Aplikasi Pesawat Tanpa Awak (Uav) - Drone Untuk Pemantauan Satwa Liar Sumantri Radiansyah
Aplikasi Pesawat Tanpa Awak (Uav) - Drone Untuk Pemantauan Satwa Liar Sumantri Radiansyah
SUMANTRI RADIANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Pesawat Tanpa
Awak (UAV)/Drone Untuk Pemantauan Satwa Liar adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Sumantri Radiansyah
NIM. E351130131
RINGKASAN
Pesawat Tanpa Awak (UAV) atau drone saat ini telah digunakan sebagai
instrumen pengambil data lapangan pada riset satwa liar. Drone dengan seperangkat
kamera (payload) mampu menghasilkan foto udara yang dapat dianalisa dan
diinterpretasikan lebih lanjut. Penelitian UAV pada satwa liar sebagian besar
menggunakan tipe pesawat (airplane/fixed wing) yang membutuhkan ruang sebagai
landasan pacu atau peluncurannya. Multirotor merupakan salah satu tipe UAV yang
cocok digunakan untuk penelitian di hutan. Drone jenis ini mampu terbang di antara
celah kanopi dan tidak membutuhkan landasan pacu.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji aplikasi quadcopter (salah satu tipe
drone multirotor) sebagai instrumen dalam pemantauan satwa liar. Selain itu juga
untuk mengukur keakuratan data yang dihasilkan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dari hasil tersebut kemudian ditentukan rekomendasi teknis
aplikasi quadcopter yang efektif, efisien dan selaras dengan regulasi serta etika
fotografi satwa liar. Persiapan dan pengembangan quadcopter dilaksanakan selama
3 Bulan (Maret – Mei 2015). Uji coba aplikasi quadcopter dilaksanakan di Kampus
IPB Dramaga, Jawa Barat selama 10 Bulan (Juni 2015 – Maret 2016). Sedangkan
aplikasi quadcopter untuk pemantauan satwa liar dilaksanakan di PT PJB UP
Paiton, Jawa Timur (April 2016) dan HCVA Perkebunan Kelapa Sawit PT AMR,
Kalimantan Tengah (Mei 2016). Analisis data dilakukan secara spasial dan statistik
deskriptif.
Uji coba penerbangan dilakukan menggunakan kamera 12 - 24 MP pada
ketinggian terbang 50, 100 dan 200 m di atas permukaan daratan (dpd). Foto udara
yang dihasilkan memiliki resolusi spasial 0,85 – 4,79 cm/pixel. Kualitas foto udara
tergantung kepada jenis dan pengaturan kamera beserta lensanya, sistem peredaman
kamera, ketinggian terbang dan ketepatan waktu pemotretan. Rekomendasi teknis
aplikasi quadcopter untuk pemantauan satwa liar yaitu penerbangan dengan take
off sejauh 300 m dari satwa liar sasaran, pada ketinggian 50 - 100 m dpd (jarak
antara obyek sasaran tertinggi yang akan dilintasi dengan quadcopter lebih dari
20 m) dengan kecepatan terbang saat pemotretan 5-7 m/dt dalam kondisi cuaca
baik. Kehadiran quadcopter dengan jarak lebih dari 30 m dari Elang Laut Perut
Putih (Haliaeetus leucogaster) dan Bekantan (Nasalis larvatus) tidak menimbulkan
respon negatif dari satwa liar tersebut. Aplikasi quadcopter yang sesuai dengan
etika fotografi satwa liar harus memperhatikan perilaku dan kharakteristik satwa
liar sasaran.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
APLIKASI PESAWAT TANPA AWAK (UAV)/DRONE
UNTUK PEMANTAUAN SATWA LIAR
SUMANTRI RADIANSYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Muhammad Buce Saleh, MS
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala rahmat dan nikmat-
Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Topik yang dikaji dalam
penelitian ini adalah pemanfaatan pesawat tanpa awak/drone sebagai instrumen
dalam kegiatan pemantauan satwa liar. Topik ini termasuk kategori inovasi
teknologi dalam mendukung pengembangan instrumen riset di dunia satwa liar.
Penelitian ini dilaksanakan selama 15 bulan, mulai Maret 2015 sampai Mei
2016 dalam 2 (dua) tahap kajian. Tahap pertama dilaksanakan di Kampus IPB
Dramaga, Bogor dengan fokus kajian uji coba aplikasi quadcopter (tipe UAV
multirotor) dan tahap kedua adalah aplikasi quadcopter untuk pemantauan satwa
liar yang dilaksanakan di PT Pembangkit Jawa Bali Unit Pengelola Paiton (PT PJB
UP Paiton), Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur dan Kawasan Bernilai
Konservasi Tinggi (KBKT)/High Conservation Value Area (HCVA) perkebunan
kelapa sawit PT Agro Menara Rachmat (PT AMR), Kumai Group Astra, Kabupaten
Kota Waringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi aplikatif tentang pemanfaatan drone untuk riset satwa
liar yang praktis, efektif dan efisien.
Penghargaan yang sebesar-besarnya disampaikan penulis kepada PT Riap
Indonesia & PT Meganesia Tirta Foresta (MeTTa) atas program beasiswa S2.
Pemerintah Daerah & Dinas Kehutanan Kabupaten Malang yang telah memberikan
ijin melaksanakan tugas belajar. MeTTa, PT PJB UP Paiton & Astra Group yang
telah mendukung sebagian pendanaan riset. Kampus IPB Dramaga, PT PJB UP
Paiton, PT AMR atas perkenannya menjadi lokasi riset dan fasilitas yang
diberikannya. Ucapan terima kasih yang setulusnya disampaikan kepada AN Putra,
E Juarsa, LM Laban, A Suprabhana, IS Sugato, D Ardiansyah atas dukungan moril
dan materiil; RW Subekti “Nano” (UAV coach) dan WN Akbar “Waladi”
(Aerialvew-650 maker); Zulham, BA Yulianto, H Farmen, R Hardansyah,
A Kurniawan, Rismunandar, FI Mansyur, A Chandra, A Herdiyanto atas dukungan
dan masukan terhadap naskah. Tidak lupa penghargaan kepada kerabat MeTTa
Institute, Tim Elang Paiton, Tim HCV Kumaigreen, Kelas KVT 2013 yang tidak
cukup disebutkan satu per satu atas bantuan teknis dan motivasinya.
Penulis juga berterima kasih kepada para pengajar Sekolah Pasca Sarjana
IPB, Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, para pembimbing
(Dr MD Kusrini & Prof LB Prasetyo), Dr RRD Perwitasari (penelaah makalah),
Dr MB Saleh (penguji) dan Dr B Masy’ud (pimpinan sidang) serta semua pihak
yang telah banyak memberikan arahan, saran dan dukungan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Ungkapan terima kasih pamungkas disampaikan kepada
bapak, ibu, istri dan anak-anak serta seluruh keluarga, atas dukungan, doa dan kasih
sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Sumantri Radiansyah
i
DAFTAR ISI
PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 METODE 4
Waktu dan Lokasi 4
Alat dan Bahan 6
Quadcopter 6
Kamera 9
Metode Pengumpulan Data 10
Uji Coba Daya Terbang 10
Uji Coba Tingkat Kebisingan 11
Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto 11
Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) 16
Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus) dan Habitatnya 16
Analisis Data 17
Hubungan Daya Terbang dan Bobot Beban (Payload) 17
Penilaian Tingkat Kebisingan 17
Kualitas dan Akurasi Geometri Foto Udara 17
Pembuatan Mozaik Orthophoto 18
Analisis Mozaik Orthophoto 18
Efektivitas dan Efisien serta Gangguan terhadap Satwa Liar 19
Analisis Foto Udara Hasil Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih 19
Analisis Foto Udara dan Mozaik Orthophoto Hasil Pemantauan Bekantan 20
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 21
Hasil 21
Uji Coba Daya Terbang 21
Tingkat kebisingan 21
Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto 21
Efektivitas dan Efisiensi Quadcopter 24
Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) 25
Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus) 26
ii
DAFTAR ISI (lanjutan)
Pembahasan 27
Hubungan Daya Terbang dan Bobot Beban (Payload) 27
Penilaian Tingkat Kebisingan 27
Kendala Aplikasi Quadcopter 28
Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto 29
Efektivitas dan Efisiensi Quadcopter 32
Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) 34
Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus) 35
Rekomendasi Teknis Aplikasi Quadcopter yang Selaras dengan Regulasi
dan Etika Fotografi Satwa Liar 36
4 SIMPULAN DAN SARAN 38
Simpulan 38
Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 41
RIWAYAT HIDUP 59
iii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemantauan satwa liar merupakan salah satu aspek penting dalam upaya
konservasi biodiversitas. Pemantauan satwa liar umumnya dilaksanakan dengan
metode survei lapangan secara visual. Kendala yang sering dialami pengamat dalam
pemantauan satwa liar dengan metode tersebut adalah tidak teraksesnya lokasi
pengamatan yang sulit dijangkau atau membahayakan keselamatan pengamat.
Salah satu solusi untuk mendapatkan data pada lokasi tersebut adalah dengan
pemanfaatan teknologi drone. Drone atau Pesawat Tanpa Awak/Unmanned Aerial
Vehicles (UAV) merupakan sebuah robot terbang dengan kendali jarak jauh yang
mampu membawa muatan sesuai tujuan dan peruntukannya. Pesawat ini mampu
membawa kamera untuk memotret dan merekam serta dapat diterbangkan untuk
menjangkau lokasi tertentu dengan pengendalian jarak jauh oleh pilot.
Drone telah lama dimanfaatkan dalam dunia militer, namun baru-baru ini
mulai digunakan untuk kepentingan sipil seperti pemantauan aktivitas manusia,
survei keanekaragaman hayati, survei ekosistem sungai, pemantauan hutan berbasis
masyarakat, dinamika penduduk dan penegakan hukum (Hodgson et al. 2016;
Paneque-Galvez et al. 2014; Koh dan Wich 2012). Beberapa keunggulan drone
menurut Paneque-Galvez et al. (2014); Koh dan Wich (2012); Martin et al. (2012)
antara lain:
1. Meminimalisir gangguan terhadap ekologi serta resiko keselamatan dan
kesehatan manusia (surveyor/peneliti).
2. Dapat menjangkau areal yang sulit diakses oleh manusia, baik karena faktor
fisik maupun teknis (total jam terbang drone mencapai 25 menit dan
menjangkau jarak sampai 15 km).
3. Memiliki kemampuan menyediakan data yang akurat (drone dapat merekam
sampai resolusi pixel 1080/high definition dan menghasilkan foto udara dengan
resolusi pixel < 10 cm).
4. Ketidakpekaan terhadap awan, karena umumnya drone terbang di bawah awan.
5. Potensial untuk penyajian gambar dalam bentuk 3 dimensi.
6. Relatif murah dibandingkan dengan penyajian informasi hasil survei lapangan
atau penafsiran citra satelit resolusi tinggi (harga drone untuk survei dan
pemetaan hutan serta keanekaragaman hayati senilai < US$ 2.000).
7. Dapat dioperasikan secara otomatis melalui pemrograman rencana jalur terbang
menggunakan open source software (jenis perangkat lunak yang terbuka untuk
dipelajari, diubah, ditingkatkan dan disebarluaskan serta dapat diunduh oleh
siapapun dengan mudah secara gratis melalui koneksi internet dengan
mengikuti persyaratan yang telah ditentukan oleh pemilik software).
Pemanfaatan UAV dalam beberapa penelitian satwa liar umumnya
menggunakan tipe airplane/fixed wing, seperti pada penguin (Hodgson et al. 2016),
badak (Pazmany et al. 2014b), orangutan dan gajah (Koh dan Wich 2012),
manatee/lembu laut dan alligator (Martin et al. 2012; Watts et al. 2010; Jones et
al. 2006), ibis putih (Jones et al. 2006). Beberapa penelitian juga memanfaatkan
drone tipe multirotor dalam pengambilan data lapangan (Hodgson et al. 2016;
Paneque-Galvez et al. 2014). Drone tipe multirotor merupakan tipe UAV yang
2
memiliki beberapa mesin penggerak berupa dinamo (rotor) yang dilengkapi baling-
baling (propeller) untuk mengangkat badan drone dan muatannya (payload) dengan
memanfaatkan tenaga angin. Multirotor saat ini banyak digunakan untuk kegiatan
pengambilan foto dan video baik untuk kepentingan hobi maupun komersial.
Menurut Paneque-Galvez et al. (2014) multirotor seperti quadcopter merupakan
tipe drone yang sesuai untuk penelitian di hutan dengan ruang/celah kanopi yang
besar dan tidak tersedianya landasan pacu. Quadcopter dapat dioperasikan secara
manual dan otomatis dengan pemrograman rencana jalur terbang menggunakan
open source software.
Jones et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan UAV sebagai instrumen
riset satwa liar sebaiknya didesain agar mudah diterbangkan, dapat digunakan untuk
areal bertebing, pengendaliannya secara otomatis, hanya memerlukan pelatihan
singkat bagi pilot untuk mengoperasikannya serta dapat menghasilkan gambar yang
terkoreksi secara geometris. Aplikasi UAV sangat tergantung tujuan dan parameter
lingkungan yang akan diambil pada setiap lokasi kajian. Kondisi tersebut
mengakibatkan perlunya pengaturan sistem UAV sesuai dengan kapasitas UAV,
kamera dan jarak atau cakupan area kajian (Hodgson et al. 2016; Pazmany et al.
2014; Koh dan Wich 2012; Martin et al. 2012; Watts et al. 2010; Jones et al. 2006).
Untuk memperoleh sistem penerbangan quadcopter yang efektif dan efisien
khususnya dalam pengambilan foto udara pada kegiatan pemantauan satwa liar
diperlukan perencanaan dan penyiapan instrumen. Penyiapan instrumen beserta
perangkat kelengkapannya dimaksudkan untuk memperoleh instrumen yang siap
pakai dan selaras dengan operator serta dapat menghasilkan kebutuhan data yang
diperlukan. Sehingga foto udara yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan
dasar dalam identifikasi satwa liar. Hasil analisis foto udara akan menunjukkan
tingkat akurasinya yang menentukan interpretasi serta pemanfaatan selanjutnya.
Pemotretan menggunakan quadcopter dalam pemantauan satwa liar
merupakan salah satu bentuk fotografi satwa liar. Hal ini tidak terlepas dari dampak
terhadap satwa liar sasaran sebagai obyeknya. Menurut Podduwage (2016) prinsip
etika fotografi satwa liar adalah melakukan pemotretan dengan meminimalisir
dampak/gangguan terhadap satwa liar dan lingkungannya. Informasi yang
diperlukan dalam penerapan prinsip tersebut adalah tentang satwa liar sasaran,
lokasi, peraturan dan keahlian fotografer. Sensitifitas satwa liar terhadap benda
asing yang mendekatinya diasumsikan dapat memberikan dampak atau respon dari
satwa liar sasaran. Oleh karena itu, respon satwa liar digunakan sebagai indikator
gangguan terhadap satwa liar.
Pertanyaan mendasar tentang pemanfaatan quadcopter sebagai instrumen
pemantauan satwa liar yaitu bagaimana teknis aplikasinya, seberapa baik akurasi
data yang dihasilkan serta bagaimana respon satwa liar terhadap aplikasinya. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka perlu dilakukan uji coba aplikasi quadcopter
dan melakukan pengukuran terhadap akurasi data yang dihasilkan. Dari hasil
tersebut dapat ditentukan rekomendasi teknis aplikasi quadcopter yang efektif dan
efisien serta selaras dengan etika fotografi satwa liar.
3
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
Quadcopter
Quadcopter dalam penelitian ini merupakan hasil rakitan dari komponen
(part) bermerk dagang yang diproduksi tidak hanya oleh satu industri. Quadcopter
ini dinamakan “Aerialview-650” karena terbuat dari rangka (frame) bermerk
dagang Tarot 650 Sport dengan kaki pendaratan (landing skids) semi otomatis
(Gambar 4). Pembuatan Aerialview-650 menghabiskan dana sebesar US$ 2000 atau
Rp. 26.000.000,- (hanya quadcopter dan radio controller, tanpa perangkat kamera).
Daya terbang Aerialview-650 adalah ± 25 menit dan dapat mengangkut kamera
dengan bobot sampai dengan 1200 gram. Posisi kamera diletakkan di bagian depan
dan menghadap ke bawah (sudut pandang 90o terhadap quadcopter/arah terbang).
Gambar 4. Aerialview-650
7
Kamera
Kamera yang digunakan sebanyak 5 buah, terdiri atas 3 tipe, yaitu action cam,
digital compact dan mirrorless cam (Gambar 5). Action cam merupakan tipe
kamera yang paling banyak digunakan oleh industri quadcopter. Digital compact
atau yang sering disebut dengan kamera poket merupakan tipe kamera yang paling
dikenal dan dipahami penggunaannya oleh masyarakat luas serta harganya
terjangkau. Mirrorless cam merupakan tipe kamera dengan kualitas baik, setara
dengan kamera DSLR yang sering digunakan oleh fotografer semi profesional,
namun memiliki bobot yang lebih ringan dan dimensi yang lebih kecil.
Dasar pemilihan kamera dalam uji coba aplikasi quadcopter adalah:
1. Tipe kamera yang banyak digunakan oleh industri quadcopter.
2. Bobot kamera yang tergolong ringan (< 500 gram).
3. Memiliki resolusi sensor yang baik, yaitu 12 – 24 Megapixel.
4. Variasi harga kamera. Jika diklasifikasikan menjadi:
Harga < 1 juta;
Harga 1-3 juta;
Harga 3-6 juta;
Harga 6-9 juta;
Harga > 9 juta.
10
(a)
Tipe: Action cam Focal Length: 17-34 mm
Merk: GoPro HERO4 Aperture: f/2,8
Silver Bobot: 150 gram
Resolusi Sensor: Harga: Rp. 5.960.000,-
12 Megapixel Tahun Pembuatan: 2015
Jenis Lensa: Fisheye
(b)
Tipe: Digital compact Focal Length: 28-140 mm
Merk: Canon Aperture: f/2,8 – f/6,9
powershoot A1400 Bobot: 300 gram
Resolusi Sensor: Harga: Rp. 900.000,-
16 Megapixel Tahun Pembuatan: 2015
Jenis Lensa: -
(c)
Tipe: Mirrorles cam Focal Length: 16 mm
Merk: Sony @5100 Aperture: f/2,8
Resolusi Sensor: Bobot: 370 gram
24,3 Megapixel Harga: Rp. 10.140.000,-
Jenis Lensa: Pancake Tahun Pembuatan: 2015
lens
(d)
Tipe: Mirrorles cam Focal Length: 16-50 mm
Merk: Sony @5100 Aperture: f/3,5 – f/5,6
Resolusi Sensor: Bobot: 400 gram
24,3 Megapixel Harga: Rp. 8.860.000,-
Jenis Lensa: Single Tahun Pembuatan: 2015
lens
(e)
Gambar 5. Kamera yang Digunakan untuk Uji Coba Aplikasi Quadcopter
Keterangan:
( ) alat perekam suara
h≥5m ( ) quadcopter
r=5m (r) jarak horizontal dari
alat perekam suara
r=5m (h) jarak vertikal dari
alat perekam suara
Mozaik Orthophoto
3. Lokasi pemotretan adalah hutan tropis dengan struktur tegakan yang beragam
dan bukan merupakan areal terbuka seperti padang pasir, padang rumput, atau
savanna. Selain itu obyek sasaran pemotretan merupakan satwa liar yang
dinamis beraktivitas di tajuk pepohonan. Sehingga ditentukan ketinggian
terbang minimal adalah di atas ketinggian tajuk pohon hutan tropis yaitu 50 m.
Kecepatan terbang diatur sebesar 3 m/dt mulai dari take off sampai titik start
(terbang vertikal ke atas saja). Dari titik start menuju titik awal jalur terbang
menggunakan kecepatan 7 m/dt. Kemudian terbang dengan kecepatan 5 m/dt
selama pemotretan pada jalur terbang. Dari titik akhir jalur terbang menuju titik
landing, quadcopter melaju dengan kecepatan 7 m/dt. Selanjutnya untuk proses
landing/pendaratan, quadcopter menggunakan kecepatan 1,5 m/dt sampai
mendarat dengan baik dan rotor mati, baik secara otomatis maupun semi manual.
Pemotretan dilakukan dengan jeda waktu yang berbeda-beda, menyesuaikan
ketinggian terbang dan jenis kamera. Waktu penerbangan dilakukan secara variatif
pada pukul 07:00 – 18:00 WIB saat cuaca tidak hujan (quadcopter didesain tidak
tahan air). Rata-rata untuk sekali penerbangan dibutuhkan waktu 1 jam. Rencana
penerbangan berupa jalur terbang pada masing-masing lokasi dan ketinggian
terbang telah dibuat dalam satu cakupan areal pemotretan yang telah ditentukan
menggunakan program mission planner (Gambar 8). Desain penerbangan jalur
secara otomatis pada 3 tingkat ketinggian mulai dari rencana sampai hasil
penerbangan disajikan pada Tabel 2. Dari pemotretan tersebut diperoleh foto udara
yang kemudian akan disusun menjadi mozaik orthophoto.
Sistem autopilot quadcopter memiliki kemampuan untuk melakukan
penerbangan secara stabil pada lintasan yang telah ditentukan. Apabila terjadi
permasalahan teknis seperti kehabisan daya (baterai) pada saat penerbangan, maka
quadcopter akan secara otomatis kembali mendarat pada titik take off (return to
launch). Penerbangan quadcopter dapat dikontrol secara visual melalui program
mission planner pada laptop. Selama mission planner dapat menerima sinyal dari
quadcopter, maka akan terlihat pergerakan quadcopter pada jalur terbangnya.
Sistem penerbangan dapat menghasilkan data penerbangan yang terekam dalam
data flash log pada quadcopter. Data tersebut dapat di ekspor ke dalam personal
computer/laptop. Meta data yang dihasilkan meliputi:
1. ATT (attitude): Informasi pergerakan quadcopter.
2. ATUN (auto tune): Ikhtisar pengaturan penerbangan otomatis.
3. ATDE (auto tune step details): Tahapan detil pengaturan penerbangan.
4. CAM (camera): waktu dan posisi saat pemotretan.
5. CMD (commands): perintah yang diterima dari stasiun pengendali.
6. COMPASS: kompas baku dan offset.
7. CURRENT: informasi tegangan baterai dan arus.
8. CTUN (throttle and altitude): informasi throttle dan ketinggian terbang.
9. ERR (an error message): pesan kesalahan.
10. GPS: jumlah satelit, HDOP, titik koordinat posisi quadcopter, kecepatan
terbang.
11. IMU (accelerometer and gyro): informasi accelerometer dan gyro.
12. Mode (flight mode): tipe sistem penerbangan.
13. NTUN (navigation): informasi navigasi.
14. PM (performance monitoring): pemantauan kinerja.
14
Rencana Penerbangan
Ketinggian lokasi 187 204 194
(m dpl)
Ketinggian 200 100 50
terbang (m dpd)
Kecepatan terbang 5 5 5
(m/dt)
Jalur pemotretan/ 1 lintasan/950 2 lintasan/510 4 lintasan/1450
panjangnya (m) (jarak antar lintasan (jarak antar
58,5 m) lintasan 43,9 m)
Prediksi cakupan 18,35 2,12 6,86
area (Ha)
Prediksi jeda 8,77 3,90 3,90
pemotretan (detik)
Overlap (%) 80 80 60
Sidelap (%) 60 60 40
Prediksi jumlah 22 24 69
foto
Prediksi rekam 6,41 1,43 0,36
jejak foto udara
(Ha/foto)
Prediksi resolusi 7,31 3,19 1,22
spasial (cm/pixel)
Estimasi waktu 3,56 2,12 6,05
pemotretan
(menit)
16
v = 5 m/dt Keterangan:
d>30 m
d>20 m (v) Kecepatan terbang
h = 50 m dpd saat pemotretan;
(d) Jarak antara
d>30 m quadcopter dengan
obyek;
(hi) Ketinggian terbang
ke-i;
h1 = 100 m ( ) Elang laut betina;
h2 = 80 m
( ) Sarang elang;
h3 = 70 m
( ) Bekantan
(a) (b)
Analisis Data
pemotretan. Akurasi geometri foto udara diperoleh dari pengukuran dimensi foto
udara dengan satuan pixel. Pengukuran tersebut menggunakan program adobe
photoshop.
Analisis Foto Udara Hasil Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih
Untuk mendapatkan foto udara yang menggambarkan kondisi sarang elang,
dilakukan ekstraksi pada hasil rekaman video udara. Ekstraksi dilakukan
menggunakan program videopad video editor. Foto udara hasil ekstraksi kemudian
disortir untuk memperoleh kualitas foto yang baik serta didalamnya harus
teridentifikasi sarang elang. Pengukuran dimensi dilakukan pada foto terpilih. Dari
foto tersebut dilakukan pengukuran morfometri sarang elang. Proses tersebut
dilakukan menggunakan program adobe photoshop.
Tabel 3. Kriteria dan Indikator Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Quadcopter serta
Gangguan Terhadap Satwa Liar
Kriteria Indikator
Efektifitas Data yang dihasilkan 1. Obyek dapat dibedakan dengan baik
dapat digunakan untuk 2. Warna obyek diterjemahkan dengan
identifikasi satwa liar baik
(mamalia dan burung 3. Identifikasi satwa liar sampai tingkat
besar) spesies
4. Akurasi foto mencapai 10 cm/pixel
Efisiensi Teknis aplikasi 1. Waktu terbang paling pendek
quadcopter dengan 2. Jumlah foto udara paling sedikit
kombinasi ketinggian 3. Cakupan luas foto udara paling besar
terbang dan waktu
pemotretan yang dapat
menghasilkan data
paling optimal
Gangguan Tingkat kebisingan Intensitas bunyi > 60 dB
quadcopter
Respon satwa liar Satwa liar melihat, bersuara, bertingkah
terhadap kehadiran panik, melakukan pergerakan
quadcopter mendadak/menghindar dan menyerang
20
Hasil
Tingkat kebisingan
Aplikasi quadcopter mengeluarkan bunyi akibat putaran rotor dan
propellernya. Hasil identifikasi intensitas bunyi yang dikeluarkan quadcopter pada
jarak 5 m mencapai 26,5 dB (Gambar 10). Nilai tersebut ≤ 60 dB yang berarti
tingkat kebisingan quadcopter tergolong rendah. Berdasarkan kriteria dan indikator
gangguan terhadap satwa liar maka tingkat kebisingan quadcopter di bawah
ambang batas gangguan terhadap satwa liar di sekitarnya.
Tidak semua foto udara yang dihasilkan dapat disusun menjadi mozaik,
karena tidak semua foto udara yang dihasilkan memiliki keterkaitan secara spasial
dan geometris dengan baik. Hal ini ditunjukkan dari posisi kamera saat pemotretan
dan tumpang susun foto udara. Mozaik orthophoto yang dihasilkan memiliki
resolusi spasial dan kualitas tertentu. Hal tersebut dipengaruhi oleh:
1. Jumlah dan kualitas foto udara yang dihasilkan.
2. Jumlah dan kualitas foto udara yang dapat digabungkan serta diselaraskan
(akurasi posisi atau koordinat foto udara).
Secara detil hasil pembuatan mozaik orthophoto disajikan pada Lampiran 1 untuk
penerbangan jalur dengan ketinggian 200 m dpd, Lampiran 2 untuk penerbangan
pada ketinggian100 m dpd serta Lampiran 3 untuk ketinggian terbang 50 m dpd.
Resolusi spasial mozaik orthophoto yang dihasilkan dari penerbangan pada
masing-masing ketinggian disajikan pada Tabel 4. Pada tahap awal uji coba,
terdapat penampalan yang kurang sempurna dalam mozaik orthophoto. Hal tersebut
disebabkan terdapat foto penyusun mozaik yang berkualitas kurang baik (blur).
Tingginya intensitas getaran quadcopter menjadi penyebab utamanya.
L1
L2
Ukuran foto 768 x 768 pixel; Foto insert 200 x 200 pixel (perbesaran 4 kali);
Resolusi spasial foto udara 1 cm/pixel; Pengukuran dimensi sarang: L1 = 201 cm & L2 = 159 cm
Gambar 12. Hasil Identifikasi Kondisi dan Pendugaan Dimensi Sarang Elang
26
(a) (b)
Ukuran foto 2000 x 2000 pixel Ukuran foto 2000 x 2000 pixel
Foto insert 200 x 200 pixel (perbesaran 25 kali) Foto insert 200 x 200 pixel (perbesaran 25 kali)
Resolusi spasial foto udara 1 cm/pixel Resolusi spasial foto udara 1 cm/pixel
Pengukuran morfometri bekantan Pengukuran morfometri bekantan
panjang tubuh (L) = 31,4 cm panjang tubuh (L) = 35,2 cm
Gambar 13. Hasil Identifikasi Bekantan melompat diantara pohon (a) dan
di atas tajuk (b) serta Pendugaan Morfometri Bekantan
27
Gambar 14. Deliniasi Tipe Ekosistem Habitat Bekantan pada Hutan Riparian
Pembahasan
menit
Gambar 15. Hubungan Bobot Kamera dan Quadcopter dengan Waktu Terbang
28
keberadaan satwa liar sampai dengan tingkat jenis. Hal ini serupa dengan foto udara
yang dihasilkan oleh FolBat (UAV tipe airplane) yang dikembangkan oleh Jones
et al. (2006) pada penerbangan dengan ketinggian 100 – 150 m, yang mampu
membedakan beberapa burung laut (Egretta sp. & Mycteria americana) serta
vertebrata berukuran sedang. Foto udara yang dihasilkan Aerialview-650 pada
ketinggian terbang 50 m dpd dengan mirrorles cam sony @5100 dapat digunakan
untuk identifikasi spesies satwa liar yang berukuran sampai dengan
30 cm, jenis pohon dan obyek yang tergambar di dalamnya. Hasil serupa
ditunjukkan oleh Koh dan Wich (2012) yaitu foto udara yang dihasilkan dapat
menggambarkan penggunaan lahan seperti perkebunan sawit, persawahan,
pemukiman, hutan dan jalan hutan. Video yang dihasilkan dari ketinggian
80 – 100 m oleh conservation drone beresolusi sampai 1080 pixel, mampu
mendeteksi obyek seperti pohon, kelapa sawit, orang utan dan gajah.
Pemantauan satwa liar yang berukuran ≥ 30 cm dapat menggunakan foto
udara yang dihasilkan quadcopter dari ketinggian terbang 50 – 100 m dpd. Kualitas
foto udara yang dihasilkan Aerialview-650 membuktikan bahwa aplikasi
quadcopter efektif untuk pemantauan satwa liar berukuran sedang sampai besar.
Mozaik Orthophoto
Orthophoto merupakan foto udara yang telah dikoreksi geometris dan
menggambarkan obyek dalam kedudukan yang sebenarnya. Mozaik orthophoto
dibuat dari kumpulan hasil foto udara yang memiliki titik koordinat geometris.
Faktor utama yang mempengaruhi kesempurnaan mozaik orthophoto adalah
kuantitas dan kualitas foto udara yang digabungkan.
Jumlah foto yang dihasilkan saat pemotretan sangat berpengaruh terhadap
pembuatan mozaik orthophoto. Semakin banyak foto udara yang dapat
digabungkan dari total keseluruhan foto udara yang dihasilkan, maka semakin
sempurna mozaik orthophoto yang dibuat. Delapan puluh lima persen foto udara
yang digabungkan untuk membuat mozaik orthophoto sudah menunjukkan hasil
yang baik meskipun posisi atau koordinat foto udara yang dihasilkan memiliki
penyimpangan yang besar. Namun jika hanya 43 % foto yang digabungkan, maka
hasilnya tidak begitu bagus karena masih terdapat beberapa kekosongan foto pada
mozaik. Sehingga untuk membuat mozaik orthophoto yang baik dibutuhkan paling
tidak 50 % foto penyusun dari keseluruhan foto yang dihasilkan dengan catatan
foto-foto tersebut memiliki keterkaitan secara geometris (koordinat foto masih
berkaitan) dan memiliki cukup sisi overlap dan sidelap. Mozaik orthophoto yang
tersusun atas foto udara berkualitas baik dapat menjadi tidak sempurna apabila
posisi atau koordinat foto udara yang dihasilkan memiliki penyimpangan yang
terlalu besar (Tabel 6, Lampiran 1-4).
tidak terdapat dampak terukur pada perilaku burung (jarak quadcopter dengan
burung sasaran paling dekat 4 m).
Elang Laut Perut Putih di PT PJB UP Paiton merupakan jenis burung predator
yang lebih dari 4 tahun hidup dalam habitat non-alami. Mereka telah beradaptasi
dengan kebisingan suara yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik dan lalu lalang
kendaraan bermotor yang melewati jalan raya (pantura), tepat berada di bawah
menara sarang elang. Bahkan sempat terlihat elang memanfaatkan asap/uap air
panas yang keluar dari cerobong asap pembangkit listrik untuk menghangatkan
badan/mengeringkan bulunya setelah semalaman bertengger di menara dalam
kondisi hujan deras. Oleh karena itu, kehadiran quadcopter dengan intensitas bunyi
yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kebisingan pembangkit listrik dan
kendaraan bermotor tidak mendapatkan respon.
Aplikasi quadcopter untuk pemantauan sarang elang sebaiknya dilakukan
sekali tanpa pengulangan pada waktu yang berdekatan. Apabila diperlukan
pengulangan, sebaiknya dilakukan dengan jeda waktu agak lama atau berbeda hari
dengan mempertimbangkan karakteristik dan perilaku harian elang. Rekomendasi
Vas et al. (2015), sebaiknya penerbangan drone dilakukan dengan jarak lebih dari
100 m dari burung sasaran, karena burung lebih bereaksi terhadap quadcopter yang
diterbangkan secara vertikal mendekati sasaran.
menggangu habitat dan aktivitas baik satwa liar sasaran maupun satwa liar di
lingkungannya serta meminimalisir kontak langsung dengan satwa liar.
Beberapa hal yang harus diketahui dalam menjalankan prinsip etika fotografi
satwa liar antara lain (Excell 2012; Podduwage 2016):
1. Pengetahuan tentang subyek dan lokasi (lingkungan), terdiri atas perilaku
satwa liar, kebutuhan rutin satwa liar, peralatan fotografi yang konservatif dan
jarak pemotretan.
2. Pengetahuan tentang peraturan dan hukum (sosial), terdiri atas waktu
pemotretan yang tepat, regulasi tentang jarak minimum pemotretan dan
regulasi pemotretan dalam suatu areal tertentu serta penggunaan peralatan yang
diperkenankan.
3. Keahlian dan tanggung jawab (individu) seperti penguasaan teknis fotrografi
dan kepatuhan terhadap regulasi.
Aplikasi quadcopter untuk fotografi satwa liar merupakan salah satu
penerapan teknologi yang telah selaras dengan etika fotografi satwa liar. Fotografer
tidak harus secara langsung melakukan kontak dengan satwa liar. Namun terdapat
beberapa hal yang perlu diselaraskan terkait sistem penerbangan dan keahlian pilot
agar pemanfaatan quadcopter untuk fotografi satwa liar tetap mengacu pada
prinsip-prinsip etika fotografi satwa liar.
Simpulan
Saran
1. Solusi dari beberapa kendala dalam uji coba aplikasi quadcopter merupakan
informasi penting yang dapat dijadikan acuan/prosedur standar dalam
operasionalnya.
2. Pengembangan quadcopter untuk memperoleh daya terbang yang lebih lama
serta dilengkapi perangkat keamanan, sensor, display dan sistem navigasi yang
lebih baik diperlukan sebagai instrumen alternatif pemantauan satwa liar pada
taksa yang lebih luas.
3. Pengembangan lanjutan analisis foto udara dan mozaik orthophoto secara
spesifik sangat diperlukan untuk menghasilkan informasi dalam menentukan
kebijakan konservasi satwa liar dan pengelolaan kawasan yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Paneque-Galvez J, McCall MK, Napoletano BM, Wich SA, Koh LP. 2014. Small
Drone for Community-Based Forest Monitoring: An Assessment of Their
Feasibility and Potential in Tropical Areas. Forests 5:1481-1507.
doi:10.3390/f5061481.
Pazmany MM. 2015. Unmanned Aerial Systems in Conservation Biology [Ph.D.
Thesis], Sevile (ES): University of Sevile.
Pazmany MM, Negro JJ, Ferrer M. 2014. A low cost way for assessing bird risk
hazards in power lines: Fixed-wing small unmanned aircraft systems. Journal of
Unmanned Vehicle Systems 2(1):5–15. doi:0.1139/juvs-2013-0012.
Pazmany MM, Stolper R, van Essen LD, Negro JJ, Sassen T. 2014. Remotely
Piloted Aircraft Systems as a Rhinoceros Anti-Poaching Tool in Africa. PLoS
ONE 9(1):e83873. doi:10.1371/journal.pone.0083873.
Perlman A. 2016. Drone Laws: UAV Regulations by Country. Diakses pada tanggal
12 Juli 2016 dari website uavcoach.com: http://uavcoach.com/drone-laws/.
Permenhub] Peraturan Menteri Perhubungan. 2015. Peraturan Menteri
Perhubungan Republik Indonesia Nomor: PM 90 Tahun 2015 tentang
Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang
Dilayani Indonesia, Jakarta (ID): Kementerian Perhubungan Republik
Indonesia.
Podduwage DR. 2016. An Ethical Model for the Wildlife Photography of Sri Lanka.
Journal of Aesthetic and Fine Arts 1(1):98-129.
Rodríguez A, Negro JJ, Mulero M, Rodríguez C, Hernández-Pliego J, Bustamante
J. 2012. The Eye in the Sky: Combined Use of Unmanned Aerial Systems and
GPS Data Loggers for Ecological Research and Conservation of Small Birds.
PLoS ONE 7(12):e50336. doi:10.1371/journal.pone.0050336.
Siebert S, Teizer J. 2014. Mobile 3D mapping for surveying earthwork projects
using an Unmanned Aerial Vehicle (UAV) system. Automation in Construction.
41(2014):1–14.
Vas E, Lescroel A, Duriez O, Boguszewski G, Gremillet D. 2015. Approaching
birds with drones: first experiments and ethical guidelines. Biology Letters
11:20140754. doi:10.1098/rsbl.2014.0754.
Watts AC, Perry JH, Smith SE, Burgess MA, Wilkinson BE, Szantoi Z, Ifju PG,
Percival HF. 2010. Small Unmanned Aircraft Systems for Low-Altitude Aerial
Surveys. Journal of Wildlife Management 74(7):1614–1619. doi:10.2193/2009-
425.
Wright MD, Goodman P, Cameron TC. 2010. Exploring Behavioural Responses of
Shorebirds to Impulsive Noise. Wildfowl 60:150-167.
LAMPIRAN
42