipertermia merupakan kondisi tidak dapat mengontrol
pengeluaran panas, satu tingkat diatas demam, sedangkan hipotermia adalah
pengeluaran panas akibat paparan terus-menerus terhadap dingin. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Graha (2010) bahwa ketika simpanan panas pada tubuh meningkat,
seperti pada saat seseorang mengalami demam atau sedang berolahraga, maka suhu
tubuh akan meningkat, sedangkan ketika simpanan panas tubuh menurun terjadi seperti
pada kondisi hipothermi maka suhu tubuh pun akan mengalami penurunan.
4.3 Uji Galli Mainini
4.3.1 Hasil

4.3.2 Pembahasan

Kebuntingan adalah keadaan saat janin (fetus) sedang di dalam uterus hewan betina.
Hal tersebut dipertegas oleh pernyataan Nova, dkk (2014) bahwa diagnosis kebuntingan
dini dilakukan untuk mengetahui ternak yang bunting ataupun tidak bunting segera
setelah dikawinkan, sehingga waktu produksi yang hilang akibat infertilitas. Periode
kebuntingan adalah interval waktu dari fertilisasi sampai terjadinya partus (melahirkan).
Tahapan pada periode kebuntingan yaitu fertilisasi, perkembangan membran fetus, dan
pertumbuhan fetus.

Uji Galli Mainini merupakan uji kehamilan atau kebuntingan. Uji ini dapat dikatakan
uji kehamilan kuno karena menggunakan katak Bufo. Uji Galli Mainini menggunakan urin
pagi ibu hamil. Hormon Chorionic Gonadhotropin (hCG) yang terkandung pada urin ibu
hamil di pagi hari lebih pekat karena ketika tidur terjadi pengumpulan hasil metabolisme,
sehingga akan memudahkan pengujian. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Anggarani
dan Subakti (2013) bahwa urine pada pagi hari memang lebih pekat sehingga
kemungkinan besar kadar hCG dan dapat terdeteksi oleh alat tes dengan lebih mudah.
Urine yang mengandung hCG disuntikkan ke dalam katak Bufo jantan yang akan
merangsang pengeluaran sperma pada katak jantan. Sel-sel sertoli akan membengkak dan
melepaskan spermatozoa yang melekat pada katak dan akan dikeluarkan melalui urine.
Cairan urine selanjutnya diamati di bawah mikroskop untuk menentukan pemilik urin
hamil atau tidak.

Metode pemeriksaan kebuntingan bermacam-macam, masing-masing mempunyai


kekurangan dan kelebihan. Metode no return to estrus merupakan metode dimana
selama kebuntingan konseptus menekan regresi korpus luteum (CL) dan mencegah
hewan kembali estrus atau birahi. Oleh sebab itu, jika hewan tidak kembali estrus setelah
perkawinan maka diasumsikan ternak bunting. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Syafruddin, dkk (2012) bahwa penilaian non-return to estrus berpegang pada asumsi
bahwa ternak tidak kembali minta kawin adalah bunting. Kelebihan metode ini yaitu
murah dan sederhana, sedangkan kekurangannya pada ketepatan deteksi estrus.

Palpalsi rektal merupakan suatu metode yang sudah umum dikenal. Palpasi uterus
melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan pada
ternak besar seperti kuda, kerbau, dan sapi. Kelebihan metode ini yaitu dapat dilakukan
pada tahap kebuntingan dengan hasil yang dapat langsung diketahui, akurat, dan murah.
Kekurangan metode ini yaitu sempitnya rongga pelvis padakambing, domba, dan babi
sehingga metode ini tidak dapat dilakukan, dibutuhkan penanganan dan training bagi
petugas yang melakukannya. Metode ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan diatas 30
hari. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lestari (2011) bahwa metode palpasi rektal
membutuhkan petugas pemeriksa kebuntingan (PKB) yang trampil dan berpengalaman
guna mendapatkan diagnosa umur kebuntingan yang tepat dengan tidak melukai baik
fetus maupun induknya.

Metode Ultrasonografi (USG) merupakan metode yang menggunakan alat modern


untuk mendeteksi kebuntingan lebih dini dan dapat mendeteksi adanya perubahan
bentuk dan ukuran cornua uteri dalam rongga abdomen menggunakan prop. Kelebihan
metode ini yaitu dapat dilakukan pada usia kebuntingan 20 – 22 hari namun akan lebih
jelas pada usia lebih dari 30 hari. Hal tersebut ditegaskan dengan hasil pengamatan yang
dilakukan oleh Sayuti, dkk (2016) bahwa diagnosisi kebuntingan pada kambing kacang
(Capra sp.) menggunakan USG transkutaneus dapat dilakukan pada hari ke-14 dan embrio
dapat diamati pada hari ke-24. Kekurangan metode ini yaitu mahal dan dibutuhkan
tenaga ahli, serta terdapat kerusakan embrio akibat traumatik pada ternak saat prop
dimasukkan.

Metode selanjutnya yaitu diagnosa imunologik yang merupakan pengukuran level


cairan yang berasal dari konseptus uterus (ovarium) yang memasuki aliran darah induk,
urin, dan air susu. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Lestari (2011) bahwa deteksi
secara imunologis melibatkan kehadiran protein-protein spesifik yang diproduksi blastosis
awal terjadinya implantasi yang dapat digunakan sebagai dasar mendeteksi kebuntingan
dini. Ketepatan menjadi kelebihan metode ini, sedangkan kekurangannya rumit dan
dibutuhkan ketelitian yang tinggi. Metode punyakoti merupakan metode menggunakan
urin. Hormon ABA (Absisic Acid) terkandung didalamnya yang dapat mendormankan atau
menghambat pertumbuhan padi, gandum, dan kacang hijau. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Syaiful (2018) bahwa metode punyakoti membutuhkan gabah padi, gandum,
dan jagung sebagai materi yang dibutuhkan. Metode ini terbilang unik, murah dan
sederhana, namun akurasinya kurang tepat.

Diagnosa kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon yaitu pengujian pada cairan


tubuh yaitu plasma darah dan air susu yang terbagi menjadi dua metode yaitu RIA (Radio
Immuno Assay) dan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Frastantie, dkk (2019)
juga menegaskan bahwa penggunaan RIA bersifat radioaktif, sementara ELISA
menggunakan reaksi enzymatis sehingga lebih aman dilakukan. Kelebihan metode ini
dapat dilakukan pada usia kebuntingan dini dan dapat menentukan kandungan hormon,
sedangkan kekurangannya terletak pada ongkos yang dikeluarkan cukup mahal.

Metode yang paling sering digunakan yaitu no return no estrus karena memiliki
kejelian dalam melihat sapi birahi, dan uji kebuntingan yang paling sering dipakai dan
akurat pada ternak sapi yaitu dengan palpasi rektal. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Susilawati (2011) bahwa deteksi kebuntingan pada sapi yang paling murah
dan akurat adalah dengan palpasi rektal. Metode USG metode yang sering dipakai pada
manusia. Metode ini juga dapat dipakai pada ternak tetapi terlalu mahal dan kurang
efisien untuk sebuah peternakan.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1.Cara adaptasi katak pada suhu panas dengan meningkatkan penguapan pada kulit. Cara
adaptasi pada suhu dingin dengan menambahkan zat terlarut ke dalam cairan tubuhnya
untuk meningkatkan konsentrasi osmotik.

2.Faktor-faktor thermoregulasi yaitu umur, tidak stabil sampai pubertas,


olahraga/aktivitas, waktu, hormon, stres, dan lingkungan.

3.Metode pemeriksaan kebuntingan yaitu NRE (Non Richun to Estrus), Palpasi rektal,
Ultrasonografi (USG), diagnosa munologi, punyakoti, dan konsentrasi hormon.
5.2 Saran
Praktikan diharapkan memahami materi praktikum dengan baik agar mendapatkan
nilai kuis yang memuaskan. Praktikan juga diharapkan menyiapkan segala keperluan
praktikum agar praktikum dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA

Anggarani, D.R. dan Y. Subakti. 2013. Kupas Tuntas Seputar Kehamilan. PT


Agromedia Pustaka. Jakarta.

Ariyanti, S.M., Y. Setyaningsih, dan D.B. Prasetio. 2018. Tekanan Panas, Konsumsi Cairan,
dan Penggunaan Pakaian Kerja dengan Tingkat Dehidrasi. Jurnal Higeia. 2 (4): 634
– 644.

Frastantie, D., M. Agil, dan L.I. Tumbelaka. 2019. Deteksi Kebuntingan Dini pada Sapi
Perah dengan Pemeriksaan Ultrasonography (USG) dan Analisis Hormon
Steroid. Jurnal Acta Veterinaria Indonesiana. 7 (2): 9 – 16.

Graha, A.S. 2010. Adaptasi Suhu Tubuh terhadap Latihan dan Efek Cedera Di Cuaca
Panas dan Dingin. Jurnal Olahraga Prestasi. 6 (2): 123 – 134.

Hapsari, I.N., P.E. Santosa, dan Riyanti. 2016. Perbedaan Sistem Brooding
Konvensional dan Sistem Brooding Thermos terhadap Respon Fisiologis Broiler.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 4 (3): 237 – 243.

Jamaluddin. 2011. Pengaruh Suhu dan Tekanan Vakum terhadap Penguapan Air,
Perubahan Volume dan Rasio Densitas Keripik Buah Selama Dalam
Penggorengan Vakum. Jurnal Industri Teknologi Pertanian. 12 (2): 82 – 89.

Lestari, T.D. 2011. Pengujian Anti Protein Produksi Blastosis (Anti-PAG) melalui
Metode Dot Blot. Jurnal Ilmu Ternak. 11 (1): 39 – 43.

th
Martini. 1998. Fundamental of Anatomy and Physiology 4 ed. Prentice Hall
International Inc. New Jersey.

Minarto, E. dan M. Fattahilah. 2019. Efek Suhu Lingkungan Terhadap Fisiologi Tubuh
pada Saat Melakukan Latihan Olahraga. Journal of Sport and Exercise Science. 2
(1): 9 – 13.

Nova, M.E., G. Riady, dan J. Melia. 2014. Diagnosis Kebuntingan Dini Menggunakan
KIT Progresteron Air Susu pada Kambing Peranakan Ettawah (Capra hircus).
Jurnal Medika Veterinaria. 8 (2): 120 – 124.
Sandi, I.N., I.G. Ariyasa, I.W. Teresna, dan K. Ashadi. 2017. Pengaruh Kelembaban
Relatif terhadap Perubahan Suhu Tubuh Latihan. Sport and Fitness Journal. 5
(1): 103 – 109.

Sayuti, A., J. Melia, I.K. Marpaung, T.N. Siregar, Syafruddin., Amiruddin., dan B. Panjaitan.
2016. Diagnosis Kebuntingan Dini pada Kambing Kacang (Capra sp.) Menggunakan
Ultrasonografi Transkutaneus. Jurnal Kedokteran Hewan. 10 (1): 63 – 67.

Silverthorn. 2004. Human Physiology An Integrated Approach. Second Edition. New York.

Soedjono. 1998. Pengantar Anatomi dan Fisiologi Manusia. LPTK Press. Jakarta.

Suherman, D., S. Muryanto, dan E. Sulistyowati. 2017. Evaluasi Mikroklimat dalam


Kandang Menggunakan Tinggi Atap Kandang Berbeda yang Berkaitan dengan
Respon Fisiologis Sapi Bali Dewasa di Kecamatan XIV Koto Kabupaten
Mukomuko. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 12 (4): 397 – 410.

Suripto., Meljin J., dan W.A. Reece. 1998. Duke’s Physiology of Domestic Animals.
Cornell University Press. London

Susilawati, T. 2011. Spermatology. Penerbit Universitas Brawijaya Press. Malang.

Syafruddin., Rusli., Hamdan., Roslizawaty., S. Rianto, dan S. Hudaya. 2012. Akurasi


Metode Observasi Tidak Kembali Birahi (Non-Return to Estrus) dan
Ultrasonography (USG) untuk Diagnosis Kebuntingan Kambing Peranakan Ettawah.
Jurnal Kedokteran Hewan. 6 (2): 87 – 91.

Syaiful, F.L. 2018. Optimalisasi Inseminasi Buatan Sapi Potong melalui Akurasi
Kebuntingan Dini terhadap Uji Punyakoti dan Palpasi Rektal. Jurnal Embrio. 10
(2): 41 – 48.

Wowor, M.S., M.E. Katuuk, dan V.D. Kallo. 2017. Efektivitas Kompres Air Suhu Hangat
dengan Kompres Plester terhadap Penurunan Suhu Tubuh Anak Demam Usia Pra-
Sekolah Di Ruang Anak RS Bethesda GHIM Tomohon. Jurnal Kperawatan (eKp). 5
(2): 1 – 8.

Anda mungkin juga menyukai