Anda di halaman 1dari 28

POKOK BAHASAN V :

HUBUNGAN IMAN KRISTIANI DENGAN ILMU


PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI
A. Tipologi Hubungan Iman dan Ilmu Pengetahuan Dalam Sejarah
Kekristenan
• Silahkan Anda mengamati dan menilai hubungan antara iman dan
ilmu pengetahuan dalam sejarah kekristenan dari berbagai buku
dan sumber belajar yang lain. Amati juga apa yang menjadi pokok
persoalan dalam membahas topik llmu pengetahuan dan
teknologi dalam hubungannya dengan pendidikan agama di
perguruan tinggi. Pada satu sisi, perguruan tinggi adalah tempat
ilmu pengetahuan dan teknologi dipelajari sekaligus
dikembangkan. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak hanya untuk menguasainya, namun agar dapat
menyumbang baik untuk perkembangan manusia secara pribadi
maupun untuk masyarakat secara bersama-sama. Bila ilmu
pengetahuan dan teknologi dijadikan salah satu substansi kajian,
ada asumsi, bahwa agama memberi sumbangan yang berarti
dalam rangka memotivasi manusia untuk mempelajari dan
mengembangkannya demi kegunaan bagi manusia dan
masyarakat.
• Selain itu, tantangan terbesar dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah bahwa agama
bisa menjadi kurang atau tidak relevan lagi dalam
memecahkan persoalan hidup manusia dan
masyarakatnya. Disadari benar bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
dibuktikan secara empiris, dapat saja
memerosotkan iman seseorang sehingga tidak
percaya lagi pada kebenaran agama bilamana
temuan ilmu pengetahuan ternyata berbeda
dengan deskripsi Kitab Suci. Singkatnya,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
menjadi ancaman bagi kehidupan beragama.
• Jadi, bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tetap
diusahakan berkembang, tetapi juga iman dan takwa manusia
dalam kehidupan beragamanya ditingkatkan. Karena itu,
haruslah dicari hubungan yang bermakna antara iman, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hubungan yang bagaimanakah di
antara keduanya yang dapat dipertanggungjawabkan?
Tantangan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
belum begitu terasa di Indonesia. Karena ideologi Pancasila
mengasumsikan semua orang percaya kepada Tuhan, secara
publik jarang ada orang mempertanyakan eksistensi Tuhan dan
kebenaran dari apa yang dianggap penyataan Ilahi dalam kitab-
kitab suci keagamaan. Hal ini tidak berarti bahwa secara
individual orang tidak secara kritis mempertanyakan dasar iman
mereka. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional juga secara
tegas merumuskan tujuan pendidikan nasional pertama-tama
untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan,
dan juga memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains
• Di Barat, tempat kekristenan berasal, selama berabad-abad lamanya, khususnya
selama Abad Pertengahan, dapat disaksikan dominasi iman atas ilmu pengetahuan
atau sains. Teologi yang menjadi acuan kehidupan iman orang Kristen, dianggap
sebagai ratu ilmu pengetahuan, telah menempatkannya sebagai ukuran kebenaran
untuk segala hal, bukan hanya untuk soal iman danetika.
• Tragisnya, ketika Galileo mengemukakan temuan ilmu pengetahuannya bahwa bukan
matahari yang beredar dari timur ke barat, melainkan bumilah yang beredar
mengelilingi matahari, gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran ajaran teologi
menjatuhkan hukuman yang mengerikan terhadap dia. Penemuannya justru dianggap
bertentangan dengan deskripsi Alkitab yang ditafsirkan secara literal (harfiah) dan
dikenal dengan istilah Biblical Literalism, tanpa memerhatikan konteks budaya ketika
Alkitab ditulis.
• Alkitab ditulis dalam konteks masyarakat agraris dan masih sederhana, dan deskripsi
tentang fenomena alam berdasarkan pengamatan semata-mata. Secara awam sudah
tentu deskripsi bahwa matahari yang beredar mengelilingi bumi adalah hal yang wajar
tetapi tentu maksud Alkitab bukanlah untuk memberi deskripsi tentang gejala-gejala
alam dan menjadi buku teks ilmu pengetahuan alam. Tujuannya jauh lebih tinggi dari
deskripsi seperti itu. Penulis hendak menyaksikan bahwa di balik semua yang ada, ada
penciptanya. Suatu pengakuan tentang eksistensi Tuhan dan bahwa Tuhan adalah Allah
yang hidup dan bertindak dalam sejarah umat manusia. Silakan Anda amati dan nilai
dampak negatif dominasi iman/agama terhadap ilmu pengetahuan/ sains.
• Untungnya, setelah beberapa abad kemudian
Gereja mengakui bahwa hukuman terhadap
Galileo Galilei adalah suatu kekeliruan, dan
Gereja telah meminta maaf atas hal tersebut.
Umumnya, pada masa kini tidak ada yang
beranggapan bahwa mataharilah yang beredar
mengelilingi bumi dan bukan bumi yang
mengelilingi matahari, walaupun tidak berani
menolak otoritas Alkitab, karena Alkitab bukan
buku teks ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana
sebaiknya hubungan iman/agama dengan ilmu
pengetahuan?
2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama
• Sejak zaman Pencerahan, dominasi iman atas ilmu mulai
dipertanyakan, malahan berkembang menjadi dominasi ilmu atas
iman. Tantangan utama atas agama atau iman dalam abad ilmu
pengetahuan adalah keberhasilan metode ilmu pengetahuan.
Tampaknya ilmu pengetahuan memberikan satu-satunya jalan yang
dapat dipercaya menuju kepada pengetahuan (knowledge).
• Banyak orang menganggap sains (ilmu pengetahuan) bersifat
objektif, universal, rasional, dan didasarkan pada bukti
observasi/pengamatan yang kuat. Sedangkan agama pada sisi yang
lain, bersifat sangat subjektif, lokal (sempit skopnya), emosional, dan
didasarkan pada tradisi atau sumber kewibawaan yang saling
bertentangan satu sama lain. Lama-kelamaan, orang lebih yakin
akan metode ilmu pengetahuan, mulai meragukan keyakinannya,
dan bahkan meninggalkannya sebagai suatu yang tidak berdasar.
Rasio manusia menjadi ukuran atas segala-galanya bukan hanya
dalam bidang sains (ilmu pengetahuan) tetapi juga dalam hal-hal
yang bersifat imaniah dan kepercayaan.
• Sebagai akibatnya, para teolog ada juga yang mencoba
menyesuaikan pernyataan Alkitab dengan temuan ilmu
pengetahuan, dan dengan demikian iman tunduk kepada ilmu
pengetahuan. Inilah dominasi ilmu atas iman. Silakan Anda amati
dan nilai dampak negatif dominasi ilmu pengetahuan atas
iman/agama!
• Dari dua sifat hubungan di atas, dapat dikatakan bahwa keduanya
kurang sehat baik untuk agama dan iman maupun untuk ilmu
pengetahuan. Ian Barbour membagi tipe hubungan iman dan ilmu
pengetahuan masa sekarang dalam 4 tipe hubungan. Liek Wilardjo
telah membuat suatu ringkasan yang sangat baik tentang keempat
tipe itu serta menerbitkannya dalam Jurnal Waskita (Wilardjo 2004,
15-29). Menurut Wilardjo, keempat pengelompokkan yang dibuat
Barbour itu, dapat disingkat dengan empat (4) P, yakni:
Pertentangan (Conflict), Perpisahan (lndependence), Perbincangan
(Dialogue), dan Perpaduan (lntegration). Wilardjo lebih jauh
menjelaskan makna dari keempat tipologi hubungan iman dan ilmu
di atas sebagai berikut.
a. Pertentangan (conflict)
• Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan iman dan ilmu yang
pertama, yakni pertentangan. Pertentangan ialah hubungan yang bertentangan
(conflicting), dan dalam kasus yang ekstrem mungkin bahkan bermusuhan (hostile).
Barbour menunjukkan bahwa contoh historis dari konflik ini adalah kasus Galileo.
Lebih jauh dia katakan bahwa pada satu sisi mereka yang menganut Materialisme
Ilmiah (pada pihak ilmu pengetahuan) berada pada pertentangan yang tidak
terdamaikan dengan mereka dari pihak agama/iman yang menganut Literalisme
Alkitabiah. Baik Materialisme IImiah dan Literalisme Alkitabiah percaya bahwa ada
konflik yang serius antara ilmu pengetahuan masa kini dengan kepercayaan-
kepercayaan agamawi klasik. Keduanya mencari pengetahuan dengan fondasi yang
pasti: pada satu sisi berdasarkan pada data logika dan indrawi, sedang pada sisi yang
lainnya berdasarkan pada kitab suci yang tidak ada salahnya (infallible scripture).
Keduanya mengklaim bahwa baik ilmu pengetahuan maupun teologi membuat
pernyataan-pernyataan yang bertentangan tentang hal yang sama, misalnya sejarah
dari alam ini, dan seseorang harus memilih salah satunya. Menurut Barbour,
keduanya justru mewakili penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Penganut
Materialisme Ilmiah mulai dengan ilmu pengetahuan tetapi kemudian berakhir
dengan membuat klaim-klaim filosofis yang luas. Sebaliknya, penganut Literalisme
alkitabiah bergerak dari teologi lalu membuat klaim-klaim tentang hal-hal yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Kedua aliran/kubu kurang memberi
penghargaan yang memadai kepada perbedaan-perbedaan kedua disiplin ilmu itu.
c. Perbincangan (dialogue)
• Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan iman dan ilmu yang ketiga,
yakni perbincangan. Perbincangan ialah hubungan yang saling terbuka dan saling
menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami perbedaan dan persamaan antara
keduanya. Dalam kategori ini pun ada berbagai kelompok pendapat yang masih ada perbedaan
di sana sini. Ada banyak tokoh baik bidang ilmu pengetahuan maupun teologi yang menjadi
pendukung dari tipe ini. Salah satu argumen dari tipe ini menurut Barbour ialah adanya
kesejajaran metodologis dalam kedua disiplin ini: ilmu pengetahuan dan teologi/iman.
Sebelum tahun 1950-an, ada pembedaan yang tajam antara sifat dan metode ilmu
pengetahuan dan teologi. Ilmu pengetahuan dikatakan bersifat objektif, yang berarti bahwa
teori-teorinya divalidasi dengan kriteria yang jelas, diuji oleh persetujuan data yang tidak dapat
dibantah dan bebas teori/nilai. Baik kriteria maupun data ilmu pengetahuan diakui tidak
tergantung pada subjek individual, dan tidak dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh budaya.
• Pada sisi yang lain menurut pendapat itu, agama atau teologi bersifat subjektif karena ada
keterlibatan pribadi di dalamnya. Sesudah tahun 1950-an, kontras atau perbedaan yang tajam
ini secara berangsur-angsur dipertanyakan. Ilmu pengetahuan tidak seluruhnya objektif, agama
tidak seluruhnya subjektif sebagaimana diduga sebelumnya. Memang ada perbedaan-
perbedaan dalam tekanan di antara kedua bidang ini, tetapi perbedaannya tidak semutlak
seperti yang diduga. Data-data ilmiah didasarkan pada teori/anggapandan bukan bebas nilai.
Asumsi- asumsi teoretis ikut bermain dalam menyeleksi, melaporkan, dan menafsirkan apa
yang dianggap sebagai data. Lebih lagi, teori-teori tidaklah lahir dari analisis data yang logis,
melainkan melalui tindakan imajinasi kreatif kadang-kadang analogi dan model-model
memainkan peranan. Model-model konseptual menolong kita membayangkan apa yang tidak
dapat diamati secara langsung.
• Barbour juga mengutip Thomas Khun yang mengatakan
bahwa baik teori-teori dan data dalam ilmu pengetahuan
tergantung pada paradigma dari komunitas ilmiah (keilmuan).
Khun mengartikan paradigma sebagai suatu kelompok
presuposisi (praanggapan) konseptual, metafisik dan
metodologis yang terwujud dalam suatu tradisi pekerjaan
ilmiah. Dengan paradigma baru, data lama direinterpretasikan
dan dilihat dengan cara baru, dan data baru dicari. Dalam
memilih paradigma, tidak ada aturan untuk menerapkan
kriteria ilmiah. Evaluasinya merupakan suatu tindakan menilai
oleh komunitas ilmu (ilmiah). Tradisi agamawi dapat juga
dipandang sebagai komunitas- komunitas yang berpegang
pada paradigma yang sama. Penafsiran data (seperti
pengalaman agamawi dan peristiwa sejarah), bahkan lebih
bergantung kepada paradigma dibandingkan dengan ilmu
pengetahuan.
• Banyak cara dan wilayah yang dapat digunakan oleh ilmu
pengetahuan dan teologi/iman untuk berdialog satu sama lain
yang dapat memperkaya keduanya dalam memenuhi
panggilannya untuk memanusiakan manusia, menjaga kelestarian
alam semesta, dan pada saat yang sama memperkuat ketakwaan
dan keimanannya kepada Allah. Salah satu yang diusulkan adalah
mengembangkan spiritualitas yang berpusat kepada alam
(nature). Teologi Kristen sebaiknya menjaga keseimbangan antara
imanensi Ilahi (Allah) dalam alam, dan pada saat yang sama
transendensi Ilahi (Allah) atas alam. Belajar dari ilmu-ilmu sosial
khususnya teori sosial kritis, para teolog Pembebasan misalnya
mengembangkan teologi yang memberi perhatian kepada
ketidakadilan dan dominasi, dan membaca Alkitab secara kritis
serta melakukan kritik sosial maupun kritik agamawi khususnya
kritik terhadap teologi yang mengalienasi manusia baik dari diri
sendiri, sesama, alam semesta, bahkan dari Tuhan.
d. Perpaduan (Integration)
• Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan iman dan ilmu yang
keempat, yakni perpaduan. Beberapa penulis berpendapat bahwa semacam
integrasi antara ilmu dan iman/agama adalah mungkin. Ada tiga versi yang berbeda
dari integrasi menurut Ian Barbour. Yang pertama, dalam teologi natural (alamiah),
diklaim bahwa eksistensi Allah dapat disimpulkan dari bukti-bukti rancangan dalam
alam. Bahwa alam sedemikian teratur menunjukkan adanya suatu perancang di
baliknya. Ia tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan menolong
kita untuk lebih menyadarinya. Yang kedua, dalam teologi tentang alam, sumber
utama dari teologi terletak di luar ilmu pengetahuan, namun teori-teori ilmiah
dapat memengaruhi perumusan ulang dari doktrin- doktrin tertentu dalam agama,
khususnya doktrin tentang penciptaan dan hakikat manusia. Yang ketiga, dalam
sintesa sistematis, baik ilmu maupun agama, menyumbang untuk pengembangan
dari suatu metafisik yang inklusif, seperti dalam filsafat proses.
• Barbour memberi penjelasan yang panjang lebar dari ketiga macam versi integrasi
ilmu dan agama di atas, namun tidak dimuat di sini. Liek Wilardjo menyimpulkan
bahwa Barbour berpendapat bahwa “perpaduan” adalah hubungan yang bertumpu
pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran,
dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan menyatu. Perpaduan itu menurut
Barbour seperti disimpulkan oleh Wilardjo, dapat diusahakan dengan bertolak dari
sisi ilmu (Natural Theology), atau dari sisi agama (Theology of Nature).
• Tipe manakah yang seharusnya dipakai? Barbour sangat
mendukung tipe keempat yakni perpaduan (integrasi)
walaupun ia juga pro perbincangan/dialogue. Wilardjo
cenderung ke tipe ketiga yakni perbincangan (dialog),
karena di antara keduanya ada perbedaan yang menipiskan
kemungkinan perpaduan, tetapi juga ada persamaan
sebagai dasar perbincangan. Wilardjo tidak menolak tipe
perpaduan, dan terbuka terhadap kemungkinan itu, namun
menurutnya tidak perlu dipaksakan. Tampaknya memang
untuk sementara tipe perbincangan lebih memungkinkan,
walaupun kita tetap terbuka pada tipe perpaduan, tetapi
tidak perlu dipaksakan. Secara alkitabiah dan imaniah, kita
pada satu sisi menerima bahwa ilmu pengetahuan dapat
dikembangkan manusia, karena hal ini adalah mandat
kebudayaan.
• Untuk melaksanakan mandat itu Tuhan, memperlengkapi
manusia dengan kemampuan rasional dan kemampuan yang
lain. Pada saat yang sama, manusia adalah juga makhluk
religius dan karenanya agama tidak bisa tidak hadir dalam
kehidupan manusia dan menjadi kebutuhan manusia untuk
berelasi dengan Tuhan. Karena itu, pertanyaannya adalah
bagaimana kedua potensi itu dipakai untuk membentuk
kepribadian yang utuh, dan bagaimana keduanya saling
menunjang dan mendukung? Lebih-lebih bagaimana
pengembangan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas demi
ilmu itu sendiri tetapi demi kemaslahatan manusia dan
kelestarian alam, dan karena dengan demikian kita telah
melaksanakan kehendak Tuhan yang telah menciptakan dunia
dan isinya dengan perintah untuk mengasihi sesama, dan
memelihara alam ciptaan Tuhan. Tujuan akhir agama adalah
transformasi manusia dan masyarakat dalam rangka mentaati
kehendak Tuhan.
B. Pengertian Teknologi Moderen
• Reaksi dan tanggapan terhadap perkembangan teknologi modern dan canggih bermacam-
macam. Oleh sebab itu, silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkaitan
dengan manfaat dan dampak negatif teknologi modern.
• Ada tiga kelompok dalam merespon perkembangan teknologi modern. Kelompok pertama
melihat perkembangan teknologi modern sebagai sumber yang memungkinkan standar
kehidupan lebih tinggi, meningkatkan kesehatan, dan komunikasi yang lebih baik maupun
mudah. Pokoknya, teknologi modern dianggap memberi dampak peningkatan kesejahteraan
manusia. Klaim bahwa persoalan apa pun yang diakibatkan oleh teknologi modern pada dirinya
sendiri tunduk atau dapat dikontrol oleh solusi teknologis. Kelompok kedua bersikap kritis
terhadap teknologi, karena teknologi modern dapat menyebabkan alienasi dari alam,
penghancuran lingkungan hidup, mekanisasi dari kehidupan manusia, dan hilangnya kebebasan
manusia. Kelompok ketiga berpendapat bahwa teknologi bersifat ambigu, dampaknya bervariasi
tergantung pada konteks sosial karena teknologi dirancang dan digunakan, dan menjadi produk
maupun sumber dari kekuatan ekonomis dan politis.
• Terlepas dari bervariasinya respons terhadap teknologi modern, persoalan pokoknya adalah kita
hidup di dalam situasi teknologi modern dan kita tidak dapat menghindarinya. Cepat atau
lambat, pengaruh dan dampaknya akan dirasakan oleh semua orang. Lebih repot lagi mereka
yang tertinggal oleh teknologi akan semakin tertinggal dalam kesejahteraan hidupnya.
Bagaimana sikap agamawi (kristiani) terhadap pengembangan maupun penggunaan teknologi
modern. Selanjutnya akan dibicarakan pengertian teknologi modern dan diteruskan dengan
beberapa tipe respons manusia terhadap teknologi modern dengan mengikuti kategori Ian
Barbour.
• Menurut Eka Darmaputera, tujuan akhir dari sains adalah mengetahui
sebanyak-banyaknya tentang dunia dan alam semesta, sedangkan
tujuan akhir dari teknologi mengubah dunia dalam arti bagaimana
pengetahuan dari sains tadi dapat diaplikasikan dalam peralatan untuk
memecahkan masalah (Supardan 1991, 241). Ada yang mengatakan
bahwa teknologi adalah aplikasi sains untuk memecahkan masalah
manusia. Dalam pengertian itu ada kaitan erat antara ilmu
pengetahuan (sains) dan teknologi. Tanpa sains tidak mungkin
teknologi berkembang, sebaliknya tanpa teknologi, sains menjadi
mandul.
• Teknologi, menurut Darmaputera, tidak pernah cukup dijelaskan
hanya dengan kategori-kategori sains saja. Teknologi mengimplikasikan
pilihan, dan pilihan menuntut keputusan yang tidak hanya
menyangkut aspek ilmiah, namun juga yang berdimensi etis dan
religius. Misalnya, secara ilmiah, teknologi kloning dapat diterapkan
juga kepada manusia, tetapi apakah seorang ilmuwan/wati boleh
melakukan hal tersebut? Ada banyak sekali pertimbangan dalam
membuat keputusan apakah seseorang dapat melakukan kloning
manusia, dan perdebatan mengenani hal ini masih terus berjalan.
• Barbour mengutip pendapat ahli yang mengatakan bahwa teknologi dapat
didefinisikan sebagai aplikasi dari pengetahuan yang terorganisir kepada tugas-
tugas praktis dengan atau melalui sistem-sistem yang tertata, dan mesin-mesin
(Barbour 1993, 3). Menurut Barbour ada tiga kekuatan dan keuntungan dari
definisi luas ini. Pertama, “organized knowledge” (pengetahuan yang terorganisir)
memungkinkan untuk mencakup teknologi-teknologi yang didasarkan pada
pengalaman dan penemuan praktis, tetapi juga didasarkan pada teori-teori
keilmuan (ilmiah). Kedua, istilah “practical tasks” (tugas-tugas praktis) dapat
mencakup baik produksi dari barang-barang materiil (seperti dalam industri dan
pertanian), dan penyediaan pelayanan (melalui komputer, media komunikasi,
bioteknologi, dan lain-lain). Ketiga, istilah “ordered systems of people and
machine” (sistem tertata dari orang-orang dan mesin-mesin) mengarahkan
perhatian kita kepada institusi-institusi sosial maupun perangkat keras teknologi.
Luasnya definisi itu juga mengingatkan kita akan adanya perbedaan-perbedaan
yang besar di antara berbagai teknologi.
• Singkatnya teknologi adalah aplikasi ilmu pengetahuan dalam peralatan demi
memecahkan masalah. Semua ini terjadi dalam sistem tertata dari orang- orang
dan mesin-mesin.
• Menurut Anda masalah-masalah apa saja yang dapat dipecahkan dengan
teknologi? Berilah contoh konkret dari jawaban Anda! Khususnya dalam bidang
komunikasi, apa saja dampaknya yang Anda rasakan?
C. Respons Kristen Terhadap Teknologi Moderen
• Rupanya respons orang Kristen terhadap teknologi modern tidaklah sama
sepanjang sejarah. Oleh sebab itu, silakan Anda mengumpulkan informasi
sebanyak- banyaknya dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai
respons orang Kristen terhadap teknologi modern!
• Pada satu sisi, ada yang sangat positif dan menganggap teknologi sebagai
pembebas, tetapi sebaliknya ada juga yang sangat pesimis dan menganggap
teknologi sebagai ancaman. Ada juga yang berada di jalan tengah dan sangat
berhati-hati dalam merespons teknologi modern. Kita akan menggali pandangan-
pandangan tersebut dalam bagian berikut ini. Ada tiga respons terhadap
teknologi, menurut Ian Barbour (Barbour 1993:4-21).

1. Teknologi sebagai Pembebas (Liberator)


• Sepanjang sejarah modern, perkembangan teknologi telah disambut secara
bersemangat oleh karena potensinya untuk membebaskan kita dari kelaparan,
penyakit, dan kemiskinan. Teknologi telah dirayakan sebagai sumber dari
kemajuan materiil dan pemenuhan kemanusiaan kita. Silakan Anda
mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari buku-buku dan sumber
belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang menganut pandangan teknologi
sebagai liberator. Berikut ini diidentifikasi beberapa kegunaan teknologi.
• Pertama, standar kehidupan yang lebih tinggi. Obat-obat baru, perhatian medis yang
lebih baik, sanitasi dan nutrisi yang meningkat telah meningkatkan masa/lama
kehidupan manusia lebih dari dua kali di negara-negara industri sepanjang abad
yang lalu. Mesin-mesin, misalnya, telah membebaskan manusia dari pekerjaan berat
yang menghabiskan waktu dan energi. Kemajuan materiil berarti pula pembebasan
manusia dari tirani alam. Impian kuno untuk hidup bebas dari kelaparan maupun
penyakit sedang mulai terealisasi melalui teknologi. Jadi, banyak orang di negara-
negara sedang berkembang kini berpaling kepada teknologi sebagai sumber
pengharapan yang utama. Produktivitas dan pertumbuhan ekonomi akhirnya akan
membawa manfaat bagi setiap orang.
• Kedua, kesempatan untuk memilih. Pilihan individu mempunyai cakupan yang lebih
luas dewasa ini dibandingkan sebelumnya karena teknologi telah menghasilkan opsi
baru yang belum tersedia sebelumnya, dan juga menghasilkan berbagai barang dan
jasa. Mobilitas geografis dan sosial memungkinkan suatu pilihan yang lebih besar
baik untuk pekerjaan ataupun tempat. Dalam masyarakat industri urban
(perkotaan), pilihan atau opsi seseorang tidaklah terlalu dibatasi oleh
ekspektasi/harapan orangtua maupun komunitas seperti pada masyarakat pedesaan
yang bersifat agraris. Dinamisme teknologi dapat membebaskan manusia dari tradisi
yang statis dan membelenggu untuk bertanggung jawab atas kehidupan mereka
sendiri. Kekuasaan atas alam memberi kesempatan yang lebih besar untuk
mewujudkan kebebasan manusiawi.
• Ketiga, lebih banyak waktu luang. Peningkatan dalam produktivitas telah membawa kita
kepada jam kerja yang lebih pendek. Komputer dan otomasi menjanjikan untuk mengurangi
banyak dari pekerjaan yang bersifat monoton yang merupakan ciri dari industrialisasi fase
awal. Sejak lama, waktu luang untuk menikmati hal-hal yang bersifat kultural (nonton
pertunjukan misalnya) hanyalah hak istimewa dari segelintir masyarakat kelas atas,
sedangkan kebanyakan warga masyarakat masih bergumul bagaimana bisa tetap hidup.
Dalam masyarakat maju ada waktu untuk mengikuti pendidikan yang berkelanjutan, seni,
pelayanan sosial, olah raga, dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Teknologi dapat
menyumbang untuk memperkaya kehidupan manusia, dan berkembangnya kreativitas.
Peralatan yang membuat hemat tenaga dan waktu kerja membebaskan kita untuk
melakukan apa yang tidak dapat dikerjakan oleh mesin-mesin. Pendukung dari pandangan ini
mengatakan bahwa manusia dapat mengatasi materialisme ketika kebutuhan-kebutuhan
materiil mereka telah terpenuhi.
• Keempat, komunikasi-komunikasi yang meningkat. Dengan bentuk- bentuk baru transportasi,
seseorang dalam waktu beberapa jam saja dapat bepergian ke tempat-tempat yang jauh
yang sebelumnya butuh waktu berbulan- bulan untuk mencapainya. Dengan teknologi
elektronik (radio, televisi, jaringan komputer, telepon genggam, dan sebagainya), kecepatan,
jangkauan, dan skop komunikasi telah berkembang dengan pesat. Kombinasi antara gambar
dan berita yang didengar mempunyai tingkat kesegeraan yang tidak terdapat dalam kata-kata
yang tercetak. Media yang baru ini menawarkan kemungkinan komunikasi sedunia yang
instan, interaksi dan pemahaman yang lebih besar, dan saling menghargai dalam apa yang
kita sebut “global village” (desa global). Jadi, menurut pendukung dan pembela tipe ini,
teknologi membawa kegunaan psikologis maupun sosial, bahkan kemajuan material.
• Di samping membuat daftar kegunaan teknologi sebagai liberator, ada banyak
penulis dari dunia sekuler maupun dunia agama mengemukakan pandangan
yang sangat optimis tentang teknologi. Berikut ini disampaikan beberapa
contoh pandangan para teolog Kristen yang mendukung tipe ini. Mereka pada
dasarnya melihat teknologi bukan saja sebagai sumber standar hidup yang
lebih tinggi, melainkan juga sumber kebebasan yang lebih besar dan ekspresi
kreatif.
• Harvey Cox, misalnya, dalam tulisan awalnya berpendapat bahwa kebebasan
untuk menguasai dan membentuk dunia melalui teknologi membebaskan kita
dari kungkungan tradisi. Kekristenan menyebabkan desakralisasi dari alam, dan
memungkinkannya dikontrol dan dipakai untuk kesejahteraan manusia. Norris
Clarke juga berpendapat bahwa teknologi merupakan suatu alat pemenuhan
manusiawi dan ekspresi diri dalam menggunakan inteligensi karunia Tuhan
untuk mengubah dunia. Pembebasan dari perbudakan alam adalah
kemenangan roh atas hal yang materiil. Sebagai kokreator Allah, kita dapat
merayakan kontribusi akal/pikiran manusia untuk memperkaya kehidupan
manusia. Teolog-teolog lain malah mengonfirmasi bahwa teknologi sebagai
alat atau instrumen kasih dan belas kasih dalam meringankan penderitaan
manusia sebagai suatu respons modern terhadap perintah Alkitab untuk
memberi makan kepada yang lapar, dan menolong kebutuhan sesama.
• Pierre Teilhard de Chardin berpendapat bahwa membangun dunia adalah suatu hal yang
penting karena tindakan itu berarti ikut bekerja sama dalam pekerjaan kreatif Allah.
Teknologi adalah suatu partisipasi dalam kreativitas Ilahi. Teknologi memberi visi tentang
masa depan planet yang di di dalamnya teknologi dan perkembangan spiritual dihubungkan
satu sama lain. Walaupun demikian, tidak kurang pula yang merespons secara kritis terhadap
pihak yang sangat optimis terhadap perkembangan teknologi. Ada sejumlah respons
terhadap para pendukung teknologi yang optimis. Barbour mengidentifikasikan beberapa
contoh.
• Pertama, risiko kerugian manusiawi dan kerugian pada lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh teknologi tidak terlalu diperhatikan oleh mereka yang bersikap optimis. Menurut
mereka yang optimis, solusi teknis dapat ditemukan untuk masalah lingkungan hidup. Limbah
beracun bisa mengotori air tanah beberapa dekade kemudian setelah dikuburkan. Lubang
pada lapisan ozon belum terlalu dipikirkan oleh para ilmuwan. Selain itu, erosi tanah dan
penggundulan hutan secara besar-besaran mengancam sumber-sumber biologis yang sangat
esensial/penting untuk kehidupan manusia.
• Kedua, perusakan lingkungan hidup adalah gejala dari masalah yang lebih mendalam, yakni
keterasingan dari alam. Ide tentang dominasi manusia atas alam mempunyai banyak akar.
Misalnya, tradisi agamawi Barat sering menarik garis pemisah yang tajam antara manusia dan
ciptaan yang lain. Lembaga-lembaga ekonomi memperlakukan alam sebagai suatu sumber
untuk dieksploitasi oleh manusia. Mereka yang bersemangat dalam teknologi menambah
evaluasi dari dunia alamiah karena mereka memandangnya sebagai objek untuk dikontrol
dan dimanipulasi. Para ahli teknologi kurang sensitif terhadap alam dibandingkan dengan
para pengkritiknya.
• Ketiga, teknologi ternyata menyumbang kepada pemusatan kekuasaan ekonomi dan
politis. Hanya kelompok dan bangsa kaya yang bisa memiliki teknologi mutakhir. Dengan
demikian, jurang antara yang kaya dan miskin telah dipertahankan dan dalam banyak
kasus diperlebar oleh perkembangan teknologi. Bangsa-bangsa kaya memakai energi
dan kekayaan dunia secara tidak proporsional. Komitmen untuk keadilan membutuhkan
suatu analisis yang lebih serius mengenai kerugian dan keuntungan dari teknologi.
Banyak macam teknologi yang keuntungannya dinikmati satu kelompok sedangkan
kelompok lain dihadapkan pada risiko dan biaya sosialnya.
• Keempat, teknologi berskala besar penuh risiko. Sifatnya padat modal dan bukan padat
karya sehingga menimbulkan pengangguran di mana-mana. Sistem berskala besar
sangat rentan terhadap kesalahan, kecelakaan, ataupun sabotase. Contoh paling konkret
adalah malapetaka Chernobyl pada tahun 1986, yang merupakan produk dari kesalahan
manusia, peralatan yang cacat, rancangan yang buruk, dan prosedur keamanan yang
tidak dapat diandalkan.
• Kelima, ketergantungan kepada ahli untuk membuat keputusan mengenai kebijakan,
tentu tidak diharapkan. Para teknokrat mengklaim bahwa pertimbangan mereka bersifat
bebas nilai; dan para elite teknis diharapkan bersikap nonpolitis. Mereka yang punya
kuasa, jarang menggunakan kuasanya secara rasional dan objektif, khususnya kalau
kepentingannya terancam.
• Walaupun kita masih bisa menambah lagi deretan pertanyaan terhadap pendukung tipe
pertama, untuk sementara cukup dulu. Kita kini beralih kepada tipe kedua: teknologi
sebagai ancaman.
2. Teknologi sebagai Ancaman
• Pada ekstrem yang berlawanan adalah kritik terhadap teknologi modern yang melihatnya sebagai
ancaman terhadap kehidupan manusia yang autentik. Silakan Anda mengumpulkan informasi yang
sebanyak-banyaknya dari buku- buku dan sumber belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang
menganut pandangan teknologi sebagai ancaman. Kita akan membatasi diri hanya pada kritik
terhadap kemanusiaan, daripada kritik terhadap lingkungan hidup. Ada lima ciri teknologi industri
yang dijadikan dasar kritik mereka khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan kemanusiaan.
• Pertama, uniformitas (keseragaman) dalam masyarakat yang bersifat massal. Produksi besar-besaran
menuntut adanya hasil yang distandarkan, dan media massa cenderung menghasilkan budaya
nasional yang seragam. Individualitas hilang dan perbedaan-perbedaan lokal atau regional
dihilangkan dalam keseragaman industrialisasi. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dianggap tidak
efisien, sehingga pekerja yang bisa bekerja sama diberi hadiah. Identitas individu ditentukan oleh
peranannya dalam organisasi. Penyesuaian diri dengan masyarakat merusak spontanitas dan
kebebasan.
• Kedua, kriteria yang sempit tentang efisiensi. Teknologi membimbing ke arah organisasi yang rasional
dan efisien, yang pada gilirannya menuntut fragmentasi, spesialisasi, kecepatan, hasil yang
maksimum. Kriterianya adalah efisiensi dalam mencapai suatu tujuan tunggal atau suatu rangkaian
tujuan-tujuan yang sempit. Sedangkan efek sampingan ataupun kerugian manusiawi diabaikan.
Kriteria kuantitatif lebih diutamakan daripada kriteria kualitatif. Pekerja menjadi budak dari mesin
ketika menyesuaikan diri dengan jadwal kerjanya dan temponya, menyesuaikan diri dengan
tuntutannya. Peranan-peranan kerja yang bermakna hanya dimiliki oleh segelintir orang dalam
masyarakat industri kini. Reklame menciptakan kebutuhan (demand) untuk produk baru, tidak peduli
apakah produk itu sungguh dibutuhkan atau tidak. Tujuannya tidak lain adalah hanya supaya
mendorong volume produksi yang lebih besar.
• Ketiga, tidak bersifat pribadi (impersonality) dan manipulasi.
Hubungan- hubungan dalam masyarakat teknologi dijadikan
spesialisasi dan fungsional. Komunitas yang sesungguhnya dan
interaksi antarpribadi terancam. Ketika mentalitas teknologis begitu
dominan, orang diperlakukan sebagai objek-objek.
• Keempat, tidak dapat dikontrol. Teknologi-teknologi yang terpisah
membentuk suatu sistem yang saling terkait, suatu jaringan kerja
yang menyeluruh, saling memperkuat, yang tampaknya berjalan
sendiri tanpa bisa dikontrol. Beberapa pengkritik mengatakan bahwa
teknologi bukan hanya satu set peralatan yang dapat disesuaikan
untuk dipakai manusia, melainkan sudah menjadi suatu bentuk
kehidupan yang mencakup segalanya, suatu struktur yang persuasif
dengan logika dan dinamikanya sendiri.
• Kelima, keterasingan pekerja. Keterasingan dari pekerja adalah tema
sentral dari tulisan Karl Marx. Ditempatkan di bawah kapitalisme,
katanya, pekerja tak memiliki alat dan mesinnya,
• dan mereka sangat tidak berdaya dalam kehidupan pekerjaannya. Mereka dapat
menjual tenaga kerjanya sebagai suatu komoditi, tetapi pekerjaan mereka bukan
suatu bentuk yang bermakna untuk ekspresi diri. Marx berpendapat bahwa
keterasingan semacam itu merupakan produk dari pemilikan kapitalis yang
dengan sendirinya akan hilang di bawah kepemilikan negara. Banyak penulis kini
sadar bahwa keterasingan itu juga tetap saja ada dalam kepemilikan negara atas
modal dan alat-alat produksi. Dengan begitu, perasaan kecewa, frustrasi, dan rasa
tidak berdaya adalah gejala umum dari pekerja-pekerja di mana saja termasuk
dalam negara kapitalis. Dalam kaitan ini, kita catat seorang filsuf Perancis yang
sangat keras memberi kritik terhadap teknologi yakni Jacques Ellul. Menurutnya,
teknologi adalah suatu kekuatan yang otonom dan tidak dapat dikontrol yang
merendahkan martabat manusia siapa saja yang disentuhnya. “Tehnique” suatu
istilah yang luas yang dipakai Ellul untuk merujuk kepada mentalitas dan struktur
teknologis yang meresapi bukan saja proses industri, melainkan juga kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi pun telah dipengaruhi olehnya. Efisiensi dan organisasi
diterapkan dalam semua aktivitas.
• Ahli-ahli lain mengatakan bahwa dalam negara yang kaya atau maju, keprihatinan
yang sah untuk mencapai kemajuan materiil, dengan mudah menjadi tujuan hidup
tertinggi dan dikejar habis-habisan. Obsesi seperti itu akan mendistorsi nilai-nilai
dasar kemanusiaan, maupun relasi-relasi kita dengan orang lain. Teknologi,
selanjutnya, bersifat imperialistis dan membuat manusia kecanduan (adiktif).
• Beberapa teolog juga ada yang menganut tipe ini dan melancarkan
kritiknya terhadap kemajuan teknologi, terutama dalam kaitan dengan
dampaknya terhadap kehidupan spiritual. Paul Tillich, misalnya,
mengatakan bahwa rasionalitas serta impersonality dari sistem-sistem
teknologi merendahkan atau mengabaikan praanggapan pribadi dari
komitmen agamawi. Gabriel Marcel juga mengatakan bahwa cara
pandang teknologis yang sangat memengaruhi hidup manusia akan
mengabaikan “rasa sakral” (sense of sacred). Teknisi memperlakukan
segala sesuatu sebagai masalah yang dapat dipecahkan dengan teknik
manipulatif tanpa harus ada keterlibatan pribadi. Hal ini akan
mengabaikan misteri dan eksistensi manusia, yang hanya dapat diketahui
melalui keterlibatan sebagai manusia yang utuh atau menyeluruh.
• Barbour khususnya juga memberi respons terhadap para pesimis dalam
bidang teknologi. Rupanya para pengkritik terlalu membuat generalisasi
atas teknologi yang begitu bervariasi itu. Selain itu, mereka seolah
menyangkal kemungkinan bahwa teknologi dapat diarahkan kembali
(redirect). Kemudian mereka lupa bahwa teknologi dapat menjadi
pelayan manusia.

Anda mungkin juga menyukai