Anda di halaman 1dari 4

DEWAN PIMPINAN PUSAT

ASOSIASI MAHASISWA PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA SE-INDONESIA

PRESS RELEASE
“ PEMEKARAN DOB DI PROVINSI PAPUA BUKAN SOLUSI ”

“ Salam Satu Tungku Dalam Satu Honai ”

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa,
Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak , Waw wa...wa...wa...wa...wa !

Menyikapi Upaya Pemerintah Pusat (Kementerian Dalam Negeri, DPD-RI dan DPR-
RI) bersama Oknum Tokoh Masyarakat dan Birokrat Papua terkait pemberian pemekaran
di Wilayah Papua1;
1. Prov.Papua Selatan: Merauke, Boven Digul, Asmat, Mapi dan Pegunungan
Bintang
2. Prov.Papua Tengah: Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika dan Nabire
3. Prov.Papua Pegunungan Tengah: Jayawijaya, Yahukimo, Yalimo, Mamberamo
Tengah, Lani Jaya, Nduga, Puncak Jaya, Puncak Papua dan Tolikara.

Kebijakan DOB dilakukan berdasarkan Kemampuan daerah, untuk mengelolah


system Pemerintahan Secara transparansi & Akuntabel, demi mewujudkan kesejateraan
rakyat, melalui urusan Wajib. faktanya pengelolahan system pemerintahan di Papua
masih prihatin, artinya persolan dasar ada pada Sistem pengambil kebijakan bukan pada
rakyat. pemerintah perlu perombakan system yang tepat untuk menghindari kepentingan
kelompok yang kala dalam politik pilkada, Sebab merekapula yang mengiginkan
Pemekaran, DOB, akibat korban politik dengan jargon Kesejateraan Rakyat.
upaya Pemerintah Pusat dan elit politik di papua gencar usulan pembentukan DOB
bukan solusi yang tepat bagi Papua dikarenakan pelaksanaan Pemerintahan di Provinsi
Papua selama ini dari aspek administrasi secara (destralisasi) pelaksanaan kewenangan,
politik, ekonomi, dan Pelayanan Publik jauh tertinggal. Dengan adanya Kewenagan
Semestinya Pemerintahan daerah dapat mengelola konflik di papua Secara efektif,
efisien, Transparan, akuntabel, kenyataan jauh berbedah.
Selain itu yang menjadi akar persolan masalah di Papua ialah status integrasi Papua
Bersama NKRI dan masifnya pola pendekatan kemanan di papua sehingga terjadi
pelangaran-pelangaran HAM yang di lakukan oleh institusi Negara di Papua secara
terstruktur dan masif oleh TNI & POLRI maupun oleh Birokrasi di Pusat dengan pola
kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak terhadap Papua secara sengaja.
Pemerintah Bersama DPD-RI, DPR-RI merevisi UU No. 21 tahun 2001 yang akan
berakhir di bulan November 2021 dengan menaikan anggaran Otonomi Khusus dari 2.0%
DAU Nasional menjadi 2.5% DAU Nasional untuk Otonomi Khusus Papua dan
penambahan 3 Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pengunungan

1
https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/pemekaran-wilayah-papua-menjadi-sebuah-pilihan
Tengah sangat di paksakan jika di tinjau dari Undang- Undang tentang Pemerintahan
Daerah. Syarat-Syarat Pembentukan Daerah Otonomi dalam Pasal 34 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014, Persyaratan dasar kewilayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a meliputi:2 Luas wilayah minimal, Jumlah penduduk minimal, Batas
wilayah, Cakupan wilayah dan Batas usia minimal Daerah provinsi, Daerah
kabupaten/kota, dan Kecamatan, tidak memenuhi syarat karena bila di lihat dari
Parameter pada Pasal 36 huruf (1-8) UU Nomor 23 Tahun 2014, Kualitas Sumber daya
Manusia masih rendah , Distribusi Penduduk antara orang asli papua (OAP) dan Orang
Non Asli Papua Tidak Merata seperti di Merauke dan Kerom, Konfik sosial tinggi,
Pertumbuhan Ekonomi tidak merata, Potensi Unggulan daerah belum ada, Kapasitas
Pendapatan asli Daerah induk (PAD) tidak memenuhi standar, Pengelolaan aset daerah
dan keuangan daerah belum mampu, Aksebilitas pelayanan dasar Pendidikan rata-rata
masi tertinggal dan aksebilitas pelayanan dasar Kesehatan yang masi sangat minim dari-
rata di tingkat nasional.
Pelaksaan Pemerintahan di Provinsi Papua terjadi rentan kendali pengawasan dari
pemerintah Pusat hal ini dapat di buktikan dengan banyaknya indicator-indikator
kegagalan di antaranya Pembangunan Manusia (IPM) di Papua Paling terendah yaitu,
60,84 dari IPM Rata-Rata Nasional 93.75% di tahun 2019 di papua, Angka Kemiskinan
Skala Nasional Jumlah Kemiskinan Nasional Tahun 2019 9.41%, Jumlah Orang Miskin
Terbanyak di Indonesia (Perbandingan Orang Miskin tingkat Nasional & Papua)
kemiskinan Paling tinggi di Provinsi Papua 27.53% dan Papua Barat 22.17% dan angka
Kemiskinan Perkabupaten dari 29 Kabupate kota di Provinsi Papua urutan pertama
Kapupaten Deiyai Persentase penduduk miskin di 17 kabupaten/kota Provinsi Papua
pada 2019 berada di atas angka kemiskinan provinsi yang sebesar 27,43%. Bahkan,
sebanyak empat kabupaten, yakni Deiya, Intan Jaya, dan Lanny Jaya, Timika. tingkat
kemiskinannya di atas 40% dari populasi. Disusul kabupaten Yahukimo, Supiori,
Jayawijaya, Puncak, Nduga, Paniai, dan Mamberamo tengah.3
Meningkatnya angka kematian ibu, menurut UNICEF pada tahun 2019-2020 angka
kematian Ibu dan Anak di Papua paling tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 305 per
1000 kelahiran, hampir 30% dari 1000 ibu yang melahirkan di Papua meninggal di Rumah
Sakit setiap tahun, itu terjadi pada saat proses mengandung. Beberapa indicator di atas
itu merupakan bukti gagalnya pemerintah pusat maupun daerah dalam kerangka
Otonomi khusus, dapat kita bayangkan bila terjadi pemekaran 3 wilayah Provinsi apakah
akan semakin baik atau buruk. Sehingga Kabupaten yang tingkat kemiskinan tertinggi
dan dibarengi dengan minimnya Pendapatan Asli Daerah, perlu digabungkan menjadi
satu daerah otonomi baru, agar menghemat anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) namun Kenyataan berbeda dengan kebijakan yang dipaksakan oleh Para kepala
daerah, dan mendagri tetap melanjutkan pemekaran.
Pemberdayaan ekonomi di papua jumlah tidak dijalankan dengan efektif sehingga
mengakibatkan budaya korupsi dan penyerapan dana tidak maksimal, sementara niat
para penggambil kebijakan terus memaksakan kehendak untuk melakukan pemekaran

2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah
3
Bandan Pusat Statistik 2021
provinsi, walaupun tingkat kemiskinan, kematian, angka buta huruf, dan Pendidikan
masih rendah diPapua dari seluruh Provinsi di Indonesia.

Pemerintah seharusnya melihat aspirasi rakyat Papua hendak melakukan penolakan


akibat koflik kekerasan Panjang, sehingga Pembentukan daerah otonom tidak dapat
dipenuhi hanya dengan pengajuan beberapa orang saja atau atas persetujuan langsung
orang yang berpengaruh. Pembentukan daerah otonom, menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 33-43 haruslah memenuhi semua persyaratan yang
ditentukan.4 Persyaratan ini dibuat agar daerah otonom yang baru benar-benar dibentuk
atas aspirasi masyarakatnya dan bisa membangun daerah lebih maju, tetapi Kemapuan
menurunkan angka kemiskinan perkabupaten tidak maksimal sangat jauh dengan
provinsi di Indonesia. Kelayakan Suatu pemekaran dilihat dari jumlah Penduduk,
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua, jumlah penduduk Orang
Asli Provinsi Papua mencapai 3.435.430 jiwa pada tahun 2020. Sedangkan jumlah
angkatan kerja di Provinsi Papua hingga Februari 2020 mencapai 1.830.409 jiwa.5

Efek Kebijakan DOB akan memberikan dampak buruk kepada Rakyat Papua,
semakin besar peluang Kapitalisme (pengusaha) masuk mengisi berbagai daerah,
strategis lainya, rakyat sebagai pemilik hak ulayat terpinggikarkan secara perlahan hal
dibuktikan dengan kota Jayapura, Pemilik ulayat termarginalisasi dipinggiran laut.
Sehingga Kami merekomendasikan sebagai berikut:

1) Pertama: Pemekaran Tiga Provinsi baru di Papua bukan Solusi untuk


menyelasaikan Persoalan Utama, Yakni 1). Pelanggaran HAM, 2), Pendidikan, 3)
Kesehatan di Papua, Jika diPaksakan akan menambah persoalan baru sehingga
kami meminta Pemerintah Pusat untuk Fokus Menyelasaikan Persoalan Sistem
Di Pemerintahan dan Hentikan untuk Pemekaran Tiga Provinsi Baru;
2) Kedua; Pemerintah Pusat telah melanggar Tata Cara Pemekaran Provinsi Papua
telah diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Papua, Pasal tersebut menyatakan pemekaran Provinsi Papua
dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Papua, dengan memperhatikan sungguh-sungguh kesatuan sosial-
budaya, kesiapan Sumber Daya Manusia dan kemampuan ekonomi dan
perkembangan di masa datang.
3) Ketiga ; Dari aspek kriteria atau Syarat rencana Tiga Provinsi DOB di Papua, tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dalam pasal Pasal 33-43. Lebih dominan
muatan kepentingan politik sehingga akan Berdampak pada kepentingan operasi
militer dan transmigrasi Secara besar-besaran, di Papua sehingga Orang Asli
Papua akan terpinggirkan dan Margianlisasi di Tanah Sendiri.

4
menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 33-43
5
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua
4) Keempat; Penting dan Mendesak bukan Kebijakan DOB di Papua tetapi
Penggabungan Status Daerah Tertinggal, Termiskin Digabungkan menjadi Satu
Kabupaten, Sehingga dapat menghemat Alokasi APBN, Pemekaran DOB Justru
Menghabiskan Anggaran Negara Dalam Pembangunan.
5) Kelima ; Indikator Kegagalan Lainnya dapat dilihat dari Kemiskinan, dari 34
Provinsi di Indonesia Papua Daerah Termiskin Urutan Pertama Sedangkan Papua
Barat Daerah Termiskin Urutan keDua, karena bergantung Pada Transfer daerah
Melalui APBD, APBN dari Pemerintah Pusat, Sedangkan PAD diSetiap
Kabupaten/Kota Minim;
6) Keenam ; Pemerintah Provinsi Papua (Gubernur Papua, DPRP, MRP Papua
Segera Menyurati Pemerintah Pusat, agar menghentikan Pembahasan dan
Usulan DOB di Papua, dan Memberikan teguran atau Sangsi Kepada Bupati/wali
kota,Sesuai Peraturan Pemerintah 23/2011 dalam Pasal 4 ayat (1) telah lalai
sumpa janjinya;
7) Ketujuh : Upaya Memutuskan Mata rantai Konflik kekerasan di Papua Pemerintah
Pusat Yakni; Presiden Jokowi, DPR RI, Mendagri Segera Melakukan Evaluasi
Penyelenggaran Pemerintah yang mengakibatkan banyak konflik kekerasan
dilakukan oleh aparatus Negara di Tanah Papua;
8) KeDelapan ; Akibat Ketidakseriusan Pemerintah Pusat & Daerah dalam
menyelesaikan konflik di Papua, hanya menyimpan ( Ingatan Penderitaan yang
Panjang terhadap Rakyat Papua) Pemerintah Segera Membuka Ruang
Demokrasi untuk merampung semua aspirasi rakyat Papua agar diselesaikan
secara konfrensif & beradap;
9) KeSembilan ; Pemerintahan Presiden Jokowi Segera Selasaikan Empat akar
Akar Persoalan Utama yang dikemukakan oleh Lipi; a) Kegagalan Pembangunan,
b) Marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, c), Kekerasan Negara dan
Tuduhan Pelanggaran HAM, serta d) Sejarah Dan Status Politik Wilayah Papua,
dengan melibatakan Orang Asli Papua yang selama ini Kontra dengan Pemerintah
( ULMWP);

10) Kesepulu; Ketua DPRP Provinsi Papua Hentikan Proses Pengurusan DOB di
Papua. DOB Bukan Hal yang mendesak bagi rakyat Papua, justru hadirnya
pemekaran buruk bagi rakyat.

Medan Juang, 11 Februari 2021

DEWAN PIMPINAN PUSAT


ASOSIASI MAHASISWA PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA SE-INDONESIA
(DPP AMPTPI)

TTD
Ambrosius Mulait
( Sekjen AMPTPI)
(081285804545)

Anda mungkin juga menyukai