Anda di halaman 1dari 8

BAB 2

TEORI DAN ASAS HUKUM

Syarat Terjadinya Tindak Pidana Terorisme

Tentu dalam semua kejadian tindak pidana ada syarat yang memantik terjadinya tindak
pidana tersebut, Syarat suatu percobaan tindak pidana itu adalah:

A. Sudah ada niat. Menurut J. M. Van Bemmelen, dikatakan “Niat melakukan kejahatan
dalam percobaan mengambil tempat yang di duduki kesengajaan dalam delik dengan
sengaja yang diselesaikan”.1
B. Permulaan pelaksanaan. Ada dua teori utama dalam hal ini yang menjelaskan mengenai
permulaan pelaksanaan. Teori tersebut timbul akibat adanya permasalahan mengenai
permulaan pelaksanaan itu sendiri, yaitu apakah permulaan pelaksanaan tersebut harus
diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat / maksud si pelaku” ataukah sebagai
“permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang telah dimaksud oleh si pelaku untuk ia
lakukan”.
I. Teori subjektif. Dalam hal ini, permulaan pelaksanaan dihubungkan dengan niat
yang mendahuluinya (permulaan pelaksanaan tindakan dari niat). Kesimpulan
dari teori ini adalah, seseorang dikatakan melakukan percobaan oleh karena orang
tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat
ataupun yang bersifat berbahaya.
II. Teori objektif. Permulaan pelaksanaan dalam teori ini dihubungkan dengan
pelaksanaan tindakan dari kejahatan. secara nyata. Yaitu apabila dalam delik
formil: jika tindakan itu merupakan sebagian dari perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang. Sedangkan dalam delik materiil: tindakan tersebut langsung
menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Van Bemmelen memberi
pendapat mengenai permulaan pelaksanaan yaitu “...permulaan pelaksanaan harus
merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri dan bukan hanya
permulaan pelaksanaan dari niat”. Dengan demikian dapat kita simpulkan, yang

1
J.M Van Bemmelen, Hukum Pidana I: Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan Oleh Hasan (Binacipta,
1984).
menjadi titik ukur teori ini mengenai permulaan pelaksanaan adalah kapan
peristiwa kejahatan itu nyata terjadi, bukan pada kapan niat itu dilakukan.2
C. Gagalnya atau tidak selesainya tindakan pelaku tindak pidana adalah di luar kehendak
pelaku tindak pidana. Yang tidak selesai itu kejahatan, atau kejahatan dalam undang-
undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya.

Dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang–undang nomor 15 tahun 2003 adalah contoh pasal dalam
undang-undang tersebut yang cara perumusannya hanya menguraikan unsur tindak pidananya
tanpa memberikan klasifikasi nama. Kedua pasal tersebut juga menggunakan pendekatan secara
umum, yaitu menjadikan serangkaian tindak pidana menjadi tindak pidana terorisme.

Unsur-Unsur dan Teori Tindak Pidana Terorisme

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa “Tindak


Pidana Terorisme adalah perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang ini.” Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 akan dibahas dalam dua bagian yaitu: kesatu, unsur-
unsur tindak pidana terorisme, dan kedua, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
terorisme. Unsur-unsur tindak pidana terorisme pada Pasal 6, yaitu: (1) Dengan sengaja; (2)
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan 3) Menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan (4)
Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.3

Dari rumusan Pasal 6 yang berbunyi: “.... dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal.... dsb,” menunjukkan bahwa pasal tersebut
dirumuskan secara “materiil”. Jadi yang dilarang adalah “akibat” yaitu timbulnya suasana teror
atau rasa takut atau timbulnya korban yang bersifat massal. Dengan perumusan sebagai delik
materiil, yang perlu dibuktikan adalah suatu “akibat” yaitu:

2
Bemmelen.
3
Folman P. Ambarita, “Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme,” Binamulia Hukum 7, no. 2 (2018): 141–56,
https://doi.org/10.37893/jbh.v7i2.29.
1. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas;
2. Menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan
3. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.4

Dengan perumusan sebagai delik materiil, yang perlu dibuktikan adalah suatu “akibat” yaitu:

1. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas;
2. Menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan
3. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.5

Dari akibat tersebut di atas terdapat hubungan kausal dengan perbuatan pelaku yang
dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam teori hukum pidana
untuk menentukan hubungan kausalitas terdapat 3 (tiga) aliran, yaitu:

1. Teori Ekuivalensi. Teori ini mengatakan bahwa tiap syarat adalah sebab dan semua syarat
itu nilainya sama. Sebab kalau satu syarat tidak ada, maka akibatnya akan lain pula. Tiap
syarat, baik positif maupun negatif, untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab dan
mempunyai nilai yang sama. Apabila satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi
akibat konkrit, seperti yang senyata-nyatanya menurut waktu, tempat keadaannya.6
2. Teori Individualisasi. Teori ini memilih secara post factum (inconcreto). Artinya, setelah
peristiwa konkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang
paling menentukan dari peristiwa tersebut. Sedangkan faktor-faktor lainnya hanya
merupakan syarat belaka. Teori ini meninjau secara konkrit mengenai perkara tertentu
saja dan dari rangkaian sebab-sebab yang telah menimbulkan akibat, dicari sebab-sebab
yang dalam keadaan tertentu paling menentukan untuk terjadinya akibat.7
3. Teori Generalisasi. Teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/ in abstracto)
apakah di antara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat
4
Ambarita.
5
Ambarita.
6
Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990).
7
Sudarto.
menimbulkan akibat semacam itu. Artinya, menurut pengalaman hidup biasa atau
menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini
dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-acquare
artinya dibuat sama). Oleh karena itu, teori ini disebut teori adequate (teori adequate,
adaquanzttheorie).8

Teori Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan mempunyai hubungan langsung dengan pengertian hukum


pidana. Teori-teori ini adalah menjatuhkan dan menerangkan tentang dasar dan hak negara dalam
menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Pertanyaan seperti apa, apa dasarnya dan untuk
apa pidana yang telah diancamkan itu dijatuhkan, atau apakah alasannya bahwa negara dalam
menjalankan fungsi menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan cara melanggar
kepentingan hukum dan pribadi orang. Pidana yang diancamkan itu apabila diterapkan, justru
menyerang hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum.

Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik dan menetapkan amar putusan, ia terlebih
dahulu akan merenungkan dan mempertimbangkan manfaat apa yang akan dicapai dari
penjatuhan pidana. Dalam keadaan yang demikian teori hukum pidana dapat membantunya. Dari
berbagai macam teori pemidanaan, dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, ialah:

1) Teori Absolut, Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Penjatuhan pidana yang
pada dasarnya penderitaan, pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat
penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana
bagi pembuatnya. Tidak dilihat akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu,
tidak memperhatikan masa depan, baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat.
Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi
bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.9
2) Teori Relatif, Teori relatif berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib hukum dalam masyarakat. Untuk mencapai ketertiban
masyarakat, maka pidana mempunyai sifat sebagai pencegahan umum. Mengenai
pencegahan ini dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, pencegahan umum yaitu
8
Modul Azaz-Azaz Hukum Pidana Untuk Diklat Pendahuluan Pendidikan Dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ)
(Jakarta, 2010).
9
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).
pidana yang dijatuhkan pada penjahat yang mempunyai tujuan agar orang-orang (umum)
menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Pidana yang dijatuhkan pidana itu dijadikan
contoh oleh masyarakat, agar tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan
penjahat itu. Kedua, pencegahan khusus yaitu teori yang mempunyai tujuan
untukmencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang melakukan
kejahatan.10
3) Teori Gabungan, Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain dua alasan itu adalah menjadi alasan
dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan,
yaitu: a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata
tertib masyarakat. b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat. Tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari
perbuatan yang dilakukan terpidana. Karena dasar primer pidana adalah pencegahan
umum dasar sekundernya adalah pencegahan khusus.11

Asas Tindak Pidana Terorisme

Salah satu wacana dalam pemberlakuan sanksi pidana nasional maupun internasional
terhadap kejahatan terorisme adalah pemberlakuan asas retroaktif. Asas ini berlaku dan dianut
secara universal sebagai upaya konkrit dalam menghormati dan melindungi HAM. Namun,
apabila kejahatan terorisme dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, maka
pemberlakuan asas retroaktif dapat menimbulkan kontroversi yang tajam apalagi jika
dihubungkan dengan sisi keadilan hukum. Perdebatan terhadap asas retroaktif terhadap pelaku
kejahatan terorisme menjadi pembahasan utama dalam bab ini. Tidak saja dalam praktiknya di
beberapa kasus internasional, tetapi juga melihatnya perdebatan tersebut dalam konteks nasional.

Pengertian hukum retroaktif adalah hukum secara retroaktif berlaku surut mengubah
akibat-akibat hukum dari tindakan yang dilakukan atau status hukum dari perbuatan dan
hubungan yang terjadi sebelum penetapan undang-undang. Suatu peraturan perundang-undangan
mengandung asas retroaktif jika:12
10
Chazawi.
11
Chazawi.
12
Ambarita, “Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme.”
1. Menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan
tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan melakukan pidana;
2. Menjatuhkan hukuman atau pidana lebih berat dari pada hukuman atau pidana yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Dalam kaitannya dengan HAM asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi 4
(empat) syarat kumulatif yaitu:13

1. Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan
destruksinya setara dengannya;
2. Peradilannya bersifat internasional bukan peradilan nasional;
3. Peradilannya bersifat ad hoc bukan peradilan permanen;
4. Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana,
aparat atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM
berat, kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.

Menurut Bahri Nasution, terorisme dapat muncul dan terjadi dimana saja serta
mengancam keselamatan siapa saja dengan menggunakan kekerasan oleh individu maupun
kelompok. Perkembangan teknologi dan telekomunikasi mengakibatkan terorisme menjadi
kompleks dan menjadi kejahatan yang sangat serius.14 Dalam beberapa dekade terakhir, terorisme
terjadi pada banyak negara. Berbagai peristiwa menunjukkan terorisme tidak menutup
kemungkinan dilakukan oleh warga negara dari suatu negara dengan sasaran negara lain.

Terorisme dilakukan tidak memandang sasaran apakah negaranya sendiri atau negara
lain. Oleh karena itu, terorisme telah menjadi fenomena kejahatan transnasional dan telah
menjadi kejahatan yang bersifat internasional. Terorisme dipandang sebagai kejahatan luar biasa
dan bersifat transnasional, maka Pemerintah dan DPR menganggap bahwa terorisme perlu diatur
dalam perundang-undangan yang lebih khusus. Atas dasar itulah kemudian disahkan undang-
undang pemberantasan tindak pidana terorisme.15

Pemberlakuan asas retroaktif yang merupakan penyimpangan asas legalitas sejatinya


bukan hal baru dalam dunia hukum. Proses terhadap penjahat perang adalah contoh
13
Ambarita.
14
Bahri Nasution, “Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus Empat Bidang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme,” Dalam Sidang Pansus Empat RUU Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris (Jakarta, 2003).
15
Ambarita, “Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme.”
pemberlakuan asas berlaku surut untuk menyeret para tersangka ke depan meja hijau.
Pemberlakuan asas retroaktif secara terbatas ini jelas membuktikan bahwa asas hukum non-
retroaktif bukan lagi asas hukum yang bersifat universal.16

DAFTAR PUSTAKA

Ambarita, Folman P. “Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme.” Binamulia Hukum 7, no. 2


(2018): 141–56. https://doi.org/10.37893/jbh.v7i2.29.

Bemmelen, J.M Van. Hukum Pidana I: Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan Oleh
Hasan. Binacipta, 1984.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Juergensmeyer, Mark. Terorisme Para Pembela Agama. Yogyakarta: Tarawang Press, 2003.

Modul Azaz-Azaz Hukum Pidana Untuk Diklat Pendahuluan Pendidikan Dan Pelatihan
Pembentukan Jaksa (PPPJ). Jakarta, 2010.

Nasution, Bahri. “Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus Empat Bidang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme,” Dalam Sidang Pansus Empat RUU Bidang Pemberantasan Tindak
Pidana Teroris. Jakarta, 2003.

16
Ambarita.
Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.

Anda mungkin juga menyukai