Jurnal Abdul
Jurnal Abdul
ABSTRACT
This study describes the management strategy and explains the threats and problems in management in
the Lipu Fort Area, Kulisusu District, North Buton Regency. The purpose of this study is to provide
recommendations for the proper management of Lipu Fort and describe the threats and problems that exist in the
management of the fort. The study used in this study is a study of cultural heritage management or cultural
resource management and uses important value analysis and SWOT analysis as supporting analysis in this
study. Based on the research, it can be concluded that the right strategy in Lipu Fort is to determine the cultural
heritage expert team, determine the cultural heritage decision letter, determine the priority level on the cultural
heritage building. Problems and threats found in Lipu Fort are population growth, Lipu Fort has not been
established as a cultural heritage, conflict, lack of budget.
Keywords: Lipu Fort; Management Strategy; Kulisusu.
1. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dalam kajian ilmu arkeologi sumber daya budaya merupakan sisa-sisa tinggalan budaya yang
menjadi bukti fisik serta pendukung adanya aktivitas manusia pada masa lalu pada bentang alam
tertentu yang mempunyai tujuan untuk menjelaskan, menggambarkan dan memberikan pemahaman
terhadap perilaku serta interaksi yang mereka lakukan. Hal tersebut, tidak bisa dipisahkan dengan
adanya perkembangan dan perubahan pada sistem budaya yang berkaaitan erta dengan alam
manusia itu sendiri. Perkembangan pembangunan yang semakin cepat menyebabkan sumber daya
arkeologi semakin terancam baik, rusak, hilang atau bahkan hancur oleh pembangunan. Latar
belakang tersebut memunculkan paradigma baru dalam arkeologi yaitu Cultural Resource
Management (CRM). Makna Cultural Resource Management merupakan upaya pengelolaan sumber
daya budaya secara bijak dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan banyak pihak yang
masing-masing pihak sering kali bertentangan. Kinerja CRM cenderung lebih menekankan pada upaya
pencarian solusi terbaik dan terbijak agar kepentingan berbagai pihak tersebut dapat terakomodasi
secara adil sehingga tercapai upaya pelestarian sumberdaya arkeologi (Tanudirjo, 1998).
Benteng Lipu merupakan sebuah tinggalan budaya yang dibentuk untuk keperluan pertahanan
pada masa penjajahan. Benteng Lipu memiliki fungsi sebagai pertahanan dan sengaja dibentuk untuk
memprtahankan masyarakat yang berada pada kawasan pemukiman Benteng Lipu. Besarnya
hegemoni serangan dari Tobelo maka penguasa di Barata Kulisusu pada saat itu merencanakan
pembangunan Benteng untuk meredam serangan dari kerajaan yang ingin menjajah Buton. Guna
menghadapi situasi yang begitu sulit, dikalangan masyarakat berupaya membangun sebuah benteng
sebagai upaya melindungi dan mempertahankan citra mereka sebagai suatu kelompok masyarakat
yang berada ditengah kerajaan yang besar. Sebagai bukti perlindungan tersebut, dibangunlah sebuah
benteng untuk menjadi pusat pertahanan dan keamanan masyarakat yang bermukim disekitar (Zaenu,
1985).
Banyak tinggalan arkeologis bekas Barata Kulisusu salah satunya tinggalan benteng, namun
benteng-benteng ini sebagian sudah mengalami pemugaran dan sebagian sudah mengalami
kerusakan, salah satu pemugaran Benteng yang pernah dilakukan yaitu diarea Kawasan Benteng Lipu
namun, pemugaran yang dilakukan hanya mempercantik tampilan tetapi tidak memikirkan nilai budaya
yang ada. Salah satu contoh bangunan yang telah dipugar diarea Kawasan Benteng Lipu adalah
rumah Adat Kulisusu, Rumah Adat Kulisusu merupakan salah satu identitas yang penting namun
pengelolaanya tidak sesuai koridor yang ada, pengelolaan yang dilakukan hanya menambah nilai
estetika namun mengurangi nilai budaya yang ada. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pengetahuan
untuk menjaga, mengelola dan melestarikan benda tinggalan budaya. Sehingga sangat merugikan
banyak pihak khususnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan karena hilangnya sebuah indentitas
bangsa dengan menghilangkan tinggalan kebudayaan. Dalam banyak kasus, kegiatan pembangunan
yang tidak mengenali potensi cagar budaya seringkali menyebabkan kerusakan situs, hilang dan
hancurnya data kebudayaan yang sangat diperlukan sebagai jembatan memahami masa lalu bagi
generasi (Mahmud, 2014).
Berdasarkan penjelasan di atas, dalam pengelolaannya kawasan Benteng Kulisusu masih
ditemukan kekurangan yang disebabkan adanya pengambilan keputusan yang tidak tepat sasaran
sehingga dalam regulasi pengelolaan Benteng Kulisusu sampai saat ini masih belum mencapai
sasaran yang ditargetkan oleh pengelola benteng tersebut. Oleh karena itu, dengan meninjau ulang
riwayat pengelolaan Benteng Lipu yang telah dilakukan oleh pengelolah dalam hal ini pemerintah
daerah setempat yang ditemukan beberapa kekurangan maka dalam penelitian ini, penulis
memberikan rekomendasi dalam pengelolaan kawasan Benteng Lipu serta dijelaskan pula
permasalahan dan nacaman yang ditemui dalam pengelolaanya.
1.2Rumusan Masalah
Benteng Lipu merupakan salah satu sumber daya arkeologi yang yang berada di Kecamatan
Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Dalam kawasan Benteng Lipu banyak ditemukan tinggalan-tingalan
arkeologi yang dalam pengelolaanya oleh pemerintah daerah setempat masih banyak ditemukan
kekurangan akibat kurangnya pengetahuan. Kekurangan tersebut menyebabkan Benteng Lipu dalam
pengelolaanya ditemukan hilangnya nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya sebagai akibat dari
pengelolaan yang hanya terfokus pada nilai estetika dan melupakan nilai-nilai budaya. Beradasrkan hal
tersebut, maka rumusan masalah yang disusun dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi yang
tepat dalam pengelolaan kawasan Benteng Lipu dan apa saja ancaman dan masalah dalam
pengelolaan Benteng Lipu.
1.3Kerangka Teoritis
Pemilihan Benteng Lipu sebagai objek penelitian didasarkan pada kurangnya pemahaman
dalam pengelolaan terhadap tinggalan-tinggalan arkeologis yang berada dalam kawasan benteng
maupun Benteng Lipu itu sendiri. Salah satu contoh kasus kurangnya pemahaman dalam pengelolaan
Benteng tersebut yakni dalam pengelolaan tinggalan bangunan baruga yang ternilai asal-asalan yang
tidak sesuai dengan regulasi dalam pengelolaan cagar budaya. Sehingga dalam pengelolaanya banyak
menghilangkan bentuk keaslian dari tinggala-tersebut. Pada dasarnya penelitian ini berfokus dalam
kajian manajemen pengelolaan cagar budaya atau cultural resource management (CRM). Dalam fous
kajiannya CRM berusaha telaah terhadap pengelolaan terhadap cagar budaya yang dilakukan secara
bijak dengan mempertimbangkan berbagai aspek termasuk pemangku kepentingan yang terdiri dari
berbagai pihak dengan prosedur yang terstandarisasi dilakukan dengan cara-cara baku serta
menggunakan kerangka pikir positivis. Dalam kajianya CRM seringkali ditemukan beberapa istilah
yakni management of heritage place dan conservation archaelogy serta archaelogycal heritage
management namun CRM dalam pengelolaannya tetap berfokus pada pengelolaan suatu cagar
budaya (Pearson dan Sulivan, 1995). Dengan melihat kurang tepatnya pengelolaan tinggalan arkeologi
di kawasan Benteng Lipu dengan fokus penelitian yang ditik beratkan pada pembahasan strategi
pengelolaan dan masalah serta ancaman dalam pengelolaanya maka kajian CRM digunakan dalam
penelitian ini. Penelitian merupakan jenis penelitian kualitatif yang melakukan pengumpulan data
pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan menggunakan metode ilmiah dan dilakukan oleh
orang atau peneliti yang tertarik secara alami. Sifat penelitian ini adalah induktif karena penelitian ini
melakukan pengamatan yang bergerak dari fakta-fakta atau gejala-gejala yang bersifat khusus sampai
dengan penyimpulannya untuk mendapatkan pemecahan masalah yang bersifat umum (Sukendar.
1999).
1.4Metode Penelitian
Dalam penelitian di Benteng Lipu, terbeih dahulu dilakukan pengumpulan data. Tahap awal
dalam melakukan pengumpulan data adalah dengan studi pustaka. Dalam studi pustaka dilakukan
dengan cara memngumpulkan semua hasil laporan-laporan pada penelitian terdahulu yang termuat
dalam tulisan skripsi, jurnal maupun artikel yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan Benteng Lipu.
Setelah data pada studi pustaka berhasil dikumpulkan maka dilanjutkan dengan tahap selanjutnya
yaitu studi lapangan. Dalam studi lapangan terdapat terbagi menjadi dua bagian yakni observasi dan
wawancara. Pada tahap observasi dilakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian
guna data real sesuai dengan gejala-gejala dalam permasalahan penelitian. Selain pengamatan, pada
tahap observasi juga dilakukan perekaman data atau pendokumentasian pada setiap tinggalan
arkeologis di Benteng Lipu serta melakukan pengukuran dan pencatatan terhadap tinggalan. Setelah
observasi, maka dilanjutkan dengan tahap wawancara pada stakeholder yang berkepentingan di
Benteng Lipu. Setelah studi lapangan selesai dilakukan maka dilanjutkan dengan tahap analisis data.
Analisis data dilakukan dengan menjabarkan semua tinggalan sumberdaya arkeologi yang berada di
Kecamatan Kulisusu dengan analisis SWOT. Untuk mengetahui mengetahui tingkat kelemahan,
kekuatan, peluang, dan ancaman. Setelah analisis SWOT dilanjutkan dengan analisis silai penting
terhadap sumberdaya arkeologi yang terdiri dari beberapa bagian pertama adalah nilai penting sejarah,
nilai penting ilmu pengetahuan, nilai penting kebudayaan dan nilai penting pendidikan. Setelah tahapan
analisis, maka dapat disimpulkan strategi pengelolaan yang terhadap tinggalan arkeologis di Benteng
Lipu serta ancaman dan masalah dalam pengelolaanya.
2. HASIL PENELITIAN
Secara administrasi Kawasan Benteng Lipu berada disalah satu wilayah Desa yang berada di
Kecamatan Kulisusu yaitu Desa Wasalabose. Desa Wasalabose merupakan salah satu desa yang ada
di Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Pada awalnya Desa Wasalabose merupakan wilayah
Kelurahan Lakonea. Tepat pada tahun 2013 Desa Wasala Bose mengalami pemekaran serta
Kelurahan Lakonea membentuk wilayah tersendiri. Luas wilayah desa ini adalah 3,75 km² dan secara
umum keadaan daerahnya terdiri dari daratan dan keadaan alamnya berbatu-batu, sedangkan dipesisir
pantai terdapat tebing dan batu karang. Kawasan Benteng Lipu memiliki batasan-batasan salah
satunya yaitu batasan buatan. Dalam menentukan batas buatan harus memerlukan batasan buatan
sebagai pengenal/penanda agar Kawasan Benteng Lipu lebih dikenal dengan tujuan kawasan tersebut
mendapat perhatian lebih, guna untuk menjaga dan melestarikan Kawasan Benteng Lipu. Kriteria yang
digunakan dalam penentuan batas buatan adalah batas buatan yang sengaja dibuat seperti jalan raya,
drainase, dan deker agar suatu kawasan dapat lebih diketahui oleh masyarakat. Salah satu Batasan
buatan yang terdapat pada kawasan ini terletak pada sisi barat, utara dan terdapat didalam benteng
yang menghubungkan antara gerbang satu dan gerbang dua. Batasan budaya yang dimiliki pada
Kawasan Benteng Lipu berada pada dinding benteng yang dimilikinya. Hal tersebut yang menjadi tolak
ukur bahwa pada wilayah Wasalabose merupakan pusat kebudayaan hanya bertitik pada Kawasan
Benteng Lipu. Pada Kawasan Benteng Lipu aktifitas kebudayaan yang dihasilkan berupa kegiatan
tahunan yang dengan diadakannya tarian khas daerah untuk memperingati hari besar maupun untuk
penyambutan tamu. Kawasan Benteng Lipu terdapat banyak tinggalan-tinggalan arkeologis yang
menjadi tolak ukur penempatan batasan budaya sedangkan penentuan batasan alam yang dilakukan
pada Kawasan Benteng Lipu merupakan bentang alam yang langsung berbatasan dengan situs
Benteng Lipu dan memiliki hubungan peristiwa sejarah dimasa lalu dengan situs/objek cagar budaya.
2.1Strategi Pengelolaan Benteng Lipu
Sebelum menetapkan strategi pengeloaan yang tepat pada Benteng Lipu, terlebih dahulu harus
diketahui nilai penting yang terkandung dari Benteng Lipu maupun tinggalan-tinggalan yang berada
dalam kawasan benteng. Sehingga didapatkan tahapan regulasi yang tepat terhadap pengelolaan
Benteng Lipu. Sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 pasal 1 tentang cagar budaya.
Dalam undang-undang tersbut dinyatakan bahwa dalam sebuah cagar budaya harus memiliki nilai
penting terhadap nilai sejarah, nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan, nilai pendidikan dan nilai
dalam perkembangan kebudayaan tertentu. Selain nilai penting pada pengelolaan Benteng Benteng
Lipu harus diketahui adanya kelemahan, ancaman, peluang dan kekuatan yang terdapat pada benteng
tersebut. Untuk mengetahui peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan Benteng Lipu maka harus
analisis SWOT. Analisis nilai penting dan analisis pada benteng tersebut sangat penting dilakukan agar
diketahui regulasi pengelolaan yang tepat pada Benteng Lipu. Berikut penjelasan nilai dan analisis
SWOT di Benteng Lipu.
2.1.1 Analisis Nilai Penting
Berdasarkan undang-undang cagar budaya Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya,
bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cagar budaya di darat
dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan Identifikasi nilai
penting. Pengklasifikasian nilai penting penulis harus mengetahui bagaimana proses pemeringkatan
nilai cagar budaya. Pemeringkatan nilai cagar budaya bukan dimaksud untuk menyusun pembobotan
tiap-tiap cagar budaya tetapi pemeringkatan ini lebih mengarah ke pembagian tanggung jawab
terhadap cagar budaya antara pemerintah nasional, pemerintah provinsi, pemerintah daerah terkait
diberlakukannya sistem otonom daerah. Pemeringktan ini tentunya akan memberikan dampak positif
untuk bagaimana kedepannya dapat mengatur pengambilan kebijakan terhadap pengambilan
kebijakan cagar budaya.
Dalam melakukan pengidentifikasian nilai penting cagar budaya penting juga untuk mengetahui
tinggalan-tinggalan apa saja yang terdapat pada objek situs penelitian yang juga menjadi dasar penting
untuk melakukan pengidentifikasian. Namun dalam hal ini pengidentifikasin nilai penting akan dibatasi
dalam skala semi mikro. Semi mikro dalam penjelasan Tanudirjo (2004) tingkatan semi mikro
mempunya cakupan lebih luas sampai pada situs, jenis-jenis apa saja yang ada pada situs termaksud
pada bangunan, jalan, dan artefak non bangunan. Berikut penjelasan nilai penting yang terkandung
dalam Benteng Lipu.
a. Nilai Penting Sejarah
Penamaan pada Benteng Lipu, yakni berasal dari bahasa masyarakat sekitar, kata “Lipu” berarti
merupakan pusat dari pemukiman masyarakat yang berada dalam benteng. Benteng Lipu merupakan
pusat aktivitas dan kehdupan masyarakat yang terus mengalami perkembangan akibat tuntutan zaman
dan kondisi tertentu. Sebelum pembangunan masyarakat hidup dengan cara berpindah-pindah atau
nomaden, sehingga untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup mereka masyarakat
membangun sebuah benteng dan menetap pada tempat tersebut. Datangnya serangan perompak atau
bajak laut yang berasal dari utara maupun timur atau dikenal dengan nama bajak laut Tobelo juga
merupakan gangguan dan ancaman yang bersal dari luar sehingga untuk melindungi masyarakat
Kulisusu yang terpusat pada Benteng Lipu perlu adanya kekuatan yang besar untuk mewujudkan
bentuk perlindungan tersebut.
Dalam pembangunan Benteng Lipu dibentuk panitia atau tim yang bertanggung jawab langsung
beridirinya Benteng Lipu. Lakina Kulisusu didapuk sebagai penasehat, Kopasarano (panglima perang)
sebagai orang yang bertanggung jawab atas keamanan dalam pembangunan benteng, La Kodangku
bertindak sebagai konsultan menyusul Gaumalanga dan La Moloku sebagai anggota pembangunan
dalam benteng (Tasau Ea) (Abu Hasan, 1989). Berdasarkan bahan material dan bentuk arsitektur
Benteng Lipu, dinding atau tembok benteng tersebut terdiri atas susunan batuan yang disusun tanpa
perekat yang tertata rapi mirip dengan susunan dinding batu pada Benteng Keraton, dalam
pembangunannya Benteng Lipu dilengkapi dengan lubang-lubang pengintai atau bastion, salah satu
bangunan juga terletak di atas bukit dengan ketinggian sekitar 20 mdpl. Desain Bnetng Lipu terbagi
menjadi dua bagian, bagian pertama merupakan bangunan induk benteng yang dibangun pada masa
pemerintahan La Ode-Ode, pada bagian kedua merupakan lapisan benteng terluar yang melindungi
dinding benteng pada lapisan pertama. Desain bangunan benteng terdiri dari dua lapisan bertujuan
untuk memperkuat pertahanan yang berada pada luar benteng maupun dalam benteng. Dari hasil
mahakarya tersebut menunjukan masyarakat Kulisusu pada abad 17 telah memiliki kemajuan tingkat
peradaban kebudayaan dan sistem pengetahuan yang tinggi dalam rencang sebuah bangunan
pertahanan.
Berdasarkan sejarah pendirian Benteng Lipu di atas, mununjukan perjalanan sejarah yang
panjang yang dimulai keinginan masyarakat pendukung Benteng Lipu untuk mendirikan sebuah
bangunan pertahananan yang mampu melindungi seluruh masyarakat didalamnya maka didirikan
Benteng Lipu. Oleh krena itu, keberadaan Benteng Lipu tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah
masyarakat Kulisusu.
b. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan
Nilai penting ilmu pengetahuan yang terkandung di situs benteng lipu adalah ilmu antropologi,
arsitektur, sosial, tradisi lisan dan arkeologi. Pada ranah antropologi, situs benteng lipu dapat diteliti
lebih lanjut terkait upacara-upacara adat yang sering dilaksanakan tiap tahunan. Upacara adat tersebut
menjadi kajian menarik melihat kegiatan tersebut menjadi bukti nyata kebudayaan dari leluhur dari
masyarakat di benteng lipu. Pada ranah keilmuan sosial pada situs benteng lipu dapat diteliti guna
mmejawab permasalahn seperti struktur sosial, kekuasaan politik, dan proses-proses sosial lainnya.
Salah satu penelitian yang pernah dialkukaan adala penelitian untuk menjawab bagaimana struktur
sosial pada masa kerajaan buton oleh nurlin. Pada ranah arsitektur, dapat dilakukan penelitian pada
situs benteng lipu guna untuk menjawab permasalahan yang seperti bagaimana bentuk bangun, antara
lain rumah adat (raha bulelenga), baruga bahkan bagaimana arsitektur yang terdapat pada bangunan
masjid yang ada di benteng lipu. Penelitian di bidang arkeologi, penelitian dibidang ini sudah sangat
lazim dilakukan diwilayah benteng lipu. Terdapat banyak tinggalan-tinggalan bersejarah yang dapat
diteliti lebih lanjut salah satu penelitian yang pernah di lakukan adalah muhamad aswad “Tinggalan
Arkeologis Di Situs Benteng Lipu Di Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi
Tenggara”.
c. Nilai Penting Kebudayaan
Nilai penting kebudayaan yang terkandung dalam situs benteng lipu adalah bentuk fisik
kebudayaan berupa benteng. Benteng tersebut merupakan benteng pertahanan yang kokoh dalam hal
ini juga menjadi sebuah tolak ukur bagaimana pencapaian teknologi pada masa itu. Pada situs benteng
lipu masyrakat memiliki kegiatan tahunan berupa upacara-upacara adat seperti pelantikan lakino lipu,
pelaksanaan tarian adat seperti tari lense, tari kompania, tari pangaro. Tarian-tarian tersebut
merupakan sebuah kebudayaan yang khas yang harus dijaga sampai saat ini dikarenakan hal tersebut
merupakan sebuah nilai kebudyaan yang sangat penting untuk daerah maupun negara. Tarian-tarian
tersebut merupakan tarian yang masih berlangsung sampai saat ini. Selain dari nilai penting
kebudayaan tarian ini merupakan salah satu identitas kebudyaan yang membuat suatu kebudayaan
satu dan yang lainnya berbeda.
d. Nilai Penting Pendidikan
Nilai penting pendidikan didasarkan pada kemampuan potensi yang dimiliki pada situs Benteng
Lipu untuk dikembangkan sebagai sarana pendidikan dan edukasi bagi masyarakat tentang masa lalu
dan cara penelitiannya. Salah satunya adalah dengan menghadirkan siswa sekolah menengah atas
dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di sekitar Kabupaten Buton Utara untuk belajar dari
situs-situs tersebut baik secara indor maupun outdor serta terlibat langsung dalam proses
penelitiannya. Pengembangan lain dari konsep penentuan nilai penting pendidikan adalah situs
Benteng Lipu menjadi bagian yang terintegrasi dalam bahan ajar pelajar di kalangan sd/smp/sma
sebagai muatan lokal dalam pendidikan sejarah. Hal tersebut tentunya harus dilakukan melalui
penelitian, koordinasi, dan sinkronisasi hasil penelitian dengan bahan mata pelajaran sejarah melalui
guru-guru pengajar sejarah. Dengan upaya tersebut juga dapat meningkatkan kapasitas kompetensi
guru pengajar khususnya guru sejarah. Peningkatan kompetensi tersebut sesuai dengan kondisi sistem
sekarang yang menuntut para guru memenuhi standar kompetensi bidang pengajaran tertentu melalui
sistem sertifikasi guru. Di samping itu, nilai penting pendidikan juga dapat berupa penyampaian
informasi pendidikan dari generasi tua ke generasi muda berkenaan dengan keberadaan situs benteng
lipu.
2.1.2 Analisis SWOT
Dalam penelitian tentang pengelolaan kawasan cagar budaya benteng lipu terdapat banyak
permasalahan dan ancaman yang berpotensi dapat merusak berbagai nilai yang terkandung
didalamnya. Bercermin dari hal yang melatar belakangi pengelolaan tersebut, maka penulis membuat
rekomendasi pengelolaan yang didaasari ancaman dan masalah tersebut dengan menggunakan
metode analisis untuk merumuskan strategi untuk pengelolaannya. analisis SWOT digunakan untuk
dapat mengidentifikasi salasatu dari empat pola yang berbeda dalam perpaduan antara situasi internal
dan eksternal. Analisi ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan ( Strenghts) dan
peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimkan kelemahan (weknesses) dan
ancaman (threats). SWOT adalah singkatan dari faktor internal strength dan weaknesses serta faktor
eksternal opportunities dan theats yang dihadapi. Analisis SWOT membandingkan antara faktor
internal dan eksternal. Berikut penjelasan hasil analisis SWOT yang di temui pada pengelolaan Bnteng
Lipu.
a. Kekuatan (Strength)
Adapun kekuatan yang dimiliki Kawasan Benteng Lipu untuk kepentingan pengelolaan dalam hal
ini adalah upaya pemberian strategi yaitu Benteng Lipu merupakan salah satu dari 8 benteng yang
masih memiliki nilai keaslian yang masih terawat sampai saat ini. Kemudian letak benteng yang berada
pada dataran tinggi sehingga membuat pengunjung dapat menikmati landscape kota Ereke terutama
pada saat matahari terbenam (sunset). Benteng Lipu juga memiliki keunggulan dimana letak benteng
yang berada dipusat kota sehingga untuk pengunjung yang datang berkunjung dapat dengan mudah
berpergian.
Bangunan benteng tersebut merupakan salah satu dari 2 prioritas untuk dikelola. Terbukti
dengan berbagai program yang kami jalankan yaitu pengusulan surat keptusan sebagai benda cagar
budaya dan penetapan peraturan daerah serta telah dibuatkan master plan pada Kawasan Benteng
Lipu. Hal tersebut didasari oleh kegiatan yang dilakukan pengunjung pada kawasan tersebut. Dimana
pada kawasan Benteng Lipu selalu digunakan untuk acara tahunan dan ketika daerah kedatangan
tamu penting. Terdapat sebuah cerita, bahwa jika tamu yang berkunjung diwilyah kulisusu tidak dapat
dikatakan sah menginjak tanah kulisusu ketika belum menyempatkan dirinya untuk berkunjung
kebenteng kulisusu dalam hala ini adalah meminta restu keselamatan di kulisusu”.(Wawancara :Harlin
Hari, 2020).
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, terdapat kekuatan yang dimiliki pada
Kawasan Benteng Lipu. Dalam hal ini, Benteng Lipu merupakan sebuah bangunan warisan nenek
moyang yang masih berdiri kokoh yang menjadi pusat prioritas dalam pengelolaan pemerintah daerah
Kabupaten Buton Utara. Pengelolaan yang dilakukan bukan tanpa alasan, melainkan dengan melihat
jumlah wisatawan local maupun wisatawan luar yang terus berdatangan walaupun bukan dalam jumlah
besar. Hal ini didasari juga dengan kegiatan tahunan yang selalu dilaksanakan pada Kawasan
BentengLipu.
b. Kelemahan (Weaknesses)
Dalam Kawasan Benteng Lipu tentu terdapat kelemahan yang dialami dalam pengelolaannya.
Tentu hal ini harus mendapatkan perlakukan yang serius oleh para pemangku kebijakan terkait
dikarenakan permasalah yang selalu terjadi pada kawasan benteng lipu. “Terdapat tiga point penting
yang sebenarnya harus diketahui dalam pengelolaan Kawasan Benteng Lipu yang pertama terkait
semakin padatnya jumlah penduduk yang menghuni kawasan tersebut sehingga potensi peng-rusakan
(vandalisme) terhadap tinggalan arkeologis secara perlahan akan timbul. Sebagai salah satu
contohnya larangan dari pemerintah adat terhadap masyarakat untuk tidak membangun rumah yang
bersifat permanen. Namun kenyataannya sekarang ini masyarkat tetap saja membangun rumah yang
bersifat permanen dikarenakan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk selalu meronavasi
rumah panggung yang pada dasarnya bengunan tersebut terbuat dari bahan yang kurang kokoh.
Kemudian yang kedua ketersedian juru pelihara (jupel) yang hanya difungsikan untuk merawat pada
satu titik area yaitu pada bagian kompleks pemakaman. Yang seharusnya fungsi dari jupel tersebut
setidaknya memilki sedikit pemahaman terkait sejarah yang ada pada Kawasan Benteng Lipu.
Kemudian yang ketiga pada Kawasan Benteng Lipu masih sangat kurang sebuah oleh-oleh (buah
tangan) yang disediakan ketika wisatawan datang untuk berkunjung menikmati keindahan budaya yang
ada pada Kawasan Benteng Lipu”.(Wawancara, Nasarudin S., 2020)
c. Peluang (Opportunities)
Benteng lipu memilki peluang untuk yang besar untuk dijadikan kawasan wisata budaya jika
keterawatan dari Kawasan Benteng Lipu dapat dijaga. Terbukti dengan diikut sertakan sebagai peserta
Anugerah Pesona Indonesia (API) dalam kategori situs sejarah terpopuler dan hal inilah merupakan
salah satu peluang dimana secara tidak langsung Benteng Lipu diperkenalkan secara nasional bahwa
Benteng Lipu memiliki peluang besar untuk dijadikan wisata budaya. Hal tertesebut juga sejalan
dengan letak benteng yang sangat strategis dimana Kawasan Benteng Lipu berada dipusat perkotaan
sehingga memudahkan aksesbilitas untuk berkunjung di Benteng Lipu
Benteng Lipu sangat berpeluang untuk dijadikan wisata budaya dikarenakan kulisusu yaitu
tinggalan arkeologis merupakan sebuah icon dari Kabupaten Buton Utara yang secara tidak langsung
dapat menarik wisatawan untuk untuk berkunjung dikarenakan adanya sebuah mitos yang berkembang
bahwa wisatawan tidak dapat dikatakan sah menginjak tanah Kulisusu sebelum berkunjung ke
Kulisusu. Tidak hanya itu, pemerintah daerah juga telah menyiapkan 8 alat tenun untuk menunjang
perekonomian masyarakat selain itu tujuan dari pengadaan alat tersebut adalah untuk membuat
sebuah ciri khas yaitu buah tangan ketika wisatawan datang untuk berkunjung”(Wawancara, Nurham,
2020).
d. Ancaman (Thereast)
Dalam pengelolaan benteng pastinya tidak akan terlepas oleh sebuah ancaman baik yang
ditumbulkan oleh manusia maupun alam. Sebelumnya telah dibahas mengenai masalah dan ancaman
yang terjadi dalam pengelolaan benteng lipu diantaranya faktor manusia dan faktor alam. Ancaman
yang ditumbulkan oleh manusia berupa vandalisme yang terjadi pada kawasan Benteng Lipu berupa
pencemaran sampah yang menimbun dinding benteng sehingga dapat merusak nilai estetika yang
dimilki benteng tersebut. Hal ini desebabkan oleh kurangnya kepedulian masyarakat dalam menjaga
dan melestarikan bangunan dan situs bersejarah pada Kawasan Benteng Lipu. Selain itu, ancaman
yang ditimbulkan oleh alam berupa merambatnya tanaman liar baik tanaman tinggi maupun tanaman
tingkat rendah. Salah satunya yaitu tanaman pohon kapuk yang tumbuh besar dan menempel pada
dinding benteng yang secara perlahan akar dari pohon tersebut akan merambat disela-sela dinding
benteng dan membuat dinding retak dan rusak. Ancaman lain yang terjadi pada kawasan benteng lipu
adalah dengan adanya gesekan antara pihak pemerintah adat, pemerintah desa dan pemerintah
daerah tentang persoalan RTRW yang berpotensi membuat renggang hubung dari para pemangku
kebijakan.
2.1.3 Strategi Pengelolaan Benteng Lipu
Strategi pengelolaan sebuah cagar budaya sangat diperlukan guna untuk mendapatkan
keuntungan berupa kelestarian cagar budaya yang diwariskan dari nenek moyang kita yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Perumusan sebuah strategi pengelolaan perlu
diimplementasikan disetiap daerah yang memiliki cagar budaya, sala satunya cagar budaya yang
berada di Kabupaten Buton Utara yaitu Kawasan Benteng Lipu. Dalam pengelolaan Kawasan Benteng
Lipu menggunakan strategi analisis nilai penting sebagai langkah awal untuk menetapkan Kawasan
Benteng Lipu sebagai Cagar budaya yang legal. Selanjutnya dalam penyusunan strategi pengelolaan
Kawasan Benteng Lipu menggunakan analisi SWOT sebagai akar dalam menentukan beberapa usulan
rekomendasi pengelolaan Kawasan Benteng Lipu. Berikut rekomedasi strategi pengelolaan Benteng
Lipu.
a. Penentuan dan Penetapan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB)
Dalam melakukan sebuah pelastarian, pengelolaan bahkan pengembangan sebuah Cagar
Budaya perlu adanya keputusan dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Menurut Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, TACB merupakan kelompok ahli
pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi yang bertugas untuk
memberikan pertimbangan bahkan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar
Budaya. Sesuai dengan amanah yang telah diatur dalam UU, maka menjadi sesuatu hal yang wajib
bagi setiap warga negara Indonesia untuk menjalankankan. Dalam penetapan TACB Kabupaten Buton
Utara saat ini belum memiliki rangkaian tim ahli yang akan bertugas untuk mengeluarkan rekomendasi
penetapan sampai pada tahap penghapusan sebuah cagar budaya. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Nurham yang menyatakan bahwa, dalam melakukan sebuah pendataan, harus melalui orang-orang
yang berkompeten dibidangnya seperti orang yang bergerak dibidang kebudayaan salasatunya
arkeologi. Tinggalan yang ada di Butur sangat beragam dan perlu dilestarikan dengan cara
mendaftarkan tinggalan cagar budaya agar memiliki landasan hukum yang kuat dan yang memiliki hak
atas pengusulan itu adalah TACB. Namun TACB yang berada di Buton Utara saat ini masih belum
ada”.(Wawancara Nurham, 2020).
Tugas TACB yaitu memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan
cagar budaya. Dalam hal ini penetapan cagar budaya, TACB Kabupaten/Kota mengkaji kelayakan dari
hasil pendaftaran objek yang diduga cagar budaya. pengkajian dilakukan untuk melakukan identifikasi
dan klasifikasi dari setiap objek yang diduga sebagai objek cagar budaya. pengkajian dilakukan untuk
melakukan identifikasi, klasifikasi bahkan sampai pada tahap pemberian nilai penting dan
pemeringkatan dari setiap objek yang diduga sebagai cagar budaya.
b. Penetapan Surat Keputusan Cagar Budaya
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya
baik yang berada di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proes
penetapan. Tanpa status yang jelas sebagai CB atau KCB, maka pengelolaan sebagai langkah
lanjutan tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu strategi utama adalah penetapannya sebagai CB/KCB,
dan kelak akan diikuti oleh strategi perlindungan, pelestarian, serta pengelolaannya.Salah satu hal
penting dalam proses penetapan kawasan cagar budaya adalah berkaitan dengan keberadaan
tinggalan arkeologi yang berbentuk struktur di kawasan tersebut. Tahapan tersebut bertujuan untuk
memetakan dan mengklasifikasin tiap tinggalan arkeologi yang akan berperan sebagai dasar penting
untuk pengajuan rekomendasi sebagai cagar budaya/kawasan cagar budaya. setidaknya ada tiga
aspek dalam pendaftaran cagar budaya, yaitu pendaftar, tim pendaftaran dan objek yang didaftar.
Pendaftar dapat berupa badan usaha berbadan hukum, masyarakat, kelompok orang, maupun
perorangan. Tim pendaftaran adalah tim yang bertugas menerima dan mengolah data pendaftaran,
yang dibentuk oleh kepala dinas yang membidangi kebudayaan. Sedangkan objek yang didaftar bisa
berupa benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis.
Penetapan sk cagar budaya pada Kawasan Benteng Lipu sangatlah penting dikarenakan secara
implisit, dari amanat unudang-undang cagar budaya telah menegaskan pentingnya pelestarian cagar
budaya dalam hal ini penetapan sk cagar budaya, sebagai hasil kejayaan perkembangan masa lalu.
Sebab, dilihat dari arti cagar budaya dalam kepentingan berbangsa dan bernegara. Hal ini
dilatarbelakangi bahwa cagar budaya mengandung banyak informasi penting dari masa lalu, terutama
hasil peradaban dan kebudayaan yang mencermikan nilai-nilai keluhuran bangsa. Dengan demikian,
melalui tinggalan-tinggalan arkeologis yang berada dibenteng lipu tentunya akan sangat bermanfaat
untuk kedepannya dikarenakan dengan adanya tinggalan tersebut masyarakat dapat mengetahui,
mempelajari dan memahami nilai-nilai dari proses kebudayaan yang diwarisi.
c. Penentuan Tingkat Prioritas pada Bangunan Cagar Budaya dan Zonasi Cagar Budaya
Dalam penentuan tingkat prioritas pada bangunan cagar budaya dan zonasi cagar budaya
dilakukan beberapa tahapan yakni penetapan zona inti pada cagar budaya, penentuan zona
pendukung, pembagian tanggung jawab, pemberdayaan masyarakat, mitigasi. Berikut penjelasan
tahapan dalam penentuan tingkat prioritas pada bangunan cagar budaya dan zonasi cagar budaya.
1. Penentuan Zona Inti
Zona inti merupakan sebuah batasan wilayah guna untuk mempertahankan keaslian dari cagar
budaya itu sendiri. Menurut Atmosudiro (2006) menjabarkan konsep dalam penentuan zonasi inti yakni
Mutlak untuk mempertahankan keaslian cagar budaya. tidak boleh merusak atau mencemari cagar
budaya maupun nilainya, tidak boleh mengubah fungsi kecuali tetap mempertahankan prinsip
pelestarian cagar budaya, tidak boleh untuk kepentingan komersil kecuali memenuhi kepatutan.
cKawasan Benteng Lipu merupakan sebuah kawasan yang terdapat situs-situs arkeologi baik
berupa arkeologi pra islam maupun islam. Tinggalan arkeologi yang terdapat pada Kawasan Benteng
Lipu berupa kompleks makam para tokoh, salasatunya adalah raja laode-ode yang merupakan raja
pertama di kerajaan Kulisusu. Laode-ode merupakan anakd ari Wd.Bilahi dan Sultan Murhum menurut
hasil wawancara Kasim. Selain dari kompleks makam terdapat pula Masjid Keraton, Bharuga, Kulisusu,
Raha Bulelenga dan Benteng. Berikut penggamabaran penentuan zona inti pada Benteng Kulisusu
melalui gambar 1 dibawah ini.
P: (Pearson dan Sulivan, 1995) R: Pearson, Michael dan Sharon Sullivan. 1995. Looking After
Heritage Places: The Basic of Heritage Planning for
Managers, Landowners and Adiministrators . Melbourne
University Press. Melbourne.
P: (Tanudirjo, 2004) R: Tanudirjo, Daud Aris. 2004. Penetapan Nilai Penting dalam
Pengelolaan Benda Cagar Budaya. Makalah disampaikan
pada Rapat Penyusunan Standardisasi Kritetia (Pembobotan)
Bangunan Benda Cagar Budaya. Jakarta: Ciputat, tanggal 26-
28 Mei 2004.