Anda di halaman 1dari 7

TUGAS ETIKA KRISTEN

DI

OLEH :

NAMA : FRISILYA BELLA TERMATURE

NPM : 12114201210020

PRODI : ILMU KEPERAWATAN

DOSEN PENGAMPUH : Dr Henky H. Hetharia, M.Th

FALKUTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

2022
PERSOALAN KITA

Etika berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.


Tetapi tidak semua yang harus dilakukan oleh manusia itu adalah persoalan etika.
Disini kita berhadapan dengan apa yang seharusnya, ya, tapi bila . . harus, bila . . .
jangan atau tidak boleh, bila . . . Di sini kita berhadapan dengan apa yamg wajib
kita lakukan, tetapi “itu tergantung”. Keharusan ini disebut sebagai keharusan
yang hipotetis, dan penting kita catac ialah, bahwa etika tidak-sekali lagi tidak-
berbicara tentang keharusan yang hipotetis. Harus, titik keharusan yang hipotetis
adalah keharusan yang bersifat kondisional. Artinya, ia hanya berlaku untuk
memenuhi kondisi-kondisi atau syarat-syarat tertentu. Atau, disebabkan oleh
karena kondisi-kondisi tertentu. Tidak berlaku setiap saat. Tidak berlaku untuk
semua kondisi, oleh karena itu, ia tidak merupakan persoalan etis.

Keharusan ertis adalah keharusan yang tidak kondisional. Bukan “harus,


bila” tetapi “harus, titik”. Ia bersifat mutlak. Ia harus begitu dalam kondisi apapun
juga. Keharusan seperti ini disebut keharusan kategoris. Jadi di dalam etika anda
tidak mengatakan : jangan melacur, bila ada tidak mau trserang penyakit kelamin.
Di dalam etika, anda mengatakan : jangan melacur, titik. Artinya didalam keadaan
apapun dan oleh karena alasa apapun melacur adalah salah dan jahat. Didalam
dalam etika, Anda juga tidak mengatakan: Anda harus setia di dalam pernikahan
Anda, bila suami/istri Anda juga setia. Tidak. Yang Anda harus katakan, adalah:
Anda harus setia di dalam pernikahan Anda, titik. Di sini, kesetiaan merupakan
keharusan kategoris, tidak hipotetis.

Itu sama sekali tidak berarti bahwa kondisi tidak perlu diperhitungkan lagi.
Yang ingin dikatakan ialah, bahwa di dalam etika ada sesuatu yang lebih dalam
daripada sekedar kondisi atau kenyataan. Yaitu: makna kehidupan kita sebagai
manusia. Kita tidak melacur, bukan sekedar karena takut terkena penyakit. Tetapi
karena itu bertentangan dengan makna hidup kita sebagai manusia. Kita harus
setia di dalam pernikahan kita, Artinya: karena kesetiaan itulah yang paling
mencerminkan apakah artinya hidup sebagai manusia itu. Persoalan kita ialah, apa
maksudnya kata-kata itu? Marilah Anda saya ajak membayangkan kejadian
berikut ini. Parlin meminta ijin kepada ayah dan ibunya untuk pergi ke pesta ulang
tahun seorang temannya. Mereka mengijinkan dengan sebuah syarat yaitu: Parlin
harus sudah tiba kembali di rumah sebelum jam 11.00 malam. Ia ber janji, lalu
pergi. Tapi apa yang terjadi? Siswa kelas 3 SMA itu baru kembali pada pukul 2.00
pagi. Parlin mengatakan, ia tidak ingin melanggar janjinya. Tapi ia tidak
mempunyai pilihan lain. Tak seorangpun dari teman-temanya yang pulang
sebelum jam 11.00. Ketika ia pamit, semua malah menertawakan dan menge jek
dia. Karena itu, ia tinggal. Ia tidak mau kehilangan muka di depan teman
temannya. Dan kemudian setelah itu, walaupun ia tahu bahwa ia sudah ter lambat,
ia masih harus mengantar dua orang teman wanitanya pulang. Mak lum, rumah
mereka jauh dan hanya Parlin yang membawa mobil. Parlin berkata, "Saya
mengakui saya salah, tapi saya tidak dapat berbuat lain!" Mendengar itu ayah
Parlin berkata, "Parlin, aku memahami keadaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa janji
adalah janji. Janji harus ditepati. Apapun alas annya, engkau tetap bersalah. Dan
oleh karena itu, harus dihukum."

Tentu saja istrinya-ibu Parlin-protes. "Aku tahu, bahwa si Parlin bersalah.


Iapun sudah mengakuinya. Tapi mengapa ia harus dihukum? la toh tidak berbuat
jahat. Maksudnya baik. la malah mengantar teman-teman wanitanya pulang. Ini
kan perbuatan luhur?!" Sampai di sini cerita kita. Dan kini saya mengajak Anda
untuk mulai be lajar menganalisa secara etis peristiwa tersebut. Belum akan
merupakan ana lisa yang tuntas, memang. Tetapi bukankah belajar itu memang
harus sedikit demi sedikit?

Deontologis. Menurut pendapat Anda, siapakah yang bersikap paling etis


di antara ketiga orang itu? Kalau Anda tidak gegabah, maka saya bayang kan
Anda akan mengalami kesulitan di dalam menentukan pilihan Anda. Sebab
ketiga-tiganya sebenarnya sama-sama mempunyai alasan etis yang kuat. Bila
Anda berpikir demikian, maka Anda benar. Ketiga orang itu mewakili tiga cara
berfikir etis yang paling pokok. Satu sama lain berbeda. Cara berfikir etis seperti
ini, disebut deontologis. Yaitu, cara berfikir etis yang mendasarkan diri kepada
prinsip, hukum, norma objektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi
dan kondisi apapun juga. Etika yang deontologis, karenanya berbicara tentang apa
yang benar dan apa yang salah. Dan dengan tegasnya.

Di dalam etika kristen, cara berfikir deontologis adalah cara melakukan


penilaian etis yang meletakkan Hukum Allah sebagai satu-satunya norma yang
tidak dapat ditawar-tawar. Suatu tindakan adalah benar, apabila sesuai dengan
Hukum Allah itu. Dan salah, apabila bertentangan dengannya. Allah berkata,
"Jangan membunuh". Itu berarti, di dalam situasi dan kondisi apapun mem bunuh
adalah salah. Cara berfikir seperti ini tentu banyak keuntungannya. Kehidupan
manusia itu begitu kompleksnya dan begitu dinamisnya, sehingga hampir
mustahil untuk mempunyai hukum yang jelas bagi setiap kemungkinan. Ambil
saja sebagai contoh, perintah "Jangan membunuh" Perintahnya sendiri jelas.
Tetapi bagaimana hukum yang sederhana ini harus diterapkan adalah sesuatu yang
jauh dari sederhana. Apakah itu berarti hukuman mati adalah salah? Apakah itu
berarti membunuh karena membela diri adalah salah? Apakah membunuh di
dalam peperangan adalah salah? Dan banyak pertanyaan lain lagi.
Bila demikian, maka jalan yang harus ditempuh adalah memperinci hukum
itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menjawab setiap kemungkinan yang
terjadi. Ini memang dilakukan orang. Tetapi akibatnya ialah, etika lalu berubah
menjadi kasuistri. Etika berubah menjadi suatu daftar panjang tentang apa yang
boleh dan apa yang dilarang. Bukan saja, seperti dikatakan di atas, ini tidak
mungkin dapat dikerjakan dengan lengkap dan sempurna. Tetapi juga ada ekses
yang mengancam, yaitu legalisme yang beku dan kaku. Hukum tidak lagi
melayani manusia, tetapi sebaliknya manusia melayani hukum.

Persoalan kita adalah: apakah ada ukuran yang obyektif yang dapat
dipakai untuk menilai suatu tindakan itu sebagai "baik" atau "jahat"? Di dalam
cara berfikir etis yang deontologis, norma-norma obyektif itu jelas. Filsuf Jerman,
Immanuel Kant, adalah contoh yang jelas. Ia mengatakan, bahwa ada dua ukuran
obyektif untuk mengatakan suatu tindakan itu secara etis "benar" atau "salah".
Pertama, begitu Kant, "Bertindaklah atas dalil, bahwa apa yang Anda lakukan itu
dapat berlaku sebagai hukum yang bersifat universal." Artinya, apa yang kita
lakukan itu "benar" apabila di manapun dan kapanpun, apa yang kita lakukan itu
adalah yang seharusnya dilakukan oleh siapapun. Dan yang kedua, apa yang
"benar" adalah apabila Anda "memperlakukan manusia, baik itu orang lain atau
diri Anda sendiri, di dalam setiap hal, sebagai tujuan, dan bukan sekedar sebagai
alat". Artinya, suatu tin dakan sudah pasti "salah", apabila ia memperlakukan
manusia sebagai obyek dan bukan sebagai subyek. Itu mengenai cara berfikir
deontologis. Tapi bagai mana dengan cara berfikir teleologis? Jawabannya adalah:
ya. John Stuart Mill, filsuf Inggris yang terkenal de ngan utilitarianismenya,
mengusulkan sebuah dalil: "The greatest good for the greatest number." Menurut
Mill, sebuah tindakan dapat dikatakan "baik", apabila ia bertujuan dan berakibat
membawa "kebaikan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang".

Filsuf yunani klasik yang besar, aristoteles, mengusulkan ukuran yang


lain. Dalam bukunya NICOMACHEAN ETHICS, ia menulis antara lain bahwa
"Kebahagiaan adalah sesuatu yang final, serba cukup pada dirinya, dan tujuan dari
segala tindakan...". Jadi semua tindakan yang bertujuan untuk membahagiakan
orang lain atau diri sendiri, atau berakibat pada membuat orang lain atau diri
sendiri bahagia, adalah "baik". James Gustafson, dalam bukunya yang indah THE
PROTESTANT AND ROMAN CATHOLIC ETHICS, mengemukakan suatu
pengamatan yang me narik untuk kita simak. Ia mengatakan, bahwa pada
hakekatnya Etika Protestan adalah deontologis. Etika Protestan bertolak pada
hukum, perintah dan kehendak Allah. Allah dikenal sebagai Sang Pemberi
Hukum. Di samping Dasa Titah, maka Hukum Kasih adalah hukum yang paling
utama. Sedangkan Etika Roma Katolik, menurut Gustafson, adalah teleologis.
Dijiwai oleh pemikiran teolog raksasa Thomas Aquinas, gereja Roma Katolik
memahami Allah teruta ma sebagai "tujuan" dari pada segala sesuatu. Bahwa
segala sesuatu yang ter tuju kepada Allah adalah "baik". Segala sesuatu yang
tertuju kepada yang lain dari pada Allah adalah "jahat".

Etika Protestan bertitik tolak pada Hukum Kasih. Tetapi bagaimana


menjabarkan "Kasih" itu di dalam setiap situasi? Kasih tidak dapat dijabarkan
secara tuntas dalam bentuk hukum-hukum positif untuk diberlakukan dalam setiap
situasi. Tidak semua orang sependapat dengan pengamatan Gustafson tersebut.
Tapi kita tak perlu menganalisa pendapatnya lebih lanjut. Sebab tujuan yang
terpenting pada tahap ini adalah, untuk lebih menjelaskan apa itu cara berpi kir
deontologis dan apa itu cara berfikir teleologis. Dapatkah kita mengatakan
sekarang, bahwa cara berfikir teleologis itu bebas dari kelemahan? Pada suatu
pihak, cara berfikir teleologis ini memang dapat menghindarkan kita, dari cara
penilaian yang kaku. Ia membebaskan kita dari belenggu legalisme yang justru
merupakan bahaya atau ekses dari cara berfikir deontologis. Tetapi baiklah kita
tidak menyangka bahwa cara berfikir teleologis dengan demikian bebas dari
bahaya. Bahaya yang pertama adalah bahaya meng halalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Bagaimanapun secara etis kita toh harus mengatakan, bahwa
bukan hanya tujuan dan akibat yang penting. Kita harus mengatakan, bahwa
tujuan dan hasil yang "baik", juga harus diusahakan melalui cara-cara yang
"benar". Nah, bila Anda sepakat dengan saya, maka di sini kita melihat bahwa di
dalam cara berfikir teleologis, aspek aspek deontologis tak dapat hilang sama
sekali: kita masih harus berbicara tentang "benar" dan yang "salah". Bukan hanya
tentang yang "baik" dan yang "jahat".

Bahaya yang kedua dari cara berfikir teleologis dalam bentuknya yang
ekstrim adalah: hedonisme. Yang "baik" selalu terancam bahaya untuk ditaf sirkan
secara sempit: yang baik untuk "saya". Dan kemudian yang baik untuk "saya" itu
dengan mudahnya berubah menjadi: yang paling "nikmat", yang paling
"gampang", yang paling "menguntungkan" untuk "saya". Persoalan etis di sini
adalah: bahwa yang paling nikmat, gampang dan menguntungkan untuk "saya",
tidak selalu berarti demikian untuk yang lain. Untuk yang "lain", barangkali
tindakan yang sama itu justru merugikan dan mencelaka kan. Di sini, timbullah
kekacauan etis. Pada prinsipnya, etika yang deontologis maupun teleologis tidak
terlampau memperhitungkan situasi dan kondisi. Kita dapat mengatakan bahwa ke
duanya bersifat universal. Hukum atau prinsip atau norma yang diperkenal kan
oleh Kant adalah universal, artinya berlaku di mana saja dan kapan saja. Hukum
Allah juga begitu. Dalil teleologis yang dikemukakan oleh Mill, "kebaikan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang", juga harus begitu dalam situasi dan
kondisi apapun juga. Menurut Aristoteles, di manapun dan kapan pun juga akan
mencari kebahagiaan. Inilah yang saya maksudkan, ketika saya mengatakan
bahwa etika yang deontologis maupun teleologis pada prin sipnya bersifat
universal.

Richard H. Niebuhr, dalam bukunya THE RESPONSIBLE SELF membe


ri nama yang lain, yaitu: Etika Tanggung-Jawab. Di sini, yang paling penting
untuk kita tanyakan sebelum kita melakukan sesuatu, bukanlah apa yang secara
universal "benar", ataupun apa yang secara universal "baik", tetapi apa yang
secara kontekstual paling "bertanggungjawab".

Cara berfikir etis seperti ini, saya yakin pasti paling menarik bagi kita. Tak
dapat dihindarkan, etika yang baik adalah etika yang operasional. Etika yang
menolong orang mengambil keputusan dalam situasi dan konteks terten tu. Telah
dikatakan di atas, bahwa etika adalah ilmu yang dinamis. Dinamis oleh karena ia
harus berinteraksi dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Oleh sebab itu, etika
yang kontekstual memang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi bukan tanpa
kelemahan. Kelemahan terbesar dari etika kontekstual adalah, bahwa ia dengan
mudah terjebak menjadi etika yang situasional. Etika yang tanpa prinsip, sebab
situasi menjadi pertimbangan pokok satu satunya. Inilah yang dengan istilah-
istilah yang lebih canggih disebut sebagai bahaya relativisme dan subyektivisme.
Relativisme, oleh karena semuanya menjadi serba relatif. Tidak ada lagi norma-
norma yang berlaku mutlak. Semuanya serba tergantung kepada situasi dan
kondisi. Dan subyektivisme, oleh karena semuanya menjadi amat tergantung
kepada pertimbangan dan ke putusan si pelaku. Tak seorangpun dapat melakukan
penilaian yang obyektif lagi terhadap apa yang diputuskannya, begitu ia
mengatakan bahwa itulah yang paling bertanggungjawab baginya di dalam situasi
di mana ia berada. Mengapa disebut berbahaya? Sebab fungsi etika adalah untuk
mem berikan pegangan kepada manusia mengenai apa yang seharusnya.

Tetapi saya ingin memperingatkan Anda. Etika bukan saja ilmu yang
menarik. Etika adalah juga merupakan ilmu yang sulit. Misalnya saja tentang yang
telah kita bahas di atas. Anda pertama-tama telah saya ajak untuk berkenalan
dengan etika yang deontologis. Mungkin pada waktu itu, Anda serta-merta
berkata dalam hati: "Nah ini dia! Saya telah menemukan bagaimana cara berfikir
etis itu seharusnya. Asal saya tahu prinsipnya, saya akan segera tahu apa yang
'benar' yang harus saya lakukan, dan apa yang "salah' yang harus saya hindarkan."
Begitu, bukan? Tapi segera setelah itu, Anda diberitahu: Hati-hati! Sebab
deontologis itu bukan tanpa ranjau-ranjau. Deontologis bisa berubah menjadi
legalisme yang beku dan kaku!

Anda mundur dan ragu-ragu. Untung, deontologis bukan pilihan satu


satunya. Ada juga etika yang teleologis. Tidak beku dan tidak kaku. Di sini, bukan
soal "benar" dan "salah" yang harus Anda ikuti secara otomatis. Tapi dengan
hidup Anda boleh membuat perhitungan atau kalkulasi tentang apa "tujuan" dan
apa kira-kira "akibat"nya. Ini tentu lebih menolong! Tetapi mungkin baru saja
Anda mulai terpikat oleh cara berfikir teleologis ini, alarm tanda bahaya berbunyi
lagi. Kali ini Anda diperingatkan tentang bahaya utilitarianisme yang sempit:
semua tindakan hanya ditinjau dari sudut un tung-rugi. Lalu ada bahaya
hedonisme: kita dibuat cenderung memilih yang enak, gampang, dan cepat-bukan
memilih yang benar-benar "baik". Belum lagi bahaya "tujuan menghalalkan cara".

Menurut Martin Luther, orang percaya adalah orang yang sekaligus


dibenarkan dan sekaligus berdosa; "simul iustus et peccator" Jadi keputusan etis
apapun yang kita lakukan tidak pernah sempurna. Ia selalu harus kita lakukan
dengan penuh kerendahan hati, bahkan dengan pengakuan dosa.

Anda mungkin juga menyukai