Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MATA KULIAH

ETNOGRAFI PAPUA

Dosen : ELISA SROYER, S, SoS , Msi

DISUSUN OLEH:

NAMA :

GERSON GERRY SAWAY 3331123093


JINGGA R K KUBIARI 3331123063
ANDREW H J PANTOW 3331123066
BIMO W TRISETIAWAN 3331123097
MELKYZEDEK G MONSAFE 3331123064

KELAS : 1B

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM MANOKWAR


All that is valuable in human society depends upon the opportunity for development
accorded the individual – Albert Einstein

EXECUTIVE SUMMARY

Papua merupakan salah satu daerah yang kaya akan sumber daya alam di
Indonesia. Namun, kekayaan tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal.
Kekuasaan beberapa pihak asing serta belum mampunya penduduk lokal dalam
mengelola aset lokal Papua mengakibatkan angka kemiskinan di Papua mencapai
angka 27,43% pada semester kedua tahun 2018 yang merupakan angka tertinggi
dari 34 provinsi di Indonesia serta berada di atas rata-rata angka kemiskinan
nasional, yakni 9,66% (BPS, 2018). Selain itu, menurut survei Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR RI) dengan indikator
Indeks Daya Saing Infrastruktur PUPR dari tahun 2010-2014, Papua konsisten
berada di peringkat terbawah dengan skor 50,13 dan berada di bawah rata-rata
nasional yang memiliki skor 67,04. Indeks Daya Saing Infrastruktur sendiri dibangun
oleh indikator kualitas jalan, ketersediaan air minum yang layak, kepemilikan rumah,
indeks kawasan permukiman tidak kumuh dan perkotaan, serta kesediaan akses
sanitasi yang layak. Di antara lima indikator ini, Papua perlu menggarisbawahi tiga
indikator, yaitu kualitas jalan, ketersediaan air minum yang layak, dan akses sanitasi.
Rendahnya indeks tersebut serta faktor banyaknya penduduk miskin yang ada di
Papua menjadi penyebab rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Menurut data BPS (2019), nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua
merupakan yang terendah dari 34 provinsi di Indonesia, yaitu 60,06 dan berada di
bawah rata-rata nasional dengan nilai 71,39. Data BPS (2018) juga menyebutkan
rata-rata lama sekolah bagi penduduk laki-laki Papua adalah 7,26 tahun (Nasional =
8,62 tahun) sedangkan bagi penduduk perempuan Papua, rata-rata lama sekolah
adalah 5,7 tahun (Nasional = 7,72 tahun). Jika dibandingkan dengan angka
nasional, maka akan kontras terlihat gap yang relatif jauh. Ketertinggalan Papua
terasa nyata apabila dilihat berdasarkan data-data yang telah disampaikan
sebelumnya. Oleh karena itu kebijakan pembangunan di Papua merupakan salah
satu fokus utama pemerintah dalam beberapa waktu terakhir. Proyek ini tidak hanya
berbicara mengenai Trans Papua, tetapi juga mencakup usaha penyediaan listrik
dan pembangunan infrastruktur lainnya. Proyek-proyek ini telah dilaksanakan sejak
zaman Orde Baru, tetapi sempat terhenti akibat adanya krisis pada tahun 1997-1998.
Pada tahun 2001, proyek ini dilanjutkan kembali dan menjadi perhatian utama
pemerintah pada 2014. Tujuan pengadaan proyek ini adalah membuka isolasi
ekonomi yang ada di Papua sehingga masyarakat Papua dapat merasakan
kehidupan yang lebih baik. Selain itu, pemerintah juga berusaha mewujudkan
pemerataan pembangunan yang tujuan akhirnya untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional.

PENDAHULUAN

Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan potensi
sumber daya alam (SDA). Provinsi ini memiliki sumber daya mineral yang bernilai
tinggi, hasil hutan yang berlimpah, sumber daya sungai untuk pembangkit tenaga
listrik yang besar, serta potensi lain seperti keindahan panorama alam yang luar
biasa indah. Berdasarkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
Sungai Mamberamo di Papua adalah sungai dengan panjang 670 km yang berhulu
di Pegunungan Jayawijaya dan berhilir ke Samudera Pasifik. Sungai ini memiliki
potensi tenaga air sebesar 12.284 MW yang tersebar di 34 lokasi. Oleh karena itu,
saat era pemerintahan BJ Habibie, kawasan Mamberamo akan dijadikan sentra
industri tenaga listrik. Terlebih lagi, kawasan di sekitar Mamberamo memiliki
kekayaan mineral komoditas tambang seperti bauksit, tembaga, emas, dan nikel.
Ketersediaan PLTA yang menyediakan listrik berpotensi dapat menjadi faktor
pendukung pembangunan industri tambang atau industri lainnya.

Secara astronomis, Provinsi Papua terletak pada 130° – 141° Bujur Timur dan 2°25′
Lintang Utara – 9° Lintang Selatan. Provinsi yang beribukota di Kota Jayapura ini
memiliki luas wilayah sebesar 319.036 km² atau hampir tiga kali luas Pulau Jawa.
Kekayaan alam yang ada di Provinsi Papua tidak hanya pada ketersediaan energi
dan komoditas tambang, tetapi juga keragaman flora & fauna. Potensi paling menarik
bagi wisatawan mancanegara adalah keberagaman jenis burung dan fauna sehingga
Papua sebenarnya memiliki potensi wisata yang besar, serta dapat dimanfaatkan
untuk menyejahterakan masyarakat lokal.

Luasnya wilayah, keberagaman kekayaan alam, dan keindahan yang dimiliki tanah
Papua tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Menurut BPS (2017), Provinsi
Papua memiliki kepadatan penduduk sebesar 10 jiwa/km2 pada tahun 2015.
kepadatan penduduk ini sungguh bertolak belakang dengan Pulau Jawa yang
memiliki kepadatan penduduk sebesar 19.872 jiwa/km2 pada tahun yang sama.
Rendahnya kepadatan penduduk di Papua dipercaya sebagai salah satu faktor
penyebab kurang optimalnya pengelolaan SDA yang ada. Selain itu, rendahnya
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Provinsi Papua juga dapat
menjelaskan alasan Provinsi Papua masih tertinggal dari provinsi lain di Indonesia.

Ketersediaan infrastruktur pendidikan menjadi salah satu sebab rendahnya angka


Rataan Lama Sekolah (RLS) Papua. Angka Rataan Lama Sekolah menjadi acuan
dalam kualitas pendidikan dalam suatu provinsi di Indonesia. Semakin maju kualitas
pendidikan suatu provinsi, semakin tinggi juga angka RLS provinsi tersebut. Perlu
dicatat bahwa nilai Rataan Lama Sekolah akan mempengaruhi indikator kemajuan
lainnya, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan angka melek huruf.
Berdasarkan data BPS (2018), nilai IPM Provinsi Papua adalah 60,06, lebih rendah
daripada nilai IPM rataan Indonesia dari 34 provinsi adalah 71,39. Menurut definisi
dari BPS (2014), IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil
pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan
sebagainya. IPM diperkenalkan oleh United Nations Development Programme
(UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan
Human Development Report (HDR). Dimensi dasar yang diukur adalah: Umur
panjang dan hidup sehat; Pengetahuan, dan; Standar hidup layak.

Gambar 1. Rataan Lama Sekolah (RLS) Papua & Indonesia Berdasarkan


Gender Tahun 2010-2018. Sumber: bps.go.id
Gambar 2. IPM Papua & IPM Rataan Indonesia di 34 Provinsi Tahun 2010-
2018. Sumber: BPS

Gambar 3. Angka Melek Huruf Papua & Angka Melek Huruf Rataan Indonesia
di 34 Provinsi Tahun 1996-2013. Sumber: bps.go.id
Dari paparan grafik di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu permasalahan
Provinsi Papua adalah penyediaan fasilitas umum seperti sekolah, fasilitas
kesehatan dasar, serta akses jalan penghubung desa-kota. Penyediaan sumber
daya guru juga diperlukan, baik fisik dan non-fisik. Implikasi dari kurangnya
penyediaan fasilitas dasar tersebut adalah kualitas hidup yang menurun. Dilihat dari
data Angka Harapan Hidup (AHH), Provinsi Papua menempati posisi yang paling
rendah dari 34 provinsi di Indonesia.

Gambar 4. Angka Harapan Hidup Papua & Indonesia Tahun 2010-2018.


Sumber: bps.go.id

Dalam survei yang dilakukan 3 tahunan, yaitu tahun 2014 dan 2017, Provinsi Papua
memiliki indeks kebahagiaan 2014 & 2017 berurutan sebesar 60,97 dan 67,52
(terendah dibanding 33 provinsi lainnya). Di sisi lain, rata-rata indeks kebahagiaan
Indonesia 2014 & 2017 berurutan sebesar 68,28 dan 70,69. Walaupun tidak selalu
berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, indeks kebahagiaan
dapat menjadi ukuran yang cukup komprehensif dalam menyimpulkan berhasil atau
tidaknya suatu pembangunan berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat.
Indeks Kebahagiaan sendiri memiliki beberapa dimensi pengukuran, yaitu skor
kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).

Konflik yang membunuh belasan jiwa di Distrik Nduga, Papua pada akhir tahun 2018
menjadi ‘alarm’ pemerintah dalam membangun Provinsi Papua. Dengan membawa
pola pikir mengenai pembangunan yang mayoritas difokuskan pada perbaikan
infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi, masyarakat adat Papua merasa
‘termarjinalkan’. Pihak-pihak yang tidak puas, seperti OPM (Operasi Papua
Merdeka), muncul karena didorong oleh kecemburuan sosial akibat ketimpangan dan
diskriminasi antara pembangunan di wilayah timur dan barat. Menurut budayawan
Selo Sumarjan, sejatinya pembangunan Papua harus mengutamakan pembangunan
dalam sisi kemanusiaan, namun tidak melupakan aspek-aspek fisik yang akan
dibangun secara beriringan.

KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN YANG


TERJADI DI PAPUA

Berbagai cara terus diupayakan oleh pemerintah pusat demi mewujudkan negara
Indonesia yang lebih maju. Langkah yang dilakukan adalah melalui upaya
pembangunan infrastruktur, perbaikan birokrasi perizinan, perbaikan penyediaan
pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya. Provinsi Papua termasuk dalam
perhatian utama pemerintahan Joko Widodo karena provinsi ini termasuk provinsi
yang memerlukan perhatian lebih jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Dengan konsep Nawacita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, pemerintah


menaruh perhatian lebih terhadap daerah-daerah terluar di Indonesia termasuk
Papua. Perhatian pemerintah direalisasikan dengan anggaran khusus yang dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
Dana Otsus (Otonomi Khusus) dan dana khusus untuk infrastruktur pada
pemerintahan Jokowi.
Gambar 5. Dana Otonomi Khusus Papua Tahun 2002-2016.
Sumber:bpkad.papua.go.id

Selain itu, perubahan struktur fiskal di daerah juga menjadi terobosan yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Papua. Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyebut bahwa
perlu dilakukan penguatan fiskal daerah dengan menerbitkan Perdasus (Peraturan
Daerah Khusus) Nomor 25 Tahun 2013 yang mengatur bahwa alokasi dana otonomi
khusus dari Pemerintah Pusat akan dialokasikan 80 % untuk kabupaten/kota, dan
hanya 20 % untuk pemerintah provinsi. Ini adalah upaya pemerintah provinsi untuk
memperkecil ketimpangan, baik ekonomi maupun sosial yang telah terjadi di daerah
Papua. Pemerataan pembangunan ekonomi menjadi tujuan utama kebijakan ini.
Strategi lainnya yaitu penetapan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)
yang berhasil ditetapkan untuk periode 2005-2025. Sebelumnya, sejak tahun 2001
saat Papua pertama kalinya memiliki otonomi khusus, rencana pembangunan jangka
panjang belum pernah diformulasikan. Kini, RPJP telah memuat persiapan Provinsi
Papua menjadi tuan rumah PON 2020. Hal ini menjadi peluang adanya redistribusi
pembangunan infrastruktur besar-besaran di Papua. Dengan terpilihnya Papua
sebagai tuan rumah perhelatan olahraga terbesar nasional, tentunya pemerintah
daerah dan pusat semakin giat membangun venue, fasilitas umum, hingga
transportasi massal.

Berkaca dari peristiwa yang terjadi saat pengelolaan proses penganggaran dana
otonomi khusus di daerah yang kurang transparan serta diduga terdapat praktik
korupsi, pemerintah pusat perlu melakukan konsolidasi dengan pemerintah daerah.

Dalam proses penganggaran juga didapati ketimpangan alokasi dana. Terdapat


daerah yang seharusnya menerima alokasi dana yang besar malah mendapatkan
porsi yang tidak proporsional, dan sebaliknya. Masalah ini justru akan memicu
ketegangan sosial di Papua. Akibatnya muncul gerakan separatisme dari akar
rumput yang menganggap bahwa pemerintah pusat kurang memperhatikan
kesejahteraan masyarakat daerah. Berdasarkan permasalahan ini, perlu adanya
efisiensi birokrasi terutama masalah anggaran agar terciptanya keuangan daerah
yang transparan dan tepat sasaran.

Pendanaan dan feeder system juga menjadi perhatian pemerintah. Besarnya dana
pembangunan Papua membuat APBN Indonesia membengkak. Untuk itu pemerintah
mengambil opsi pendanaan publik dan swasta, yakni PPP (Public and Private
Partnership). Dengan skema ini, konsorsium yang dilakukan akan meringankan
beban fiskal negara sehingga negara dapat fokus ke cakupan pembangunan yang
lebih luas.

KESIMPULAN

Dengan alokasi dana otonomi khusus yang dimaksimalkan dengan


penyederhanaan birokrasi, serta perencanaan pembangunan Papua yang
komprehensif tanpa mengorbankan pembangunan fisik maupun non-fisik,
pelaksanaan pembangunan di Papua dapat dijalankan dengan lancar. Munculnya
ketidakpuasan dari pihak akar rumput seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan
elemen politis separatis lainnya, perlu diperhatikan dan harus menjadi alarm bagi
pemerintah bahwa pembangunan ekonomi tanpa pembangunan manusia hanya
akan menghasilkan konflik horizontal semata.
DAFTAR PUSTAKA

BPKAD Papua. (2015). Dana Otonomi Khusus (Otsus). [Online] Available


on : https://bpkad.papua.go.id/dana-otsus.htm. [Accessed : 11 Mei 2019]

BPS. (2016). Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi 2000-2015. [Online] Available


on : https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/09/07%2000:00:00/842/kepadatan-
penduduk-menurut-provinsi-2000-2015.html. [Accessed : 12 Mei 2019]

_____. (2017). Angka Harapan Hidup (AHH) Saat Lahir Menurut Provinsi. [Online]
Available on : https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/04/16/1298/angka-harapan-
hidup-saat-lahir-menurut-provinsi-2010-2017.html. [Accessed : 11 Mei 2019]

Anda mungkin juga menyukai