Anda di halaman 1dari 6

[FILSAFAT NUSANTARA]

Volume 1 Nomor 1 2022


e-ISSN : 0000-0000

Analisis Semiotika Kesenian Tari Kuda Lumping


Dhoni Darmawan1
Universitas Indraprasta PGRI1
Dhonipanchank@gmail.com

Abstrak

Kuda Lumping yang juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa
yang berasal dari Ponorogo. Tarian Kuda Lumping dibawakan dengan menggunakan kuda
yang terbuat dari bambu yang dianyam dan dipotong hingga menyerupai kuda dan dihiasi
rambut tiruan dari tali plastikMetode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif
dengan pendekatan deskriptif semiotik melalui wawancara langsung terhadap pemimpin
kesenian kuda lumping Wahyu Turonggo Jati, Kuwaru, Kebumen dan pengamatan dari segi
simbol serta tanda yang terdapat pada kuda lumping (ebeg). Menurut Subandi, metode
penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak menggunakan kuantitas angka-angka
statistik yang sumber data utamanya adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumentasi foto, rekaman, dan karya tulisan lain yang sejenis. Aspek
visual yang ada pada kuda lumping Wahyu Turonggo Jati dipaparkan dengan acuan
khasanah ilmu semiotika dalam kategori semiotika visual, jenis maknanya disampaikan
melalui indera penglihatan atau visual sense. Di dalam komunikasi visual tidak hanya
menampilkan wujud visual objek dari apa yang dilihat saja, tetapi juga harus mampu
menampilkan isi atau pesan dengan tujuan tertentu dari objek tersebut, sehingga sajian
visual tersebut mampu memberikan efek komunikasi yang baik terhadap yang melihatnya.
Karena unsur pesan memiliki peran yang sangat penting dalam apresiasi karya.Desa
Kuwaru, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, kesenian kuda lumping sebenarnya sudah ada
sebelum tahun 1988, namun tidak diketahui pasti apa nama dan siapa pendiri kesenian
tersebut. Pada tahun 1988 berdirilah kesenian kuda lumping bernama Windu Turonggo Jati
yang dipimpin oleh Bapak Iskandar. Pada tahun 2000 kesenian tersebut berganti nama
menjadi Wahyu Turonggo Jati yang dipimpin oleh Bapak Sadimun. Karena Bapak Sadimun
meninggal dunia, pimpinan diserahkan kepada Bapak Pawito hingga saat ini. Kesenian kuda
lumping Wahyu Turonggo Jati memiliki ciri khas yang berbeda dengan kesenian kuda
lumping lainya termasuk dalam segi visualnya. Aspek visual yang dipaparkan berdasarkan
pemaparan langsung pemimpin kesenian kuda lumping Wahyu Turonggo Jati, yaitu Bapak
Pawito dengan menggunakan kajian keilmuan semiotika, studi tentang bagaimana suatu
masyarakat menghasilkan makna dan nilainilai dalam suatu system komunikasi disebut
semiotika. Semiotika merupakan istilah dari bahsa Yunani, Semion atau ‘tanda’. Disini
‘tanda’ memiliki arti khusus, mengacu pada konteks sosial dan budaya dimana semua tanda
digunakan agar kita memperoleh signifikasi atau makna tertentu. Tanda dan simbol yang
ada pada visual ebeg diartikan dan dimaknai lewat apa yang dilihat..

Kata kunci: Aspek visual, Kesenian Kuda Lumping, Wahyu Turonggo Jati

PENDAHULUAN

1
“Analisis semiotika kesenian tari kuda lumping kebumen”
Nama Penulis (© 2019)

Tari adalah perjuangan membangun estetika melalui penataan gerak dan irama pada
satuan komposisi gerak buat memberikan pesan eksklusif. Menari terpisah menjadi ekspresi
aktualisasi diri jiwa manusia yg tersalurkan melalui motilitas, namun tarian jua bentuk
pengalaman keindahan, bentuk simbolik dan menjadi bentuk hiburan (Jazuli 2011:29). Seni tidak
bisa dipisahkan berasal budaya, karena Seni dicermati menjadi galat satu unsur Budaya. Senitari
artinya salah satu wadahnya yang mengandung unsur keindahan, mana mampu diserap melalui
alat penglihatan (visual) serta alat telinga (auditif). Kecantikan atau sesuatu sering dianggap
sebagai keindahan merupakan segalanya yg menyangkut keindahan yg ada pada dalamnya
penglihatan seorang. Tampilannya sendiri mampu disebut menjadi sesuatu yang relatif serta
tidak mampu dipastikan sama. keindahan tari memiliki dua nilai krusial yang perlu diketahui,
yaitu nilai intrinsik, serta nilai ekstrinsik. Nilai keindahan intrinsik ialah sebuah nilai sebuah
bentuk seni yang dapat dirasakan dengan mata, telinga, atau keduanya. Hargai bentuk ini
kadang-kadang pula disebut struktur nilai, begitulah caranya menyusun nilai-nilai ekstrinsik.
Sedangkan nilai nilai ekstrinsik atau material secara seri peristiwa. Semuanya diatur sedemikian
rupa menjadi bentuk yang terstruktur dianggap nilai intrinsik.
Karya seni tetap menjadi keharusan mengandung estetika, yaitu makna ekstrinsik yg
menyebabkan sebuah karya seni dikatakan latif, menyenangkan indrawi, dan menggembirakan
(Sumardjo 2000:156-157). keindahan yang tidak diragukan lagi dalam seni tari bisa bisa
dicermati melalui motilitas serta proses ilmu tari. keindahannya juga dapat ditinjau melalui
unsur-unsurnya dan isinya mencakup gagasan, gagasan, suasana, suka atau pesan. tidak
diragukan lagi estetika di dalamnya seni dapat ditinjau asal bentuk, penampilan atau
penampilan. Unsur lain yg berperan pada membentuk perasaan indah pada pengamat yaitu,
keutuhan atau kesatuan, penonjolan atau fokus, dan keseimbangan (Djelantik 1999:42-61).
Kuda Lumping yang jua diklaim jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa yang
berasal dari Ponorogo. Tarian Kuda Lumping dibawakan menggunakan memakai kuda yg terbuat
asal bambu yang dianyam serta dipotong hingga menyerupai kuda serta dihiasi rambut tiruan
dari tali plastik. Tarian Kuda Lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda.
tetapi, beberapa penampilan Kuda Lumping pula menyuguhkan atraksi kesurupan, kekuatan
magis, dan kekebalan. Para pemain tari Kuda Lumping akan menunjukkan atraksi makan beling
dibarengi dengan pecutan pada tubuhnya (www.kompas.com).
Penelitian ini penekanan di aspek visual kuda lumping (ebeg) yg terdapat di kesenian kuda
lumping Wahyu Turonggo Jati. Selain memaparkan makna visual kuda lumping (ebeg), juga
diperlukan akibat penelitian ini bisa memberikan khasanah ilmu semiotika pada kategori
semiotika visual, jenis maknanya disampaikan melalui indera penglihatan atau visual sense. di
pada komunikasi visual tidak hanya menampilkan wujud visual objek dari apa yg dipandang saja,
tetapi juga harus mampu menampilkan isi atau pesan dengan tujuan eksklusif asal objek
tersebut, sehingga hidangan visual tadi mampu memberikan dampak komunikasi yg baik
terhadap yang melihatnya. karena unsur pesan memiliki kiprah yang sangat penting. Studi
tentang bagaimana suatu warga membentuk makna dan nilai-nilai dalam suatu system
komunikasi disebut semiotika. Semiotika merupakan istilah dari bahsa Yunani, Semion atau
‘tanda’. Disini ‘tanda’ memiliki arti khusus, mengacu pada konteks sosial dan budaya dimana
semua tanda digunakan agar kita memperoleh signifikasi atau makna tertentu. Bahasa dan
system simbolis lainnya seperti musik dan gambar disebut system ‘tanda’ karena mereka diatur,
dipelajari dan ditularkan berdasarkan aturan dan konvensi bersama oleh suatumasyarakat
(Sobur, 2016).

Pendahuluan ditulis sepanjang 500 hingga 1000 kata. Pendahuluan mendeskripsikan


permasalahan objek dan beberapa teori yang digunakan. Setiap pernyataan harus didukung
dengan data atau fakta. Pendahuluan juga menunjukkan tujuan dan urgensi penelitian. Sitasi

2
“Analisis semiotika kesenian tari kuda lumping kebumen”
Nama Penulis (© 2019)

harus mengikuti standar gaya penulisan referensi American Psychological Association (APA),
misalnya: Sunaryo (2009) mengungkapkan bahwa …. atau ragam hias nusantara adalah ….
(Sunaryo, 2009, p. 4). `

METODE

Metode penelitian yg dipergunakan artinya metode kualitatif dengan pendekatan


naratif semiotika melalui wawancara langsung terhadap pemimpin kesenian kuda lumping
Wahyu Turonggo Jati, Kuwaru, Kebumen dan pengamatan dari segi simbol dan tanda yang
ada di kuda lumping (ebeg). menurut Subandi, metode penelitian kualitatif adalah penelitian
yang tidak memakai kuantitas angka-nomor statistik yang sumber data utamanya adalah
kata-kata dan tindakan, selebihnya ialah data tambahan seperti dokumentasi foto, rekaman,
dan karya tulisan lain yg sejenis. Aspek visual yg ada pada kuda lumping Wahyu Turonggo
Jati dipaparkan menggunakan acuan khasanah ilmu semiotika dalam kategori semiotika
visual, jenis maknanya disampaikan melalui alat penglihatan atau visual sense. di pada
komunikasi visual tidak hanya menampilkan wujud visual objek asal apa yg ditinjau saja,
tetapi pula wajib mampu menampilkan isi atau pesan dengan tujuan tertentu dari objek
tadi, sebagai akibatnya hidangan visual tersebut mampu memberikan efek komunikasi yg
baik terhadap yg melihatnya. karena unsur pesan mempunyai peran yg sangat penting
dalam apresiasi karya. Metodologi dengan teknik analisis semiotika pada penelitian ini
intinya bersifat kualitatif-interpretatif. dengan fokus penelitian aspek visual pada ebeg
kesenian kuda lumping Wahyu Turonggo Jati. Metode penelitian yg pada pakai oleh analisis
semiotik adalah interpretative. Secara metodologis, kritisme yang terkandung pada teori-
teori interpretative, utamanya hermeunotika mengakibatkan cara berpikir mazhab kritis
terbawa jua ke dalam kajian ini. aliran Frankfut populer kritis menggunakan persoaalan
lambang atau simbol yg digunakan menjadi alat konspirasi dan intervensi. untuk
mempelajari makna yang terkandung di aspek visual ebeg, penelitian ini menggunakan
metode analisis semiotik yg mengacu pada teori Roland Barthes, dimana dirasa cocok
menggunakan penelitian sebuah apek visual. Dimana menggunakan pemaknaan dua tahap
denotasi konotasi yang digunakan oleh Roland Barthes pada teori semiotiknya, Roland
Barthes menelusuri makna menggunakan pendekatan budaya yaitu semiotik makro,
dimana Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan yang
melatar belakangi munculnya makna tadi. dengan demikian makna pada tataran mitos
dapat diungkap sesuai dengan keunggulan semiotik Roland Barthes yg populer dengan
elemen mitosnya Analisis semiotika model Roland Barthes yg penekanan perhatiannya
tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap two order of signification. Signifikasi
tahap pertama ialah korelasi antara signifier serta signified didalam sebuah indikasi
realitaseksternal. Barthes menyebutnya menjadi denotasi, yaitu makna paling konkret
berasal Konotasi adalah kata Barthes buat menyebut signifikasi termin kedua yang
mendeskripsikan interaksi yang terjadi saat indikasi bertemu dengan kenyataan atau emosi
berasal pembaca dan nilai- nilai asal kebudayaan. Konotasi mempunyai nilai yang subyektif
atau intersubyektif, denotasi merupakan apa yg digambarkan pertanda terhadap subjek,
sedang konotasi merupakan bagaimana menggambarkannya. pada signifkasi termin dua
yang berhubungan dengan isi, pertanda bekerja melalui mitos. Mitos merupakan semiotika
taraf 2, teori mitos pada kembangkan Barthes buat melakukan kritik (membentuk pada
“krisis”) atas ideologi budaya massa (atau budaya media). tetapi, telah bukan menjadi
masalah baru bahwa setiap metode pasti mempunyai kelemahan tidak terkecuali pada
metode dengan pendekatan semiotik juga ada kelemahan yg sangat bekerjasama erat

3
“Analisis semiotika kesenian tari kuda lumping kebumen”
Nama Penulis (© 2019)

menggunakan peneliti sendiri. Sedikitnya ada 2 kelemahan tadi, yaitu pertama semiotik
sangat tergantung di kemampuan analisis individual serta kedua, pendekatan semiotik tidak
mengharuskan kita meneliti secara kuantitatif terhadap akibat yang dihasilkan, mampu jadi
yang dibutuhkan hanya makna-makna yg dikonstruksikan berasal sekian banyak pesan yg
ada.

Metode ditulis sepanjang 200 kata. Bagian ini menyajikan penjelasan metode yang
digunakan dan langkah-langkah penelitian yang dilakukan, misal dari mana sumber data yang
didapatkan, jenis data apa yang digunakan, bagaimana cara mendapatkan data, bagaimana cara
menganalisis data, dan bagaimana cara menyajikan data.
]
]

HASIL DAN PEMBAHASAN


]
Desa Kuwaru, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, kesenian kuda lumping sebenarnya
telah ada sebelum tahun 1988, tetapi tidak diketahui pasti apa nama dan siapa pendiri kesenian
tadi. di tahun 1988 berdirilah kesenian kuda lumping bernama Windu Turonggo Jati yg dipimpin
oleh Bapak Iskandar. di tahun 2000 kesenian tersebut berganti nama sebagai Wahyu Turonggo
Jati yang dipimpin oleh Bapak Sadimun. karena Bapak Sadimun mati global, pimpinan diserahkan
kepada Bapak Pawito sampai ketika ini. Kesenian kuda lumping Wahyu Turonggo Jati memiliki
ciri khas yang tidak selaras menggunakan kesenian kuda lumping lainya termasuk pada segi
visualnya. Aspek visual yang ada di ebeg bisa dilihat secara langsung pada bagian bentuk kuda
lumping itu sendiri. Mulai asal ebeg yang mempunyai dua warna yaitu ebeg hitam dan ebeg
putih, lukisan ornamen yg terdapat

pada bagian badan atau tubuh ebeg, serta bentuk kepala ebeg yang menunduk kebawah. aku
putusan bulat pada konsep Ferdian De Saussure tentang Signifiant, atau diklaim pula signifier,
adalah hal-hal yang tertangkap oleh pikiran kita seperti citra suara, gambaran visual, dan lain
sebagainya. karena penikmat kesenian ini pastinya bisa menangkap pertanda asal ilustrasi visual
ebeg itu sendiri. Setelahnya penikmat atau apresiator akan memaknai apa yg mereka lihat
perihal kesenian kuda lumping ini, sama mirip yang dijelaskan Saussure wacana signifie.
Bentuk ebeg dari ketika ke saat telah berubah mengikuti perkembangan zaman. Ebeg dirancang
memakai anyaman bambu dengan rambut yg didesain menggunakan ijuk dengan dihias cat serta
kain dan aksesoris beraneka ragam. di kesenian kuda lumping Wahyu Turonggo Jati ada dua
macam rona ebeg yaitu, putih serta hitam. Ebeg dengan rona putih umumnya ditunggangi sang
penari di bagian depan barisan. rona putih terinspirasi dari warna kuda galat satu tokoh
pahlawan Indonesia yaitu Pangeran Diponegoro. warna putih disini menggambarkan aura
seseorang pemimpin yg diklaim senopati panglima. Berkebalikan dengan rona putih, ebeg
dengan warna hitam ditunggangi oleh penari yang berada di barisan belakang. warna hitam di
beri makna sebagai sosok kuda menggunakan prajurit perang yang pemberani . Selain itu warna
hitam pula diartikan menjadi rona kuda balap yang cekatan. Selain rona, aspek visual yg muncul
pada ebeg dari kesenian kuda lumping Wahyu Turonggo Jati mampu dicermati berasal lukisan
ornamen di anyaman ebeg. ada lukisan ornament bunga yg artinya ciri khas ebeg asal kesenian
kuda lumping Wahyu Turonggo Jati. Bunga dianggap memiliki makna aura positif di kuda, tetapi
lukisan ornamen bunga ini hanya terdapat di ebeg berwarna putih saja, dikarenakan buat
membedakan bahwa sosok seseorang pemimpin lebih tinggi kedudukannya dan lebih dihargai.
buat aksesoris pada ebeg ini dominan sama dengan aksesoris pada ebeg lainnya, hanya menjadi
pelengkap serta tidak mempunyai makna spesifik. Posisi serta bentuk di ebeg juga mensugesti

4
“Analisis semiotika kesenian tari kuda lumping kebumen”
Nama Penulis (© 2019)

maknanya, bentuk kepala kuda pada kesenian kuda lumping Wahyu Turonggo Jati dihadapkan
menunduk kebawah. Hal tersebut dimaksud buat mendeskripsikan sosok kuda yang patuh di
majikannya. Kuda dengan posisi ketua menunduk jua bisa diartikan menjadi kuda balap yang
acapkali digunakan oleh prajurit perang.
Jika dibandingkan dengan penelitian sejenis, seperti “Visual Preservation Of Jaran Kepang In
Temanggung Through Essay Photography” penelitianya hampir sama dimana keduanya
membahas tentang aspek visual yang terdapat di kesenian kuda lumping. Hal yg menjadi
disparitas diantara keduanya ialah perihal sudut pandang aspek visualnya. pada penelitian
“Visual Preservation Of Jaran Kepang In Temanggung Through Essay Photography”, aspek visual
dibahas melalui sudut pandang fotografi serta cara pengambilan gambar, tidak dipaparkan
perihal makna atau arti berasal aspek visual yang terdapat. tidak sama dengan penelitian ini
dimana aspek visual yg terdapat dipaparkan secara kentara perihal makna dan arti yang
terkadung pada visual ebeg.

Hasil dan Pembahasan di tulis sepanjang 800 hingga 1000 kata. Bab ini menjelaskan hasil
analisis objek dengan teori dan metode yang digunakan. Table dan gambar dapat digunakan
sepanjang berkaitan dengan artikel. Berikut contoh pembuatan dan penyusunan table, grafik,
dan gambar:

Sub Bahasan
Hasil dan Pembahasan di tulis sepanjang 800 hingga 1000 kata. Bab ini menjelaskan hasil
analisis objek dengan teori dan metode yang digunakan.

Tabel 1 Table title, Table captions should always be positioned above the tables.
Heading level Example Font, size and style
Title (left) Calibri, 14 point, bold
Judul
Heading 1 PENDAHULUAN Calibri, 12 point, All caps, bold
Heading 2 Sub Bahasan Calibri, 11 point, bold
Heading 3 Subsub Bahasan Calibri, 11 point, italic
Heading 4 1. Remark. Text follows … Calibri, 11 point, reguler
Heading 5 a. Humanities Calibri, 11 point, reguler
Source : Source Table should always be positioned below the tables.

Subsub Bahasan
Hasil dan Pembahasan di tulis sepanjang 800 hingga 1000 kata. Bab ini menjelaskan hasil
analisis objek dengan teori dan metode yang digunakan.

Gambar 1 Description of the figure


]
]
SIMPULAN
]

5
“Analisis semiotika kesenian tari kuda lumping kebumen”
Nama Penulis (© 2019)

Simpulan ditulis sepanjang 200 kata. Simpulan merupakan jawaban atas permasalahan
yang diusung di bagian pendahuluan, bukan rangkuman penulisan. Jelaskan juga implikasi
penelitian ini terhadap ilmu pengetahuan
]
]
DAFTAR PUSTAKA
]
Minimal referensi yang digunakan 5-15 literatur yang dipublikasi dalam jangka waktu 10 tahun
terakhir. Daftar pustaka disusun dengan menggunakan aplikasi reference manager (Mendeley)
dengan menggunakan gaya American Psychological Association (APA).

Kim, C., Mirusmonov, M., Lee, I. (2010). An Empirical Examination of Factors Influencing the
Intention to Use Mobile Payment. Computers in Human Behavior, 26 (1), 310‐322.

Johnson, B. & Christensen, Larry. (2012). Educational Research: Quantitative, Qualitative, and
Mixed Approaches (4th ed). London: SAGE Publication Ltd.

Hakim, C.. (2016, Juni 16). Kode Morse THR. Kompas Online. Diakses dari
http://www.kompas.com

Young, R.F. (2007). Crossing Boundaries in Urban Ecology (Doctoral Dissertation). Tersedia dari
Proquest Dissertation & Theses Database.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2011). Peraturan Mendiknas tentang Satuan
Pengawasan Internal (Permendiknas Nomor 47 tahun 2011). Jakarta: Penulis.

Anda mungkin juga menyukai