MAKALAH
BAB 10, BAB 11, DAN BAB 12
[1]
DAFTAR ISI
[2]
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanawata’ala yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah
Bisnis Internasional yang berjudul “Turunan cuaca, Energi dan Asuransi, dan Kecelakaan
Turunan dan Apa Yang Dapat Kita Pelajari”.
Makalah ini berisikan tentang Turunan cuaca, Energi dan Asuransi, dan Kecelakaan
Turunan dan Apa Yang Dapat Kita Pelajari. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
informasi kepada para pembaca mengenai Turunan cuaca, Energi dan Asuransi, dan
Kecelakaan Turunan dan Apa Yang Dapat Kita Pelajari.. Saya menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya
hingga makalah ini dapat selesai. Semoga Allah Subhanawata’ala senantiasa meridhai segala
usaha kita. Aamiin.
[3]
Ficky Imanta Hartono
BAB I
PENDAHULUAN
[4]
BAB II
PEMBAHASAN
BAB 10
[5]
suatu pekerjaan biasa disebut sebagai deskripsi jabatan (job description). Untuk
membuat deskripsi jabatan ini perlu dilakukan terlebih dahulu analisa jabatan, yang
berupa kegiatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan dengan
pekerjaan-pekerjaan yang akan dilakukan. Karena proyek bisnis tersebut masih
merupakan rencana, maka analisa jabatan tidak bisa dilakukan pada proyek bisnis
tersebut. Dengan demikian untuk mengidentifikasikan pekerjaan pekerjaan apa yang
perlu dilakukan, kita bisa membandingkan dengan proyek bisnis-poyek bisnis lain yang
sudah ada. Di sini bantuan dari teknisi industri akan bermanfaat untuk
mengidentifikasikan pekerjaan-pekerjaan kunci pada bidang produksi. Dalam setiap
usaha selalu ada pekerjaan-pekerjaan yang sama jenisnya, tetapi ada pula pekerjaan-
pekerjaan yang khusus sifatnya. Sebagai misal, dalam perusahaan tekstil dan perusahaan
sepatu, ada pekerjaan-pekerjaan seperti juru tik, kasir, sekretaris, tenaga penjual, tenaga
keuangan, dan lain sebagainya. Meskipun demikian ada pekerjaan-pekerjaan yang
khusus sifatnya. Seperti pembuat pola pada sepatu, penjahit sepatu, dan lain sebagainya.
Hanya khusus terdapat pada perusahaan sepatu, tetapi pekerjaan-pekerjaan seperti
operator mesin blowing, carding hanya terdapat pada perusahaan tekstil. Pekerjaan-
pekerjaan yang khusus ini kebanyakan terdapat pada kegiatan produksi, karena itulah
bantuan dari teknisi industri sangat diperlukan. Sebagai misal, pekerjaan tukang las
diperlukan pada kegiatan pembuatan kapal, tetapi tidak seti p tukang las bisa dipakai
dalam pekerjaan tersebut karena memerlukan persyatan-persyaratan tertentu. Yang
mengetahui persyaratan-persyaratan in adalah juga teknisi industri.
Karena itulah, bantuan mereka yang mengetahui kegiatan produksi sangat diperlukan
agar bisa mengidentifikasikan pekerjaan-pekerjaan kunci, kegiatan-kegiatan apa yang
dilakukan para pekerja tersebut sangat diperlukan. Hasil kegiatan yang disebut sebagai
analisa jabatan ini kemudian disusun dalam suatu penjelasan yang disebut sebagai
deskripsi jabatan. Meskipun tidak ada standar bentuk deskripsi jabatan, umumnya
penyusunan deskripsi jabatan ini, untuk tugas-tugas ang harus clilaksanakan dimulai
kalimatnya dengan kata kerja. Seperti misalnya:
Tuga – tugas yang di lakukan :
- Membuat rencana penyelesaian pekerjaan dengan menyusun “ gantt chart “.
- Menaksir biaya yang di perlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut,
- Manaksir kebutuhan “ man hours “ untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan
sebagainya.
Dalam deskripsi jabatan yang dibuat sering disusun bentuknya sebagai berikut:
[6]
1. Identifikasi jabatan.
2. Ringkasan jabatan.
3. Tugas yang dilaksanakan. 4. Pengawasan yang diberikan dan diterima.
5. Hubungan dengan jabatan-jabatan lain.
6. Bahan-bahan, alat-alat, dan mesin-mesin yang dipergunakan.
7. Kondisi kerja.
8. Penjelasan istilah-istilah yang tidak lazim.
9. Komentar tambahan untuk melengkapi penjelasan di atas.
Penyusunan jenis-jenis pekerjaan ini tentu saja tidak perlu untuk semua jenis
pekerjaan. Untuk pertama kali cukup hanya disusun jenis-jenis pekerjaan kunci
saja. Penyusunan ini yang merupakan salah satu aspek evaluasi untuk manajemen
nantinya, merupakan tugas yang sulit, karena tidak tersedia berbagai model
kuantitatif untuk membantu penyusunannya. Karena itu, pengalaman sangat
diperlukan dalam penyusunan ini.
[7]
menguntungkan kalau dilakukan oleh wanita. Bagaimana kalau terjadi misalnya
kerusakan kendaraan di tengah jalan, jauh dari tempat penduduk?
Beberapa perusahaan mulai menggunakan persyaratan yang lebih real dan bukan
formal. Sebagai misal menentukan persyaratan seperti, pendidikan ekuivalen dengan
sarjana. Dengan demikian seseorang bukan sarjana bisa saja memangku jabatan tersebut,
asal dinilai mempunyai kemampuan seperti seorang sarjana.
[8]
bekerja dengan baik, terlalu sedikit akan membuat biaya menjadi terlalu mahal karena
adanya kapasitas yang menganggur.
3. Menyusun mekanisme untuk mengkoordinir pekerjaan dari para anggota organisasi ke
dalam satuan yang harmonis dan terpadu. Karena pekerjaan-pekerjaan ini dibagi-bagi
kepada masing-masing orang atau departemen, maka bisa terjadi konflik antartujuan dari
masing-masing bagian. Mekanisme koordinasi diperlukan untuk menghindari hal
semacam ini.
Kesatuan tindakan, keputusan, dan penyesuaian diri yang biasanya mudah dilakukan
untuk perusahaan-perusahaan kecil yang berjalan baik, menjadi sulit apabila perusahaan
makin bertambah besar. Karena proyek bisnis-proyek bisnis tersebut umumnya
merupakan suatu perusahaan besar, maka organisasi yang baik makin terasa diperlukan.
Tugas para manajer nantinya adalah memperkenankan masing-masing anggota organisasi
untuk tetap responsif dengan tujuan mereka, sementara pada waktu yang sama
mengkoordinir elemen-elemen yang berbeda ke dalam satuan yang efisien dan produktif.
Salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan menentukan struktur formal dari
organisasi. Struktur formal organisasi menunjukkan masing masing bagian dan anggota
dalam organisasi tersebut, kedudukan dan hubungan mereka satu sama lain. Struktur ini
biasanya dicantumkan dalam bagan organisasi (organization chart). Meskipun demikian,
tidak setiap. perusahaan setuju dengan bagan organisasi tersebut. Sebagai misat, Robert
Towsend, bekas direktur Avis menyatakan bahwa bagan organisasi merusak moral,
karena bagan tersebut menguatkan bahwa semua wewenang dan kemampuan berasal dari
atas. Tetapi sebagian besar perusahaan setuju dengan pembuatan bagan organisasi
tersebut, karena membantu menjelaskan wewenang, tugas, dan tanggung jawab
manajemen. Bagan crganisasi tersebut menggambarkan lima aspek struktur organisasi,
yaitu:
1. Pembagian pekerjaan.
2. Manajer dan bawahan.
3. Tipe pekerjaan yang dilakukan.
4. Pengelompakan bagian-bagian pekerjaan.
5. Tingkatan manajemen.
Manfaat dan kerugian bagan organisasi telah lama menjadi perdebatan para ahli.
Manfaatnya antara lain adalah memudahkan para anggota organisasi melihat bagaimana
organisasi disusun. Di samping itu para manajer dan bawahan tahu tugas-tugas mereka
secara jelas. Di samping itu kalau ada suatu persoalan yang ingin dipecahkan, kita bisa
[9]
mengetahui dari mana kita harus mencari orang yang bisa memecahkan persoalan
tersebut.
Kerugiannya adalah bahwa dalam bagan organisasi tersebut terlalu banyak hal-hal yang
terlewatkan. Sebagai misal, tidak nampak dalam bagan tersebut seberapa jauh tanggung
jawab dan tugas seseorang dalam masing masing tingkatan organisasi itu. Juga hubungan-
hubungan informal tidak nampak dalam bagan organisasi tersebut.
Berbagai departemen yang ada dalam organisasi secara formal dapat disusun dalam dua
cara utama yaitu berdasarkan fungsi dan berdasarkan divisi.
[10]
Bagan organisasi tersebut di atas, dibagi atas fungsi-fungsi pokok yang umum terdapat
pada perusahaan industri, yaitu produksi, pemasaran, keuangan, dan personalia. Tentu saja di
dalam masing-masing fungsi tersebut mungkin terdapat spesialisasi lagi. Misalnya bagian
pemasaran akan mempunyai lagi bagian-bagian promosi, riset pasar, dan sebagainya. Bagian
keuangan mungkin mempunyai bagian-bagian seperti treasurer, akuntansi, dan sebagainya.
Penggunaan dasar produk dalam pembentukan departemen departemen yang ada dalam
suatu organisasi terutama berguna kalau perusahaan tersebut menghasilkan berbagai jenis
produk yang berbeda satu sama lain, baik dalam permasaran maupun produksinya.
Contohnya bisa kita lihat pada Gambar 10.2 tersebut.
[11]
Mungkin juga perusahaan menggunakan kombinasi dasar pembentukan departemen pada
tingkat pertama didasarkan atas produk, pada tingkat kedua didasarkan atas fungsi. Contoh
bagan organisasi ini dicantumkan pada Gambar 10.3 di atas.
Pembagian Pekerjaan. Salah satu masalah yang selalu timbul dalam pengorganisasian
adalah menentukan seberapa banyak tugas yang harus dijalankan oleh seorang anggota
organisasi atau sejauh mana kita akan melakukan spesialisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
spesialisasi membawa berbagai manfaat bagi organisasi. Salah satu manfaat vang utama
adalah peningkatan produktivitas. Adam Smith telah membuktikannya sebagaimana tertulis
dalam Wealth of Nations, New York: Modern Library, 1937.
Meskipun demikian, beberapa ahli pada bidang psikologi organisasi berpendapat bahwa
spesialisasi akan menimbulkan kebosanan yang akhirnya mengurangi kepuasan kerja. Mereka
mengkhawatirkan timbulnya "over specialization" yang membuat pekerjaan-pekerjaan
dibagi-bagi dalam tugas tugas yang sangat sederhana. Akibatnya pekerjaan menjadi monoton,
tidak memerlukan inisiatif sehingga membosankan. Untuk itulah diperkenalkan berbagai cara
seperti job enlargement dan job enrichment. Job enlargement mencoba mengurangi
kebosanan ini dengan memperluas lingkup pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan job
enrichment mencoba menghindari ketidakpuasan kerja ini dengan memperdalam pekerjaan
yang harus dilakukan dengan memberikan tanggung jawab yang lebih besar. Seperti
[12]
mengatur kecepatan kerja mereka sendiri, membetulkan kesalahan yang mereka buat dan
sebagainya.
Koordinasi. Masalah lain yang timbul dalam pengorganisasian adalah masalah koordinasi.
Koordinasi merupakan suatu proses pengintegrasian berbagai kegiatan dan tujuan dari
berbagai satuan organisasi agar bisa mencapai tujuan organisasi dengan efisien. Ada beberapa
cara yang biasa dipergunakan untuk mengkoordinir berbagai kegiatan yang ada dalam
organisasi. Pertama, dengan menggunakan hirarki manajerial. Dengan cara ini, jika ada
masalah di antara karyawan, maka yang memecahkan adalah atasan mereka. Atasan
memutuskan tentang apa yang perlu dilakukan oleh para bawahan yang mungkin berselisih
tersebut.
Kedua, dengan menggunakan komunikasi antardepartemen. Cara semacam ini terutama kalau
ada masalah antarmanajer yang berada dalam tingkatan (level) yang sama. Sebagai misal,
lewat komunikasi antar departemen, bagian penjualan bisa menyelesaikan masalah yang
mungkin timbul dengan bagian produksi. Lewat komunikasi ini bisa diketahui masalah apa
yang dihadapi oleh masing-masing departemen.
Ketiga, dengan menggunakan panitia. Panitia ini umumnya melakukan rapat secara periodik
untuk membahas berbagai masalah yang dihadapi oleh berbagai departemen. Panitia ini
mungkin berbentuk: panitia manajemen umum, panitia tentang masalah tertentu, ataupun
panitia multiple management. Salah satu bentuk panitia yang sering dipergunakan adalah
panitia anggaran. Pada waktu penyusunan anggaran diperlukan kerja sama dan partisipasi
dari semua pihak. Dan memang salah satu tujuan pembuatan anggaran adalah berfungsi
sebagai alat koordinasi antarkegiatan.
Rentang Pengawasan (Space of control). Masalah lain dalam peng organisasian adalah
penentuan rentang pengawasan. Rentang pengawasan menunjukkan jumlah bawahan yang
bisa diawasi dengan efektif. Semakin banyak jumlah karyawan yang diawasi, semakin luas
rentang pengawasannya yang seharusnya. Umumnya berkisar antara 3 - 9 orang. Hal ini tidak
mengherankan karena banyak sedikitnya jumlah karyawan yang diawasi tergantung pada
berbagai faktor. Di antaranya adalah:
1. Kompleksitas pekerjaan. Semakin kompleks pekerjaan yang harus dilakukan, rentang
pengawasan cenderung makin sempit.
[13]
2. Kemampuan karyawan. Semakin tinggi kemampuan karyawan, rentang pengawasan
cenderung semakin besar.
3. Kegiatan yang harus dijalankan oleh pimpinan. Semakin banyak kegiatan yang harus
dijalankan oleh pimpinan, rentang pengawasan cenderung semakin sempit.
[14]
memilih cara merekrut tenaga yang sudah "jadi" umumnya harus menawarkan imbalan yang
lebih tinggi daripada imbalan yang sudah mereka terima pada perusahaan yang lama. Untuk
tenaga-tenaga tertentu, bahkan kita mungkin terpaksa harus menggunakan tenaga asing. Dan
ini akan mengakibatkan ketergantungan pada pihak luar negeri. Karena itulah, mestinya
perusahaan juga membuat program penylapan tenaga kerja, sehingga bisa menyediakan
pengganti pengganti karyawan kalau terpaksa beberapa karyawan kunci meninggalkan
perusahaan.
Umumnya cara yang diperlukan untuk memperoleh tenaga kerja yang diperlukan, ditempuh
dengan cara-cara seperti:
1. Memasang iklan.
2. Menghubungi kantor penempatan tenaga kerja.
3. Menggunakan jasa dari karyawan yang sudah ada.
4. Menghubungi lembaga pendidikan.
5. Lamaran yang masuk secara kebetulan.
6. Menghubungi organisasi buruh yang ada.
Di daerah-daerah yang terpencil, sering penyediaan karyawan ini. menjadi sangat sulit.
Umumnya tenaga kerja yang di Jawa masih segan untuk bekerja di pelosok. Karena itulah
banyak perusahaan-perusahaan "logging" terpaksa menggunakan karyawan asing, apakah
mereka dari Philipina, Korea, dan sebagainya. Dengan kata lain, tergantung dari lokasi
proyek bisnisnya, masalah pengadaan tenaga kerja ini akan berbeda pula tingkat
kesulitannya. Kalau proyek bisnis tersebut berlokasi di Jakarta misalnya, penyediaan tenaga
kerja relatif lebih mudah dibandingkan dengan kalau lokasi proyek bisnis tersebut di pelosok,
di luar Pulau Jawa.
Apa pun sumber yang digunakan, umumnya proyek bisnis terpaksa harus mengeluarkan
biaya latihan untuk bisa mendapat tenaga yang terampil, dan mampu menjalankan pekerjaan
yang diperlukan dalam operasi proyek bisnis tersebut.
Salah satu faktor yang perlu kita pertimbangkan agar karyawan yang sudah dimiliki
tidak lari atau pindah ke perusahaan lain adalah dibuatnya sistem penggajian yang baik.
Sistem penggajian ini prinsipnya adalah hendaknya memenuhi persyaratan internal dan
external consistency. Yaitu bahwa gaji yang dibayarkan hendaknya tidak lebih rendah dengan
tingkat upah/gaji yang umum berlaku dan jabatan yang lebih tinggi menerima upah atau gaji
[15]
yang lebih besar pula. Cara yang sering dipergunakan adalah dengan menggunakan sistem
poin, di mana setiap jabatan dinilai dalam bentuk poin. Kemudian poin ini diterjemahkan ke
dalam rupiah sebagai gaji yang dibayarkan.
BAB 11
Aktiva Tetap Lainnya. Ini termasuk perlengkapan angkutan dan materials handling,
perlengkapan untuk penelitian dan pengembangan, meubelair, perlengkapan kantor dan
sebagainya.
[16]
Dasar Penaksiran
Untuk menaksir biaya dari berbagai aktiva tetap, diperlukan informasi tentang kebutuhan
fisik dan harga-harga. Kebutuhan fisik mungkin dida sarkan atas salah satu atau beberapa
faktor berikut ini:
a. Rencana yang terperinci dan spesifikasi yang lengkap.
b. Rancangan garis besar dan spesifikasi yang belum lengkap.
c. Pengalaman dengan proyek bisnis yang sama di tempat lain.
d. Pengalaman dengan proyek bisnis yang agak berbeda di tempat lain.
e. Beberapa "pedoman" yang telah diuji secara empiris.
Informasi tentang harga bisa didasarkan atas:
a. Harga-harga di waktu yang lalu.
b. Daftar harga yang masih berlaku.
c. Daftar harga kira-kira.
2. Aktiva Tetap Tidak Berwujud
Aktiva Tidak Berwujud. Misalnya patent, lisensi, pembayaran "lumpsum" untuk
penggunaan teknologi, engineering fees, copyright, goodwill, dan sebagainya. Biaya
Pendahuluan. Biaya ini terdiri dari biaya untuk studi pendahuluan, penyiapan pembuatan
laporan studi kelayakan, survei pasar, "legal fee", dan sebagainya. Biaya Sebelum
Operasi. Ini adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sebelum berproduksi
secara komersial. Komponen yang utama adalah biaya penarikan tenaga kerja, biaya
latihan, beban bunga, biaya-biaya selama masa produksi percobaan.
Karena sulitnya menentukan kapan suatu produksi sudah bisa dikatakan produksi
secara komersial, maka selalu ada untuk arbitrase dalam penentuannya.
2.2 KEBUTUHAN DANA UNTUK MODAL KERJA
Istilah modal kerja bisa diartikan sebagai modal kerja bruto, atau modal kerjä neto.
Modal kerja bruto menunjukkan semua investasi yang diperlukan untuk aktiva lancar
yang terdiri dari: (i) kas, (ii) surat-surat berharga (kalau ada), (iii) piutang, (iv)
persediaan, (v) lainnya. Modal kerja neto merupakan selisih antara aktiva lancar dengan
utang jangka pendek. Dimaksudkan dengan aktiva lancar adalah aktiva yang untuk
berubah menjadi kas memerlukan waktu yang pendek, kurang dari satu tahun, atau satu
siklus produksi.
Untuk pembicaraan di sini kita menggunakan pengertian modal kerja bruto dengan
alasan bahwa bagaimanapun juga kebutuhan dana ini harus ada yang membelanjainya,
[17]
apakah dengan spontan atau tidak. Di dalam pengertian sehari-hari sering memang modal
kerja ini diartikan sebagai keseluruhan aktiva lancar. Meskipun dalam keadaan-keadaan
tertentu kita mungkin lebih tepat menggunakan pengertian neto.
Misalkan perusahaan akan memproduksikan sebanyak 72.000 unit. dalam satu tahun.
Produksi per bulan diperkirakan stabil selama tahun tersebut. Blaya per unit untuk
membuat 72.000 unit tersebut diperkirakan sebagai berikut:
Biaya bahan mentah Rp 1.000
Biaya tenaga kerja Rp 300
Biaya Pabrik Tidak Langsung Rp 400
Biaya Produksi Rp 1.700
Harga Jual Rp 2.500
Biaya produksi per bulan, untuk membuat 6.000 unit adalah sebagai berikut :
Biaya bahan mentah Rp 6.000.000
Biaya tenaga kerja Rp 1.800.000
Biaya pabrik tidak langsung Rp 2.400.000
Total biaya Rp 10.200.000
Misalkan bahwa tahap – tahap operasi adalah sebagai berikut :
Tahap bahan mentah 3 bulan
Tahap barang dalam proses 1 bulan
Tahap barang jadi 1 bulan
Tahap dalam piutang 2 bulan
Tahap-tahap tersebut berarti bahwa rata-rata bahan ada dalam gudang selama 3 bulan,
rata-rata proses produksi memerlukan 1 bulan, rata-rata barang jadi disimpan selama 1
bulan, dan rata-rata pembeli membayar pembelian mereka dalam waktu 2 bulan.
[18]
Misalkan bahwa biaya untuk mengubah (convertion cost) terjadi secara sama dalam
proses produksi. Maka investasi dalam bahan mentah, barang dalam proses, barang jadi,
dan piutang akan nampak seperti yang tercantum pada Tabel 11.2.
TABEL 11.2 INVESTASI BERBAGAI AKTIVA LANCAR ( DALAM JUTAAN
RUPIAH )
[19]
Rp66.300.000+ Rp6.000.000 + Rp5.000.000 Rp77.300.000
Dari contoh di depan kita melihat bahwa besar kecilnya kebutuhan modal kerja
tergantung dari lama keterikatan dana dan juga volume kegiatan produksi.
Suatu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa kebutuhan modal kerja tergantung pada
kebijakan perusahaan. Sebagai misal, perusahaan yang menganut kebijakan menjual
secara kredit tentu membutuhkan modal kerja yang lebih banyak daripada perusahaan
yang menjual secara tunai.
Dengan demikian kita bisa menaksir kebutuhan modal kerja tersebut dengan jalan
menaksir berapa banyak dana yang diperkirakan akan tertanam pada komponen-
komponen modal kerja. Pada garis besarnya komponen modal kerja terdiri dari kas,
[20]
piutang, dan persediaan. Besar kecilnya kas rata - rata akan tergantung pada likuiditas
yang diinginkan. Biasanya estimasi atas besarnya kas ini akan dihubungkan dengan
taksiran penjualan. Jadi, kalau ditentukan besarnya kas adalah 2% dari penjualan, maka
kas rata-rata akan berubah kalau taksiran penjualan berubah juga.
Besarnya piutang akan tergantung pada kebijaksanaan penjualan yang akan dilakukan.
Kalau penjualan menggunakan persyaratan penjualan kredit neto 90, maka berarti
diharapkan perputaran piutangnya = 4 x dalam satu tahun. Kalau penian mencapai
Rp1.200.000.000,- maka diharapkan piutang rata-rata yang harus ditanggung =
Rp300.000.000,
Demikian juga dengan dana yang tertanam rata-rata perputaran persediaan. Berapa
rata-rata perputaran persediaan yang diinginkan per usahaan? Besar kecilnya rata-rata
persediaan ini akan dipengaruhi oleh biaya-biaya yang menduk biaya persediaan total
(seperti ongkos simpan. ongkos pesan, kemungkinan kehabisan persediaan, dan
sebagainya). Kalau diharapkan perputaran persediaan sebanyak 6 x dalam satu tahun,
maka dana yang diperlukan dalam persediaan = (harga pokok penjualan/6).
Dalam estimasi kebutuhan modal kerja selama usia proyek bisnis perlu diperhatikan
kemungkinan adanya perubahan kebutuhan modal kerja tersebut. Umumnya dalam
perkembangan proyek bisnis ini akan terjadi peningkatan kebutuhan modal kerja. Pada
akhir usia proyek bisnis, modal kerja ini akan menjadi salah satu komponen yang
membentuk cash flow.
[21]
Berikut ini disajikan penaksiran modal kerja dan dampaknya bagi ke butuhan
pendanaan proyek bisnis.
Misalkan suatu rencana investasi ditaksir akan menghasilkan penjualan sebagai
berikut:
Tahap 0 Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4
0 Rp80 Rp100 Rp140 Rp100
Untuk mendukung penjualan tersebut diperkirakan diperlukan aktiva lancar sebesar
30% dari penjualan tahun yang akan datang. Meskipun demikian perusahaan tidak harus
menyediakan dana untuk membiayai seluruh aktiva lancar tersebut, karena supplier
menyediakan sebagian dana untuk membiayai aktiva lancar tersebut. Hal ini disebabkan
karena dari setiap Rp100 penjualan, perusahaan perlu membeli bahan baku senilai Rp40.
Karena supplier membolehkan perusahaan membeli secara kredit dengan jangka waktu 3
bulan, maka perputaran utang dagang menjadi 4 X dalam satu tahun. Dengan demikian,
rata-rata utang dagang adalah (Rp40/4)= Rp10 untuk setiap Rp100 penjualan (atau 10%
dari penjualan).
Dengan demikian, apabila penjualan ditaksir sebesar Rp80, maka
Aktiva Jancar = 0,30 x Rp80 = Rp 24
Utang dagang = 0,10 x Rp80 = Rp 8
Modal kerja yang diperlukan = Rp 16
Demikian seterusnya kita bisa menaksir kebutuhan akan modal kerja untuk setiap
taksiran penjualan.
Karena modal kerja tersebut diperlukan untuk mendukung penjualan tahun yang akan
datang, maka modal kerja diperlukan pada tahun ke-0 untuk mendukung penjualan tahun
ke-1, modal kerja diperlukan pada tahun ke-1 untuk mendukung penjualan tahun ke-2,
dan seterusnya.
Taksiran kebutuhan modal kerja dan jumlah dana yang diperlukan setiap tahunnya
disajikan dalam tabel berikut ini. Perhatikan bahwa dana yang diperlukan setiap tahun
untuk membiayai kebutuhan akan modal kerja (yang berarti merupakan kas keluar)
adalai: dana yang diperlukan untuk tambahan modal kerja. Sedangkan pada akhir usia
proyek bisnis, modal kerja tersebut akan kembali sebagai terminal cash inflow.
[22]
Tahun ke -
0 1 2 3 4
Penjualan 0 80 100 140 100
Modal kerja 16 20 28 20 -
Tambahan Modal Kerja -16 -4 -8 +8 +20
2.3 SUMBER DANA
Setelah diketahui berapa banyak dana yang akan diperlukan dan kapan dana tersebut
akan diperlukan untuk investasi tersebut, maka pertanyaan selanjutnya yang timbul
adalah dari mana atau dalam bentuk apa tersebut akan ditarik. Pada dasarnya pemilihan
sumber dana untuk memilih sumber dana yang pada akhirnya bisa memberikan dengan
biaya yang terendah, dan tidak menimbulkan kesulitan likuiditas bagi proyek bisnis atau
perusahaan yang mensponsori proyek bisnis tersebut (artinya jangka waktu pengembalian
sesuai dengan jangka waktu penggunaan dana). Analisis mengenai pemilihan sumber
dana akan dibicarakan pada Bab 14 dan 15. Pada bab ini kita hanya membicarakan
deskripsi sumber-sumber dana tersebut.
Sumber-sumber dana yang utama adalah:
1. Modal sendiri yang disetor oleh pemilik perusahaan. Apabila perusahaan tidak
berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang berniat go public (artinya menjual saham di
pasar modal), maka modal sendiri hanya bisa diperoleh dari (para) pemilik perusahaan.
Karena itulah bagi perusahaan yang ingin menghimpun dana yang besar mereka
mungkin memilih untuk go public.
2. Saham biasa atau saham preferen (yang juga merupakan modal sendiri) yang diperoleh
dari emisi (penerbitan) saham di pasar modal. Perusahaan yang memutuskan untuk go
public dapat menghimpun dana masyarakat dengan jalan menerbitkan saham yang
nanti akan diperjualbelikan bursa. Secara ringkas perusahaan yang bisa menerbitkan
saham di pasar modal Indonesia adalah perusahaan yang berbentuk PT, besar dan baik
(dalam artian menghasilkan keuntungan)."
3. Obligasi, yang diterbitkan leh perusahaan dan dijual di pasar modal. Obligasi yang
diterbitkan bisa berbentuk:
a. Obligasi Biasa. Obligasi ini menawarkan suku bunga yang tetap (bunga tersebut
mungkin dibayarkan per semester atau per tahun) untuk jangka waktu usia
obligasidandicantumkan nilai pelunasannya.
[23]
b. Obligasi dengan Suku Bunga Mengambang (flooting rate). Besarnya bunga yang
dibayarkan akan tergantung pada tingkat bunga yang berlaku. Apabila suku bunga
meningkat, bunga obligasi juga meningkat. Demikian pula apabila suku bunga
menurun. Suku bunga yang dipakai sebagai patokan biasanya adalah suku bunga
deposito (biasanya jangka waktu 6 bulan) dari beberapa bank ditambah dengan
persentase tertentu. Misalnya dikatakan bahwa bunga yang dibayar adalah 1% di atas
suku bunga deposito jangka waktu 6 bulan,
C. Obigasi Tanpa Bunga (zero coupon bonds). Meskipun resminya obli gasi ini tidak
membayarkan bunga, tetapi pembeli obligasi tersebut tetap menerima penghasilan
karena obligasi tersebut dijual dengan discount. Sebagai misal, obligasi yang akan
jatuh tempo 5 tahun lagi, dengan nilai pelunasan Rp1.000.000,- dijual saat ini dengan
harga hanya Rp519.000,- Dikatakan bahwa obligasi tersebut dijual dengan discount
48,1%. 2 Seringkali penerbitan zero coupon bonds dimaksudkan untuk menghemat
present value pembayaran pajak.³
d. Obligasi Konversi (convertible bonds). Ini merupakan jenis obligasi yang bisa
diubah menjadi saham pada waktu tertentu (misal 5 tahun lagi). Kalau calon pembeli
obligasi konversi mengharapkan bahwa sewaktu obligasi tersebut dikonversikan
menjadi saham biasa, harga saham telah sangat tinggi, maka mereka mungkin
bersedia untuk membeli obligasi tersebut meskipun bunga yang ditawarkan relatif
rendah. Bagi perusahaan, membayar bunga yang rendah pada masa awal proyek
bisnis mungkin akan menghindarkan diri dari kesulitan likuiditas. Misalkan obligasi
biasa, dengan jangka waktu pelunasan 5 tahun, memberikan bunga 14 % per tahun.
Obligasi tersebut laku terjual sesuai dengan harga pelunasan sebesar Rp1.000.000,.
Obligasi konversi ditawarkan hanya dengan bunga 7% per tahun; tetapi pemilik
obligasi tersebut bisa menukar cbligasi tersebut dengan 100 lembar saham biasa pada
lima tahun yang akan datang atau minta dilunasi. Kalau harga saham diperkirakan
akan mencapai Rp20.000,- per lembar, pembeli obligasi konversi akan lebih
beruntung daripada pembeli obligasi biasa.
4. Kredit bank, baik kredit investasi maupun non-investasi. Harus diakui bahwa sampai
saat ini kredit bank masih merupakan sumber dana yang terbesar bagi dunia usaha.
Sebagai misal, selama tahun 1992, jumlah kredit yang diberikan oleh bank-bank, baik
[24]
dalam rupiah maupun valuta asing mencapai sekitar Rp10,081 triliun. Sedangkan dana
yang dihimpun oleh perusahaan haan dari penerbitan saham di pasar modal mencapai
hanya Rp0,578 triliun dan untuk obligasí (termasuk obligasi konversi) sebesar Rp0,134
triliun. Masalahnya adalah seringkali spread yang ditentukan bank masih terlalu besar.
Misalkan bank menghimpun dana masyarakat dengan membayar bunga 12%, tetapi
menyalurkannya sebagai kredit dengan bunga 18%. Berarti spread yang diambil adalah
6%. Semakin besar spread ini, semakin besar keinginan perusahaan untuk memotong
biaya intermediasi keuangan tersebut. Cara yang dilakukan adalah dengan menerbitkan
obligasi. Perusahaan mungkin menawarkan obligasi dengan bunga 15% per tahun.
Dibandingkan dengan kredit bank, obligasi tersebut lebih murah 3% biayanya. Dari
sudut pandang pembeli obligasi, obligasi tersebut memberikan keuntungan 3% di atas
tingkat bunga simpanan. Apabila risiko membeli obligasi dipandang sama dengan
risiko menyimpan uang di bank (toh bank juga bisa bangkrut), maka obligasi tersebut
akan lebih menarik. Tentu saja perusahaan tidak akan bisa menerbitkan obligasi kalau
jumlahnya terlalu kecil (di Bursa Efek Jakarta disyaratkan minimal Rp25 miliar) atau
hanya berjangka pendek (misal hanya untuk beberapa bulan). Dalam situasi itulah
perusahaan akan tetap memerlukan kredit dari bank.
5. Leasing (sewa guna), dari lembaga keuangan non-bank. Beberapa lembaga keuangan
(tetapi bukan bank) menawarkan jasa untuk menyediakan aktiva (misal mesin) yang
diperlukan oleh perusahaan. Secara resmi tembaga keuangan tersebutlah yang
memiliki aktiva tersebut dan perusahaan hanya menyewanya. Bagi perusahaan, tentu
saja yang penting adalah apakah perusahaan bisa menggunakan aktiva tersebut dan
apakah biaya sewanya jatuhnya lebih kecil (setelah memperhatikan kemungkinan
penghematan pajak) dibanding dengan kalau meminjam dari bank dan membeli aktiva
tersebut.
6. Project Finance. Tipe pendanaan ini merupakan tipe pendanaan yang makin banyak
dipergunakan untuk membiayai proyek bisnis proyek bisnis besar. Pada dasarnya
project finance merupakan bentuk kredit yang pembayarannya didasarkan atas
kemampuan proyek bisnis tersebut melunasi kewajiban finansialnya. Dengan
demikian, perusahaan yang mensponsori proyek bisnis tersebut tidak akan diminta
melunasi kewajiban finansial dari proyek bisnis tersebut, apabila terjadi gangguan cash
flow dari proyek bisnis tersebut. Jadi, misalkan PTA (yang telah mempunyai berbagai
divisi dan bisnis) mendapatkan kesempatan untuk membangun dan mengelola jalan tol.
[25]
Untuk membangun jalan tol tersebut diperlukan dana yang sangat besar (misalkan
Rp200 miliar). Kalau tipe pendanaan project finance aligunakan, maka lembaga-
lembaga keuangan yang menyediakan dana untuk proyek bisnis tersebut akan dilunasi
berdasarkan atas penghasilan jalan tol tersebut. PT A tidak perlu mengambil cash flow
dari bisnis lainnya untuk memenuhi kewajiban finansial tersebut (tentu saja juga tidak
diizinkan untuk mengambil cash flow proyek bisnis tersebut untuk memenuhi
kewajiban finansial bisnis yang lain). Karena sifat ketergantungan hanya pada proyek
bisnis tersebut saja, para sponsor pendanaan akan sangat hati-hati dalam melakukan.
analisis. Akan lebih disukai kalau ada kepastian arus kas (seperti adanya kontrak
penjualan).
Tetapi ternyata deregulasi tersebut juga membawa dampak menyulut inflasi karena
penambahan kredit (yang berarti menambah jumlah uang yang beredar) yang tidak
diikuti dengan penambahan produksi barang dan jasa. Untuk mengurangi jumlah uang
yang beredar, maka pemerintah pada Agustus 1990 melakukan kebijakan uang ketat
(tight money policy) dengan menarik dana BUMN dari bank-bank, sehingga
mengakibatkan meningkatnya suku bunga (suku bunga deposito mencapai lebih dari
20%). Dalam keadaan seperti itu biaya dana juga meningkat.
Setelah kebijakan tersebut berlangsung sampai dengan awal 1993, maka pada
semester Il nampak gejala-gejala bahwa perbankan kelebihan likuiditas lagi, sehingga
pada akhir tahun 1993 suku bunga deposito turun menjadi hanya single digit.
Sayangnya penurunan suku bunga deposito tersebut tidak diikuti dengan penurunan
suku bunga kredit secara proporsional. Suku bunga kredit masih bertahan sekitar 17%
untuk bank-bank nasional, meskipun telah mencapai 14% untuk bank asing."
[26]
ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa perubahan kondisi moneter dapat menyebabkan
perubahan biaya dana (cost of capital) yang ditanggung perusahaan. Suku bunga
pinjaman mungkin naik, mungkin pula turun. 1 Karena itulah mencari kredit jangka
panjang dengan suku bunga tetap akan merupakan keputusan yang sangat berisiko.
Untuk kredit jangka panjang akan lebih baik kalau digunakan tingkat bunga yang
mengambang (floating rate). Selain itu, ketidakefisienan sektor perbankan akan
mengakibatkan spread yang tinggi. Bagi perusahaan, tentu saja keadaan ini tidak
menguntungkan. Karena itu, berbagai upaya untuk memotong biaya intermediasi ini
perlu dilakukan (antara lain menerbitkan obligasi di pasar modal).
Dalam praktiknya ada semacam "pedoman" untuk menentukan sumber dana apa yang
sebaiknya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan akan na tersebut. Sebagai misal,
kita mengenal istilah "struktur finansial yang konservatif" baik yang vertikal maupun
horisontal. Struktur finansial konservatif yang vertikal menyatakan bahwa
perbandingan antara utang dengan modal sendiri adalah satu berbanding satu.
Sedangkan struktur finansial konservatif yang horisontal menyatakan bahwa aktiva
tetap dan modal kerja permanen dibelanjai dengan modal sendiri. Dari "pedoman"
semacam ini nampak kesulitan yang mungkin timbul. Kalau perbandingan antara
aktiva lancar dengan aktiva tetap kurang dari satu banding satu (aktiva lancar lebih
sedikit daripada aktiva tetap), maka dengan sendirinya modal sendiri akan lebih besar
daripada utang, tidak mungkin satu banding satu. Demikian pula sebaliknya, kalau
aktiva perusahaan sebagian besar terdiri dari aktiva lancar, maka berarti perbandingan
antara modal sendiri dengan utang bisa kurang dari satu yang berarti sudah menyalahi
"pedoman" konservatif vertikal.
[27]
Gambar 11.1 Struktur finansial konservatif, vertical, dan horizontal
Di samping kesulitan seperti yang diuraikan di atas, maka "pedoman" di atas bisa
mengakibatkan perusahaan harus menyediakan modal sendiri dalam jumlah yang sangat
besar, kalau ternyata investasi tersebut membutuhkan dana untuk aktiva tetap yang besar
(berdasarkan "pedoman" di atas, maka aktiva tetap sebaiknya dibelai dengan modal sendiri).
Untuk itulah kemudian ada yang mengubah "pedoman" di atas dengan menggunakan
pertimbangan likuiditas untuk memenuhi dana. Pertimbangan likuiditas dalam pemenuhan
kebutuhan dana pada garis besar menyatakan bahwa:
1. Aktiva tetap yang tidak disusut sebaiknya dibelanjal dengan modal sendiri.
2. Aktiva tetap yang disusut sebaiknya dibelanjai dengan modal sendiri atau utang jangka
panjang yang periode jatuh temponya tidak lebih pendek daripada usia ekonomis aktiva
tersebut.
3. Aktiva lancar bisa dibelanjai dengan utang jangka pendek asalkan periode jatuh temponya
tidak lebih pendek daripada periode keterikatan dana pada aktiva lancar tersebut.
4. Untuk aktiva lancar yang permanen sebaiknya dibelanjai dengan utang jangka panjang atau
modal sendiri.
[28]
Dengan demikian, maka struktur finansial horisontal yang menggunakan pedoman ini akan
tampak seperti pada Gambar 11.2.
Inti teori adalah bahwa struktur modal yang berbeda akan menghasilkan biaya modal
perusahaan yang berbeda pula. Biaya modal perusahaan pada dasarnya terdiri dari biaya
modal sendiri (cost of equity) dan biaya utang (cost of debt) yang ditimbang dengan proporsi
masing-masing sumber dana tersebut. Karena biaya modal sendiri akan meningkat apabila
digunakan proporsi utang yang makin besar dan biaya utang juga bisa meningkat setelah
melampaui proporsi utang tertentu, maka biaya modal perusahaan akan berubah apabila
struktur modal berubah. Dengan demikian seharusnya perusahaan menggunakan struktur
modal yang akan meminimumkan biaya modal perusahaan. Pembicaraan lebih mendalam
tentang hal ini bisa dilihat pada berbagai buku manajemen keuangan, meskipun secara
ringkas akan dibicarakan pada Bab 15 pada buku ini.
Karena sulitnya menerapkan teori struktur modal tersebut dalam opera sinya, maka
dalam praktiknya banyak digunakan berbagai pendekatan "praktis" yang menekankan pada
aspek rentabilitas dan likuiditas. Rentabilitas berarti kemampuan perusahaan untuk
[29]
memperoleh laba dari aktiva operasinya. Sedangkan likuiditas berarti kemampuan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban finansialnya. Sejauh penggunaan utang diharapkan bisa
meningkatkan rentabilitas modal sendiri (yaitu perbandingan antara laba setelah pajak dengan
modal sendiri), penggunaan utang tersebut dibenarkan. Pembicaraan metode-metode praktis
ini diberikan pada Bab 16.
BAB 12
Kemudian untuk proyek bisnis tersebut kita juga pisahkan aliran kas yang timbul
karena keputusan pembelanjaan dengan aliran kas yang terjadi karena investasi dalam
proyek bisnis tersebut. Ini berarti kalau proyek bisnis itu kemudian membayarkan
dividen, bunga, melunasi pinjaman, membayar kemball modal sendiri, kita tidak perlu
mengurangkannya sebagai aliran kas keluar. Ini perlu kita tekankan di sini karena dalam
praktiknya masih banyak kebingungan dalam penaksiran ini. Penyebabnya tidak lain
adalah dicampurnya aliran kas yang terjadi karena keputusan pembelanjaan dengan aliran
kas yang terjadi karena investasi.
Aliran kas yang berhubungan dengan suatu proyek bisnis bisa dike lompokkan
menjadi 3 bagian: aliran kas permulaan (initial cash flow), aliran kas operasional
(operational cash flow), dan aliran kas terminal (terminal cash flow). Pengeluaran-
pengeluaran untuk investasi (outlay) pada awal periode, mungkin tidak hanya sekali,
merupakan initial cash flow. Aliran kas yang timbul selama operasi proyek bisnis itu
disebut sebagai operational cash flow. Aliran kas yang diperoleh pada waktu proyek
bisnis tersebut berakhir disebut sebagai terminal cash flow. Di mana umumnya initial
cash flow adalah negatif, operational dan terminal cash flow umumnya positif. Aliran-
aliran kas ini harus dinyatakan dengan dasar setelah pajak.
[30]
2.2 Initial Cash Flow
Untuk menentukan initial cash flow ini, pola aliran kas yang berhubungan dengan
pengeluaran investasi harus diidentifikasikan. Ini berarti kita harus mengetahui
bagaimana pembayaran untuk tanah, pematangannya, pembuatan pabrik dan
perlengkapannya, pembayaran mesin-mesin dan sebagainya. Sebagai tambahan
pengeluaran-pengeluaran untuk biaya-biaya pendahuluan dan sebelum operasi, termasuk
juga penyediaan modal kerja, perlu dimasukkan. Karena itulah, mungkin sekali untuk
proyek bisnis-proyek bisnis besar, initial cash flow ini tidak hanya terjadi pada awal
periode, tetapi terjadi beberapa kali, pada tahun ke-1, tahun ke-2, dan seterusnya.
Meskipun cara semacam ini sering tepat, tetapi perlulah kita menyadari persyaratan
yang perlu dipenuhi kalau kita akan menggunakan cara seperti di atas. Penggunaan cara
di atas cukup tepat apabila pengakuan terhaJap penghasilan dan biaya menurut akuntansi
tidak hanya berbeda dengan terjadinya penerimaan dan pengeluaran kas. Kalau antara
pengakuan penghasilan dan biaya cukup berbeda, seperti pada contoh kita di atas,
penggunaan cara itu akan memberikan hasil yang tidak tepat.
[31]
Kalaupun kita bisa "mengubah" laporan akuntansi menjadi pola aliran kas, karena
persyaratannya memenuhi, maka yang sering menjadi kebingungan adalah kalau proyek
bisnis tersebut dibelanjai dengan (sebagian) pinjaman. Umumnya kalau dianggap bahwa
proyek bisnis tersebut dibelanjai dengan modal sendiri, penaksiran aliran kas
operasionalnya tidak menjadi masalah. Masalah ini pun sebenarnya timbul karena
dicampurkannya keputusan pembelanjaan dengan hasil investasi proyek bisnis tersebut.
Untuk memper jelas hal ini berikut disajikan suatu contoh.
Misalkan ada suatu investasi yang dibelanjai dengan 100% modal sendiri, senilai
Rp100 juta. Usia ekonomis 2 tahun, tidak mempunyai nilai sisa. Kalau penyusutan
dilakukan dengan metode garis lurus, maka penyusutan per tahunnya adalah Rp50 juta.
Taksiran rugi/laba per tahun adalah sebagai berikut:
Penghasilan Rp 150.000.000
Biaya-Biaya: Tunai 70.000.000
Penyusutan 50.000.000 Rp 120.000.000
Laba sebelum pajak Rp 30.000.000
Pajak ( misalkan 50% ) 15.000.000
Aliran kas masuk = Rp15.000.000,- + Rp50.000.000,- = Rp 65.000.000,
Perhitungan di atas adalah benar apabila pengakuan terhadap biaya dan penghasilan
menurut akuntansi tidak banyak berbeda dengan terjadinya pengeluaran dan penerimaan
kas.
Sekarang kalau misalkan proyek bisnis tersebut dibelanjai dengan 100% pinjaman
(contoh ini hanya untuk menyederhanakan saja, karena mungkin tidak pernah ada proyek
oisnis yang dibelanjai dengan 100% pinjaman). Katakan bahwa bunga pinjaman adalah
20% per tahun. Taksiran rugi/laba yang kebanyakan dibuat adalah sebagai berikut:
Penghasilan Rp 150.000.000
Biaya – Biaya : Tunai 70.000.000
Penyusutan 50.000.000 Rp 120.000.000
Laba sebelum bunga dan pajak Rp 30.000.000
Bunga Rp 20.000.000
Laba sebelum pajak Rp 100.000.000
[32]
Pajak Rp 5.000.000
Laba setelah pajak Rp 5.000.000
Aliran Kas Masuk = Laba Setelah Pajak + Penyusutan
= Rp5.000.000,- + Rp50.000.000,
= Rp55.000.000,
Untuk keperluan penaksiran operational cash flow, cara semacam ini membuat kesalahan
dalam hal mencampuradukkan antara cash flow karena keputusan pembelanjaan (yaitu
pembayaran bunga) dan cash flow karena imvestasi ( penghasilan, pengeluaran biaya
tunai, pajak ). Untuk itu cara menaksir aliran kas operasional ) yang benar adalah :
Aliran kas masuk = Laba setelah pajak + Penyusutan + bunga ( 1- pajak )
Dalam contoh kita ini berarti,
Aliran kas masuk = Rp 5 juta + Rp 50 Juta + Rp 20 Juta ( 1 – 0.5 )
= 65.000.000
Perhatikan bahwa hasil perhitungan di atas (Rp65 juta) adalah sama dengan hasil yang
kita peroleh kalau kita menganggap bahwa investasi tersebut dibelanjai dengan 100%
modal sendiri. Kalau kita anggap bahwa investasi tersebut dibelanjai, misalnya 50%
utang dan 50% modal sendiri, maka kalau kita gunakan cara seperti di atas, aliran kas
masuk bersihnya juga tetap Rp65 juta,
Dengan kata lain, dalam membuat taksiran operational cash flow kita bisa saja
melakukan dengan cara menganggap bahwa seolah-olah investasi tersebut dibelanjai
dengan 100% modal sendiri. Dari contoh di atas, kita melihat bahwa hasil akhirnya sama
juga. Penaksiran semacam ini terutama penting nantinya kalau kita hubungkan dengan
konsep biaya modal (cost of capital)." Kalau kita mengurangkan bunga terlebih dahulu
dalam perhitungan aliran kas dan kemudian kita mempertimbangkan biaya modal dalam
perhitungan menguntungkan tidaknya suatu usulan investasi, maka kita melakukan
perhitungan ganda (double counting). Pertama pada waktu mengurangkan bunga, kedua
pada waktu membandingkan dengan tingkat bunga sebagai biaya modalnya.")
[33]
itu dikatakan masih memberikan manfaat ekonomis. Di luar periode tersebut, proyek
bisnis itu tidak lagi mempunyai arti ekonomis.
Tentu saja dalam menaksir umur ekonomis ini akan banyak mengalami kesulitan.
Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya menaksir usia ekonomis ini adalah
perubahan teknologi. Beberapa ahli mengatakan bahwa kita sekarang hidup dalam tahap
"post industrialization", dimana teknologi berubah sangat cepat. Apa yang kita katakan
penemuan baru 2 atau 3 tahun yang lalu, sekarang mungkin dianggap sudah ketinggalan
jaman. Sebagai misal di Indonesia sekitar akhir tahun enampuluhan atau awal tujuh
puluhan, penggunaan mesin mekanis atau slide rule masih dominan. Kemudian mulai
permulaan tahun tujuhpuluhan itu dikenal kalkulator elektronik yang masih sederhana.
Sekarang kalkulator ilmiah menjadi makin banyak, bahkan penggunaan komputer mulai
menjadi biasa. Dalam waktu kurang dari 15 tahun, perubahan teknologi yang terasa
pengaruhnya di negara kita sangat besar terasa. Karena itu, semakin cepat tingkat
perubahan teknologi, semakin pendek usia ekonomis yang ditaksir dapat dinikmati oleh
investasi tersebut.
Terminal cash flow umumnya terdiri dari cash flow nilai sisa (residu) investasi
tersebut dan pengembalian modal kerja. Beberapa proyek bisnis masih mempunyai nilai
sisa meskipun aktiva-aktiva tetapnya sudah tidak mempunyai nilai ekonomis lagi. Aliran
kas dari nilai sisa ini perlu pula dihubungkan dengan pajak yang mungkin dikenakan.
Sebagai misal, nilai buku dari suatu aktiva tetap adalah Rp10 juta. Tetapi waktu dijual,
laku seharga Rp12 juta, berarti perusahaan memperoleh laba sebesar Rp2 juta (laba ini
sebenarnya merupakan capital gains). Kalau misalkan perusahaan dikenakan pajak 20%
atas capital gains tersebut, maka aliran kas dari nilai sisa ini adalah Rp12 juta - (Rp2 juta
x 0,2) = Rp11,60 juta.
Sebagaimana pada usia ekonomis, maka penaksiran nilai sisa dari suatu investasi juga
cukup sulit. Masalahnya tidak lain adalah lamanya dimensi waktu yang dihadapi dalam
penaksiran ini. Misalkan usia ekonomiş ditaksir 5 tahun. Maka untuk menaksir berapa
nilai sisa suatu aktiva tetap, berarti kita memproyekbisniskan pada 5 tahun mendatang. Ini
jelas merupakan pekerjaan yang cukup sulit.
[34]
Kalau proyek bisnis tersebut memerlukan modal kerja dan umumnya proyek bisnis-
proyek bisnis memang membutuhkan, maka kalau proyek bisnis tersebut berakhir, modal
kerjanya tidak lagi diperlukan. Dengan demikian modal kerja ini akan kembali sebagai
aliran kas masuk pada akhir usia proyek bisnis.
Contoh 1.
Ambil misal, investasi tersebut memerlukan investasi sebesar Rp1.000 juta, dan
ditaksir memberikan kas masuk bersih sebesar Rp200 juta setiap tahun. Investasi sebesar
Rp1.000 juta tersebut terdiri dari aktiva tetap yang ditaksir berusia ekonomis 8 tahun
sebesar Rp800 juta dan modal kerja sebesar Rp200 juta. Misalkan aktiva-aktiva tetap
tersebut ditaksir mempuyai nilai sisa Rp50 juta pada akhir tahun ke-8. Tetapi dengan
adanya proyek bisnis tersebut mengakibatkan berkurangnya penjualan dari produk lama
sehingga menyebabkan penurunan aliran. kas produk lama sebesar Rp50 juta per tahun.
Dengan demikian taksiran aliran kasnya adalah:
[35]
Nilai sewa Rp 50 juta Rp 250 Juta
Di mana initial investment merupakan aliran kas keluar, sedangkan operational cash
flow dan terminal cash flow merupakan aliran kas masuk. Contoh 2.
Penaksiran aliran kas yang kita gunakan adalah dengan menggunakan taksiran selisih
(incremental). Kalau perusahaan mengganti mesin lama dengan mesin baru, maka perlu
tambahan investasi sebesar Rp120 - Rp80 juta = Rp40 juta.
Contoh di atas bisa kita modifikasikan untuk berbagai keadaan, seperti misalnya pada
contoh berikut ini.
[36]
Contoh 3.
Misalkan dari contoh 2 di atas, mesin baru mempunyai usia ekonomis 6 tahun dan
bukannya 4 tahun. Asumsi ini lebih logis, karena umumnya mesin baru akan mempunyai
usia ekonomis yang lebih lama. Dengan demikian, taksiran aliran kasnya menjadi:
Tambahan aliran kas keluar (untuk tambahan investasi) Rp40 juta. Untuk menaksir
tambahan aliran kas masuk setiap tahun, kita perlu menentukan terlebih dulu periode
waktu yang sama. Di mana usía ekonomis mesin lama tinggal 4 tahun dan mesin baru
masih 6 tahun. Kalau kita langsung menempuh cara seperti pada contoh nomor 2, maka
kita akan menjumpai kesulitan karena periode yang tidak sama ini. Untuk itu kita
tentukan terlebin dulu waktu yang sama yaitu 4 tahun. Setelah 4 tahun, maka mesin baru
akan tinggal mempunyai nilai sebesar (2 x Rp20 juta) = Rp40 juta. Karena penyusutan
mesin baru sekarang adalah Rp20 juta per tahun.
Tambahan terminal cash flow Rp40 juta (pada akhir tahun ke-4).
Berbagai variasi bisa kita terapkan pada contoh ini, tetapi untuk bab ini kita cukupkan
di sini dulu.
[37]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan perencanaan bisnis dan laporan kegiatan praktik bisnis yang telah
dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Semua perencanaan yang telah dilakukan menjadi acuan dalam
pelaksanaan kegiatan praktik bisnis, akan tetapi ada perancanaan-perencanaan
yang tidak sesuai dengan praktik yang terjadi di lapangan sehingga pelaku
usaha mengambil kebijakan lain untuk menjaga usahanya agar tetap berjalan.
2. Selama kegiatan praktik usaha konveksi Dir ga Kreatif Pratama, kami
menemukan strategi-strategi baru, dimana strategi ini digunakan untuk menarik
dan mendapatkan konsumen tetap maupun konsumen baru, strategi ini tidak
terpikirkan sebelumnya pada saat penyusunan proposal dan ketika diterapkan
mendapatkan respon positif dari para customer Dirga Kreatif Pratama.
3. Strategi generik Focus Cost Leadership telah berhasil diterapkan pada
semua fungsi manajemen (pemasaran, sumber daya manusia, operasional, dan
keuangan), meskipun tidak semua berhasil dijalankan. Sebagai perusahaan baru
dalam industri konveksi di Yogyakarta dengan persaingan yang begitu ketat
namun dengan adanya strategi ini, perusahaan dapat terus berjalan.
[38]
DAFTAR PUSTAKA
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Weather_derivative&hl=id&sl=
en&tl=id&client=srp&prev=
https://en.wikipedia.org/wiki/Energy_derivative https://id.wikipedia.org/wiki/Derivatif
https://www.google.com/search?q=gas+alam+adalah&oq=gas+alam+adalah&aqs=chrome.0.
0l6j0i22i30l4.5921j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
[39]