Anda di halaman 1dari 114

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/345327291

Pencegahan Cyber Bullying di Indonesia

Book · August 2019

CITATION READS

1 7,439

1 author:

Abdul Sakban
University of Muhammadiyah Mataram
34 PUBLICATIONS   24 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN ANTROPOLOGI BUDAYA DENGAN PENDEKATAN DEEP DIALOGUE AND CRITICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN SIKAP
TOLERANSI MAHASISWA View project

PENGGUNAAN P2R (PREEMTIF, PREVENTIF DAN REPRESIF) SEBAGAI ALAT KEPOLISIAN UNTUK MENYELESAIKAN KEJAHATAN CYBER BULLYING DI INDONESIA View
project

All content following this page was uploaded by Abdul Sakban on 05 November 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri
atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar;
dan
iv. Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Abdul Sakban, S.Pd., M.Pd.
Sahrul, S.H., M.H.
PENCEGAHAN CYBER BULLYING DI INDONESIA

Abdul Sakban
Sahrul

Editor :
Prof. Dr. Hj. Andi Kasmawati, M.Hum.
Prof. Dr. Heri Tahir, S.H., M.H.

Desain Cover :
Dwi Novidiantoko

Sumber :
Dwi Novidiantoko

Tata Letak :
Titis Yuliyanti

Proofreader :
Titis Yuliyanti

Ukuran :
x, 103 hlm, Uk: 15.5x23 cm

ISBN :
978-623-209-906-7

Cetakan Pertama :
Agustus 2019

Hak Cipta 2019, Pada Penulis

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Copyright © 2019 by Deepublish Publisher


All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
PENGANTAR

Tulisan dalam buku ini menjelaskan tentang peristiwa


empiris yang terjadi di Indonesia. Kejahatan cyber bullying
merupakan tindakan abmoral yang dilakukan melalui media
elektronik. Kejahatan ini membuat korban dikucilkan, dilecehkan,
diadu domba, diintimidasi, mengancam, menyakiti/menghina
harga diri orang lain sehingga menimbulkan permusuhan diantara
mereka melalui layanan internet dan teknologi mobile seperti
halaman web dan grup diskusi serta telepon selular dan pesan teks
(SMS). Maka dari itu dibutuhkan cara penanggulangan dan
penyelesaian kejahatan yang efektif dan bisa menurunkan angka
kriminalitas. Salah satu cara yang digunakan untuk pencegahan
cyber bullying di Indonesia yaitu menggunakan P2R (Pre-emtif,
Preventif dan Represif). Pre-emtif merupakan cara menanggulangi
tindakan cyber bullying, diantaranya yaitu mengadakan pembinaan,
melakukan program bimbingan dan penyuluhan kepada tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda. Preventif
merupakan tindakan untuk mengantisipasi terjadinya pelecehan
dan penindasan aliran atau agama lain. Represif merupakan suatu
upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang
ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Dengan demikian,
penggunaan P2R diharapkan dapat mencegah cyber bullying yang
ada pada masyarakat Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas, mendorong penulis
menguraikan gagasan dan pikiran tentang fenomena kejahatan
cyber bullying di Indonesia dan apa saja yang seharusnya dilakukan
oleh kepolisian dalam menghadapi kejahatan cyber bullying. Buku
ini setidaknya memberikan solusi terbaik untuk mengurangi dan

v
mencegah cyber bullying. Buku ini juga sebagai masukkan kepada
pemerintah dan DPR yang dalam Program Legislasi Nasional 2015-
2019 berencana menyusun suatu RUU bertujuan untuk
memperkuat kerukunan umat beragama, beretnis dan bersuku.
Buku ini juga ditujukan bagi masyarakat luas yang akan turut serta
dalam advokasi penghapusan diskriminasi agama, etnis dan suku.
Akhir kata, sebagai dokumen yang hidup dan terus
berproses, naskah ini akan terus disempurnakan hingga RUU yang
kondusif bagi kemajuan hak asasi manusia dapat terwujud.
Penyajian buku ini dalam bentuk buku semata-mata untuk
memudahkan akses dan penyebaran, bukan berarti tanda
kesempurnaan.

Mataram, September 2018

vi
DAFTAR ISI

PENGANTAR ...................................................................................... v

DAFTAR ISI ....................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... ix

BAB I KEJAHATAN CYBER......................................................... 1


A. Definisi Kejahatan Cyber ..................................................... 1
B. Pengertian Crime .................................................................. 3
C. Prevalensi Kejahatan Internet ............................................. 5
D. Cyber sebagai Kejahatan Baru ............................................. 9
E. Internet Harassment .............................................................10
F. Klasifikasi Cyber Crime .......................................................11
G. Capability (Kemampuan dalam Menangkal
Kejahatan Cyber) .................................................................15

BAB II KEJAHATAN CYBER BULLYING DI


INDONESIA ......................................................................20
A. Definisi Kejahatan Cyber Bullying ......................................20
B. Kasus Kejahatan Cyber Bullying di Indonesia ...................31

BAB III PENGGUNAAN PRE-EMTIF, PREVENTIF,


REPRESIF POLISI TERHADAP KEJAHATAN
CYBER BULLYING ............................................................47
A. Peran dan Tugas Polisi .......................................................47
B. Kedudukan dan Fungsi Kepolisian...................................49
C. Peran Kepolisian dalam Menyelesaikan
Kejahatan Cyber Bullying di Indonesia

vii
Menggunakan P2R (Pre-emtif, Preventif dan
Represif).............................................................................. 50

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 68

LAMPIRAN ........................................................................................ 75

RIWAYAT PENULIS ....................................................................... 102

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Kategori Pelaku yang Disederhanakan .....................17

Gambar 2: Contoh Kejahatan Cyber Bullying ...............................32

Gambar 3: Ciri-Ciri Ucapan Kejahatan Cyber Bullying


Model Baru ..................................................................33

Gambar 4: Jumlah Pengguna Internet Indonesia ........................34

Gambar 5: Sejumlah Alasan Terjadinya Cyber Bullying ..............35

Gambar 6: Akun Media Sosial Palsu Atau dengan


Menggunakan Akun Anonim ....................................36

Gambar 7: Data dari Sejumlah Lembaga


Memperlihatkan, Aktivitas Serangan
Meningkat ....................................................................38

Gambar 8: Jumlah Kasus Cyber Bullying di Kepolisian


Daerah Nusa Tenggara Barat .....................................42

Gambar 9: Jumlah Kasus Cyber Bullying di Kepolisian


Daerah Provinsi Bali ...................................................43

Gambar 10: Jumlah Kasus Cyber Bullying di Kepolisian


Daerah Sulawesi Selatan .............................................44

Gambar 11: Kasus Cyber Bullying untuk 3 (tiga)


Provinsi yaitu Bali NTB dan Sulawesi
Selatan ..........................................................................46

ix
x
BAB I
KEJAHATAN CYBER

A. Definisi Kejahatan Cyber


Tindakan kriminal di Internet beragam seperti ada kejahatan
yang harus dilakukan. Dalam tahun-tahun awal Internet, para
penjahat terkenal adalah Kevin Mitnicks1 dari peretas dunia. Umum
kemudian adalah membobol layanan telepon dan rekayasa sosial
mereka jalan ke jaringan komputer. Hari ini peretasan telah dibawa ke
massa dengan pengenalan berbagai "kejahatan," kode berbahaya yang
dirancang untuk membantu rata-rata penjahat mengotomatiskan
serangannya. Tapi apa arti dari cyber crime? Definisi yang luas akan
menjadi tindak pidana yang telah dibuat atau dimungkinkan oleh
munculnya teknologi, atau kejahatan tradisional yang telah diubah
oleh teknologi menggunakan. Kejahatan internet menurut definisi
adalah kejahatan yang dilakukan atau difasilitasi melalui penggunaan
Internet. Sering ada penggunaan berlebihan dari istilah cyber crime
menjadi inklusif semua banyak kategori kejahatan internet, termasuk
gangguan komputer dan peretasan. SMS telah dikhususkan untuk
penyelidikan dan pencegahan gangguan komputer dan peretasan.
Fokus utama buku ini adalah memberikan penegakan hukum dengan
keterampilan dasar untuk memahami cara menyelidiki kejahatan
tradisional yang dilakukan di internet.
Kata cyber dalam cyberspace, cyber crime, dan cyberlaw, serta
istilah lain yang menggunakan kata cyber berkembang dari
penggunaan terminologi cybernetics oleh Norbert Wiener pada tahun
1948 dalam bukunya yang berjudul Cybernetics or Control and
Communication in the Animal and the Machine (Sitompul, 2012).

Kejahatan Cyber Bullying ~ 1


Menurut Lawrence Lessig (Lessig, 2009), Cybernetics adalah:
“cybernetic”, the study of control at a distence through devices.” Yang
dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang mengatur atau
mengarahkan sistem mulai dari yang paling sederhana hingga yang
paling kompleks dengan cara memahami sistem dan perilaku terlebih
dahulu dan mengaturnya dari luar sistem melalui berbagai alat, cara,
dan metode.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang belu ada
terjemahan resmi kata cyber. Akan tetapi, KBBI sudah memuat kata
“sibernetika” yang merupakan terjemahan resmi dari cybernetics,
yaitu; “ilmu pengetahuan tentang komunikasi dan pengawasan yang
khususnya berkenaan dengan studi bandingan atas sistem
pengawasan otomatis (seperti sistem saraf dan otak)”
Kata cyber merupakan singkatan dari cyberspace yang berasal
dari kata cybernetics dan space, istilah cyberspace muncul pertama kali
pada tahun 1984 dalam novel Willian Bibson yang berjudul
Neuromancer. Pada karya tersebut, ia mendefinisikan cyberspace
sebagai;
“Cyberspace. A consensual hallucination experienced daily by
billions of legitimate operators, in every nation….. A grapic
representation of data abstracted from banks of overy computer
in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light
ranged in the nonspace of the mind, clusters and constellations of
data. Like city light, receding.”
Pada dasarnya, Gibson menggambarkan cyberspace bukan
ditujukan untuk menggambarkan interaksi yang terjadi melaui
jaringan komputer, melainkan sebagai sebuah representasi grafis dari
data yang diabtraksikan dari wadah penyimpanan di setiap komputer
dalam sistem manusia. Sebuah kompleksitas yang tidak dapat
dipecahkan. Kemudian pada tahun 1990, John Barlow mengaplikasi-
kan istilah cyberspace untuk dunia yang terhubung atau online ke
internet (Barlow, 1996).
Dapat disimpulkan bahwa cyberspace adalah sebuah media
elektronik dalam sebuah jaringan komputer yang banyak dipakai

2 ~ Kejahatan Cyber Bullying


untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal-balik secara
online (terhubung langsung). Cyberspace menawarkan dimensi baru
yang terkomputerisasi dimana kita dapat dengan bebas memindahkan
informasi dan mengakses data (Wilson, 1994).
Cyberspace ini merupakan integrasi dari berbagai peralatan
teknologi komunikasi dan teknologi komputer (sensor, tranduser,
koneksi, transmisi, prosesor, signal, kontroler) yang dapat
menghubungkan peralatan komunikasi (komputer, telepon genggam,
instrumentasi elektronik, dan lain-lain) yang tersebar di seluruh
penjuru dunia secara interaktif.

B. Pengertian Crime
Kriminalitas berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan.
Secara yuridis, kejahatan berarti segala tingkah laku manusia yang
dapat dipidana yang diatur dalam hukum pidana. Dari segi apa pun
dibicarakan suatu kejahatan perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat
relatif. Dalam kaitan dengan sifat relatifnya kejahatan, G. Peter
Hoefnagels menulis sebagai berikut;
“We have seen that concept of crime is highly realtive on common
parlence. The use of term “crime” in respect of the same behavior
differs from moment to moment (time), from group to group
(place) and from context to (situation). (Wolfgang, Savitz, &
Johnston, 1970)”
Kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu
pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan
dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik
aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau
minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu
perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang
hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu (Sahetapy &
Reksodiputro, 1982).
Edwin H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology
menyebutkan bahwa tujuh unsur kejahatan yang saling bergantung
dan saling mempengaruhi, suatu perbuatan tidak akan disebut

Kejahatan Cyber Bullying ~ 3


kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-
unsur tersebut adalah:
a. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian,
b. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus
dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana.
c. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan
yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat
yang merugikan.
d. Harus ada maksud jahat (mens rea)
e. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu
hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.
f. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang
dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas
keinginan sendiri.
g. Harus ada hukum yang ditetapkan oleh undang-undang.
(Sutherland, Cressey, & Luckenbill, 1992)
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar
norma-norma yang ada di masyarakat yang bersifat merugikan dan
menimbulkan akibat-akibat tertentu yang nyata. Pelanggaran atas
norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik
berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan
suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan
yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu
perbuatan tercela.
Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari
pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan
atara rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-
undang). Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-
peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-
undang sebagai suatu hal yang terlarang. Sedangkan kejahatan
termasuk dalam rechtsdelicten (delik hukum), yaitu suatu peristiwa-
peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas

4 ~ Kejahatan Cyber Bullying


hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari
undang-undang.
Secara yuridis, kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu
tindakan yang melanggar Undang-Undang atau ketentuan yang
berlaku dan diakui secara legal. Secara kriminologi yang berbasis
sosiologis, kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang
merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu
pola tingkah laku yang mendapat reaksi sosial dari masyarakat,
Negara mempunyai peran untuk bertindak tegas dalam menghadapi
tidak kejahatan yang ada dalam masyarakat, demi terciptanya rasa
aman, tenteram, dan damai. Masyarakat juga mempunyai peran dalam
memberantas kejahatan, karena kejahatan terjadi bukan hanya karena
ada niat dari pelaku kejahatan, namun juga karena ada kesempatan
atau peluang untuk melakukan tindak kejahatan. Selain itu, ketegasan
penerapan Undang-Undang mempunyai pengaruh yang cukup besar
dalam menekan tindak kejahatan.

C. Prevalensi Kejahatan Internet


Perkiraan kejahatan internet sangat bervariasi tergantung pada
metode pengumpulan data. Sebagian besar penelitian dilakukan
melalui survei korban dan bisnis dalam upaya untuk mengukur
cakupan masalah yang sebenarnya. Computer Service Institute (CSI)
Survei Kejahatan dan Keamanan Komputer mengumpulkan informasi
dari pakar keamanan. Symantec/Nortont Cybercrime Index
mewawancarai orang-orang tentang pengorbanan mereka. Asosiasi
Teknologi Investigasi Kejahatan Tinggi (HTCIA) masukan dari
anggotanya, yang terdiri dari penegak hukum, perusahaan, dan
pribadi penyidik, tentang cyber crime. Studi lain melihat data
investigasi, seperti Verizon Data Breach Reports. Lainnya
mengumpulkan data tentang insiden tertentu, seperti McAfee Threats
Reports, yang mencakup insiden malware3. Beberapa prihatin dengan
metode pengumpulan data yang digunakan oleh banyak dari studi ini.
Lagipula mengapa perusahaan yang menjual produk keamanan
melaporkan apa pun kecuali insiden yang tinggi cyber crime? Biasanya

Kejahatan Cyber Bullying ~ 5


data kejahatan dikumpulkan oleh penegak hukum atau lembaga
peradilan pidana yang mungkin tidak memiliki motivasi laba.
Statistik kejahatan AS dilaporkan pada tingkat nasional oleh
penegak hukum individu lembaga ke Biro Investigasi Federal (FBI) di
bawah seragam laporan kejahatan (UCR) proses. Data dikumpulkan
berdasarkan kejahatan yang dilakukan oleh hukum lembaga penegak
hukum di bawah pedoman khusus dan diteruskan ke FBI. FBI
mengumpulkan data dan secara terbuka mengungkapkan informasi
dalam kejahatan tahunannya laporan. Upaya pengumpulan data UCR
saat ini tidak berfokus pada pelanggaran "teknologi tinggi", seperti
peretasan dan intrusi komputer. Ada keraguan oleh beberapa orang
untuk melaporkan cyber crime kepada pihak berwenang. Perusahaan-
perusahaan yang diperdagangkan secara publik enggan memasok
informasi tentang insiden cyber yang mengkhawatirkan
pengungkapan semacam itu akan merusak citra mereka, berpengaruh
negatif terhadap harga saham dan/atau memicu tuntutan hukum
(Lardner, 2012).
Persyaratan pelaporan juga tidak mewajibkan pelaporan
informasi apa pun tentang kejahatan yang dilakukan di internet atau
apakah komputer digunakan dalam pelanggaran itu. Goodman
menunjukkan bahwa pelanggaran tradisional tersebut dapat
diklasifikasikan di bawah sesuatu yang tidak mencerminkan
keberadaan komputer atau penggunaan Internet. Contohnya, skema
penipuan Internet dapat diklasifikasikan sebagai penipuan sederhana.
Selain itu, cyberstalking dapat diklasifikasikan sebagai ancaman
kriminal atau kasus penguntitan (Goodman, 2001).
Satu twist data ironis menyangkut kasus-kasus bujukan seksual.
Kasus-kasus ini sering terjadi operasi penyamaran yang menyamar, di
mana tersangka yakin dia sedang berkomunikasi melalui internet
dengan anak di bawah umur. Pada kenyataannya tidak ada yang kecil.
Tersangka membuat komentar seksual online, termasuk keinginannya
untuk berhubungan seks dengan fiktif minor. Tersangka ditangkap
ketika dia pergi menemui "kecil." Kejahatan ini cenderung
diklasifikasikan sebagai kejahatan seks meskipun tidak ada korban

6 ~ Kejahatan Cyber Bullying


kecil atau bahkan nyata. Ini bukan untuk meminimalkan keseriusan
pelanggaran atau untuk membantahnya tidak dihitung sebagai
pelanggaran seksual. Elemen komputer dan penggunaan Internet
dalam jenis ini pelanggaran jelas terlihat dan sebagian besar diabaikan
dalam pengumpulan data. Ini adalah kejahatan berbasis internet tetapi
diklasifikasikan sebagai kejahatan seks di mana tidak ada korban ada.
Kurangnya kejelasan ini dapat memiliki implikasi penting bagi para
perwira yang berusaha untuk mengamankan sumber daya dan
pelatihan untuk menyelidiki kejahatan internet dengan benar.
Juga dimungkinkan untuk melihat laporan media tentang cyber
crime. Yang penting peringatan adalah bahwa laporan tersebut
cenderung berfokus pada sensasional dan mungkin tidak
representative dari sebagian besar kasus cyber crime. Sebuah kasus
dapat menjadi berita utama karena itu novel atau sangat keji,
berbahaya, atau "layak diberitakan". Kejahatan seperti itu mungkin
merupakan insiden yang terisolasi dan bukan norma.
Kenyataan di atas menyulitkan tetapi bukan tidak mungkin
untuk menentukan ruang lingkup kejahatan internet. Kami jelas tidak
dapat secara pasti menyatakan jumlah pasti Korban kejahatan
internet, kerugian aktual mereka, atau bahkan berapa banyak kriminal
daring yang mungkin sedang memangsa warga negara kita. Kita dapat,
bagaimanapun, mendapatkan garis besar Internet yang luas
prevalensi kejahatan di masyarakat kita dengan memeriksa berbagai
sumber data.
CSI telah menjadi organisasi keanggotaan pendidikan
terkemuka untuk mendapatkan informasi profesional keamanan
selama lebih dari 30 tahun. Studi mereka melibatkan pengiriman
survei oleh mem-posting dan mengirim email ke praktisi keamanan.
Pada tahun 2011, CSI mengirimkan 5.412 survei semacam itu kepada
anggotanya dengan total 351 pengembalian atau tingkat respons
6,3%. Survei itu tampak pada periode Juni 2009 hingga Juni 2010.
Beberapa temuan utama adalah sebagai berikut:
 Sekitar 67% mencatat infeksi malware terus menjadi yang
paling banyak serangan yang sering terlihat;

Kejahatan Cyber Bullying ~ 7


 Hampir separuh responden mengalami setidaknya satu insiden
keamanan.
 Sedikit lebih dari 45% dari responden ini menunjukkan bahwa
mereka telah menjadi subyek setidaknya satu serangan yang
ditargetkan.
 Sedikit lebih dari 8% melaporkan insiden penipuan keuangan,
yang turun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
 Pada saat yang sama lebih sedikit responden dari yang pernah
bersedia untuk berbagi spesifik informasi tentang kerugian
dolar yang diderita (CSI, 2011).
Nortont Cybercrime Report 2011, Symantec menyediakan solusi
keamanan informasi termasuk perangkat lunak, biasanya disebut
sebagai Nortont anti-virus dan anti-spyware. Symantec di bawah
perdagangan nama Nortont, yang disurvei sebanyak 19.636 individu
di 24 negara6 dari 6 Februari 2011 hingga 14 Maret 2011. Para
peserta survei termasuk 12.704 orang dewasa (termasuk 2.956 orang
tua), 4.553 anak (usia 8? 17), dan 2.379 guru (siswa berusia 8? 17).
Peserta ditanya apakah mereka pernah mengalami satu atau lebih
banyak dari yang berikut: virus komputer atau malware yang muncul
di komputer mereka; menanggapi pesan phishing yang mengira itu
adalah permintaan yang sah; online gangguan; seseorang meretas ke
profil jejaring sosial mereka dan meniru identitasnya mereka;
pendekatan online oleh pemangsa seksual; menanggapi penipuan
online; mengalami penipuan kartu kredit online atau pencurian
identitas; menanggapi sebuah smishing pesan atau jenis cyber crime
lainnya di ponsel / ponsel atau komputer mereka. Survei menemukan
bahwa lebih dari satu juta orang menjadi korban cyber crime setiap
hari. Empat belas orang dewasa menjadi korban cyber crime setiap
detik. Atas tiga cyber crime adalah virus komputer / malware (58%),
penipuan online (11%), dan phishing (10%). Sepuluh persen orang
dewasa online menunjukkan bahwa mereka mengalaminya cyber
crime di ponsel mereka (Symantec, 2011).

8 ~ Kejahatan Cyber Bullying


D. Cyber sebagai Kejahatan Baru
Munculnya beberapa kasus cyber crime di Indonesia, seperti
pembajakan kartu kredit, pembajakan beberapa situs, menyadap
transmisi data orang lain, dan memanipulasi data dengan cara
menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke dalam program
komputer telah membentuk opini publik para pengguna jasa internet
bahwa cyber crime merupakan suatu perbuatan yang merugikan
bahkan amoral. Abdul Wahid dan Mohammad Labib mengemukakan
bahwa cyber crime adalah segala macam penggunaan jaringan
komputer untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal berteknologi
tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital.(Wahid
& Labib, 2005)
Sebagian besar perbuatan cyber crime dilakukan oleh seseorang
yang sering disebut cracker. Perbuatan para cracker juga telah
melanggar hak-hak pengguna jasa internet sebagaimana digariskan
dalam The Declaration or The Rights or Netizen yang dimaksud oleh
Ronda Hauben dan Muchael Mauben mengingatkan bahwa pada saat
memperluas hukum pidana, seharusnya terdapat spesifikasi tentang
batas-batas pengertian dari suatu perbuatan baru yang dilarang
sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan juga dapat
dibedakan dengan misalnya sebagai suatu perbuatan perdata.(Hauben
& Hauben, 1998).
Berdasarkan pemikiran bahwa cyber crime merupakan gejala
sosial, maka dapat dipahami bahwa cyber crime merupakan
konsekuensi logis dan merupakan akses negatif dari perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi. Cyber crime merupakan gejala
sosial yang sudah mengarah pada ranah hukum pidana yaitu berupa
kejahatan. Cyber crime bukan hanya dianggap sebagai masalah
individual, atau lokal, atau nasional, melainkan sudah menjadi
permasalahan global.
Menurut Ian Walden, Cyber crime adalah bagian dari Computer
crimes. Walden melihat bahwa pengklasifikasian Computer crimes
dapat didasarkan pada teknologi (technology-based), motivasi
(motivation-based), hasil (outcome-based), dan komunikasi

Kejahatan Cyber Bullying ~ 9


(communication-based), serta informasi (information-based). Walden
mengategorikan tindak pidana menjadi tiga, yaitu: computer-related
crime, content-related crime, dan integrity offences (Walden, 2007)
Dari penjelasan-penjelasan tersebut. Cyber crime adalah
kejahatan baru yang tidak diatur dalam Undang-Undang pidana
konvensional, dan juga dapat berupa kejahatan konvensional yang
menggunakan sarana komputer atau sistem komputer.

E. Internet Harassment
Terlihat jelas tidak adanya Laporan Kejahatan Internet 2011
adalah insiden cyber harassment, cyber bullying, dan cyber stalking,
(Smith et al., 2008) secara kolektif mengacu sebagai pelanggaran
pelecehan internet. Cyber bullying dan stalk telah menjadi acara rutin
yang membutuhkan perhatian investigasi yang signifikan. Cyber
bullying memiliki menjadi signifikan secara umum karena jumlah
remaja yang telah berkomitmen bunuh diri atas pelecehan dan
komentar Internet yang di-posting online tentang mereka. Baum,
Catalano, Rand, dan Rose (2009) mencatat bahwa sekitar 3,4 juta
orang mengintai setiap tahun dan satu dari empat korban melaporkan
bahwa pelanggaran itu mencakup cyber stalking bertindak. Penegakan
hukum memperkirakan bahwa komunikasi elektronik adalah factor di
20? 40% dari semua kasus mengintai (National Conference of State
Legislatures, 2009). Korban Cyber stalking melaporkan bahwa 83%
tindakan yang dilakukan adalah melalui email dan 35% melalui pesan
instan (Baum et al., 2009).
Subtipe mereka gagal untuk mencatat itu cyber stalking dapat
melibatkan komunikasi Internet, seperti mem-posting ke situs web,
atau Internet sebagai alat penelitian, seperti pada korban atau untuk
teknik / alat. Ini kriminalitas, bersama dengan cyber harassment dan
cyber bullying secara kolektif disebut sebagai pelecehan internet
(Slonje & Smith, 2008) dalam. Tindakan-tindakan ini didefinisikan
sebagai berikut:
(a) Cyber stalking adalah penggunaan berulang dari Internet, email,
atau digital terkait perangkat komunikasi elektronik untuk

10 ~ Kejahatan Cyber Bullying


mengganggu, alarm, atau mengancam spesifik individu atau
kelompok individu (D’Ovidio & Doyle, 2003).
(b) Cyber harassment melibatkan komunikasi elektronik (mis.,
Email, Internet, situs jejaring sosial), tidak ada ancaman khusus
untuk korban, mis., lanjut posting yang tidak diinginkan, off
topic, dan/atau komentar yang tidak menarik di social situs
jejaring, di blog, atau di ruang obrolan (Shipley & Bowker,
2013).
(c) Cyber bullying adalah cyber harassment ketika baik korban
maupun pelakunya remaja. Ini mencakup tidak hanya aktivitas
pelecehan tetapi juga ancaman terselubung (Shipley & Bowker,
2013).

F. Klasifikasi Cyber Crime


Cyber crime memiliki karakteristik dan jenis-jenis tertentu, yaitu
berdasarkan jenis aktivitas yang dilakukan, motif, dan sasaran
kejahatan, berikut jenis-jenis Cyber crime:
a. Unauthorized Access
b. Illegal Contents
c. Data Forgery
d. Cyber Espionage, Sabotage, and Extortion14
e. Cyberstalking
f. Carding
g. Hacking dan Cracking
h. Hijacking
i. Cyber Terrorism
Usaha-usaha selanjutnya jauh lebih jelas dan terperinci, lebih
lanjut menyempurnakan keterampilan tingkat dan motivasi masing-
masing cyber criminal. Salah satu profil peretas tersebut muncul
dengan delapan subtipe cyber criminal (Bednarz, 2004). Kemudian
dikembangkan lagi profil cyber crime yang diperluas dengan 12
subtipe berikut, lagi berdasarkan tingkat keterampilan dan motivasi
(Shoemaker & Kennedy, 2009):
1. Kiddie (Script kiddie)

Kejahatan Cyber Bullying ~ 11


Grup ini tidak canggih secara teknologi dan menggunakan skrip
yang sudah diprogram sebelumnya atau program berbasis menu.
Motivasi merek ego didorong, biasanya dengan maksud untuk masuk
tanpa izin dan kadang-kadang untuk menyerang privasi pengguna. (Ini
tidak berarti mereka tidak berbahaya seperti yang telah diprogram
sebelumnya alat dapat membuat pengguna yang kurang canggih
sangat berbahaya.)
2. Cyberpunks:
Kelompok ini mahir dalam bidang teknologi, biasanya muda,
anggota tandingan, dan orang luar. Motivasi mereka juga didorong
ego, berfokus pada pelanggaran atau invasi, yang kemudian motif
adalah eksposur. Mereka akan, bagaimanapun, terlibat dalam
pencurian dan sabotase tetapi hanya pada target yang mereka lihat
sebagai sah. Mereka sering bertanggung jawab atas banyak virus,
lapisan aplikasi, dan penolakan layanan (DOS) serangan terhadap
perusahaan yang didirikan dan mereka produk.
3. Timer lama:
Mungkin yang paling mahir dalam teknologi, grup ini motivasi
adalah ego didorong dan menyempurnakan “seni” cyber-masuk tanpa
izin. Mereka cenderung menjadi usia menengah atau lebih tua, dengan
pribadi dan/atau profesional yang luas latar belakang teknologi,
termasuk peretasan. Mereka adalah yang terakhir dari “Lama Penjaga”
yang tujuannya adalah untuk menunjukkan seberapa baik mereka
dalam mengatasi pertahanan untuk mendapatkan masuk yang tidak
sah ke dalam sistem. Kelompok ini kadang-kadang terlibat dalam
perusakan situs web. Karena mereka sering tahu siapa mereka.
Melakukannya biasanya tidak menyebabkan banyak bahaya.
Pengecualian yang penting adalah jantung membakar ke
administrator sistem yang harus menambal keamanan kerentanan
dan periksa sistem mereka untuk memastikan tidak ada tambahan
“Kejutan” yang ditinggalkan oleh intrusi mereka.
4. Orang yang tidak bahagia:
Profil ini dianggap paling berbahaya seperti ini individu berada
di dalam pertahanan organisasi. Mereka bisa segala usia dan

12 ~ Kejahatan Cyber Bullying


digunakan di tingkat apa pun. Ciri utamanya adalah mereka tidak
senang dengan organisasi dan karenanya motivasi mereka adalah
balas dendam, seringkali digabungkan dengan keuntungan moneter.
Akibatnya niat mereka adalah mencuri atau merugikan perusahaan.
Mereka dapat terlibat dalam pemerasan atau pemaparan rahasia
perusahaan. Penjahat kelompok ini tindakan lebih bergantung pada
akses sistem langsung sebagai lawan sekunder akses melalui internet.
Namun, mereka akan menggunakan akses Internet untuk
mendapatkan alat, mentransfer barang yang dicuri ke milik mereka,
atau untuk memenuhi tujuan lain.
5. Mantan orang dalam:
Ini adalah mantan karyawan yang terpisah dari perusahaan
terpaksa melalui pemutusan hubungan kerja atau kinerja yang tidak
memuaskan. Sekali lagi, itu motivasi adalah balas dendam dan
tujuannya adalah untuk merugikan perusahaan. Mereka mungkin
menggunakan informasi orang dalam untuk mendiskreditkan
perusahaan atau mengatasinya kerentanan tidak diketahui publik. Jika
pemberhentian tidak direncanakan dengan baik dan mereka
meramalkannya, mereka mungkin menanam bom logika atau
melakukan tindakan merusak lainnya ke data dan/atau sistem.
6. Pencuri cyber:
Kelompok ini dapat berapa pun usia dan tidak membutuhkan
banyak pengalaman teknologi. Motivasi mereka adalah untung, baik
mencuri data atau pencurian moneter langsung. Mereka mahir dalam
rekayasa sosial. Namun, mereka juga akan menggunakan alat jaringan
(mengendus atau spoofing) serta memprogram eksploitasi untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka seringkali akan
dipekerjakan oleh seorang perusahaan untuk bekerja dari dalam,
membuatnya lebih mudah untuk dicuri. Orang lain akan bekerja
"sihir" mereka dari luar.
7. Cyberhucksters:
Ini adalah distributor spam dan malware. Mereka berfokus pada
keuntungan dan komersialisasi moneter. Mereka sangat pandai
rekayasa sosial serta spoofing. Mereka menggunakan spyware,

Kejahatan Cyber Bullying ~ 13


pelacakan cookie, dan bahkan tambang data bisnis yang sah untuk
menemukan korban untuk mereka "Produk". Salah satu contoh dari
hasil karya mereka adalah spanduk pop-up itu muncul
memberitahukan pengguna yang tidak curiga bahwa sistem mereka
terinfeksi dan mereka perlu membeli alat anti-virus cyberhuckster,
obat untuk "infeksi".
8. Penipu:
Kelompok ini dimotivasi oleh keuntungan moneter dan
pencurian adalah milik mereka merek dagang. Mereka menjalankan
penipuan Nigeria tetapi tidak di atas phishing melakukan identitas dan
pencurian kartu kredit. Mereka sangat pandai dalam hal social
rekayasa dan spoofing. Mereka lebih sulit ditangkap karena mereka
cenderung antonim. Seringkali, serangan mereka tidak menargetkan
korban tertentu, misalnya, serangan phishing massal. Namun,
beberapa akan terlibat dalam serangan yang lebih bertarget pada
target bernilai tinggi, kadang-kadang disebut sebagai "phishing
tombak."
9. Cyberstalker:
Kelompok ini didorong oleh ego dan penyimpangan. Mereka
ingin menyerang privasi korban mereka untuk memenuhi beberapa
kebutuhan pribadi, psikologis seperti kecemburuan. Shoemaker dan
Kennedy (2009) juga mencatat kelompok ini terutama menggunakan
alat-alat seperti penebang kunci, Trojan Horses, atau sniffers. Namun,
sebagaimana akan terjadi akan dibahas nanti, kelompok ini jauh lebih
banyak akal dan beragam.
10. Warriors kode:
Mereka melaporkan bahwa kelompok ini adalah salah satu yang
paling terampil sejarah panjang yang berbasis teknologi, seringkali
dengan derajat. Awalnya, mereka fokusnya adalah pada peningkatan
ego dan terkadang balas dendam. Namun, mereka memilikinya sejak
menjadi kapitalis, terlibat dalam pencurian atau sabotase. Berbeda
dengan Old Timer, yang melihat aktivitas mereka sebagai "seni"
mereka cenderung melihatnya sebagai profesi. Mereka adalah
pengeksploitasi kode dan pencipta Trojan Horse. Mereka bisa menjadi

14 ~ Kejahatan Cyber Bullying


berapa pun usianya, tetapi biasanya jatuh dalam kelompok usia 30-50
tahun. Selain itu, mereka biasanya secara sosial tidak kompeten dan
penyimpangan sosial.
11. Mafia tentara:
Kelompok ini memiliki beberapa karakteristik penipu dan
prajurit kode. Mereka sangat terorganisir dengan tujuan criminal
menghasilkan uang dengan cara apa pun yang memungkinkan. Mereka
biasanya terlibat pencurian, pemerasan, dan invasi privasi dengan
tujuan pemerasan. Kebanyakan grup ini terletak di Timur Jauh dan
Eropa Timur, meskipun semua. Kejahatan terorganisir kemungkinan
akan masuk ke perusahaan ilegal yang menguntungkan ini.
12. Warfighter:
Berbeda dengan grup lain, subtipe ini hanya dilihat sebagai
cyber criminal jika mereka memerangi kamu. Mereka bisa usia berapa
saja, tetapi negara terbaik dan tercerdas yang bisa dikerahkan.
Motivasi mereka adalah info war dan mereka mengejar keuntungan
strategis bagi negara mereka dan sekutunya dan membahayakan
musuh mereka. Mereka menggunakan semua senjata cyber yang
mereka miliki, termasuk Kuda Troya, serangan DOS, dan penggunaan
disinformasi.

G. Capability (Kemampuan dalam Menangkal Kejahatan


Cyber)
Jelas, penjahat internet rata-rata tidak selalu jenius teknologi
atau peretas internet. Internet saat ini menciptakan lingkungan
situasional di mana siapa pun dengan akses dapat menjadi penjahat
Internet berikutnya. Juga, ketersediaan alat yang sangat kompleks
menurunkan tingkat masuk bagi beberapa penjahat. Alhasil kami
perlu mengambil pendekatan yang lebih luas untuk
mengklasifikasikan atau lebih penting mengidentifikasi Penjahat
internet.
Nelson awalnya mengakui tiga kemampuan cyber terror tingkat,
sederhana tidak terstruktur, canggih terstruktur, dan terkoordinasi
kompleks (Nelson, Choi, Iacobucci, Mitchell, & Gagnon, 1999).

Kejahatan Cyber Bullying ~ 15


Memodifikasi tingkat ini, dengan tingkat keempat tambahan, dapat
terstruktur sederhana berguna dalam membahas penjahat internet.
Sederhana tidak terstruktur melibatkan individu bekerja dengan
sedikit struktur, pemikiran, atau persiapan. Sederhana terstruktur
adalah individu atau kelompok yang bekerja dengan sedikit struktur,
tetapi dengan beberapa pemikiran sebelumnya atau persiapan.
Kelompok terstruktur tingkat lanjut bekerja dengan beberapa
struktur, tetapi sedikit pemikiran atau persiapan. Dikoordinasi
kompleks adalah kelompok atau dalam beberapa kasus pemerintah,
bekerja dengan persiapan awal dengan target dan sasaran khusus.
Kategori-kategori ini membantu kita untuk memahami motivasi dan
sumber daya para penjahat individu. Tingkat kecanggihan dan potensi
yang lebih besar kerusakan meningkat karena pelaku menjadi lebih
terorganisir. Semua orang, termasuk pembaca teks ini dimulai dengan
tingkat pengetahuan dan keterampilan yang minimal. Dengan
pendidikan, kami telah mengembangkan keahlian dan keterampilan
kami. Sebagai pelanggar internet mendidik diri mereka sendiri dan
menjadi lebih aktif dalam mengejar aktivitas criminal mereka
meningkatkan potensi bahaya mereka. Selain itu, jika mereka
berhubungan dengan orang lain, baik secara longgar atau melalui
struktur yang terorganisasi, tingkat potensinya Kerusakan meluas
secara eksponensial (Gambar 2.1).

16 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Individuals or groups
Individuals or groups
working with little
working with little
structure, but with
structure, forethought,
some forethought or
or preparation
preparation

Groups or governments
Groups working with
working with advance
some structure, but
preparation with
little forethought or
specific targets and
preparation
objectives

Gambar 1: Kategori Pelaku yang Disederhanakan

Pada tingkat terendah dalam kategori tidak terstruktur


sederhana ada persentase yang besar elemen cyber criminal. Ini
adalah tempat berkembang biak bagi jauh lebih banyak tindakan
canggih oleh kelompok yang lebih terorganisir. Orang-orang ini
bekerja dengan struktur kecil. Mereka tidak diorganisir untuk upaya
kriminal nyata dan jenderal mereka tindakan dilakukan dengan sangat
sedikit di jalan pemikiran atau persiapan. Contoh dari ini adalah
pemula yang khas di arena peretasan. Mereka baru sebagian besar
aspek dunia cyber dan menghabiskan banyak waktu mereka belajar
teknik dan taktik peretas. Dengan demikian mereka cenderung
melampaui otoritas mereka di jaringan, kemungkinan besar mereka
diberi akses sebagai karyawan. Mereka mungkin menjelajahi jaringan
kantor mereka dan memata-matai orang lain di kantor. Jelas benar
jaringan yang dikonfigurasi tidak akan mengizinkan ini dan
administrator jaringan yang terlatih dengan pertahanan aktif, secara
internal dan eksternal harus mengidentifikasi penyusup.
Individu yang diidentifikasi sebagai milik kategori terstruktur
sederhana adalah individu atau kelompok yang bekerja dengan sedikit
struktur, tetapi dengan beberapa pemikiran atau persiapan. Ini

Kejahatan Cyber Bullying ~ 17


termasuk peretas tradisional, karyawan yang tidak puas, dan individu
melakukan kejahatan di Internet. Ini juga termasuk nit longgar atau
cyber hanya kelompok peretasan yang berafiliasi yang saling
berhubungan satu sama lain untuk kepentingan ego mereka versus
upaya terorganisir yang sebenarnya untuk meretas ke dalam
perusahaan atau pemerintahan apa pun komputer. Karyawan yang
tidak senang dengan situasi dan alur mereka saat ini kerusakan atau
pencurian material perusahaan yang membutuhkan perencanaan dan
persiapan juga dikategorikan di sini. Penguntit online (dan kami
menggunakan ini dalam arti luas di sini untuk memasukkan menguntit
orang dewasa atau anak-anak) menggunakan struktur kecil dan bukan
kejahatan terorganisir, tetapi yang dipikirkan dan direncanakan.
Ancaman online yang lebih rumit datang dari yang lebih maju
dan rumit organisasi. Ancaman terstruktur yang maju adalah
kelompok yang terorganisir bekerja dengan beberapa struktur, tetapi
sedikit pemikiran atau persiapan. Ancaman ini termasuk kelompok
hacking terorganisir yang telah mendokumentasikan afiliasi di antara
perusahaan keanggotaan dan filosofi yang umumnya serupa yang
mendorong upaya kelompok. Itu upaya hacking atau intrusi umumnya
tidak terorganisir, meskipun mereka mungkin secara individual
menjadi canggih dalam serangan mereka. Individu kelompok
menentukan upaya lebih pada basis desentralisasi kemudian dalam
perencanaan yang terorganisir dari otoritas tunggal.
Ancaman paling signifikan di antara semua kategori berasal dari
mereka ancaman yang rumit dan terkoordinasi. Kelompok atau
pemerintah ini bekerja dengan persiapan awal dengan target dan
sasaran khusus. Ini membuat mereka satu-satunya ancaman paling
berbahaya yang dimiliki sebuah jaringan. Untuk penyidik Kejahatan
internet ini membuatnya paling sulit untuk diselidiki. Kelompok yang
terorganisir atau pemerintah dapat terlibat dalam kegiatan teroris,
melakukan tindakan cyber warfare, atau mengumpulkan intelijen
untuk mendukung kegiatan tersebut. Ini yang paling sulit untuk
melacak karena pemahaman mereka yang luas tentang teknologi dan
cara memanipulasinya agar tetap tersembunyi dari para penyelidik.

18 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Ketika simpatisan mulai mencari kejahatan atau kejadian online
sering tidak tahu kategori pelaku yang mereka selidiki. Sederhana
kejahatan penipuan online bisa menjadi sebuah front untuk
pendanaan teroris, atau intrusi sederhana atau situs web merusak
bisa menjadi gangguan kompleks oleh negara bangsa untuk
mengumpulkan intelijen pada perusahaan yang ditargetkan. Bisa juga
situs yang merusak hanya a script kiddie mencoba potongan
crimeware baru yang dia temukan online. Pada akhirnya masing-
masing dan setiap kasus akan memiliki bukti untuk dikumpulkan dan
seorang pelaku di suatu tempat di dunia. Korban kejahatan internet
mengalami kerugian seperti korban kejahatan tradisional lainnya
menderita. Penyidik memiliki tanggung jawab kepada korban dan
masyarakat untuk mengikuti bukti di mana itu mengarah. Beberapa
investigasi dapat mengarah ke mana-mana dan beberapa lainnya ke
kesimpulan yang sukses. Untuk mempersingkat upaya investigasi
semata - mata pada dasar bertindak sebagai kejahatan internet tidak
melayani kepentingan masyarakat atau keadilan.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 19


BAB II
KEJAHATAN CYBER BULLYING
DI INDONESIA

A. Definisi Kejahatan Cyber Bullying


Secara etimologis, kejahatan diartikan sebagai perbuatan atau
tindakan jahat, di mana suatu perbuatan dianggap sebagai kejahatan
berdasarkan pada sifat perbuatan tersebut, apabila perbuatan itu
merugikan masyarakat atau perorangan baik secara materil, misalnya
mencuri, membunuh, merampok, memperkosa dan lain-lain (Muliadi,
2012). Demikian juga menurut Soesilo dalam Muliadi, (2012)
kejahatan adalah meliputi segala tingkah laku manusia walaupun
tidak ditentukan oleh undang-undang, tetapi oleh warga masyarakat
dirasakan atau ditafsirkan sebagai tingkah laku atau perbuatan yang
secara ekonomis atau psikologis menyerang dan melukai perasaan
susila dalam kehidupan bersama.
Untuk menyebut sesuatu perbuatan sebagai kejahatan ada tujuh
unsur pokok yang saling berkaitan yang harus dipenuhi. Ketujuh
unsur tersebut (Alam, 2012) adalah:
1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm).
2. Kerugian yang ada tersebut telah diatur di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Contoh, misalnya orang
dilarang mencuri, di mana larangan yang menimbulkan
kerugian tersebut telah diatur di dalam pasal 362 KUHP (asas
legalitas).
3. Harus ada perbuatan (criminal act).
4. Harus ada maksud jahat (criminal intent = mens rea).

20 ~ Kejahatan Cyber Bullying


5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.
6. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam
KUHP dengan perbuatan.
7. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut.
Cyber bullying merupakan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang melalui text,
gambar/foto, atau video yang cenderung merendahkan dan
melecehkan (Hidajat, et al. 2015). Ia Juga menambahkan bahwa cyber
bullying dapat dilakukan melalui media seperti pesan teks, gambar
video, panggilan telepon, e-mail, chat room, Instant Messaging (IM),
Situs Media Sosial, dan website. Media yang dicatat paling banyak
terjadi cyber bullying adalah situs media sosial. Situs media sosial
dipercaya sebagai salah satu penyebab utama maraknya cyber
bullying. Selain itu juga, Tosun mengemukakan bahwa cyber bullying
mainly occurred through e-mail, text messages, and phone calls.
Although most cyber bullying victims talked with others about their
experience, most cyber bullies did not talk about their harmful behavior
to others. Victims often did not know the cyber bully and ignored the
cyber bullying when it occurred (Tosun, 2016). Jadi cyber bullying
merupakan tindakan kejahatan yang dapat dilakukan melalui berbagai
media berupa video gambar, text, e-mail, telephone dan sejenisnya.
Cyber bullying, Agresi Cyber, Internet Harrassment, beberapa itu
merupakan kejahatan cyber di internet (Wayne, Robinson, 2017),
adalah sebagai berikut:
1) Cyber, Online, atau Internet?
Akademisi yang terlibat dalam penyelidikan kriminologis dan
psikologis (khususnya di Indonesia). Berkenaan dengan bullying
sebagian besar mendefinisikan istilah cyber untuk secara luas
menunjukkan dihasilkan oleh teknologi (Langos, 2012). Dan termasuk
pesan SMS yang dikirim antara ponsel (texting) baik dalam definisi
maupun pengukuran. Spesialis di berbagai bidang seperti
internasional hukum, keamanan cyber, ekonomi, teknik, dan teknologi
Internet (Mainelli, 2012) lebih spesifik, bagaimanapun, membatasi
aplikasi istilah untuk teknologi internet saja dan tidak memungkinkan

Kejahatan Cyber Bullying ~ 21


untuk mewakili istilah komunikasi melalui telepon seluler atau jenis
teknologi lainnya (kecuali Internet diakses melalui sarana ini).
Mengidentifikasi modalitas sebagai cyber, online, atau Internet
karenanya bermasalah sebagai non-berat, online, dan modalitas
Internet seperti pesan teks melalui ponsel adalah suatu masalah yang
signifikan dan sebagai masalah signifikan sebagai menyinggung dan
viktimisasi melalui jangkauan teknologi internet (Buelga, Cava, &
Musitu, 2010). Untuk tujuan ini, penulis menyarankan bahwa istilah
telekomunikasi (TC) menggantikan istilah-istilah ini sebagaimana
diwakilinya semua komunikasi non-tatap muka jarak jauh dengan
sarana teknologi yang tersedia sekarang, serta mencakup
kemungkinan komunikasi teknologi di masa depan itu termasuk tetapi
tidak terbatas pada:
a. Telepon / faksimile telepon tetap
b. Satelit, seperti telepon seluler
c. Jaringan komputer yang memungkinkan teks melalui email atau
video dengan webcam
d. Ruang obrolan internet dan jaringan media sosial seperti
Facebook, Twitter, protokol Internet suara-over, dan situs game
e. Sistem siaran: jaringan radio dan televisi
f. Telematika: layanan dan infrastruktur yang menghubungkan
komputer dan media digital peralatan melalui sambungan
telekomunikasi (Kotval, 1999)
Kedua, sehubungan dengan istilah online, TC lebih akurat dan
sesuai sebagai online dan offline adalah Internet eksklusif, elektronik
dapat menunjukkan alat listrik apa pun, nontradisional adalah istilah
yang penuh dengan interpretasi yang saling bertentangan, dan ICT
Teknologi komunikasi internet.

2) Bullying: Aggression or Harassment?


Berkenaan dengan bullying, sebagian besar definisi dan
operasionalisasi sampai saat ini sesuai Model Farrington (1993)
penindasan dapat berupa fisik, verbal, atau psikologis (Guerin &
Hennessy, 2002). Beberapa sarjana juga mengusulkan seperangkat

22 ~ Kejahatan Cyber Bullying


elemen yang dimodelkan pada definisi bullying Olweus dan
menerjemahkannya ke dalam TC konteks (Ybarra, Boyd, Korchmaros,
& Oppenheim, 2012). Unsur-unsur ini niat untuk menyakiti (Besag,
1989; Olweus, 1993a; Tattum, 1989), pengulangan (Olweus, 1999),
provokasi (tidak ada) (Farrington, 1993; Olweus, 1997; Swain, 1998),
dan ketidakseimbangan kekuasaan (Olweus, 1997). Namun, tidak
semua peneliti sependapat kriteria ini, bersama-sama atau secara
individual. Misalnya, Ybarra dkk. (2012) disertakan hanya dua dari
mereka, pengulangan dan ketidakseimbangan kekuasaan, ditambah
satu lagi-bahwa pelanggaran terjadi selama periode waktu.
Sebaliknya, Smith dkk. (2008) disertakan bermaksud mencelakakan,
mengulang, dan penambahan konstruk waktu Ybarra (2012). Secara
individu, penelitian secara luas dibagi mengenai apakah ada dari
elemen-elemen ini, di efek, terjemahkan ke dalam pengalaman
intimidasi. Berikut ini adalah pemeriksaan atas empat elemen bullying,
seperti yang dinyatakan sebelumnya: niat, pengulangan, tidak adanya
provokasi, dan ketidakseimbangan kekuasaan. Istilah agresi dan
pelecehan juga akan terjadi diperiksa untuk kontribusi mereka
terhadap konstruk penindasan MT.

3) Intent to Harm (Niat untuk Mencela)


Niat dianggap sebagai aspek kunci dari setiap pelanggaran
agresif termasuk bullying (Graham et al., 2006) dan ukuran utama
dimana pengadilan dapat memaafkan atau mengurangi kerusakan.
Hampir semua definisi penindasan tradisional dan TC termasuk
atribut ini (Menesini et al., 2012), dan beberapa penelitian telah
menemukan bahwa pelaku harus memiliki niat untuk mencelakakan
agar itu didefinisikan sebagai perilaku bullying; “Sebaliknya perilaku
dianggap sebagai lelucon” (Menesini dkk., 2012, hlm. 457). Masalah
dengan pendirian maksudnya, bagaimanapun, adalah bahwa itu
adalah peristiwa internal dan sulit untuk menetapkan karena nomor
pertimbangan neurologis, hukum, dan filosofis.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 23


4) Repetition (Repetisi)
Sementara beberapa peneliti setuju bahwa unsur pengulangan
adalah mapan dan kriteria utama untuk pelanggaran penindasan TC
(Langos, 2012), yang lain mengamandemen definisinya istilah yang
diterapkan pada bullying tradisional saat diterapkan pada mitra TC-
nya. Misalnya, penggambaran telah dibuat antara penindasan TC oleh
satu pengganggu menjadi satu korban, satu korban dengan beberapa
pengganggu, dan bentuk "serial" dari penindasan TC, satu bully
dengan banyak korban (Huntingdon & Petherick, 2013). Di sini jelas
itu pengulangan mengacu pada nomor korban dan pelaku. Beberapa
peneliti membatasi istilah tersebut pengulangan ke jumlah pesan yang
dikirim (Gradinger, Strohmeier, & Spiel, 2009) ke korban atau
ditransmisikan ke orang lain. Dracic (2009) menyarankan bahwa agar
perilaku menjadi dianggap berulang-ulang, itu harus perilaku yang
sama yang diulang, sehingga menambahkan lapisan tipologis
tambahan untuk membangun ini.
Langos (2012) berpendapat bahwa, karena sifat dunia maya,
elemen pengulangan paling baik dibingkai dalam dua bentuk bullying
dikotomi yang telah terjadi diterapkan pada intimidasi tradisional:
penindasan langsung dan tidak langsung (cyber). Di sini para penulis
lihat definisi Brenner dan Rehberg (2009) di mana penindasan TC
langsung terjadi secara pribadi, melibatkan komunikasi yang terbatas
dan hanya diakses oleh pelaku dan korban. Bullying tidak langsung, di
sisi lain, terjadi di "cyber public arena" di tempat-tempat di mana
informasi tidak terbatas atau dapat diakses publik seperti itu seperti
pada "blog publik, Facebook, atau melalui situs web berbagi video"
(Langos, 2012, p. 286). Tentu saja ini adalah laporan yang masuk akal
dari bentuk-bentuk penindasan TC ini dapat menimbulkan
kebingungan lebih lanjut ke konstruk yang sudah ambigu sebagai
penjelasan ini sangat berbeda dari rekan-rekan bullying tradisional
mereka. Secara khusus, ketika terkait dengan bullying tradisional,
istilah tidak langsung dan langsung biasanya merujuk intimidasi
rahasia/relasional (pengucilan sosial, pengabaian, pemberitaan rumor
yang berbahaya, dan pengkhianat) dan intimidasi - fisik dan verbal

24 ~ Kejahatan Cyber Bullying


(seperti memukul, meninju, mendorong, mengancam, memanggil
nama) (Ang & Goh, 2010; Baldry, 2004; Law et al., 2012; Smith,
Polenik, Nakasita, & Jones, 2012; de Wit, Hirasing, & van de Wal, 2003)
daripada istilah yang berkaitan dengan aksesibilitas atau target yang
dituju informasi.
Di sinilah letak masalah dalam hal menetapkan apakah
pelanggaran TC memang, memang, ulangan. Di satu sisi, satu, atau
sejumlah pelanggar dapat menargetkan satu tunggal korban dengan
sejumlah pesan atau pos berbahaya. Di sisi lain, satu pelaku dapat
mengirim satu pesan merusak atau posting ke beberapa pihak atau ke
situs yang bisa diakses oleh khalayak lokal atau global yang besar. Di
mana masuk akal untuk mendefinisikan dua atau lebih banyak
menerima pesan sebagai berulang, itu kurang jelas bahwa istilah yang
sama dapat diterapkan ke satu posting yang dibagikan, atau satu
posting yang diakses (baik karena kecelakaan atau niat) oleh audiens
yang lebih besar. Selain itu, dalam kasus-kasus ini, korban mungkin
tidak secara langsung menerima korespondensi apa pun, tetapi
bahaya dapat terjadi karena mengetahui bahwa mereka ada atau dari
tanggapan dari penerima. Sebagai contoh, foto semi-naked adalah
diambil dengan pengetahuan penuh dan persetujuan dari korban;
kemudian dibagikan dengan yang lain yang berbagi dengan yang lain,
dan seterusnya. Penerima kemudian menanggung beban tatap muka
pencemaran di sekolah. Karena mungkin cukup beralasan bahwa
ejekan tatap muka dihasilkan dari satu pelanggaran TC tunggal, sulit
untuk membenarkan unsur pengulangan sebagai elemen kunci dan
penting dari penindasan TC dalam setiap kasus (Menesini et al., 2012;
Smith, 2011). Yang juga penting untuk diperhatikan adalah bahwa
satu insiden, jika cukup memalukan atau provokatif, mungkin melihat
korban dilecehkan tanpa henti. Perilaku yang dimulai penindasan
terjadi hanya pada satu kesempatan, tetapi aliran pada efek ini
bertahan lama dan dilakukan oleh banyak orang menuju satu sasaran.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 25


5) Provocation (Provokasi)
Penelitian telah mendukung stereotip pengganggu tradisional
sebagai sangat agresif, mandiri, dan impulsif dan tidak terintegrasi
dengan baik seperti rekan-rekan non-bully mereka tetapi lebih
terintegrasi dari korban mereka (Carrera, DePalma, & Lameiras, 2011;
Huntingdon & Petherick, 2013; Olweus, 1997). Sebagai subtipe dari
antisosial yang keras, melanggar aturan pola perilaku, mungkin
diprovokasi sebagai respons, balas dendam yang agresif terhadap
suatu stimulus eksternal (Fite, Colder, Lochman, & Wells, 2007), atau
bisa juga tidak beralasan, barangkali sarana yang digunakan seseorang
untuk diterima dalam kelompok-kelompok tertentu atau bertindak
untuk mendapatkan dari penghinaan atau penghancuran orang lain.
Para peneliti telah menguraikan ini dua model perilaku sebagai agresi
proaktif (terencana dan berorientasi pada tujuan agresi) dan agresi
reaktif (bentuk pembalasan dendam dan impulsif, tanggapan terhadap
ancaman langsung atau frustrasi) (Fite et al., 2007). Di dalam konstruk
penindasan TC, kedua bentuk agresi dapat terlihat.
Bahwa unsur provokasi tidak perlu atau tidak cukup untuk
mendefinisikan atau mengenali pelanggaran penindasan TC lebih
lanjut diilustrasikan oleh Feinberg dan Robey's (2009) tipologi
pelanggar TC, yang berbicara dengan berbagai motif mereka untuk
melakukan Peristiwa penindasan TC.
 Malaikat dendam: mengambil peran dari main hakim sendiri
yang melindungi, membela, atau membalas atas nama teman
yang telah ditindas atau ditindas maya. Ini pelaku tidak melihat
dirinya sebagai pengganggu, tetapi berpikir tindakannya adalah
pembalasan yang dibenarkan.
 Kekuasaan yang haus: (juga dikenal sebagai "pembalasan
dendam dari kutu buku") pelanggar memaksakan mereka
otoritas dan ketakutan mogok di jantung korban. Ini korban
pengganggu tatap muka yang, karena berbagai alasan (misalnya,
fisik perawakan) menghindari bullying tatap muka, merasa
kurang takut atau lebih percaya diri dunia maya.

26 ~ Kejahatan Cyber Bullying


 Rata-rata anak perempuan: biasanya mengganggu keluar dari
kebosanan atau untuk hiburan dan menyiksa mereka korban
dalam kelompok sosial.
 Tidak disengaja: jangan berpikir tentang konsekuensi dari
tindakan mereka dan membahayakan atau distress tidak
disengaja.

6) Imbalance of Power (Kekuatan Tidak Seimbang)


Bahwa korban tindakan agresif tidak dapat dengan mudah
membela diri adalah indikatif ketidakseimbangan kekuatan (Grigg,
2010; Olweus, 1997) dan elemen lain secara luas dianggap oleh
literatur sebagai termasuk dalam definisi penindasan TC. Vandebosch
dan Van Cleemput (2008) berpendapat bahwa di mana bullying terjadi
secara tradisional menetapkan disparitas kekuasaan kemungkinan
besar akan merujuk pada faktor-faktor seperti senioritas, kekuatan
fisik, atau posisi dalam suatu kelompok sosial, dalam kekuatan dunia
maya mungkin diukur dengan keahlian komputer, jumlah "teman"
yang terhubung dengan seseorang situs jejaring sosial, atau
keuntungan dapat ditemukan dengan akses ke jenis tertentu area
permainan atau ruang obrolan.
Dalam kedua kasus, apakah penindasan terjadi di ruang fisik
atau TC, viktimisasi hasil dari ketidakmampuan target untuk
merespon secara memadai. Syarat Namun, kekuasaan ketika dipanggil
untuk mendefinisikan tindakan penindasan TC, bisa agak
menyesatkan karena asosiasi historisnya dengan pelanggaran,
kekerasan atau sebaliknya, yang telah melibatkan keunggulan atau
keuntungan emosional, psikologis, atau fisik. Dalam lingkungan
telekomunikasi, viktimisasi atau kerentanan adalah lebih terkait
dengan konsep keunggulan, di mana pelanggar bisa tunduk target
untuk perilaku agresif dan berbahaya dengan potensi yang sama
untuk menakut-nakuti dan kerusakan tetapi dapat dilakukan pada
waktu yang nyaman bagi si pengganggu, dalam waktu nyata, kapan
saja waktu, dan secara anonim. Memang, di bawah penutup
anonimitas, pengganggu dapat bertindak lebih agresif daripada

Kejahatan Cyber Bullying ~ 27


mereka dalam konfrontasi tatap muka serta menghindari risiko
cedera fisik (Hinduja & Patchin, 2009; Sontage et al., 2011). Selain itu,
di mana intimidasi tradisional dapat disaksikan dan dimoderasi oleh
orang tua, guru, atau teman sebaya, penindasan TC dapat dilakukan
secara pribadi, tanpa peraturan atau konsekuensi (McDonald, 2004).
Manfaat ini untuk penindas TC lebih banyak manfaat kenyamanan,
keamanan, dan keamanan daripada manfaat daya per se dan mungkin
lebih tepat disebut sebagai keuntungan dalam mendefinisikan
konstruk penindasan TC.
Kami juga mempermasalahkan konsep ketidakseimbangan
kekuatan dalam hubungan intimidasi. Memang, banyak penindasan
yang terjadi dalam kelompok manapun adalah hasil dari semua pihak
yang memiliki kedudukan sosial dan modal sosial yang sama, dan hasil
intimidasi dari mencoba meningkatkan status sosial seseorang,
sekaligus menurunkan modal sosial orang lain. Ini dilakukan untuk
mengumpulkan atau membantu, meningkatkan social berdiri,
membangun atau meningkatkan hubungan, atau untuk mendapatkan
keuntungan atau keuntungan lainnya. Kami mengakui bahwa dalam
hal ini bullying masih tentang ketidakseimbangan kekuasaan;
Pendapat kita adalah bahwa ketidakseimbangan ini tidak harus ada
sebelum atau selama bullying event/s, dan itu benar-benar dapat
muncul pada awal bullying, baik di perencanaan atau fase
pelaksanaannya.

7) Aggression (Penyerangan)
Agresi secara luas didefinisikan sebagai perilaku yang diarahkan
pada orang lain dilakukan dengan niat untuk menimbulkan bahaya
dan dengan pemahaman bahwa perilaku akan membahayakan korban
(Baron & Richardson, 1994; Berkowitz, 1993; Bushman & Anderson,
2001; Geen, 2001). Demikian juga, kerusakan tidak disengaja tidak
dianggap sebagai agresi karena tidak ada niat. Contohnya adalah rasa
sakit saat disuntikkan dengan zat yang dimaksudkan untuk
menyembuhkan penyakit, seperti menerima insulin subkutan
suntikan; rasa sakit bukanlah niat, niat adalah tujuan yang lebih tinggi

28 ~ Kejahatan Cyber Bullying


ditingkatkan kesehatan untuk penerima. Unsur niat ini menyebabkan
kerugian dan kesulitan yang terkait dengan menetapkan niat untuk
menyebabkan kerugian dalam semua kejadian penindasan TC telah
dibahas di sini sebelumnya. Karena itu, agresi didefinisikan sebagai
membutuhkan elemen maksud tidak dapat, oleh karena itu, menjadi
komponen yang fundamental dan perlu atau deskriptif pelanggaran
TC.

8) Harassment (Pelecehan)
Istilah bullying, agresi, dan pelecehan sering digunakan secara
bergantian, tetapi mereka dapat dibedakan berdasarkan hukum dan
definisi (Mason, 2002). Meskipun diterima secara luas sebagai istilah
untuk menunjukkan gangguan atau pengulangan yang agresif atau
berulang-ulang perilaku, pelecehan mengacu pada perlakuan yang
ofensif dan diskriminatif terhadap satu orang oleh orang lain
berdasarkan karakteristik pribadi korban seperti usia, ras, agama,
orientasi seksual, cacat, atau jenis kelamin dan sanksi berdasarkan
undang-undang tentang anti diskriminasi dan kesempatan yang setara
(Earle & Madek, 1993). Pelecehan, oleh karena itu, lebih tepat
ditempatkan, untuk tujuan mengidentifikasi acara TC sebagai bagian
dari perilaku ini lebih tepat ditempatkan dalam diskusi tipologi
daripada fitur utama dari definisi menyeluruh.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, mengusulkan sebuah
istilah untuk fenomena yang secara luas diberi label sebagai cyber
bullying, agresi online, atau pelecehan internet merupakan tantangan
karena sifatnya yang lincah dan sifat volatil dari teknologi TC dan
variabilitas dan inkonsistensi oleh yang menyajikan fenomena
(Calvete et al., 2010; Låftman et al., 2013; Sabellaa et al., 2013).
Selanjutnya, penulis berpendapat bahwa ada dua kebutuhan yang
berlaku itu membutuhkan istilah yang singkat dan pragmatis; yang
pertama adalah memungkinkan orang tua, pengasuh, pendidik, dokter,
korban, dan pelanggar untuk mengenali pola perilaku TC untuk
mengintervensi, menangkap, dan mengobati. Tujuan kedua adalah
untuk memenuhi persyaratan pidana sistem peradilan (CJS), yang

Kejahatan Cyber Bullying ~ 29


harus mengatasi unsur niat untuk menyakiti, yaitu bukan elemen yang
diperlukan dalam semua pelanggaran TC. Mengenai modalitas untuk
non-tradisional bullying/agresi/pelecehan, penulis menyarankan
bahwa istilah TC memenuhi semua jarak jenis komunikasi. Namun,
memutuskan suatu istilah yang mewakili sifat pelanggaran, seperti
yang telah diilustrasikan, menimbulkan tantangan yang lebih dalam
dan rumit.
Untuk tujuan ini, penulis merekomendasikan istilah agresi,
penyerangan, atau kecerobohan diadopsi karena istilah ini mungkin
memberikan representasi yang paling inklusif dan indikatif
pelanggaran dan memenuhi kepentingan mereka yang ingin
mengidentifikasi dan memperbaiki perilaku, serta orang-orang yang
diharuskan melakukan arraign dan menuntut. Syarat agresi
memberikan unsur-unsur bahaya dan niat untuk membahayakan
target perilaku, sedangkan serangan jangka memungkinkan untuk
bahaya yang timbul dan ancaman bahaya terbuat dari sifat fisik dan
psikologis, yang dapat diatasi baik proses pidana atau perdata
(Brewer, 1994). Yang penting, dalam situasi jika niat sulit ditentukan,
pelaku dapat terbukti bertanggung jawab atas dasar itu kecerobohan
di mana, meskipun mungkin ada beberapa pemikiran terhadap
konsekuensinya dari tindakan itu, pelaku memutuskan untuk
bertindak pula. Pelaku tidak perlu, oleh karena itu, telah bertindak
dengan sengaja untuk menyakiti korban (Krone, 2004).
Para penulis mengusulkan, dalam terang diskusi ini bahwa frasa
dan akronim Agresi TC, penyerangan, atau kenekatan (TAAR)
menggantikan istilah penindasan maya, agresi online, dan pelecehan
internet.
Beberapa bentuk pencegahan yang dapat dilakukan pada kasus
cyber bullying adalah: (1) Sebelum menyebarkan informasi, sebaiknya
dilakukan pengecekan dan verifikasi terlebih dahulu. (2) Tata bahasa
dalam menggunakan media perlu diperhatikan oleh pengguna. (3)
Proses edukasi serta penerapan disiplin diri terhadap pengguna. (4)
Bimbingan orang tua, sekolah, universitas, serta lingkungan
masyarakat terhadap pengguna remaja. (5) Media sosial melakukan

30 ~ Kejahatan Cyber Bullying


kampanye anti cyber bullying secara berkala. (6) Korban harus
bersikap aktif dan melaporkan kepada pihak media sosial jika cyber
bullying terjadi (Hidajat, et al. 2015).

B. Kasus Kejahatan Cyber Bullying di Indonesia


Media sosial biasanya digunakan untuk mengunggah foto atau
menunjukkan aspirasi seseorang. Tak hanya itu saja, media sosial juga
dipakai sebagai cara untuk berekspresi dan berkomunikasi. Pengguna
media sosial semakin hari semakin bertambah. Bahkan, penggunanya
kini didominasi oleh anak-anak muda yang sangat 'melek' teknologi.
Tetapi, terlepas dari perkembangan teknologi saat ini, tak jarang
media sosial justru dijadikan media untuk mem-bully orang lain. Data
yang diperoleh UNICEF pada 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen
remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah
mengalami tindakan cyber bullying (2016). Beberapa tindakan di
antaranya adalah doxing (mempublikasikan data personal orang lain),
cyber stalking (penguntitan di dunia maya yang berujung pada
penguntitan di dunia nyata), revenge pom (penyebaran foto atau video
dengan tujuan balas dendam yang dibarengi dengan tindakan
intimidasi dan pemerasan) dan beberapa tindakan cyber bullying
lainnya.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 31


Gambar 2: Contoh Kejahatan Cyber Bullying
(https://kumparan.com/@kumparanstyle, diakses 10 Agustus 2018)

Perilaku cyber bullying itu sulit terlacak, karena pelaku tidak


terlihat dan hanya muncul dalam media sosial saja untuk mem-bully
korbannya. Kebanyakan kasus cyber bullying terjadi dalam bentuk
verbal, misalnya rumor, olok-olok, ejekan bahkan penjebolan
(cracking) akun atau ancaman fisik.
Berdasarkan Pernyataan Agus selaku Staf Ahli Cyber Crime
Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat “bahwa seseorang yang
mengalami cyber bullying umumnya juga pernah mengalami bullying
yang sama namun dengan metode yang sama, yaitu traditional
bullying. Traditional bullying adalah tindak kekerasan baik berupa
mengejek atau mengancam yang dilakukan langsung di depan
korban”. Ia juga menambahkan bahwa "ada 32 persen korban cyber
bullying merupakan korban traditional bullying. Dan bagai tidak ada
ruang aman untuk para korban cyber bullying karena mereka bisa di-
bully dimana saja (melalui media sosial) serta kapan saja".

32 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Demikian juga Martinus selaku Ketua Cyber Crimes Kepolisian
Daerah Nusa Tenggara Barat menjelaskan bahwa kejahatan cyber
bullying ini merupakan kejahatan model baru yang menyakitkan,
berikut ciri-ciri ucapan kejahatan cyber bullying model baru.

Gambar 3: Ciri-Ciri Ucapan Kejahatan Cyber Bullying Model Baru


(http://www.lupadaratan.com.html, diakses 03 Agustus 2018)

Berdasarkan gambar 4.3 di atas menunjukkan bahwa kejahatan


tidak hanya datang dari dunia nyata saja, kini muncul kejahatan yang
menyakitkan datangnya dari dunia maya. Kejahatannya berbentuk
secara virtual mulai dari penyebaran tulisan, gambar, dan audiovisual
yang mengakibatkan korban malu, tak nyaman, dan merasa terancam.
Aksi ini sedang merisaukan dan yang paling banyak merasakan ialah
para generasi millenial. Di tengah banyaknya media sosial, lahirlah
pem-bully online bernama cyber bullying yang bermodalkan iseng,
rangkaian kata-kata menyakitkan, dan bahkan akun anonim.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 33


Menurut data dari databoks, total 132 juta dari masyarakat
Indonesia pengguna internet aktif. Paling rentan yaitu di rentang
umur 10 – 24 tahun yang datang dari generasi Z dan generasi Alfa.
Kelompok umur yang paling banyak mengakses internet dan
angkanya mencapai 75,5% dari pengguna total internet.

Gambar 4: Jumlah Pengguna Internet Indonesia


(http://www.lupadaratan.com.html, diakses 03 Agustus 2018)

Faktor kejahatan cyber bullying dapat dengan mudah terjadi


karena ada rasa iri, tidak punya pencapaian, iseng, dan
mempermalukan tanpa ketahuan.
1) Iri
Iri, Ini jadi alasan yang cukup kuat mengapa bully terjadi, korban
sering sekali jadi rasa iri dari pem-bully. Pelampiasannya ialah pada
sejumlah media sosial korban, bisa saja kata-kata sindiran,
meremehkan, hingga penghinaan.

34 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Gambar 5: Sejumlah Alasan Terjadinya Cyber Bullying
(http://www.lupadaratan.com.html, diakses 03 Agustus 2018)

Berdasarkan gambar 4.5 di atas bahwa kebiasaan pelaku akan


mencari celah menjatuhkan korban, apalagi tidak berani di dunia
nyata bisa lampiaskan di dunia maya. Cukup mencari nama korban,
dan langsung serang dengan sporadis akun korban.

2) Tidak Punya Pencapaian


Di dunia maya alasan orang melakukan bully secara sepihak
akibat rasa iri hati. Iri yang paling besar ialah karena tidak punya
karya atau prestasi serupa. Caranya dengan menjelekkan hasil orang
lain secara sepihak. Tujuannya beragam dan yang pasti korban
tertekan saat membacanya. Misalnya saja korban punya prestasi
mentereng, bisa saja pelaku mem-bully setiap posting-annya atau
bahkan mengancam melalui instan messaging korban. Alhasil korban
sedikit tertekan melanjutkan pencapaian atau karya yang dimiliki.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 35


3) Iseng
Pem-bully kadang ingin menguji diri Anda dengan iseng
mengganggu dan menunggu respons yang Anda berikan. Bila Anda
menanggapi dengan serius, maka pelakunya makin merajalela. Sudah
cukup membuat harimu buruk sepanjang hari. Sebaiknya tak perlu
menggubris sesuatu yang terlihat tidak penting karena itu menguras
pikiran dan perasaan.

4) Mempermalukan Tanpa Ketahuan


Media sosial punya kemampuan ajaib salah satunya mem-bully
orang lain tanpa ketahuan siapa pelakunya. Bisa dengan menggunakan
akun media sosial palsu atau dengan menggunakan akun anonim. Jelas
itu sangat mengganggu terutama hasil posting-an Anda yang dipenuhi
komentar miring dan menjatuhkan.

Gambar 6: Akun Media Sosial Palsu Atau dengan Menggunakan Akun


Anonim

Dengan banyaknya media sosial jelas makin banyak sasaran


yang disasar tanpa ketahuan. Menurut Kelly Warner, target yang
paling besar datang dari Facebook dengan angka 84,2%, disusul
dengan Instagram 23,4% dan Twitter 21,4%. Sedangkan Instant
Messanging relatif kecil karena bersifat privasi. Jumlah yang besar
penggunanya terutama Facebook jadi sasaran empuk oleh orang lain.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)
menyebutkan, serangan yang berdampak pada 10 juta lebih identitas
terus meningkat. Tahun 2014, serangan berdampak pada 11 juta

36 ~ Kejahatan Cyber Bullying


identitas, 2015 naik menjadi 13 juta identitas, dan 2016 naik lagi
menjadi 15 juta identitas. Kominfo bahkan menyatakan, Indonesia
merupakan salah satu dari 10 besar negara-negara di dunia yang
masuk dalam target perang cyber. Dari 10 negara sasaran, Indonesia
berada di urutan kelima atau keenam. Symantec, sebuah perusahaan
perangkat lunak, dalam Internet Security Threat Report tahun 2017
melaporkan serangan terhadap jaringan internet secara global.
Semula, Indonesia berada di peringkat ke-29 pada 2015. Namun,
tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-17. Surat elektronik
(e-mail) dengan kandungan perangkat lunak perusak dari semula 1
dalam 236 surel kini menjadi 1 dalam 156 surel. Sementara laporan
Akamai State of the Internet Security pada triwulan pertama 2017
menyebut, Indonesia menempati peringkat ke-17 dalam serangan
melalui 3,2 juta permintaan laman berbahaya terhadap pelanggannya.
Michael Smith, Security Chief Technology Officer Asia Pacific & Japan
Akamai Technologies, melalui korespondensi surat elektronik
menerangkan, penyebabnya adalah populasi internet yang tinggi.
Berdasarkan riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia,
jumlahnya mencapai 132,7 juta pada 2016. Senior Director Systems
Engineering Asia Pacific Symantec Sherif El-Nabawi, beberapa waktu
lalu, juga mengatakan, serangan cyber di Indonesia meningkat karena
aktivitas penggunaan internet meningkat tajam.

Tabel 1: Perkembangan Dampak Perang Cyber di Indonesia


Deskripsi Kasus 2014 2015 2016 2017
Kejahatan cyber 11 juta 13 juta 15 juta 3,2 juta
bullying identitas identitas identitas permintaan
laman
berbahaya
Sumber: Kompas.com https://tekno.kompas.com, diakses 12 Agustus 2018.

Demikian juga laporan Badan Cyber dan Sandi Negara (BSSN),


bahwa jumlah pengguna internet dan pelanggaran cyber yang ada di
Indonesia mengalami peningkatan, hal ini sesuai dengan penjelasan
tabel berikut ini.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 37


Gambar 7: Data dari Sejumlah Lembaga Memperlihatkan, Aktivitas
Serangan Meningkat
(Harian Kompas.com)

Sheri Bauman menjelaskan beberapa alat yang dijadikan


perantara cyber bullying sebagai berikut (Marpuahjian, 2018):
1) Instan Message (IM)
Instant Message (IM) ini meliputi email dan akun tertentu di
internet yang memungkinkan penggunanya mengirimkan pesan atau
teks ke pengirim lainnya yang memiliki ID di website tersebut.
2) Chatroom
Masih berhubungan dengan Instant Message (IM) sebelumnya,
chatroom merupakan salah satu fasilitas website tertentu di mana
pengguna yang memiliki ID di sana dapat bergabung dalam satu
kelompok chatting. Di sini pelaku cyber bullying dapat mengirimkan
kata-kata gertakan di mana orang lain dalam grup chatting tersebut
dapat membaca dengan mudah, dan korban merasa tersudutkan.

38 ~ Kejahatan Cyber Bullying


3) Trash Polling Site
Mungkin ini masih jarang di Indonesia, ada beberapa pelaku
cyber bullying yang membuat poling tertentu dengan tema yang
diniatkan untuk merusak reputasi seseorang.
4) Blog
Blog merupakan website pribadi yang bisa dijadikan seperti
buku harian atau diary. Di sini pelaku bullying bebas mem-posting apa
saja termasuk konten yang mengintimidasi seseorang.
5) Bluootooth Bullying
Praktiknya dengan mengirimkan gambar atau pesan yang
mengganggu kepada seseorang melalui koneksi bluetooth yang sedang
aktif.
6) Situs Jejaring Sosial
Ini yang paling marak di Indonesia, situs jejaring sosial yang
berisi banyak fitur banyak disalahgunakan pelaku bullying dengan
mem-posting status, komentar, posting dinding, testimony, foto, dan
lain-lain yang mengganggu, mengintimidasi, menyinggung, dan
merusak citra seseorang.
7) Game Online
Cyber bullying juga banyak ditemukan pada game online. Cyber
bullying dapat terjadi pada software game di PC dengan koneksi
internet seperti Nintendo, Xbo 360, and Playstation 3. cyber bullying
ini dilakukan pada pemain yang kalah yang biasanya pemain baru dan
muda.
8) Mobile Phone
Fitur yang digunakan dalam mengintimidasi adalah
mengirimkan pesan teks atau sms, gambar, ataupun video yang
mengganggu korban.

Berdasarkan data yang diperoleh Okezone dari Direktorat


Tindak Pidana Kejahatan Siber (Dit Tipidsiber) Bareskrim Polri
sepanjang 2017, yakni Januari-Oktober, jajaran Polri di Indonesia
menangani 1.763 kasus kejahatan siber. Dari angka tersebut, polri
setidaknya sudah menyelesaikan perkara (crime clearance) cyber

Kejahatan Cyber Bullying ~ 39


crime sebanyak 835 kasus. Penyelesaian kasus itu dikategorikan dari
berkas perkara dinyatakan lengkap (P21) atau surat permohonan
penghentian proses penyidikan (SP3). Dalam data tersebut, kejahatan
siber yang paling tinggi adalah penipuan. Dalam pemaparan data itu,
sepanjang 2017 Polda Aceh menangani tiga kasus kejahatan siber,
satu kasus dengan konten pornografi dan dua perkara di kasus
penghinaan dan pencemaran nama baik. Polda Sumatera Utara
(Sumut) menangani 95 kejahatan cyber crime, dengan rincian satu
konten pornografi, satu perjudian online, 53 kasus penghinaan dan
pencemaran nama baik sebanyak, 30 kasus penipuan, dua menyebar
rasa permusuhan, enam kasus pengancaman, tiga kasus illegal access.
Dari keseluruhan, sebanyak 45 kasus telah diselesaikan. Polda
Sumatera Barat (Sumbar) menangani perkara enam konten
pornografi, satu perjudian online, 30 kasus penghinaan dan
pencemaran nama baik kasus, 65 kasus penipuan, dua kasus
penyebaran rasa permusuhan, tiga kasus pengancaman, illegal acces
empat kasus, sehingga pada tahun 2017 total kasus yang ditangani
125 dengan penyelesaian 15 kasus. Polda Sumatera Selatan (Sumsel)
menangani dua kasus konten pornografi, tujuh kasus pencemaran dan
penghinaan nama baik, 11 kasus penipuan, satu kasus defacing atau
meng-hack website badan atau perorangan. Jika ditotal Polda Sumsel
menangani 21 kasus kejahatan siber dan telah menyelesaikan 2 kasus.
Lalu, Polda Kepulauan Riau (Kepri) sepanjang 2017 menangani
sebanyak 40 kasus, rinciannya empat konten pornografi, 16 kasus
penghinaan dan pencemaran nama baik, 17 kasus penipuan, dan tiga
kasus pencurian identitas. Selanjutnya, Polda Lampung menangani
dua konten pornografi, 11 kasus pencemaran dan penghinaan nama
baik, empat kasus penipuan, satu kasus menyebarkan rasa
permusuhan, enam kasus pengancaman, dua kasus distributed denial
of service (DDOS) atau penolakan layanan secara terdistribusi dan satu
pencurian identitas. Total, Polda Lampung menangani 28 kasus
dengan tiga perkara di antaranya telah diselesaikan. (Oke Zone News,
2017)

40 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Selanjutnya, karena wilayah Indonesia memiliki 34 provinsi,
maka penelitian ini hanya memfokuskan 3 (tiga) wilayah yaitu di
provinsi Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan
hasil penelitian, menunjukkan berbagai tingkat kejahatan baik cyber
crime maupun cyber bullying, berikut diuraikan dalam bentuk tabel
dan gambar, adalah sebagai berikut:
a. Kasus Kejahatan Cyber Bullying di Provinsi Nusa Tenggara
Barat
Kejahatan Cyber Bullying di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tabel 2: Kejahatan Cyber Bullying di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
Jenis Kejahatan Cyber Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
Kasus Kasus kasus
Penipuan 35 40% 58 44% 46 40%
pencemaran 25 29% 57 43% 36 31%
Penghinaan 17 20% 3 2% 19 17%
Asusila 4 5% 4 3% 4 3%
Pengancaman 4 5% 5 4% 7 6%
Ujaran kebencian 2 2% 5 4% 3 3%
Jumlah Total 87 26.05% 132 39.52% 115 34.43%

Hasil laporan Ditreskrimsus Polda NTB 2018 jumlah kasus cyber


bullying yang ada di Indonesia khusus di Nusa Tenggara Barat pada 3
tahun terakhir ini, dapat diuraikan sebagai berikut:

Kejahatan Cyber Bullying ~ 41


50%
45%
40%
35%
30%
25%
20% 2016
15%
10% 2017
5%
0%
2018

Gambar 8: Jumlah Kasus Cyber Bullying di Kepolisian Daerah Nusa


Tenggara Barat

Data Gambar 8 di atas, menunjukkan bahwa selama 3 (tiga)


tahun terakhir kasus kejahatan cyber bullying mengalami pasang
surut, dimana pada tahun 2016 kasus penipuan melalui media
internet mencapai 40%, pencemaran nama baik 29%, penghinaan
20%, asusila 5%, pengancaman 5%, dan ujaran kebencian 2%. Di
tahun 2017 kasus penipuan melalui media internet mengalami
peningkatan mencapai 44%, pencemaran nama baik 43%, penghinaan
2%, asusila 3%, pengancaman 4%, dan ujaran kebencian 4%.
Sedangkan tahun pada tahun 2018 kasus penipuan melalui media
internet mengalami penurunan mencapai 40%, pencemaran nama
baik 31%, penghinaan 17%, asusila 3%, pengancaman 6%, dan ujaran
kebencian 3%.

b. Kasus Kejahatan Cyber Bullying di Provinsi Bali


Tabel 3: Kejahatan Cyber Bullying di Provinsi Bali
Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
Jenis Kejahatan Cyber Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
Kasus Kasus kasus
Penipuan 73 84% 98 74% 112 97%
pencemaran 45 52% 65 49% 47 41%

42 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
Jenis Kejahatan Cyber Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
Kasus Kasus kasus
Penghinaan 13 15% 17 13% 24 21%
Asusila 6 7% 6 5% 8 7%
Pengancaman 10 11% 17 13% 12 10%
Ujaran kebencian 10 11% 6 5% 8 7%
Jumlah Total 157 180% 209 36.22% 211 36.57%

Hasil laporan Ditreskrimsus Polda Bali 2018 jumlah kasus cyber


bullying yang ada di Indonesia khusus di Bali pada 3 tahun terakhir ini,
dapat diuraikan sebagai berikut:

300%
250%
200%
150%
100% Tahun 2018
50% Tahun 2017
0% Tahun 2016

Gambar 9: Jumlah Kasus Cyber Bullying di Kepolisian Daerah Provinsi


Bali

Data Gambar 4.9 di atas, menunjukkan bahwa selama 3 (tiga)


tahun terakhir kasus kejahatan cyber bullying mengalami peningkatan,
dimana pada tahun 2016 kasus penipuan melalui media internet
mencapai 84%, pencemaran nama baik 52%, penghinaan 15%, asusila
7%, pengancaman 11%, dan ujaran kebencian 11%. Di tahun 2017
kasus penipuan melalui media internet mengalami peningkatan
mencapai 74%, pencemaran nama baik 49%, penghinaan 13%, asusila
5%, pengancaman 13%, dan ujaran kebencian 5%. Sedangkan tahun

Kejahatan Cyber Bullying ~ 43


pada tahun 2018 kasus penipuan melalui media internet mengalami
penurunan mencapai 97%, pencemaran nama baik 41%, penghinaan
21%, asusila 7%, pengancaman 10%, dan ujaran kebencian 7%.

c. Kasus Kejahatan Cyber Bullying di Provinsi Sulawesi Selatan


Tabel 4: Kejahatan Cyber Bullying di Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
Jenis Kejahatan Cyber Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
Kasus Kasus kasus
Penipuan online 26 30% 45 34% 67 58%
pencemaran 29 33% 36 27% 47 41%
Penghinaan 17 20% 20 15% 27 23%
Asusila 3 3% 5 4% 8 7%
Pengancaman 4 5% 7 5% 9 8%
Ujaran kebencian 2 2% 8 6% 10 9%
Jumlah Total 87 26.05% 132 32.70% 168 45.41%

Hasil laporan Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan 2018 jumlah


kasus cyber bullying yang ada di Indonesia khusus di Sulawesi Selatan
pada 3 tahun terakhir ini, dapat diuraikan sebagai berikut:

140%
120%
100%
80%
60%
Tahun 2018
40%
20% Tahun 2017
0% Tahun 2016

Gambar 10: Jumlah Kasus Cyber Bullying di Kepolisian Daerah


Sulawesi Selatan

44 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Data Gambar 4.10 di atas, menunjukkan bahwa selama 3 (tiga)
tahun terakhir kasus kejahatan cyber bullying mengalami pasang
surut, dimana pada tahun 2016 kasus penipuan melalui media
internet mencapai 30%, pencemaran nama baik 33%, penghinaan
20%, asusila 3%, pengancaman 5%, dan ujaran kebencian 2%. Di
tahun 2017 kasus penipuan melalui media internet mengalami
peningkatan mencapai 34%, pencemaran nama baik 27%, penghinaan
15%, asusila 4%, pengancaman 5%, dan ujaran kebencian 6%.
Sedangkan tahun pada tahun 2018 kasus penipuan melalui media
internet mengalami penurunan mencapai 58%, pencemaran nama
baik 41%, penghinaan 23%, asusila 7%, pengancaman 8%, dan ujaran
kebencian 9%.
Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan (Sulsel) berencana
membentuk sub direktorat (subdit) khusus yang menangani kasus-
kasus ITE atau cyber crime. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda
Sulsel Kombes Pol Yudhiawan Wibisono menyebutkan selama 2017
terjadi peningkatan tajam pengaduan atau kejadian terkait tindak
pidana ITE. Berdasarkan data Ditreskrimsus Polda Sulsel, selama
tahun 2016 terjadi kasus tindak pidana ITE sebanyak 13 kasus dan
selesai 13 kasus. Angka itu naik tajam 80% menjadi 93 kasus dan
selesai 18 kasus selama 2017. Belum lagi kasus kejahatan dunia maya
lainnya atau cyber crime. Juga mengalami kenaikan dari 106 kasus di
2016 menjadi 171 kasus di tahun 2017. Dengan peningkatan tajam itu,
Yudhiawan mengaku Polda Sulsel sudah mestinya memiliki sub
direktorat (subdit) khusus untuk menangani perkara kejahatan dunia
maya. Apalagi selama ini Mabes Polri sudah memiliki Direktorat Cyber
Crime khusus untuk menangani laporan UU ITE. Saat ini hanya satu
Polda yang sudah memiliki subdit khusus menangani cyber crime.
“Selain Mabes Polri, baru satu polda yang khusus memiliki subdit
cyber crime jadi dikomandoi seorang AKBP (ajun komisaris besar
polisi),” jelas Yudhiawan. Sementara di Polda Sulsel, Unit Cyber Crime
masih dibawahi Subdit II Perbankan, Money Laundring dan Cyber
Crime dan dipimpin seorang perwira menengah berpangkat komisaris
polisi (kompol). “Akan diupayakan nanti pembentuk Subdit Cyber

Kejahatan Cyber Bullying ~ 45


Crime sendiri, kalau sekarang masih bagian dari unit Subdit II. Kalau
sudah disetujui Cyber Crime nanti akan menjadi subdit sendiri yang
dikomandoi pamen berpangkat AKBP karena mengingat sebegitu
banyaknya laporan, kejadian,” pungkas Yudhiawan (Sindo News Com,
2018).

Kejahatan Cyber Bullying


Tahun 2018
SULSEL

Tahun 2017

Tahun 2016
ujaran kebencian
Tahun 2018
pengancaman
NTB

Tahun 2017
asusila
Tahun 2016 Penghinaan
Tahun 2018 pencemaran
Bali

Tahun 2017 Penipuan

Tahun 2016

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Gambar 11: Kasus Cyber Bullying untuk 3 (tiga) Provinsi yaitu Bali
NTB dan Sulawesi Selatan

Gambar 4.11 di atas menunjukkan bahwa kejahatan yang terjadi


di 3 (tiga) Provinsi yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Sulawesi Selatan mengalami peningkatan setiap tahunnya mencapai
15% terutama kejahatan penipuan online mencapai tingkat yang
paling tinggi yang dilakukan dan dialami oleh masyarakat, kemudian
disusul oleh kejahatan pencemaran nama baik di media social dengan
berbagai motif maupun ciri serta symbol-simbol yang dipakai untuk
mem-bully para korbannya.

46 ~ Kejahatan Cyber Bullying


BAB III
PENGGUNAAN PRE-EMTIF, PREVENTIF,
REPRESIF POLISI TERHADAP KEJAHATAN
CYBER BULLYING

A. Peran dan Tugas Polisi


Di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Undang-Undang
Kepolisian RI menyatakan bahwa kepolisian merupakan alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat (Ricardo, 2017). Pada pasal 13 UU
tersebut juga diatur mengenai tugas pokok Kepolisian RI, yaitu;
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum; dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Ketika menjalankan tugasnya, Kepolisian RI, seperti yang
tertuang pada pasal 15 (c) UU No. 2 Tahun 2002 adalah wewenang
polisi untuk mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit
masyarakat. Dalam penelitian ini yang dikaitkan penyakit masyarakat
adalah kasus-kasus kejahatan cyber bullying.
Walaupun diorganisasikan secara berbeda-beda, namun polisi
mempunyai tugas yang hampir sama di seluruh dunia. Titik-titik
kesamaan atau benang merah itu antara lain berupa:
1. Tugas pokoknya hampir serupa yakni; menegakkan hukum
serta memelihara keamanan dan ketertiban umum.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 47


2. Mengalir dari tugas pokok itu dikenal tindakan kepolisian yang
bermakna pencegahan (preventif) dan penindakan (represif).
3. Karena sifat penugasan yang keras, maka petugas polisi dan
kepolisian umumnya harus kuat, diorganisasikan secara semi
militer, dididik, dilatih dan diperlengkapi seperti militer. Bagian-
bagian tertentu bahkan dilaksanakan lebih berat dari militer.
4. Sebagai penegak hukum di lini terdepan dari proses
pelaksanaan Criminal Justice System (CJS) atau sistem peradilan
pidana, yang berkewenangan melakukan upaya paksa dalam
tindakan represif, yang potensial menyalahgunakan wewenang
yang dipercayakan padanya, maka polisi harus diikat dengan
hukum acara yang ketat. Untuk dapat bersikap dan bertindak
santun juga harus diikat dengan etika kepolisian yang
ditegakkan dengan konsekuen dan konsisten.
5. Dalam tindakan preventif polisi berhak melakukan tindakan
diskresi. Dalam melakukan tugas prevensi itu polisi boleh
bertindak apa saja, asal tidak melanggar hukum itu sendiri.
6. Pada hakikatnya benang merah itu membentuk perilaku dan
budaya organisasi kepolisian dimana pun. Dengan demikian
tubuh dan wajah organisasi polisi dapat berbeda-beda namun
semangatnya hampir sama. Jiwa dan semangat organisasi polisi
itu pada intinya adalah pengabdian dan pelayanan pada
masyarakat. Karenanya secara moral polisi berkewajiban penuh
untuk menegakkan dan menghormati HAM.
7. Sehingga polisi dimana pun yang secara sadar tidak
menghormati HAM adalah satu pelanggaran serius (Kunarto,
1997: 100-101).
Mengenai poin kedua, Kunarto mengartikan tugas preventif
sebagai tugas yang bermakna pembinaan kepada masyarakat agar
sadar dan taat pada hukum dan memiliki daya lawan terhadap praktik
melanggar hukum atau kejahatan. Pelaksanaan tugas preventif ini
dibagi dalam dua kelompok besar:

48 ~ Kejahatan Cyber Bullying


1. Pencegahan yang bersifat fisik dengan melakukan empat
kegiatan pokok, antara lain mengatur, menjaga, mengawal dan
patroli.
2. Pencegahan yang bersifat pembinaan dengan melakukan
kegiatan penyuluhan, bimbingan, arahan, sambung, anjang sana
untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan taat hukum
serta memiliki daya cegah-tangkal atas kejahatan.
Sedangkan tugas represif adalah tugas terbatas, kewenangannya
dibatasi oleh KUHAP sehingga asasnya bersifat legalitas yang berarti
semua tindakannya harus berlandaskan hukum. Bentuk pelaksanaan
daripada tugas represif berupa tindakan penyelidikan,
penggerebekan, penangkapan, penyidikan, investigasi sampai
peradilannya.
Dalam pasal 14 UU No. 2 Tahun 2002, yang menyebut tugas
pokok polisi antara lain: (1) “membina masyarakat untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat
serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan.”
Untuk mencapai polisi yang profesional dan pemolisian yang
efektif diperlukan pemolisian yang dilandasi dengan ilmu
pengetahuan sehingga dapat menyesuaikan dengan corak masyarakat
dan lingkungan yang dihadapi. Pemolisian (Policing) adalah cara
pelaksanaan tugas polisi yang mengacu pada hubungan antara polisi
dengan pemerintahan maupun dengan masyarakat yang didorong
adanya kewenangan, kebutuhan serta kepentingan baik dari pihak
kepolisian, masyarakat maupun dari berbagai organisasi lainnya
(Findlay, Mark & Ugljesa Zvekic, 1993).

B. Kedudukan dan Fungsi Kepolisian


Berkenaan dengan tugas kepolisian dalam penegakan hukum
yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, ada yang berpendapat
bahwa penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/
pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dan

Kejahatan Cyber Bullying ~ 49


sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup untuk mencapai kondisi demikian, hukum harus
tegak, dan supaya hukum dapat tegak dengan baik, maka salah satu
syarat diantaranya adalah harus ada lembaga penegak hukum.
Salah satu organ yang termasuk dan melaksanakan kewenangan
lembaga penegakan hukum yang bersifat yustisial biasanya disebut
aparat. Aparat adalah orang yang dipakai untuk menjalankan
kekuasaan negara, misalnya polisi. Bagi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, penegakan hukum merupakan tugas pokok dan sebagai
profesi yang mulia serta dalam implikasinya harus berakibat pada
asas legalitas, undang-undang yang berlaku, dan hak asasi manusia.
Atau dengan kata lain harus bertindak secara profesional dan
memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak mudah
terjerumus kedalam spektrum yang dibenci masyarakat.
Profesionalisme disini harus sampai kedalam makna hakiki yang
bersifat logos, dan etos polisi yang baik dalam aspek sosial, aspek
teknis, dan terutama aspek etika yang membuat tugas itu terhormat,
terpuji, disegani, dan membanggakan.
Memperhatikan tugas yuridis Polri yang demikian luas, terlihat
bahwa pada intinya ada 2 (dua) tugas Polri di bidang penegakan
hukum, yaitu penegakan hukum di bidang peradilan pidana (dengan
sarana “penal”) dan penegakan hukum dengan sarana “non penal”.
Tugas penegakan hukum di bidang peradilan (dengan sarana penal)
sebenarnya hanya merupakan salah satu atau bagian kecil saja dari
tugas Polri. Sebagian besar tugas Polri justru terletak di luar bidang
penegakan hukum pidana (non penal) (Armawansyah, 2013).

C. Peran Kepolisian dalam Menyelesaikan Kejahatan Cyber


Bullying di Indonesia Menggunakan P2R (Pre-emtif,
Preventif dan Represif)
Peran polisi untuk mencegah kejahatan cyber bullying di
Indonesia adalah dengan melakukan upaya tindakan pre-emtif atau
upaya pencegahan dini kepada masyarakat melalui penyuluhan dan

50 ~ Kejahatan Cyber Bullying


sosialisasi dan berkampanye (Nasti, 2017). Hal serupa juga, bahwa
upaya yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menanggulangi
cyber bullying adalah upaya yang bersifat pre-emtif. Upaya Pre-emtif
dapat berupa (1) pihak kepolisian mengadakan latihan khusus serta
pendidikan kejuruan yang dilaksanakan atas kerja sama antara
Bareskrim Polri dengan para ahli Informasi Teknologi, kemudian
melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai cyber crimes.
(2) Diadakannya Kerja sama Internasional dalam pemberantasan
tindak pidana cyber bullying, dan (3) Karena teknologi informasi dan
komunikasi setiap dekade mengalami perubahan, untuk itu perlu
dilakukan peningkatan dalam menggunakan alat teknologi (Syam,
2015).
Jadi, upaya tindak pre-emtif polisi dalam mencegah cyber
bullying dapat memaksimalkan cara-cara sebagai berikut:
1) memberikan penyuluhan kepada pelajar, mahasiswa, dan
masyarakat tentang bahaya mem-bully orang lain yang
dilakukan oleh secara kelompok maupun personal.
2) menyesuaikan aturan terhadap pasal demi pasal dalam
peraturan perundangan-undangan Informasi Teknologi
Elektronik (ITE) sebagai berikut:
a) Merespon tuntutan pelapor yang dapat mengakomodir
aspirasi mereka
b) Menawarkan pemuda/pemudi menjadi duta anti cyber
bullying.
3) melibatkan organisasi kemahasiswaan dalam mengampanyekan
anti cyber bullying, selain itu dapat melibatkan organisasi sosial,
organisasi pemuda, organisasi profesi, dan organisasi pelajar.
4) melibatkan partai politik yang mampu memberikan pendidikan
kepada kader pentingnya menggunakan media internet secara
baik.
5) menetapkan secara tegas para pelaku penyebar fitnah, dan cyber
bulliet.
6) program bidang karya seni dan kreativitas berupa:
a) lomba membuat poster anti bullying

Kejahatan Cyber Bullying ~ 51


b) lomba membuat artikel ilmiah anti bullying
7) menerapkan sanksi dan hukuman minimal 5 tahun dan
maksimal 10 tahun bagi pelaku cyber bullying di Indonesia.
Selain itu, dibutuhkan juga cara menangkal sedini mungkin agar
tidak terjadi kejahatan, upaya untuk mencegah tumbuhnya keinginan
jahat dan meniadakan faktor-faktor yang sebagai penyebab timbulnya
kejahatan. Maka perlu dilakukan kegiatan seperti memperbaiki
ekonomi (pengangguran, kelaparan, mempertinggi peradaban, dan
lain- lain (Lubis & Sunarto, 2018). Cara mencegah dan mengurangi
berbagai kejahatan cyber bullying di media internet dapat
memaksimalkan etika berinternet, peran orang tua lebih intensif,
pihak kepolisian rutin melakukan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan
anti bullying, dan organisasi sosial.
1) Etika berinternet (Netiquette)
Etika berinternet merupakan perbuatan perilaku seseorang
yang dilakukan melalui alat teknologi komunikasi untuk
menyampaikan pesan dan informasi baik masalah pribadi maupun
masalah kelompok, dengan adanya alat komunikasi tersebut
memberikan nilai positif dan negatif bagi siapa pun yang
menggunakannya. Etika komunikasi di internet memiliki istilah
Netiquette.
Netiquette adalah kode etik yang mengatur cara para pengguna
internet dalam beraktivitas di internet agar apa yang dilakukan tidak
melanggar norma dan hukum yang berlaku sehingga fasilitas internet
dapat digunakan sebagaimana mestinya tanpa ada pihak yang
dirugikan karenanya (Surniandari, 2018). Pedoman ini berfungsi
mengarahkan dan mengatur tata cara interaksi dalam memberikan
komentar dan mengirim pesan di internet yang ada di fitur facebook,
line, instagram, email, dan twitter.
2) Peran orang tua
Peran orang tua lebih intensif lagi dalam memberikan
kebebasan menggunakan media internet. Beberapa langkah-langkah
orang tua dalam mengontrol penggunaan media internet oleh
anaknya, yaitu:

52 ~ Kejahatan Cyber Bullying


a. Memberikan pendidikan agama yang lebih
b. Memberikan batasan waktu dalam menggunakan handphone
dan waktu belajar
c. Mengontrol siapa teman pergaulan di media social
d. Memiliki akun media social milik anaknya seperti facebook,
twitter, email, line dan instagram untuk memudahkan
pengecekan setiap waktu
e. Memberikan pemahaman pentingnya hidup bertoleransi di
media internet
f. Memiliki sikap kritis terhadap akun-akun di media internet yang
berindikasi ada pesan penghinaan, pengancaman, cyber bullying
dan ujaran kebencian.
Demikian juga pandangan lain, bahwa para orang tua perlu
dengan tegas melarang anaknya yang belum cukup umur untuk
tergabung dalam media sosial seperti Facebook dan Instagram.
Pengguna internet perlu diberi informasi yang memadai tentang etika
berinternet atau netiket, berbagai bentuk perundungan siber, dan
pemahaman bahwa perundungan siber adalah sesuatu yang salah
(Rastati, 2016).
3) Aparat kepolisian rutin melakukan kegiatan sosialisasi dan
penyuluhan anti bullying di sekolah, kampus/instansi dan
masyarakat
Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan anti-bullying oleh aparat
sipil kepolisian dapat laksanakan di sekolah, kampus/instansi dan
masyarakat.
a. Sekolah
Kegiatan sosialisasi di sekolah merupakan bentuk
pendekatan polisi untuk memberikan penyuluhan secara dini
kepada para pelajar tentang bahaya cyber bullying dan sekaligus
mengampanyekan anti bullying (stop bullying) di kalangan
remaja. Sekolah-sekolah yang dijadikan sasaran adalah mulai
sekolah tingkat SD, SMP dan SMA. Untuk kegiatan penyuluhan
dilakukan dengan cara memberikan pelatihan kepada guru-guru
yang memiliki hubungan lebih dekat dengan siswa dan siswa di

Kejahatan Cyber Bullying ~ 53


sekolah. Karena di masa mendatang mereka bertugas memban-
tu polisi untuk menjadi fasilitator untuk mengidentifikasi
kejahatan cyber bullied, dampak bullying bagi perkembangan
anak, deteksi dini, pelaporan dan penangan bullying baik dari
individu maupun sistemik (Aliah B. Purwakania Hasan, Masni
Erika Firmiana, Emmalia Sutiasamita, 2013).
b. Kampus/instansi
Kegiatan sosialisasi di kampus/instansi yang telah
laksanakan polisi untuk mencegah cyber bullying adalah menjadi
narasumber dalam kegiatan seminar nasional maupun
internasional yang dilakukan oleh perguruan tinggi,
menyampaikan kepada dosen dan karyawan tentang dampak-
dampak perilaku cyber bullying, dan melakukan kajian dalam
satu forum misalnya forum group discussion yang berkaitan
khusus tentang cyber. Karena, dosen memiliki kemampuan
untuk mengetahui simbol-simbol cyber/techno bullying dan
mereka juga ikut terlibat untuk menangani campur tangan para
bullies dan bullied (Glasner, 2010). Selain itu juga polisi
mengajak mahasiswa dan berbagai organisasi kemahasiswaan
untuk mendorong mengawasi bersama-sama kejahatan cyber-
bullying serta mengampanyekan anti bullying di kampus dengan
cara menggunakan poster, web kampus dengan tulisan “stop
cyber bullying”.
c. Masyarakat
Upaya polisi dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat
yaitu pendekatan langsung dengan pengelola warnet melalui
website pemerintah (pihak kelurahan/desa, kecamatan,
kabupaten/walikota dan provinsi) untuk mem-posting pesan-
pesan terkait tentang anti cyber bullying (stop cyber bullying)
dan dampak yang terjadi bagi si korban cyber bullying serta cara
mencegahnya. Pencegahan cyber bullying di masyarakat adalah
mengenali karakter dari pelaku cyber bullying, tidak mudah
percaya dengan berita hoax, tidak menyebarluaskan berita hoax
kepada masyarakat, menyelidiki kebenaran dari berita hoax

54 ~ Kejahatan Cyber Bullying


tersebut, melakukan pengaduan ke pihak aparat penegak
hukum.
Untuk mencegah kejahatan cyber bullying tidak hanya pihak
kepolisian tetapi juga menjadi tanggung jawab stakeholder yang
lain termasuk orang tua, sekolah, masyarakat, para penegak
hukum dan lain sebagainya. Masing-masing stakeholder
memiliki tugas untuk memerangi supaya cyber bullying ini dapat
dicegah dan dihentikan. Untuk itu dibutuhkan juga kerja sama
dari semua pihak yang terkait ini (Rahayu, 2012).
4) Peran organisasi social membantu aparat kepolisian dalam
mencegah kejahatan cyber bullying
Peran organisasi social dalam mencegah cyber bullying yakni
memperhatikan etika dalam berkomunikasi, menyampaikan berita
positif di media social, saling mendukung satu sama lain, tidak saling
menghujat antar satu dengan yang lain, bersikap empati terhadap
sesama, dan bertoleransi. Karena, pelaku bullying melakukan bullying
dikarenakan memiliki kemampuan empati yang rendah.
Ketidakmampuan pelaku untuk berempati menyebabkan mereka
kurang mampu untuk melihat dari sudut pandang orang lain,
mengenali perasaan orang lain dan menyesuaikan kepeduliannya
dengan tepat. Kurangnya empati dari pelaku menyebabkan pelaku
kurang memahami kondisi korban, tidak peduli dengan korban dan
cenderung melakukan tindakan mem-bully pada korban (Rachmah,
2014).
5) Strategi pre-emtif cyber bullying di media sosial
Adapun strategi pre-emtif cyber bullying di media sosial, adalah
sebagai berikut: (1) jangan menerima permintaan pertemanan dari
orang yang tidak dikenal di media sosial dan orang- orang yang
terindikasi kerap melakukan perundungan baik di dunia nyata
maupun siber, (2) gunakan filter atau penyaring untuk surel,
panggilan masuk di telepon genggam, dan sms, (3) hindari
mengunggah dan mengirimkan gambar tidak senonoh kepada siapa
pun di dunia siber, (4) tidak disarankan menyampaikan semua
informasi diri di profil media internet agar tidak terjadi pencurian

Kejahatan Cyber Bullying ~ 55


identitas yang mengarah pada pembuatan akun palsu dari pihak yang
tidak bertanggung jawab. (5) Jangan terpancing untuk memberikan
respons pada apapun di media sosial yang mengarah pada
pertengkaran daring dan posting-an yang bernada negatif, serta, (6)
tidak disarankan memberitahukan kata sandi media internet yang
dimiliki kepada siapa pun (Rastati, 2016).
Peran orang tua juga sangat penting untuk mengontrol perilaku
anaknya di media internet, jika anaknya memiliki akun twitter,
facebook, instagram dan line orang tua harus mengecek
perkembangan akun anaknya, ini dilakukan untuk menghindari dari
adanya posting-an yang berkarakter pencemaran nama baik,
penghinaan, penipuan, mem-bully orang lain. Hal tersebut senada juga
dengan beberapa pendapat menjelaskan bahwa setiap orang tua perlu
dengan tegas melarang anaknya yang belum cukup umur untuk
tergabung dalam media sosial seperti Facebook dan Instagram.
Pengguna internet perlu diberi informasi yang memadai tentang etika
berinternet atau netiket, berbagai bentuk cyber bullying, dan
pemahaman bahwa cyber bullying adalah sesuatu yang salah (Rastati,
2016).
Bahwa cyber bullying di media internet dapat mengetahui
identitas asli si pengguna media internet dan mengetahui juga isi
komentar dan percakapan baik secara offline maupun online. Hasil
penelitian mengungkap bahwa (1) adanya diskusi pada akun tersebut
terjadi secara dua arah dari yang kontra sampai pro terhadap cyber
bullying dan untuk beberapa kasus hal ini terbukti, (2) adanya
kecenderungan memunculkan cyber bullying melalui komentar. (3)
interaksi yang terjadi pada kejahatan cyber bullying dilakukan oleh 2
orang yang beridentitas palsu (Nasrullah, 2015).
Untuk mengurangi dan mencegah kejahatan cyber bullying,
maka pihak kepolisian dapat menggunakan upaya-upaya sebagai
berikut:

56 ~ Kejahatan Cyber Bullying


1. Pre-emtif Polisi dalam Mencegah Secara Dini terhadap
Kejahatan Cyber Bullying
Pre-emtif (penangkalan) dalam penanggulangan kejahatan cyber
bullying di Indonesia meliputi: (1). Pada level Mabes Polri menyiapkan
materi pembekalan meliputi: (a). Mekanisme kerja kejahatan cyber
bullying tingkat Internasional maupun nasional; (b). Komunikasi sosial
yang aplikatif sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia; (c).
Interpersonal skill yang aplikatif sesuai ancaman yang aktual dan
kondisi masyarakat Indonesia; (2). Pada level Polda menyiapkan
tenaga Instruktur yang memiliki kemampuan pengetahuan dan
keterampilan tentang kejahatan cyber bullying, Komunikasi sosial
maupun pengetahuan teknis Kepolisian disamping keterampilan
perorangan (Interpersonal skill), untuk disampaikan kepada Personel
Polri di jajaran Polres sampai Pos Pol; (3). Pada level Polres
menyiapkan personel Polres, sampai Pos Pol yang akan ditugaskan
untuk berperan dalam upaya meningkatkan dukungan nyata dari
publik dan Responsivitas publik maupun partisipasi sosial, dalam
rangka penangkalan dan pencegahan kegiatan terorisme; (4).
Pelaksanaan pelatihan dilakukan secara periodik di Polres ataupun
Polsek yang ditunjuk; (5). Hasil pelatihan dilakukan analisa dan
evaluasi secara periodik di Polres maupun Polda sesuai dengan
perkembangan kegiatan cyber crimes (Kuba, 2017).
Efektifnya kegiatan pre-emtif polisi dalam mencegah dini
kejahatan cyber bullying, dapat dilakukan beberapa hal: 1). Membina
dan memelihara ketenteraman dan ketertiban dan perlindungan
masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kejahatan
karena perbuatan manusia termasuk dalam hal ini kewaspadaan akan
penipuan maupun pengancaman terhadap seseorang; 2).
Mengkoordinasikan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama,
tokoh pemuda, anggota satlinmas, anggota Polmas dan elemen
masyarakat lainnya dalam kegiatan di bidang ketenteraman,
ketertiban dan perlindungan masyarakat, dengan meningkatkan
kewaspadaan dini masyarakat terutama di tingkat desa dan maupun
kelurahan (Setiabudhi, Artha, Rasmadi, & Putra, 2018).

Kejahatan Cyber Bullying ~ 57


Selain itu, untuk mendeteksi kejahatan di internet, ada beberapa
lembaga yang bisa mendeteksi kejahatan di internet di dunia (Shipley,
Bowker, Shipley, & Bowker, 2014), berikut ini adalah:
a. Internet Crime Complaint Center
Internet Crime Complaint Center (ICCC) membantu
mendeteksi pola yang mungkin mencerminkan nexus lokal
sebagai lawan dari satu di seluruh dunia. Misalnya, jika lima
korban dalam satu komunitas melaporkan hal serupa. Kejahatan
internet terjadi pada mereka, berkomunikasi secara berulang-
ulang yang dapat mengungkapkan mereka semua miliki
beberapa informasi yang mengarah ke tersangka yang
bersangkutan.
b. National Center for Missing and Exploited Children
Misi National Centre for Missing and Exploited Children
(NCMEC) adalah untuk membantu mencegah penculikan anak
dan eksploitasi seksual, menemukan anak yang hilang, dan
membantu korban penculikan anak dan eksploitasi seksual,
keluarga mereka, dan profesional yang melayani mereka. Selain
itu, ia menyediakan garis cybertip, memungkinkan penyedia
layanan publik dan elektronik memiliki kemampuan untuk
melaporkan terkait Internet eksploitasi seksual anak
(www.cybertipline.com).
Cybertips ini diteruskan ke lembaga penegak hukum yang
berpartisipasi, terutama peserta ICAC. Akhirnya, NCMEC
menyediakan banyak sumber daya yang dapat digunakan untuk
menyesuaikan Internet presentasi keselamatan.
c. US Federal Trade Commission
Federal Trade Commision (FTC) bertujuan “. . . untuk
mencegah bisnis praktik yang bersifat anti kompetitif atau
menipu atau tidak adil bagi konsumen; untuk meningkatkan
memberitahukan konsumen dan pemahaman publik tentang
proses persaingan; dan untuk mencapai ini tanpa membebani
kegiatan bisnis yang sah. Jadi adanya Federal Trade Commision
(FTC) menjadi lembaga yang mengawasi perkembangan kasus-

58 ~ Kejahatan Cyber Bullying


kasus Internet di mana perusahaan atau individu telah terlibat
dalam praktik penipuan atau penipuan online.
Selain itu, FTC sangat aktif dalam mengidentifikasi pencurian,
tentang hal-hal berikut:
1) Sumber daya untuk belajar tentang pencurian identitas,
termasuk informasi terperinci untuk membantu individu
menghalangi, mendeteksi, dan membela diri terhadap
pencurian identitas.
2) Lokasi online tempat konsumen dapat mengajukan keluhan
pencurian identitas.
3) Pemeliharaan Identitas Pencurian Data Identitas FTC.
d. International Consumer Protection and Enforcement
Network and E-Consumer
International Consumer Protection and Enforcement
Network and E-Consumer (ICPEN) tergabung 50 negara di
dunia, adalah sebagai berikut: Australia, Austria, Azerbaijan,
Barbados, Belgium, Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia,
Costa Rica, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Dominican
Republic, El Salvador, Egypt, Estonia, European Commission,
Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Ireland, Israel, Italy,
Japan, Republic of Korea, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta,
Mexico, the Netherlands, New Zealand, Nigeria, Norway,
Panama, Papua New Guinea, Philippines, Poland, Portugal,
Seychelles, Slovakia, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United
Kingdom, United Nations, the United States, and Vietnam.
Forum ini bertujuan melaporkan keluhan konsumen tentang
transaksi online dan terkait dengan perusahaan asing. Laporan-
laporan ini masuk ke Consumer Sentinel, database yang dikelola
oleh FTC. Data dapat diakses oleh penegak hukum resmi dan
badan pengatur di semua negara anggota ICPEN.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 59


2. Preventif Polisi dalam Pencegahan Kejahatan Cyber
Bullying
Kejahatan pada dasarnya menimbulkan dampak negatif, baik
terhadap individu maupun masyarakat. Karena itu upaya prevensi
terhadap kejahatan mutlak perlu dilakukan, yang biasa dikenal dengan
istilah crime prevention, yakni melakukan tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menghindari dan mencegah terjadinya kejahatan
(Rumadan & Rajab, 2007). Preventif polisi dilakukan untuk mencegah
pelaku potensial yang melakukan tindakan ilegal (misalnya, petugas
dalam patroli dapat secara fisik mencegah kejahatan yang sedang
berlangsung, seperti pencurian atau penyerangan) (Jamaa, 2016).
Strategis preventif yang dilakukan terhadap kejahatan cyber bullying
dapat dilakukan dengan memblokir akun-akun orang-orang yang
berkomentar pada akun Anda secara online, mengganti kata sandi,
nama pengguna atau alamat e-mail dan menghapus pesan teks anonim
tanpa membacanya (Smith et al., 2008)
Pemblokiran tersebut dilakukan untuk mengurangi jumlah
korban bullied. Pemblokiran yang dilaksanakan berupa mengubah
nomor, tidak memberikan nomor, melacak alamat IP atau memblokir
pelaku secara permanen dengan menghubungi administrator dari
berbagai situs web merupakan salah satu cara yang baik untuk
menghindari kejahatan cyber bullying, "Misalnya di ponsel…...
seseorang seharusnya tidak memberikan nomor satu kepada siapa
pun. Tetapi kadang di sedang obrolan dengan teman, saya benar-
benar tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan dalam ponsel
tersebut; "Orang yang benar-benar membuat situs obrolan dan stuff,
checks it more. Dan misalnya jika bullying occurs then one like erases
the account or like don’t get to access the home page anymore (Slonje,
Smith, & Frisén, 2013),
Strategi mengatasi kejahatan lainnya yang sering disebutkan
oleh cyber victims, bisa mengganti nama seseorang di akun daring atau
mengubah nomor telepon yang terbaru (Aricak et al., 2008); (Juvonen
& Gross, 2008);(Smith et al., 2008). Beberapa responden memilih lebih
banyak cara-cara konfrontasi online yang konfrontatif seperti

60 ~ Kejahatan Cyber Bullying


merespons online, menyuruh si pengganggu untuk berhenti (Aricak et
al., 2008) (DeHue, Bolman, & Völlink, 2008). Tentu saja masih banyak
siswa yang pesimis dalam melakukan percakapan secara online.
Umumnya, orang dewasa mendorong siswa menjadi korban untuk
memberi tahu guru atau orang tua jika mereka diganggu atau diancam
di media sosial. Langkah ini memiliki beberapa keberhasilan dalam
mencegah kejahatan bullying; meskipun banyak korban tidak mau
menceritakannya orang dewasa tentang pengorbanan mereka,
terutama siswa yang lebih tua dan anak laki-laki (Smith & Shu, 2000);
(Slonje & Smith, 2008) di Indonesia korban bullying menjadi sasaran
adalah orang dewasa dan remaja.
Di Kanada siswa banyak diantara mereka menjadi korban cyber
bullying; 74% berkata mereka akan memberi tahu seorang teman,
57% akan memberi tahu orang tua/wali dan 47% akan memberi tahu
staf sekolah. Siswa tersebut sangat minim memberitahukan kepada
orang tua dan staff di sekolah sehingga mereka jatuh secara dramatis
ketika korban ditanya apa yang sebenarnya mereka lakukan (Cassidy,
Jackson, & Brown, 2009). Sementara remaja di Belanda terdapat 13%
korban cyber bullied, 9% telah mengatakan kepada orang tua mereka,
7% tidak memberi tahu siapa pun dan hanya 2% yang memberi tahu
seorang guru (DeHue et al., 2008). Demikian pula yang diuraikan oleh
(Smith et al., 2008) ada 16% responden cyber bullied memiliki
mencari bantuan dari orang tua dan 9% dari guru. Namun studi yang
melibatkan anak-anak berusia 9–16 tahun di 25 negara berbeda
menemukan bahwa 77% dari cyber victims berbicara dengan
seseorang tentang pengalaman mereka; 52% mengatakan kepada
seorang teman, 13% mengatakan kepada saudara, 42% berbicara
dengan orang tua, 8% ke orang dewasa lain yang mereka percayai dan
7% mengatakan pada seorang guru (Livingstone, Haddon, Görzig, &
Ólafsson, 2011).
Hasil temuan lainnya bahwa siswa menganggap orang dewasa
tidak menyadari masalah; ini bisa berarti bahwa para siswa berpikir
orang dewasa tidak mampu menangani masalah dengan baik. Satu
siswa kami mewawancarai dengan jelas menyebutkan kurangnya

Kejahatan Cyber Bullying ~ 61


kesadaran ini: ‘Dapatkan orang untuk suka memperhatikannya. Saya
tidak begitu tahu caranya. . . apa cara terbaiknya. Tapi yah, bahwa
orang-orang sadar akan hal itu. . . Bahwa itu ada. Itu terjadi (Slonje &
Smith, 2008). Kegiatan preventif kejahatan cyber bullying di sekolah
dapat digunakan berbagai program kegiatan ekstrakurikuler yaitu
kegiatan kampanye anti-intimidasi seluruh sekolah, dan peningkatan
kesadaran dan kegiatan berbasis kurikulum menggunakan program
kampanye anti-bullying di Finlandia, yang termasuk kegiatan kelas
berbasis komputer, dan dukungan untuk korban dari rekan-rekan
tingkat tinggi (Ttofi & Farrington, 2011). Meskipun program ini
dirancang dengan tradisional bullying dalam pikiran, evaluasi sejauh
ini menunjukkan bahwa kampanye anti-bullying adalah sebagai efektif
dalam mengurangi penindasan maya dalam berbagai bentuk bullying
(Salmivalli, Kärnä, & Poskiparta, 2011).
Cara mencegah dan mengurangi berbagai kejahatan cyber
bullying di media internet dapat memaksimalkan etika berinternet,
peran orang tua lebih intensif, pihak kepolisian rutin melakukan
kegiatan sosialisasi dan penyuluhan anti bullying, dan organisasi
social, berikut uraiannya:
1) Etika berinternet (Netiquette)
Netiquette ini berfungsi mengarahkan dan mengatur tata cara
interaksi dalam memberikan komentar dan mengirim pesan di
internet yang ada di fitur facebook, line, instagram, email, dan
twitter (Surniandari, 2018).
2) Peran orang tua
Peran orang tua lebih intensif lagi dalam memberikan
kebebasan menggunakan media internet. Beberapa langkah-
langkah orang tua dalam mengontrol penggunaan media
internet anaknya, yaitu:
“memberikan pendidikan agama yang lebih, memberikan
batasan waktu dalam menggunakan handphone dan waktu
belajar, mengontrol siapa teman pergaulan di media social,
memiliki akun media social milik anaknya seperti facebook,
twitter, email, line dan instagram untuk memudahkan
pengecekan setiap waktu, memberikan pemahaman pentingnya

62 ~ Kejahatan Cyber Bullying


hidup bertoleransi di media internet dan memiliki sikap kritis
terhadap akun-akun di media internet yang berindikasi ada
pesan penghinaan, pengancaman, cyber bullying dan ujaran
kebencian”.
Para orang tua perlu dengan tegas melarang anaknya yang
belum cukup umur untuk tergabung dalam media sosial seperti
Facebook dan Instagram. Pengguna internet perlu diberi
informasi yang memadai tentang etika berinternet atau netiket,
berbagai bentuk perundungan siber, dan pemahaman bahwa
perundungan siber adalah sesuatu yang salah (Rastati, 2016).
3) Sosialisasi dan penyuluhan anti bullying di sekolah,
kampus/instansi dan masyarakat
a) Sekolah
Kegiatan sosialisasi di sekolah merupakan bentuk
pendekatan polisi untuk memberikan penyuluhan secara dini
kepada para pelajar tentang bahaya cyber bullying dan
sekaligus mengampanyekan anti bullying (stop bullying) di
kalangan remaja. Sekolah-sekolah yang dijadikan sasaran
adalah mulai sekolah tingkat Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Untuk
kegiatan penyuluhan dilakukan dengan cara memberikan
pelatihan kepada guru-guru yang memiliki hubungan lebih
dekat dengan siswa dan siswa di sekolah. Karena di masa
mendatang mereka bertugas membantu polisi untuk menjadi
fasilitator untuk mengidentifikasi kejahatan cyber bullied,
dampak bullying bagi perkembangan anak, deteksi dini,
pelaporan dan penangan bullying baik dari individu maupun
sistemik (Aliah B. Purwakania Hasan, Masni Erika Firmiana,
Emmalia Sutiasamita, 2013).
b) Kampus/instansi
Kegiatan sosialisasi di kampus/instansi yang telah
laksanakan polisi untuk mencegah cyber bullying adalah
menjadi narasumber dalam kegiatan seminar nasional
maupun internasional yang dilakukan oleh perguruan tinggi,
menyampaikan kepada dosen dan karyawan tentang

Kejahatan Cyber Bullying ~ 63


dampak-dampak perilaku cyber bullying, dan melakukan
kajian dalam satu forum misalnya forum group discussion
yang berkaitan khusus tentang cyber. Karena, dosen memiliki
kemampuan untuk mengetahui symbol-simbol cyber/techno
bullying dan mereka juga ikut terlibat untuk menangani
campur tangan para bullies dan bullied (Glasner, 2010).
Selain itu juga polisi mengajak mahasiswa dan berbagai
organisasi kemahasiswaan untuk mendorong mengawasi
bersama-sama kejahatan cyber bullying serta mengampanye-
kan anti bullying di kampus dengan cara menggunakan
poster, web kampus dengan tulisan “stop cyber bullying”.
c) Masyarakat
Upaya polisi dalam melakukan sosialisasi kepada
masyarakat yaitu pendekatan langsung dengan pengelola
warnet melalui website pemerintah (pihak kelurahan/desa,
kecamatan, kabupaten/walikota dan provinsi) untuk mem-
posting pesan-pesan terkait tentang anti cyber bullying (stop
cyber bullying) dan dampak yang terjadi bagi si korban cyber
bullying serta cara mencegahnya. Pencegahan cyber bullying
di masyarakat adalah mengenali karakter dari pelaku cyber
bullying, tidak mudah percaya dengan berita hoax, tidak
menyebarluaskan berita hoax kepada masyarakat,
menyelidiki kebenaran dari berita hoax tersebut, melakukan
pengaduan ke pihak aparat penegak hukum.
Untuk mencegah kejahatan cyber bullying tidak hanya
pihak kepolisian tetapi juga menjadi tanggung jawab
stakeholder yang lain termasuk orang tua, sekolah,
masyarakat, para penegak hukum dan lain sebagainya.
Masing-masing stakeholder memiliki tugas untuk memerangi
supaya cyber bullying ini dapat dicegah dan dihentikan.
Untuk itu dibutuhkan juga kerja sama dari semua pihak yang
terkait ini (Rahayu, 2012).

64 ~ Kejahatan Cyber Bullying


4) Organisasi sosial
Peran organisasi social dalam mencegah cyber bullying yakni
memperhatikan etika dalam berkomunikasi, menyampaikan
berita positif di media social, saling mendukung satu sama lain,
tidak saling menghujat antar satu dengan yang lain, bersikap
empati terhadap sesama, dan bertoleransi. Karena, pelaku
bullying melakukan bullying dikarenakan memiliki kemampuan
empati yang rendah. Ketidakmampuan pelaku untuk berempati
menyebabkan mereka kurang mampu untuk melihat dari sudut
pandang orang lain, mengenali perasaan orang lain dan
menyesuaikan kepeduliannya dengan tepat. Kurangnya empati
dari pelaku menyebabkan pelaku kurang memahami kondisi
korban, tidak peduli dengan korban dan cenderung melakukan
tindakan mem-bully pada korban (Rachmah, 2014).

3. Represif Polisi dalam Penyelesaian Kejahatan Cyber


Bullying
Represif dapat berupa (1) Pihak kepolisian mengambil tindakan
dengan mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) guna melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap tersangka cyber crime,
sehingga kemudian diproses dan diadili sesuai dengan bobot
kejahatan yang dilakukan, dan (2) dapat melakukan langkah
penyelesaian melalui restorative justice bagi korban (Syam, 2015).
Dalam melakukan penyelidikan polisi terhadap kejahatan cyber
bullying, harus pada titik paling awal dalam penyelidikan ditentukan
apa tujuan utama investigasi dilakukan, berikut ketentuannya: a)
Tetapkan bahwa pelanggaran telah dilakukan atau belum dilakukan;
b) kumpulkan semua informasi, materi, intelijen, dan bukti yang
tersedia; c) bertindak untuk kepentingan keadilan; d) secara ketat
mengikuti semua pertanyaan yang masuk akal; e) lakukan
penyelidikan menyeluruh; f) identifikasi, tangkap dan dakwa
pelanggar; dan g) sajikan semua bukti kepada pihak penuntut
(Staniforth, 2011).

Kejahatan Cyber Bullying ~ 65


Di Indonesia aturan hukum yang berkaitan dengan kejahatan
cyber bullying masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 tahun
2008 tentang Informasi Teknologi dan Elektronik pada Pasal 27 ayat
(1), ayat (2), ayat (4) dan Pasal 29. Pasal-pasal tersebut berisi tentang
larangan pendistribusian dan pentransmisian informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan perbuatan kesusilaan,
penghinaan, pencemaran nama baik, dan pengancaman (Sanda, 2016).
Pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku Cyber Bullying
adalah Pasal 310 dan 311 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang
pencemaran nama baik. Tindak pidana pencemaran nama baik dalam
KUHP diatur sebagai delik aduan dimana harus adanya suatu aduan
dari korban yang merasa telah dicemarkan nama baiknya agar si
pelaku dapat dijerat oleh pasal tersebut (Sanda, 2016). Pelaku yang
melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi Teknologi dan
Elektronik dan KUHP Pasal 310 dan 311 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Indonesia, 2008); (Ekaputra
& Kahir, 2010). Selai itu, penyelesaian kasus cyber bullying ini
mayoritas kategori Delik Aduan, delik aduan ada dua yaitu delik aduan
relatif dan delik aduan mutlak. Delik aduan relatif hanya dalam
keadaan tertentu saja merupakan delik aduan, seperti Pasal 367 ayat
(1), ayat (2) maupun ayat (3) KUHP, demikian pula dengan pasal 370
KUHP, pasal 376 KUHP dan Pasal 394 KUHP. Delik aduan mutlak
adalah delik yang dalam keadaan apapun tetap merupakan delik
aduan, seperti penghinaan (Pasal 310-319 KUHP), Pasal 284, 287, 293
dan 332 KUHP. Pengidentifikasian terhadap kasus-kasus yang
tergolong delik aduan karena inisiatif untuk meneruskan atau tidak
perkara ini ke peradilan, ditentukan oleh (terutama) korban atau
keluarganya. Korban pun dapat menghentikan perkara ini apabila
antara korban dan pelaku telah ada kesepakatan mengenai ganti
kerugian yang mesti dibayar oleh pelaku (Raharjo, 2008).
Kasus kejahatan cyber bullying di Hongkong tentang pesan yang
mengancam di-posting di Internet dan/atau dikirim sebagai pesan
teks ke ponsel terhadap korban untuk mencelakakan, melukai atau

66 ~ Kejahatan Cyber Bullying


membunuh korban bisa menjadi intimidasi kriminal. Dimana tindakan
ancaman yang relevan dilakukan dengan maksud, para pelaku dapat
dijatuhi hukuman denda sebesar HK $ 2000 dan hukuman dua tahun
penjara atas keyakinan atau lima tahun penjara atas keyakinan atas
dakwaan, di mana terdakwa dinyatakan bersalah intimidasi kriminal
dan dijatuhi hukuman penjara dua belas bulan (Ong, 2015).

Kejahatan Cyber Bullying ~ 67


DAFTAR PUSTAKA

Aliah B. Purwakania Hasan, Masni Erika Firmiana, Emmalia


Sutiasamita, S. R. (2013). Efektivitas Pelatihan Anti-Bullying
terhadap Pengetahuan Penanganan Kasus Bullying di Sekolah
pada Guru-Guru TK Jakarta, 2(2), 81–88.
Alam, S, A. 2012. Pengantar Kriminologi. Makassar: Pustaka Refleksi
Books.
Armawansyah. 2013. Tinjauan Yuridis Tentang Peran Kepolisian
Dalam Melakukan Pencegahan Penyalahgunaan Tindak Pidana
Penodaan Agama. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol 1, Ed.1
(1-11).
Brack, K., & Caltabiano, N. (2014). Cyber Bullying and Self-Esteem in
Australian Adults. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial
Research on Cyberspace, 8(2).
Barlow, J. P. (1996). Appendix 1: Crime and Puzzlement. High Noon on
the Electronic Frontier: Conceptual Issues in Cyberspace, 459.
Bednarz, A. (2004). Profiling cybercriminals: A promising but
Immature Science, Network World, November 29.
Buelga, S., Cava, M. J., & Musitu, G. (2010). Cyber Bullying: Adolescent
Victimization Through Mobile Phone and Internet. Psicothema,
22(4), 784–789.
Crosslin, K., & Crosslin, M. (2014). Cyber Bullying at a Texas University-
A Mixed Methods Approach to Examining Online Aggression.
Texas Public Health Journal, 66(3).
Computer Security Institute (CSI). CSI 2010/2011 Computer Crime
and Security Survey. Retrieved from,http://gocsi.com/survey/.
Cahyaningtyas, E. N. 2014. Peranan Kepolisian Daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta Dalam Menanggulangi Tindakan Cyber
Bullying. Skripsi, Universitas Negeri Yogyakarta.
Dye, Thomas R. 2010. Understanding Public Policy. 13th Edition. USA:
Prentice-Hall, INC., Englewood Cliffs, NJ.
D’Ovidio, R., & Doyle, J. (2003). A study on Cyber Stalking:

68 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Understanding Investigative Hurdles. FBI L. Enforcement Bull.,
72, 10.
Fahrudin, K. I. 2012. Upaya Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana
Perjudian Toto Gelap (Togel). Artikel, (online.um.ac.id/data/
artikel/artikel.pdf) diakses 21 Juni 2017).
Firmansyah, H. 2011. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana
Terorisme di Indonesia. Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23 No. 2
(237-429).
Findlay, Mark & Ugljesa Zvekic. (1993). Alternatif Gaya Kegiatan Polisi
Masyarakat. (Kunarto, penerjemah). Jakarta: Cipta Manunggal.
Glasner, A. T. (2010). On the Front Lines: Educating Teachers about
Bullying and Prevention Methods. Journal of Social Sciences,
6(4), 537–541. https://doi.org/10.3844/jssp.2010.537.541
Goodman, M. (2001). Making computer crime count. FBI L.
Enforcement Bull., 70, 10.
Hanafi. 2014. Upaya Preventif Dalam Mengantisipasi Kekerasan Atas
Nama Agama (Aliran Sesat). Jurnal Al-Ihkam, Vol. 9 No. 2 (366-
390).
Hidajat, M., Adam, Ronald A., Danaparamita, M., & Suhendrik. 2015.
Dampak Media Sosial Dalam Cyber Bullying. Jurnal ComTech,
Vol. 6 No. 1 (72-81).
Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2010). State Cyber Bullying Laws: A Brief
Review of State Cyber Bullying Laws and Policies. Cyber
Bullying Research Center.
Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2014). Bullying Beyond the Schoolyard:
Preventing and Responding to Cyber Bullying. Corwin Press.
Hauben, M., & Hauben, R. (1998). Proposed Declaration of the Rights
of Netizens. First Monday, 3(8).
Indonesia, P. K. K. U. (2015). Profil Pengguna Internet Indonesia 2014.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Maret.
Jamaa L. 2016. Matakao Sebagai Upaya Preventif dan Represif
Terhadap Tindak Pencurian Di Pulau Ambon Dalam Perspektif
Hukum Islam. Jurnal Al-Ihkam, Vol. 11 No. 1 (38-66).

Kejahatan Cyber Bullying ~ 69


Keller, M. (2012). Identifying and Preventing Cyber Bullying Among
Adolescents. Gonzaga University.
Kompas.com. 2018. "Serangan Cyber Makin Kencang, Indonesia Sudah
Siap?". https://tekno.kompas.com/read/2017/06/08/10050
037/serangan.cyber.makin.kencang.indonesia.sudah.siap,
diakses 12 Agustus 2018).
Kotval, Z. (1999). Telecommunications: A Realistic Strategy for the
Revitalization of American Cities. Cities, 16(1), 33–41.
Langos, C. (2012). cyber bullying: The Challenge to Define.
Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 15(6), 285–
289.
Lardners, R. (2012, June 29). Cybercrime Disclosures Rare Despite
New SEC Rule. San Francisco Chronicle. Retrieved from,
(http://www.sfgate.com/news/article/Cybercrimedisclosures
-scarce-despite-new-SEC-rule-3672224.php#page-1/..)
Lessig, L. (2009). Code: And other laws of cyberspace.
ReadHowYouWant. com
Lubis, U. D. W. W., & Sunarto, M. (2018). Upaya Kepolisian dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman
Melalui Media Elektronik (Studi pada Polda Lampung). Jurnal
Poenale, 6(1).
Minin, A. R. (2018). Kebijakan Kriminal terhadap Tindak Pidana
Intimidasi di Internet (Cyber bullying) sebagai Kejahatan
Mayantara (Cyber Crime). LEGALITE, 2(II), 1–18.
Mainelli, M. (2012). Learn from insurance: cyber bore. The Journal of
Risk Finance, 14(1), 100–102.
Marpuajian, 2018. Cyber Bullying. Artikel, Online,
(https://mycyberbullying.wordpress.com/author/marpuahjia
n/, diakses 18 Agustus 2018).
Muliadi, S. 2012. Aspek Kriminologis Dalam Penanggulangan
Kejahatan. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum. Volume 6 No. 1 (1-
11).
Nastiti, B. M. 2016. Kajian Kriminologi Tindak Pidana Cyber Bullying
Melalui Facebook (Studi Kasus Dimas Yulian Saputra dan Fajar

70 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Purnomo vs. Mawardi). Skripsi Universitas Sebelas Maret
Surakarta. (Online), (https://eprints.uns.ac.id/, diakses 21 Juni
2017).
Nelson, B., Choi, R., Iacobucci, M., Mitchell, M., & Gagnon, G. (1999).
Cyberterror: Prospects and implications. NAVAL
POSTGRADUATE SCHOOL MONTEREY CA.
Nasrullah, R. (2015). Perundungan Siber (Cyber Bullying) di Status
Facebook Divisi Humas Mabes Polri. Jurnal Sosioteknologi.
Retrieved from http://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/
article/view/1359
Nasti, B. (2017). Kajian Kriminologi Tindak Pidana Cyber Bullying
Melalui Facebook (Studi Kasus Dimas Yulian dan Fajar
Purnomo vs. Mawardi). Universitas Sebelas Maret.
Oke Zone News. 2017. Tahun 2017, Polisi Tangani 1.763 Kasus
Kejahatan Siber. Berita, Online (https://news.okezone.com/
read/2017/12/21/337/1833784/tahun-2017-polisi-tangani-
1-763-kasus-kejahatan-siber diakses 18 Agustus 2018).
Pandie, M. M. I. T. J. W. (2016). Pengaruh Cyber Bullying Di Media,
14(1).
Pandie, Marleni, M & Weismann, Th. J. I. 2016. Pengaruh cyber bullying
di Media Sosial Terhadap Perilaku Reaktif Sebagai Pelaku
Maupun Sebagai Korban Cyber Bullying Pada Siswa Kristen
SMP Nasional Makassar. Jurnal JAFFRAY, Vol.14, No.1(43-62).
Rachmah, D. N. (2014). Empati pada Pelaku Bullying. Jurnal Ecopsy,
1(2), 51–58.
Rahayu, F. S. (2012). Cyber Bullying sebagai Dampak Negatif
Penggunaan Teknologi Informasi. Journal of Information
Systems, 8(1), 22–31.
Randa, R., Nobles, M., & Reyns, B. (2015). Is Cyber Bullying a Stand
Alone Construct? Using Quantitative Analysis to Evaluate a
21st Century Social Question. Societies, 5(1), 171–186.
https://doi.org/10.3390/soc5010171

Kejahatan Cyber Bullying ~ 71


Rastati, R. (2016). Bentuk Perundungan Siber di Media Sosial dan
Pencegahannya Bagi Korban dan Pelaku. Jurnal Sosioteknologi,
15(2), 169–185.
RI, T. P. H. K. P. (2014). Panduan Optimalisasi Media Sosial. Pusat
Humas Kementerian Perdagangan RI.
Ryan, K. N., & Curwen, T. (2013). Cyber Victimized Students: Incidence,
impact, and intervention. SAGE Open, 3(4).
https://doi.org/10.1177/2158244013516772
Radar Pekalongan. 2016. 6 Kasus Bully Berujung Kematian. Berita
Harian. (Online) (http://radarpekalongan.com/, diakses 10
Juni 2017)
Ricardo, P. 2017. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba
Oleh Kepolisian (Studi Kasus Satuan Narkoba Polresmetro
Bekasi). Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.III Desember
2010 : 232 – 245
Septi, A 2014. Cyber Bullying. Artikel, (Online),
(https://astriisept.wordpress.com/, diakses 12 Juni 2017).
Siadari R. P. 2012. Teori Terjadinya Kejahatan dan Upaya
Penanggulangan Kejahatan. Artikel, (Online,
http://raypratama.blogspot.co.id/.html, diakses 10 Juni 2017).
Syam, A. A. 2015. Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Cyber
Bullying. Skripsi, Universitas Hasanuddin Makassar (Online),
(http://repository.unhas.ac.id/, diakses 21 Juni 2015).
Sahetapy, J. E., & Reksodiputro, B. M. (1982). Parodos dalam
kriminologi. Rajawali.
Shipley, T. G., & Bowker, A. (2013). Investigating Internet Crimes: An
Introduction to Solving Crimes in Cyberspace. Newnes.
Shoemaker, D., & Kennedy, D. B. (2009). Criminal Profiling and Cyber
Criminal Investigations. Crimes of the Internet, 439–455.
Sitompul, J. (2012). Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek
Hukum Pidana. PT Tatanusa.
Slonje, R., & Smith, P. K. (2008). Cyber Bullying: Another Main Type of
Bullying? Scandinavian Journal of Psychology, 49(2), 147–154.
Smith, P. K., Mahdavi, J., Carvalho, M., Fisher, S., Russell, S., & Tippett, N.

72 ~ Kejahatan Cyber Bullying


(2008). Cyber Bullying: Its Nature and Impact in Secondary
School Pupils. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 49(4),
376–385.
Sutherland, E. H., Cressey, D. R., & Luckenbill, D. F. (1992). Principles of
criminology. Rowman & Littlefield.
Sindo News Makassar. 2018. Pengaduan Tindak Pidana ITE
Meningkat. Berita, Online (https://makassar.sindonews.com/
read/3185/1/pengaduan-tindak-pidana-ite-meningkat-polda-
akan-bentuk-subdit-1514851309, diakses 19 Agustus 2018)
Selkie, E. M., Kota, R., Chan, Y.-F., & Moreno, M. (2015). Cyber Bullying,
Depression, and Problem Alcohol Use in Female College
Students: A Multisite Study. Cyberpsychology, Behavior, and
Social Networking, 18(2), 79–86.
Sittichai, R. (2013). Bullying and Cyber Bullying in Thailand: a Review.
International Journal of Cyber Society and Education, 6(1), 31–
44. https://doi.org/10.7903/ijcse.1032
Surniandari, A. (2018). Hatespeech Sebagai Pelanggaran Etika
Berinternet Dan Berkomunikasi Di Media Sosial. Simnasiptek
2017, 1(1), 137–142.
Syam, A. A. (2015). Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Cyber
Bullying. Universitas Hasanuddin Makassar. Retrieved from
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=en&as_sdt=
0%2C5&q=Syam%2C+A.+A.+2015.+Tinjauan+Kriminologis+T
erhadap+Kejahatan+Cyber+Bullying.+Skripsi%2C+Universitas
+Hasanuddin+Makassar+%28Online%29%2C+%28http%3A
%2F%2Frepository.unhas.ac.id%2F%2C+diakses+21+Juni+
Symantec. (2011). Nortont’s Cybercrime Report 2011. Retrieved from
,http://www.symantec.com/content/en/us/home_homeoffice
/html/ncr/..
Tosun, N. 2016. Cyberbully and Victim Experiences of Pre-service
Teachers. European Journal of Contemporary Education. Vol.
(15), Is. 1, (136-146)
Kunarto. (1997). Perilaku Organisasi Polisi. Jakarta: Cipta Manunggal.
Wahid, A., & Labib, M. (2005). Kejahatan Mayantara (cyber crime).

Kejahatan Cyber Bullying ~ 73


Refika Aditama.
Walden, I. (2007). Computer Crimes and Digital Investigations. Oxford
University Press Oxford.
Wayne, Robinson, Y. and P. (2017). Circumscribing Cyber Bullying:
Toward a Mutual Definition and Characterizations of
Aggression, Assault, and Recklessness via Telecommunications
Technology. The Psychology of Criminal and Antisocial Behavior.
Wilson, P. (1994). Heim, Michael. The Metaphysics of Virtual Reality.
COLLEGE AND RESEARCH LIBRARIES, 55, 87.
Wolfgang, M. E., Savitz, L., & Johnston, N. B. (1970). The sociology of
crime and delinquency. Wiley New York.
Walker, C. M., Sockman, B. R., & Koehn, S. (2011). An Exploratory Study
of Cyber Bullying With Undergraduate University Students.
TechTrends, 55(2), 31–38.
Utomo, D. A. (2013). Motif Pengguna Jejaring Sosial Google+ di
Indonesia. Jurnal E-Komunikasi, 1(3).

74 ~ Kejahatan Cyber Bullying


LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN


2016 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat yang demokratis
perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik agar terwujud keadilan,
ketertiban umum, dan kepastian hukum;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk
Undang-Undang tentang perubahan atas undang-
undang republik indonesia nomor 19 tahun 2016
dan undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang
informasi dan transaksi elektronik
Mengingat : 1. Elektronik; Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A,
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J
ayat (2), dan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4843);

Kejahatan Cyber Bullying ~ 75


3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 19,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5952);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4843) diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 6 dan angka 7 Pasal 1
disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 6a
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, Electronic Data
Interchange (EDI), surat elektronik (electronic

76 ~ Kejahatan Cyber Bullying


mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan
Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media
elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis,
dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi
Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau
Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,
mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah
pemanfaatan Sistem Elektronik oleh
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha,

Kejahatan Cyber Bullying ~ 77


dan/atau masyarakat.
6a. Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap
Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha,
dan masyarakat yang menyediakan, mengelola,
dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik,
baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
sama kepada pengguna Sistem Elektronik
untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan
pihak lain.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah
terhubungnya dua Sistem Elektronik atau
lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu
Sistem Elektronik yang dibuat untuk
melakukan suatu tindakan terhadap suatu
Informasi Elektronik tertentu secara otomatis
yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang
bersifat elektronik yang memuat Tanda
Tangan Elektronik dan identitas yang
menunjukkan status subjek hukum para pihak
dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan
oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah
badan hukum yang berfungsi sebagai pihak
yang layak dipercaya, yang memberikan dan
mengaudit Sertifikat Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga
independen yang dibentuk oleh profesional
yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh
Pemerintah dengan kewenangan mengaudit
dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam
Transaksi Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan

78 ~ Kejahatan Cyber Bullying


yang terdiri atas Informasi Elektronik yang
dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan
Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang
terasosiasikan atau terkait dengan Tanda
Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data
elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang
melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan
penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi
dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri
atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol,
karakter lainnya atau kombinasi di antaranya,
yang merupakan kunci untuk dapat mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para
pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang
menerima Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha,
dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan
dalam berkomunikasi melalui internet, yang
berupa kode atau susunan karakter yang
bersifat unik untuk menunjukkan lokasi
tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga

Kejahatan Cyber Bullying ~ 79


negara Indonesia, warga negara asing, maupun
badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan
atau perusahaan persekutuan, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat
lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.

2. Ketentuan Pasal 5 tetap dengan perubahan


penjelasan ayat (1) dan ayat (2) sehingga
penjelasan Pasal 5 menjadi sebagaimana
ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal
Undang-Undang ini.
3. Ketentuan Pasal 26 ditambah 3 (tiga) ayat,
yakni ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga
Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang- undangan, penggunaan setiap
informasi melalui media elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus
dilakukan atas persetujuan Orang yang
bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat mengajukan gugatan atas kerugian
yang ditimbulkan berdasarkan Undang-
Undang ini.
(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik
wajib menghapus Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
relevan yang berada di bawah kendalinya
atas permintaan Orang yang bersangkutan

80 ~ Kejahatan Cyber Bullying


berdasarkan penetapan pengadilan.
(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik
wajib menyediakan mekanisme
penghapusan Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik yang sudah
tidak relevan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai tata cara
penghapusan Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dalam peraturan pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 27 tetap dengan perubahan
penjelasan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4)
sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi
sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan
pasal demi pasal Undang-Undang ini.
5. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 31
diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atau penyadapan atas Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dalam suatu Komputer dan/atau Sistem
Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di
dalam suatu Komputer dan/atau Sistem
Elektronik tertentu milik Orang lain, baik

Kejahatan Cyber Bullying ~ 81


yang tidak menyebabkan perubahan apa
pun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan, dan/atau
penghentian Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang
sedang ditransmisikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
terhadap intersepsi atau penyadapan yang
dilakukan dalam rangka penegakan
hukum atas permintaan kepolisian,
kejaksaan, atau institusi lainnya yang
kewenangannya ditetapkan berdasarkan
undang- undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
intersepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan undang-undang.
6. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 40
disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan
ayat (2b); ketentuan ayat (6) Pasal 40 diubah;
serta penjelasan ayat (1) Pasal 40 diubah
sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan
umum dari segala jenis gangguan sebagai
akibat penyalahgunaan Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

82 ~ Kejahatan Cyber Bullying


(2a)Pemerintah wajib melakukan pencegahan
penyebarluasan dan penggunaan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang
dilarang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
(2b)Dalam melakukan pencegahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a),
Pemerintah berwenang melakukan
pemutusan akses dan/atau
memerintahkan kepada Penyelenggara
Sistem Elektronik untuk melakukan
pemutusan akses terhadap Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar
hukum.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau
institusi yang memiliki data elektronik
strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus membuat
Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya serta menghubungkannya
ke pusat data tertentu untuk kepentingan
pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur
pada ayat (3) membuat Dokumen
Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya sesuai dengan keperluan
perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat (2b), dan
ayat (3) diatur dalam peraturan

Kejahatan Cyber Bullying ~ 83


pemerintah.
7. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6),
ayat (7), dan ayat (8) Pasal 43 diubah; di
antara ayat (7) dan ayat (8) Pasal 43 disisipkan
1 (satu) ayat, yakni ayat (7a); serta penjelasan
ayat (1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik diberi
wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik.
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan perlindungan terhadap
privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan
publik, dan integritas atau keutuhan data
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan
terhadap Sistem Elektronik yang terkait
dengan dugaan tindak pidana di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum acara pidana.

84 ~ Kejahatan Cyber Bullying


(4) Dalam melakukan penggeledahan
dan/atau penyitaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib
menjaga terpeliharanya kepentingan
pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan
dari seseorang tentang adanya tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik;
b. memanggil setiap Orang atau pihak
lainnya untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi
sehubungan dengan adanya dugaan
tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik;
c. melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di
bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik;
d. melakukan pemeriksaan terhadap
Orang dan/atau Badan Usaha yang
patut diduga melakukan tindak pidana
di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat
dan/atau sarana yang berkaitan
dengan kegiatan Teknologi Informasi
yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi

Kejahatan Cyber Bullying ~ 85


Elektronik;
f. melakukan penggeledahan terhadap
tempat tertentu yang diduga
digunakan sebagai tempat untuk
melakukan tindak pidana di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan
terhadap alat dan/atau sarana
kegiatan Teknologi Informasi yang
diduga digunakan secara menyimpang
dari ketentuan peraturan perundang-
undangan;
h. membuat suatu data dan/atau Sistem
Elektronik yang terkait tindak pidana
di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik agar tidak dapat
diakses;
i. meminta informasi yang terdapat di
dalam Sistem Elektronik atau
informasi yang dihasilkan oleh Sistem
Elektronik kepada Penyelenggara
Sistem Elektronik yang terkait dengan
tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik;
j. meminta bantuan ahli yang diperlukan
dalam penyidikan terhadap tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik; dan/atau
k. mengadakan penghentian penyidikan
tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik
sesuai dengan ketentuan hukum acara
pidana.

86 ~ Kejahatan Cyber Bullying


(6) Penangkapan dan penahanan terhadap
pelaku tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
acara pidana.
(7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam melaksanakan tugasnya
memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(7a)Dalam hal penyidikan sudah selesai,
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana
Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik, penyidik dapat berkerja sama
dengan penyidik negara lain untuk berbagi
informasi dan alat bukti sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
8. Ketentuan Pasal 45 diubah serta di antara
Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang

Kejahatan Cyber Bullying ~ 87


memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
(4) Setiap Orang yang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang

88 ~ Kejahatan Cyber Bullying


memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) merupakan delik aduan.
Pasal 45A
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 45B
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa
hak mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi

Kejahatan Cyber Bullying ~ 89


ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang
ditujukan secara pribadi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

90 ~ Kejahatan Cyber Bullying


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR
251

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
Ttd

Lydia Silvanna Djaman

Kejahatan Cyber Bullying ~ 91


PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. UMUM
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan
berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan
dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi ditujukan untuk
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum
bagi pengguna dan penyelenggara sistem elektronik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi
Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk
yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan
dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan
implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa
kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor
5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.

92 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-
VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan
pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana
umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik
aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-
VIII/2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan
kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena
di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi
lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan
(regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan
diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah
berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas
hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat
wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak
privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya
dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan
pemerintah.
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk
mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1)
dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi
harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan
hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya
menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak terjadi
penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau
arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk
memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik

Kejahatan Cyber Bullying ~ 93


dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas
kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.
Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan,
penangkapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan
permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku dapat
dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.
Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan
konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan
atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman,
penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan
menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama,
ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-
nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan,
ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari
mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan
umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan
peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal
dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia
serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi
yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk
kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau
Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus
dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Untuk itu,
dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan
mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk
menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

94 ~ Kejahatan Cyber Bullying


tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang
yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menegaskan
kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan
kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan
Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara
intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah
dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan
mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 43,
dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4)
agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur
di Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan
diakui sebagai alat bukti yang sah untuk
memberikan kepastian hukum terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan
Transaksi Elektronik, terutama dalam

Kejahatan Cyber Bullying ~ 95


pembuktian dan hal yang berkaitan dengan
perbuatan hukum yang dilakukan melalui
Sistem Elektronik.
Ayat (2)
Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi
atau penyadapan atau perekaman yang
merupakan bagian dari penyadapan harus
dilakukan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi lainnya yang
kewenangannya ditetapkan berdasarkan
undang-undang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus
dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas
pada surat berharga, surat yang berharga, dan
surat yang digunakan dalam proses
penegakan hukum acara perdata, pidana, dan
administrasi negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 26
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi,
perlindungan data pribadi merupakan salah
satu bagian dari hak pribadi (privacy rights).
Hak pribadi mengandung pengertian sebagai
berikut:

96 ~ Kejahatan Cyber Bullying


a. Hak pribadi merupakan hak untuk
menikmati kehidupan pribadi dan bebas
dari segala macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat
berkomunikasi dengan Orang lain tanpa
tindakan memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk
mengawasi akses informasi tentang
kehidupan pribadi dan data seseorang.
Angka 4
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mendistribusikan”
adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik kepada banyak Orang atau
berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.
Yang dimaksud dengan “mentransmisikan”
adalah mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan
kepada satu pihak lain melalui Sistem
Elektronik.
Yang dimaksud dengan “membuat dapat
diakses” adalah semua perbuatan lain selain
mendistribusikan dan mentransmisikan
melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan

Kejahatan Cyber Bullying ~ 97


Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dapat diketahui pihak lain atau
publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada
ketentuan pencemaran nama baik dan/atau
fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ayat (4)
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada
ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
Angka 5
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau
penyadapan” adalah kegiatan untuk
mendengarkan, merekam, membelokkan,
mengubah, menghambat, dan/atau mencatat
transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik, baik menggunakan jaringan kabel
komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti
pancaran elektromagnetis atau radio
frekuensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

98 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Angka 6
Pasal 40
Ayat (1)
Fasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi,
termasuk tata kelola Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik yang aman, beretika,
cerdas, kreatif, produktif, dan inovatif.
Ketentuan ini termasuk memfasilitasi
masyarakat luas, instansi pemerintah, dan
pelaku usaha dalam mengembangkan produk
dan jasa Teknologi Informasi dan komunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu” adalah Pejabat Pegawai
Negeri Sipil kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang komunikasi dan informatika yang telah

Kejahatan Cyber Bullying ~ 99


memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “ahli” adalah
seseorang yang memiliki keahlian khusus di
bidang Teknologi Informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis
maupun praktis mengenai pengetahuannya
tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Angka 8
Ayat (6)

100 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (7a)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 45A
Cukup jelas.
Pasal 45B
Ketentuan dalam Pasal ini termasuk juga di
dalamnya perundungan di dunia siber (cyber
bullying) yang mengandung unsur ancaman
kekerasan atau menakut-nakuti dan
mengakibatkan kekerasan fisik, psikis, dan/
atau kerugian materiil.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR


5952

Kejahatan Cyber Bullying ~ 101


RIWAYAT PENULIS

Penulis 1
Abdul Sakban, S.Pd., M.Pd. Lahir di Desa ujung timur pulau
Sumbawa tepatnya tanggal 24 April 1984 di Desa Nunggi Kecamatan
Wera Kabupaten Bima. Saya dilahirkan dari keluarga sederhana yaitu
Ayahanda tercinta H. Zainudin M. Tayeb (Alm) dan Ibunda Hj. Fatimah
Idris. Anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Pendidikan: Sekolah Dasar
Inpres Nunggi (1991-1996) di Bima, Sekolah Menengah Pertama
Negeri 3 Wera (1997-1999) di Bima, Madrasyah Aliyah Negeri 2 Bima
(1999-2002) di Kota Bima. Sarjana pendidikan (S1) di Universitas
Muhammadiyah Mataram (2006-2011) di Kota Mataram Nusa
Tenggara Barat, kemudian melanjutkan pendidikan magister (S2) di
Universitas Negeri Makassar (2013-2015) di bidang Ilmu Pengetahuan
Sosial konsentrasi Pendidikan Hukum dan Kewarganegaraan.
Riwayat Pekerjaan: Sekretaris Program Studi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Universitas Muhammadiyah
Mataram (2016-2019); Bendahara Umum di Pemuda Muhammadiyah
Kota Mataram (2015-2019); Mata Kuliah yang Diampu: Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, Antropologi Budaya, Dasar-
Dasar Konsep PKn, Geopolitik, dan Wawasan Nusantara, Pengantar
IPS; Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Indonesia Wilayah Daerah Nusa Tenggara Barat
Periode 2015-2020.
Karya Ilmiah yang Pernah Dipublikasikan: (1) Pembentukan
Persepsi Masyarakat Terhadap Kredibilitas Partai Politik dan Anggota
DPRD Berdasarkan Kinerjanya Pasca Terpilihnya Kepala Daerah di
Kabupaten Bima. (2) Penerapan pendekatan deep dialog and critical
thinking terhadap penguasaan konsep siswa pada pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan tahun. (3) Analisis Korelasi
Kepemimpinan Kepala Sekolah Kinerja Guru dan Motivasi Siswa di
SMA Negeri 1 Labuapi. (4) Perubahan Sosial Terhadap Pengguna

102 ~ Kejahatan Cyber Bullying


Handphone di Kalangan Remaja Kota Mataram (Kajian Menurut
Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi). Aktif
mengikuti Seminar Nasional dan Internasional. (5) Buku pertama yang
berjudul “Pendidikan Pancasila Berbasis KKNI”. (6) Improving
Multicultural Learning Through Brainstorming Method By Students
Group Discussions In Civic Education And Pancasila Program; (7)
Penggunaan Media Word Square Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa Dengan Small Group Discussion (SGD) Pada Mata
Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SMA; (8) Implementasi Nilai
Pancasila Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia; (9) Pengembangan
Modul Pembelajaran Antropologi Budaya Dengan Pendekatan Deep
Dialogue And Critical Thinking Untuk Mahasiswa Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan; (10) Hukum Adat Samawa Sebagai Prinsip
Hidup Masyarakat Multikultural; (11) The Custom Law of Sasak as an
Intolerance Conflict Resolution in the City of Mataram.

Penulis 2
Sahrul, S.H., M.H. lahir di Dompu, 31 Desember 1981, Alamat
tinggal sekarang di Jalan Pariwisata Kapek Atas RT/RW 01/01 Desa
Gunungsari Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat.
Pendidikan: Sarjana (S1) Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Mataram (2003-2005), Magister (S2) di
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Mataram (2010-2012).
Publikasi karya ilmiah: Upaya Hukum Bank Dalam Mengatasi
Kredit Macet Pada Kredit Usaha Pedesaan Dengan Jaminan Fidusia
(Media Hukum FH UMMat); Tinjauan Yuridis Perbandingan Akad
Rahan Emas di Pegadaen Syariah Dengan Perjanjian Gadai Emas di
Pegadaian Konvensional (Media Hukum FH UMMat). Jabatan: Wakil
Dekan 2 FH Universitas Muhammadiyah Mataram, Direktur Satgas
Advokasi Pemuda Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat.

Kejahatan Cyber Bullying ~ 103

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai

  • Tugas 3
    Tugas 3
    Dokumen2 halaman
    Tugas 3
    Alfin dwi cahyani
    Belum ada peringkat
  • Tugas 5
    Tugas 5
    Dokumen6 halaman
    Tugas 5
    Alfin dwi cahyani
    Belum ada peringkat
  • Tugas 1
    Tugas 1
    Dokumen3 halaman
    Tugas 1
    Alfin dwi cahyani
    Belum ada peringkat
  • Tugas 2
    Tugas 2
    Dokumen13 halaman
    Tugas 2
    Alfin dwi cahyani
    Belum ada peringkat