Disusun oleh:
NUR AMMA NINAS
22039074
2022
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas Kasih dan KaruniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) ini. Perapotekan di Apotek Kimia Farma Pengayoman serta laporannya
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker di
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
Kelengkapan administratif resep 1 ................................................................... 37
Kelengkapan administratif resep 2 ................................................................... 38
Skrining farmasetik resep 1 ............................................................................. 40
Skrining farmasetik resep 2 ............................................................................. 41
Interaksi farmakologi resep 1 ........................................................................... 56
Interaksi farmakologi resep 2 ........................................................................... 57
iii
DAFTAR GAMBAR
Penandaan Obat Bebas ..................................................................................... 22
Penandaan Obat Bebas Terbatas ...................................................................... 23
Penandaan Obat Keras ..................................................................................... 23
Penandaan Narkotika ....................................................................................... 25
Penandaan Jamu ............................................................................................... 33
Penandaan Obat Herbal Terstandar ................................................................. 33
Penandaan Fitofarmaka .................................................................................... 34
Contoh Resep 1 ................................................................................................ 35
Contoh Resep 2 ................................................................................................ 36
iii
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang
Pelayanan kesehatan merupakan suatu alat atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat (IAI, 2014). Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang banyak
dijumpai dan dikenal oleh masyarakat, yaitu apotek.
Apotek sebagai tempat pelayanan kesehatan khususnya dibidang farmasi
dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat serta merupakan
suatu sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh
apoteker (PerMenKes, No.35, 2014; PerMenKes, No.9, 2017).
Standar pelayanan kefarmasian di apotek, meliputi pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinis.
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai terbagi
atas perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan. Pelayanan farmasi klinis, meliputi
pengkajian resep, dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling,
pelayanan kefarmasian di rumah, Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan Monitoring
Efek Samping Obat (MESO). Pekerjaan kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang dalam hal ini adalah apoteker yang mempunyai keahlian,
keterampilan dan kewenangan (PerMenKes, No. 73, 2016).
Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung. Apoteker harus mengetahui,
mempersiapkan dan melatih diri, serta menambah wawasan mengenai peran dan
fungsi apoteker di apotek sehingga agar dapat bekerja secara profesional dalam
melakukan pekerjaan kefarmasian.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka sebagai calon apoteker perlu
meningkatkan kompetensi dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek
melalui pengalaman praktek kerja secara langsung di apotek, yaitu dengan
iii
dilaksanakannya Praktik Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma
Pengayoman pada tanggal 22 Agustus – 30 September.
iii
BAB II
10
II.2. Skrining Resep
11
II.3 Pelayanan Resep
II.3.1. Pelayanan Resep umum
Resep merupakan permintaan tertulis dari Dokter, Dokter gigi, Dokter hewan
kepada Apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan PerMenKes No.35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan di Apotek, pelayanan resep yang dilakukan adalah
sebagai berikut (Permenkes No. 35, 2014) :
a. Kajian administratif meliputi: Pasien (Nama, umur, jenis kelamin, berat badan),
Dokter (Nama, nomor Surat Izin Praktik, alamat, nomor telepon dan paraf),
tanggal penulisan resep.
b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: Bentuk sediaan, kekuatan sediaan,
stabilitas dan kompatibilitas (ketercampuran obat).
c. Pertimbangan klinis meliputi: Ketepatan indikasi dan dosis; aturan, cara dan
lama penggunaan obat; dupliasi dan/atau polifarmasil reaksi obat yang tidak
diinginkan (alergi, ESO, manifestasi klinis lain); kontra indikasi dan interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
12
Setelah penyiapan obat selesai, beberapa hal yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut (Permenkes No. 35, 2014):
a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien dilakukan pemeriksaan kembali
mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis
dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep).
b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
d. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.
e. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal yang terkait dengan
obat antara lain manfaat obat, makanan/ minuman yang harus dihindari,
kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain.
f. Penyerahan obat kepasien dilakukan dengan cara yang baik, mengingat
pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil.
g. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya.
h. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker
(apabila diperlukan).
i. Menyimpan resep pada tempatnya.
j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
II.3.2. Pelayanan Resep Narkotika
Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 menjelaskan bahwa narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanamanatau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semi sintetis,yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Pengaturan narkotika diperlukan, bertujuan untuk
menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan mencegah peredaran gelap
narkotika. Narkotika dapat dibedakan menjadi beberapa golongan, yaitu :
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
13
b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan
atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;
c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Undang - Undang No. 35 Tahun 2009 Pasal 43 tentang narkotika, ayat 2
menjelaskan bahwa apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah
sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, Dokter, dan pasien, serta dalam
ayat (3) dijelaskan apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien
berdasarkan resep Dokter. Berdasarkan ayat (4), penyerahan narkotika oleh Dokter
hanya dapat dilaksanakan dalam halmenjalankan praktek Dokter dengan
memberikan melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan melalui suntikandan menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak
ada apotek. Ayat (5) menjelaskan bahwa narkotika dalam bentuk suntikan dalam
jumlah tertentu yang diserahkan Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya
dapat diperoleh di apotek.
II.3.3. Pelayanan Resep Narkotika
Psikotropika diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009. Psikotropika
adalah zat atau obat, alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dapat dibedakan
menjadi beberapa golongan, yaitu :
a. Psikotropika golongan I, yaitu psikotropika yang dapat digunakan untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan,
b. Psikotropika golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
14
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
c. Psikotropika golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan,
d. Psikotropika golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
Penyerahan psikotropika di apotek menurut UU No. 5 tahun 1997 pasal 14
ayat 2 hanya diperbolehkan kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai
pengobatan, Dokter, dan pasien, serta dalam ayat 4 dijelaskan apotek hanya dapat
menyerahkan psikotropika kepada pasien berdasarkan resep Dokter.
II.4. Swamedikasi
Swamedikasi adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan obat tanpa
resep dari Dokter yang dilakukan secara tepat guna dan bertanggung jawab.
Permenkes RI No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek menyatakan bahwa seorang Apoteker selain melakukan pelayanan obat
berdasarkan resep Dokter juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi dan informasi kepada pasien
dalam swamedikasi agar pengobatan tetap rasional.
Dalam Permenkes No. 919/MENKES/Per/X/1993 pasal 2 disebutkan bahwa
obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Tidak dikontraindikasikan penggunaannya pada wanita hamil, anak di
bawah umur 2 (dua) tahun dan orang tua diatas 65 tahun
b. Pengunaannya tidak memerlukan alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan
c. Pengobatan dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit
15
d. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat dan keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
e. Penggunaannya untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
Berdasarkan kriteria – kriteria tersebut maka obat – obatan yang dapat
diserahkan dalam swamedikasi meliputi Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan
Obat Wajib Apotek dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pengobatan mandiri
secara tepat, aman dan rasional.
a. Obat Bebas
Obat Bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep Dokter
dimana pada etiket wadah dan bungkus luar atau kemasan terkecil
dicantumkan secara jelas tanda khusus yang mudah dikenali. Tanda khusus
Obat Bebas menurut SK Menkes No.2380/A/SK/VI/83 yaitu lingkaran
berdiamater minimal 1 cm, berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
b. Obat Bebas Terbatas
Obat Bebas Terbatas adalah obat-obatan yang dalam jumlah tertentu
masih bisa dibeli di apotek tanpa resep Dokter. Tanda khusus Obat Bebas
Terbatas adalah berdiamater minimal 1 cm, berwarna biru dengan garis tepi
berwarna hitam. Obat Bebas Terbatas juga memiliki peringatan tertentu
berdasarkan SK menkes RI Nomor 6355/DIRJEN/SK/69, yaitu:
P-1 : Awas obat keras, bacalah aturan memakainya
P-2 : Awas obat keras, hanya untuk kumur, jangan ditelan
P-3 : Awas obat keras, hanya untuk bagian luar dan badan
P-4 : Awas obat keras, hanya untuk dibakar
P-5 : Awas obat keras, tidak boleh ditelan
P-6 : Awas obat keras, obat wasir, jangan ditelan
c. Obat Wajib Apotek
Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan
oleh Apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep Dokter. OWA diatur
dalam beberapa peraturan perundangan-undangan, yaitu:
1) Kepmenkes No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang OWA I yang terdiri
dari 7 kelas terapi yaitu: oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut
16
dan tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem
neuromuskular, antiparasit, dan obat kulit topikal.
2) Kepmenkes No. 924/MENKES/PER/X/1993 tentang OWA II yang terdiri
dari 34 jenis obat generik sebagai tambahan lampiran Kepmenkes No.
347/MENKES/SK/VII/1990 tentang OWA II.
3) Kepmenkes No. 1176/MENKES/SK/X/1999 tentang OWA III yang
terdiri dari 6 kelas terapi yaitu saluran pencernaan dan metabolisme, obat
kulit, antiinfeksi umum, sistem muskuloskeletal, sistem saluran
pernafasan, dan organ-organ sensorik.
Wewenang dan kewajiban Apoteker dalam menyerahkan OWA diatur
dalam Kepmenkes No. 1332/MenKes/SK/X/2002 pasal 18. Kewajiban Apoteker
kepada pasien yang memerlukan OWA, yaitu:
1) Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan
dalam OWA yang bersangkutan.
2) Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3) Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontra indikasi,
efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan pasien.
a. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep terdiri dari kajian administratif, kesesuaian
farmasetik, dan pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi nama pasien,
umur, jenis kelamin dan berat badan pasien, nama dokter, nomor Surat Izin Praktek
(SIP), alamat, nomor telepon dokter, dan paraf dokter, dan tanggal penulisan resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas, dan
kompatibilitas (ketercampuran obat). Pertimbangan klinis meliputi ketepatan
indikasi dan dosis obat; aturan, cara, dan lama penggunaan obat; duplikasi dan/atau
17
polifarmasi; reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain); kontra indikasi; dan interaksi (Menteri Kesehatan RI,
2016). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2017 tentang Apotek,
dalam hal obat yang diresepkan terdapat obat merek dagang, maka Apoteker dapat
mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya
atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 98 tahun 2015 tentang
Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi (HET), Apotek dapat menjual obat
dengan harga yang sama atau lebih rendah dari HET. Dikecualikan dari ketentuan
tersebut, Apotek dapat menjual obat dengan harga lebih tinggi dari HET apabila
harga yang tercantum pada label sudah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dengan harus memberikan penjelasan kepada masyarakat. Apoteker di Apotek pada
saat memberikan pelayanan obat atas resep dokter wajib memberikan informasi
HET obat kepada pasien atau keluarga pasien. Selain itu, Apoteker harus
menginformasikan obat lain terutama obat generik yang memiliki komponen aktif
dengan kekuatan yang sama dengan obat yang diresepkan yang tersedia pada
Apotek kepada pasien atau keluarga pasien.
b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan, dan pemberian informasi
obat. Obat disiapkan sesuai dengan permintaan resep atau melakukan peracikan bila
diperlukan. Etiket diberikan dengan warna putih untuk obat dalam/oral, warna biru
untuk obat luar atau suntik. Obat kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang tepat
dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari
penggunaan yang salah. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara
penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
resep). Kemudian, memanggil nama dan nomor tunggu pasien, memeriksa ulang
identitas dan alamat pasien. Setelah itu dilakukan penyerahan obat yang disertai
pemberian informasi obat meliputi informasi cara penggunaan obat dan hal-hal
yang terkait dengan obat seperti manfaat obat, makanan dan minuman yang harus
dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain.
18
Apabila diperlukan, Apoteker membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan
diparaf oleh Apoteker. Apoteker di Apotek juga dapat melayani obat non resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas
atau bebas terbatas yang sesuai (Permenkes 73, 2016)
19
b. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan);
c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi;
e. Melakukan penelitian penggunaan Obat;
f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
g. Melakukan program jaminan mutu (Permenkes No. 35, 2014).
Apoteker dalam melakukan Pelayanan Informasi Obat perlu melakukan
pendokumentasian. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan
Informasi Obat, yaitu :
Topik Pertanyaan :
a. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
b. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
c. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat
alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
d. Uraian pertanyaan;
e. Jawaban pertanyaan;
f. Referensi;
g. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker
yang memberikan Pelayanan Informasi Obat (Permenkes No. 35, 2014).
d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien
dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker
harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami
obat yang digunakan (Permenkes 73, 2016).
20
e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok
lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis pelayanan
kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi:
penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan;
identifikasi kepatuhan pasien; pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat
kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma dan penyimpanan insulin;
konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum; serta monitoring
pelaksanaan, efektifitas, dan keamanan penggunaan obat berdasarkan catatan
pengobatan pasien (Permenkes 73, 2016).
21
mengalami efek samping obat; mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat
(MESO); dan melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
(Permenkes 73, 2016).
Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang digunakan oleh semua
makhluk untuk bagian dalam maupun bagian luar, guna mencegah, meringankan,
maupun menyembuhkan penyakit (Syamsuni, 2007). Penggolongan obat yang
menyatakan bahwa penggolongan obat yang dimaksudkan untuk peningkatan
keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi. Penggolongan
obat ini terdiri dari: obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras,
psikotropika dan narkotika (Syamsuni, 2006).
Obat bebas adalah golongan obat yang relatif aman, bisa diperoleh tanpa
resep dokter. Tersedia ditempat pelayanan kefarmasian seperti di apotek, dan juga
dapat diperoleh di warung atau toko biasa. Obat bebas ditandai dengan adanya
lingkaran berwarna hijau pada kemasannya. Contohnya adalah parasetamol,
vitamin C, antasida daftar obat esensial (DOEN), dan Obat Batuk Hitam (OBH®)
(Priyanto, 2010).
Obat bebas terbatas adalah obat yang penjualannya bebas, akan tetapi disertai
dengan tanda peringatan. Obat bebas terbatas adalah obat yang dapat diserahkan
kepada pasien tanpa resep dokter, tetapi harus sesuai persyaratan undang-undang,
tanda khusus untuk obat bebas terbatas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Ukuran
22
lingkaran tanda khusus obat bebas disesuaikan dengan ukuran dan desain etiket
wadah dan bungkus luar yang bersangkutan dengan ukuran diameter lingkaran luar
dan tebal garis tepi yang proporsional, berturut-turut minimal 1 cm dan 1 mm.
Contohnya obat bebas terbatas adalah flu kombinasi (tablet), klorfeniramin maleat
dan mebendazol (Priyanto, 2010).
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas berupa
persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, dan lebar 2 cm, dan
memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut.
23
II.6.4 Obat Wajib Apotek
Obat wajib apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh
Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien tanpa resep dokter. Berikut
adalah persyaratan yang harus dipenuhi apoteker dalam penyerahan OWA
(KepMenKes, No. 347, 1990):
1. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan
kepada pasien.
2. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien
(nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
3. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar yang mencakup
indikasi, kontraindikasi, cara pemakain, cara penyimpanan dan efek samping
obat yang mungkin timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak
dikehendaki tersebut timbul.
Kriteria obat yang dapat diserahkan adalah sebagai berikut (PerMenKes, No.
919, 1993):
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
4. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung-
jawabkan untuk pengobatan sendiri.
5. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
II.6.5 Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebebkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
24
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan (UU RI, No. 2, 2017).
1. Penggolongan Narkotika
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan
c. Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
(UU, No.35, 2009).
2. Pengelolaan Narkotika
Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4
Tahun 2018 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
pengelolaan narkotika meliputi:
a. Pemesanan Narkotika
1) Menggunakan Surat Pesanan (SP) khusus narkotika.
2) Surat pemesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk satu jenis
narkotika dan harus terpisah dari pesanan barang lain dan dibuat paling
sedikit tiga rangkap untuk BPOM, DINKES Kabupaten/Kota, dan untuk
arsip apotek.
25
3) Arsip surat pesanan narkotika harus disimpan sekurang-kurangnya
selama lima tahun berdasarkan tanggal dan nomor surat pesanan.
b. Penyimpanan Narkotika
Lemari khusus penyimpanan narkotika harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) Dalam wadah asli dari produsen.
2) Terbuat dari bahan yang kuat.
3) Tidak mudah dipindahkan dan dibagi menjadi dua bagian masing-masing
bagian dengan kunci yang berlainan.
4) Diletakkan di tempat aman dan tidak terlihat oleh umum.
5) Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan tenaga kefarmasian lain yang diberi kuasa.
6) Penyimpanan narkotika harus dilengkapi dengan kartu stok, dapat
berbentuk kartu stok manual maupun elektronik.
c. Penyerahan Narkotika
Narkotika hanya dapat diserahkan kepada pasien untuk pengobatan
penyakit berdasarkan resep dokter. Apoteker dilarang mengulangi penyerahan
obat atas dasar resep yang diulang (iter) apabila resep aslinya mengandung
narkotika.
d. Pemusnahan narkotika
1) APA menyampaikan surat permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan/atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
setempat.
2) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) setempat menetapkan petugas di lingkungannya
menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai
saksi.
3) Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang ditetapkan.
4) APA membuat berita acara pemusnahan, dibuat dalam 3 (tiga) rangkap
dan tembusannya disampaikan kepada kepala balai setempat.
Pemusnahan narkotika farmasi hanya dilakukan dalam hal:
26
1) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan/atau tidak dapat diolah kembali.
2) Telah kedaluarsa.
3) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa
penggunaan
4) Dibatalkan izin edarnya.
5) Berhubungan dengan tindak pidana.
e. Pelaporan
1) Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan atau
penggunaan narkotika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat dan
disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2) Pelaporan penyerahan atau penggunaan narkotika terdiri atas:
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika
b) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
c) Jumlah yang diterima dan jumlah yang diserahkan (PerMenKes, No.
3, 2015).
Sistem Pelaporan Narkotika saat ini menggunakan aplikasi Sistem
Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) yang dikembangkan dan
dikelola oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Ditjen
Binfar dan Alkes, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Aplikasi ini
diperuntukan bagi seluruh unit pelayanan (apotek, klinik dan rumah sakit),
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta
Dinas Kesehatan Provinsi Seluruh Indonesia (KeMenKes, 2014).
II.6.6 Psikotropika
Psikotropika adalah obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (PerBPOM,
2018).
27
1. Penggolongan psikotropika
a. Psikotropika golongan I, yaitu yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi amat kuat mengakibatkan ketergantungan.
b. Psikotropika golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan ketergantungan.
c. Psikotropika golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk ilmu pengetahuan serta
mempunyaai potensi sedang mengakibatkan ketergantungan.
d. Psikotropika golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi daan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan (UU, No. 5, 1997).
2. Pengelolaan psikotropika
Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4
Tahun 2018 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
pengelolaan psikotropika meliputi:
a. Pengadaan psikotropika
1) Surat Pesanan (SP) khusus obat golongan psikotropika dan
ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab (APA) yang dikirim
ke Pedagang Besar Farmasi (PBF).
2) Surat pesanan yang digunakan harus dipisahkan dengan obat selain
psikotropika. Surat pesanan untuk psikotropika dibuat minimal tiga
rangkap (satu rangkap sebagai arsip apotek dan dua rangkap untuk
PBF).
3) Arsip surat pesanan psikotropika harus disimpan sekurang-kurangnya
selama 5 tahun berdasarkan tanggal dan nomor surat pesanan.
28
b. Penerimaan psikotropika
1) Harus dilakukan oleh APA dan harus berdasarkan faktur pembelian
atau surat penerimaan.
2) Pada saat penerimaan fasilitas pelayanan kefarmasian harus melakukan
pemeriksaan terhadap kemasan, kesesuaian nama, bentuk sediaan dan
kekuatan fisik.
c. Penyimpanan psikotropika
2) Dalam wadah asli dari produsen.
3) Terpisah dari produk lain dan terlindung dari dampak yang tidak
diinginkan akibat paparan cahaya matahari, suhu, kelembaban atau
faktor eksternal lain.
3) Memperhatikan sistem First Expired-First Out (FEFO) dan/atau sistem
First In-First Out (FIFO).
4) Psikotropika harus disimpan dalam lemari khusus penyimpanan
Psikotropika. Lemari khusus penyimpanan Psikotropika harus
mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda, satu kunci dipegang oleh
apoteker penanggung Jawab dan satu kunci lainnya dipegang oleh
pegawai lain yang dikuasakan.
d. Penyerahan psikotropika
Apotek dapat menyerahkan psikotropika kepada apotek lainnya
apabila terjadi kelangkaan stok di fasilitas distribusi atau terjadi kekosongan
stok di apotek tersebut dan disertai surat permintaan tertulis. Penyerahan
psikotropika kepada pasien oleh apotek dilaksanakan berdasarkan resep
dokter. Resep dengan permintaan iter dilarang diserahkan sekaligus. Dalam
menyerahkan psikotropika berdasarkan resep, pada resep atau salinan resep
harus dicatat nama, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi dari
pihak yang mengambil obat.
e. Pemusnahan psikotropika
Pemusnahan psikotropika di apotek, dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut:
29
1) APA menyampaikan surat permohonan saksi kepada dinas kesehatan
Kabupaten/Kota dan/atau BPOM setempat.
2) Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan/atau BPOM setempat
menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan
sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
3) Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
4) APA membuat berita acara pemusnahan, dibuat dalam rangkap 3 (tiga)
dan tembusannya disampaikan kepada balai setempat.
Pemusnahan psikotropika hanya dilakukan dalam hal sebagai berikut:
1) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan
atau tidak dapat diolah kembali dan telah kedaluarsa.
2) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan
atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa
penggunaan.
3) Dibatalkan izin edarnya dan berhubungan dengan tindak pidana.
f. Pelaporan psikotropika
1) Apotik wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/
penggunaan psikotropika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat dan
disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2) Pelaporan penyerahan/penggunaan psikotropika terdiri atas:
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika.
b) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
c) Jumlah yang diterima.
d) Jumlah yang diserahkan (PerMenKes, No.3, 2015).
Sistem pelaporan psikotropika menggunakan aplikasi Sistem
Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) yang dikembangkan dan
dikelola oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Ditjen
Binfar dan Alkes, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Aplikasi ini
diperuntukan bagi seluruh unit pelayanan seperti apotek, klinik dan rumah
30
sakit, Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
serta Dinas Kesehatan Provinsi Seluruh Indonesia (KeMenKes, 2014).
II.6.7 Prekursor
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 tahun 2010 tentang
prekursor Pasal 1 menyebutkan, prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula
atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika dan
psikotropika. Prekursor digolongkan dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel
II. Jenis Prekursor Tabel I dan jenis Prekursor Tabel II merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah. Penambahan dan perubahan jenis
Prekursor Tabel I dan Tabel II ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait. Contoh Prekursor Tabel 1 dan 2 antara lain :
1. Tabel I yaitu Acetic Anhydride, N-Acetylanthranilic Acid, Ephedrine,
Ergometrine, Ergotamine, Isosafrole, Lysergic Acid,
3,4Methylenedioxyphenyl-2-propanone, Norephedrine, 1-Phenyl-2-
Propanone, Piperonal, Potassium Permanganat, Pseudoephedrine dan Safrole.
2. Tabel II yaitu Acetone, Anthranilic Acid, Ethyl Ether, Hydrochloric Acid,
Methyl Ethyl Ketone, Phenylacetic Acid, Piperidine, Sulphuric Acid dan
Toluene.
3. Pengelolaan psikotropika
Dalam pengelolaan prekursor farmasi terdapat perlakuan khusus mulai dari
pemesanan, penyimpanan, penyerahan pelaporan dan cara pemusnahannya.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 3 tahun 2015
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, adalah sebagai berikut :
a. Pemesanan Prekursor Farmasi
Pemesanan Prekursor menggunakan Surat Pesanan (SP)
khusus. Psikotropika terdiri dari 3 rangkap yang ditandatangani oleh APA
yang dikirim ke Pedagang Besar Farmasi (PBF) serta dilengkapi dengan
nama jelas, stempel apotek, nomor SIPA dan SIA. Satu SP bisa digunakan
untuk beberapa jenis obat.
31
b. Penyimpanan Prekursor Farmasi
Prekursor farmasi disimpan dalam bentuk obat jadi ditempat penyimpanan
obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
c. Penyerahan Prekursor Farmasi
Prekursor farmasi golongan obat keras hanya dapat diserahkan oleh apotek
kepada apotek lain, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, pasien
berdasarkan resep yang telah diterimanya. Penyerahan prekursor farmasi
golongan obat bebas kepada pasien harus memperhatikan kerasionalan
jumlah yang diserahkan sesuai dengan kebutuhan terapi.
d. Pelaporan Prekursor Farmasi
Pelaporan dilakukan secara berkala tiap 1 bulan. Laporan ditandatangani
oleh APA dan ditujukan Dinkes Kabupaten/Kota dengan tembusan ke Balai
POM setempat
e. Pemusnahan Prekursor Farmasi
Pemusnahan prekursor farmasi dilakukan apabila berhubungan dengan
tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk gunakan pada
pelayanan kesehatan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Pemusnahan prekursor farmasi wajib dibuat berita acara pemusnahan dan
disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu tujuh hari setelah
mendapat kepastian.
32
berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan
keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.
Contohnya yaitu Batugin elixir, Vegeta herbal, Dehaf, Ambeven, Channafit,
Laxing, Herbamuno, Vitabumin, Cheral, Negatal, dan Tuntas.
3. Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam
yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya
yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji
33
klinik pada manusia. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi
medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan.
34
BAB III
III.1 Resep
35
\
36
III.2 Skrining Resep
III.2.1 Skrining Administratif
Tabel 1. Kelengkapan Administratif Resep 1
Tidak
Kelengkapan Ada Keterangan
ada
Nama dokter - √ Tidak tercantum
37
Tabel 2. Kelengkapan Administratif Resep 2
Tidak
Kelengkapan Ada Keterangan
ada
Nama dokter √ - Tercantum
Dari hasil skrining administrasi pada resep 1 tidak dilengkapi pada bagian
Inscriptio dan Pro meliputi nama dokter, SIP dokter. Bobot badan dan alamat
pasien, sedangkan pada resep 2 juga tidak dilengkapi pada bagian Inscriptio dan
Pro meliputi SIP dokter dan alamat pasien.
38
telah memenuhi syarat untuk menjalankan praktek seperti yang telah
ditetapkan oleh undang-undang serta untuk menjamin bahwa dokter tersebut
secara sah diakui dalam praktek keprofesian dokter. (Megawati dan Santoso,
2017). Nomor izin praktek harus sesuai standar profesi dokter dan masih
berlaku.
2. Bentuk Sediaan
Informasi mengenai bentuk sediaan perlu dituliskan, terutama untuk
obat-obatan yang memiliki beragam bentuk sediaan dan dosis. Tidak adanya
informasi tersebut dapat menyebabkan kesalahan di fase dispensing. (Hoedojo,
2018).
3. Aturan Pemakaian
Dalam resep diatas tercantum aturan minum obat namun tidak dituliskan
secara lengkap dan terperinci. Sebaiknya dalam resep dicantumkan aturan
minum obat, apakah diminum sebelum makan (ante coenam), sementara
makan (durante coenam) atau setelah makan (post coenam) agar mengurangi
efek samping yang tidak di inginkan. Aturan minum obat juga terkait dengan
efektivitas dan tempat kerja obat sehingga penting untuk diperhatikan. Maka
untuk mengatasi hal ini, seorang apoteker dituntut untuk memberikan
informasi mengenai aturan minum obat pada saat penyerahan atau konseling
dengan pasien.
4. Nama Pasien
Nama Pasien merupakan bagian penting yang perlu ada dalam suatu
resep. Nama pasien ini perlu agar tidak terjadi kesalahan pada saat penyerahan
obat ke pasien
5. Umur dan Berat Badan Pasien
Umur dan Berat Badan Pasien juga merupakan salah satu aspek yang
diperlukan dalam suatu resep untuk perhitungan dosis obat pasien. Berat badan
merupakan aspek pelengkap dalam menentukan perhitungan dosis yang tepat
bahkan jika dokter tidak mencantumkan umur pasien. Kebanyakan dokter
hanya menuliskan berat badan balita atau anak dibawah dua tahun karena
untuk penyesuaian dosis dan mempercepat pelayanan. Dokter masih belum
39
sepenuhnya menuliskan berat badan dalam peresepan, pentingnya
pencantuman berat badan pasien karena dapat mempermudah perhitungan
dalam dosis yang dilakukan oleh petugas farmasis dalam penyiapan obat
(Rahmawati, 2002).
6. Alamat Pasien
Alamat pasien sering kali diabaikan oleh penulis resep (dokter), alamat
pasien berguna sebagai identitas pasien apabila terjadi kesalahan dalam
pemberian obat di apotek, atau obat tertukar dengan pasien lain serta hal ini
sangat diperlukan dalam proses pelayanan peresepan sebagai pembeda ketika
ada nama pasien yang sama agar tidak terjadi kesalahan pemberian obat pada
pasien. (Megawati dan Santoso, 2017).
40
b. Resep 2
Tabel 4. Skrining farmasetik resep 2
No Persyaratan Ada Tidak Keterangan
farmasetika ada
1 Nama Obat √ - Metformin
Glimepiride
Simvastatin
Amlodipin
Neurodex
2 Bentuk Sediaan √ - Tablet
3 Kekuatan Sediaan √ - Metformin 500 mg
Glimepiride 2 mg
Simvastatin 20 mg
Amlodipine 10 mg
Neurodex
5 Rute Pemberian √ Berdasarkan aturan pakai obat dapat
diketahui bahwa rute pemberian obat
pada resep yaitu oral
6 Stabilitas Obat √ - Obat yang diberikan kepada pasien
dalam keadaan stabil disimpan
ditempat yang kering dan sejuk, dan
terhindar dari cahaya.
\
III.2.3 Skrining Klinis
III.2.3.1 Kesesuaian Dosis dan Aturan Pakai
A. Resep 1
• Berdasarkan Usia
𝑈𝑠𝑖𝑎 (𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛)
Rumus Fried (<1 Tahun) = x dosis lazim dewasa
150
𝑈𝑠𝑖𝑎 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
Rumus Young (1-8 Tahun) = x dosis lazim dewasa
𝑢𝑠𝑖𝑎+12
𝑈𝑠𝑖𝑎 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
Rumus Dilling (8-12 Tahun) = x dosis lazim dewasa
20
41
Untuk mengetahui kesesuaian dosis resep pertama pada anak usia 8 tahun
maka dilakukan perhitungan dosis dengan rumus Dilling.
𝑈𝑠𝑖𝑎 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
Dosis= x dosis lazim dewasa
20
b. Ambroxol 30 mg
Dosis lazim = 12-48mg/hari
8 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
Untuk 8 tahun= x 30mg/120mg = 12 mg /48 mg
20
42
Berdasarkan perhitungan dosis, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian obat Ambroxol pada resep tersebut tidak memenuhi dosis lazim,
sehingga disarankan untuk meningkatkan dosis sekali pakai menjadi 15 mg.
Perhitungan dosis lazim jika dosis dinaikkan:
Dosis sekali pakai = 1 x 15 mg = 15 mg
Dosis sehari = 3 x 15 mg = 45 mg
d. Salbutamol 2 mg
Dosis Sehari = 3 x 1 mg = 3 mg
43
Berdasarkan perhitungan dosis, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian obat histapan pada resep tersebut melebihi dosis lazim, sehingga
44
obat yang seharusnya di mulut menjadi terabsorpsi di lambung atau usus
(Wiedyaningsih C dkk,2004).
Naiknya efek samping atau bahkan toksisitas dapat terjadi bila melakukan
penggerusan / perubahan bentuk sediaan suatu obat. Penggerusan obat yang disalut
enterik akan merusak obat yang semestinya dijaga agar obat tidak mengiritasi
lambung. Penggerusan obat yang berefek carsinogenic dapat menyebabkan
terkontaminasinya udara karena pecahnya partikel obat yang akan berakibat bagi
pekerja kesehatan. Dalam hal peningkatan biaya pengobatan, hal ini jelas terlihat
karena dalam membuat suatu sediaan obat, industri farmasi tentu saja telah
melakukan beberapa tahapan dari sintesa obat, formulasi sampai dengan beberapa
pengujian bentuk sediaan sebelum obat dipasarkan. Tahapan tersebut tentu saja
berpengaruh dalam harga suatu obat. (Wiedyaningsih C dkk,2004).
45
Menurut penelitiana Natasya H dan Iswandi D pada tahun 2020,
menyebutkan bahwa pasien DM tipe 2 yang mengkonsumsi metformin, lebih
beresiko 4,72 kali untuk mengalami defisiensi vitamin B12 dibandingkan dengan
pasien yang tidak mengkonsumsi obat tersebut. Pengobatan defisiensi vitamin B12
karena metformin tidak berbeda dengan pengobatan defisiensi vitamin tersebut
akibat etiologi lain. Semua pasien dengan defisiensi vitamin B12 harus diberikan
terapi pengganti yaitu pemberian Vit B12 oral dengan dosis 1000 mikrogram
perhari dilanjutkan dengan satu kali perminggu selama empat minggu.
RESEP 1
46
digunakan untuk mengobati atau mencegah berbagai jenis infeksi yang
disebabkan oleh bakteri.
g. Interaksi obat
Meningkatkan efek Karbamazepin, siklosporin, teofilin, warfarin dan
digoksin.
h. Efek samping
Gangguan gastrointestinal, reaksi alergi, superinfeksi, ototksitas, colitis
pseudomembran.
i. Peringatan dan Perhatian
Penggunaan Erytromicyn yang tidak tepat dosis dapat meningkatkan risiko
infeksi lebih lanjut atau resisten terhadap antibiotik. Eritromisin tidak
diindikasikan untukn pengobatan infeksi virus seperti flu biasa atau flu.
Obat antibiotik dapat menyebabkan diare, yang mungkin merupakan tanda
infeksi baru. Jika mengalami diare yang berair atau berdarah, hentikan
penggunaan eritromisin dan hubungi dokter . Jangan gunakan obat anti-
diare kecuali dengan arahan dokter.
47
e. Kontraindikasi
Hipersensitive terhadap ambroxol
f. Farmakologi
Ambroxol adalah agen mukolitik. Nitric oxide (NO) yang berlebihan
dikaitkan dengan inflamasi dan beberapa gangguan lain dari fungsi saluran
udara. NO meningkatkan aktivasi guanylate cyclase terlarut dan akumulasi
cGMP. Ambroxol telah terbukti menghambat aktivasi yang bergantung
pada NO dari guanylate cyclase yang larut. Ada kemungkinan juga bahwa
penghambatan aktivasi guanylate cyclase terlarut yang bergantung pada NO
dapat menekan sekresi lendir yang berlebihan, oleh karena itu menurunkan
viskositas dahak dan meningkatkan transportasi mukosiliar sekresi
bronkial.
g. Interaksi obat (Basic Pharmacology & Drug Notes, 2019)
Pemberian bersama antibiotik (amoxicillin, cefuroxime, erythromycin,
doxycycline) dapat meningkatkan kadar antibiotik dalam jaringan paru
h. Efek samping
Mual, muntah, diare, dispepsia, mulut atau tenggorokan kering, sakit perut,
mulas, parestia oral atau faring, dysguesia.
i. Peringatan dan perhatian
Pasien dengan tukak lambung atau duodenum, diskinesia silia, dan kondisi
bronkial. Gangguan ginjal dan hati. Anak-anak. Kategori C pada kehamilan
dan menyusui.
48
Bekerja dengan cara memblok aksi histamine (mediator alergi) pada
reseptor H1, sehingga terjadi penghambatan reaksi inflamasi dan gejala
alergi.
e. Dosis dan Aturan Minum
Dewasa 100-300 mg/hari. Anak 6-12 tahun 100-200mg/hari, diberikan
terbagi dalam 2 dosis.
f. Interaksi Obat
Alkohol, SSP depresan, antikolinergik, MAOI
g. Efek samping
Sedasi, gangguan gastrointestinal, efek antimuskarinik, hipotensi,
kelemahan otot, tinnitus, euphoria, sakit kepala, stimulasi SSP, alergi,
gangguan darah
h. Peringatan dan perhatian
Glaukoma sudut sempit, hamil, retensi Urin, hipertropi prostat, lesi fokal
dikorteks serebri, hindari pengoprasian kendaraannatau mesin, sensitivitas
silang pada obat lain.
49
adrenoseptor beta-2 diotot bronkial yang merupakan otot polos yang
melapisi bronkus yang membawa udara dari trakea ke paru-paru.
e. Dosis
Dewasa > 12 tahun 2-4 mg/hari, 3-6 tahun 1-2 mg per hari diberikan 3-4
kali sehari.
f. Interaksi Obat
Interaksi obat ini dapat di antagonisisr oleh propranolol dan beta adrenergic
bloker dan efek obat ini ditingkatkan jika digunakan bersamaan dengan
xantin.
g. Efek samping
Tremor otot rangka, khususnya tangan, palpitasi dan kram otot.
h. Peringatan
Pasien yang sedang menggunakan antihipertensi dan zat anastesi yang
berhalogenasi, pasien penderita hipertiroidiusme, aneurisme, DM,
glaucoma sudut tertutup.
50
e. Farmakologi
Farmakologi triamcinolone adalah sebagai glukokortikoid sintetik yang
bekerja dengan menghambat sitokin proinflamasi, seperti interleukin 6,
interleukin 8, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), dan
siklooksigenase 2.
f. Dosis
Dewasa 4mg-48 mg sehari.
g. Interaksi Obat
Triamcinolone dapat mengganggu kontrol glukosa darah dan mengurangi
efektivitas acarbose dan obat diabetes lainnya. Carbamazepine dapat
mengurangi kadar triamcinolone dalam darah, yang dapat membuat obat
kurang efektif.
h. Efek samping
Gangguan pada penglihatan, pembengkakan, penambahan berat badan yang
cepat, merasa sesak napas, depresi berat, pikiran atau perilaku yang tidak
biasa, kejang (kejang-kejang), tinja berdarah atau berdarah, batuk darah,
pankreatitis (sakit parah di perut bagian atas Anda menyebar ke punggung
Anda, mual dan muntah, detak jantung cepat);, kalium rendah (kebingungan,
detak jantung tidak merata, rasa haus yang ekstrem, peningkatan buang air
kecil, ketidaknyamanan kaki, kelemahan otot atau perasaan lemas).
i. Peringatan
Obat ini tidak boleh diberikan kepada pasien yang memiliki hipersensitivitas
terhadap triamcinolone dan pasien yang memiliki infeksi jamur.
RESEP 2
1. Metformin 500 mg (Drugs.com)
a. Indikasi
Diindikasikan sebagai Antidiabetes
b. Kontraindikasi
Asidosis metabolik akut atau kroni, biabetes pre-koma, gagal jantung.
c. Farmakologi
51
Farmakologi .
d. Dosis
Dosis awal : 500 – 850 mg, 1-3 kali sehari
Dosis Maksimum : 2.550 – 3000 mg dalam 3 dosis terbagi.
e. Interaksi Obat
NSAID, ACEI, diuretik loop,antidiabetes (misal sulfunilurea, insulin).
f. Efek samping
Mual, muntah, sakit perut, diare gangguan pencernaan dan hilang nafsu
makan
52
3. Simvastatin 20 mg (Basic Pharmachology, 2019 ; Drugs.com)
a. Indikasi
Terapi tambahan pada diet untuk menurunkan kolesterol pada
Hiperkolesterolemia primer atau dislipidemia campuran.
b. Kontraindikasi
Pasien dengan penyakit hati yang aktif. Kehamilan, menyusui tipe drown.
c. Farmakologi
Statin menghambat secara kompetetif koenzim HMG-CoA reduktase.
d. Dosis
Awal 5 – 10 mg/hari dosis tunggal pada malam hari. Dosis dapat
diseduaikan dengan interval 4 minggu. Maksimal 40 mg/hari sebagai dosis
tunggal (malam hari)
e. Interaksi Obat
Insiden miopati meningkat bila statin diberikan pada dosis tinggi atau
diberikan bersama fibrat, atau asam nikotinat pada dosis hipolipidemiknya,
atau imunosupresan seperti cyclosporine. Lomitapide, amiodarone,
verapamil. Diltiazem, anlodipin, fluconazle, colchisine, asam fusidic,
ketoconazole, itraconazole, eritromycin
f. Efek samping
Miositis yang bersifat sementara. Sakit kepala, perubahan fungsi ginjal dan
efek saluran cerna (nyeri lambung).
53
memasuki sel-sel jantung dan dinding pembuluh darah menyebabkan
terjadinya relaksasi otot polos yang menghasilkan penurunan tekanan darah.
d. Dosis
Hipertensi : Dosis awal 1 x 5 mg/hari ; odsis maksimal 10 mg/h.ari. Paisen
lanjut usia atau gangguan fungsi hati dosis awal 1 x 2,5 mg/hari
Terapi pada Infark Miokard Akut : 5-10 mg/hari.
e. Interaksi Obat
Peningkatan kadar dan efektivitas amlodipin jika digunakan dengan
ciclosporin, erythromycin, diltiazem. Penurunan kadar amlodipin jika
digunakan dengan rifampicin. Peningkatan kadar simvastatin dalam darah.
f. Efek samping
Edema pretibial, gangguan tidur, sakit kepala, letih, hipotensi, tremor,
aritmia, takikardi, mual, nyeri perut, ruam kulit, wajah memerah.
5. Neurodex (Drugs.com)
a. Indikasi
Untuk pengobatan kekurangan Vitamin B1, B6, dan B12, seperti pada
polineuritis.
b. Komposisi
Tiap tablet salut selaput mengandung : Vitamin B1 mononitrate 100 mg
Vitamin B6 HCl 200 mg Vitamin B12 200 mcg
c. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap komponen obat ini.
d. Farmakologi
Vitamin B1 sebagai koenzim pada dekarboksilasi asam alfa-keto dan
berperan dalammetabolisme karbohidrat. Vitamin B6 di dalam tubuh
berubah menjadi piridoksal fosfat danpiridoksamin fosfat yang dapat
membantu dalam metabolisme protein dan asam amino. VitaminB12
berperan dalam sintesa asam nukleat dan berpengaruh pada pematangan sel
dan memeliharaintegritas jaringan syaraf.
e. Dosis
54
1 x sehari 1 Tablet. Setelah makan.
f. Interaksi Obat
Penggunaan bersamaan dengan obat antikonvulsan menurunkan
penyerapan Vitamin B12 dari usus. Penggunaan bersamaan dengan obat
neomycin, asam aminosalicylic, colchicine, cimetidine, ranitidine,
mengurangi penyerapan B12 dari usus.
g. Efek samping
Dapat menyebabkan sindrom neuropati. Hal ini terjadi bila pasien
menggunakan obat yang mengandung vitamin B6 ini dalam dosis besar dan
jangka waktu lama.
a. Keparahan minor
b. Keparahan moderate
c. Keparahan major
55
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat
menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2009)
A. Interaksi Farmakologi
a. RESEP 1
56
menyebabkan
pemanjangan interval QT,
perkembangan
hipokalemia dapat
meningkatkan risiko
aritmia ventrikel
b. RESEP 2
B. Interaksi Farmasetik
57
Pada resep pertama yang dibahas, resep antibiotik merek Erysanbe dengan
zat aktif Erythromycin 500 mg, pemberian antibiotik Erythromycin dilakukan
dengan tujuan melawan hampir semua bakteri gram positif, kecuali Staphylococcus
aureus, dan cukup aktif melawan beberapa bakteri gram negatif. Obat ini sering
diresepkan sebagai pengganti penisilin. (D.S Tatro,2003). Penggunaan antibiotik
harus sesuai dengan petunjuk dokter untuk menghindari terjadinya resistensi
mikroba terhadap antibiotik.
Salah satu cara untuk menghindari interaksi dan obat antibiotik yang
mengiritasi lambung pada resep tersebut hendaknya peracikan Erysanbe dilakukan
secara terpisah tanpa mengubah dosis dan aturan minumnya atau dengan
menggantikan sediaan pulveres menjadi sediaan sirup dengan menyesuaikan dosis.
A. Alur Pelayanan
a. Lakukan skrining kelengkapan resep: nama dokter, Surat Ijin Praktek (SIP),
alamat dan nomor telpon, tempat dan tanggal penulisan resep, nama obat,
jumlah, aturan pakai, tanda tangan atau paraf dokter, nama pasien, umur
atau berat badan, dan alamat pasien.
b. Memeriksa ketersediaan obat di apotek. Semua obat tersedia di apotek
58
c. Menghitung harga dari masing-masing obat yang kemudian dihitung total
harganya. Kemudian lakukan konfirmasi ke pasien, apakah bersedia
mengambil obatnya atau tidak.
d. Mempersilahkan pasien untuk menunggu sebentar sambil obat disiapkan.
e. Mengambil obat dari tempat obat dan menstok obat yang keluar. Resep
pertama meliputi Erysanbe 250 mg sebanyak 5 tablet, Ambroxol 30 mg
sebanyak 3 tablet, Histapan 50 mg sebanyak 6 tablet, salbutamol 2 mg
sebanyak 7,5 tablet, triamcinolon 4 mg sebanyak 6 tablet. Resep kedua
meliputi Metformin 500 mg sebanyak 60 tablet untuk 2x sehari, Glimepirid
2 mg sebanyak 30 tablet untuk diminum pagi hari 1x sehari, Simvastatin 20
mg sebanyak 30 tablet untuk diminum malam hari 1x sehari, Amlodipin 10
mg sebanyak 30 tablet untuk diminum malam hari 1x sehari, kemudian
Neurodex sebanyak 30 tablet 1x sehari.
f. Membuat etiket.
g. Menyerahkan obat ke petugas lain untuk melakukan pengecekan ulang
(Cross check) sebelum melakukan peracikan.
h. Melakukan peracikan obat diruang peracikan.
i. Menyerahkan obat ke petugas lain untuk melakukan pengecekan ulang
(Cross check) sebelum obat diserahkan ke pasien.
j. Menyerahkan obat racikan dan non racikan kepada masing-masing pasien
disertai dengan pelayanan KIE.
B. Penyiapan Resep
a. Resep 1
160 𝑚𝑔
Erysanbe 250 mg = 250 𝑚𝑔 x 15 bungkus = 9,6 tablet
6 𝑚𝑔
Ambroxol 30 mg = 30 𝑚𝑔 x 15 bungkus = 3 tablet
20 𝑚𝑔
Histapan 50 mg = 50 𝑚𝑔 x 15 bungkus = 6 tablet
1 𝑚𝑔
Salbutamol 2 mg = x 15 bungkus = 7,5 tablet
2𝑚𝑔
59
1,6 𝑚𝑔
Triamcinolon 4 mg = x 15 bungkus = 6 tablet
4 𝑚𝑔
b. Resep 2
Metformin 500 mg = 60 Tablet
Glimepirid 2 mg = 30 Tablet
Simvastatin 20 mg = 30 Tablet
Amlodipin 10 mg = 30 Tablet
Neurodex tab = 30 Tablet
C. Pembuatan Sediaan
a. Resep 1
Pada resep pertama merupakan resep racikan. Dalam pembuatan
racikan diambil Erysanbe chew 250 mg sebanyak 5 tablet kemudian
masukkan ke dalam mortir lalu gerus hingga halus kemudian bagi menjadi
15 secara visual selanjutnya bungkus dengan perkamen dan masukkan
wadah serta berikan etiket putih. Tahap terakhir yaitu pengemasan
menggunakan sak obat dan etiket putih untuk obat minum. Etiket tersebut
dituliskan nomor resep, tanggal pengerjaan resep, nama pasien, nama obat
dan aturan pemakaian yaitu tiga kali sehari satu bungkus sesudah makan.
Setelah itu, dilakukan penulisan jumlah obat yang keluar pada kartu stok.
Pada Pembuatan racikan terpisah diambil Ambroxol 30 mg
sebanyak 3 tablet, Histapan 50 mg sebanyak 6 tablet, salbutamol 2 mg
sebanyak 7,5 tablet, triamcinolon 4 mg sebanyak 6 tablet. Untuk
pengambilan ½ tablet dilakukan dengan memotong tablet dengan alat
pemotong tablet. Gerus hingga halus dan tercampur rata kemudian bagi
serbuk secara visual menjadi 15 lalu bungkus dan kemas dalam plastik,
berikan etiket putih. Tahap terakhir yaitu pengemasan menggunakan sak
obat dan etiket putih untuk obat minum. Pada etiket tersebut tuliskan nama
pasien, nomor resep, tanggal pengerjaan resep, nama pasien, nama obat dan
aturan pemakaian yaitu tiga kali sehari satu bungkus sesudah makan.
Setelah itu, dilakukan penulisan jumlah obat yang keluar dalam kartu stok.
b. Resep 2
60
Pada resep kedua terdiri dari obat non racikan yaitu Metformin 500
mg, Glimepirid 2 mg, Simvastatin 20 mg, Amlodipin 10 mg, Neurodex tab
dimasukkan ke dalam sak obat dengan etiket putih masing-masing. Pada
etiket ditulis nama pasien, tanggal pemberian obat, nama dan dosis obat,
tanggal kadaluarsa obat dan aturan minum masing-masing obat sesuai
dengan resep.
Obat yang telah dikemas diberikan etiket putih. Etiket putih yang
menandakan bahwa obat diberikan secara per oral. Etiket disiapkan
sebanyak 2 etiket putih untuk resep pertama dan 5 etiket putih untuk resep
kedua.
61
harapan atau tujuan pengobatan yang diterima oleh pasien (three prime
question).
d. Menanyakan kepada pasien apakah pasien sudah pernah menggunakan
obat ini sebelumnya atau sedang mengkonsumsi obat lain. Sehingga
pasien dapat terhindar dari interaksi antar obat atau penggunaan obat
yang sama secara bersamaan.
e. Memberikan informasi dan edukasi pada pasien mengenai nama obat
dan aturan pemakaiannya, yaitu:
• Obat- obat tersebut diberikan untuk terapi pasien infeksi saluran
pernafasan
• Obat-obatan tersebut terdiri dari puyer antibiotik yang harus
diminum selama 5 hari hingga habis untuk menghindari infeksi
kambuh kembali. Kemudian puyer racikan untuk batuk berdahak
yang disertai alergi diminum sampai keluhan batuk berdahak tuntas.
62
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan resep, ketidaksesuaian peracikan tablet salut selaput yang
terjadi karena kelirunya pengetahuan dokter penulis resep mengenai bentuk sediaan
obat yang sudah diformulasi secara khusus dan tidak boleh mengalami peracikan.
Penggerusan obat yang disalut enterik akan merusak obat yang semestinya dijaga
agar obat tidak mengiritasi lambung. Selain itu peracikan golongan obat antibiotik
bersamaan dengan obat lainnya diaggap kurang tepat karena perbedaan lama terapi
antara golongan obat antibiotik dengan golongan obat lainnya berbeda dan
penentuan dosis dianggap kurang tepat. Peran apoteker dalam meminimalisir
kejadian ini adalah dengan mengawasi setiap resep di pelayanan kefarmasian agar
dapat mengurangi kejadian penggerusan dari sediaan yang sudah diformulasi
khusus sehingga tujuan formulasi tidak berubah dan pasien memperoleh terapi
pengobatan yang tepat, efektif, dan efisien.
B. SARAN
Berdasarkan hasil pembahasan, dokter dan apoteker memahami lebih baik
pentingnya skrining resep meliputi kelengkapan administratif, kesesuaian
farmasetik, dan kajian klinis sebelum melayani resep dalam pelayanan kefarmasian
di apotek. Meskipun demikian apoteker akan menanyakan Nomor Telpon pasien
untuk melengkapi data dan memudahkan apoteker dalam pemantauan terapi obat.
Apoteker juga dituntut untuk memberikan pelayanan konseling dan edukasi terkait
obat saat pelayanan kepada pasien guna meningkatkan kualitas pelayanan
kefarmasian di apotek.
63
DAFTAR PUSTAKA
BPOM: Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sediaan Vitamin B Kompleks. 2015
[08 January 2018]; Available from:
http://pionas.pom.go.id/monografi/sediaan-vitamin-b-kompleks.
BPOM, RI., Nomor 4 Tahun 2018. Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan
Obat,. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Di Fasilitas
Pelayanan
BPOM RI, 2015, Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat. Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia : Jakarta.
Drugs.com., 2022. Diakses pada tanggal 22 April sampai 29 April : Makassar
Badan Pengawas Obat dan Makasan. 2018. Peraturan BPOM No. 4 Tahun 2018
Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat Bahan Obat. Narkotika.
Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1986. Surat Keputusan Menteri
64
Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Sweetman, S.C. 2009. Martindale 36th The Complete Drug Reference. London:
Pharmaceutical
Tatro, D.S. 2003. A to Z Drugs Facts. San Fransisco : Facts and Comparisons
Tatro, D.S.,Hartshorn, E.A., 2009. Drug Interaction Facts, The Authority on Drug
Interaction.
Team Medical Mini Notes. 2019. Basic Pharmacology & Drug Notes. MMN
Publishing. Makassar.
Wiedyaningsih C dan Oetari. 2004. Tinjauan terhadap bentuk sediaan obat : kajian
resep-resep di apotek kotamadya Yogyakarta. Majalah Farmasi
Indonesia, 14(4). Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada
65