Anda di halaman 1dari 40

Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus Pada Lansia

diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik

Dosen Pengampu : Salami S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :

Nurbaeti (302019024)

Fitria Fuji (302019025)

Amalia Putri (302019026)

Jihan Padilah (302019027)

Aisyah Nurul (302019028)

Priadi Hamzah (302019029)

Siti Muslihat (302019030)

FAKULTAS KESEHATAN

PRODI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG

TAHUN AJARAN

2022-2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan karunia serta ridho-Nya, sehingga dapat menyelesaikan Tugas
makalah Keperawatan Gerontik ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam
kami limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat serta
umatnya hingga akhir zaman.

Atas rahmat dan inayah-Nya kami sebagai penulis dapat menyelesaikan Makalah
Keperawatan Gerontik ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus Pada
Lansia”. Tim Penulis menyadari bahwa Makalah ini jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu Tim penulis sangat berterimakasih atas saran dan masukan yang diberikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan digunakan sebaik-baiknya.

Bandung, 22 Sepetember 2022

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lanjut usia atau lansia adalah individu yang berumur 60 tahun ke atas.
Proses menua yang dialami lansia merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar. Pada proses
menua lansia akan mengalami kemunduran fisiologis, psikologis dan sosial,
perubahan ini akan mempengaruhi kesehatan pada lansia (Maylasari et al.,
dalam Kristina, 2019).
Berdasarkan sensus penduduk 2020, terjadi peningkatan persentase
penduduk lanjut usia atau lansia (60 tahun ke atas) menjadi 9,78 persen di
tahun 2020 dari 7,59 persen pada 2010. Lansia usia 60-64 tahun tertinggi
yakni 10,3 juta penduduk. Sementara, penduduk usia 75+ tahun sebanyak 5
juta, lebih banyak dari penduduk umur 70-74 tahun (Badan Pusat Statistik
dalam Kristina, 2019).
Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang cukup besar di Indonesia pada saat ini. Hal ini ditandai
dengan adanya pergeseran pola penyakit secara epidemiologi dari penyakit
menular yang cenderung menurun ke penyakit tidak menular yang secara
global meningkat di dunia, dan secara nasional telah menduduki sepuluh besar
penyakit penyebab kematian dan kasus terbanyak, yang diantaranya adalah
penyakit diabetes melitus (DM) dan penyakit metabolik (PM) (Toharin dalam
Syahid, 2021).
Diabetes Mellitus merupakan salah satu dari sepuluh penyebab
kematian tertinggi di dunia. Pada tahun 2016 sebanyak 21,3 juta lanjut usia
dengan diabetes mellitus. Pada tahun 2019 sebanyak 300 juta orang berusia
60-79 tahun hidup dengan diabetes mellitus (WHO dalam Kristina, 2019).
Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik yang di tandai dengan
tingginya kadar glukosa darah (hyperglikemia) sebagai akibat dari kekurangan
sekresi insulin, gangguan aktifitas insulina atau keduanya (Bulu et al., dalam
Syahid, 2021). Diabetes mellitus yang terjadi pada lansia sering sekali tidak
disadari karena gejala-gejala yang sering terjadi seperti sering merasa haus
(Polidipsi), sering berkemih (Poliuri), dan sering merasa lapar (Polivagi)
tersamarkan akibat perubahan fisik alamiah lansia yang mengalami
penurunan, sehingga diabetes yang terdiagnosis ini akan semakin berkembang
dan menjadi komplikasi yang akan berakibat fatal. Dampak akibat dari tanda
gejala yang muncul tentunya juga akan berdampak terhadap kebutuhan
fisiologis lansia, seperti gangguan nutrisi karena seseorang yang menderita
diabetes mellitus sering merasa lapar dan gangguan istirahat dan tidur akibat
seseorang yang diabetes mellitus sering membuang urin di malam hari
sehingga tidur klien terganggu (Kienantonate, 2020).
Selain memberikan dampak buruk terhadap fisik, diabetes mellitus
juga dapat member dampak terhadap psikologis, social dan ekonomi, pada
system perkemihan terjadi inkontinensia urin dan penurunan penglihatan.
Penderita diabetes juga akan menunjukan reaksi marah merasa tidak berguna,
kecemasan meningkat bahkan depresi. Dari aspek social seseorang yang
menderita diabetes mellitus akan mudah lelah sehingga menjadi sulit untuk
berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain. Sedangkan dari segi
ekonomi seseorang yang menderita diabetes mellitus sangat membutuhkan
biaya yang sangat besar karena pengobatannya serta harus mengkonsumsi
obat-obatan seumur hidup (Kienantonate, 2020).
Berdasarkan hal di atas, maka diperlukan pengenalan masalah yang
diharapkan dapat dilakukannya kegiatan pencegahan, perawatan, maupun
pengobatan bagi lansia yang mengalami penyakit tidak menular. Selain itu,
sebagai perawat perlu melakukan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan
pengetahuan melalui promosi kesehatan mengenai penyakit dan
penatalaksanaannya baik secara farmakologi dan non farmakologi.
Sehubungan dengan itu, peran perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada lansia dengan penyakit tidak menular sangat dibutuhkan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan rumusan pernyataan yang akan diajukan
dalam makalah. Adapun rumusan masalah dalam makalah sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep dasar penyakit diabetes mellitus?
2. Bagaimana konsep dasar lanjut usia?
3. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan
diabetes mellitus?
C. Tujuan
Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai dari suatu makalah.
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini sebagai berikut.
1. untuk mengetahui bagaimana konsep dasar penyakit diabetes mellitus;
2. untuk mengetahui bagaimana konsep dasar lanjut usia;
3. untuk mengetahui bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada
pasien lansia dengan diabetes mellitus.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A Konsep Diabetes Melitus


1) Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolik dimana ditemukan
ketidakmampuan untuk mengoksidasi karbohidrat, akibat gangguan pada
mekanisme insulin yang normal, menimbulkan hiperglikemia, glikosuria,
polyuria, rasa haus, rasa lapar, badan kurus, kelemahan, asidosis, sering
menyebabkan dyspnea, lipemia, ketonuria, dan akhirnya koma.
(Kinantonate, 2020)
Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan metabolik yang
diakibatkan oleh adanya kenaikan kadar glukosa darah dalam tubuh atau
hiperglikemia. (Kinantonate, 2020)
Hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan glukosa darah dari pada
rentang kadar puasa normal 80 – 90 mg/dl darah, atau rentang non puasa
sekitar 140 – 160 mg/100ml darah. (Elizabeth J. Corwin, 2001 dalam
Kinantonate, 2020)).

2) Etiologi
Etiologi Diabetes mellitus menurut Padila dalam (Kinantonate, 2020) ,
adalah :
a. Diabetes mellitus tipe 1
1) Faktor Genetik Penderita tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu
sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan
genetik ke arah terjadinya diabetes mellitus tipe 1
2) Faktor-faktor Imunologi Adanya respon otoimun dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-
olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor Lingkungan Virus atau toksik tertentu dapat memicu
proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.

b. Diabetes mellitus tipe II


Mekanisme yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-
faktor risiko :
1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas
65 th).
2) Obesitas (kegemukan).
3) Riwayat keluarga

3) Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi diabetes mellitus menurut Rumahorbo (2014, p. 14);
(Kinantonate, 2020), terdiri dari :
a. Diabetes mellitus tipe 1
yaitu diabetes tergantung insulin atau insulin dependen
diabetes mellitus (IDDM). Penyebab utamanya adalah tubuh
tidak menghasilkan insulin atau hilangnya sel beta, penghasil
insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. Penderita
tergantung dengan insulin dari luar tubuh karena pankreas
tidak adekuat mencukupi kebutuhan tubuh.
b. Diabetes mellitus tipe II
yaitu diabetes tidak tergantung insulin atau non insulin
dependen diabetes mellitus (NIDDM), diabetes mellitus tipe II
disebabkan oleh berkurangnya produksi insulin dari sel beta
pankreas, menurunnya aktifitas insulin di jaringan dan atau
meningkatnya resistensi jaringan terhadap insulin.
c. Diabetes mellitus tipe lain
yaitu diabetes yang timbul akibat penyakit lain yang
mengakibatkan gula darah meningkat seperti infeksi berat,
kelainan pankreas, kelainan hormonal, karenaobat/zat kimia,
kelainan reseptor insulin, dan kelainan genetik.
d. Gestasional Diabetes mellitus (GDM)
yaitu intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan.
Kondisi ini dapat terjadi bila pada trimester ke dua kehamilan
sekresi hormon pertumbuhan dan hormon chorionik
somatomamotropin (HCS) meningkat untuk mensuplai asam
amino dan glukosa ke fetus.

4) Patofisiologi
Diabetes tipe I terjadi akibat ketidakmampuan sel-sel pankreas
memproduksi insulin yang biasanya disebabkan oleh rusak nya sel-sel
pankreas akibat proses autoimun. Ketika konsentrasi glukosa dalam
darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua
glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut
diekskresikan dalam urin (glukosuria). (Rohmah, 2018)
Kondisi tersebut akan disertai dengan dieresis osmotik yaitu
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan dengan
meningkatnya frekuensi dalam berkemih (poliuri) sehingga pasien
juga akan merasa sering haus (polidipsi). (Rohmah, 2018)
Pada Diabetes Mellitus tipe II terjadi penurunan sensitivitas jaringan
terhadap insulin (resistensi insulin). Hal ini diperberat oleh
bertambahnya usia yang mempengaruhi berkurangnya jumlah insulin
dari sel-sel beta, lambatnya pelepasan insulin dan atau penurunan
sensitifitas perifer terhadap insulin. (Rohmah, 2018)
Akibat defisiensi insulin adalah pemecahan lemak menjadi asam-asam
lemak dan gliserol. Asam lemak bebas Akan diubah menjadi badan
keton oleh hati. Badan keton bersifat asam dan bila bertumpuk dalam
sirkulasi darah akan menimbulkan asidosis metabolic. Ketosis dan
asidosis menimbulkan gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual,
muntah, dan nyeri abdomen. (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Fady,
2015; Rumahorbo, 2014; dalam (Rohmah, 2018))
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan
kadar zat berlemak dalam darah meningkat sehingga mempercepat
terjadinya aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh
darah). Sirkulasi darah yang buruk akibat aterosklerosis yang melalui
pembuluh darah besar (makro) bisa melukai otak, jantung, dan
pembuluh darah kaki, sedangkan yang melalui pembuluh darah kecil
(mikro) bisa melukai mata, ginjal, saraf, dan kulit serta memperlambat
penyembuhan luka. (Rohmah, 2018)
Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan
penglihatan akibat kerusakan retina mata (retinopati diabetikum).
Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa menyebabkan ulkus
(borok) dan semua penyembuhan luka berjalan lambat. (Rohmah,
2018)
Terjadinya ulkus diabetikum diawali adanya hiperglikemia pada
penyandang diabetes mellitus yang menyebabkan kelainan neuropati
dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik
maupun motorik dan autonomik akan mengakibakan perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah terjadinya ulkus (Shanty, 2011; dalam (Rohmah, 2018)

5) Manifestasi klinis
Beberapa gejala penyakit diabetes menurut Shanty dalam
(Kinantonate, 2020) , adalah :
a. Banyak kencing (Poliuria)
Jika kadar gula dalam darah diatas 160-180 mg/dL, glukosa akan
sampai ke air kemih. jika kadarnya semakin tinggi, ginjal akan
membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa
yang hilang. Oleh karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah
berlebihan, penderita akan sering berkemih dalam jumlah banyak.
b. Banyak minum (Polidipsi)
Awalnya, penderita diabetes mengalami poliuri. Karena sering
berkemih, akibatnya penderita merasakan haus yang berlebihan.
c. Banyak makan (Polifagia)
Sejumlah besar kalori akan hilang ke dalam air kemih sehingga
penderita diabetes akan mengalami penurunan berat badan. Untuk
mengompensasi hal ini, penderita sering merasakan lapar yang luar
biasa.
d. Lemas
Ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa
sebagai energi menyebabkan lemas pada penderita diabetes.

6) Komplikasi
Komplikasi yang dapat disebabkan oleh diabetes menurut Pudiastuti
(2013, p. 56 ; dalam (Rohmah, 2018), yaitu :
a. Komplikasi yang dapat terjadi adalah serangan jantung dan
stroke,
Kerusakan pada pembuluh darah matamenyebabkan gangguan
penglihatan akibat kerusakan pada retina mata (retinopati
diabetikum), Kelainan fungsi ginjal dapat menyebabkan gagal
ginjal.
b. Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering
mengalami cedera Berkurangnya aliran darah ke kulit dapat
menyebabkan ulkus (borok) dan semua penyembuhan luka
berjalan lambat.
c. Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa
bentuk. Jika satu saraf mengalami kelainan fungsi
(mononeuropati), maka sebuah lengan atau tungkai bisa secara
tiba-tiba menjadi lemah.
d. Jika saraf yang menuju tangan, tungkai dan kaki mengalami
kerusakan (polineuropati diabetikum), maka pada lengan dan
tungkai dapat dirasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar
dan kelemahan.

7) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diabetes menurut Rumohorbo (2014, p. 25);
(Rohmah, 2018), antara lain :
1) Edukasi
Edukasi penyandang diabetes dimaksudkan untuk memberi informasi
tentang gaya hidup yang perlu diperbaiki secara khusus memperbaiki
pola makan dan pola latian fisik. Informasi yang cukup akan
memperbaiki ketrampilan dan sikap penderita diabetes. Edukasi
pemantauan kadar glukosa darah juga diperlukan karena dengan
pemantauan kadar glukosa secara mandiri, penderita diabetes dapat
mengukur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara
optimal.
2) Terapi Gizi
Pengaturan zat gizi pada penyandang diabetes diarahkan pada gizi
seimbang serta pengaturan jumlah kalori, jenis makanan dan jadwal
makan. Keteraturan jadwal makan merupakan hal penting bagi
penyandang diabetes yang menggunakan obat hipoglikemik baik oral
maupun injeksi.
3) Latihan Fisik
Latian fisik penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya
dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko
kardiovaskuler. Pemilihan jenis dan intensitas latian fisik memerlukan
advis tenaga kesehatan karena pada penyandang diabetes takaran
latian fisik terkait sangat erat dengan kadar glukosa darah khususnya
bagi para pasien yang mendapat terapi obat hipoglikemik dan
pembatasan asupan kalori.
4) Farmakoterapi
Obat hipoglikemik dapat diberikan dalam bentuk tablet atau injeksi.
Biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe II jika diet dan
olahraga gagal menurunkan kadar gula darah. Obat hipoglikemik oral
(OHO) berdasarkan cara kerjanya dibagi atas 4 golongan yaitu :
a. Pemicu sekresi insulin seperti Sulfonil Urea dan Glinid.
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin seperti Metformin dan
Tiazolindion.
c. Penghambat Glukoneogenesis (Metformin).
d. Penghambat absorbs glukosa seperti penghambat glukosidase
alfa.
B Konsep Lansia
1 Pengertian Lanjut Usia
Lanjut usia adalah kelompok manusia yang berusia 60 tahun ke
atas. Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tubuh tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Oleh karena itu, di dalam tubuh akan semakin banyak distrosi
metabolic dan structural yang disebut penyakit degenerative yang
menyebabkan lansia akan mengakhiri hidupnya. (Rohmah, 2018)
Gerontik berasal dari kata gerontologi + geriatrik. Gerontologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang lanjut usia dengan masalah-
masalah yang terjadi pada lansia yang meliputi aspek biologis,
sosiologis, psikologis, dan ekonomi. Geriatrik adalah salah satu
cabang dari gerontologi dan medis yang mempelajari khusus aspek
kesehatan dari usia lanjut, baik di tinjau dari segi promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitative yang mencakup kesehatan badan, jiwa,
dan social, serta penyakit cacat (Sya’diyah, 2018 dalam Rohmah,
2018)).
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta
memperbaiki kerusakan yang diderita.Ada dua proses penuaan, yaitu
penuaan secara primer dan penuaan secara sekunder. Penuaan primer
akan terjadi bila terdapat perubahan pada tingkat sel, sedangkan
penuaan sekuder merupakan proses penuaan akibat factor lingkungan
fisik dan social, stress fisik/psikis, serta gaya hidup dan diet dapat
mempercepat proses menjadi tua. (Rohmah, 2018)

2 Karakteristik Lansia
Beberapa pendapat di bawah ini dikemukakan mengenai batasan umur
lansia (Sya’diyah, 2014 dalam (Rohmah, 2018) )
a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
1) Usia pertengahan (Middle Age)
adalah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
2) Lanjut usia (Elderly)
adalah kelompok usia antara 60 sampai 74 tahun.
3) Lanjut usia tua (Old)
adalah kelompok usia antara 75 – 90 tahun
4) Usia sangat tua (Very old)
adalah kelompok usia diatas 90 tahun
b. Menurut Departemen Kesehatan RI mengklasifikasikan usia lanjut
1) Pra lansia
Seseorang yang berusia anatara 45 -59 tahun.
2) Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3) Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang
yang berusia 60 tahun lebih dengan masalah kesehatan.
4) Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan
yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
5) Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada orang lain.

3 Perubahan yang terjadi pada Lansia


a. Perubahan Fisik
1) Sel
Jumlahnya lebih sedikit tetapi ukurannya lebih besar,
berkurangnya cairan intra dan extra seluler
2) Persarafan
Cepatnya menurun hubungan persarafan, lambat dalam
respons waktu untuk meraksi, mengecilnya saraf panca indra
system pendengaran, presbiakusis, atrofi membrane timpani,
terjadinya pengumpulan serum karena meningkatnya keratin
3) Sistem penglihatan
Pupil timbul sklerosis dan hilangnya respons terhadap sinaps,
kornea lebih berbentuk speris, lensa keruh, meningkatnya
ambang pengamatan sinar, hilangnya daya akomodasi,
menurunnya lapang pandang.
4) Sistem Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% setiap tahun setelah berumur 20
tahun sehingga menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volume, kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah
meninggi.
5) Sistem Respirasi
Otot-otot pernafasan menjadi kaku sehingga menyebabkan
menurunnya aktivitas silia. Paru kehilangan elastisitasnya
sehingga kapasitas residu meningkat, nafas berat, kedalaman
pernafasan menurun.
6) Sistem Gastrointestinal Kehilangan gigi, sehingga
menyebabkan gizi buruk, indera pengecap menurun karena
adanya iritasi selaput lendir dan atropi indera pengecap sampai
80%, kemudian hilangnya sensitifitas saraf pengecap untuk
rasa manis dan asin.
7) Sistem Genitourinaria Ginjal mengecil dan nefron menjadi
atrofi sehingga aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%,
GFR menurun sampai 50%. Nilai ambang ginjal terhadap
glukosa menjadi meningkat. Vesika urinaria, otot-ototnya
menjadi melemah, kapasitasnya menurun sampai 200 cc
sehingga vesika urinaria sulit diturunkan pada pria lansia yang
akan berakibat retensia urine. Pembesaran prostat, 75% dialami
oleh pria diatas 55 tahun. Pada vulva terjadi atropi sedang
vagina terjadi selaput lendir kering, elastisitas jaringan
menurun, sekresi berkurang dan menjadi alkali.
8) Sistem Endokrin Sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi
glukosa, dengan kadar gula puasa yang normal. Penyebab dari
terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor diet, obesitas,
kurangnya olahraga, dan penuaan. Perubahan yang terjadi pada
sistem endokrin akibat proses menua yang pertama, kadar
glukosa darah meningkat. Kedua, ambang batas ginjal untuk
glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini adalah kadar glukosa
dara 2 jam pp 140-200 mg/dl dianggap normal. Ketiga, residu
urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
Keempat, kelenjar tiroid menjadi lebih kecil, produksi T3 dan
T4 sedikit menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat.
Implikasi dari hal ini adalah serum T3 dan T4 tetap stabil
(Sunaryo, 2016)
9) Sistem Integumen Pada kulit menjadi keriput akibat kehilangan
jaringan lemak, kulit kepala dan rambut menipis menjadi
kelabu, sedangkan rambut dalam telinga dan hidung menebal.
Kuku menjadi keras dan rapuh.
10) Sistem Muskuloskeletal Tulang kehilangan densitasnya dan
makin rapuh menjadi kiposis, tinggi badan menjadi berkurang
yang disebut discusine vetebralis menipis, tendon mengkerut
dan atropi serabut erabit otot, sehingga lansia menjadi lamban
bergerak, otot kram, dan tremor.
b. Perubahan Mental Factor-faktor yang mempengaruhi
perubahan mental adalah
1) Perubahan fisik, khusunya organ perasa
a) Kesehatan umum
b) Tingkat pendidikan
c) Keturunanan
d) Lingkungan
2) Kenangan (memori) ada 2
a) Kenangan jangka panjang, berjam-jam sampai berhari-
hari yang lalu
b) Kenangan jangka pendek 0-10 menit, kenangan buruk
3) Intelegentia Question
a) Tidak berubah dengan informasi matematika dan
perkataan verbal
b) Berkurangnya penampilan, persepsi dan keterampilan
psikomotor terjadi peubahan pada daya
membayangkan, karena tekanan-tekanan dari faktor
waktu
C Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus pada Lansia
A. Pengkajian
1. Identitas
Identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang: jati diri
seseorang. Identitas klien meliputi :
a. Nama
sangat penting untuk menjalin sebuah hubungan komunikasi yang baik
dan mempermudah dalam hal sapa menyapa.
b. Umur
pentingnya diketahui umur pada lansia sangat berkaitan erat dengan
kemampuan aktivitas fisik seorang lansia.
c. Jenis kelamin
perlu diketahui untuk bisa membedakan mana yang perlu ditanyakan
mengenai laki-laki dan perempuan.
d. Agama
sangat diperlukan dalam hal kerohanian misalnya katolik berhubungan
dengan doa rosario dan lain-lain.
e. Suku bangsa
berhubungan denga adat istiadat dan bahasa yang digunakan setiap
hari.
f. Alamat
g. Tanggal pengkajian
diketahui untuk dapat menentukan rencana asuhan keperawatan
berapa hari kedepannya, dan kesedian lansia untuk dikaji.
h. Diagnosa medis
untuk mengetahui penyakit apa yang diderita lansia tersebut.

2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
1) Sejak kapan pasien mengalami tanda dan gejala penyakit diabetes
melitus dan apakah sudah dilakukan untuk mengatasi gejala
tersebut.
2) Apakah pernah melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg
3) Apakah pernah mengalami penyakit pankreas seperti pancreatitis,
neoplasma, panreatectom, dll
4) Penggunaan obat-obatan atau zat kimia seperti glukokortikoid,
hormone tiroid, dilantin, nicotinic acid.
5) Hipertensi lebih dari 140/90 mmHg atau hiperlipidemia, kolesterol,
atau trigkiserida lebih dari 150 mg/dl
6) Perubahan pola makan, minum dan eliminasi urin.
7) Apakah ada riwayat keluarga dengan penyakit DM
8) Adakah riwayat luka yang lama sembuh
9) Penggunaan obat DM sebelumnya

b. Keluhan utama pasien saat ini


1) Nutrisi
Peningkatan nafsu makan, mual, muntah, penurunan atau
peningkatan berat badan, banyak minum dan perasaan haus.
2) Eliminasi
Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, kesulitan berkemih,
diare.
3) Neurosensori
Nyeri kepala, parasthesia, kesemutan pada ekstermitas, penglihatan
kabur, gangguan penglihatan.
4) Integument
Gatal pada kulit, gatal pada sekitar penis dan vagina, luka gangreng
5) Muskuluskeletal
Kelemahan dan keletihan.
6) Fungsi seksual
Ketidakmampuan ereksi (impoten), regiditas, penurunan libido,
kesulitan orgasme pada wanita.

3 Pemeriksaan Fisik
a. Status keadaan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan,
berat badan, dan tanda-tanda vital.
b. Kepala dan leher
1) Kaji bentuk kepala
2) Keadaan rambut
3) Adakah pembesaran pada leher
4) Adakah gangguan pendengaran, telinga kadang-kadang
berdenging
5) Lidah sering terasa baal
6) Ludah menjadi kental
7) Gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah
c. Pemeriksaan integument
1) Kulit kering dan kasar
2) Gatal-gatal pada kulit dan sekitar alat kelamin
3) Luka gangrene
d. Muskuloskeletal
1) Kelemahan otot
2) Nyeri tulang
3) Kelainan bentuk tulang
4) Adanya kesemutan, paresthesia dank ram ekstermitas
5) Osteomilitis
e. Sistem persarafan
1) Menurunnya kesadaran
2) Kehilangan memori, iritabilitas
3) Paresthesi pada jari-jari tangan dan kaki d) Neuropati pada
ekstermitas
4) Penurunan sensasi dengan pemeriksaan monofilament
5) Penurunan refkex tendon dalam
f. Sistem urinary
1) Poliuri
2) Retensio urine
3) Inkontinensia urine
4) Rasa panas atau sakit saat berkemih.
g. Sistem gastrointestinal
1) Polifagi
2) Polidipsi
3) Mual, muntah
4) Diare
5) Konstipasi
6) Dehidrasi
7) Perubahan berat badan
8) Peningkatan lingkar abdomen
9) Obesitas
h. Sistem pernapasan
1) Nafas bau keton
2) Perubahan pola napas
i. Sistem kardiovaskuler
1) Hipotensi atau hipertensi
2) Takhikardia, palpitasi

4 Test Diagnostik
a. Pemeriksaan darah
1) Pemeriksaan gula darah meningkat
2) Peningkatan HgbA1c
3) Kolestrol dan trigliserida meningkat
4) Pemeriksaan albumin
5) Pemeriksaan darah urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
6) Pemeriksaan elektrolit
b. Pemeriksaan urine
1) Glukosa urine meningkat
2) Pemeriksaan keton dan albumin urin
c. Rontgen foto
Rongen dada untuk menentukan adanya kelainan paru-paru
1) Pemeriksaan angiografi, monofilament, dopler pada luka
gangren
2) Kultur jaringan pada luka gangren
3) Pemeriksaan organ lainnya yang mungkin terkait dengan
komplikasi diabetes melitus seperti pemeriksaan mata, saraf,
jantung dll.
B. Diagnosa
Dalam Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI), Diagnosa
Keperawatan Diabetes Melitus meliputi :
1 Pola nafas tidak efektif.
2 Penurunan curah jantung
3 Nyeri akut.
4 Defisit Nutrisi
5 Intoleransi aktivitas.
6 Gangguan Mobilitas Fisik
7 Ansietas
8 Defisit Pengetahuan
9 Resiko ketidakseimbangan Termoregulasi
10 Gangguan integritas kulit
11 Hipovolemia
C. Intervensi
Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, intervensi pada pasien
dengan diabetes mellitus berdasarkan diagnosa meliputi :
1 Diagnosa : Pola nafas tidak efektif.
Intervensi :
a. Manajemen jalan napas
b. Pemantauan respirasi
c. Terapi relaksasi otot progresif
2 Diagnosa : Penurunan curah jantung
Intervensi :
a. Perawatan jantung
b. Menajemen cairan
c. Pemantauan cairan
d. Pemantauan hemodinamik infasif
3 Nyeri akut.
a. manajemen nyeri
b. kolaborasi obat analgesik
4 Defisit Nutrisi
a. manajemen nutrisi
b. promosi berat badan
c. edukasi diet
d. pemantauan ciran
e. pemantauan nutrisi
f. manajemen cairan
5 Intoleransi aktivitas
a. manajemen energy
b. terapi aktivitas
c. promosi latihan fisik
d. prmosi berat badan
6 Gangguan Mobilitas Fisik
a. dukungan ambulasi
b. dukungan mobilisasi
c. pemantauan neurologis
d. menajemen nyeri
e. latihan relaksasi otot progresif
7 Ansietas
a. reduksi ansietas
b. terapi relaksasi
c. konseling
8 Defisit Pengetahuan
a. edukasi kesehatan
b. edukasi diet
c. edukasi proses penyakit
d. edukasi pencegahan infeksi
9 Resiko ketidakseimbangan Termoregulasi
a. edukasi termoregulasi
b. edukasi pengukuran suhu tubuh
c. edukasi aktivitas istirahat
d. edukasi berat badan efektif
e. manajemen lingkungan
10 Gangguan integritas kulit
a. perawatan integritas kulit
b. perawatan luka
c. latihan rentang gerak
d. dukungan perawatan diri
e. edukasi perawatan kulit
11 Hipovolemia
a. manajemen hipovolemia
b. pemantauan cairan
c. dukungan kepatuhan program pengobatan
d. manajemen elektrolit

D. Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi tindakan keperawatan
dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu :
1 Independent
yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk dari
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Lingkup tindakan keperawatan
independent.
a. Mengkaji klien atau keluarga melalui riwayat keperawatan dan
pemeriksaan fisik untuk mengetahui status kesehatan klien.
b. Merumuskan diagnosiskeperawatan sesuai respons klien yang
memerlukan intervensi keperawatan
c. Mengidentifikasi tindakan keperawatan untuk mempertahankan
atau memulihkan kesehatan klien
d. Mengevaluasi respons klien terhadap tindakan keperawatan.
2 Interdependent
Yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerjasama dari tenaga
kesehatan lain.
3 Dependent Berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis.
Pelaksanaan keperawatan dengan Diabetes Melitus mempunyai
beberapa prinsip, yaitu :
a. Mencegah kekurangan volume cairan
b. Memenuhi kebutuhan nutrisi
c. Mencegah infeksi
d. Mencegah perubahan sensori perceptual
e. Mengatasi kelelahan
f. Mempertahankan integritas kulit
g. Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan.
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil yang teramati dan
tujuan atau criteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan
sumartif.
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan dan dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi
empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data
berupa keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data
(perbandingan data dengan teori, perencanaan).
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas
proses keperawatan selesai dilakukan. Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi
yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan:
1 Tujuan tercapai, jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan
standar yang telah ditentukan
2 Tujuan tercapai sebagian, jika klien menunjukan perubahan pada
sebagian criteria yang ditetapkan
3 Tujuan tidak tercapai, jika klien hanya menunjukan sedikit perubahan
dan tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.
Adapun evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan diabetes melkitus
adalah :
a. Pola nafas tidak efektif
1) Klien menunjukkan kedalaman dan kemudahan bernafas.
2) Tidak ada penggunaan otot bantu nafas.
3) Tidak ada bunyi nafas tambahan dan tidak ada nafas pendek.
b. Penurunan curah jantung
1) Klien menunjukan tekanan darah dan nadi dalam rentang
normal.
2) Peningkatan toleransi terhadap aktivitas.
3) Klien tidak menunjukkan adanya distensi vena jugularis,
disritmia, bunyi jantung abnormal, angina.
c. Nyeri akut
1) Klien menunjukkan kemampuan menggunakan teknik non
farmakologi untuk mengurangi nyeri.
2) Klien mampu mengenal tanda-tanda pencetus nyeri.
3) Klien melaporkan nyeri berkurang.
4) Klien menunjukan ekspresi wajah tenang.
d. Defisit Nutrisi
1) Klien menunjukan adanya peningkatan BB.
2) Klien mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
3) Klien melaporkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat.
e. Intoleransi aktivitas
1) Klien menunjukan aktivitas yang sesuai dengan peningkatan
tekanan darah, nadi, dan frekuesnsi nafas.
2) Klien menunjukan kulit hangat setelah beraktivitas.
3) Klien melaporkan adanya peningkatan aktivitas harian.
f. Gangguan mobilitas fisik
1) Klien menunjukan penampilan yang seimbang.
2) Klien menunjukan penampilan posisi tubuh
3) Klien dapat melakukan gerak rentang sendi.
4) Klien dapat berjalan.
5) Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
g. Ansietas
1) Tidak ada tanda-tanda kecemasan secara fisik pada klien.
2) Klien tidak menunjukan perubahan perilaku akibat kecemasan.
3) Klien meneruskan aktivitas yang dibutuhkan.
4) Klien mengatakan tidak cemas lagi.
h. Defisit Pengetahuan
1) Klien mengetahui nama penyakitnya.
2) Klien dapat menjelaskan proses penyakit.
3) Klien dapat menjelaskan tanda gejala dan komplikasi.
i. Resiko ketidakseimbangan Termoregulasi
1) Suhu tubuh normal.
2) Nadi dan pernafasan normal.
3) Klien menunjukan perubahan warna kulit.
4) Klien melaporkan tidak ada tanda-tanda hipertermi.
d. Gangguan integritas kulit
1) klien mengatakan bagian tubuh ada yang bengkak berisi cairan
2) klien mengatakan apabila terdapat sulit sulit mnegering
e. Hipovolemia
1) Klien mengatakan buang air kecil berkurang.
2) Klien mengatakan mukosa bibir dan turgor kulit lembab

D Integrasi Jurnal EBN Diabetes Melitus pada Lansia

E Analisa Jurnal
Judul Jurnal Relationship Between Family Support and Activeness of
Prolanis Participants With Diabetes Mellitus
Tahun 2020
Penulis Jurnal Ananda HS, Nandang Jamiat dan Hendra Gunawan
Metode Metode pelaksanaan Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif korelatif dengan pendekatan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah partisipan DM prolanis
dengan menggunakan total sampling. Variabel bebas
keluarga dukungan sedangkan variabel terikatnya adalah
peserta DM prolanis aktif. (Ananda et al., 2020)
Dalam penelitian ini seluruh responden mendapat
dukungan keluarga yang berada pada kategori sangat
mendukung yang terdiri dari 24 responden (55,8%) dalam
kategori cukup aktif. Selain itu, terdapat 19 responden
(44,6%) dalam kategori sangat aktif. Dari hasil penelitian
dapat diketahui bahwa keluarga responden telah
memberikan dukungan kepada peserta DM prolanis untuk
aktif di Puskesmas Talaga Bodas. Keluarga mereka juga
peduli dengan kebutuhan peserta, mereka mau
mendengarkan keluhan peserta dan juga membantu peserta
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. (Ananda et al.,
2020)
Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan Dukungan
keluarga membuat kepuasan anggota prolanis dengan
diabetes. Meskipun kepuasan dan jumlah dukungan sosial
yang diterima individu secara signifikan dan positif terkait
satu sama lain, kepuasan dengan dukungan sosial terkait
diabetes lebih penting daripada jumlah dukungan sosial
yang diterima dalam hal Kualitas Hidup (QOL). Dukungan
sosial yang lebih baik dapat secara positif mempengaruhi
beban manajemen penyakit dan kualitas hidup. (Ananda et
al., 2020)
Definisi dan tujuan Diebetes Mellitus tipe 2 (DM T2) merupakan salah satu
jenis penyakit kronis yang telah menjadi ancaman kesehatan
di masyarakat. Sampai saat ini DM tipe 2 belum bisa
disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan. (Salami, 2017)
Prolanis adalah sistem pelayanan kesehatan dan
pendekatan efektif yang dilakukan secara terpadu yang
melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial) dalam rangka menjaga
kesehatan peserta BPJS yang memiliki penyakit kronis
untuk mencapai kehidupan yang optimal. berkualitas
dengan biaya yang efektif dan efisien. (Ananda et al., 2020)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara dukungan keluarga dengan keaktifan
peserta prolanis dengan diabetes mellitus (Ananda et al.,
2020)
Prosedur Dalam penelitian ini seluruh responden mendapat dukungan
keluarga yang berada pada kategori sangat mendukung yang
terdiri dari 24 responden (55,8%) dalam kategori cukup
aktif. Selain itu, terdapat 19 responden (44,6%) dalam
kategori sangat aktif. Dilihat dari keaktifannya dapat
diketahui bahwa keaktifan peserta dalam mengikuti program
Prolanis cukup cukup yaitu sebanyak 24 responden (55,8%),
sedangkan responden pada kategori sangat aktif sebanyak
19 responden (44,2%). (Ananda et al., 2020)
Hasil dan Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
Kesimpulan
dukungan keluarga dengan keaktifan peserta DM Prolanis.
Gambaran umum dukungan keluarga sangat mendukung,
terdiri dari 24 responden (55,8%) dalam kategori cukup
aktif dan 19 responden (44,2%) dalam kategori sangat aktif.
(Ananda et al., 2020)
Referensi Ananda, H., Jamiat, N., & Gunawan, H. (2020).
Relationship Between Family Support and Activeness of
Prolanis Participants With Diabetes Mellitus,
27(ICoSHEET 2019), 203–206.
https://doi.org/10.2991/ahsr.k.200723.051
Analisa Jurnal
Judul Jurnal Faktor Sosiodemografi Dan Self Efficacy Penderita
Diabetes Mellitus Tipe 2 (Study Pada Peserta Prolanis) Di
Puskesmas Talaga Bodas Bandung
Tahun 2017
Penulis Jurnal Salami
Metode Metode Desain penelitian berupa penelitian analitik
dengan pendekatan cross- sectional, dimana pengukuran
variabel dependen dan independen dilakukan pada saat
yang bersamaan. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah self efficacy penderita DM tipe 2 peserta prolanis.
Sedangkan variabel independen pada penelitian ini adalah
faktor sosiodemografi yang meliputi umur, jenis kelamin,
pendidikan, status marital, penghasilan, lama menderita
penyakit dan komplikasi. (Salami, 2017)
Berdasarkan studi pendahuluan didapatkan data bahwa
di Puskesmas Talaga Bodas Kota Bandung jumlah
penderita DM tipe 2 pada tahun 2015 yaitu senayak 1119
jiwa. Sebanyak 984 orang (88%) merupakan pasien non-
prolanis dan 135 orang (12%) terdaftar sebagai anggota
Prolanis. (Salami, 2017)
Definisi dan tujuan Diebetes Mellitus tipe 2 (DM T2) merupakan salah satu
jenis penyakit kronis yang telah menjadi ancaman
kesehatan di masyarakat. (Salami, 2017)
Prolanis adalah Program Pengendalian Penyakit Kronis
Salah satu penyakit yang dikelola adalah penyakit DM
Tipe 2. Prolanis dikelola oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas). (Salami, 2017)
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan
kontribusi sebagai dasar dalam intervensi keperawatan
yang menitikberatkan pada keterlibatan penderita DM Tipe
2 dalam meningkatkan self efficacy untuk mengelola
penyakitnya. (Salami, 2017)
Prosedur Dalam penelitian ini Teknik Pengumpulan data
menggunakan kuisioner untuk Kuesioner self efficacy
menggunakan Diabetes Self- Efficacy Questionnare
(DSEQ). Dilakukan pada variabel dependen dan
independen untuk mengetahui distribusi dan frekuensi
setiap variabel. Hubungan antara masing-masing variabel
dependen, yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, dan lama menderita DM tipe 2
dengan self efficacy penderita DM tipe 2. (Salami, 2017)
Hasil dan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
Kesimpulan
bahwa lebih dari setengah responden (57,5,%) berada di
kelompok umur pra lansia 45-59 tahun, jenis kelamin
sebagian besar (60%) perempuan, lebih dari setengah
responden ber pendidikan tinggi, 52,% bekerja dengan
penghasilan sebagian besar lebih dari UMK, dilihat dari
lama menderita DM sebagian besar (55%) lebih dari lima
tahun. (Salami, 2017)
Referensi Salami. (2017). Faktor Sosiodemografi dan Self Efficacy
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 (Study pada Peserta
Prolanis) di Puskesmas Talaga Bodas Bandung. Jurnal
Medika Cendikia, 4(1), 58–66.
Analisa Jurnal
Judul Jurnal Pengaruh Akupresur Terhadap Kadar Glukosa Darah
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Tahun 2019
Penulis Jurnal Jumari , Agung Waluyo , Wati Jumaiyah , Dhea Natashia
Metode Metode pelaksanaan Penelitian ini Penelitian ini
merupakan penelitian analitik komparatif dengan
menggunakan desain quasy experimental. Dengan
pendekatan control group pretest posttest design. Pada
desain ini, terdapat dua kelompok yaitu kelompok
intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi
diberi perlakuan berupa akupresur sedangkan kelompok
kontrol tidak diberi perlakuan. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui apakah ada pengaruh hubungan sebab
akibat setelah dilakukan perlakuan pada kelompok
intervensi. Kemudian setelah perlakuan diberikan,
dilakukan penilaian kadar glukosa darah pada kedua
kelompok dan dibandingkan apakah ada perbedaan kadar
glukosa darah pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol. Penelitian ini dilaksanakan di Persadia RS Islam
Jakarta Cempaka Putih. (Jumari et al., 2019)
Populasi yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien
DM tipe 2. Pasien dalam penelitian ini adalah pasien
diabetes melitus tipe 2, kesadaran composmentis, bersedia
mengikuti penelitian dan mendapatkan terapi obat
antihiperglikemiaoral (OHO). Dengan kriteria ekslusi
tanda-tanda vital tidak stabil, Kontraindikasi akupresur:
kulit yang terluka, bengkak, fraktur dan myalgia dan
responden mengundurkan diri selama proses
penelitianPenentuan besar sampel digunakan
menggunakan rumus Federer sehingga didapatkan jumlah
sampel 32 orang. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah non probability
sampling jenis purposive samplingsuatu teknik
penetapansampel dengan cara memilih sampel di antara
populasi sesuai dengan yangdikehendaki peneliti
(tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi. (Jumari et
al., 2019)
Definisi dan tujuan Akupresur merupakan salah satu bentuk terapi yang
dapat dilakukan untuk membantu menstabilkan glukosa
darah penderita diabetes melitus. Akupresur merupakan
pengobatan yang termasuk kategori Manipulative and
body-based modalities didasarkan pada teori Meridian
dengan teori Ying/Yang dalam ilmu filsafat timur. (Jumari
et al., 2019)
Akupresur adalah cara yang efektif dan nyaman untuk
mengobati pasien diabetes. Akupresur merangsang
pelepasan neurotransmitter yang membawa sinyal
sepanjang saraf atau melalui kelenjar yang kemudian
mengaktifkan hipotalamus. pituitari - sumbu adrenal untuk
mengatur fungsi kelenjar endokrin, perangsangan
akupuntur pada titik Zusanli meningkatkan fungsi sekresi
insulin pada penderita non insulin dependen diabetes
melitus dan secara bermakna dapat menurunkan kadar
gula. (Jumari et al., 2019)
Prosedur Dalam penelitian ini Sebanyak 52 subjek dikaji
eligibility hanya 32 setuju untuk berpartisipasi. Ratarata
responden pada penelitian ini sebanyak 61,5 %. Partisipan
yang telah setuju untuk dijadikan responden
menandatangani informed concent, pengukuran kadar
glukosa darah sewaktu dilakukan sebanyak 2 kali yaitu
pada minggu pertama sebelum diberikan intervensi ini
dijadikan data pretest dan setelah 3 minggu pemberian
terapi peneliti kembali mengukur kadar glukosa darah
sewaktu responden data ini sebagai post test. Selama
penelitian peneliti melakukan kunjungan rumah responden
untuk memberikan terapi. (Jumari et al., 2019)
Hasil dan Intervensi akupresur secara klinis berkhasiat, yang
Kesimpulan
dapat menurunkan kadar glukosa darah. Ini memerlukan
peran perawat medikal bedah dalam membantu pasien DM
yang memiliki kadar glukosa darah yang tinggi untuk
menurunkan kadar glukosa darah. Sementara itu, peneliti
menganggap intervensi ini sebagai pendekatan baru
khususnya perawat medikal bedah untuk menyediakan
perawatan holistik pada pasien DM tipe 2 yang memiliki
kadar glukosa darah yang tinggi. Namun, intervensi
akupresur pada hasil kadar glukosa darah masih terlihat
tinggi, faktor lain juga harus diperhatikan dan perlu
dieksplorasi lebih lanjut (Jumari et al., 2019)
Referensi Jumari, Waluyo, A., Jumaiyah, W., & Natashia, D. (2019).
Pengaruh Akupresur terhadap Kadar Glukosa Darah
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. PJournal of Telenursing
(JOTING), 2019(9), 1689–1699.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A Kesimpulan
B Saran
DAFTAR PUSTAKA

Ananda, H., Jamiat, N., & Gunawan, H. (2020). Relationship Between Family
Support and Activeness of Prolanis Participants With Diabetes Mellitus.
27(ICoSHEET 2019), 203–206. https://doi.org/10.2991/ahsr.k.200723.051

Jumari, Waluyo, A., Jumaiyah, W., & Natashia, D. (2019). Pengaruh Akupresur
terhadap Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. PJournal of
Telenursing (JOTING), 2019(9), 1689–1699.

Kinantonate, I. (2020). DALAM PEMENUHANM KEBUTUHAN DASAR PADA


LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES
MELLITUS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI MULIA 2
CENGKARENG. Jurnal Keperawatan Indonesia, 21(1), 1–17.

Kristina, S. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dewasa Diabetes Mellitus


dengan Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah. 3(1), 1–9.

Rohmah, A. (2018). Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Pasien DM. Jurnal


Keperawatan, 1–26.

Salami. (2017). Faktor Sosiodemografi dan Self Efficacy Penderita Diabetes Mellitus
Tipe 2 (Study pada Peserta Prolanis) di Puskesmas Talaga Bodas Bandung.
Jurnal Medika Cendikia, 4(1), 58–66.

Syahid, Z. M. (2021). Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pengobatan


Diabetes Mellitus. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(1), 147–155.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i1.546

Anda mungkin juga menyukai