Anda di halaman 1dari 77

APLIKASI PESAWAT TANPA AWAK (UAV)/DRONE

UNTUK PEMANTAUAN SATWA LIAR

SUMANTRI RADIANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Pesawat Tanpa
Awak (UAV)/Drone Untuk Pemantauan Satwa Liar adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

Sumantri Radiansyah
NIM. E351130131
RINGKASAN

SUMANTRI RADIANSYAH. Aplikasi Pesawat Tanpa Awak (UAV)/Drone


Untuk Pemantauan Satwa Liar. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan
LILIK BUDI PRASETYO.

Pesawat Tanpa Awak (UAV) atau drone saat ini telah digunakan sebagai
instrumen pengambil data lapangan pada riset satwa liar. Drone dengan seperangkat
kamera (payload) mampu menghasilkan foto udara yang dapat dianalisa dan
diinterpretasikan lebih lanjut. Penelitian UAV pada satwa liar sebagian besar
menggunakan tipe pesawat (airplane/fixed wing) yang membutuhkan ruang sebagai
landasan pacu atau peluncurannya. Multirotor merupakan salah satu tipe UAV yang
cocok digunakan untuk penelitian di hutan. Drone jenis ini mampu terbang di antara
celah kanopi dan tidak membutuhkan landasan pacu.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji aplikasi quadcopter (salah satu tipe
drone multirotor) sebagai instrumen dalam pemantauan satwa liar. Selain itu juga
untuk mengukur keakuratan data yang dihasilkan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dari hasil tersebut kemudian ditentukan rekomendasi teknis
aplikasi quadcopter yang efektif, efisien dan selaras dengan regulasi serta etika
fotografi satwa liar. Persiapan dan pengembangan quadcopter dilaksanakan selama
3 Bulan (Maret – Mei 2015). Uji coba aplikasi quadcopter dilaksanakan di Kampus
IPB Dramaga, Jawa Barat selama 10 Bulan (Juni 2015 – Maret 2016). Sedangkan
aplikasi quadcopter untuk pemantauan satwa liar dilaksanakan di PT PJB UP
Paiton, Jawa Timur (April 2016) dan HCVA Perkebunan Kelapa Sawit PT AMR,
Kalimantan Tengah (Mei 2016). Analisis data dilakukan secara spasial dan statistik
deskriptif.
Uji coba penerbangan dilakukan menggunakan kamera 12 - 24 MP pada
ketinggian terbang 50, 100 dan 200 m di atas permukaan daratan (dpd). Foto udara
yang dihasilkan memiliki resolusi spasial 0,85 – 4,79 cm/pixel. Kualitas foto udara
tergantung kepada jenis dan pengaturan kamera beserta lensanya, sistem peredaman
kamera, ketinggian terbang dan ketepatan waktu pemotretan. Rekomendasi teknis
aplikasi quadcopter untuk pemantauan satwa liar yaitu penerbangan dengan take
off sejauh 300 m dari satwa liar sasaran, pada ketinggian 50 - 100 m dpd (jarak
antara obyek sasaran tertinggi yang akan dilintasi dengan quadcopter lebih dari
20 m) dengan kecepatan terbang saat pemotretan 5-7 m/dt dalam kondisi cuaca
baik. Kehadiran quadcopter dengan jarak lebih dari 30 m dari Elang Laut Perut
Putih (Haliaeetus leucogaster) dan Bekantan (Nasalis larvatus) tidak menimbulkan
respon negatif dari satwa liar tersebut. Aplikasi quadcopter yang sesuai dengan
etika fotografi satwa liar harus memperhatikan perilaku dan kharakteristik satwa
liar sasaran.

Kata kunci: aplikasi, quadcopter, respon, satwa liar


SUMMARY

SUMANTRI RADIANSYAH. Unmanned Aerial Vehicles (UAV)/Drone


Applications for Wildlife Monitoring. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI
and LILIK BUDI PRASETYO.

Recently, Unmanned Aerial Vehicle (UAV) had been use as an instrument


for wildlife research. Drone with a set of cameras (payload) capable of producing
aerial photographs that can be further analyzed and interpreted. Most of the UAV
research, using an airplane type which need space for runaway and launching.
Multirotor is UAV type that suitable for research in the forest. This type can flying
at canopy space and do not need runaway.
The research aims are to examine quadcopter (one type of multirotor UAV)
application for wildlife monitoring, measure the accuracy of data generated and
parameter that affected. From this result then will be determine effective, efficient
and appropriate technical recommendation in accordance with the regulation and
ethics of wildlife photography. Preparation and quadcopter development conducted
in March-May 2015 (3 months). Quadcopter trial held during 10 months (June 2015
– March 2016) at Kampus IPB Dramaga, West Java. While quadcopter application
for wildlife monitoring held in April 2016 at PT PJB UP Paiton, East Java and
HCVA Palm Oil Plantation PT AMR, Central Kalimantan in May 2016. Data will
be analyzed spatial and descriptive statistics.
Flight trials with a camera 12 - 24 MP at altitude 50, 100 and 200 m above
ground level (agl), producing aerial photographs with spatial resolution of 0,85 –
4,79 cm/pixel. Aerial photos quality depend on the type and setting of camera,
vibration damper system, flight altitude and punctuality of the shooting. For wildlife
monitoring the copter is recommended to take off at least 300 m from the target,
and flies at 50 - 100 m agl (distance between highest object with quadcopter more
than 20 m) with flight speed of 5 - 7 m/sec on fine weather. Quadcopter presence
with a distance more than 30 m from White-bellied Sea Eagles (Haliaeetus
leucogaster) nest and Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) did not cause negative
response. Quadcopter application should pay attention to the behaviour and
characteristic of wildlife.

Keywords: applications, quadcopter, response, wildlife


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
APLIKASI PESAWAT TANPA AWAK (UAV)/DRONE
UNTUK PEMANTAUAN SATWA LIAR

SUMANTRI RADIANSYAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Muhammad Buce Saleh, MS
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala rahmat dan nikmat-
Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Topik yang dikaji dalam
penelitian ini adalah pemanfaatan pesawat tanpa awak/drone sebagai instrumen
dalam kegiatan pemantauan satwa liar. Topik ini termasuk kategori inovasi
teknologi dalam mendukung pengembangan instrumen riset di dunia satwa liar.
Penelitian ini dilaksanakan selama 15 bulan, mulai Maret 2015 sampai Mei
2016 dalam 2 (dua) tahap kajian. Tahap pertama dilaksanakan di Kampus IPB
Dramaga, Bogor dengan fokus kajian uji coba aplikasi quadcopter (tipe UAV
multirotor) dan tahap kedua adalah aplikasi quadcopter untuk pemantauan satwa
liar yang dilaksanakan di PT Pembangkit Jawa Bali Unit Pengelola Paiton (PT PJB
UP Paiton), Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur dan Kawasan Bernilai
Konservasi Tinggi (KBKT)/High Conservation Value Area (HCVA) perkebunan
kelapa sawit PT Agro Menara Rachmat (PT AMR), Kumai Group Astra, Kabupaten
Kota Waringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi aplikatif tentang pemanfaatan drone untuk riset satwa
liar yang praktis, efektif dan efisien.
Penghargaan yang sebesar-besarnya disampaikan penulis kepada PT Riap
Indonesia & PT Meganesia Tirta Foresta (MeTTa) atas program beasiswa S2.
Pemerintah Daerah & Dinas Kehutanan Kabupaten Malang yang telah memberikan
ijin melaksanakan tugas belajar. MeTTa, PT PJB UP Paiton & Astra Group yang
telah mendukung sebagian pendanaan riset. Kampus IPB Dramaga, PT PJB UP
Paiton, PT AMR atas perkenannya menjadi lokasi riset dan fasilitas yang
diberikannya. Ucapan terima kasih yang setulusnya disampaikan kepada AN Putra,
E Juarsa, LM Laban, A Suprabhana, IS Sugato, D Ardiansyah atas dukungan moril
dan materiil; RW Subekti “Nano” (UAV coach) dan WN Akbar “Waladi”
(Aerialvew-650 maker); Zulham, BA Yulianto, H Farmen, R Hardansyah,
A Kurniawan, Rismunandar, FI Mansyur, A Chandra, A Herdiyanto atas dukungan
dan masukan terhadap naskah. Tidak lupa penghargaan kepada kerabat MeTTa
Institute, Tim Elang Paiton, Tim HCV Kumaigreen, Kelas KVT 2013 yang tidak
cukup disebutkan satu per satu atas bantuan teknis dan motivasinya.
Penulis juga berterima kasih kepada para pengajar Sekolah Pasca Sarjana
IPB, Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, para pembimbing
(Dr MD Kusrini & Prof LB Prasetyo), Dr RRD Perwitasari (penelaah makalah),
Dr MB Saleh (penguji) dan Dr B Masy’ud (pimpinan sidang) serta semua pihak
yang telah banyak memberikan arahan, saran dan dukungan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Ungkapan terima kasih pamungkas disampaikan kepada
bapak, ibu, istri dan anak-anak serta seluruh keluarga, atas dukungan, doa dan kasih
sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

Sumantri Radiansyah

i
DAFTAR ISI

PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 METODE 4
Waktu dan Lokasi 4
Alat dan Bahan 6
Quadcopter 6
Kamera 9
Metode Pengumpulan Data 10
Uji Coba Daya Terbang 10
Uji Coba Tingkat Kebisingan 11
Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto 11
Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) 16
Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus) dan Habitatnya 16
Analisis Data 17
Hubungan Daya Terbang dan Bobot Beban (Payload) 17
Penilaian Tingkat Kebisingan 17
Kualitas dan Akurasi Geometri Foto Udara 17
Pembuatan Mozaik Orthophoto 18
Analisis Mozaik Orthophoto 18
Efektivitas dan Efisien serta Gangguan terhadap Satwa Liar 19
Analisis Foto Udara Hasil Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih 19
Analisis Foto Udara dan Mozaik Orthophoto Hasil Pemantauan Bekantan 20
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 21
Hasil 21
Uji Coba Daya Terbang 21
Tingkat kebisingan 21
Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto 21
Efektivitas dan Efisiensi Quadcopter 24
Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) 25
Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus) 26

ii
DAFTAR ISI (lanjutan)

Pembahasan 27
Hubungan Daya Terbang dan Bobot Beban (Payload) 27
Penilaian Tingkat Kebisingan 27
Kendala Aplikasi Quadcopter 28
Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto 29
Efektivitas dan Efisiensi Quadcopter 32
Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) 34
Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus) 35
Rekomendasi Teknis Aplikasi Quadcopter yang Selaras dengan Regulasi
dan Etika Fotografi Satwa Liar 36
4 SIMPULAN DAN SARAN 38
Simpulan 38
Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 41
RIWAYAT HIDUP 59

iii
DAFTAR TABEL

1. Spesifikasi Aerialview-650 dan Perangkatnya 7


2. Desain Penerbangan Jalur pada Tiga Tingkat Ketinggian 14
3. Kriteria dan Indikator Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Quadcopter
serta Gangguan Terhadap Satwa Liar 19
4. Resolusi Spasial Mozaik Orthophoto berdasarkan Tinggi Terbang dan
Parameter Pengaturan Pemotretan 24
5. Kualitas Foto Udara Berdasarkan Parameter Aplikasi dan Faktor yang
Mempengaruhinya 25
6. Estimasi Penyimpangan Posisi Kamera Berdasarkan Presisi Foto Udara 31

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi Uji Coba Aplikasi Quadcopter 4


2. Lokasi Aplikasi Quadcopter untuk Pemantauan Sarang Elang Laut
Perut Putih 5
3. Lokasi Aplikasi Quadcopter untuk Pemantauan Bekantan dan
Habitatnya 5
4. Aerialview-650 6
5. Kamera yang Digunakan untuk Uji Coba Aplikasi Quadcopter 10
6. Desain Pengukuran Tingkat Kebisingan Quadcopter 11
7. Tahapan Pengambilan Data Penerbangan pada Jalur Terbang 12
8. Rencana Penerbangan Jalur secara Otomatis 14
9. Desain Aplikasi Quadcopter untuk Pemantauan Satwa Liar pada (a)
Sarang Elang Laut Perut Putih, (b) Bekantan dan habitatnya 17
10. Penilaian Tingkat Kebisingan Aplikasi Aerialview-650 22
11. Hasil Pemotretan pada Penerbangan Jalur 23
12. Hasil Identifikasi Kondisi dan Pendugaan Dimensi Sarang Elang 25
13. Hasil Identifikasi Bekantan melompat diantara pohon (a) dan di atas
tajuk (b) serta Pendugaan Morfometri Bekantan 26
14. Deliniasi Tipe Ekosistem Habitat Bekantan pada Hutan Riparian 27
15. Hubungan Bobot Kamera dan Quadcopter dengan Waktu Terbang 27
16. Hubungan Antara Throttle, Ketinggian dan Waktu Terbang 33

iv
DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisis Penerbangan Fc_150620_200_w9 pada Ketinggian Terbang


200 m dpd di Danau LSI – Rektorat, Kampus IPB Dramaga Bogor 42
2. Analisis Penerbangan Fc_150629_100_α5100 pada Ketinggian
Terbang 100 m dpd di Lapangan Sepak Bola Jalan Soka, Kampus IPB
Dramaga Bogor 46
3. Analisis Penerbangan Fc150816_50_α5100 pada Ketinggian Terbang
50 m dpd di Istal Kuda Jalan Cendana, Kampus IPB Dramaga Bogor 50
4. Analisis Penerbangan pada Habitat Bekantan di HCVA Perkebunan
Kelapa Sawit PT AMR Kabupaten Kota Waringin Barat 55

v
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemantauan satwa liar merupakan salah satu aspek penting dalam upaya
konservasi biodiversitas. Pemantauan satwa liar umumnya dilaksanakan dengan
metode survei lapangan secara visual. Kendala yang sering dialami pengamat dalam
pemantauan satwa liar dengan metode tersebut adalah tidak teraksesnya lokasi
pengamatan yang sulit dijangkau atau membahayakan keselamatan pengamat.
Salah satu solusi untuk mendapatkan data pada lokasi tersebut adalah dengan
pemanfaatan teknologi drone. Drone atau Pesawat Tanpa Awak/Unmanned Aerial
Vehicles (UAV) merupakan sebuah robot terbang dengan kendali jarak jauh yang
mampu membawa muatan sesuai tujuan dan peruntukannya. Pesawat ini mampu
membawa kamera untuk memotret dan merekam serta dapat diterbangkan untuk
menjangkau lokasi tertentu dengan pengendalian jarak jauh oleh pilot.
Drone telah lama dimanfaatkan dalam dunia militer, namun baru-baru ini
mulai digunakan untuk kepentingan sipil seperti pemantauan aktivitas manusia,
survei keanekaragaman hayati, survei ekosistem sungai, pemantauan hutan berbasis
masyarakat, dinamika penduduk dan penegakan hukum (Hodgson et al. 2016;
Paneque-Galvez et al. 2014; Koh dan Wich 2012). Beberapa keunggulan drone
menurut Paneque-Galvez et al. (2014); Koh dan Wich (2012); Martin et al. (2012)
antara lain:
1. Meminimalisir gangguan terhadap ekologi serta resiko keselamatan dan
kesehatan manusia (surveyor/peneliti).
2. Dapat menjangkau areal yang sulit diakses oleh manusia, baik karena faktor
fisik maupun teknis (total jam terbang drone mencapai 25 menit dan
menjangkau jarak sampai 15 km).
3. Memiliki kemampuan menyediakan data yang akurat (drone dapat merekam
sampai resolusi pixel 1080/high definition dan menghasilkan foto udara dengan
resolusi pixel < 10 cm).
4. Ketidakpekaan terhadap awan, karena umumnya drone terbang di bawah awan.
5. Potensial untuk penyajian gambar dalam bentuk 3 dimensi.
6. Relatif murah dibandingkan dengan penyajian informasi hasil survei lapangan
atau penafsiran citra satelit resolusi tinggi (harga drone untuk survei dan
pemetaan hutan serta keanekaragaman hayati senilai < US$ 2.000).
7. Dapat dioperasikan secara otomatis melalui pemrograman rencana jalur terbang
menggunakan open source software (jenis perangkat lunak yang terbuka untuk
dipelajari, diubah, ditingkatkan dan disebarluaskan serta dapat diunduh oleh
siapapun dengan mudah secara gratis melalui koneksi internet dengan
mengikuti persyaratan yang telah ditentukan oleh pemilik software).
Pemanfaatan UAV dalam beberapa penelitian satwa liar umumnya
menggunakan tipe airplane/fixed wing, seperti pada penguin (Hodgson et al. 2016),
badak (Pazmany et al. 2014b), orangutan dan gajah (Koh dan Wich 2012),
manatee/lembu laut dan alligator (Martin et al. 2012; Watts et al. 2010; Jones et
al. 2006), ibis putih (Jones et al. 2006). Beberapa penelitian juga memanfaatkan
drone tipe multirotor dalam pengambilan data lapangan (Hodgson et al. 2016;
Paneque-Galvez et al. 2014). Drone tipe multirotor merupakan tipe UAV yang
2

memiliki beberapa mesin penggerak berupa dinamo (rotor) yang dilengkapi baling-
baling (propeller) untuk mengangkat badan drone dan muatannya (payload) dengan
memanfaatkan tenaga angin. Multirotor saat ini banyak digunakan untuk kegiatan
pengambilan foto dan video baik untuk kepentingan hobi maupun komersial.
Menurut Paneque-Galvez et al. (2014) multirotor seperti quadcopter merupakan
tipe drone yang sesuai untuk penelitian di hutan dengan ruang/celah kanopi yang
besar dan tidak tersedianya landasan pacu. Quadcopter dapat dioperasikan secara
manual dan otomatis dengan pemrograman rencana jalur terbang menggunakan
open source software.
Jones et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan UAV sebagai instrumen
riset satwa liar sebaiknya didesain agar mudah diterbangkan, dapat digunakan untuk
areal bertebing, pengendaliannya secara otomatis, hanya memerlukan pelatihan
singkat bagi pilot untuk mengoperasikannya serta dapat menghasilkan gambar yang
terkoreksi secara geometris. Aplikasi UAV sangat tergantung tujuan dan parameter
lingkungan yang akan diambil pada setiap lokasi kajian. Kondisi tersebut
mengakibatkan perlunya pengaturan sistem UAV sesuai dengan kapasitas UAV,
kamera dan jarak atau cakupan area kajian (Hodgson et al. 2016; Pazmany et al.
2014; Koh dan Wich 2012; Martin et al. 2012; Watts et al. 2010; Jones et al. 2006).
Untuk memperoleh sistem penerbangan quadcopter yang efektif dan efisien
khususnya dalam pengambilan foto udara pada kegiatan pemantauan satwa liar
diperlukan perencanaan dan penyiapan instrumen. Penyiapan instrumen beserta
perangkat kelengkapannya dimaksudkan untuk memperoleh instrumen yang siap
pakai dan selaras dengan operator serta dapat menghasilkan kebutuhan data yang
diperlukan. Sehingga foto udara yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan
dasar dalam identifikasi satwa liar. Hasil analisis foto udara akan menunjukkan
tingkat akurasinya yang menentukan interpretasi serta pemanfaatan selanjutnya.
Pemotretan menggunakan quadcopter dalam pemantauan satwa liar
merupakan salah satu bentuk fotografi satwa liar. Hal ini tidak terlepas dari dampak
terhadap satwa liar sasaran sebagai obyeknya. Menurut Podduwage (2016) prinsip
etika fotografi satwa liar adalah melakukan pemotretan dengan meminimalisir
dampak/gangguan terhadap satwa liar dan lingkungannya. Informasi yang
diperlukan dalam penerapan prinsip tersebut adalah tentang satwa liar sasaran,
lokasi, peraturan dan keahlian fotografer. Sensitifitas satwa liar terhadap benda
asing yang mendekatinya diasumsikan dapat memberikan dampak atau respon dari
satwa liar sasaran. Oleh karena itu, respon satwa liar digunakan sebagai indikator
gangguan terhadap satwa liar.
Pertanyaan mendasar tentang pemanfaatan quadcopter sebagai instrumen
pemantauan satwa liar yaitu bagaimana teknis aplikasinya, seberapa baik akurasi
data yang dihasilkan serta bagaimana respon satwa liar terhadap aplikasinya. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka perlu dilakukan uji coba aplikasi quadcopter
dan melakukan pengukuran terhadap akurasi data yang dihasilkan. Dari hasil
tersebut dapat ditentukan rekomendasi teknis aplikasi quadcopter yang efektif dan
efisien serta selaras dengan etika fotografi satwa liar.
3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Menguji aplikasi quadcopter (drone tipe multirotor) untuk pemantauan satwa
liar.
2. Mengukur akurasi data yang dihasilkan oleh quadcopter dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
3. Menilai respon satwa liar sasaran terhadap aplikasi quadcopter.
4. Menentukan rekomendasi teknis aplikasi quadcopter yang efektif dan efisien
serta selaras dengan regulasi dan etika fotografi satwa liar.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah:


1. Aplikasi quadcopter pada ketinggian dan kecepatan terbang tertentu
menghasilkan foto udara dengan akurasi yang efektif dan efisien untuk
identifikasi satwa liar.
2. Kehadiran quadcopter pada jarak tertentu tidak memberikan dampak/respon
negatif dari satwa liar sasaran.

Manfaat Penelitian

Manfaat peneltian adalah:


1. Memberikan informasi teknik aplikasi quadcopter yang praktis dan dalam
waktu singkat dapat menghasilkan data akurat sesuai kebutuhan serta dapat
menjangkau lokasi yang tidak terakses atau membahayakan keselamatan
peneliti dalam pemantauan satwa liar.
2. Memberikan gambaran dampak/respon satwa liar terhadap aplikasi quadcopter
sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan satwa liar.
3. Memberikan informasi teknik aplikasi quadcopter yang selaras dengan
regulasi dan etika fotografi satwa liar.
2 METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan selama 15 bulan. Persiapan dan pengenbangan


quadcopter dilaksanakan selama 3 Bulan (Maret – Mei 2015). Uji coba aplikasi
quadcopter selama 10 Bulan (Juni 2015 – Maret 2016). Sedangkan aplikasi
quadcopter untuk pemantauan satwa liar selama 2 bulan (April – Mei 2016).
Uji coba aplikasi quadcopter dilaksanakan di Kampus IPB Dramaga,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada 3 lokasi (Gambar 1. ), yaitu:
1. Danau LSI - Rektorat IPB (6o33’35,98” LS - 106o43’34,25” BT).
2. Lapangan sepak bola Jalan Soka (6o33’12,92” LS - 106o43’22,34” BT).
3. Istal kuda (ranch) Jalan Cendana (6o33’14,45” LS - 106o43’04,93” BT).
Aplikasi quadcopter untuk pemantauan satwa liar dilaksanakan di 2 lokasi:
1. Pemantauan sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) dilakukan
pada menara SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) 500 kV di PT
Pembangkit Jawa Bali Unit Pembangkit Paiton (PJB UP Paiton), Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur (7o42’55,96” LS - 113o34’44,76” BT) (Gambar 2).
2. Aplikasi quadcopter pada habitat Bekantan (Nasalis larvatus) yang berupa
riparian di High Conservation Value Area (HCVA) Perkebunan Kelapa Sawit
PT Agro Menara Rachmat (AMR), Kabupaten Kota Waringin Barat, Provinsi
Kalimantan Tengah (2o19’14,88” LS - 111o46’0,58” BT) (Gambar 3).

a. Tiga Lokasi kajian di Kampus IPB Dramaga

b. Lokasi Take off di Danau c. Lapangan sepak d. Istal kuda (ranch)


LSI - Rektorat IPB bola Jalan Soka Jalan Cendana
Gambar 1. Lokasi Uji Coba Aplikasi Quadcopter
5

Gambar 2. Lokasi Aplikasi Quadcopter untuk Pemantauan Sarang Elang Laut


Perut Putih

Gambar 3. Lokasi Aplikasi Quadcopter untuk Pemantauan Bekantan dan


Habitatnya
6

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan terdiri atas:


1. Seperangkat UAV system, meliputi:
 Quadcopter, Radio Controller
 Kamera, Camera mounting, Vibration damper
 Laptop
 Tools & Box
2. GPS (Global Positioning System)
3. Perekam suara (sound recorder)
4. Meteran (15 m)
5. Binokuler
6. Kamera DSLR (Digital Single lens Reflex)
7. Alat tulis
Bahan yang digunakan antara lain baterai, blocknote/tallysheet dan label.
Perangkat yang digunakan dalam pengolahan dan penyajian data adalah
laptop termasuk didalamnya:
1. Program Microsoft Office 2013;
2. Program penerbangan drone (Mission Planner);
3. Program untuk analisis foto (Adobe Photoshop CS5);
4. Program untuk membuat dan analisis mozaik orthophoto (Agisoft PhotoScan);
5. Program analisis bunyi (Praat);
6. Program untuk ekstraksi video menjadi foto (VideoPad Video Editor);
7. Program pengolah dan analisis Sistem Informasi Geografis (Arcgis 10.2).

Quadcopter
Quadcopter dalam penelitian ini merupakan hasil rakitan dari komponen
(part) bermerk dagang yang diproduksi tidak hanya oleh satu industri. Quadcopter
ini dinamakan “Aerialview-650” karena terbuat dari rangka (frame) bermerk
dagang Tarot 650 Sport dengan kaki pendaratan (landing skids) semi otomatis
(Gambar 4). Pembuatan Aerialview-650 menghabiskan dana sebesar US$ 2000 atau
Rp. 26.000.000,- (hanya quadcopter dan radio controller, tanpa perangkat kamera).
Daya terbang Aerialview-650 adalah ± 25 menit dan dapat mengangkut kamera
dengan bobot sampai dengan 1200 gram. Posisi kamera diletakkan di bagian depan
dan menghadap ke bawah (sudut pandang 90o terhadap quadcopter/arah terbang).

Gambar 4. Aerialview-650
7

Aerialview-650 dilengkapi dengan dua GPS yang menempel pada badan


quadcopter sebagai bagian dari sistem navigasi. Selain itu juga dilengkapi dengan
radio telemetry sebagai penerima perintah pengendalian melalui remote controller.
Aerialview-650 dapat diterbangkan secara manual, semi manual (position &
altituted hold) dan otomatis pada jalur yang telah dirancang sebelumnya. Pada saat
terbang, Aerialview-650 dapat dimonitor melalui laptop yang telah dilengkapi
program penerbangan (mission planner). Secara detil, spesifikasi Aerialview-650
disajikan pada (Tabel 1).

Tabel 1. Spesifikasi Aerialview-650 dan Perangkatnya


No Perangkat Detil
1 Kerangka Tarot 650 Sport (Tipe rangka “X”).
(Frame) Kerangka terbuat dari karbon dengan model quadcopter
(4 lengan) yang dilengkapi dengan landing skids dengan
karet penahan diujungnya.
2 Sistem  Dinamo berjumlah 4 buah,
Penggerak SunnySky V2814-11 KV:700.
(Rotor)  ESC (Electronic Speed Controller) berjumlah 4 buah,
Hobbywing Platinum Pro 30A.
3 Baling-baling  Plastik 12” x 45 (4 buah)
(Propeller)  Karbon 12” x 45 (4 buah)
4 GPS dan GPS (2 buah): u-blox LEA-6H GPS & MAG V2;
Kompas dimensi 17 mm x 22 mm; akurasi 2,5 m.
5 Pengendali  Auto Controller: ArduCopter V3.2.1 (36b405fb);
(Controller) Fixhawk; 3DR_Aero Double GPS, 3-axis gyro &
accelerometer; Magnetometer; 16 Bit automatic
dataloging.
 Fitur:
Return to home (otomatis kembali ke lokasi take off);
Unlimited waypoint (titik penerbangan tidak terbatas);
Position & Altitude hold (terbang pada posisi dan
ketinggian yang ditentukan).
 Remote Controller: FrSky Taranis Plus,
Digital Telemetry Radio System 2,4 GHz;
Combo with X8R; Mode 2; US Charger.
 Software: Mission Planner 1.3.35 build
1.1.5878.12941.
6 Telemetri 2,4 GHz FPV Radio Telemetry
(Telemetry Air module on quad
gear) USB module on Ground Station
7 Dimensi Lebar 700 mm & Tinggi 415 mm (landing skids
installed)
Ground Clearance 80 mm
8

Tabel 1. Spesifikasi Aerialview-650 dan Perangkatnya (lanjutan)


No Perangkat Detil
8 Bobot 1800 gram (dengan Vibration damper dan propeller,
(Weight) tanpa baterai & tanpa kamera)
9 Baterai dan  Lithium Polymer Battery: Baterai utama iP3 power
Adaptor 8000 mAh; 4S; 14.8V; 15C (850.gram) & Baterai
cadangan: Power 6200mAh; 4S; 14.8V; 35C; (600
gram).
 Battery Checker (10 gram).
 Charger: Turnigy Power System Accucell 6; Power
AC Adater Model JT-96W (in=110-240V; 50Hz; 1.5A
Max & out=12V; 4.5A Max).
10 Sistem Triger: SkySight Mono V1.1 (Farsight).
Kamera Vibration Damper: Tarot Damper for GoPro (static).
Kamera :
 W9 sports (SP5K Series Digicam).
 GoPro HERO4 Silver.
 Canon Powershoot A1400.
 Sony α5100; Lensa pancake 16 mm.
 Sony α5100; Single Lens 16-50 mm.
11 Beban ± 2 Kg (optimal ≤ 1,2 Kg)
Maksimum
12 Daya Terbang ± 30 Menit
Maksimum

Aerialview-650 merupakan quadcopter rakitan yang dikembangkan untuk


pemantauan satwa liar. Pertimbangan penggunaan quadcopter rakitan antara lain:
1. Pembuatannya didesain khusus untuk pemetaan dan pemantauan satwa liar.
2. Quadcopter dapat memuat berbagai jenis kamera sesuai kebutuhan pemotretan.
3. Daya terbang dapat disesuaikan dengan bobot baterai dan beban perangkat
kamera (payload).
4. Program untuk operasionalnya menggunakan open source software.
5. Apabila quadcopter mengalami kerusakan, dapat diperbaiki secara parsial.
6. Kemudahan dalam mendapatkan komponen pengganti yang rusak.
Penggunaan quadcopter rakitan dengan beberapa pertimbangan di atas
dimaksudkan untuk memperoleh kepraktisan aplikasi di lapangan. Aerialview-650
didesain sebagai quadcopter untuk kegiatan pemetaan atau pemantauan yang dapat
dilengkapi berbagai sensor dan payload sesuai kebutuhan. Aplikasi Aerialview-650
dalam riset ini dibatasi hanya menggunakan satu kamera yang menggantung pada
mounting/vibration damper untuk pemotretan/perekaman obyek sasaran tanpa
dilengkapi kamera lain untuk kontrol pilot atau yang sering disebut dengan First
Person View (FPV). Sensor yang tersedia dalam perangkat Aerialview-650 meliputi
Global Positioning System (GPS) sebanyak 2 buah untuk menentukan posisi,
mengukur kecepatan terbang, menentukan ketinggian terbang dan pendeteksi
9

kerusakan teknis (technical failure). Semua hasil pengukuran sensor tersebut


tercatat selama penerbangan berlangsung dalam dataflash log pada quadcopter.
Operasional Aerialview-650 menggunakan mission planner software yang
dapat diunduh secara gratis dan dapat di-update secara berkala untuk
penyempurnaannya. Hal tersebut merupakan suatu kemudahan bila dibandingkan
dengan penggunaan jenis quadcopter keluaran industri tertentu (bermerk) yang
harus menggunakan program khusus sesuai ketentuannya. Koh dan Wich (2012)
menggunakan software yang sama dalam pengembangan conservation drone
(drone bertipe fixed wing/airplane seharga kurang dari US$ 2000) untuk pemetaan
dan survei keanekaragaman hayati baik di areal perkebunan maupun hutan.
Penggantian dan perbaikan komponen quadcopter secara parsial saat
mengalami kerusakan memberikan kemudahan bagi peneliti saat pengambilan data
di lapangan. Peneliti tidak perlu menghentikan riset di lapangan dan kembali ke
kota hanya untuk memperbaiki quadcopter yang mengalami kerusakan. Selama
komponen pengganti tersedia di lapangan atau kerusakan dapat diatasi dengan
memodifikasi komponen yang ada, maka perbaikan dapat dilakukan di lapangan.
Keperluan mendasar yang harus tersedia dalam perbaikan quadcopter adalah
sumber daya listrik. Hal ini selaras dengan kebutuhan pengisian ulang daya baterai
yang telah diantisipasi sebelumnya oleh peneliti.
Sebagian besar komponen yang digunakan Aerialview-650 merupakan
produksi China serta tersedia di Indonesia. Beberapa bagian terkadang tidak
tersedia langsung di Indonesia dan untuk mendapatkannya harus melakukan
pemesanan komponen ke China. Waktu yang dibutuhkan untuk hal tersebut selama
1-2 minggu. Alternatif lain untuk memperoleh komponen pengganti yang rusak
dalam waktu singkat adalah melalui komunitas penghobi quadcopter. Umumnya
anggota komunitas memiliki komponen cadangan, sehingga dapat digunakan
terlebih dahulu kemudian diganti dengan komponen yang sama dikemudian hari.

Kamera
Kamera yang digunakan sebanyak 5 buah, terdiri atas 3 tipe, yaitu action cam,
digital compact dan mirrorless cam (Gambar 5). Action cam merupakan tipe
kamera yang paling banyak digunakan oleh industri quadcopter. Digital compact
atau yang sering disebut dengan kamera poket merupakan tipe kamera yang paling
dikenal dan dipahami penggunaannya oleh masyarakat luas serta harganya
terjangkau. Mirrorless cam merupakan tipe kamera dengan kualitas baik, setara
dengan kamera DSLR yang sering digunakan oleh fotografer semi profesional,
namun memiliki bobot yang lebih ringan dan dimensi yang lebih kecil.
Dasar pemilihan kamera dalam uji coba aplikasi quadcopter adalah:
1. Tipe kamera yang banyak digunakan oleh industri quadcopter.
2. Bobot kamera yang tergolong ringan (< 500 gram).
3. Memiliki resolusi sensor yang baik, yaitu 12 – 24 Megapixel.
4. Variasi harga kamera. Jika diklasifikasikan menjadi:
 Harga < 1 juta;
 Harga 1-3 juta;
 Harga 3-6 juta;
 Harga 6-9 juta;
 Harga > 9 juta.
10

 Tipe: Action cam  Focal Length: -


 Merk: W9 sports  perture: f/2,8
 Resolusi Sensor:  Bobot: 150 gram
12 Megapixel  Harga: Rp. 2.600.000,-
 Jenis Lensa: Fisheye  Tahun Pembuatan: 2015

(a)
 Tipe: Action cam  Focal Length: 17-34 mm
 Merk: GoPro HERO4  Aperture: f/2,8
Silver  Bobot: 150 gram
 Resolusi Sensor:  Harga: Rp. 5.960.000,-
12 Megapixel  Tahun Pembuatan: 2015
 Jenis Lensa: Fisheye
(b)
 Tipe: Digital compact  Focal Length: 28-140 mm
 Merk: Canon  Aperture: f/2,8 – f/6,9
powershoot A1400  Bobot: 300 gram
 Resolusi Sensor:  Harga: Rp. 900.000,-
16 Megapixel  Tahun Pembuatan: 2015
 Jenis Lensa: -
(c)
 Tipe: Mirrorles cam  Focal Length: 16 mm
 Merk: Sony @5100  Aperture: f/2,8
 Resolusi Sensor:  Bobot: 370 gram
24,3 Megapixel  Harga: Rp. 10.140.000,-
 Jenis Lensa: Pancake  Tahun Pembuatan: 2015
lens
(d)
 Tipe: Mirrorles cam  Focal Length: 16-50 mm
 Merk: Sony @5100  Aperture: f/3,5 – f/5,6
 Resolusi Sensor:  Bobot: 400 gram
24,3 Megapixel  Harga: Rp. 8.860.000,-
 Jenis Lensa: Single  Tahun Pembuatan: 2015
lens
(e)
Gambar 5. Kamera yang Digunakan untuk Uji Coba Aplikasi Quadcopter

Metode Pengumpulan Data

Uji Coba Daya Terbang


Uji coba daya terbang bertujuan untuk mengetahui kemampuan terbang
Aerialview-650 berdasarkan berat beban/perangkat kamera (payload) yang
dimuatnya. Uji coba dilakukan dengan penerbangan tanpa beban (tanpa penyangga
kamera/mounting/vibration damper dan kamera) serta penerbangan dengan beban,
yaitu dengan penambahan mounting/vibration damper dan 5 kamera (Gambar 5).
Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas:
11

1. Waktu penerbangan mulai take off – landing (menit).


2. Ketinggian terbang (meter di atas permukaan daratan pada saat take off/m dpd).
3. Cuaca saat proses terbang drone (cerah/berawan).
Tipe penerbangan yang digunakan adalah hover yaitu penerbangan melayang
pada posisi dan ketinggian tertentu (2 – 30 m) secara semi manual menggunakan
remote controller oleh pilot dalam areal ± 0,1 ha (terkontrol secara visual). Uji coba
daya terbang dilakukan sebanyak 6 penerbangan.

Uji Coba Tingkat Kebisingan


Tingkat kebisingan ditentukan dari nilai intensitas bunyi yang dihasilkan oleh
quadcopter saat terbang. Data diperoleh dari perekaman bunyi quadcopter yang
diterbangkan secara hover. Jarak terdekat antara quadcopter dengan alat perekam
bunyi adalah 5 m baik secara vertikal maupun horizontal (Gambar 6). Penentuan
jarak tersebut didasarkan pada penggunaan quadcopter untuk kegiatan pemantauan
satwa liar berukuran sedang dan besar di hutan. Satwa liar sasaran khususnya adalah
burung dan mamalia yang berada pada tajuk pohon. Uji coba ini dilakukan
sebanyak 4 penerbangan.

Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto


Tiga penerbangan dari 11 penerbangan yang telah dilakukan, dipilih sebagai
representasi dalam pengukuran kualitas foto udara dan mozaik orthophoto. Jenis
data yang dikumpulkan terdiri atas:
1. Ketinggian tempat (meter di atas permukaan laut/m dpl).
2. Waktu penerbangan mulai take off – landing (menit).
3. Ketinggian terbang (m dpd).
4. Kecepatan terbang (meter/detik).
5. Cuaca saat proses terbang drone (cerah/berawan).
6. Foto udara pada areal yang dikaji.
7. Rekaman video proses pengambilan data.
Tahapan pengambilan data penerbangan jalur disajikan seperti Gambar 7.
Penerbangan dilakukan dengan sistem penerbangan jalur secara otomatis.
Quadcopter diterbangkan secara otomatis pada jalur terbang yang telah dirancang
sebelumnya menggunakan program mission planner (open source software).
Dalam penerbangan ini, take off dan landing pada areal dengan banyak pepohonan
dilakukan secara semi manual menggunakan remote controller oleh pilot. Setelah
itu, penerbangan pada jalur dilakukan secara otomatis tanpa intervensi pilot.

Keterangan:
( ) alat perekam suara
h≥5m ( ) quadcopter
r=5m (r) jarak horizontal dari
alat perekam suara
r=5m (h) jarak vertikal dari
alat perekam suara

(a) Tapak Atas (b) Tampak Samping


Gambar 6. Desain Pengukuran Tingkat Kebisingan Quadcopter
12

Quadcopter siap  Rotor system


Setting Drone  Payload system
diterbangkan
 Autonomous system

Jalur Terbang dalam areal


Rencana Jalur  Cakupan areal
Terbang  Ketinggian terbang
 Waktu terbang
 Jeda pemotretan
 Arah terbang
 Overlaping foto

Proses Terbang Foto Udara

Mozaik Orthophoto

Gambar 7. Tahapan Pengambilan Data Penerbangan pada Jalur Terbang


Untuk areal take off dan landing yang terbuka, keseluruhan penerbangan
mulai dari take off sampai landing dilakukan secara otomatis. Pilot hanya
melakukan satu perintah pada remote controller yaitu perintah penerbangan
otomatis (autonomous load).
Penerbangan dilakukan pada 3 tingkat ketinggian terbang. Pemotretan
dilakukan dengan menggunakan action cam W9 sports pada penerbangan 200 m
dpd dan mirrorles cam sony @5100 single lens 16 - 50 mm pada penerbangan 100
dan 50 m dpd. Penentuan ketinggian terbang didasarkan atas:
1. Ukuran satwa liar sasaran tergolong sedang sampai besar, dengan ukuran
minimal 30 cm. Koh dan wich (2012) menyatakan bahwa foto udara yang
dihasilkan dari penerbangan pada ketinggian 200 m dapat digunakan untuk
identifikasi satwa liar berukuran besar (orang utan dan gajah). Oleh karena itu
ketinggian terbang sampai dengan 200 m dpd diasumsikan dapat menghasilkan
foto udara untuk pemantau satwa liar.
2. Regulasi penerbangan drone di wilayah udara Indonesia menyatakan bahwa
penerbangan yang tidak memerlukan ijin khusus adalah pada ketinggian
terbang maksimal 150 m untuk areal diluar kawasan terlarang (restricted dan
prohibited area). Penerbangan di atas 150 m pada area tersebut memerlukan
ijin khusus dari instansi yang berwenang (Permenhub 2015). Penerbangan pada
ketinggian 200 m dpd yang telah dilakukan merupakan penerbangan yang
dilaksanakan sebelum dikeluarkannya regulasi tersebut. Sehingga penerbangan
selanjutnya dibatasi sampai dengan 150 m dpd menyesuaikan regulasi tersebut.
13

3. Lokasi pemotretan adalah hutan tropis dengan struktur tegakan yang beragam
dan bukan merupakan areal terbuka seperti padang pasir, padang rumput, atau
savanna. Selain itu obyek sasaran pemotretan merupakan satwa liar yang
dinamis beraktivitas di tajuk pepohonan. Sehingga ditentukan ketinggian
terbang minimal adalah di atas ketinggian tajuk pohon hutan tropis yaitu 50 m.
Kecepatan terbang diatur sebesar 3 m/dt mulai dari take off sampai titik start
(terbang vertikal ke atas saja). Dari titik start menuju titik awal jalur terbang
menggunakan kecepatan 7 m/dt. Kemudian terbang dengan kecepatan 5 m/dt
selama pemotretan pada jalur terbang. Dari titik akhir jalur terbang menuju titik
landing, quadcopter melaju dengan kecepatan 7 m/dt. Selanjutnya untuk proses
landing/pendaratan, quadcopter menggunakan kecepatan 1,5 m/dt sampai
mendarat dengan baik dan rotor mati, baik secara otomatis maupun semi manual.
Pemotretan dilakukan dengan jeda waktu yang berbeda-beda, menyesuaikan
ketinggian terbang dan jenis kamera. Waktu penerbangan dilakukan secara variatif
pada pukul 07:00 – 18:00 WIB saat cuaca tidak hujan (quadcopter didesain tidak
tahan air). Rata-rata untuk sekali penerbangan dibutuhkan waktu 1 jam. Rencana
penerbangan berupa jalur terbang pada masing-masing lokasi dan ketinggian
terbang telah dibuat dalam satu cakupan areal pemotretan yang telah ditentukan
menggunakan program mission planner (Gambar 8). Desain penerbangan jalur
secara otomatis pada 3 tingkat ketinggian mulai dari rencana sampai hasil
penerbangan disajikan pada Tabel 2. Dari pemotretan tersebut diperoleh foto udara
yang kemudian akan disusun menjadi mozaik orthophoto.
Sistem autopilot quadcopter memiliki kemampuan untuk melakukan
penerbangan secara stabil pada lintasan yang telah ditentukan. Apabila terjadi
permasalahan teknis seperti kehabisan daya (baterai) pada saat penerbangan, maka
quadcopter akan secara otomatis kembali mendarat pada titik take off (return to
launch). Penerbangan quadcopter dapat dikontrol secara visual melalui program
mission planner pada laptop. Selama mission planner dapat menerima sinyal dari
quadcopter, maka akan terlihat pergerakan quadcopter pada jalur terbangnya.
Sistem penerbangan dapat menghasilkan data penerbangan yang terekam dalam
data flash log pada quadcopter. Data tersebut dapat di ekspor ke dalam personal
computer/laptop. Meta data yang dihasilkan meliputi:
1. ATT (attitude): Informasi pergerakan quadcopter.
2. ATUN (auto tune): Ikhtisar pengaturan penerbangan otomatis.
3. ATDE (auto tune step details): Tahapan detil pengaturan penerbangan.
4. CAM (camera): waktu dan posisi saat pemotretan.
5. CMD (commands): perintah yang diterima dari stasiun pengendali.
6. COMPASS: kompas baku dan offset.
7. CURRENT: informasi tegangan baterai dan arus.
8. CTUN (throttle and altitude): informasi throttle dan ketinggian terbang.
9. ERR (an error message): pesan kesalahan.
10. GPS: jumlah satelit, HDOP, titik koordinat posisi quadcopter, kecepatan
terbang.
11. IMU (accelerometer and gyro): informasi accelerometer dan gyro.
12. Mode (flight mode): tipe sistem penerbangan.
13. NTUN (navigation): informasi navigasi.
14. PM (performance monitoring): pemantauan kinerja.
14

a. Ketinggian Terbang 200 m dpd

b. Ketinggian Terbang 100 m dpd

c. Ketinggian Terbang 50 m dpd


Gambar 8. Rencana Penerbangan Jalur secara Otomatis

Tabel 2. Desain Penerbangan Jalur pada Tiga Tingkat Ketinggian


Kode Penerbangan Fc_150620_ Fc_150629_ Fc150816_
200_w9 100_α5100 50_α5100
Data Penerbangan dan Pengaturan Kamera
Lokasi Danau LSI – Lapangan Sepak Istal Kuda Jalan
Rektorat IPB Bola Jalan Soka Cendana
Tanggal 20 Juni 2015 29 Juni 2015 16 Agustus 2015
Pukul (WIB) 17:21 12:42 09:29
Cuaca Berawan Berawan Cerah
15

Tabel 2. Desain Penerbangan Jalur pada Tiga Tingkat Ketinggian (lanjutan)


Kode Penerbangan Fc_150620_ Fc_150629_ Fc150816_
200_w9 100_α5100 50_α5100
Kamera Action cam Mirrorles cam Mirrorles cam
W9 sports Sony α5100 Sony α5100
Tipe lensa Fisheye Single lens Single lens
16-50 mm 16-50 mm
Bobot (gram) 150 400 400
Sensor (mm) - 23,4 x 15,6 23,4 x 15,6
Mounting Steel plate Steel plate & Vibration
rubber seal damper
Pengaturan Otomatis semi otomatis Manual
Kamera (autofocus) auto ISO &
autofocus
Shutter speed 1/30 1/1250 1/2000
(detik)
aperture f/2.8 f/5.6 f/4
Focal length (mm) - 16 16
ISO 400 320-500 320
Dimensi foto 4.000 x 3.000 6.000 x 4000 6.000 x 4000
(pixel)

Rencana Penerbangan
Ketinggian lokasi 187 204 194
(m dpl)
Ketinggian 200 100 50
terbang (m dpd)
Kecepatan terbang 5 5 5
(m/dt)
Jalur pemotretan/ 1 lintasan/950 2 lintasan/510 4 lintasan/1450
panjangnya (m) (jarak antar lintasan (jarak antar
58,5 m) lintasan 43,9 m)
Prediksi cakupan 18,35 2,12 6,86
area (Ha)
Prediksi jeda 8,77 3,90 3,90
pemotretan (detik)
Overlap (%) 80 80 60
Sidelap (%) 60 60 40
Prediksi jumlah 22 24 69
foto
Prediksi rekam 6,41 1,43 0,36
jejak foto udara
(Ha/foto)
Prediksi resolusi 7,31 3,19 1,22
spasial (cm/pixel)
Estimasi waktu 3,56 2,12 6,05
pemotretan
(menit)
16

Tabel 2. Desain Penerbangan Jalur pada Tiga Tingkat Ketinggian (lanjutan)


Kode Penerbangan Fc_150620_ Fc_150629_ Fc150816_
200_w9 100_α5100 50_α5100
Realisasi Penerbangan
GPS HDOP 1,43 1,3–2,1 1,35–1,62
(Horizontal kondisi aman kondisi lingkungan kondisi yang
Dilution of untuk terbang kurang baik untuk sangat aman
Precision) (Nilai maksimal penerbangan, untuk
GPS HDOP untuk namun secara penerbangan
penerbangan yang keseluruhan dalam
aman adalah 2) kategori aman
Jumlah satelit 11 8-12 11-14
Jalur pemotretan 1 2 4
(lintasan)
Waktu terbang 9,8 9,27 8,93
(menit)
Waktu pemotretan 3,97 3,08 5,93
(menit)
Foto udara yang 53 23 72
dihasilkan (foto)

Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster)


Aplikasi quadcopter untuk pemantauan sarang Elang Laut Perut Putih
dilakukan dengan penerbangan Aerialview-650 melintasi menara yang ada
sarangnya. Pendekatan penerbangan dilakukan dengan 3 ketinggian terbang, yaitu
100, 80 dan 70 m dpd masing-masing sebanyak satu kali penerbangan dengan
menggunakan kamera action cam GoPro HERO4 silver. Jeda penerbangan antar
tingkat ketinggian selama 15 - 30 menit. Sedangkan penerbangan pada ulangan
kedua dilakukan pada hari berikutnya hanya satu kali penerbangan pada ketinggian
70 m dpd menggunakan mirrorles cam sony α5100, lensa pancake 16 mm.
Pengambilan gambar seluruhnya dilakukan dengan pengaturan video secara
otomatis. Kecepatan terbang saat perekaman 5 m/dt (Gambar 9a).
Penerbangan dilakukan pada pukul 07:15 – 09:00 WIB. Penentuan waktu
tersebut didasarkan atas hasil pengamatan perilaku harian elang yang telah
dilakukan sebelumnya oleh peneliti. Pada waktu tersebut elang jantan
meninggalkan sarang menuju laut untuk mencari makanan, sedangkan elang betina
bertengger di menara yang bersebelahan dengan menara sarang. Elang betina selalu
mengawasi sarang dan areal kekuasaannya sembari berjemur dan menelisik bulu.
Kondisi sarang kosong, tidak terdapat telur dan anakan.

Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus) dan Habitatnya


Aplikasi quadcopter untuk pemantauan bekantan dan habitatnya dilakukan
pada pagi hari (07:00 - 08:00 WIB) sebanyak satu kali penerbangan dan sore hari
(15:00 – 16:00 WIB) sebanyak satu kali penerbangan. Penentuan waktu didasarkan
atas informasi perilaku harian serta sebaran satwa liar di HCVA dari manajemen
PT AMR. Pemotretan dilakukan menggunakan mirrorles cam sony α5100, lensa
pancake 16 mm dengan shutter speed 1/2000 dt, focal length 16 mm, aperture f/2,8
dan ISO 320 yang diatur secara manual.
17

v = 5 m/dt Keterangan:
d>30 m
d>20 m (v) Kecepatan terbang
h = 50 m dpd saat pemotretan;
(d) Jarak antara
d>30 m quadcopter dengan
obyek;
(hi) Ketinggian terbang
ke-i;
h1 = 100 m ( ) Elang laut betina;
h2 = 80 m
( ) Sarang elang;
h3 = 70 m
( ) Bekantan

(a) (b)

Gambar 9. Desain Aplikasi Quadcopter untuk Pemantauan Satwa Liar pada


(a) Sarang Elang Laut Perut Putih, (b) Bekantan dan habitatnya

Untuk pemotretan habitat bekantan di lokasi lainnya dilakukan pada siang


hari (9:00 – 11:00 WIB) sebanyak satu kali penerbangan menggunakan mirrorles
cam sony α5100, lensa pancake 16 mm dan 2 penerbangan menggunakan action
cam GoPro HERO4 silver. Keseluruhan penerbangan dilakukan pada jalur yang
telah ditentukan dengan ketinggian terbang 50 m dpd, dan kecepatan terbang pada
saat pemotretan 5 m/dt (Gambar 9b).

Analisis Data

Hubungan Daya Terbang dan Bobot Beban (Payload)


Data hasil uji daya terbang diolah secara statistik deskriptif untuk menentukan
relasi antara waktu terbang dan bobot beban serta bobot quadcopter. Persamaan
korelasi tersebut kemudian digunakan untuk menunjukkan hubungan daya terbang
(nilai minimal – maksimal), bobon beban (tanpa beban – bobot beban maksimal)
dan jenis kamera yang optimal pada aplikasi quadcopter.

Penilaian Tingkat Kebisingan


Tingkat kebisingan ditentukan dari hasil analisis nilai intensitas bunyi yang
diperoleh dari hasil rekaman bunyi quadcopter. Hasil rekaman bunyi quadcopter
diolah menggunakan program analisis bunyi (praat) untuk mengilustrasikan nilai
intensitas bunyi. Nilai intensitas bunyi ≤ 60 dB menunjukkan bahwa quadcopter
memiliki tingkat kebisingan yang rendah atau menurut Wright et al. (2010) dan Vas
et al. (2015) dianggap tidak memberikan dampak negatif terhadap satwa liar.

Kualitas dan Akurasi Geometri Foto Udara


Foto udara yang dihasilkan dari aplikasi quadcopter merupakan data dasar
yang diolah menjadi informasi dalam kegiatan pemantauan satwa liar. Penilaian
kualitas foto udara dilakukan secara visual dengan melakukan sortasi hasil foto
udara dari sisi kejelasan/ketajaman gambar (blur) dan kesesuaian warna obyek.
Dari hasil tersebut kemudian dirumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas foto udara baik dari segi teknis aplikasi quadcopter maupun dari segi teknis
18

pemotretan. Akurasi geometri foto udara diperoleh dari pengukuran dimensi foto
udara dengan satuan pixel. Pengukuran tersebut menggunakan program adobe
photoshop.

Pembuatan Mozaik Orthophoto


Tahap awal dalam membuat mozaik orthophoto adalah sinkronisasi foto
udara dengan titik koordinat GPS. Aplikasi Aerialview-650 dengan pengaturan
pemotretan menggunakan mirrorles cam sony @5100 dihubungkan dengan triger
(pemicu) sebagai pengaktif kamera untuk memotret saat berada di posisi titik
pemotretan yang telah dirancang dalam jalur penerbangan pada program mission
planner. Sehingga foto udara yang dihasilkan dapat disinkronisasi dengan titik
koordinat GPS quadcopter. Sinkronisasi tersebut dilakukan menggunakan program
mission planner berbasis data pesan yang tersimpan dalam dataflash log. Jumlah
foto udara yang dihasilkan harus sama dengan jumlah titik koordinat GPS yang
terekam dalam dataflash log. Apabila terjadi perbedaan, maka secara otomatis
program mission planner tidak dapat melakukan sinkronisasi tersebut.
Berbeda dengan aplikasi Aerialview-650 yang menggunakan action cam (W9
sports dan GoPro HERO4 Silver) dan kamera digital compact (Canon Powershoot
A1400), pengaturan pemotretan yang digunakan berbasis jeda waktu pemotretan
tanpa penggunaan triger sebagai pemicu aktivasi pemotretan. Jeda waktu
pemotretan pada kamera diatur sedemikian rupa sehingga memiliki durasi yang
sama dengan jeda waktu pemotretan pada rancangan jalur terbang di program
mission planner. Pengaturan ini akan menghasilkan foto udara yang dapat
disinkronisasi dengan titik koordinat GPS pada dataflash log quadcopter
menggunakan program mission planner. Jumlah foto udara yang dihasilkan harus
sama dengan jumlah titik koordinat GPS yang terekam dalam dataflash log, karena
apabila terjadi perbedaan maka secara otomatis program mission planner tidak
dapat melakukan sinkronisasi.
Tahap selanjutnya adalah pengolahan foto udara yang telah memiliki titik
koordinat GPS (central point) menjadi mozaik orthophoto menggunakan program
agisoft photoscan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memuat/impor foto dan rekonstruksi jalur terbang.
2. Memeriksa foto yang termuat dan menghapus foto yang tidak diperlukan.
3. Penyelarasan foto.
4. Pembangunan titik tinggi (dense point clouds).
5. Pembangunan model tiga dimensi poligonal (mesh).
6. Pembangunan model tekstur.
7. Pembangunan model ubin (tiled model).
8. Pembangunan model ketinggian digital (DEM/Digital Elevation Model).
9. Pembangunan mozaik orthophoto (orthomosaic)
10. Mengekspor hasil mozaik orthophoto.

Analisis Mozaik Orthophoto


Mozaik orthophoto yang dihasilkan dari proses di atas, secara tidak langsung
telah teranalisis pada program agisoft photoscan. Sehingga dapat diketahui
informasi mengenai:
1. Jumlah foto udara yang diproses.
2. Ketinggian terbang (m).
19

3. Nilai resolusi mozaik orthophoto (cm/pixel).


4. Luas cakupan areal mozaik orthophoto (m2).
5. Jumlah foto udara yang berhasil diselaraskan.
6. Jumlah tie point (titik yang digunakan dalam proses rekonstruksi foto untuk
memperoleh ketelitian dan kualitas hubungan antar foto).
7. Nilai proyeksi dan kesalahan proyeksi ulang (pixel).
8. Jenis kamera, resolusi sensor, focal length, informasi kalibrasi.
9. Posisi kamera dan estimasi penyimpangannya secara horizontal (X,Y) dan
vertikal (Z).
10. Resolusi spasial DEM (cm/pixel) dan kerapatan titiknya (titik/m2).

Efektivitas dan Efisien serta Gangguan terhadap Satwa Liar


Efektifitas dinilai dari foto udara yang dihasilkan dapat digunakan untuk
identifikasi satwa liar. Sedangkan efisiensi dinilai dari teknis aplikasi quadcopter
yang paling optimal, yaitu mampu menghasilkan foto udara yang luas dalam waktu
yang singkat. Gangguan aplikasi quadcopter terhadap satwa liar dinilai dari tingkat
kebisingan quadcopter dan respon satwa liar (Tabel 3).

Analisis Foto Udara Hasil Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih
Untuk mendapatkan foto udara yang menggambarkan kondisi sarang elang,
dilakukan ekstraksi pada hasil rekaman video udara. Ekstraksi dilakukan
menggunakan program videopad video editor. Foto udara hasil ekstraksi kemudian
disortir untuk memperoleh kualitas foto yang baik serta didalamnya harus
teridentifikasi sarang elang. Pengukuran dimensi dilakukan pada foto terpilih. Dari
foto tersebut dilakukan pengukuran morfometri sarang elang. Proses tersebut
dilakukan menggunakan program adobe photoshop.

Tabel 3. Kriteria dan Indikator Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Quadcopter serta
Gangguan Terhadap Satwa Liar
Kriteria Indikator
Efektifitas Data yang dihasilkan 1. Obyek dapat dibedakan dengan baik
dapat digunakan untuk 2. Warna obyek diterjemahkan dengan
identifikasi satwa liar baik
(mamalia dan burung 3. Identifikasi satwa liar sampai tingkat
besar) spesies
4. Akurasi foto mencapai 10 cm/pixel
Efisiensi Teknis aplikasi 1. Waktu terbang paling pendek
quadcopter dengan 2. Jumlah foto udara paling sedikit
kombinasi ketinggian 3. Cakupan luas foto udara paling besar
terbang dan waktu
pemotretan yang dapat
menghasilkan data
paling optimal
Gangguan Tingkat kebisingan Intensitas bunyi > 60 dB
quadcopter
Respon satwa liar Satwa liar melihat, bersuara, bertingkah
terhadap kehadiran panik, melakukan pergerakan
quadcopter mendadak/menghindar dan menyerang
20

Analisis Foto Udara dan Mozaik Orthophoto Hasil Pemantauan Bekantan


Hasil foto udara secara keseluruhan dijadikan bahan dasar untuk proses
identifikasi bekantan dan bahan penyusun mozaik orthophoto pada habitat yang
dijumpai bekantannya. Proses identifikasi bekantan dilakukan pada foto udara yang
berkualitas baik dengan sistem grid. Sistem ini merupakan penilaian dengan cara
memberikan deliniasi berbentuk bujur sangkar (grid) yang membagi habis
permukaan foto udara, kemudian pada setiap grid dilakukan identifikasi bekantan
secara visual. Foto udara yang didalamnya teridentifikasi bekantan diberikan kode
tertentu serta dipisahkan untuk analisis lanjutan berupa pengukuran morfometri.
Pengukuran morfometri bekantan pada foto udara dilakukan menggunakan
program adobe photoshop.Selain itu juga dilakukan pengukuran dimensi foto udara.
Pembuatan mozaik orthophoto yang tersusun atas foto udara hasil
penerbangan dimana teridentifikasi bekantan, dilakukan seperti pembuatan mozaik
orthophoto hasil foto udara pada penerbangan jalur secara otomatis (telah
dijelaskan di bagian pembuatan mozaik orthophoto). Kemudian mozaik orthophoto
pada habitat bekantan dideliniasi untuk menunjukkan klasifikasi tipe habitat
bekantan berdasarkan penutupan lahannya. Deliniasi dilakukan dengan digitasi on
screen menggunakan program arcgis.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Uji Coba Daya Terbang


Uji coba penerbangan tanpa beban dilakukan untuk mengetahui daya terbang
dan kesiapan quadcopter sebelum diterbangkan dengan muatan. Pada sistem
penerbangan ini, quadcopter mampu terbang stabil dan aman selama ± 25 menit.
Daya terbang maksimal sebenarnya melebihi waktu tersebut yaitu mencapai 30
menit. Namun dalam aplikasinya digunakan ukuran daya terbang optimum dengan
alasan keamanan dan keawetan instrumen. Penambahan beban berupa perangkat
kamera menunjukkan pengurangan daya terbang quadcopter. Hasil uji coba
berdasarkan penambahan tipe kamera sebagai berikut:
1. Action cam W9 sports (150 gr) selama ± 21 menit;
2. Action cam GoPro HERO4 Silver (150 gr) selama ± 21 menit;
3. Digital compact Canon Powershoot A1400 (300 gr) selama ± 18 menit;
4. Mirrorles cam Sony α5100; Pancake lens 16 mm (370 gr) selama ± 16 menit;
5. Mirrorles cam Sony α5100; Single lens 16-50 mm (400 gr) selama ± 16
menit.

Tingkat kebisingan
Aplikasi quadcopter mengeluarkan bunyi akibat putaran rotor dan
propellernya. Hasil identifikasi intensitas bunyi yang dikeluarkan quadcopter pada
jarak 5 m mencapai 26,5 dB (Gambar 10). Nilai tersebut ≤ 60 dB yang berarti
tingkat kebisingan quadcopter tergolong rendah. Berdasarkan kriteria dan indikator
gangguan terhadap satwa liar maka tingkat kebisingan quadcopter di bawah
ambang batas gangguan terhadap satwa liar di sekitarnya.

Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto


Penerbangan jalur secara otomatis bertujuan untuk mendapatkan komposisi
sistem penerbangan yang optimal dalam menghasilkan foto udara berkualitas baik.
Dari keseluruhan uji coba aplikasi quadcopter, terdapat peningkatan baik dari sisi
sistem penerbangan maupun foto udara yang dihasilkan. Beberapa kendala yang
dialami dalam aplikasi Aerialview-650 adalah:
1. Manuver spontan akibat perpindahan sistem navigasi dari dua GPS.
2. Penerbangan dan pendaratan pada areal sempit secara manual.
3. Propeller terlepas mengakibatkan quadcopter terjatuh.
4. Baterai habis pada saat penerbangan mengakibatkan hard landing.
5. Bad heading estimate (gangguan sistem kompas/navigasi) mengakibatkan
quadcopter sulit dikendalikan.
Penilaian secara visual terhadap foto udara yang dihasilkan dari aplikasi
quadcopter tidak seluruhnya memiliki kualitas baik. Terdapat beberapa foto yang
tidak tajam gambarnya/blur sehingga mempengaruhi keakuratan identifikasi obyek
dan penerjemahan warna obyek yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
22

a. Nilai Intensitas Bunyi Quadcopter pada Penerbangan 1

b. Nilai Intensitas Bunyi Quadcopter pada Penerbangan 2

c. Nilai Intensitas Bunyi Quadcopter pada Penerbangan 3

d. Nilai Intensitas Bunyi Quadcopter pada Penerbangan 4


Gambar 10. Penilaian Tingkat Kebisingan Aplikasi Aerialview-650
23

Kualitas foto udara dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:


1. Perangkat pemotretan (kamera dan lensa).
2. Sistem peredaman getaran (mounting dan vibration damper).
3. Pengaturan pemotretan (kecepatan pemotretan/shutter speed, focal length,
aperture, ISO).
4. Ketepatan waktu pemotretan (cuaca terkait kebutuhan pencahayaan dalam
pemotretan).
5. Ketinggian terbang.
Identifikasi obyek melalui foto udara sangat ditentukan oleh kualitas foto
udara. Hasil foto udara pada penerbangan dengan ketinggian 50 & 100 m dpd dapat
digunakan untuk membedakan satwa liar besar dan pepohonan sampai tingkat jenis.
Sedangkan foto udara yang dihasilkan dari ketinggian 200 m dpd hanya dapat
digunakan untuk membedakan obyek (Gambar 11). Pemotretan pagi hingga sore
hari saat cuaca cerah menghasilkan kualitas foto udara yang baik. Begitu pula
pemotretan pagi hingga siang hari saat cuaca berawan. Namun pemotretan pada
sore hari dengan cuaca berawan menghasilkan foto udara yang gelap.

a. Action cam W9 sports dari Ketinggian 200 m dpd

b. Mirrorles cam Sony α5100 dari Ketinggian 100 m dpd

c. Mirrorles cam Sony α5100 dari Ketinggian 50 m dpd


Gambar 11. Hasil Pemotretan pada Penerbangan Jalur
24

Tidak semua foto udara yang dihasilkan dapat disusun menjadi mozaik,
karena tidak semua foto udara yang dihasilkan memiliki keterkaitan secara spasial
dan geometris dengan baik. Hal ini ditunjukkan dari posisi kamera saat pemotretan
dan tumpang susun foto udara. Mozaik orthophoto yang dihasilkan memiliki
resolusi spasial dan kualitas tertentu. Hal tersebut dipengaruhi oleh:
1. Jumlah dan kualitas foto udara yang dihasilkan.
2. Jumlah dan kualitas foto udara yang dapat digabungkan serta diselaraskan
(akurasi posisi atau koordinat foto udara).
Secara detil hasil pembuatan mozaik orthophoto disajikan pada Lampiran 1 untuk
penerbangan jalur dengan ketinggian 200 m dpd, Lampiran 2 untuk penerbangan
pada ketinggian100 m dpd serta Lampiran 3 untuk ketinggian terbang 50 m dpd.
Resolusi spasial mozaik orthophoto yang dihasilkan dari penerbangan pada
masing-masing ketinggian disajikan pada Tabel 4. Pada tahap awal uji coba,
terdapat penampalan yang kurang sempurna dalam mozaik orthophoto. Hal tersebut
disebabkan terdapat foto penyusun mozaik yang berkualitas kurang baik (blur).
Tingginya intensitas getaran quadcopter menjadi penyebab utamanya.

Efektivitas dan Efisiensi Quadcopter


Berdasarkan analisis data dan groundcheck, dapat diklasifikasikan kualitas
foto udara secara visual menurut parameter aplikasi dan faktor yang
mempengaruhinya (Tabel 5). Foto udara yang dihasilkan dari keseluruhan
penerbangan telah memenuhi kriteria efektifitas yang telah ditetapkan. Kriteria dan
indikator efisiensi terjawab oleh aplikasi quadcopter pada ketinggian terbang 100
m dpd. Foto udara yang dihasilkan pada ketinggian terbang tersebut sudah cukup
baik, namun untuk identifikasi detil sampai tingkat jenis satwa liar dengan ukuran
30 – 100 cm digunakan foto udara yang dihasilkan dari penerbangan 50 m dpd.

Tabel 4. Resolusi Spasial Mozaik Orthophoto berdasarkan Tinggi Terbang


dan Parameter Pengaturan Pemotretan
No Tipe/Merk Tinggi Kecepatan Overlap/ Resolusi
Kamera Terbang Pemotretan (dt); Sidelap (%) Spasial
(m dpd) Focal length (mm); Dimensi Mozaik
Aperture; Foto (pixel) Orthophoto
ISO (cm/pix)
1 Action 200 1/30-1/60 80/60 4,79
cam/ - 4000 x 3000
W9 sports f/2,8
200-400
2 Mirrorles 100 1/1250 80/60 0,94
cam/ 16 6000 x 4000
Sony f/5,6
α5100 320-640
3 Mirrorles 50 1/2000 60/40 0,85
cam/ 17-21 6000 x 4000
Sony f/4-f/5
α5100 320
25

Tabel 5. Kualitas Foto Udara Berdasarkan Parameter Aplikasi dan Faktor


yang Mempengaruhinya
Parameter Kualitas Ketinggian Terbang Kondisi Cuaca Saat
Foto Udara (m dpd) Penerbangan
50 100 200 Cerah Berawan Berawan
Pagi Pagi Sore
Siang Siang
Sore
Identifikasi obyek ++++ +++ ++ ++++ ++++ +
Warna obyek ++++ ++++ +++ ++++ ++++ +
Resolusi spasial foto ++++ ++++ ++ ++++ ++++ +
Waktu terbang +++ +++ +++
Waktu pemotretan +++ ++++ ++++
Jumlah foto ++ +++ ++++
Cakupan area ++ ++ ++++
Keterangan: (++++) baik; (+++) cukup; (++) kurang, (+) tidak

Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster)


Hasil identifikasi terhadap kondisi sarang menunjukkan bahwa sarang elang
masing kosong, tidak ada telur dan anakan. Bahkan sarang tersebut terlihat bersih,
tidak nampak sisa-sisa makanan seperti tulang ikan, tengkorak ikan/mamalia kecil
dan sampah, hanya terlihat ranting dengan daun yang masih berwarna hijau (ranting
baru). Pendugaan dimensi sarang berdasarkan pengukuran pada foto udara
(berbasis resolusi spasial foto udara) menunjukkan diameter sarang terpanjang
sebesar 201 cm dan terpendek 159 cm (Gambar 12).

L1
L2

Ukuran foto 768 x 768 pixel; Foto insert 200 x 200 pixel (perbesaran 4 kali);
Resolusi spasial foto udara 1 cm/pixel; Pengukuran dimensi sarang: L1 = 201 cm & L2 = 159 cm
Gambar 12. Hasil Identifikasi Kondisi dan Pendugaan Dimensi Sarang Elang
26

Quadcopter diterbangkan melintasi sarang elang saat menjelang musim


kawin. Pengamatan perilaku harian elang yang dilakukan sebelum aplikasi
quadcopter menunjukkan aktivitas elang jantan dan betina sedang membenahi
sarang. Hanya elang betina yang sering berada dalam sarang. Sesekali elang jantan
juga berada di sarang untuk mengantarkan makanan kepada elang betina. Kedua
elang tersebut tidak tidur dalam sarang. Mereka tidur bertengger di tower lain yang
bersebelahan dengan tower sarang. Secara keseluruhan, tidak ada respon negatif
yang ditunjukkan oleh elang terhadap kehadiran quadcopter yang melintas di atas
sarangnya.

Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus)


Berdasarkan foto udara yang dihasilkan saat pemotretan pagi hari di HCVA
PT AMR, teridentifikasi beberapa ekor (satu kelompok) bekantan yang sedang
beraktivitas di atas tajuk pepohonan tepian sungai. Hasil pengukuran morfometri
bekantan berbasis resolusi spasial foto udara menunjukkan panjang tubuh bekantan
31,4 cm (Gambar 13a) dan 35,2 cm (Gambar 13b). Aplikasi Aerialview-650 secara
keseluruhan tidak memberikan dampak terhadap aktivitas bekantan di habitatnya.
Bekantan tetap beraktivitas pada saat quadcopter melintas di atas pepohonan
tempat mencari makannya.
Mozaik orthophoto yang menggambarkan habitat bekantan pada hutan
riparian tersusun atas 54 foto udara yang saling terkait dari total 109 foto udara
(Lampiran 4). Hasil analisis mozaik orthophoto menjadi Digital Surface
Model/DSM memperlihatkan variasi ketinggian mulai dari -1 hingga 27 m. Variasi
tersebut menggambarkan ketinggian permukaan hutan riparian mulai dari
permukaan perairan, daratan terbuka, semak belukar dan pepohonan.

(a) (b)

Ukuran foto 2000 x 2000 pixel Ukuran foto 2000 x 2000 pixel
Foto insert 200 x 200 pixel (perbesaran 25 kali) Foto insert 200 x 200 pixel (perbesaran 25 kali)
Resolusi spasial foto udara 1 cm/pixel Resolusi spasial foto udara 1 cm/pixel
Pengukuran morfometri bekantan Pengukuran morfometri bekantan
panjang tubuh (L) = 31,4 cm panjang tubuh (L) = 35,2 cm
Gambar 13. Hasil Identifikasi Bekantan melompat diantara pohon (a) dan
di atas tajuk (b) serta Pendugaan Morfometri Bekantan
27

Gambar 14. Deliniasi Tipe Ekosistem Habitat Bekantan pada Hutan Riparian

Deliniasi tipe ekositem hutan riparian pada habitat bekantan dapat


diklasifikasikan berdasarkan tutupan lahannya. Gambar 14 merupakan hasil
deliniasi tutupan lahan menjadi hutan (pepohonan) dan bukan hutan (badan air,
perairan tertutup enceng gondok, tanah terbuka, semak belukar dan pepohonan).

Pembahasan

Hubungan Daya Terbang dan Bobot Beban (Payload)


Aerialview-650 mampu terbang optimal selama ± 25 menit, namun dalam
aplikasinya digunakan batas waktu penerbangan yang aman selama ± 15 menit. Hal
ini bertujuan untuk memberikan waktu cadangan dalam mengantisipasi terjadinya
hal-hal yang tidak dinginkan, seperti menurunnya asupan daya dari baterai pada
saat terbang dan pemborosan daya yang harus dikeluarkan quadcopter untuk
menstabilkan proses penerbangan pada lingkungan yang kurang mendukung
(terpaan angin tinggi). Dengan alokasi waktu terbang tersebut, kamera yang mampu
dimuat oleh Aerialview-650 harus berbobot < 500 gram (Gambar 15). Jenis kamera
dengan bobot < 500 gram menjadi alternatif pemilihan kamera dalam aplikasi
quadcopter. Semakin ringan bobot kamera yang digunakan maka semakin lama
waktu terbangnya.

Penilaian Tingkat Kebisingan


Tingkat kebisingan ditentukan dari hasil analisis nilai intensitas bunyi yaitu
bernilai ≤ 60 dB. Menurut Wright et al. (2010) dan Vas et al. (2015) tingkat
kebisingan ≤ 60 dB dengan jarak 2 m dari satwa liar (burung pantai) dianggap tidak
memberikan dampak. Sehingga aplikasi Aerialview-650 dengan jarak terdekat 5 m
dari satwa liar tertentu dianggap tidak memberikan dampak negatif.
gram

menit

4000 Bobot Total Waktu Terbang 25


3500
3000 20
2500 15
2000
1500 10
1000
5
500
0 0

Gambar 15. Hubungan Bobot Kamera dan Quadcopter dengan Waktu Terbang
28

Kendala Aplikasi Quadcopter


Beberapa kendala yang dialami dalam aplikasi Aerialview-650 antara lain:
1. Manuver spontan akibat perpindahan sistem navigasi.
Aerialview-650 telah dilengkapi dengan 2 sistem navigasi, yaitu navigasi
utama (GPS 1) dan cadangan (GPS 2). Dalam proses take off dan landing,
quadcopter harus benar-benar mendapat sinyal yang baik agar tepat sesuai
sistem navigasi utama. Apabila dalam proses take off/landing tiba-tiba sistem
navigasi utama kehilangan sinyal GPS (lost signal), maka sistem navigasi
utama secara otomatis digantikan oleh sistem navigasi cadangan. Kondisi ini
dapat mengakibatkan manuver spontan dan berdampak terhadap kestabilan
drone. Quadcopter akan bergeser sekitar 2 – 5 meter dari titik semula, karena
posisi yang ditentukan oleh GPS 1 dan GPS 2 terdapat perbedaan ± 2 m. Pada
posisi yang kurang menguntungkan (seperti di sekitar tajuk pohon), manuver
tersebut dapat mengakibatkan quadcopter menabrak obyek di sekitarnya yang
menghalangi (crash). Quadcopter yang mengalami tabrakan dengan obyek
lain, terkadang masih dalam kondisi rotor hidup dan memaksa propeller untuk
terus berputar. Hal ini dapat merusak komponen baik quadcopter maupun
obyek yang tertabrak. Untuk menghindari hal tersebut, dalam kondisi ruang
take off/landing yang sempit dan/atau dikhawatirkan penerimaan sinyal GPS
kurang baik, maka proses take off/landing sebaiknya dilakukan secara manual
menggunakan remote controller oleh pilot sampai quadcopter mencapai posisi
dan ketinggian yang aman (tanpa ada halangan obyek dalam sistem navigasi).
Dari titik tersebut quadcopter dibiarkan dalam kondisi hovering beberapa saat
(15 – 60 detik). Apabila menurut pilot kondisi quadcopter telah aman dan siap,
maka quadcopter dapat diterbangkan/didaratkan secara otomatis sesuai
rencana penerbangan yang telah terekam dalam sistem penerbangannya.
2. Penerbangan dan pendaratan pada areal sempit.
Penerbangan dan pendaratan quadcopter secara otomatis aman dilakukan pada
areal terbuka dengan kondisi cuaca dan angin yang baik. Apabila penerbangan
dan pendaratan dilakukan pada areal yang sempit, sebaiknya dikontrol secara
semi manual atau manual oleh pilot, seperti halnya solusi pada bagian manuver
spontan di atas. Hal ini bertujuan untuk menghindari crash dengan obyek di
sekitar quadcopter.
3. Propeller terlepas saat proses terbang.
Sistem penerbangan quadcopter sepenuhnya dikendalikan oleh udara yang
digerakkan oleh propeller sehingga apabila satu atau lebih propeller terlepas
dari rotor akan berakibat terganggunya sistem penerbangan. Quadcopter
secara langsung mengalami kehilangan daya terbang dan akan jatuh. Dalam
pengembangan instrumen lebih lanjut, kondisi tersebut sebenarnya bisa
diantisipasi dengan penambahan perangkat keamanan berupa parachute
system. Sistem ini berfungsi untuk memperlampat proses pendaratan
quadcopter sehingga tidak terjadi kerusakan. Pengaturan sistem tersebut dapat
dijalankan secara manual atau otomatis apabila terjadi kerusakan teknis.
Konsekuensi penambahan perangkat tersebut adalah penambahan biaya, beban
dan kebutuhan energi dalam sistem quadcopter yang harus diperhitungkan
dengan kebutuhan daya terbangnya untuk pengambilan data.
29

4. Baterai habis saat penerbangan berlangsung.


Kemampuan baterai untuk memberikan asupan energi pada sistem quadcopter
memiliki batasan. Apabila saat terbang quadcopter kehabisan asupan energi,
maka sistem penerbangannya akan terganggu. Dalam kondisi tersebut
quadcopter akan mendarat darurat atau terjatuh karena tidak ada daya untuk
menggerakkan propeller. Aerialview-650 telah dilengkapi perangkat
peringatan dini untuk hal tersebut. Sebelum baterai habis, terdapat alarm yang
akan berbunyi sebagai penanda. Saat penanda berbunyi berarti masih terdapat
sisa daya baterai untuk pendaratan secara aman. Apabila Aerialview-650
sedang dalam proses terbang otomatis pada lintasan, maka secara otomatis
akan kembali dan mendarat di tempat peluncuran semula. Sedangkan jika
Aerialview-650 dalam kondisi terbang semi manual atau manual, maka juga
secara otomatis akan kembali dan mendarat di tempat peluncuran awal.
5. Bad Heading Estimate.
Bad heading estimate diartikan sebagai perkiraan posisi quadcopter yang jelek,
berupa peringatan yang muncul pada mission planner software saat Aerialview-
650 kehilangan posisi terbang. Kondisi tersebut mengakibatkan quadcopter
tidak terkendali serta terbang berputar-putar dan akhirnya terjatuh. Dalam
kondisi tersebut quadcopter sulit dikendalikan meskipun sudah diambil alih
secara manual oleh pilot dengan radio controller. Bad Heading diakibatkan
oleh sistem kompas yang terganggu, sehingga membingungkan sistem
penerbangannya. Hal ini dikarenakan kebingungan sistem navigasi dalam
membaca sinyal GPS. Cuaca yang kurang baik (awan tebal merata) dan
penerbangan pada lokasi baru bisa menjadi penyebabnya. Untuk mengatasi hal
ini, penerbangan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca baik serta
memperhatikan nilai HDOP, jumlah satelit dan kondisi awan. Selain itu juga
perlu dilakukan kalibrasi quadcopter sebelum penerbangan pada lokasi yang
berbeda (utamanya perpindahan ke luar kota/pulau).

Kualitas Foto Udara dan Mozaik Orthophoto


Resolusi Spasial Foto Udara
Paneque-Galvez et al. (2014) menyatakan bahwa drone yang diterbangkan
pada ketinggian 50-300 m mampu mengakuisisi citra spasial resolusi sangat tinggi,
dengan pixel sampai beberapa sentimeter. Foto udara yang dihasilkan oleh
Aerialview-650 menggunakan action cam W9 sports dari ketinggian terbang 200 m
dpd secara jelas dapat digunakan untuk membedakan obyek. Hasil foto udara
tersebut memiliki resolusi spasial lebih baik dibandingkan foto udara yang
dihasilkan oleh conservation drone. Conservation drone menghasilkan foto udara
beresolusi 5,3 cm/pixel menggunakan kamera Canon atau Pentax dengan focal
length 5,7 pada ketinggian terbang 200 m dpd (Koh dan Wich 2012). Martin et al.
(2012) dalam analisis distribusi manatee pada areal pembangkit listrik di Florida
menggunakan drone yang dilengkapi kamera berlensa pancake (25 mm) dengan
bobot 4,5 Kg diterbangkan pada ketinggian 200 m, kecepatan terbang 16 m/dt dan
waktu jeda pengambilan foto selama 2,5 dt mampu menghasilkan foto udara
beresolusi 5 cm/pixel serta dapat mendeteksi obyek sekecil bola tenis secara akurat.
Aplikasi Aerialview-650 pada penerbangan 100 m dpd dengan mirrorles cam
sony @5100 menghasilkan foto udara yang dapat digunakan untuk mendeteksi
30

keberadaan satwa liar sampai dengan tingkat jenis. Hal ini serupa dengan foto udara
yang dihasilkan oleh FolBat (UAV tipe airplane) yang dikembangkan oleh Jones
et al. (2006) pada penerbangan dengan ketinggian 100 – 150 m, yang mampu
membedakan beberapa burung laut (Egretta sp. & Mycteria americana) serta
vertebrata berukuran sedang. Foto udara yang dihasilkan Aerialview-650 pada
ketinggian terbang 50 m dpd dengan mirrorles cam sony @5100 dapat digunakan
untuk identifikasi spesies satwa liar yang berukuran sampai dengan
30 cm, jenis pohon dan obyek yang tergambar di dalamnya. Hasil serupa
ditunjukkan oleh Koh dan Wich (2012) yaitu foto udara yang dihasilkan dapat
menggambarkan penggunaan lahan seperti perkebunan sawit, persawahan,
pemukiman, hutan dan jalan hutan. Video yang dihasilkan dari ketinggian
80 – 100 m oleh conservation drone beresolusi sampai 1080 pixel, mampu
mendeteksi obyek seperti pohon, kelapa sawit, orang utan dan gajah.
Pemantauan satwa liar yang berukuran ≥ 30 cm dapat menggunakan foto
udara yang dihasilkan quadcopter dari ketinggian terbang 50 – 100 m dpd. Kualitas
foto udara yang dihasilkan Aerialview-650 membuktikan bahwa aplikasi
quadcopter efektif untuk pemantauan satwa liar berukuran sedang sampai besar.

Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Foto Udara


Distorsi data terjadi karena pengaruh sistem drone, teknis dan ketepatan
waktu pengambilan data. Sistem drone yang dimaksud adalah terkait dengan
perangkat pemotretan baik kamera, lensa maupun mounting/alat
pembawa/penghubung kamera yang menempel pada badan drone. Penambahan
vibration damper dan peningkatan tipe kamera (dari kamera beresolusi 12 MP
sampai 24 MP) menghasilkan peningkatan kualitas foto udara. Secara garis besar
parameter pengembangan quadcopter serupa dengan tipe airplane/fixed wing.
Penambahan sistem peredaman, peningkatan jenis/mutu kamera yang digunakan
serta pengaturan pemotretan dilakukan untuk meningkatkan performa UAV dan
kualitas foto udara yang dihasilkan (Koh dan Wich 2012; Jones et al. 2006).
Ketepatan waktu pengambilan data dan variasi ketinggian terbang juga
mempengaruhi distorsi data. Waktu pengambilan data sangat berhubungan dengan
cuaca yang terkait dengan kebutuhan pencahayaan oleh kamera. Faktor
pencahayaan yang diterima lensa kamera sangat mempengaruhi kualitas foto yang
dihasilkan. Pemotretan yang dilaksanakan pada cuaca cerah dan terang
menghasilkan foto udara yang baik. Meskipun cuaca berawan, jika cahaya yang
dibutuhkan kamera tercukupi, maka dapat menghasilkan foto udara yang
berkualitas baik. Foto udara yang gelap tidak dapat digabungkan menjadi mozaik
orthophoto.
Menurut Koh dan Wich (2012) terdapat beberapa faktor yang menentukan
resolusi foto udara yang dihasilkan oleh drone antara lain ketinggian terbang, focal
length dan ukuran sensor kamera. Foto yang dihasilkan oleh conservation drone
memiliki resolusi tertinggi 2,2 cm dengan focal length 6,9 mm pada ketinggian
terbang 100 m dpl, sedangkan resolusi terendah dihasilkan pada focal length 4,1
mm dengan ketinggian terbang 200 m dpl. Data yang dihasilkan drone
meningkatkan analisis visual citra dan secara signifikan dapat meningkatkan
identifikasi serta pemantauan perubahan lahan, degradasi dan regenerasi hutan
(Paneque-Galvez et al. 2014).
31

Beberapa foto udara yang dihasilkan Aerialview-650 masih kurang fokus.


Kondisi tersebut disebabkan getaran dengan intensitas tinggi yang dihasilkan oleh
quadcopter pada saat terbang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan
pemasangan vibration damper sebagai peredam dan penyangga kamera serta
penggunaan kamera dan pengaturan pemotretan yang baik. Sehingga pada
kecepatan pemotretan yang sama, sensor kamera mampu menangkap gambar secara
baik dan jelas. Koh dan Wich (2012) merekomendasikan pengaturan kamera
otomatis untuk pencahayaan dan fokus. Untuk mengurangi blur, kecepatan
pemotretan diatur 1/320 – 1/1000 dan ditambahkan sistem peredaman yang terbuat
dari kemasan busa kerapatan rendah. Faktor lain yang menyebabkan foto udara blur
adalah penentuan focal length (jarak antara lensa dan sensor) yang berubah-ubah.
Untuk mengatasi hal ini dilakukan pengaturan focal length secara tetap selama
pemotretan dengan mengunci focal length atau mengganti lensa menggunakan
lensa pancake (Martin et al. 2012; Watts et al. 2010).

Mozaik Orthophoto
Orthophoto merupakan foto udara yang telah dikoreksi geometris dan
menggambarkan obyek dalam kedudukan yang sebenarnya. Mozaik orthophoto
dibuat dari kumpulan hasil foto udara yang memiliki titik koordinat geometris.
Faktor utama yang mempengaruhi kesempurnaan mozaik orthophoto adalah
kuantitas dan kualitas foto udara yang digabungkan.
Jumlah foto yang dihasilkan saat pemotretan sangat berpengaruh terhadap
pembuatan mozaik orthophoto. Semakin banyak foto udara yang dapat
digabungkan dari total keseluruhan foto udara yang dihasilkan, maka semakin
sempurna mozaik orthophoto yang dibuat. Delapan puluh lima persen foto udara
yang digabungkan untuk membuat mozaik orthophoto sudah menunjukkan hasil
yang baik meskipun posisi atau koordinat foto udara yang dihasilkan memiliki
penyimpangan yang besar. Namun jika hanya 43 % foto yang digabungkan, maka
hasilnya tidak begitu bagus karena masih terdapat beberapa kekosongan foto pada
mozaik. Sehingga untuk membuat mozaik orthophoto yang baik dibutuhkan paling
tidak 50 % foto penyusun dari keseluruhan foto yang dihasilkan dengan catatan
foto-foto tersebut memiliki keterkaitan secara geometris (koordinat foto masih
berkaitan) dan memiliki cukup sisi overlap dan sidelap. Mozaik orthophoto yang
tersusun atas foto udara berkualitas baik dapat menjadi tidak sempurna apabila
posisi atau koordinat foto udara yang dihasilkan memiliki penyimpangan yang
terlalu besar (Tabel 6, Lampiran 1-4).

Tabel 6. Estimasi Penyimpangan Posisi Kamera Berdasarkan Presisi Foto Udara


No Tinggi  Total  Foto Prosentase X Y Z
Terbang Foto yang n/N error error error
(m dpd) Udara (N) digabung- (%) (m) (m) (m)
kan (n)
1 200 53 53 100 57,48 12,93 1,42
2 100 23 23 100 28,46 13,27 0,22
3 50 72 61 85 40,67 29,07 10,54
4 50 72 31 43 39,83 24,17 13,74
5 50 109 54 50 0,89 0,41 0,34
32

Resolusi mozaik orthophoto pada penerbangan 50 m dpd lebih detil 5 kali


lipat dibandingkan pada penerbangan 200 m dpd. Hasil mozaik orthophoto tidak
menunjukkan perbedaan yang berarti pada penerbangan 50 dan 100 m dpd. Analisa
pada kedua ketinggian terbang ini lebih diutamakan pada tiap foto udara yang
dihasilkan. Martin et al. (2012) menggambarkan data georeference dikumpulkan
dengan menggunakan drone, kemudian dikombinasikan dengan pengembangan
model statistika sehingga dapat meningkatkan kemampuan manusia dalam
menduga distribusi dan kelimpahan organisme yang sulit terdeteksi dan tersebar.

Aplikasi Quadcopter Berdasarkan Kebutuhan Data


Aplikasi drone untuk pengambilan data satwa liar sangat tergantung tujuan
dan parameter lingkungan yang akan diambil pada setiap lokasi kajian. Aplikasi
yang berbeda akan meminta sistem drone yang berbeda pula, sesuai dengan sensor
(kontrol, video, foto, telemetri radio) dan jarak yang diperlukan untuk mencapai
area kajian (Jones 2003). Hubungan throttle, ketinggian dan waktu terbang
digunakan untuk menunjukkan tata waktu penerbangan quadcopter mulai dari take
off, pemotretan sampai dengan landing (Gambar 16). Selain itu dari grafik throttle
dapat dilihat secara visual kestabilan quadcopter di udara dalam mempertahankan
posisi ketinggian terbangnya. Perubahan garis throttle pada grafik, umumnya
ditunjukkan saat quadcopter take off dan saat berbelok dari satu lintasan ke lintasan
berikutnya. Pada posisi tersebut garis throttle tidak mungkin konstan karena saat
itu throttle menggerakkan keempat rotor dengan kecepatan yang berbeda. Kondisi
ini untuk mempertahankan ketinggian terbang quadcopter pada posisi berganti
arah/berbelok. Selain itu perubahan garis throttle yang sangat mencolok terjadi saat
quadcopter diterpa angin kecang baik pada lintasan lurus maupun posisi sedang
berbelok.
Keterkaitan antara bobot kamera dan quadcopter, waktu terbang, jenis
kamera, ketinggian terbang dan akurasi data yang dihasilkan, dapat digunakan
untuk merumuskan alternatif kombinasi pemanfaatan quadcopter sesuai dengan
output data yang ingin diperoleh. Seperti dalam pemantauan satwa liar yang hanya
membutuhkan output foto udara beresolusi spasial 2 – 5 cm/pixel, maka dapat
dilakukan penerbangan di ketinggian 100 – 200 m dpd dengan kamera 12 - 16 MP
yang berbobot < 300 gram. Sedangkan untuk menghasilkan foto udara dengan
resolusi spasial 0,85 – 1 cm/pixel, maka penerbangan dilakukan pada ketinggian
50 – 100 m dpd menggunakan kamera 24 MP yang berbobot 350 – 500 gram.

Efektivitas dan Efisiensi Quadcopter


Efektivitas merupakan ukuran tingkat pemenuhan output atau tujuan dalam
suatu proses. Semakin tinggi pencapaian output maka dikatakan proses tersebut
semakin efektif. Proses yang efektif ditandai dengan perbaikan proses menjadi lebih
baik dan aman. Berdasarkan kriteria efektifitas yang telah ditetapkan, foto udara
yang dihasilkan dari keseluruhan penerbangan sudah memenuhi semua indikator.
Aplikasi Aerialview-650 dengan 5 kamera pada ketinggian terbang 50 – 200 m dpd,
menghasilkan foto udara yang dapat digunakan untuk identifikasi satwa liar. Jenis
obyek, warna obyek dan spesies satwa liar dapat ditentukan dengan baik melalui
foto udara.
33

a. Penerbangan Fc_150620_200_w9 pada Ketinggian 200 m dpd


menggunakan Action cam W9 sports

b. Penerbangan Fc_150629_100_α5100 pada Ketinggian 100 m


dpd menggunakan Mirrorles cam Sony α5100

c. Penerbangan Fc150816_50_α5100 pada Ketinggian 50 m dpd


menggunakan Mirrorles cam Sony α5100
Gambar 16. Hubungan Antara Throttle, Ketinggian dan Waktu Terbang
34

Efisiensi didefinisikan sebagai ukuran tingkat penggunaan sumber daya


dalam suatu proses. Semakin hemat/sedikit penggunaan sumber daya, maka
prosesnya dikatakan semakin efisien. Kriteria dan indikator efisiensi yang telah
ditetapkan, terjawab oleh aplikasi quadcopter pada penerbangan di ketinggian
100 m dpd. Penerbangan tersebut membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk
memotret areal dengan cakupan yang cukup luas (10 – 20 Ha) dengan jumlah foto
yang dihasilkan lebih sedikit serta memiliki resolusi spasial yang mendekati hasil
foto udara dari penerbangan 50 m dpd.
Aerialview-650 didesain untuk mudah dibawa kemana-mana (portable).
Frame dan landing skid dapat dilipat dan propeller dapat dilepas. Untuk
mengangkutnya dibutuhkan tas/box berukuran 95 x 40 x 25 cm atau 95 liter serta
mampu menahan beban sampai dengan 10 Kg (bobot total quadcopter beserta
perlengkapannya ±7 Kg).

Pemantauan Sarang Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster)


Identifikasi Sarang Elang Laut Perut Putih
Hasil identifikasi satwa liar melalui foto udara menunjukkan secara detil
bentuk, jenis sampai aktivitas satwa liar. Selain itu kondisi sarang dan obyek yang
berada di dalam sarang dapat terdeteksi. Martin et al. (2012) mengatakan bahwa
obyek yang teridentifikasi pada foto udara dapat diukur sehingga dapat
diaplikasikan pada bidang ekologi untuk menentukan kelas umur satwa liar dari
ukuran morfologinya (anakan/dewasa). Penerbangan UAV tipe airplane pada
ketinggian 85 m di Danau Okeechobee, Florida berhasil merekam alligator dengan
perkiraan panjang tubuh total 1,7 m.
Hasil pengukuran dimensi sarang elang berdasarkan foto udara tidak dapat
dibandingkan dengan ukuran sebenarnya karena tidak tersedia data tersebut.
Namun jika dibandingkan dengan hasil penelitian Gunawan dan Purwanto (2007)
yang mengukur secara langsung sarang elang non aktif pada habitat alami di
Kepulauan Seribu yaitu 1,65 m × 1 m, dimensi sarang elang di PT PJB UP Paiton
lebih besar.

Respon Elang Laut Perut Putih Terhadap Aplikasi Quadcopter


Aplikasi Aerialview-650 melintasi menara sarang elang dan menara tempat
bertengger elang betina tidak menimbulkan gangguan terhadap elang. Tidak
terdapat respon negatif yang ditunjukkan oleh elang terhadap kehadiran
quadcopter. Pada penerbangan ketiga yang dilakukan 15 menit setelah penerbangan
kedua (selang waktu antar penerbangan selama 10 – 15 menit), di ketinggian 70 m
dpd (jarak antara sarang dan quadcopter ± 30 m serta jarak antara elang betina dan
quadcopter ± 50 m), elang betina terbang menghampiri sarang beberapa saat
(10 detik) setelah quadcopter melintas. Pergerakan elang tersebut dinilai bukan
sebuah respon dari elang betina terhadap kehadiran quadcopter. Penerbangan
selanjutnya yang dilakukan pada hari berbeda di ketinggian 70 m dpd tidak
mendapatkan respon dari elang betina. Hal ini selaras dengan hasil penelitian
Vas et al. (2015) tentang respon perilaku Anas platyrhynchos di habitat
penangkaran semi alami dan Tringa nebularia di area lahan basan terhadap warna,
kecepatan dan sudut terbang quadcopter yang menunjukkan bahwa secara umum
35

tidak terdapat dampak terukur pada perilaku burung (jarak quadcopter dengan
burung sasaran paling dekat 4 m).
Elang Laut Perut Putih di PT PJB UP Paiton merupakan jenis burung predator
yang lebih dari 4 tahun hidup dalam habitat non-alami. Mereka telah beradaptasi
dengan kebisingan suara yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik dan lalu lalang
kendaraan bermotor yang melewati jalan raya (pantura), tepat berada di bawah
menara sarang elang. Bahkan sempat terlihat elang memanfaatkan asap/uap air
panas yang keluar dari cerobong asap pembangkit listrik untuk menghangatkan
badan/mengeringkan bulunya setelah semalaman bertengger di menara dalam
kondisi hujan deras. Oleh karena itu, kehadiran quadcopter dengan intensitas bunyi
yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kebisingan pembangkit listrik dan
kendaraan bermotor tidak mendapatkan respon.
Aplikasi quadcopter untuk pemantauan sarang elang sebaiknya dilakukan
sekali tanpa pengulangan pada waktu yang berdekatan. Apabila diperlukan
pengulangan, sebaiknya dilakukan dengan jeda waktu agak lama atau berbeda hari
dengan mempertimbangkan karakteristik dan perilaku harian elang. Rekomendasi
Vas et al. (2015), sebaiknya penerbangan drone dilakukan dengan jarak lebih dari
100 m dari burung sasaran, karena burung lebih bereaksi terhadap quadcopter yang
diterbangkan secara vertikal mendekati sasaran.

Pemantauan Bekantan (Nasalis larvatus)


Identifikasi Bekantan dan Habitatnya
Menurut Bismark (2009) tinggi duduk bekantan dewasa jantan 65,50 cm dan
betina 56,25 cm, sedangkan remaja jantan 38 cm. Berdasarkan acuan ukuran
tersebut, bekantan yang terdeteksi dalam foto udara tergolong remaja. Analisis
DSM menunjukkan bahwa ketinggian permukaan habitat bekantan berkisar antara
-1 m sampai dengan 27 m. Kondisi tersebut sesuai dengan karakteristik habitat yang
dikemukakan Bismark (2009) yaitu tinggi pohon berkisar 6-27 m, diameter pohon
9,6-45,2 cm serta luas kanopi 9,1-54 m². Deliniasi tutupan lahan pada mozaik
orthopotho habitat bekantan seluas 3,38 Ha terbagi menjadi hutan (pepohonan)
seluas 2,72 Ha (81 %) dan bukan hutan 0,66 Ha (19 %), terdiri atas badan air,
perairan tertutup enceng gondok, tanah terbuka seluas 0,29 Ha serta semak belukar
seluas 0,37 Ha.

Respon Bekantan Terhadap Aplikasi Quadcopter


Aerialview-650 yang terbang di atas habitat bekantan pada hutan riparian,
tidak menimbulkan dampak terhadap aktivitas bekantan. Bekantan tetap mencari
makan dan beraktivitas di tajuk pepohonan. Kondisi tersebut dinilai sebagai bentuk
tidak adanya respon bekantan terhadap kehadiran quadcopter. Bekantan di areal ini
telah terbiasa dengan kehadiran satwa liar yang melintas di udara, karena areal ini
juga merupakan habitat rangkong. Rangkong baik dengan jumlah seekor maupun
rombongan (2 – 5 ekor) sering terbang melintas di atas pepohonan tempat bekantan
mencari makan. Ukuran rangkong lebih besar dibandingkan dengan dimensi
quadcopter. Rangkong mengeluarkan suara kepakan sayap yang lebih gaduh
dibandingkan dengan bunyi quadcopter.
Pazamny et al. (2014b) yang melakukan penerbangan drone untuk monitoring
perburuan liar badak di Afrika menyatakan bahwa badak tidak menunjukkan respon
36

atau reaksi ketidaknyamanan selama penerbangan berlangsung. Namun, tidak ada


bukti yang menyebutkan bahwa aktivitas penerbangan tidak bisa mengganggu
satwa liar jika dilakukan secara terus menerus.

Rekomendasi Teknis Aplikasi Quadcopter yang Selaras dengan Regulasi dan


Etika Fotografi Satwa Liar
Regulasi Penggunaan Drones
Martin et al. (2012) mengatakan penerapan teknologi UAV di Florida masih
baru dan memiliki banyak pembatasan (misalnya, harus mendapatkan izin operasi
pada wilayah udara sipil dari Federal Aviation Administration /FAA). Namun dari
pengalamannya, teknologi ini akan banyak digunakan dan menjadi tidak sulit untuk
dioperasikan pada sistem wilayah udara nasional. Dari 202 negara yang tercatat di
dunia, 57 negara diantaranya telah memiliki regulasi tentang drone, termasuk
didalamnya adalah Indonesia. Australia adalah negara pertama di dunia yang
mengatur operasional drone pada tahun 2002 (Perlman 2016). Regulasi tersebut
mengklasifikasikan operasional drone berdasarkan tujuan terbang dan bobotnya.
Aturan main tentang drone secara gasris besar membahas hal yang serupa baik pada
negara Australia, Asia, Eropa, maupun Amerika. Pokok bahasan yang diatur mulai
dari kualifikasi/tipe drone yang boleh diterbangkan, pengendali drone (pilot)
sampai dengan ruang udara yang boleh dilewatinya.
Regulasi tentang penggunaan drone di Indonesia diatur dalam Peraturan
Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. PM 90 Tahun 2015 tentang
Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang
Dilayani Indonesia. Dalam aturan tersebut dijelaskan aturan main drone mulai
kawasan mana saja yang diperbolehkan untuk menerbangkan drone sampai dengan
tata cara teknis penerbangannya (Permenhub 2015). Secara umum drone tidak
boleh diterbangkan pada kawasan udara terlarang (prohibited area), kawasan udara
terbatas (restricted area), Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP)
suatu bandar udara, controlled airspace dan uncontrolled airspace pada ketinggian
lebih dari 500 ft (> 150 m). Drone boleh diterbangkan pada uncontrolled airspace
di bawah ketinggian 500 ft (≤ 150 m), atau pada kondisi khusus dapat diterbangkan
di ketinggian lebih dari 500 ft (> 150 m) setelah mendapatkan izin dari Direktur
Jenderal Perhubungan Udara (Permenhub 2015). Operasional drone di Indonesia
juga terikat dengan regulasi lainnya terkait penerbangan, keantariksaan,
telekomunikasi dan hak cipta. Terkait dengan regulasi tersebut, maka perlu
penyelarasan aplikasi quadcopter untuk kegiatan pemantauan satwa liar, khususnya
terkait dengan ketinggian dan lokasi penerbangannya.

Etika Fotografi Satwa Liar


Perjumpaan dengan satwa liar bagi seorang fotografer merupakan sebuah
amanah yang dapat dinikmati secara aman, etis dan bertanggung jawab. Aktivitas
pemotretan seharusnya tidak menyebabkan satwa liar menjauh atau melarikan diri,
karena secara kumulatif hal tersebut dapat mengakibatkan ancaman terhadap
kelangsungan hidupnya (Excell 2012). Menurut Datatri dan Sreenivasan (2016)
etika fotografi satwa liar menegaskan untuk meminimalisir gangguan terhadap
satwa liar dan lingkungannya. Pemotretan dilakukan dengan cara tidak merusak dan
37

menggangu habitat dan aktivitas baik satwa liar sasaran maupun satwa liar di
lingkungannya serta meminimalisir kontak langsung dengan satwa liar.
Beberapa hal yang harus diketahui dalam menjalankan prinsip etika fotografi
satwa liar antara lain (Excell 2012; Podduwage 2016):
1. Pengetahuan tentang subyek dan lokasi (lingkungan), terdiri atas perilaku
satwa liar, kebutuhan rutin satwa liar, peralatan fotografi yang konservatif dan
jarak pemotretan.
2. Pengetahuan tentang peraturan dan hukum (sosial), terdiri atas waktu
pemotretan yang tepat, regulasi tentang jarak minimum pemotretan dan
regulasi pemotretan dalam suatu areal tertentu serta penggunaan peralatan yang
diperkenankan.
3. Keahlian dan tanggung jawab (individu) seperti penguasaan teknis fotrografi
dan kepatuhan terhadap regulasi.
Aplikasi quadcopter untuk fotografi satwa liar merupakan salah satu
penerapan teknologi yang telah selaras dengan etika fotografi satwa liar. Fotografer
tidak harus secara langsung melakukan kontak dengan satwa liar. Namun terdapat
beberapa hal yang perlu diselaraskan terkait sistem penerbangan dan keahlian pilot
agar pemanfaatan quadcopter untuk fotografi satwa liar tetap mengacu pada
prinsip-prinsip etika fotografi satwa liar.

Rekomendasi Teknis Aplikasi Quadcopter


Rekomendasi teknis aplikasi quadcopter untuk pemantauan satwa liar yang
efektif dan efisien serta selaras dengan regulasi dan etika fotografi satwa liar adalah:
1. Sebelum melakukan penerbangan, diharuskan mempelajari perilaku dan
karakteristik satwa liar sasaran (dapat diketahui melalui pengamatan secara
langsung atau berdasarkan informasi dan referensi).
2. Take off tersembunyi dengan jarak minimal yang disarankan sejauh 300 m dari
satwa liar sasaran.
3. Penerbangan quadcopter pada ketinggian 50 – 100 m dpd. Jarak antara
quadcopter dengan satwa liar sasaran atau obyek tertinggi yang dilintasi saat
penerbangan lebih dari 20 m. Ketinggian terbang menyesuaikan ukuran dan
karakteristik satwa liar sasaran.
4. Kecepatan terbang quadcopter 5 – 7 m/dt dengan kecepatan terbang saat
pemotretan 5 m/dt.
5. Jenis kamera yang digunakan berbobot ringan (< 500 gram) dengan kualitas
sensor beresolusi tinggi (≥ 20 MP) dan lensa yang baik.
6. Penggunaan sistem peredaman getaran pada kamera (vibration damper).
7. Lensa menggunakan fixed lens/lensa pancake dengan focal length tetap.
8. Pengaturan kecepatan pemotretan (shutter speed) berkisar antara 1/1250 –
1/2000 detik.
9. Pemotretan dilakukan pagi sampai sore hari (07:00 – 17:00 WIB), saat cuaca
baik agar pencahayaan yang dibutuhkan kamera tercukupi.
4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemanfaatan drone tipe multirotor (quadcopter) untuk pemantauan satwa liar


telah teruji aplikatif. Akurasi foto udara yang dihasilkan dapat digunakan untuk
mendeteksi satwa liar berukuran sedang sampai besar (ukuran satwa liar ≥ 30 cm)
dan identifikasi sampai dengan tingkat spesies. Akurasi data yang diperoleh
dipengaruhi jenis dan pengaturan kamera, sistem peredaman getaran, ketinggian
terbang dan ketepatan waktu saat pemotretan. Penerbangan Aerialview-650 dengan
bobot perangkat kamera ≤ 500 gram (seperti Sony @5100 atau GoPro HERO4)
pada ketinggian terbang 50 – 100 m dpd dengan kecepatan terbang saat pemotretan
5 m/dt, dapat menghasilkan foto udara yang efektif untuk pemantauan satwa liar.
Penerbangan paling efisien adalah pada ketinggian terbang 100 m dpd.
Penerbangan quadcopter yang selaras dengan etika fotografi satwa liar tidak
menimbulkan respon negatif dari satwa liar sasaran. Secara umum aplikasi
quadcopter pada jarak tertentu tidak menggangu satwa liar. Kehadiran maupun
tingkat kebisingan quadcopter tidak menimbulkan respon negatif dari satwa liar
sasaran. Rekomendasi teknik aplikasi quadcopter yang selaras dengan etika
fotografi satwa liar adalah penerbangan yang menyesuaikan perilaku dan
karakteristik satwa liar sasaran dengan take off tersembunyi berjarak lebih dari 300
m dan jarak antara satwa liar sasaran atau obyek tertinggi yang dilintasi dengan
quadcopter lebih dari 20 m.

Saran

1. Solusi dari beberapa kendala dalam uji coba aplikasi quadcopter merupakan
informasi penting yang dapat dijadikan acuan/prosedur standar dalam
operasionalnya.
2. Pengembangan quadcopter untuk memperoleh daya terbang yang lebih lama
serta dilengkapi perangkat keamanan, sensor, display dan sistem navigasi yang
lebih baik diperlukan sebagai instrumen alternatif pemantauan satwa liar pada
taksa yang lebih luas.
3. Pengembangan lanjutan analisis foto udara dan mozaik orthophoto secara
spesifik sangat diperlukan untuk menghasilkan informasi dalam menentukan
kebijakan konservasi satwa liar dan pengelolaan kawasan yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA

Alves MDOA, Schwamborn R, Borges JCG, Marmontel M, Costa AF, Schettini


CAF, de Araujo ME. 2013. Aerial survey of manatees, dolphins and sea turtles
off northeastern Brazil: Correlations with coastal features and human activities.
Biological Conservation. 161(2013):91-100.
Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID):
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan konservasi Alam.
Datatri S, Sreenivasan R. 2016. Stop! Don’t Shoot Like that — A Guide to Ethical
Wildlife Photography. Diakses pada tanggal 11 April 2016 dari website
Conservation India: http://www.conservationindia.org/resources/ethics.
Excell L. 2012. Wildlife Photography: From Snapshots to Great Shots. Berkeley
(US): Peachpit Press.
Gunawan, Purwanto AA. 2007. Distribution and Home Range of White Bellied Sea
Eagle (Haliaeetus leucogaster J . M . Gmelin , 1788) at The National Marine
Park of Kepulauan Seribu, Jakarta, Indonesia [Laporan], Bogor (ID):
International Animal Rescue Indonesia.
Hodgson JC, Baylis S, Mott R, Herrod A, Clarke R. 2016. Precision Wildlife
Monitoring Using Unmanned Aerial Vehicles. Scientific Report 6:22574.
doi:10.1038/srep22574.
Hodgson JC, Koh LP. 2016. Correspondence: Best Practice for Minimising
Unmanned Aerial Vehicle Disturbance to Wildlife in Biological Field Research.
Current Biology. 26:387-407.
Jones GP. 2003. The Feasibility Of Using Small Unmanned Aerial Vehicles For
Wildlife Research [Thesis], Florida (US): Science University of Florida.
Jones GP, Pearlstine LG, Percival HF. 2006. An Assessment of Small Unmanned
Aerial Vehicles for Wildlife Research. Wildlife Society Bulletin 34(3):750-758.
Koh LP, Wich SA. 2012. Dawn of drone ecology: low-cost autonomous aerial
vehicles for conservation. Tropical Conservation Science 5(2):121-132.
Martin J, Edwards HH, Burgess MA, Percival HF, Fagan DE, Gardner BE, Ortega-
Ortiz JG, Ifju PG, Evers BS, Rambo TJ. 2012. Estimating Distribution of Hidden
Objects with Drone: From Tennis Balls to Manatees. PLoS ONE 7(6):e38882.
doi:10.1371/journal.pone.0038882.
McEvoy JF, Hall GP, McDonald PG. 2016. Evaluation of unmanned aerial vehicle
shape, flight path and camera type for waterfowl surveys: disturbance effects and
species recognition. PeerJ 4:e1831. doi:10.7717/peerj.1831.
Moura G, Coutinho M, Mauro R, Campos Z, Tomas W, Magnusson W. 2000.
Aerial surveys of caiman, marsh deer and pampas deer in the Pantanal Wetland
of Brazil. Biological Conservation. 92(2000):175-183.
40

Paneque-Galvez J, McCall MK, Napoletano BM, Wich SA, Koh LP. 2014. Small
Drone for Community-Based Forest Monitoring: An Assessment of Their
Feasibility and Potential in Tropical Areas. Forests 5:1481-1507.
doi:10.3390/f5061481.
Pazmany MM. 2015. Unmanned Aerial Systems in Conservation Biology [Ph.D.
Thesis], Sevile (ES): University of Sevile.
Pazmany MM, Negro JJ, Ferrer M. 2014. A low cost way for assessing bird risk
hazards in power lines: Fixed-wing small unmanned aircraft systems. Journal of
Unmanned Vehicle Systems 2(1):5–15. doi:0.1139/juvs-2013-0012.
Pazmany MM, Stolper R, van Essen LD, Negro JJ, Sassen T. 2014. Remotely
Piloted Aircraft Systems as a Rhinoceros Anti-Poaching Tool in Africa. PLoS
ONE 9(1):e83873. doi:10.1371/journal.pone.0083873.
Perlman A. 2016. Drone Laws: UAV Regulations by Country. Diakses pada tanggal
12 Juli 2016 dari website uavcoach.com: http://uavcoach.com/drone-laws/.
Permenhub] Peraturan Menteri Perhubungan. 2015. Peraturan Menteri
Perhubungan Republik Indonesia Nomor: PM 90 Tahun 2015 tentang
Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang
Dilayani Indonesia, Jakarta (ID): Kementerian Perhubungan Republik
Indonesia.
Podduwage DR. 2016. An Ethical Model for the Wildlife Photography of Sri Lanka.
Journal of Aesthetic and Fine Arts 1(1):98-129.
Rodríguez A, Negro JJ, Mulero M, Rodríguez C, Hernández-Pliego J, Bustamante
J. 2012. The Eye in the Sky: Combined Use of Unmanned Aerial Systems and
GPS Data Loggers for Ecological Research and Conservation of Small Birds.
PLoS ONE 7(12):e50336. doi:10.1371/journal.pone.0050336.
Siebert S, Teizer J. 2014. Mobile 3D mapping for surveying earthwork projects
using an Unmanned Aerial Vehicle (UAV) system. Automation in Construction.
41(2014):1–14.
Vas E, Lescroel A, Duriez O, Boguszewski G, Gremillet D. 2015. Approaching
birds with drones: first experiments and ethical guidelines. Biology Letters
11:20140754. doi:10.1098/rsbl.2014.0754.
Watts AC, Perry JH, Smith SE, Burgess MA, Wilkinson BE, Szantoi Z, Ifju PG,
Percival HF. 2010. Small Unmanned Aircraft Systems for Low-Altitude Aerial
Surveys. Journal of Wildlife Management 74(7):1614–1619. doi:10.2193/2009-
425.
Wright MD, Goodman P, Cameron TC. 2010. Exploring Behavioural Responses of
Shorebirds to Impulsive Noise. Wildfowl 60:150-167.
LAMPIRAN
42

Lampiran 1. Analisis Penerbangan Fc_150620_200_w9 pada Ketinggian Terbang


200 m dpd di Danau LSI – Rektorat, Kampus IPB Dramaga Bogor
43
44
45
46

Lampiran 2. Analisis Penerbangan Fc_150629_100_α5100 pada Ketinggian


Terbang 100 m dpd di Lapangan Sepak Bola Jalan Soka, Kampus
IPB Dramaga Bogor
47
48
49
50

Lampiran 3. Analisis Penerbangan Fc150816_50_α5100 pada Ketinggian Terbang


50 m dpd di Istal Kuda Jalan Cendana, Kampus IPB Dramaga Bogor
51
52
53
54
55

Lampiran 4. Analisis Penerbangan pada Habitat Bekantan di HCVA Perkebunan


Kelapa Sawit PT AMR Kabupaten Kota Waringin Barat
56
57
58
RIWAYAT HIDUP

Sumantri Radiansyah merupakan Sarjana Kehutanan, bidang Konservasi


Sumber Daya Hutan. Selama menempuh studi di bangku perkuliahan S1, laki-laki
kelahiran malang tanggal 20 September 1981 ini aktif pada berbagai kegiatan
melalui HIMAKOVA, sebagai pemerhati goa (Speleologi Club), reptil, amfibi dan
burung (Bird Watching Club). Diluar pendidikan formalnya, Abenk (nama
panggilan akrabnya), tergabung dalam Amphibian and Reptil Conservation
Working Group - Indonesian sebagai asisten peneliti amfibi (2002-2004).
Sebelumnya pernah menjadi pemandu birdwatching pada Birdlife International
Indonesia Programme (2001), volunteer pembuatan kid adventure quiz pada
PT. Riap Indonesia (2002), manajer produksi recycle paper dan reuse merchandise
pada Buitenzorg Creativity (2003), manajer persemaian pada Bokri Nursery (2003-
2004) serta surveyor pada beberapa kegiatan survei satwa liar dan konservasi
sumber daya alam (2003-2004).
Sedikit bergeser dari dunia kehutanan, bidang agrobisnis jagung mulai
digeluti sejak bergabung dengan PT. Akido Prima Sejahtera sebagai Section head
wilayah Kabupaten Lamongan (2004-2005). Pada tahun 2005-2007, lulusan
Fakultas Kehutanan IPB tahun 2004 ini kembali kedunia kehutanan menjadi forest
ecosystem technician di wilayah BKSDA NTT II – Flores. Bidang sosial dan
kemasyarakatan mulai ditekuni sejak tahun 2007. Pendampingan masyarakat dalam
kemitraan usaha tani jati unggul di wilayah Madiun dan Magetan serta
pendampingan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di
wilayah Malang menjadi rutinitasnya selama tahun 2007-2010.
Sejak mendapatkan sertifikat sebagai pendamping Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK), Suami dari Tri Widyastuti ini mulai fokus melaksanakan
pendampingan SVLK baik pada hutan rakyat maupun industri kecil menengah,
khususnya di wilayah Malang (2011-2013). Pertengahan tahun 2013, Ayah dari
Ocdi Amanata Radiansyah & Daffa’ Rizky Radiansyah, melanjutkan studi
formalnya pada jenjang master di bidang Konservasi Biodiversitas Tropika, IPB.
Sembari menimba ilmu, lelaki yang memiliki hobi memancing ini aktif sebagai
tenaga ahli ekologi satwa liar dan biodiversity serta community development pada
konsultan kehutanan & lingkungan PT. Riap Indonesia (2013-2014) serta project
manager pada konsultan manajemen sumber daya alam PT. Meganesia Tirta
Foresta/MeTTa (2014-sekarang).

Anda mungkin juga menyukai