Anda di halaman 1dari 2

MUHASABAH 6 SIFAT YANG DIBENCI ALLAH

Di akhirat kelak, seseorang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban atas pendengaran,
penglihatan dan hatinya, sebagaimana ia akan dihisab atas apa yang dilakukan oleh seluruh anggota
badannya. Oleh karena hati adalah pemimpin anggota badan, maka perbuatan-perbuatan anggota badan
sejatinya mencerminkan apa yang ada dalam hati. Jika hati baik, maka anggota badan menjadi baik. Dan
jika hati rusak, maka rusaklah anggota badan.
 
Hadirinyang berbahagia,
Dalam kesempatan ini, kita akan membahas enam sifat yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Marilah kita berintrospeksi dan bermuhasabah, apakah hati kita sudah bersih dan terhindar dari enam
sifat tersebut, ataukah sebaliknya, justru enam sifat yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala tersebut
tertanam kuat dan bercokol di hati kita. Na’udzu billahi min dzalik.
 
Ibnu Hibban meriwayatkan dalam hadits shahih dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 

ِ '‫اق ِجي َف ٍة ِبالَّل ْي‬ ‫َأْل‬


ِ '‫'ار ِبال َّن َه‬
‫'ار‬ ٍ '‫'ل ِح َم‬ ِ ‫هللا ُي ْبغِضُ ُك َّل َجعْ َظ ِريٍّ َجوَّ اظٍ َس َّخ ٍاب ِبا سْ َو‬ َ َّ‫ِإن‬
ٌ ‫(ح ِدي‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ ‫ص ِح ْي ٌح َر َواهُ' ابْنُ ِحب‬
)‫َّان‬ َ ‫ْث‬ َ ‫مْر ْاآلخ َِر ِة‬ِ ‫َعال ٍِـم ِب مْ ِر ال ُّد ْن َيا َجاه ٍِل ِب‬
 
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa
ta’ala membenci seseorang yang memiliki enam sifat berikut ini:
 
1. ٍّ‫َجعْ َظ ِري‬
Yakni orang yang takabbur atau sombong. Sombong ada dua macam.
 
Pertama, menolak kebenaran yang disampaikan oleh orang lain padahal ia tahu bahwa hal itu benar.
dikarenakan penyampain kebenaran lebih muda usianya, lebih miskin hartanya, lebih rendah status
sosialnya atau karena hal lain. Padahal fir’aun tidaklah binasa kecuali karena sifat takabburnya.

Seseorang yang memiliki sifat takabbur jenis kedua ini dalam hatinya, ia akan menganggap dirinya
memiliki keistimewaan lebih atas orang lain sehingga melihat dirinya dengan pandangan kesempurnaan
dan penuh kebaikan. Dia melupakan bahwa itu semua adalah anugerah yang Allah berikan kepadanya.

2. ٍ‫َجوَّ اظ‬
Yaitu seseorang yang rakus dan gandrung untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan niat
yang tidak benar dan didorong kecintaannya yang sangat besar terhadap harta. Ia tidak peduli dari mana
harta itu ia peroleh, apakah dari sumber yang halal ataukah haram. Dengan itu, ia bertujuan untuk
memenuhi keinginan hawa nafsunya yang haram dan membanggakan diri di hadapan para hamba yang
lain.

‫َس َّخا ٍ َأْل‬


ِ ‫ب ِبا سْ َو‬
3. ‫اق‬
Artinya orang yang karena kerakusan dan kegandrungannya pada harta, ia memperbanyak omongan
dengan tujuan supaya bisa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ia tidak peduli apakah
omongannya halal ataukah haram.

4. ‫ِجي َف ٍة ِباللَّي ِْل‬


Menjadi bangkai di malam hari. Yakni menghabiskan seluruh waktu malamnya untuk tidur. Ia tidak peduli
untuk melakukan shalat sama sekali.
ِ ‫ار ِبال َّن َه‬
5. ‫ار‬ ٍ ‫ِح َم‬
Menjadi keledai di siang hari. Yakni yang ia pikirkan hanya bagaimana bisa memakan berbagai menu
makanan dan banyak menikmati berbagai kemewahan hidup. Dengan sebab itu, ia lalai melakukan hal-
hal yang Allah wajibkan kepadanya.

6. ‫َعال ٍِـم ِبَأمْ ِر ال ُّد ْن َيا َجاه ٍِل ِبَأمْ ِر اآْل خ َِر ِة‬
Mengetahui perkara dunia namun bodoh mengenai perkara akhirat. Yakni mengetahui bagaimana cara
mencari dan mengumpulkan harta, akan tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bagian ilmu agama
yang fardlu ‘ain untuk dipelajari, yang disebut para ulama dengan istilah ِّ‫ضر ُْو ِري‬ ِ ‫( عِ ْل ُم ال ِّدي‬ilmu agama yang
َّ ‫ْن ال‬
pokok). Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

) ُّ‫اجه َو ْال َب ْي َهقِي‬ َ ‫ْض ٌة َع َلى ُك ِّل مُسْ ل ٍِم‬


َ ‫(ر َواهُ ابْنُ َم‬ َ ‫َط َلبُ ْالع ِْل ِم َف ِري‬
Maknanya: “Mencari ilmu agama yang pokok (ilmu agama yang dasar) hukumnya adalah fardlu ‘ain bagi
setiap muslim (laki-laki dan perempuan),” (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

،‫'ون‬ ً '‫'رةُ ُم ْق ِب َل‬


َ '‫ َولِ ُك' ِّل َوا ِح''دَ ٍة ِم ْن ُه َم''ا َب ُن‬،‫'ة‬ َ '‫ت اآل ِخ‬ ِ ‫ َوارْ َت َح َل‬،‫ت ال ُّد ْن َيا ُم' ْ'د ِب َر ًة‬
ِ ‫ارْ َت َح َل‬
ْ ‫ َف'' ِإنَّ ال َي‬،‫ َوالَ َت ُكو ُن''وا ِمنْ َأ ْب َن''ا ِء ال'' ُّد ْن َيا‬،ِ‫ِ''رة‬
‫''و َم َع َم'' ٌل‬ َ ‫َف ُكو ُن''وا ِمنْ َأ ْب َن''ا ِء اآلخ‬
‫ َو َغ ًداح َِسابٌ َوالَ َع َم ٌل‬،‫اب‬ َ ‫َوالَح َِس‬
Maknanya: “Dunia berjalan membelakangi kita, sedangkan akhirat berjalan menghampiri kita. Masing-
masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anaknya. Maka jadilah bagian dari anak-anak akhirat
(senantiasa mementingkan kehidupan akhirat) dan janganlah menjadi bagian dari anak-anak dunia
(selalu mementingkan kehidupan dunia yang sementara), karena hari ini (kehidupan dunia) adalah
waktunya beramal dan tidak ada hisab, sedangkan besok (kehidupan akhirat) adalah waktunya
mempertanggungjawabkan amal, dan bukan waktunya beramal,” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam
Shahih al-Bukhari)

Anda mungkin juga menyukai