Anda di halaman 1dari 2

Evaluasi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas)

Industri Minyak dan Gas Bumi merupakan sektor penting di dalam pembangunan nasional baik
dalam hal pemenuhan kebutuhan energi dan bahan baku industri di dalam negeri maupun sebagai
penghasil devisa negara sehingga pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin. Dalam
upaya menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya
saing, efisien, dan berwawasan pelestarian fungsi lingkungan serta mendorong perkembangan
potensi dan peranan nasional sehingga mampu mendukung kesinambungan pembangunan
nasional guna mewujudkan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, telah ditetapkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan amanat
Undang-undang No. 22 Tahun 2001, Pemerintah telah membentuk suatu badan independen yaitu
Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha
Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa (Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 2002 jo Keputusan
Presiden No. 86 Tahun 2002), yang selanjutnya Badan ini disebut Badan Pengatur Hilir Minyak
dan Gas Bumi (BPH Migas). Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU No.22 Tahun
2001 khususnya yang menyangkut kegiatan usaha hilir Migas, Pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.

Melihat persoalan kenaikan BBM hari ini, kami menyoroti peran BPH Migas yang bertugas
melakukan pengaturan hingga pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian
Bahan Bakar Minyak. Dengan banyaknya penyimpangan bahkan penimbunan BBM maka peranan
BPH Migas sebagai lembaga pengatur dan pengawas perlu dipertanyakan. Dengan kewenangan
yang besar di sektor hilir migas, maka seharusnya BPH Migas memiliki formula pengaturan dan
pengawasan yang bisa tepat sasaran. BPH Migas yang juga berwenang mengatur dan menetapkan
ketersediaan, distribusi hingga pemanfaatan BBM bersubsidi seharusnya bisa menindak oknum-
oknum SPBU nakal yang menyelewengkan BBM bersubsidi. Seharusnya BPH Migas bisa
merancang dashboard monitoring penyaluran BBM bersubsidi yang canggih dan valid. Sehingga
tidak terus menerus terjadi penyelewengan.

Memang dalam pelaksanaan pengaturan distribusi subsidi BBM ini merupakan persoalan yang
sangat rumit, apalagi jika kita melihat bahwa instrumen hukum dalam pengaturan ini belum bisa
mengakomodasi cara-cara efektif dalam penyalurannya. Salah satu contoh yang kerap sekali
menjadi kambing hitam atas kegagalan BPH Migas mengatur distribusi BBM ialah Peraturan
Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran
BBM. Dalam lampirannya tidak lengkap dan menjelaskan secara detail kendaraan yang dibatasi
dapat menggunakan BBM bersubsidi. Namun dalam melihat sejarah kenaikan harga BBM, hingga
hari ini dengan dalih distribusi BBM Bersubsidi yang tidak tepat sasaran, seharusnya pemerintah
maupun BPH Migas sendiri dapat melihat celah selama rentang waktu 8 tahun untuk mampu
memproyeksikan pembenahan intrumen hukum yang disadari sendiri oleh BPH Migas belum
mampu mengatasi permasalahan distribusi tepat sasaran tersebut. Hingga seharusnya yang hari ini
terjadi, dalih ketidak tepat sasaran BBM Bersubsidi bukan lagi menjadi alasan apabila Pemerintah
hingga BPH Migas cakap dalam melakukan tugas-tugasnya.

Masih berkaitan dengan gagalnya pengaturan distribusi tepat sasaran BBM Bersubsidi, yang
menjadi alasan kuat pemerintah menaikkan harga BBM pun di konfirmasi sendiri oleh BPH Migas
sebagai badan pengatur yang menyatakan dugaan penyelewengan BBM bersubsidi hingga Mei
2022 mencapai 257.455 liter. Dari total volume yang diduga diselewengkan tersebut, sebanyak
231.455 liter terbukti merupakan volume yang memenuhi unsur pidana. Dari pernyataan yang
disampaikan oleh Kepala BPH Migas Erika Retnowati dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP)
bersama komisi VII DPR RI (23/6/2022) tersebut, menambah alasan kuat bahwa pengaturan
distribusi BBM Bersubsidi yang selama ini diatur oleh BPH Migas sendiri masih gagal. Gejolak
yang terjadi saat ini terkait kenaikan harga BBM, berarti salah satunya dikarenakan ketidak
efektifan kinerja dari BPH Migas dalam melakukan tugasnya. Sehingga yang menjadi korban lagi-
lagi adalah masyarakat tidak mampu. Pasalnya akan sangat tidak Fair apabila kenaikan harga
BBM saat ini hanya membebani pada penerimanya saja (masyarakat tidak mampu) tanpa
melakukan evaluasi secara mengakar bagaimana Badang Pengatur (BPH Migas) gagal
merumuskan sistem distribusi BBM yang tepat sasaran

Anda mungkin juga menyukai