115
7. OBAT GANGLION
Arini Setiawati dan Sulistia Gan
4, Pendahuluan
2, Obat yang merangsang kemudian
menghambat ganglion (nikotin)
2.4. Nikotin
2.2. Vareniklin
3. Obat yang langsung menghambat ganglion
(heksametonium)
3.1. Farmakodinamik
3.2, Farmakokinetik
3.3. Indikasi
3.4. Efek samping
3.5. Sediaan dan posologi
41, PENDAHULUAN
Transt di ganglion lebih rumit dibanding-
kan dengan transmisi di sambungan saraf-efektor.
Dengan pencatatan elektroda intrasel didapatkan
sekurang-kurangnya 4 perubahan potensial pada
perangsangan saraf preganglion (Gambar 7-1)
Perubahan potensial yang primer adalah depo-
larisasi cepat membran pascasinaps oleh ACh.
Reseptomya adalah reseptor nikotinik ganglia (Nv)
dan jalur ini sensitif terhadap penghambat heksa-
metonium (C6) dan trimetafan. Aktivasi jalur pri-
mer ini menimbulkan (1) EPSP awal (initial excita-
tory postsynaptic potential | EPSP). Depo-
larisasi cepat ini, terutama disebabkan oleh arus
Na’ dan mungkin Ca** ke dalam sel melalui kanal
reseptor nikotinik neuronal (Na), terjadi dengan masa
laten kurang dari 1 milidetik (ms) dan berlangsung
selama 10-50 ms. Jika EPSP awal ini mencapal
ambang rangsang, maka potensial aksi akan ter-
bentuk pada saraf pasca ganglion. Pada ganglia
simpatis mamalia in vivo, perlu dirangsang banyek
sinaps untuk menghasilkan transmisi yang efektif.
Perubahan potensial yang sekunder tidak
Sensitif terhadap heksametonium, dan terdiri dari
(2)IPSP (inhibitory postsynaptic potential), (3) EPSP
lambat (slow EPSP), dan (4) EPSP lambat-akhir
(late, slow EPSP), EPSP lambat ditimbulkan oleh
ACh pada reseptor muskarinik Mr dan diblok oleh
in. EPSP lambat ini memiliki masa laten yang
th panjang dan berlangsung 30-60 detik, sedang-
kan EPSP lambat-akhir berlangsung beberapa
menit, Yang terakhir ini diinisiasi oleh peptida yang
dilepaskan dari ujung saraf prasinaps atau inter-
neuron di ganglion tertentu. Peptida dan ACh
mungkin dilepaskan dari ujung saraf yang sama,
tetapi Karena peptida ini lebih stabil dibartdingACR—
maka dapat bekerja pada reseptor pascasinaps
yang letaknya lebih jauh. Kedua EPSP lambat ini
disebabkan oleh penurunan konduktan K". IPSP
terjadi akibat ACh yang dilepaskan saraf pre-
ganglion berinteraksi dengan interneuron yang me-
Agandung katekolamin sehingga terjadi penglepas-
an dopamin dan norepinefrin, yang akan berinter-
aksi dengan reseptor adrenergik « dan menimbul
kan hiperpolarisasi (|PSP) di ganglia. Studi histokimia
menunjukkan adanya sel kecil yang mengandung
DA atau NE yang berfluoresensi Kut (smal, intensely
fluorescent = SIF) dan ujung saraf adrenergik di
ganglia. Jadi IPSP diperantarai oleh reseptor mus-
karinik Mz di sel SIF dan reseptor adrenergik a di
membran pascaganglion. Karena itu !PSP ini:tidak
sensitif terhadap heksametonium tetapi dapat i-
blok oleh atropin dan a-bloker. EPSP lambat-akhir
dimediasi oleh berbagai peptida yang terdapat di
ujung saraf atau sel SIF dan dilepaskan pada
stimulasi saraf. Perubahan potensial sekunder ini
hanya memodulasi EPSP awal, yaitu dengan me-
ningkatkan atau menekan sinyal tersebut. Hambatan
jalur primer jelas menghambat transmisi ganglion,
sedangkan hambatan jalur sekunder tidak selalu
menyebabkan hambatan transmisi, Diduga jalur
sekunder ini berperan jika jalur primer gagal.116
R. a-adrenergik
Saraf preganglionik
_ nikotinik Ss .
Fata (Ns) si Ganglia,
R. muskarinik (My)
1. Obat ganglionik
merangsang > menghambat
- Niketin
-T™MA
I, Obat ganglionik -”
langsung menghambat MM, Obat. karinik
_ = C6 (heksametonium) armas ‘
+ trimetafan IV, Obat antimuskarinik
Potensial
ea Potensial aksi
are
Slow Late, slow
mv erar Isp “ “e
LN
+ Loa Peptida
Nw Nu
-100 (Jonis reseptor)
_ Milidetik ~~ Detik — Menit
Gambar 7-1. Transmisi ganglionik dan berbagai obatnya
(1) jalur primer
(2), (3), (4) jalur sekunder
I. Ii, il, IV Obat-obat yang bekerja di ganglion
R= roseptor; Nu = nikotinik neuronal; ACh = asetilkolin
EPSP = excitatory postsynaptic potential; IPSP = inhibitory postsynaptic potemtish
SIF = small intensely fluorescent; TMA = tetrametilamonium‘Obst Ganglion
17
Obat-obat yang menstimulasi kolinoseptor di
ganglion otonom dapat dibagi 2 golongan. Golongan
pertama terdiri dari obat-obat dengan spesifisitas
nikotinik, termasuk nikotin sendiri. Efek perang-
sangannya terjadi cepat, diblok oleh heksame-
tonium, dan mirip EPSP awal. Golongan kedua
terdiri dari muskarin dan metakolin. Efek perang-
sangannya timbul lambat, diblok oleh atropin, dan
mirip EPSP lambat,
Obat-obat penghambat ganglion yang be-
kerja pada reseptor nikotinik juga ada 2 golong-
an, yailu yang merangsang lalu menghambat,
dan yang langsung menghambat. Nikotin dan
tetrametilamonium (TMA) merupakan prototip golong-
an pertama, sedangkan heksametonium dan
trimetafan adalah prototip golongan kedua. Hanya
ke-2 golongan penghambat ganglion ini yang akan
dibahas pada bab ini.
2. OBAT YANG MERANGSANG
KEMUDIAN MENGHAMBAT GANGLION
2.1. NIKOTIN
Obat-obat ganglion ini bekerja seperti ACh
pada reseptor nikotinik ganglia (Ny) dan menimbul-
kan EPSP awal yang mencapai ambang rangsang
sehingga terjadi perangsangan ganglion. EPSP
(depolarisasi) yang persisten kemudian menimbul-
kan hambatan ganglion (desensitisasi kolinoseptor).
Dalam golongan ini termasuk 2 alkaloid alam,
nikotin dan lobelin, serta sejumlah senyawa sin-
tetik “onium”, dengan tetrametiiamonium (TMA) se-
bagai prototipe yang paling sederhana. Selanjutnya
hanya nikotin yang akan dibahas di sini
Nikotin penting bukan karena kegunaannya
dalam terapi tetapi karena terdapat dalam temba-
kau, bersifat toksik dan menimbulkan ketergan-
tungan psikis. Nikotin pertama kali diisolasi dari
Nicotiana tabacum oleh Posselt dan Reiman di
tahun 1828, kemudian Orfila melakukan penelitian
farmakologik di tahun 1843. Langley dan Dickinson
di tahun 1889 mendemonstrasikan bahwa tempat
kerjanya di ganglion,
KIMIA, Nikotin merupakan alkaloid alam berbentuk
cairn, tidak berwarna, suatu base yang mudah
menguap (volatile base) dengan pKa = 8,5. Zat ini
berubah warna menjadi coklat dan berbau mirip
fembakau setelah bersentuhan dengan udara.
Kadarnya dalam tembakau ¢ntars *-2%,
2.4.1, FARMAIKODINAMIK
GANGLION. Perubahan dalam tubuh setelah pem-
berian nikotin sangat rumit dan sering tidak dapat
malkan. Hal ini disebabkan kerja nikotin yang
‘sangat luas terhadap ganglion simpatis maupun.
parasimpatis dan efek bifasiknya terhadap ganglion
(merangsang dan menghambat). Takikardia misainya
dapat terjadi karena perangsangan ganglion sim-
Patis atau hambatan ganglion parasimpatis, hal
yang sebaliknya mendasari terjadinya bradikardi.
Selain itu nikotin dapat merangsang medula adre-
nal dengan akibat penglepasan katekolamin yang
menimbulkan takikardia dan kenaikan tekanan darah.
Efek yang terlinat merupakan resultante dari ber-
bagai mekanisme tersebut, ditambah lagi dengan
keadaan tonus jaringan sewaktu obat diberikan
dan refleks-refleks kompensasi tubuh.
Perangsangan ganglion terjadi dengan dosis
kecil, timbul EPSP awal yang mencapai ambang
fangsang dan menimbulkan potensial aksi; ke-
mudian dengan dosis yang lebih besar terjadi
EPSP (depolarisasi) yang persisten, yang mer
bulkan desensitisasi reseptor “senmgge tered
penghambatan ganglion. Efek bifasik ini juga ter-
lihat pada medula adrenal yang secara embriologik
merupakan suatu ganglion simpatis.
OTOT RANGKA. Perubahan yang terlihat pada otot
rangka mirip dengan apa yang terjadi pada ganglion
karena terdapat juga 2 fase. Tetapi efek perang-
sangan dengan cepat tertutup oleh efek paralisis
yang terjadi juga karena desensitisasi reseptor.
SUSUNAN SARAF PUSAT. Nikotin adalah suatu
Perangsang SSP yang kuat yang akan menimbulkan
‘tremor serta konvulsi pada dosis besar. Perangsangan
respirasi sangat jelas dengan nikotin; dosis besar
langsung pada medula oblongata, diikuti dengan
depresi; kematian akibat paralisis pusat pernapas-
an dan paralisis otot-otot pernapasan (perifer).
Nikotin menyebabkan muntah melalui kerja
sentral dan perifer. Kerja sentral melalui stimulasi
CTZ (chemoreceptor trigger zone) di area postrema
dari medula oblongata. Kerja perifer melalui stimu-
tasi saraf sensoris jalur refleks untuk muntah. Kerja
sentral di otak dan spinal melalui penglepasan
transmiter lain, yakni asam amino eksitasi, dopa-
min dan amin biogenik lainnya. Penglepasan asam
amino eksitasi menyebabkan kerja stimulasi dari
rikotin,118
Farmakologi dan Tran)
Paparan kronik terhadap nikotin menyebab-
kan peningkatan densitas reseptor nikotinik seba-
gai kompensasi terhadap desensitisasi fungsi re-
septor oleh nikotin.
SISTEM KARDIOVASKULAR. Efek pada sistem
ini merupakan resultante dari perangsangan gang-
tion simpatis dan medula adrenal serta penglepas-
an katekolamin deri ujung saraf simpatis. Setelah
Pemberian nikotin biasanya tonus simpatis lebih
jelas sehingga terlihat takikardia dan vasokonstriksi.
Merokok untuk jangka waktu lama dapat menim-
bulkan hipertensi. Sebaliknya pada beberapa orang
tertentu dapat terjadi hipotensi; hal ini terlihat pada
mereka yang mengelami hipotensi bila merokok.
SALURAN CERNA. Beriainan dengan efek terha-
dap sistem kardiovaskular, nikotin menyebabkan
Perengsangan ganglion parasimpatis dan ujung
saraf Kolinergik pada usus, sehingga tonus usus dan
peristalsis meninggi. Efek farmakodinamik ini agak-
nya mendasari kebiasaan merokok sebelum ke
kamar kecil pada individu tertentu. Mual, muntah, dan
kedang-kadang diare terlihat pada orang yang
beluim pemah terpapar nikotin sebelumnya,
KELENJAR EKSOKRIN. Salivasi yang timbul
wakiu merokok sebagian diakibatkan oleh iritasi
2s2p rokok, nemun nikotin sendiri menyebabkan
perangsangan sekresi air liur dan sekret bronkus
disusul penghambatannya.
2.4.2, FARMAKOKINETIK
Nikotin dapat diserap dari saluran napas,
rongga mulut dan kulit. Keracunan beral dilaporkan
terjadi akibat absorpsi di kulit. Absorpsi di lambung
secikit Karena sifet nikotin sebagai basa kuat.
Absorpsi di usus cukup untuk menyebabkan ke-
racunan per oral. Nikotin terutama mengalami
metabolisme di hati, tetapi juga di paru dan ginjal.
Nikotin yang diinhalasi dimetabolisme dalam jum-
lah yang berarti di paru-paru. Metabolit utamanya
ialah kotinin. Masa paruh setelah inhalasi atau
pemberian parenteral kira-kira 2 jam. Kecepatan
ekskresi melalui urin tergantung dari pH urin:
berkurang pada pH alkali dan meningkat pada pH
asam. Nikotin diekskresi melalui air susu. Kadar-
nya dalam air susu pada perokok berat dapat
mencapai 0,5 mg/L.
2.4.3, INTOKSIKAS!
INTOKSIKASI AKUT. Dilaporkan terjadi kareng
tidak sengaja menelan insektisida yang mengan.
dung nikotin atau pada anak-anak karena menelar
produk tembakau. Juga akibat penggunaan larutan
tembakau sebagai enema untuk mengeluarkar,
cacing, yang mungkin dianggap tidak berbahaya,
Dosis fatal pada manusia dewasa diperkira.
kan sekitar 60 mg. Satu batang rokok putih me.
ngandung 15-20 mg nikotin. Tiga hingga 4 batang
rokok sudah merupakan dosis fatal bila diminum,
sekaligus. Absorpsi nikotin dari tombakau yang
dimakan per oral terjadi lambat, karena terjag)
perlambatan pengosongan lambung. Nikotin yang
pertama-tama diabsorpsi akan menimbulkan efek
sentral muntah dan mengelvarkan tembakau yang
tersisa di lambung.
Gejala keracunan timbul dengan cepat, dan
kematian dapat terjadi dalam beberapa merit
Karena itu nikotin merupakan racun yang amat ber-
bahaya dan menyamai sianida dalam kecepatan
kerjanya. Pertama-tama timbul mual dan salivas)
tai dengan kolik usus, muntah dan diare,
Selanjutnya timbul keringat dingin, sakit kepala,
pusing, pendengaran dan penglihatan terganggu,
serta otot-otot menjadi lemah. Pupil menunjukkan
miosis yang kemudian berubah menjadi midriasis;
nradi lemah, cepat dan tidak teratur; tekanan dereh
turun dan pernapasan menjadi dangkal akibat
depresi sentral dan kelumpuhan otot respirasi,
yang berakhir dengan kematian
Tidak ada obat spesifik untuk keracunan
nikotin, karena itu tindakan mengatasinya hanya
simtomatik dan suportif. Bila diduga racun masi
tertinggal di lambung, bilas lambung penting sekali
dilakukan. Untuk ini dapat dipakai larutan kalium
permanganat 1 : 10,000 untuk mengoksidasi nikotin,
atau bubur arang aktif, sedangkan larutan alkalis
harus dihindarkan Karena akan meningkatkan
absorpsi nikotin. Bila pemapasan buatan dapat
dilakukan, ada kemungkinan ekskresi melalui ginjal
dapat mengakhiri keracunan, Tidak dibenarkan
menggunakan obat perangsang sentral untuk
mengatasi depresi napas.
INTOKSIKASI KRONIK. Keadaan ini biasanye
terjadi pada perokok berat. Dalam asap rokok,
nikotin tidak diserap dengan sempurna sehingg4
sebagian kecil saja mencapai aliran darah. SeleinLy
ont gon
119
xotin, masin terdapat kira-kira 500 jenis zat kimia
rixotin, rok buruk yang dihasikan pada pem-
yard PM embakau, cantaranya pirin, asam-
baker ag mudah menguap, bahan-bahan ter dan
ss21)G0, HCN, dan sebagainya, Bahan-bahan in
i Trenamban sifat toksik dari asap rokok
nt geangan ternadap Saluran rapas menyebab-
porarien mudah tersorang penyakit saluran
te? cepet fangs, dan sindrom pernapasan
nar (0mioKer respiratory synérome)
Frekuensi Karsinoma bronkus jelas lebih besar
4a pecandu roKok dibanding bukan perokok
Pangan rasio 11:1. Asap rokok merangsang kelenjar
eer dan mengurengi rasa lapar. Terhadap entung,
dapat _menyebabkan ekstrasistol_ dan
Gaardia atrium paroksismal pada beberepa
wien, frekuensi serangan nyeri jantung dapat
Paingkat pada perokoK. Penyakit Buerger mem-
punyei hubungan yang amt jelas dengan ‘merokok,
Facokonstiksi peifer terutama di daerah kulit me-
ryebabkan perasaan dingin dan ini mungkin oF
febabkan olen efek terhadap ganglion simpatis.
Perangsangan sentral oleh nikotin berupa tremor
dan insomnia, Hal yang terakhir ini mungkin terlinat
parla mereka yang banyak merokok pada malam har.
merokok
2.2. VARENIKLIN
(Lihat lampiran 1 hal. 897)
3. OBAT YANG LANGSUNG
MENGHAMBAT GANGLION
Dalam golongan ini termasuk: heksameto-
jum (C6), pentolinium (C5), klorisondamin,
mekamitamin dan trimetafan, Berbeda dengan
penghambatan oleh nikotin dan TMA, efek peng-
hembatan obat-obat golongan ini tidak didahulul
oleh perangsangan. Hambatan ini terjadi secara
Kompetitif dengan menduduki reseptor asetikolin.
Penglepasan asetikolin dari ujung serat prasinaps
tidak diganggu.
3.1, FARMAKODINAMIK
Kerja C6 dan obat-obat lain dalam golongan
'ni pada alat tubuh hampir semuanya dapat di-
‘easkan dengan penghambatan pada ganglion
simpatis dan parasimpatis. Hasil penghambatan-
nya bergantung pada tonus otonom semula;
tonus yang dominan akan dihambat lebih jelas
(Tabel 7-1), Heksametonium adalah prototip golong-
an ini. Apa yang dikatakan mengenai heksameto-
nium umumnya berlaku juga pada obat yang lang-
sung menghambat ganglion lainnya, termasuk
trimetafan yang saat ini paling sering digunakan
di Klinik.
SISTEM KARDIOVASKULAR. Arteri dan vena dk
dominasi oleh tonus simpatis, sehingga heksame-
tonium menghambat lebih nyata ganglion simpatis
dan menyebabkan vasodilatasi serta pengurangan
alir balik vena. Tekanan darah dalam sikap berdiri
dapat menurun dan menimbulkan hipotensi orto-
statik. Dalam sikap berbaring, tekanan darah tidak
begitu banyak dipengaruti.
Perubahan denyut jantung setelah pemberian
penghambat ganglion tergantung tonus semula.
Umumnya, terjadi takikardia ringan karena jantung
didominasi tonus parasimpatis. Tetapi bradikardia
dapat terjadi bila sebelumnya denyut jantung tinggi.
Pada pengobatan hipertensi dengan C6 umumnya
terjadi takikardia ringan yang timbul Sebagarefek——
kompensasi, sehubungan vasodilatasi yang terjadi
Curah jantung biasanya berkurang sebagai akibat
tethambatnya alir balk vena, tetapi pada gagal
jantung, curah jantung dapat bertambah akibat
berkurangnya tahanan perier. Pada pasien hiper-
tengi, curah jantung, curah sekuncup, dan kerja
ventrikel kiri menurun.
Tahanan perifer total _menurun, perubahan
aliran darah dan tahanan perifer berbeda pada
masing-masing pembuluh darah. Penurunan sitku-
lasi ke otak hanya terjadi bila tekanan darah turun di
bawah 60 mmHg. Aliran darah ke otot rangka tidak
berubah. Aliran darah splanknik dan ginjal menurun.
SALURAN CERNA DAN SALURAN KEMIH.
Sekresi lambung jelas berkurang sesudah peng-
obatan dengan C6; begitu juga sekresi pankreas
serta air jiur. Tonus dan peristalsis lambung, usus
keoil serta kolon dihambat sehingga keinginan
untuk defekasi tidak ada. Konstipasi merupakan
efek samping yang sangat mengganggu pada
pengobatan dengan obat golongan ini. Hambatan
ganglion parasimpatis juga mengurangi tonus
kandung kemih dan menambah kapasitasnya se-
hingga terjadi retensi urin dan kesukaran ber-
kemin,120
Farmakologi dan Terop
Tabel 7-1, DOMINASI TONUS OTONOM DAN EFEK PENGHAMBAT GANGLION DI BERBAGAI ALAT
Tempat Dominasi tonus Efek penghambat ganglion,
‘otonom
1. Kardiovaskular
+ ateriol simpatis ‘vasodilatasi, peningkatan aliran darah dan hipotensi
vena simpatis venodilatasi, pengumpulan darah di vena, penurunan alir
balik vena, penurunan curah jantung
+ Jantung : nodus SA parasimpatis takikardia
2. Mata
ins parasimpatis mmideiasis
-otot siliar parasimpatis sikloplegia
3. Saluran cerma parasimpatis tonus dan motitas menurun, Konstipasi,
sekresi lambung dan pankreas menurun
4. Kendung kemih parasimpatis retensiurin
5. Kelenjar ur parasimpatis xerostomia
6. Kelenjar keringat simpatis anhidrosis
7. Organ tua kelamin pria
= pembuluh darah parasimpatis vasodilatasi berkurang > er2ksi berkurang
dan simpatis
= ejakulasi simpatis berkurang
DD) “EFEK LAIN, Pupil umumnya akan mengatami
midriasis karena tonus parasimpatis yang lebih
dominan dalam pengaturan lebar pupil. Pada peng-
obatan dengan heksametonium, hasiinya iatah
suatu midriasis yang moderat. Kelenjar keringat
dihambat, dan pada dosis yang lebih besar, tertihat
juga efek kurariform terhadap sambungan saraf-
oot. Trimetafan dapat menyebabkan penglepasan
histamin sehingga harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien alergi.
3.2. FARMAKOKINETIK
Absorpsi oral dari obat golongan ini tidak
lengkap dan tidak terduga karena senyawa-senyawa
tersebut adalah amonium kuaterner dan sulfonium
yang bermuatan sehingga sukar melewati mem-
bran sel, dan karena hambatan pengosongan
lambung dan peristalsis usus. Oleh karena ity
dosis sukar sekali ditetapkan. Pengecualian untuk
ini ialah mekamilamin yang diserap dengan lebih
baik karena mekamilamin bukan amonium kuartemer.
Walaupun absorpsi mekamilamin lebih baik, tetap
ada bahaya penurunan aktivitas usus dengan
akibat paralisis usus.
Setelah absorpsi, ganglionik bloker bentuk
amonium kuaterner dan sulfonium akan terkumpul
di cairan ekstrasel dan diekskresi utuh melalui
ginjal. Mekamilamin terkonsentrasi dalam hati dan
ginjal dan diekskresi perlahan-lahan dalam bentuk
tidak berubah
3.3. INDIKASI
Kegunaan penghambat ganglion sebagai obat
~antihipertensi termasuk krisis hipertensi sudah usang
dan telah digantikan oleh obat-obat yang lebih
aman, Satu-satunya indikasi penghambat ganglion
dalam hipertensi ialah pada acute dissecting
aortic aneurism. Pada gangguan ini penghambat
ganglion tidak saja menurunkan tekanan dara
tetapi juga menghambat refleks simpatis dan dengan
demikian mengurangi peningkatan tekanan di
tempat lesi. Dalam situasi tersebut trimetafan
diberikan 0,3-3 mg/menit sambil dipantau tekanan
darah pasien‘Obat Ganglion
124
Indikasi lain ialah untuk mengontrol tekanan
darah selama operasi pembuluh darah, tulang,
dsb, untuk mengurangi perdarahan. Untuk ini di-
gunakan trimetafan tapi sekarang telah banyak
digantikan oleh natrium nitroprusid,
Trimetafan juga digunakan untuk mengatasi
hiperrefleksi otonom akibat cedera medula spi
ralis bagian atas yang disertai aktivitas simpatis
berlebihan. Hiperrefieksi otonom umumnya terjadi
akibat distensi kandung kemih sehubungan dengan
kateterisasi dan irigasi kandung kemih, sistoskopi
atau reseksi prostat transuretral. Karena inhibisi
refleks secara sentral tidak ada, refleks spinal
menjadi dominan.
3.4. EFEK SAMPING
Karena efek farmekodinamiknya yang luas,
maka obat ganglionik menimbulkan banyak efek
samping. Efek samping yang berat adalah hipo-
tensi berat, sinkope, konstipasi, ileus paralitk,
retensi urin, dan sikloplegia.
Efek samping yang lebih ringan ialah gang-
quan penglihatan, mulut kering, nyeri ulu hati, sukar
berkemih, konstipasi derajat sedang, diare, mual,
dan anoreksia. Gejala-gejala ini biasanya berkurang
bila pengobatan diteruskan, atau diberi obat adre-
nergik atau kolinergik, tergantung dari efek otonom
mana yang dihambat. Hal ini mungkin karena
penghambatan terjadi di ganglion sehingga sel
efektor masin dapat dirangsang. Jadi epinetrin dapat
mengatasi efek hipotensi dari C6, dan karbakol
dapat menghilangkan gejala obstipasi.
3.5. SEDIAAN DAN POSOLOGI
Mokamilamin klorida hanya terdapat dalam
bentuk tablet 2,5 mg dan 10 mg. Dosis permulaan
adalah dua kali 2,5 mg sehari, yang sesudah 48
jam ditambah sampai tercapai efek yang diinginkan-——*
Trimetafan kamsilat tersedia sebagai suntik-
an 50 mg/mL. dengan masa kerjanya kira-kira 10
menit. Obat ini diberikan dengan cara tetes intra-
vena sebagai larutan 0,1 % dalam 5 % dekstrose.
DAFTAR PUSTAKA
4. Katzung BG. Introduction to autonomic pharma-
cology. In: Katzung BG, ed. Basic & Clinical
Pharmacology. 7° ed. Ch 6. London: Prentice Hall
Int; 1998. p. 85.87.
2. Taylor P. Agents acting at the neuromuscular
junction and autonomic ganglia. In: Brunton LL, —
Lazo JS, Parker KL, eds. Goodman & Gillman’s the
Pharmacological Basis of Therapeutics. 11° ed. Ch.
New York: MeGraw-Hit; 2006. p.230-4.