Frisilya Bella Termature
Frisilya Bella Termature
DI
OLEH :
NPM : 12114201210020
FALKUTAS KESEHATAN
2022
PERSOALAN KITA
Itu sama sekali tidak berarti bahwa kondisi tidak perlu diperhitungkan lagi.
Yang ingin dikatakan ialah, bahwa di dalam etika ada sesuatu yang lebih dalam
daripada sekedar kondisi atau kenyataan. Yaitu: makna kehidupan kita sebagai
manusia. Kita tidak melacur, bukan sekedar karena takut terkena penyakit. Tetapi
karena itu bertentangan dengan makna hidup kita sebagai manusia. Kita harus
setia di dalam pernikahan kita, Artinya: karena kesetiaan itulah yang paling
mencerminkan apakah artinya hidup sebagai manusia itu. Persoalan kita ialah, apa
maksudnya kata-kata itu? Marilah Anda saya ajak membayangkan kejadian
berikut ini. Parlin meminta ijin kepada ayah dan ibunya untuk pergi ke pesta ulang
tahun seorang temannya. Mereka mengijinkan dengan sebuah syarat yaitu: Parlin
harus sudah tiba kembali di rumah sebelum jam 11.00 malam. Ia ber janji, lalu
pergi. Tapi apa yang terjadi? Siswa kelas 3 SMA itu baru kembali pada pukul 2.00
pagi. Parlin mengatakan, ia tidak ingin melanggar janjinya. Tapi ia tidak
mempunyai pilihan lain. Tak seorangpun dari teman-temanya yang pulang
sebelum jam 11.00. Ketika ia pamit, semua malah menertawakan dan menge jek
dia. Karena itu, ia tinggal. Ia tidak mau kehilangan muka di depan teman
temannya. Dan kemudian setelah itu, walaupun ia tahu bahwa ia sudah ter lambat,
ia masih harus mengantar dua orang teman wanitanya pulang. Mak lum, rumah
mereka jauh dan hanya Parlin yang membawa mobil. Parlin berkata, "Saya
mengakui saya salah, tapi saya tidak dapat berbuat lain!" Mendengar itu ayah
Parlin berkata, "Parlin, aku memahami keadaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa janji
adalah janji. Janji harus ditepati. Apapun alas annya, engkau tetap bersalah. Dan
oleh karena itu, harus dihukum."
Persoalan kita adalah: apakah ada ukuran yang obyektif yang dapat
dipakai untuk menilai suatu tindakan itu sebagai "baik" atau "jahat"? Di dalam
cara berfikir etis yang deontologis, norma-norma obyektif itu jelas. Filsuf Jerman,
Immanuel Kant, adalah contoh yang jelas. Ia mengatakan, bahwa ada dua ukuran
obyektif untuk mengatakan suatu tindakan itu secara etis "benar" atau "salah".
Pertama, begitu Kant, "Bertindaklah atas dalil, bahwa apa yang Anda lakukan itu
dapat berlaku sebagai hukum yang bersifat universal." Artinya, apa yang kita
lakukan itu "benar" apabila di manapun dan kapanpun, apa yang kita lakukan itu
adalah yang seharusnya dilakukan oleh siapapun. Dan yang kedua, apa yang
"benar" adalah apabila Anda "memperlakukan manusia, baik itu orang lain atau
diri Anda sendiri, di dalam setiap hal, sebagai tujuan, dan bukan sekedar sebagai
alat". Artinya, suatu tin dakan sudah pasti "salah", apabila ia memperlakukan
manusia sebagai obyek dan bukan sebagai subyek. Itu mengenai cara berfikir
deontologis. Tapi bagai mana dengan cara berfikir teleologis? Jawabannya adalah:
ya. John Stuart Mill, filsuf Inggris yang terkenal de ngan utilitarianismenya,
mengusulkan sebuah dalil: "The greatest good for the greatest number." Menurut
Mill, sebuah tindakan dapat dikatakan "baik", apabila ia bertujuan dan berakibat
membawa "kebaikan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang".
Bahaya yang kedua dari cara berfikir teleologis dalam bentuknya yang
ekstrim adalah: hedonisme. Yang "baik" selalu terancam bahaya untuk ditaf sirkan
secara sempit: yang baik untuk "saya". Dan kemudian yang baik untuk "saya" itu
dengan mudahnya berubah menjadi: yang paling "nikmat", yang paling
"gampang", yang paling "menguntungkan" untuk "saya". Persoalan etis di sini
adalah: bahwa yang paling nikmat, gampang dan menguntungkan untuk "saya",
tidak selalu berarti demikian untuk yang lain. Untuk yang "lain", barangkali
tindakan yang sama itu justru merugikan dan mencelaka kan. Di sini, timbullah
kekacauan etis. Pada prinsipnya, etika yang deontologis maupun teleologis tidak
terlampau memperhitungkan situasi dan kondisi. Kita dapat mengatakan bahwa ke
duanya bersifat universal. Hukum atau prinsip atau norma yang diperkenal kan
oleh Kant adalah universal, artinya berlaku di mana saja dan kapan saja. Hukum
Allah juga begitu. Dalil teleologis yang dikemukakan oleh Mill, "kebaikan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang", juga harus begitu dalam situasi dan
kondisi apapun juga. Menurut Aristoteles, di manapun dan kapan pun juga akan
mencari kebahagiaan. Inilah yang saya maksudkan, ketika saya mengatakan
bahwa etika yang deontologis maupun teleologis pada prin sipnya bersifat
universal.
Cara berfikir etis seperti ini, saya yakin pasti paling menarik bagi kita. Tak
dapat dihindarkan, etika yang baik adalah etika yang operasional. Etika yang
menolong orang mengambil keputusan dalam situasi dan konteks terten tu. Telah
dikatakan di atas, bahwa etika adalah ilmu yang dinamis. Dinamis oleh karena ia
harus berinteraksi dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Oleh sebab itu, etika
yang kontekstual memang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi bukan tanpa
kelemahan. Kelemahan terbesar dari etika kontekstual adalah, bahwa ia dengan
mudah terjebak menjadi etika yang situasional. Etika yang tanpa prinsip, sebab
situasi menjadi pertimbangan pokok satu satunya. Inilah yang dengan istilah-
istilah yang lebih canggih disebut sebagai bahaya relativisme dan subyektivisme.
Relativisme, oleh karena semuanya menjadi serba relatif. Tidak ada lagi norma-
norma yang berlaku mutlak. Semuanya serba tergantung kepada situasi dan
kondisi. Dan subyektivisme, oleh karena semuanya menjadi amat tergantung
kepada pertimbangan dan ke putusan si pelaku. Tak seorangpun dapat melakukan
penilaian yang obyektif lagi terhadap apa yang diputuskannya, begitu ia
mengatakan bahwa itulah yang paling bertanggungjawab baginya di dalam situasi
di mana ia berada. Mengapa disebut berbahaya? Sebab fungsi etika adalah untuk
mem berikan pegangan kepada manusia mengenai apa yang seharusnya.
Tetapi saya ingin memperingatkan Anda. Etika bukan saja ilmu yang
menarik. Etika adalah juga merupakan ilmu yang sulit. Misalnya saja tentang yang
telah kita bahas di atas. Anda pertama-tama telah saya ajak untuk berkenalan
dengan etika yang deontologis. Mungkin pada waktu itu, Anda serta-merta
berkata dalam hati: "Nah ini dia! Saya telah menemukan bagaimana cara berfikir
etis itu seharusnya. Asal saya tahu prinsipnya, saya akan segera tahu apa yang
'benar' yang harus saya lakukan, dan apa yang "salah' yang harus saya hindarkan."
Begitu, bukan? Tapi segera setelah itu, Anda diberitahu: Hati-hati! Sebab
deontologis itu bukan tanpa ranjau-ranjau. Deontologis bisa berubah menjadi
legalisme yang beku dan kaku!