Anda di halaman 1dari 9

RESPONSI

IMPETIGO BULOSA

Oleh:
Amelia Anita Sari
G992208005

Korektor:
dr. Elok Nurfaiqoh

Pembimbing:
Dr. dr. Muh. Eko Irawanto, Sp.KK(K)

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI

Kasus responsi yang berjudul:


IMPETIGO BULOSA

Amelia Anita Sari G992208005

Periode: 12 Desember 2022 – 8 Januari 2023

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing


dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin
RS UNS – Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Yang bertanda tangan di bawah ini:

Surakarta, Desember 2022

Residen Pembimbing Chief Residen

dr. Elok Nurfaiqoh dr. Adelia Wuri Pramudita

Residen Pemeriksa Staff Pembimbing

dr. Benedikta Lauda Anandita Dr. dr. Muh. Eko Irawanto, Sp.KK(K)

2
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing : Dr. dr. Muhammad Eko Irawanto, Sp.KK(K)
Nama Mahasiswa : Amelia Anita Sari
NIM : G992208005

PENDAHULUAN

Impetigo bulosa adalah salah satu jenis pioderma yang menyerang bagian epidermis
kulit.1 Impetigo paling merupakan infeksi sekunder akibat garukan yang menimbulkan trauma
superfisial disertai robekan kulit, yang dipicu rasa gatal pada pedikulosis, skabies, infeksi jamur
dan pada insect bites.1,2 Impetigo umum menyerang anak-anak di dunia dengan angka kejadian
yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat, impetigo merupakan 10% dari
masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak dan terbanyak terjadi di daerah dengan iklim yang
hangat, yaitu di daerah tenggara Amerika.3 Sementara di Inggris, kejadian impetigo pada anak
sampai usia 4 tahun adalah sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. 4
Bakteri yang menyebabkan impetigo bulosa adalah Staphylococcus aureus.1,2 Toksin eksfoliatif
yang dihasilkan Staphylococcus aureus menyerang desmoglein 1, menyebabkan terjadinya
pembelahan proteolitik sehingga timbul bula-bula pada kulit yang diserang.1,5

Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di area intertriginosa (ketiak,
inguinal, gluteal), dada, dan punggung, serta sering ditemukan bersama-sama dengan miliaria.
Ujud kelainan kulit berupa vesikel, bula, atau bula hipopion dengan kulit sekitar normal atau
kemerahan. Tanda Nikolsky negatif bila dilakukan pemeriksaan. 1,6 Pada awalnya, bula berisi
cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Biasanya, pasien datang dengan
keadaan bula sudah pecah dan meninggalkan gambaran kolaret dengan dasar eritema. Jarang
ditemukan gambaran bula yang masih utuh. Gambaran ujud kelainan kulit pada impetigo bulosa
dengan kondisi bula yang telah pecah dan hanya terlihat gambaran kolaret dan eritema bisa jadi
mirip dengan dermatofitosis. Untuk menyingkirkan diagnosis dermatofitosis, perlu ditanyakan
saat anamnesis apakah sebelumnya ada lepuh atau plenting-plenting berisi cairan. Bila ada, maka
diagnosisnya adalah impetigo bulosa.1

Penegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis komprehensif, melalui gambaran


klinis yang terlihat, dan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa pengecatan gram untuk melihat bakteri
penyebab infeksi, apabila ditemukan bakteri gram positif dengan bentuk coccus (bulat) dan
berkelompok dapat menunjukkan adanya Staphylococcus aureus, pengecatan kalium hidroksida
(KOH), digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi jamur, dan pengecatan Tzanck
atau biakan virus, digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi herpes simpleks. Selain
itu, kultur bakteri dan sensitivitas antibiotik, dapat digunakan dalam menentukan terapi antibiotik

3
yang sensitif untuk mengeradikasi bakteri penyebab infeksi.7

Tata laksana farmakologi yang dapat diberikan pada pasien impetigo bulosa adalah
dengan pemberian salep antibiotik dan cairan antiseptik bila vesikel atau bula sedikit. 1 Talaksana
topikal yang diberikan dapat berupa salep mupirosin 2% atau salep retapamulin 1% yang
dioleskan 2 kali sehari pada area luka selama 5 sampai 7 hari. Dapat juga diberikan asam fusidat
sebagai antibiotik topikal.2 Jika vesikel atau bula banyak ditemukan, dapat diberikan antibiotik
sistemik.1 Antibiotik yang diberikan dapat berupa penisilin. Bila pasien resisten penisilin dan
betalaktam, eritromisin dapat diberikan sebagai alternatif dengan dosis anak-anak 40 mg/kg/hari
dibagi 3-4 kali sehari. Pada anak-anak, terapi sistemik yang umum diberikan yaitu amoksilin dan
asam klavulanik (dosis 25 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari) atau klindamisin (dosis 15
mg/kg/hari diberikan 3-4 kali sehari). Terapi non-farmakologi yang disarankan dapat dengan
pembersihan area lesi dengan krusta secara perlahan menggunakan air dan sabun. 2 Selain itu,
perlu dicari faktor predisposisinya. Seperti jika pasien banyak berkeringat, maka ventilasi perlu
diperbaiki misalnya dengan rajin mengganti baju.1
Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memaparkan
sebuah kasus impetigo bulosa yang ditemukan pada salah satu rumah sakit di Sukoharjo.

KASUS

Seorang anak perempuan An. NSA usia 6 tahun diantar ibunya ke Poli Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit UNS, Sukoharjo dengan keluhan plak kemerahan di area ketiak, tangan, dan kaki.
Ibu pasien menceritakan awalnya keluhan berupa plenting-plenting bening berisi cairan dan ada
sedikit nanah sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan plenting awalnya ditemukan
di kaki yang langsung membesar dan lalu menyebar ke area lain. Oleh ibunya, pasien dibawa ke
klinik untuk memecahkan plenting yang ada dan diberikan obat minum berupa puyer antinyeri.
Keluhan dirasakan tidak membaik, terasa perih, namun sudah tidak ditemukan cairan. Juga
muncul plenting-plenting baru di area tubuh lain.

Pasien masih beraktivitas dengan aktif. Lesi tidak terasa gatal dan sebelum lesi pertama
muncul pasien tidak mengeluhkan demam. Riwayat keluhan serupa disangkal. Ibu pasien
mengatakan pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat, ataupun penyakit asma. Keluhan
muncul plenting ini tidak didapatkan pada keluarga pasien yang lain maupun pada teman-teman
sepermainan pasien. Pasien mandi dua kali sehari menggunakan handuk yang berbeda dengan
anggota keluarga lainnya dan handuk diganti seminggu sekali. Sprei diganti juga seminggu
sekali.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, compos mentis,
GCS E4V5M6, berat badan 16,3 kg, tinggi badan 105 cm, indeks massa tubuh 14,8 kg/m2
(normoweight, normal = 13,4-17,1 kg/m2). Pemeriksaan tanda vital menunjukkan tekanan darah
4
110/78 mmHg, nadi 117 x/menit, respirasi 24 x/menit dan suhu 36.5°C. Pada pemeriksaan status
dermatologi didapatkan pada regio aksila sinistra, ekstremitas superior et inferior tampak bula
hipopion multipel yang sebagian sudah pecah membentuk erosi dengan dengan dasar eritem.
(Gambar 1).

A B

C B

Gambar 1. (A-D) Pada regio aksila sinistra (A), regio ekstremitas superior (B)
dan regio ekstremitas inferior bilateral (D), tampak bula hipopion multipel
yang sebagian sudah pecah membentuk erosi dengan dasar eritem.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien, yaitu kerokan kulit dengan
pemeriksaan mikroskopis pengecatan gram. Pengecatan gram dilakukan untuk mengetahui
apakah ada koloni Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri penyebab impetigo bulosa.7
Pada pemeriksaan pengecatan gram ditemukan adanya koloni bakteri coccus gram positif lebih
dari 100 lpb (ditunjukkan dengan panah kuning) dan bakteri batang gram negatif sebanyak 5-10
lpb (ditunjukkan dengan panah merah) (Gambar 2).

5
Gambar 2. Hasil pemeriksaan pengecatan gram ditemukan
adanya bakteri coccus gram positif (ditunjukkan dengan
panah kuning) dan bakteri batang gram negatif (ditunjukkan
dengan panah merah).

Pasien dan keluarganya diberikan edukasi terkait penyebab dan penularan penyakit serta
mengenai pentingnya menjaga personal hygiene. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan
menyerap keringat, dan selalu mengeringkan kulit dengan benar. Menghindari penggunaan
handuk atau pakaian atau benda semacamnya secara bergantian dengan orang lain.
Pasien mendapatkan terapi berupa salep mupirosin krim 2% dioles 2 kali sehari pada area
lesi, serta NaCl 0,9% dan kassa steril untuk membersihkan area lesi sebelum diobati.

PEMBAHASAN

Impetigo bulosa merupakan salah satu contoh pioderma yang menyerang lapisan epidermis kulit.
Biasanya merupakan infeksi sekunder yang menyertai penyakit lain 1 Impetigo umumnya menyerang
anak-anak di seluruh negara di dunia dengan angka kejadian yang semakin tinggi dari tahun ke

6
tahun. Bakteri yang menyebabkan impetigo bulosa adalah bakteri gram positif Staphylococcus
aureus.1,2 Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung dan
sering ditemukan bersama-sama dengan miliaria. Ujud kelainan kulit berupa vesikel, bula atau
bula hipopion dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya, bula berisi cairan yang
jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Biasanya, pasien datang dengan keadaan bula
sudah pecah dan meninggalkan gambaran kolaret dengan dasar eritema. Jarang ditemukan
gambaran bula yang masih utuh.1 Pasien pada kasus ini merupakan seorang anak perempuan usia
6 tahun yang mengeluhkan lesi berupa bula hipopion multipel yang sebagian sudah pecah membentuk
dasar erosi eritema di regio aksila, ektremitas inferior et superior . Infeksi penyebab impetigo bulosa
umumnya terjadi di daerah yang lembab dan hangat. Faktor risiko penyakit ini meliputi
kebersihan yang buruk, daerah yang terlalu padat atau keramaian, kemiskinan, dan infestasi
skabies.8 Pasien An. NSA tinggal serumah bersama ibu, nenek, dua orang adik, dan saudara
sepupunya di daerah Boyolali. Pasien mandi 2 kali sehari, namun handuk dan seprai diganti
seminggu sekali. Pasien juga senang bermain di luar rumah dengan teman-temannya.

Penegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis komprehensif, gambaran klinis yang


terlihat, dan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa pengecatan gram untuk melihat bakteri penyebab
infeksi, apabila ditemukan bakteri gram positif dengan bentuk coccus (bulat) dan berkelompok
dapat menunjukkan adanya Staphylococcus aureus.7 Pada pasien, riwayat alergi makanan, alergi
obat, dan penyakit asma disangkal. Sebelum meninggalkan ujud kelainan kulit seperti yang
terlihat pada Gambar 1, ibu pasien mengatakan keluhan awalnya berupa plenting yang membesar
berisi cairan bening dan sedikit nanah. Pemeriksaan pengecatan gram pada pasien dengan sampel
diambil dari lesi di regio aksila sinistra menunjukkan koloni bakteri coccus gram positif dan
bakteri batang gram negatif. Diagnosis impetigo bulosa pada pasien ini dapat ditegakkan
berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik (ujud kelainan kulit), dan pemeriksaan
pengecatan gram yang hasilnya bermakna.

Tata laksana farmakologi yang dapat diberikan pada pasien impetigo bulosa adalah
dengan pemberian salep antibiotik dan cairan antiseptik bila vesikel atau bula sedikit. 1 Talaksana
topikal yang diberikan dapat berupa salep mupirosin 2% atau salep retapamulin 1% yang
dioleskan 2 kali sehari pada area luka selama 5 sampai 7 hari. Dapat juga diberikan asam fusidat
sebagai antibiotik topikal.2 Jika vesikel atau bula banyak ditemukan, dapat diberikan antibiotik
sistemik.1 Terapi non-farmakologi yang disarankan dapat dengan pembersihan krusta secara
perlahan dengan air dan sabun.2 Selain itu, perlu dicari faktor predisposisinya. Seperti jika pasien
banyak berkeringat, maka ventilasi perlu diperbaiki misalnya dengan rajin mengganti baju.1
Pasien diberikan salep mupirosin krim 2% untuk dioleskan di area lesi yang erosi dua kali sehari.
Selain itu, pasien juga diresepkan cairan NaCl 0,9% dan kassa steril untuk membersihkan lesi.
Ibu pasien diberi penjelasan mengenai penyakit yang derita pasien, penyebabnya, terapi, dan
7
komplikasinya. Juga diberikan edukasi untuk menjaga kebersihan diri pasien, rajin mengganti
baju, handuk, dan sprei. Serta, apabila keluhan memberat agar segera dibawa ke layanan gawat
darurat.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Pioderma. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, ed. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2016:109–116.
2. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS,
editor. Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York: Mc Graw-Hill; 2019:h.385-394.
3. Provider Synergies. Impetigo Agents, Topical Review. Ohio: Intellectual Property
Department Provider Synergies LLC; 2007: pp 276-277.
4. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. Virginia: University of
Virginia
School of Medicine; 2007: pp 138-149.
5. Mannschreck D, Feig J, Selph J, Cohen B. Disseminated Bullous Impetigo and Atopic
Dermatitis: Case Series and Literature Review. Pediatric Dermatology. 2020
Jan;37(1):103-8.
6. Widaty, S, Soebono H, Nilasari H, et al., ed. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
SpesialisKulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin Indonesia; 2017.
7. Buck. Ratapamulin: A New Option of Impetigo. Virginia USA: University of Virginia
Children’s Hospital; 2007: pp 403-479
8. Baddour, L. Impetigo. From UpToDate Web site:
https://www-uptodatecom/contents/impetigo; 2019: diakses Desember 2022.

Anda mungkin juga menyukai