Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kondisi seorang individu yang mampu untuk menghargai
dirinya sendiri dan berpartisipasi dalam lingkungan sosial. Menurut WHO (2018) bahwa
kesehatan jiwa yang positif adalah keadaan individu yang mampu untuk mengenali
kelebihannya, memiliki koping individu yang adaptif, bekerja secara produktif dan
sukses, serta dapat berkontribusi pada lingkungan sekitarnya. Definisi lain dijelaskam
oleh Undang-Undang Kesehatan (2014) sehat jiwa yaitu kondisi seseorang yang sadar
terhadap fisik, mental dan spiritual dengan menggunakan kemampuannya sendiri dalam
mengatasi tekanan, sehingga tetap dapat bekerja secara produktif dan berkontribusi
dalam kehidupan masyarakat. Kesehatan jiwa yang positif memiliki tiga komponen
yakni kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial (Keyes, 2002). Dengan demikian,
kesehatan jiwa merupakan kondisi seseorang yang memiliki kesejahteraan secara
emosional dan psikologis serta mampu untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial.
Kesehatan jiwa dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan presipitasi. Menurut Stuart,
Keliat, dan Pasaribu (2016) faktor predisposisi adalah jenis dan jumlah koping yang
dipengaruhi oleh faktor risiko dan faktor protektif. Komponen yang berada dalam faktor
predisposisi yakni aspek biologis, psikologis, dan sosial. Faktor protektif dan faktor
risiko dapat diartikan sebagai keadaan yang berpengaruh pada kesehatan jiwa individu
yang disebabkan oleh aspek biologis, psikologis, dan sosial pada individu. Sedangkan
faktor presipitasi adalah suatu stimulus yang diberikan dan dapat membuat individu
merasa tertantang dan terancam sehingga menyebabkan stres (Stuart, Keliat, dan
Pasaribu, 2016). Stresor pada faktor presipitasi dapat bersifat biologis, psikologis, dan
sosial. Selain itu, stressor tersebut dapat berasal dari lingkungan internal dan eksternal
individu. Lingkungan yang menyebabkan stres berulang dalam rentang waktu yang
berdekatan akan menyebabkan individu sulit dalam mengatasinya. Dengan demikian,
individu harus mampu dalam mengatasi stres yang terjadi atau jika tidak maka akan
berdampak gangguan dalam kejiwaannya.
Gejala dari gangguan jiwa dapat ditemukan dalam rentang usia 15 – 25 tahun yang
biasa disebut dengan early psychosis (Heinseen, 2014). Teori tersebut didukung oleh
pernyataan dari WHO (2018) yang menyebutkan bahwa gangguan jiwa pada individu
dewasa dimulai 50% sejak usia 14 tahun dan pada usia 24 tahun menjadi 75%. Penelitian
lain juga dilakukan oleh Murphy & Fonagy (2012) gangguan jiwa terjadi dimulai
sebelum usia 15 tahun sebesar 50% dan 18 tahun sebesar 75%. Murphy & Fonagy (2012)
menjelaskan bahwa pada usia 11 sampai 16 tahun, 13% remaja pria mengalami
gangguan jiwa dan 10% pada remaja perempuan. Menurut Heinseen (2014) gejala awal
yang dapat dilihat pada remaja yang mengalami gangguan jiwa diperhatikan melalui
perilaku yang sering marah tanpa sebab, sering menentang orang tua, kesulitan dalam
berkomunikasi dengan orang lain, dan berperilaku aneh. Menurut Aldam & Keliat (2018)
terdapat hubungan yag bermakna antara masalah dalam keluarga dan masalah hubungan
dengan teman sebaya terhadap kesehatan jiwa. Dengan demikian, banyaknya risiko yang
terjadi di masa remaja yang dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan jiwa.
Menurut WHO (2004) jumlah penderita gangguan jiwa diperkirakan mencapai 450
juta jiwa. Pernyataan lain dari Rabba, Dahrianis, & Rauf (2014) terdapat 8,1%
masyarakat mengalami gangguan jiwa di dunia. Menurut Riskesdas (2018), Indonesia
membedakan gangguan jiwa menjadi dua yaitu gangguan mental emosional (gangguan
jiwa ringan) dan gangguan jiwa berat. Gangguan mental dan emosional yang terjadi di
Indonesia sebesar 9,8%. Gangguan mental emosional adalah keadaan yang
mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis dan dapat pulih
seperti semula. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia yakni sebanyak
7 per mil. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan kemampuan
menilai realitas yang buruk. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan
salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. Gejala yang menyertai pada gangguan jiwa
berat yaitu waham, ilusi, gangguan proses pikir, agresivitas, dan halusinasi.
Menurut Yosep (2010) skizofrenia yaitu kondisi gangguan pada fungsi kerja otak.
Definisi lain menjelaskan skizofrenia adalah bentuk psikis yang di dalamnya terdapat
gangguan utama yaitu pada bagian proses pikir yang tidak seimbang antara proses pikir,
cara pikir, bahasa, dan perilaku (Direja, 2011). Gejala skizofrenia dibedakan menjadi dua
yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala negatif dari skizofrenia yakni kehilangan
motivasi atau apatis, depresi yang tidak ingin ditolong. Sedangkan gejala positif meliputi
waham, delusi, dan halusinasi. Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering
dialami oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan sebanyak 26,5% pasien
mengalami halusinasi yang berawal dari early psychosis (Solesvik, 2016). Menurut
Stuart, Keliat, dan Pasaribu (2016) halusinasi merupakan distrosi persepsi yang tidak
nyata dan terjadi pada respons neurobiologis maladaptive. Menurut Yusuf (2014)
halusinasi merupakan perubahan orientasi realita pasien yang merasakan stimulus namun
sebetulnya tidak ada. Dengan demikian, halusinasi merupakan stimulus persepsi yang
hanya dialami oleh individu namun sebenarnya tidak nyata. Halusinasi yang dialami oleh
individu dapat disebabkan melalui faktor presdisposisi dan presipitasi. Hal ini didukung
oleh pernyataan dari Stuart, Keliat, & Pasaribu (2016) penyebab munculnya halusinasi
ada dua yaitu faktor predisposisi dan presipitasi. Faktor predisposisi terdiri dari (1) faktor
biologis yang berhubungan dengan perkembangan sistem saraf yang tidak normla, (2)
Faktor psikologis seperti pola asuh orang tua, kondisi keluarga dan lingkungan, (3)
Faktor sosial budaya seperti kondisi ekonomi, konflik sosial, serta kehidupan yang
terisolasi disertai stres. Sedangkan faktor lainnya yaitu presipitasi yakni (1) faktor biologi
yang terkait dalam gangguan komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur proses
informasi, (2) Faktor lingkungan yang mana terjadi tingkat stresor lingkungan di luar
batas toleransi individu, (3) Koping yang dapat menentukan seseorang dalam
mentoleransi stresor.
Hawari (2001) menjelaskan bahwa faktor psikososial merupakan faktor yang paling
berpengaruh pada seseorang yang mengalami halusinasi. Penelitian lain dilakukan oleh
Suryani (2003) yang menjelaskan bahwa ketidakmampuan individu dalam mengatasi
masalah dengan menggunakan koping akan berpengaruh terhadap terjadinya halusinasi.
Dengan demikian, faktor predisposisi dan presipitasi merupakan faktor yang
mempengaruhi kejadian halusinasi pada individu.
Halusinasi memiliki dampak yang dapat terjadi yakni hilangnya kontrol diri
sehingga sering muncul ansietas dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Penderita
halusinasi yang telah dikendalikan oleh halusinasinya akan melakukan perilaku yang
membahayakan dirinya, orang lain, dan juga lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh
penelitian Scott (2017) pada usia 14 – 21 tahun terdapat peningkatan dalam risiko bunuh
diri, psikopatologi psikopat, dan nonpsikotik sehingga sulit dalam mencari pekerjaan
yang berakibat menurunnya kualitas hidup. Penelitian lain yang dilakukan oleh Shawyer
(2010) menjelaskan bahwa individu yang mengalami halusinasi dapat melukai atau
mencederai orang lain bahkan dirinya sendiri karena telah dikuasai oleh halusinasi. Oleh
sebab itu, individu yang mengalami halusinasi sangat membahayakan orang lain dan
lingkungan serta dirinya sendiri sehingga membutuhkan penanganan secara tepat.
Penanganan secara tepat untuk mengatasi dampak dari halusinasi yakni dengan
melakukan tindakan asuhan keperawatan. Pernyataan ini didukung oleh Carolin (2008)
menjelaskan bahwa tindakan asuhan keperawatan dapat menurunkan gejala-gejala dari
halusinasi. Menurut Stuart, Keliat, & Pasaribu (2016) asuhan keperawatan yang
diberikan pada penderita halusinasi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pasien
antara stimulasi persepsi yang dialami pasien dan kehidupan nyata. Menurut Keliat &
Akemat (2010) intervensi asuhan keperawatan pada pasien halusinasi bertujuan untuk
mengontrol halusiansi antara lain: (1) membantu pasien untuk mengenal jenis, isi, waktu,
frekuensi, situasi, dan respon pasien yang dilakukan saat halusinasi, (2) melati pasien
untuk mengontrol halusinasi yakni dengan cara menghardik, bercakap-cakap, melakukan
kegiatan , dan minum obat secara teratur.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2016) yang
menyatakan bahwa cara untuk mengontrol halusinasi dapat berpengaruh terhadap
penurunan intensitas halusinasi pendengaran pada pasien dengan skizofrenia. Dengan
demikian, asuhan keperawatan pada pasien halusinasi dapat membantu pasien untuk
membedakan antara dunia halusinasi dan kehidupan nyata. Selain tindakan asuhan
keperawatan, terdapat Auditory Hallusination Symptomp Management (AHSM) yang
memiliki efek yang baik untuk memperbaiki dan mengurangi gejala dari halusinasi dan
depresi pada pasien skizofrenia.
Menurut Yang (2015) tindakan yang dilakukan oleh AHSM yakni: (1) monitor diri,
(2) mendistraksi suara halusinasi dengan beraktifitas, (3) bercakap-cakap dengan orang
lain, (4) membaca, (5) mendengarkan musik, (6) menonton televisi/video, (7) menutup
salah satu telinga, (8) relaksasi seperti tarik napas dalam, relaksasi otot progresif, dan
guide imagery. Berdasarkan tindakan tersebut, menurut penelitian yang dilakukan oleh
Kristiadi, Rochmawati, & Sawab (2015) terdapat pengaruh aktivitas terjadwal terhadap
penurunan gejala halusinasi yang merupakan gejala positif dari skizofrenia. Tidak hanya
gejala positif, tindakan aktivitas yang terjadwal juga dapat memberikan efek yang positif
dan menurunkan gejala negatif dari pasien skizofrenia (Dogra, Rana, Das, & Avasthi,
2009). Dengan demikian, aktivitas yang terjadwal pada pasien skizofrenia dapat
menurunkan gejala positif dan gejala negatif yang dialami.
Aktivitas merupakan keadaan manusia untuk bergerak dengan tujuan memenuhi
kebutuhan hidup. Pada klien dengan halusinasi sering mengalami keadaan seperti
hilangnya motivasi dan tanggung jawab, apatis menghindar dari kegiatan, dan isolasi
sosial. Activity Daily Living (ADL) pada klien gangguan jiwa juga sering mengalami
kemunduran. Kemunduran dari ADL ini akan berakibat pada ketidakmampuan dalam
kebersihan diri, penampilan, dan sosialisasi. Klien yang mengalami keadaan tersebut
akan ditolak oleh keluarga dan lingkungan sekitar (Trihardani, 2009). Dengan demikian,
untuk mencegah dan memperbaiki keadaan pasien halusinasi perlu dilakukannya
motivasi aktivitas terjadwal. Prinsip aktivitas terjadwal dapat dilakukan melalui
manajemen waktu secara sederhana. Alat yang berfungsi dalam mengelola waktu yaitu
penjadwalan. Hal ini dikarenakan, fungsi dalam aktivitas terjadwal yakni rencana
pemanfaatan waktu pada pasien halusinasi. Penyusunan jadwal juga memerlukan strategi
yang efektif, sehingga pasien dengan halusinasi dapat berkegiatan tanpa paksaan dan
tidak lagi terfokus pada halusinasinya (Kristiadi & Rochmawati, 2015). Menurut
Nursalam & Efendi (2008) motivasi merupakan hal terpenting dalam membuat aktivitas
terjadwal pada pasien halusinasi. Motivasi merupakan dorongan dari internal dan
eksternal pada seseorang yang diindikasikan dengan adanya hasrat atau minat untuk
melakukan sesuatu. Dengan demikian, motivasi dengan aktivitas terjadwal dapat
dilakukan untuk memanfaatkan waktu pasien agar tidak terfokus pada halusinasinya.
B. Rumusan Masalah
Kesehatan jiwa individu sangat menentukan kualitas dalam bermasyarakat. Hal ini
perlu adanya perhatian khusus pada orang tua dan masyarakat agar tidak terjadi
gangguan jiwa. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling sering dialami pada
pasien yang berada di rumah sakit jiwa. Skizofrenia memiliki gejala positif yaitu
halusinasi. Kejadian halusinasi pada pasien dengan skizofrenia dapat mengakibatkan
efek negatif diantaranya yaitu mondar-mandir tidak jelas, tidak ingin beraktivitas,
menarik diri, jarang makan, malas mandi, pembicaraan menjadi tidak nyambung, dan
susah untuk berkonsentrasi. Efek negatif tersebut dapat mengakibatkan klien ditolak dari
lingkungan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, perlu dilakukannya tindakan
yang tepat untuk mencegah dan memperbaiki efek negatif yang dialami oleh klien.
Tindakan yang tepat dapat membuat pasien mampu untuk mengontrol halusinasi dan
dapat membedakan antara dunia halusinasi dan kenyataan. Asuhan keperawatan pada
klien dengan gangguan stimulasi persepsi: halusinasi merupakan tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengontrol halusinasi pada pasien skizofrenia. Mengenal halusinasi,
menghardik, bercakap-cakap, melakukan ktivitas yang terjadwal, dan patuh minum obat
merupakan tindakan dari asuhan keperawatan yang efektif dilakukan pada pasien
halusinasi. Oleh karena itu, makalah ini akan memberikan gambaran tentang efektifitas
penerapan SAK pada pasien skizofrenia dalam menurunkan gejala halusinasi di Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas penerapan standar
asuhan keperawatan jiwa generalis pada pasien skizofrenia dalan menurunkan gejalan
gangguan stimulasi persepsi: halusinasi pendengaran dan penglihatan.
2. Tujuan khusus
a. Menggambarkan masalah Ny. E dengan gangguan stimulasi persepsi: halusinasi
pendengaran dan penglihatan.
b. Menggambarkan pelaksanaan asuhan keperawatan terhadap Ny. E dengan
gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran dan penglihatan.
c. Menggambarkan hasil asuhan keperawatan terhadap Ny. E dengan gangguan
sensori persepsi: halusinasi pendengaran dan pendengaran.
D. Manfaat
1. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Rumah Sakit
Hasil makalah ini dapat bermanfaat sebagai acuan dalam memberikan asuhan
keperawatan terhadap klien dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi
pendengaran dan penglihatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
b. Bagi Perawat
Hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi perawat dalam peningkatan pengetahuan
untuk memberikan asuhan keperawatan terhadap klien dengan gangguan sensori
persepsi: halusinasi pendengaran dan penglihatan
c. Manfaat Keilmuan
Hasil makalah ini dapat dijadikan gambaran penerapan asuhan keperawatan
terhadap klien dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran dan
pendengaran bagi pengembangan ilmu keperawatan jiwa.
d. Manfaat Penelitian
Hasil makalah ini dapat digunakan sebagai data rujukan bagi karya ilmiah atau
penelitian selanjutnya, sehingga menghasilkan karya ilmiah yang lebih berkualitas
khususnya yang berkaitan dengan asuhan keperawatan terhadap klien dengan
gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran dan penglihatan.

Anda mungkin juga menyukai