DASAR PIKIRAN
Otonomi Khusus (Otsus) Papua secara umum artinya kewenangan khusus yang diakui dan
diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Asal-usul pelaksanaan Otsus di Papua tidak terlepas dari situasi sejarah tuntutan Politik dan
memori kelam rakyat Papua selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, tetapi juga politik kekerasan
yang dijalankan Soekarno pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Situasi kelam mendapatkan tempat untuk bersuara paska Soeharto jatuh dari kekuasaannya pada
tahun 1998 oleh rakyat Indonesia. Tokoh Politik rakyat Papua saat itu, dikenal dengan Tim 100,
berhadapan dengan B. J. Habibi pada 26 Februari 1999 untuk menyampaikan aspirasi Politik rakyat
Papua. Isian pokok tuntutan yang dibawah Tim 100, yaitu: 1). Kami Bangsa Papua berkehendak
keluar dari NKRI; 2). Segera membentuk Pemerintahan Peralihan di Papua Barat, dibawah
pengawasan PBB secara demokratis, damai dan bertanggung jawab; 3). Jika tidak tercapai
penyelesaian teradap pernyataan politik ini pada butir 1 dan 2, maka: pertama, segera diadakan
perundingan internasional, antara Pemerintah Republik Indonesia, Papua Barat dan PBB, kedua: kami
Bangsa Papua tidak ikut serta dalam Pemilu tahun 1999.
Tuntutan itu dijawab dengan sinis oleh B. J. Habibie bahwa “untuk mendirikan sebuah negara
bukan perkara yang mudah, pulang dan renungkan baik-baik”. Hasil renungan itu kemudian diartikan
oleh dua kubu orang Papua saat itu, yakni dengan mendorong Kongres Rakyat Papua versi Presidium
Dewan Papua dan lain kubu dengan draft Otonomi Khusus sebagai solusi versi Akademisi dan
Gubernur Papua.
Namun terbunuhnya Tokoh Politik PDP, Theys Eluay, menjadi pijakan awal mulusnya kebijakan
Otonomi Khusus bagi Papua, terlebih di hegemoninya tokoh-tokoh Presidium Dewan Papua (PDP)
saat itu, yang diserahkan jabatan-jabatan strategis Indonesia di Papua.
Di lain sisi, kepentingan Ekonomi Indonesia saat itu yang sedang memburuk, paska reformasi
dan krisis keuangan global tahun 1998, mendorong Indonesia mempercepat mempercepat pemekaran
dengan pertimbangan sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum UU Nomor 45 tahun 1999
bahwa, “Propinsi Irian Jaya memiliki sumber daya pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan,
pertambangan, dan pariwisata yang cukup potensial untuk dikembangkan, serta memiliki prospek
yang cukup baik bagi pemenuhan kebutuhan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, karena
memiliki letak yang sangat strategis yaitu merupakan pintu gerbang kearah lingkar Pasifik”. Hal itu
kemudian dipertegas dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2003, bagian KEDUA bahwa:
“Menteri Keuangan menyiapkan anggaran khusus yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan langkah
komprehensif yang belum tertampung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.
Sehingga, benar bahwa kepentingan pemekaran dan percepatan pembangunan di Papua adalah
semata untuk kepentingan ekonomi Indonesia, yang bertujuan untuk meperluas kerja eksploitasi dan
perampasan lahan masyarakat adat atas nama pembangunan hingga berujung pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) terstruktur di Tanah Papua.
Pendidikan. Angka Partisipasi pendidikan di Provinsi Papua Barat pada tahun 2019 sebanyak
63,19 untuk SMP dan SD 69,92. Demikian pula dengan Provinsi Papua pada tahun 2019,
tingkat partisipasi pendidikan Sekolah Dasar di Provinsi Papua 79,19%, SMP 57,19% dan
SMU 44,32% (BPS, 2019). Sedangkan rata-rata nasional lebih dari 93.75%. Dengan angka ini
menempatkan Provinsi Papua berada di posisi ke 33 dari 33 provinsi di Indonesia, artinya
tingkat partisipasi pendidikan di provinsi Papua paling rendah di Indonesia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua (2016-2021). Itu tercermin dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang mengalami kenaikan 0,3% pada 2021 menjadi
60,62. IPM Papua tercatat sebesar 60,44 pada 2020. Indeks tersebut menurun 0,66% dari 2019
yang sebesar 60,84. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2021 mencapai
72,29, meningkat 0,35 poin (0,49 persen) dibandingkan capaian tahun sebelumnya (71,94).
Kesehatan. Jumlah penduduk Provinsi Papua Tahun 2020 tercatat 4,3 juta jiwa atau meningkat
1,47 juta jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Tahun 2010 (2,8 juta jiwa).
Dengan demikian, LPP Provinsi Papua Tahun 2020 mencapai 4,13 persen per tahun.
Pertumbuhan Penduduk di Papua sebesar 4 persen ini menduduki peringkat pertama di seluruh
Indonesia berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 (BPS Provinsi Papua 2020).
Disaat bersamaan Angka Harapan Hidup (AHH) orang Papua per provinsi, tahun 2021, untuk
PAPUA BARAT 64,33 Tahun untuk Laki-laki, dan 68,05 tahun untuk Perempuan. Sedangkan
untuk Provinsi Papua PAPUA, laki-lakinya dengan AHH 64,15 dan perempuan dengan 67,79
tahun.
Kasus-kasus HIV–Positif yang terdeteksi melalui survailans dengan bantuan hasil test reagent
ELISA maupun juga Western blot menemukan bahwa sampai dengan Agustus 2010 sebanyak
5.000 Warga Papua terkena AIDS dan Bertambah secara drastic di tahun 2019 menjadi 40.805
(Papua Today/ 9 Mei 2019), Kompas 1 Desember 2018 dengan 38.874 kasus dan Tingkat
prevelensi (jumlah kasus) HIV dan AIDS di Papua dan Papua Barat sudah mencapai 2,4 persen,
sedangkan secara nasional baru mencapai 0,5 persen. Peningkatan HIV/AIDS ini akan terus
meningkat secara deret ukur. Hingga pada tahun 2021 jumlah penderita HIV/AIDS di Papua
mencapai 47.462 kasus, dan Papua Barat dengan 20.496 kasus. Sementara angka kelahiran
mengalami pertumbuhan minimal (minimizing zero growth) secara deret hitung sehingga
diperkirakan penduduk Papua terancam berkurang drastis.
Dari proses diatas dapat dikatakan bahwa tingkat keshatan orang Papua selama berjalannya
Otsus, justru semakin memburuk, dan seperti Kata Daniel Womsiwor (20/2), bahwa seharusnya
orang Papua bisa hidup lebih lama lagi, dengan AHH diatas 80an tahun, dengan segala SDA
yang dimilikinya dan dikategorikan sebagai Paru-Paru Dunia.
Ekonomi dan Pembangunan Infrastruktur. Dalam catatan Badan Statistik Provinsi Papua,
tahun 2021, Perekonomian Papua berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) atas dasar harga berlaku tahun 2021 mencapai Rp 235,34 triliun dan atas dasar harga
konstan 2010 mencapai Rp 158,61 triliun. Artinya, Ekonomi Papua pada tahun 2021
mengalami pertumbuhan sebesar 15,11 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan terbesar terjadi
pada Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian sebesar 40,80 persen. Sementara dari sisi
pengeluaran, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Komponen Ekspor Luar Negeri sebesar 105,14
persen.
Pendidikan. Tetapi benarkah data demikian? Disaat 67 ribu pengungsi, dengan yang mengungsi
sejak 2018-2021 di sepanjang Wilayah Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat,
Yahukimo dan lainnya. Yang jumlah angka putus sekolah di terupdate, baik sekolah yang
dibakar hangus oleh Militer Indonesia.
Kesehatan. Rakyat Papua yang harus berlarian meninggalkan kampung halaman dan
berlindung di hutan-hutan, dengan akses ksehatan yang buruk, berdampak pada meninggalnya
250an orang selama masa penngungsian.
Ekonomi dan Infrastruktur. Benarkah ekonomi dan instruktur yang dinyatakan baik selama
masa pembangunan otsus? Disaat, instrukrur Pendidikan, Pemerintahan, dijadikan basis
kekuatan militer untuk mengusir orang Papua dari tanah adatnya, seperti yang terjadi di Nduga
saat sekolah dan kantor distrik dijadikan basis militer, begitu juga di Pegunungan Bintang,
Yahukimo, Maybrat, dan Intan Jaya, sedangkan bangunan tempat masyarakat dibumi
hanguskan oleh kekuatan militer (berapa rumah?), tetapi juga berdampak pada pembakaran
gereja, seperti yang terjadi di pegunungan Bintang.
Dari keempat kebijakan afirmasi tersebut, ada juga dampak lain yang dirasakan oleh
orang Papua:
Transmigrasi – Marjinalisasi – Deskiriminasi Rasial: Monopoli Ekonomi & Politik
Berdasarkan catatan Markus Haluk (2022), Migrasi dari Indonesia semakin meningkat di
tanah Papua sejak 1963, pada saat Pemerintah Indonesia mengambil alih Papua Barat
secara atministrasi. Menurut hasil penelitian Dr. Jim Emslie, migrasi penduduk dari luar
Papua pada 1971 berjumlah 36.000 sedangkan Papua 887.000 jiwa dari jumlah total
923.000 jiwa Pada tahun 1990 non-Papua 414.210 jiwa dan Papua berjumlah 1.215.897.00
dengan jumlah total, 1.630.107.00 jiwa. Pada 2005 jumlah penduduk non-Papua,
1.087.694.00 dan Papua, 1.558. 795.00 jumlah total
2.646. 489.00. Pada 2011, jumlah non-Papua, 1.980.000.00 dan Papua 1.700.000,00 jumlah total,
3.680.000.00 jiwa dan pada tahun 2020, jumlah migran atau non-Papua, 4.743.600.00 dan Papua,
1.958.400.00 jiwa. Dampak migrasi masuk dar luar Papua ke tanah Papua dan pembangunan Papua
berdampak pada marjinalisasi dan diskriminasi orang Papua.
Kota-kota yang berdampak pada minoritas, seperti Jayapura, dengan penduduk Orang Asli
Port Numbay hanya 2,84 persen, dari total penduduk di Kota Jayapura yang mencapai 337
ribu jiwa pada tahun 2020. Atau Merauke berjumlah 37,21% dari total 230.932 jiwa pada
tahun 2021.
Dampak marjinalisasi tersebut berujung pada Tindakan-tindakan rasis terhadap orang
Papua, seperti serangan rasis kepada Difabel di Merauke pada 2021, seorang Murid di
Wamena dan Sentani pada tahun yang sama, dan serangan verbal lainnya yang tidak
terekspos dengan baik dikalangan umum.
Minoritas orang Papua berdampak pada monopoli kekuasaan politik, seperti yang terjadi di
Kab. Jayapura dengan 25 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kota Jayapura, 18
dikuasai Indonesia dan 7 oleh orang Papua. Keerom dengan 23 kursi, 16 milik Indonesia
dan 7 untuk orang Papua. Kota dengan 40 kursi, 27 Indonesia, 13 Papua. Sedangkan Sarmi
20 kursi, 13 Indonesia, 7 Papua. Dan jika di totalkan di seluruh 14 Kab/kota di Papua ada
total 358 kursi DPR, dengan 246 dikuasai Indonesia 122 Papua. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa benar, dominasi politik telah dikuasai oleh Indonesia, dan tentu
berdampak pada aturan-aturan yang tidak pro terhadap realita dan keadaan orang Papua
hingga ini.