Anda di halaman 1dari 11

MAKNA SIMBOLIK TRADISI SLAMETAN MEGENGAN

DI DESA NGLIMAN, SAWAHAN, NGANJUK, JAWA TIMUR

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnain
Disusun oleh:
Nama : Imam Mahfudin
NIM : 20200011123

KONSENTRASI ISLAM NUSANTARA


PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES
UIN SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA
2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah............................................................................................... 3
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................................ 3
D. Kajian Pustaka.................................................................................................... 4
E. Kerangka Teoritis................................................................................................ 6
F. Metode Penelitian............................................................................................... 7
G. Sistematika Pembahasan..................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 9

ii
A. Latar Belakang Masalah

Slametan merupakan tradisi masyarakat Jawa yang sampai sekarang masih dilestarikan.
Slametan merupakan ritual adat yang dilaksanakan pada momen tertentu, seperti oeringatan
kematian, syukuran atas berbagai hal dan juga momen-momen keagamaan. Di Jawa Timur yang
notabene terdiri dari mayoritas masyarakat Jawa, tradisi slametan masih banyak ditemui di
berbagai daerah baik yang masih kental dengan tradisi Jawa seperti penggunaan do’a-do’a
berbahasa Jawa maupun yang sudah mengalami modifikasi menyesuaikan dengan keadaan social
masyarakat. Salah satu daerah yang slametannya masih kental dengan adat Jawa yakni di Desa
Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk.

Kabupaten Nganjuk sendiri merupakan sebuah wilayah yang berada di tengah-tengah


Kabupaten Madiun, Keidiri, Jombang, dan Trenggalek. Nganjuk merupakan wilayah eks-
karisedenan Kediri dan juga dahulu merupakan wilayah kekuasaan keraton Surakarta. Pada tahun
1878 Nganjuk kemudian menjadi Kabupaten sendiri dan memisahkan diri dari keraton
Surakarta.1 Di nganjuk ada 20 Kecamatan dengan total luas sekitar 122.433 Km 2 , terdiri dari
pegunungan dan dataran rendah .2 Nganjuk menjadi salah satu wilayah yang dilewati oleh jalur
utama provinsi Jawa Timur. Hal ini menjadikan masyarakat Nganjuk khususnya yang terletak di
dataran rendah cenderung lebih modern dengan wilayah Nganjuk lain yang berada di
pegunungan.

Salah satu wilayah Nganjuk yang berada di pegunungan yakni kecamatan Sawahan yang
berada di ujung selatan di Lereng Gunung Wilis, berbatasan dengan kabupaten Madiun dan
Ponorogo. Di kecamatan Sawahan terdapat 9 desa, yakni Bareng, Bendolo, Duren, Kebon
Agung, Margopatut, Ngliman, Sawahan, Sidorejo, dan Siwalan.3 Penulis akan memfokuskan
penelitian terkait tradisi slametan Megengan ini di Desa Ngliman, karena berdasarkan
pengamatan penulis masyarakat desa Ngliman cenderung lebih kental adat Jawanya daripada di
desa-desa lain. Salah satu contohnya yakni masih digunakannya daun pisang sebagai
pembungkus nasi berkat (nasi yang dibagikan ketika slametan), sedangkan di desa lain sudah
menggunakan wadah plastic yang lebih praktis.

1
https://www.nganjukkab.go.id/beranda/welcome/sejarah (diakses pada tanggal 27 April 2021)
2
https://www.nganjukkab.go.id/beranda/welcome/kondisi (diakses pada tanggal 28 Juni 2021)
3
https://sawahan.nganjukkab.go.id/profil/2 (diakses pada tanggal 28 Juni 2021)

1
Desa Ngliman terletak di ujung selatan Kecamatan sawahan, tepatnya desa ini berada di
lereng gunung Wilis. Masyarakat desa Ngliman masih kental dengan adat dan tradisi Jawa
beserta mitos-mitosnya. Walaupun begitu mayoritas masyarakat desa Ngliman beragama Islam,
namun warganya masih memegang dan melestarikan budaya Jawa. Meskipun begitu
masyarakatnya tidak masuk kategori kejawen karena faktanya banyak yang berlatar belakang
Pendidikan Pesantren.

Ngliman sendiri disebut berasal dari nama seorang penyebar agama Islam di wilayah
tersebut yakni Mbah Wali/ Kyai Ageng Ngaliman. Meskipun belum ditemukan catatan pasti
mengenai hal ini tetapi penduduknya terutama para sesepuh mengamini hal tersebut. Salah
seorang tokoh agama Islam yang juga sebagai ketua takmir Masjid Kyai Ageng Ngaliman yakni
Kyai Masduki menuturkan bahwa dalam menyebarkan agama Islam Mbah Wali Ngaliman
menggunakan metode dakwah seperti yang dicontohkan oleh para Wali Songo. Menurutnya,
Ketika berdakwah dan mengajak masyarakat Ngliman pada saat itu untuk memeluk agama Islam
dan mempelajarinya Mbah Ngaliman menggunakan tradisi Jawa yang masih dilestarikan dengan
memodifikasinya sedemikian rupa. Misalnya kata Kyai Masduki Ketika Mbah Ngaliman selesai
mengajak masyarakat untuk melaksanakan sholat beliau kemudian mengadakan slametan dengan
berbagai uborampe khas Jawa agar masyarakat tertarik untuk mengikuti ajakan beliau. Dalam
slametan tersebut Mbah Ngaliman kemudian memberi petuah-petuah dan ajaran mengenai Islam
sehingga tanpa menghilangkan tradisi masyarakat Ngliman mereka bisa melaksanakan ajaran
Islam.4

Selain slametan yang dilaksanakan setelah sholat yang walaupun kini sudah tidak ada,
beberapa slametan dalam waktu lain masih dilaksanakan oleh masyarakat Ngliman. Slametan
tersebut antara lain Ketika ada warga yang meninggal lalu setelah tiga hari kematiannya,
kemudian tujuh hari, 40, 100, 1000 dan seterusnya. Slametan lain yang masih dilakukan antara
lain Ketika masyarakat Ngliman memiliki agenda atau hajat penting baik bersifat personal
maupun komunal. Slametan juga dilaksanakan Ketika menjelang bulan Ramadhan tepatnya pada
bulan Sya’ban atau dalam penanggalan Jawa disebut Ruwah tepatnya pada tanggal 29 atau 30
yang besoknya sudah memasuki Ramadhan (Pasan). Khusus slametan dalam menyambut
Ramadhan ini masuk dalam rentetan tradisi megengan. Selain slametan, megengan juga diisi
4
Disarikan dari ceramah Kyai Masduki dalam rangka Haul Kyai Ageng Ngaliman tanggal 7 April 2021 di Masjid
Kyai Ageng Ngaliman, Desa Ngliman.

2
dengan ziaroh sekaligus bersih-bersih makam leluhur. Namun penelitian akan difokuskan pada
tradisi slametannya saja, karena menurut penulis dalam rangkaian slametan megengan terdapat
berbagai hal yang “harus”, dan yang “jangan” dilakukan oleh penyelenggaranya.

Menurut masyarakat Ngliman Megengan berasal dari kata Mengagungkan. 5 Slametan


dalam tradisi Megengan sesuai namanya dimaksudkan untuk mengagungkan bulan Ramadhan.
Hal yang unik dari tradisi slametan megengan ini adalah hidangan yang disajikan dan juga
rentetan pelaksanannya. Hidangan dalam slametan Megengan terdiri dari Brok (Nasi biasa bukan
nasi uduk (gurih)), golong yang berupa nasi yang dibentuk bulat, dan apem. Hidangan tersebut
yang harus ada dalam slametan megengan, sedangkan lauk lain semisal tahu, telur, atau daging
ayam bisa dihidangkan ataupun tidak.6 Selain itu sebelum pembagian hidangan ada dua do’a
yang dibacakan, yang pertama do’a dalam Bahasa Jawa yang disebut “ngajatne”, dan do’a dalam
Bahasa Arab. Ngajatne dibaca oleh sesepuh lingkungan di masing-masing RT dan do’a Arab
dibaca oleh orang yang dianggap sebagai santri di lingkungan tersebut.

Berangkat dari hal tersebut, penulis ingin menggali lebih dalam terkait tradisi Slametan
dalam tradisi Megengan karena di dalamnya terdapat banyak symbol baik berupa rentetan
pelaksanaannya, ucapan atau bacaan di dalamnya serta hidangan atau uborampe yang ada dalam
slametan Megengan. Serta bagaimana resepsi masyarakat Muslim di Desa Ngliman terhadap
tradisi tersebut dalam hubungannya dengan ajaran dan nilai Islam yang mereka percayai.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi alasan masayarakat desa Ngliman melakukan tradisi Slametan
Megengan?
2. Apa makna simbolik di balik tradisi Slametan Megengan di Desa Ngliman?

5
Wawancara dengan Bapak Ridwan warga dusun Gimbal, Desa Ngliman pada tanggal 25 April 2021.
6
Wawancara dengan Ibu Paniyem warga dusun gimbal, Desa Ngliman pada tanggal 30 April 2021.

3
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan baik historis maupun social mengapa masyarakat desa Ngliman
melaksanakan tradisi Slametan Megengan.
2. Untuk mengetahui makna-makna simbolik dibalik runtutan tradisi Slametan Megengan
dan berbagai macam hal yang terkait dalam pelaksanaannya.

D. Kajian Pustaka
1. Islam dan Tradisi Jawa: Pencarian Motif dan Makna Dalam Tradisi Selametan
Mendirikan Rumah Di Dusun Gentun Ngrupit Jenangan Ponorogo.7

Jurnal tulisan Miftahul huda ini mengkaji motif atau latar belakang serta makna yang ada
dalam tradisi Selametan di Dusun Gentun. Selametan tersebut dilakukan ketika warga di dusun
tersebut hendak mendirikan rumah. Focus penelitian tulisan ini ada pada ketertarikan penulis
untuk mengetahui motif warga yang melakukan upacara adat dalam hal ini slametan ketika akan
mendirikan rumah. Selain itu di dalam tulisannya, Huda juga mengkaji makna simbolik acara
slametan tersebut. Penelitian ini mneurut Huda merupakan sebuah studi kasus di Desa Gentan
Ngrupit, Jenangan Ponorogo. Pendekatan yang ia gunakan adalah pendekatan kualitatif dan
pendekatan budaya khususnya relasi antara Islam dan Kejawen. Berdasarkan penelitiannya,
Huda mengungkapkan bahwa ada makna simbolik yang berupa spirit religiusitas yang luhur
dalam acara slametan tersebut dan memiliki hubungan yang berkelindan dengan ajaran hidup
dalam agama Islam.

2. Makna Simbolik Tradisi Rebo Kasan.8

Dalam jurnal ini para penulis focus mengkaji makna simbolik di balik tradisi Rebo Kasan.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan di Kabupaten Garut. Masalah yang
coba dibahas dalam penelitian ini adalah makna denotasi, konotasi, dan mitos pada symbol-
simbol Rebo Kasan. Teori yang digunakan dalam jurnal ini adalah teori semiotika milik Roland
Barthes. Kesimpulan para penulis penelitian ini adalah bahwa tradisi Rebo Kasan memiliki

7
Miftahul Huda, “Islam dan Tradisi Jawa: Pencarian Motif Dan Makna Dalam Tradisi Selametan Mendirikan
Rumah di Dusun Gentan Ngrupit Jenangan Ponorogo”, Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial 14 no. 2 (2017)
8
Rian Rahmawati, dkk, “Makna Simbolik Tradisi Rebo Kasan”, Jurnal Penelitian dan Komunikasi Vol. 20 no. 1
(Juli: 2017).

4
makna sedekah dengan tujuan menolak marabahaya yaitu dengan jamuan berupa makanan yang
dimaknai dengan makna tertentu seperti air putih sebagai symbol kesucian, dupi sebagai symbol
penolakan, leupeut sebagai symbol mempersatukan, dan bugis sebagai symbol keyakinan.

3. Makna Tradisi Megengan Bagi Jamaah Masjid Nurul Islam Di Kelurahan Ngagel Rejo
Surabaya.9

Skripsi yang ditulis oleh Moch Safi’I ini membahas mengenai tradisi Megengan dan
bagaimana resepsi masyarakat yang dalam hal ini jamaah Masjid Nurul Islam di Keluarahan
Ngagel Rejo Surabaya terhadap tradisi megengan tersebut. Skripsi ini membahas rentetan acara
megengan yang diawali khotmil qur’an lalu ziarah kubur serta kirab keliling kampung dan
diakhiri dengan kumpul dan makan Bersama di masjid. Teori yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan teori hubungan antara Islam dan Budaya serta teori tentang agama Jawa milik
Clifford Geertz.

4. Tradisi Megengan Dalam Menyambut Ramdhan: Living Qur’an Sebagai Kearifan Lokal
Menyemai Islam di Jawa.10

Tulisan Ali Ridho ini mengkaji tradisi megengan dalam menyambut Ramadhan.
Penelitiannya meupakan penelitian Living Qur’an yang membahas bagaimana al-Qur’an sebagai
pedoman kehidupan social dan keagamaan umat Islam dipalikasikan dan ditafsirkan masyarakat.
Dengan kata lain bagaimana teks dalam hal ini teks al-Qur’an berubah menjadi konteks yakni
tradisi menyambut Ramadhan. Menurut Ridho pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan historis filosofis. Dia menggunakan pendekatan historis untuk mencari tahu
asal-usul kesejarahan tadisi megengan dan pendekatan filosofis guna melihat fenomena ini
sebagai bagian dari akulturasi budaya Islam yang diambil dari interpretasi teks al-Qur’an dan
budaya Jawa dengan upacara dan ritual-ritualnya. Kesimpulan Ridho dari penelitian ini adalah
bahwa tujuan utama awal tradisi megengan adalah untuk syiar agama Islam dan sebagai bentuk
wujud syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan. Serta sebagai bentuk do’a kepada

9
Moch Safi’I, “Makna Tradisi Megengan Bagi Jamaah Masjid Nurul Islam Di Kelurahan Ngagel Rejo Surabaya”,
Skripsi Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya (Surabaya. 2018)
10
Ali Ridho, “Tradisi Megengan Dalam Menyambut Ramdhan: Living Qur’an Sebagai Kearifan
Lokal Menyemai Islam di Jawa.”, Jurnal Literasiologi Vol. 1, no. 2 (Juli-Desember: 2019)
5
leluhur, sedekah kepada tetangga dan terakhir sebagai bentuk peneguhan persaudaraan sesame
muslim dan silaturahmi antara mereka.

E. Kerangka Teoritis

Dalam penelitian ini teori yang akan penulis gunakan yakni Teori Semiotika Roland
Barthes. Semiotika sendiri adalah ilmu yang mempelajari sederatan luas objek-objek, peristiwa-
peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Artinya dengan semiotika kita diarahkan untuk
melihat sesuatu yang aneh dan perlu dipertanyakan Ketika kita membaca teks atau wacana
tertentu.11 Semiotika tidak terbatas pada teks namun juga bisa diaplikasikan ke dalam fenomena
lain yang memiliki tanda dan makna tersembunyi di baliknya. Tanda-tanda di balik teks dan
fenomena ini menjadi perantara untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya dan banyak hal
yang bisa dikomunikasikan di dunia.

Salah satu tokoh semiotika yang berpengaruh yakni Roland Barthes. Menurut Barthes,
dalam semiotika seorang peneliti hendak mempelajari bagaiamana kemanusiaan memaknai hal-
hal (objek/ things). Memaknai tidak berarti mengkomunikasikan tetapi berarti bahwa objek-
objek tidak hanya membawa informasi tetapi juga membentuk atau mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda. Dengan demikian keseluruhan proses memaknai tanda tadi yang sudah
terstruktur menurut Barthes disebut sebagai signifikansi.12

Signikansi tidak terbatas pada Bahasa, karena menurut Barthes kehidupan social juga bisa
disebut sebagai sebuah signifikansi. Terkait dengan signifikansi ini, Barthes memiliki teori
significant-signifier yang menyatakan bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak
terbentuk secara alamiah melainkan arbiter. Lebih jauh lagi menutnya dalam memaknai sebuah
tanda atau symbol ada dua level makna yakni denotative dan connotative.13 Secara sederhana
denotasi merupakan makna kamus dalam hubungan antara penanda dan pertanda. Sedangkan
konotasi adalah makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminology. Makna konotasi
dalam hal ini dipengaruhi oleh dua lingkungan yakni lingkungan tekstual dan lingkungan
budaya.
11
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2013), hlm. 7
12
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, hlm. 21
13
Rian Rahmawati, dkk, “Makna Simbolik Tradisi Rebo Kasan”, hlm. 66

6
Selain penggunaan makna denotasi dan konotasi, Barthes juga menggunakan mitos sebagai
alat untuk memaknai atau mempelajari tanda. Menurut Barthes mitos digunakan oleh masyarakat
yang mewarisinya untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Menurutnya mitos
juga berguna untuk mempelajari perubahan makna pada objek yang didasari karena kebutuhan
perubahan dan nilai-nilai kultural di mana mitos menjadi bagian kebudayaan tersbut.14

F. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang menggabungkan antara penelitian Pustaka (library
research) dan penelitian Lapangan (field research). Penelitian Pustaka dilakukan untuk
mengumpulkan data dan melakukan analisis historis mengenai kehidupan social dan keagamaan
masyarakat Desa Ngliman sehingga menjadi masyarakat Islam dan Jawa seperti sekarang.
Sedanhgkan penelitian lapangan dilakukan untuk secara aktif terlibat langsung dalam jalannya
tradisi slametan megengan tersebut.

Sumber data sebagai berikut: 1) Data primer berupa hasil observasi, wawancara, serta
dokumentasi kepada para informan yang dalam hal ini masyarakat Desa Ngliman terutama para
orang tua atau sesepuh. Data ini bisa berupa teks hasil wawancara maupun berupa rekaman audio
dan visual berdasarkan subjek penelitian yakni seputar Masyarakat Desa Ngliman dan tradisi
Slametan Megengan yang mereka lakukan. 2) Data sekunder yang menjadi pendukung dalam
Analisa pada penelitian ini. Data sekunder diambil dari literatur baik berupa catatan maupun
tulisan dalam buku yang membahas tradisi Slametan masyarakat Jawa dan juga dari karya-karya
tulis yang membahas historisitas masyarakat Jawa terutama di daerah Ngliman dan Nganjuk.

Untuk pengumpulan data primer, metode yang digunakan yakni metode observasi
partisipan serta wawancara kepada narasumber terutama tokoh adat, perangkat desa serta orang-
orang yang memiliki peran aktif dalam tradisi slametan megengan ini. Sedangkan pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan sosio-historis, sebab selain mengkaji hubungan masyarakat
dalam tradisi slametan megengan ini, penulis juga akan mengkaji unsur kesejarahan atau
historisitas bagaimana tradisi ini muncul dan masih berlangsung hingga sekarang dengan
perubahan-perubahannya.
14
Rian Rahmawati, dkk, “Makna Simbolik Tradisi Rebo Kasan”, hlm. 68

7
G. Sistematika Pembahasan

Bab I Pendahuluan

Bab II Gambaran Umum Desan Ngliman dan Kehidupan Sosial Masyarakatnya

Bab III Makna Simbolik Tradisi Slametan Megengan di Desa Ngliman

Bab IV Resepsi Masyarakat Islam Desa Ngliman terhadap Tradisi Slametan Megengan

Bab V Penutup

8
DAFTAR PUSTAKA

Huda, Miftahul, “Islam dan Tradisi Jawa: Pencarian Motif Dan Makna Dalam Tradisi Selametan
Mendirikan Rumah di Dusun Gentan Ngrupit Jenangan Ponorogo”, Dialogia: Jurnal Studi
Islam dan Sosial 14 no. 2 (2017)
Ridho, Ali, “Tradisi Megengan Dalam Menyambut Ramdhan: Living Qur’an Sebagai Kearifan
Lokal Menyemai Islam di Jawa.”, Jurnal Literasiologi Vol. 1, no. 2 (Juli-Desember: 2019)
Rahmawati, Rian, dkk, “Makna Simbolik Tradisi Rebo Kasan”, Jurnal Penelitian dan
Komunikasi Vol. 20 no. 1 (Juli: 2017).
Safi’I, Moch, “Makna Tradisi Megengan Bagi Jamaah Masjid Nurul Islam Di Kelurahan Ngagel
Rejo Surabaya”, Skripsi Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (Surabaya. 2018)
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media,
2013)

Ceramah Kyai Masduki dalam rangka Haul Kyai Ageng Ngaliman Pada tanggal 7 April 2021 di
Masjid Kyai Ageng Ngaliman
Wawancara dengan Bapak Ridwan pada tanggal 25 April 2021.
Wawancara dengan Ibu Paniyem pada tanggal 30 April 2021.

https://www.nganjukkab.go.id/beranda/welcome/sejarah (diakses pada tanggal 27 April 2021)


https://www.nganjukkab.go.id/beranda/welcome/kondisi (diakses pada tanggal 28 Juni 2021)
https://sawahan.nganjukkab.go.id/profil/2 (diakses pada tanggal 28 Juni 2021)

Anda mungkin juga menyukai