SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ABSTRAK
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan rupiah
terdepresiasi secara tajam terhadap dollar Amerika. Nilai rupiah yang sebelum krisis
berada pada kisaran Rp. 2500/US dollar menurun drastis hingga pernah mencapai
Rp. 15000/US dollar dan saat ini bekisar 9300/US dollar. Keadaan ini menyebabkan
otoritas moneter lebih mengefektifkan kebijakan moneter dalam menstabilkan nilai
tukar rupiah dan meredam tingkat pertumbuhan inflasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon variabel Industrial
Production Index (IPI), uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock
terhadap variabel nilai tukar dan inflasi. Menganalisis apakah IPI, tingkat inflasi,
uang beredar dan perbedaan sukubunga dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar
rupiah dan inflasi dan merumuskan implikasi kebijakan moneter dalam menstabilkan
nilai tukar rupiah dan inflasi.
Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa depresiasi
dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon dengan meningkatnya jumlah uang
beredar, kenaikan tingkat harga, penurunan industrial production index. Oleh karena
itu, untuk menyeimbangkan besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral
seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI
sehingga mendorong terjadinya capital inflow yang pada akhirnya dapat
menstabilkan nilai tukar rupiah. Sedangkan Guncangan harga akan direspon oleh
bank sentral, dengan menaikan sukubunga SBI sehingga terjadi penurunan jumlah
uang beredar, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi dan menurunnya industrial
production index.
Hasil forecast error variance decomposition menunjukkan bahwa nilai tukar
rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu
mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan ditentukan oleh shock
terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti dengan Sukubunga SBI
memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai
tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga sulit untuk dapat dikendalikan
secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif memungkinkan dikendalikan melalui
guncangan sukubunga SBI.
Implikasi kebijakannya adalah berdasarkan hasil analisis Impulse Response
Functions dan Forecast Error Variance Decomposition, instrumen kebijakan
moneter untuk pencapaian kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga
SBI. Dengan demikian, dalam rangka pencapaian target inflasi, Bank Indonesia dapat
melaksanakannya dengan instrumen sukubunga SBI sebagaimana yang memang
telah digunakan selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat
menciptakan stabilitas fundamental ekonomi, terutama mengurangi kesenjangan
permintaan dan penawaran valuta asing, sekaligus menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal
keluar (capital outflow).
Keyword : Monetary Policy, Rupiah Exchange Rate, Inflation Rate, Industrial
Production Index, Vector Autoregressive.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan
para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis
ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Judul Tesis : Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Dan
Inflasi Indonesia Periode 1999 - 2006
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Mengetahui,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS
merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Kamalluddin M Noer
dan Hanifah. Pada tahun 1991 Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya pada
SDN 060884, di Medan, dan tiga tahun kemudian menamatkan sekolah lanjutan
pertamanya pada SMPN 6 Medan. Pada tahun 1997, Penulis lulus dari SMU
SWASTA KARTIKA I-1 di Medan dan pada tahun yang sama diterima sebagai
Medan. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 2001 pada program studi
Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa
Pertanian Bogor.
penelitian dari Bank Indonesia dan pada tahun 2004, penulis bekerja sebagai dosen
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul
”Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Indonesia Periode 1999-2006.
Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam penulisan Tesis Program
Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis me ngucapkan terima kasih dan
rasa hormat yang mendalam terutama kepada Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku
ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc selaku anggota
komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang
1. Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc, sebagai dosen penguji luar komisi
pada ujian tesis, selalu menekankan kelayakan sebuah tesis. Terima kasih atas
3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staf yang telah
4. Bapak/Ibu staf pengajar pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bahan-
bahan (literatur) dan memberikan data yang penulis perlukan serta bantuan dana
penelitian untuk dapat menyelesaikan tesis pada studi program Magister Sains.
Kartika Wati, Aristo Edward P, Ria Kusumaningrum, Mbak Handayani Boa, Adi
Hadiyanto, Mas Yuhka Sundaya, Enny (TPP), Wiwin (STK), Budi Darmansyah
(TIP) dan David Talumewo yang telah memberi masukan, kritikan, semangat dan
bantuan serta wawasan yang luas terhadap penyelesaian penyusunan tesis ini.
ST, dan adik-adiku dr.Rahmat Ghazali, Sked dan Sri Rezekika, Ssi yang telah
memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus ikhlas
Besar harapan penulis agar berbagai pemikiran yang tertuang dalam tesis ini
suatu proses tentunya dalam tesis ini masih ditemui berbagai kekurangan.
Halaman
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
Nomor Halaman
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
10. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah .......... 98
13. Respon Industrial Production Index Terhadap Tingkat Inflasi ..... 101
16. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi ................. 104
Nomor Halaman
I. PENDAHULUAN
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah
perekonomian nasional baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Depresiasi
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menjadi sangat besar pada awal
pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia. Banyak faktor, baik yang bersifat
Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar Amerika
tingkat inflasi, oleh karena itu pergerakan nilai tukar selalu menjadi perhatian
serius oleh otoritas moneter untuk selalu memantau dan mengendalikannya. Oleh
karena itu untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, bank sentral
sebagai otoritas moneter merasa perlu untuk melaksanakan stabilisasi agar dapat
memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan
dan sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah
2
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini
pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single
objective-nya.
pengertian; (1) kestabilan secara internal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap
harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi, dan (2)
kestabilan secara eksternal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang
negara lain yang diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata
bahwa pengendalian inflasi dan nilai tukar harus dilakukan sebagai suatu paket
kebijakan.
Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang
terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum.
tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam
hal ini, Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan
inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi
penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dan lain-lain)
Namun demikian, pencapaian laju inflasi yang rendah dan stabil melalui
tinggi mengenai jenis dan besarnya shock yang dihadapi dimasa mendatang, serta
seperti jumlah uang beredar, suku bunga, nilai tukar dan output yang kesemuanya
Kebutuhan akan variabel sasaran antara semakin meningkat, karena instrumen dan
sasaran akhir dari suatu kebijakan mo neter tidak memiliki hubungan secara
langsung. Hal ini berarti bahwa otoritas moneter tidak memiliki kemampuan
langsung untuk mengontrol pencapaian sasaran kebijakan moneter oleh karena itu
muncul kebutuhan akan adanya variabel sasaran antara yang memadai untuk
diprediksi terhadap sasaran antara yang dipilih. Apabila sasaran antara yang
dipilih adalah tingkat suku bunga, maka sasaran operasional yang lebih tepat
adalah variabel tingkat suku bunga seperti bunga overnight. Hal tersebut karena
suku bunga memiliki ikatan yang sangat kuat antara suku bunga dengan suku
bunga lainnya. Sebaliknya apabila sasaran antara yang dipilih adalah aggregat
moneter. Maka besaran moneter merupakan sasaran operasi yang tepat. Dengan
demikian terdapat beberapa variabel yang dapat dijadikan sebagai besaran antara
tingkat inflasi, nilai tukar dan suku bunga. Berkaitan dengan pemilihan sasaran
4
antara, terdapat suatu fitur utama dari strategi kebijakan moneter yakni nominal
anchor. Nominal anchor adalah suatu variabel nominal yang dipergunakan oleh
kebijakan moneter dengan menjadikan inflasi sebagai sasaran tunggal atau sasaran
akhir. Maksud dari Inflation targetting adalah bahwa Bank Indonesia mempunyai
tujuan tunggal yaitu mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil sehingga
kedepan. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi dan analisis terhadap sejumlah
indikator yang paling dominan (the best indicator) mempengaruhi tingkat inflasi
kedepan. Berdasarkan hasil studi Yuda Agung (2002), nilai tukar merupakan the
best indicator. Nilai tukar memberikan efek langsung terhadap inflasi oleh karena
itu volatilitas nilai tukar merupakan salah satu tantangan utama bagi Indonesia
berinvestasi, dapat menimbulkan alokasi sumber daya yang tidak efisien dan lain
sebagainya. Inflasi ini tidak hanya berasal dari faktor dalam negeri (internal
pressure) namun juga faktor luar negeri (external pressure), faktor eksternal dapat
maupun dari fluktuasi nilai tukar misalnya dengan adanya depresiasi rupiah akan
setelah terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997 di tandai dengan terjadinya
depresiasi rupiah yang sangat besar sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Dari
gambar dibawah terlihat bahwa nilai tukar Indonesia sejak pertengah tahun 1997
diwarnai dengan gejolak yang sangat tajam dan disertai dengan tekanan depresiasi
yang sangat kuat. Menyebarnya pengaruh krisis nilai tukar di Thailand ke negara-
perekonomian Indonesia.
16000
Rp/Dollar US
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
Tahun
0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Sumber : Bank Indonesia 2006
Exchange Rate
merosotnya rupiah hingga menembus batas atas kisaran intervensi Bank Indonesia
mengambang bebas.
Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah terlihat
semakin bergejolak hingga me ncapai titik terendah Rp. 15 000 per US$ pada
bulan Juni 1998, Meskipun kemudian mulai bergerak menguat kembali karena
tukar selama periode tersebut cenderung apresiatif. Nilai tukar rupiah dari Januari
nilai tukar mengalami depresiasi yang cukup besar pada akhir tahun 1999 hingga
tahun 2000. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang tajam mempunyai dampak yang luas
moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia mengingat dampak pergerakan nilai
tukar terhadap inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung (direct and
rendah dan stabil. Selaras dengan tujuan tersebut, maka stabilisasi inflasi dalam
7
jangka panjang merupakan agenda utama yang perlu diupayakan secara sungguh-
sungguh oleh Bank Indonesia hal tersebut bertolak dari argumen bahwa inflasi
yang tinggi dan tidak stabil akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh
150
index
140
130
120
110
100
90
80
Tahun
70
99 00 01 02 03 04 05 06
Sumber : Bank Indonesia 2006
CPI
besaran moneter sebagai sasaran antara, dalam praktek, sasaran inflasi yang
operasional, yaitu uang primer dan mengendalikan jumlah uang beredar (M1 dan
harga dan nilai tukar rupiah melalui piranti instrumen moneter seperti operasi
8
pasar terbuka (OPT) penentuan tingkat diskonto dan penetapan Giro Wajib
meningkat dan jumlah uang beredar meningkat, selanjutnya nilai tukar rupiah
dan tingkat bunga merupakan faktor yang mempengaruhui nilai tukar. Aktivitas
tingkat bunga menyebabkan jumlah uang beredar menurun dan selanjutnya tingkat
Studi dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai tukar dan inflasi
selama periode tahun 1999-2006 dimana model yang lebih tepat untuk ini adalah
modal yang tinggi antar negara. Persepsi investor tentang kondisi kesehatan
ekonomi suatu negara sangat berpengaruh terhadap aliran modal masuk ataupun
keluar di suatu negara. Sejak tahun 1997 Bank Indonesia menerapkan regim nilai
9
tukar mengambang sebagai pengganti regim nilai tukar terkendali (crawling peg).
Perubahan sistem nilai tukar tersebut, diikuti dengan ketidakstabilan nilai tukar
dan berakibat pada pergerakan indeks harga di dalam negeri yang tajam. Dampak
fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap laju inflasi tercermin pada perkembangan
perubahan nilai tukar (nominal dan riil), suku bunga maupun inflasi di Indonesia
kurun waktu bulan Januari 1999 sampai Desember 2000 masih sangat tinggi
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap inflasi tahun 2001 mengalami depresiasi
sebesar 17.7 persen, index harga traded mencapai 11.73 persen (y-o-y) (Bank
Indonesia, 2002).
Menurut Winata (2006) Indonesia sebagai salah satu small open economy
masih memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibanding negara – negara
sekitar 8.08 persen. Sementara itu, pada periode yang sama tingkat inflasi rata-rata
inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi
pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari
masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin,
10
tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di
negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif
Dengan adanya tekanan pada nilai rupiah dan perubahan rezim nilai tukar
serta pelaksanaan kebijakan inflation targetting yang telah dijalani oleh Bank
beredar, suku bunga dan nilai tukar adalah variabel yang dapat dipengaruhi oleh
tingkat harga atau output dipertimbangkan sebagai sasaran akhir dari kebijakan
moneter di Indonesia Oleh karena itu dalam studi ini, permasalahan yang akan
diuji adalah :
dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai
Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi nilai tukar dan
perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan
inflasi.
production index, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan suku bunga
estimasi yang dapat dipercaya secara statistik dan didukung oleh teori yang tepat,
diharapkan kita dapat memperkirakan perubahan yang terjadi pada sektor moneter
khususnya dan indikator ekonomi makro lainnya secara keseluruhan dari negara –
tersebut.
mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, maka kita dapat mengetahui faktor yang
12
paling dominan dan paling signifikan dalam mempengaruhi nilai tukar. Dengan
lebih awal. Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian moneter dapat
diminimalkan.
2006. Alasan utamanya dimana pada saat itu Indonesia menerapkan sistem
2. Nilai tukar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal
(monthly).
index.
adalah suku bunga SBI jangka waktu satu bulan dalam persen, sedangkan
6. Data yang digunakan dalam bentuk nominal dan data yang tidak dalam
7. Dalam penelitian ini tidak melihat faktor pengaruh langsung maupun tidak
Causality
14
pertimbangan, (Goeltom dan Zulverdi, 1998) antara lain preferensi suatu negara
menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Jika suatu negara
gejolak keuangan dari negara lain (contagion effect) maka fixed exchange rate
terbuka, pilihan nilai tukar yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena
dengan sistem ini capital inflow dapat disterilisasi melalui sistem tersebut.
perekonomian suatu negara jika kegiatan suatu negara semakin besar, maka
permintaan uang juga semakin bertambah. Dalam hal ini, sistem yang tepat
digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki
sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk
terjadinya underlying shock pada pasar uang dan barang (LM dan IS) dalam hal
gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar dari gejolak yang
terjadi dipasar barang (IS) maka pilihannya yang lebih baik adalah floating
exchange rate, Bila kasus sebaliknya, gejolak dipasar barang (IS) relatif lebih
15
besar dari gejolak di pasar uang (LM) maka pilihannya yang lebih baik adalah
fixed exchange rate. Dalam hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan
Sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system)
adalah sistem nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing yang nilai
menarik antara permintaan dan penawaran terhadap valuta asing di pasar valuta
asing pada waktu tertentu. Dengan kata lain, melalui sistem ini kecenderungan
suatu mata uang mengalami apresiasi ataupun depresiasi relatif terhadap mata
uang lainnya. Hal tersebut akan sangat tergantung pada minat pasar untuk
dari pemegang otoritas moneter suatu negara. Jadi dengan sistem nilai tukar
mengambang bebas, nilai tukar mata uang terhadap mata uang lainnya akan
dibatasi atau dikendalikan secara langsung. Sama seperti sistem nilai tukar yang
lain, sistem nilai tukar mengambang bebas ini memiliki berbagai konsekuensi
yang khas, baik yang positif maupun negatif, bagi perekonomian negara yang
2. Cadangan valuta asing suatu negara relatif utuh, dalam arti tidak digunakan
Karena, nilai tukar mata uang nasional secara otomatis akan segera
Negara yang menerapkan sistem ini tidak akan terikat secara langsung
terhadap suatu kemungkinan munculnya gejolak inflasi dunia yang tinggi. Hal
ini juga merupakan suatu perlindungan yang lebih luas dari goncangan dan
pembayarannya.
Setiap negara memiliki peluang dan kedudukan yang relatif sama, paling tidak
menurut hitungan teoritis, untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang nasional
muncul dari penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebagai
1. Para pembuat keputusan, dalam hal ini bank sentral dan pemerintah, tidak lagi
memperbesar gejolak nilai tukar mata uang dalam jangka panjang daripada
yang seharusnya terjadi sebagai akibat dari gangguan ekonomi yang tidak
terduga. Hal ini akan membawa ketidakpastian pada bidang perdagangan dan
investasi, khususnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pembayaran luar
negeri.
4. Timbulnya ilusi tentang otonomi yang lebih besar. Para pembuat kebijakan
terhadap kondisi nilai tukar valuta asing, dan sebaliknya. Suatu depresiasi
upah tenaga kerja. Hal ini akan meningkatkan harga jual komoditi, sehingga
yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, pada akhirnya sistem nilai tukar
18
terhadap pasar uang domestik, maka wajar saja bila dalam praktek belum pernah
ada sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkan secara murni, dalam
arti benar-benar terbebas dari intervensi yang sifatnya tidak langsung dari
perekonomian suatu negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat
salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga, dan memelihara
kestabilan nilai tukar rupiah secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah
sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp. 250/USD (sebelum
Rp. 45/USD) sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai
tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta dan dipasar
kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp. 378/USD,
19
tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp. 415/USD, pada tanggal 15
Pada sistem ini nilai tukar dilambangkan terhadap sekeranjang mata uang
rupiah pada tahun 1978 sebesar 33.6 persen Dengan sistem tersebut
Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar mengalami tekanan – tekanan yang
kemiripan. Sejak awal bulan Juli 1997. Nilai tukar rupiah selalu berada
disekitar batas bawah rentang intervensi, walaupun pada tangga 11 Juli 1997
MS
PIN = ...........................................................................................(2.1)
L (i, Y )
Atau
MS
= L(i, Y ) ........................................................................................(2.2)
P
dimana :
suku bunga, tingkat penawaran uang domestik dan tingkat output riil.
kondisi yang ditunjukkan oleh persamaan (2.1) dimana suku bunga dan output
berada pada tingkat jangka panjang yang konsisten dengan full employment. Bila
pasar uang berada pada kondisi keseimbangan, maka tingkat harga akan tetap
bertahan apabila penawaran uang, fungsi permintaan uang dan nilai – nilai jangka
Salah satu unsur prediktif yang terkandung dalam persamaan (2.1) diatas
adalah menyangkut hubungan antara tingkat harga dan tingkat penawaran uang.
21
Jika semua kondisi lainya tetap, kenaikan jumlah penawaran uang akan
uang riil tidak akan meningkat sehubungan dengan kenaikan uang beredar (MS)
yang tidak mengubah suku bunga (i) dan tingkat output (Yd), apabila penawaran
uang riil juga tetap, agar penawaran uang riil (MS/P) tetap maka tingkat harga (P)
(MS).
Hukum satu harga (The law of one prices) menyatakan bahwa harga
produk yang sama/ identik di dua negara yang berbeda akan sama pula bila dinilai
dalam currency atau mata uang yang sama. Teori ini dikenal sebagai Purchasing
Power Parity (PPP) absolut. Misalnya harga barang di Amerika adalah Pusa harga
Teori ini dikemukakan oleh Gustav Cassel, seorang ekonom swedia, yang
Krugman (2003) menyebutkan bahwa salah satu teori mengenai penentuan nilai
tukar adalah teori Purchasing Power Parity. Teori ini mengatakan bahwa nilai
tukar antara dua negara akan berubah sesuai dengan perubahan harga di kedua
negara. Jika misalnya, tingkat harga di suatu negara mengalami kenaikan yang
berarti, maka terjadi penurunan daya beli mata uang domestik, menurut teori ini
mata uang negara tersebut akan mengalami depresiasi. Sedangkan nilai mata uang
22
penurunan tingkat harga disuatu negara (kenaikan daya beli mata uang domestik)
bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi,
operasional, penentuan harga, dan informasi (Tucker, et al, 1991). Secara implisit
ini berarti: (1) semua barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar
internasional (tradable goods) tanpa dikenal biaya transportasi sepersen pun, (2)
tidak ada bea masuk, kuota, ataupun hambatan lain dalam perdagangan
internasional, (3) barang luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara
sempurna untuk masing-masing barang, dan (4) adanya kesamaan indeks harga
yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing dan domestik,
Oleh karena itu bila indeks harga di kedua negara identik, hukum satu
harga menjustifikasi Purchasing Power Parity (Bailie and Mac Mahon, 1990)
artinya bila produk/ jasa yang sama dapat dijual dipasar yang berbeda dan tidak
ada hambatan dalam penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk/
jasa cenderung sama di kedua pasar tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua
negara yang berbeda, harga produk/jasa tersebut biasanya dinyatakan dalam mata
uang yang berbeda, namun harga produk /jasa tetap masih sama. Perbandingan
harga hanya memerlukan satu konversi satu mata uang ke mata uang lain
misalnya.
P * x S = P ..............................................................................................(2.3)
23
Dimana P* adalah harga produk luar negeri, dikalikan kurs spot/konversi (S)
misalnya rupiah perdollar US), sama dengan harga produk dalam negeri (P)
sebaliknya, bila harga kedua produk dinyatakan dalam mata uang lokal, dan pasar
adalah efisien. Maka kurs valas dapat dinyatakan dalam harga lokal produk
tersebut;
S = P / P * ...............................................................................................(2.4)
Dimana S adalah kurs spot dollar AS per rupiah. Bila hukum satu harga berlaku
untuk segala jenis barang dan jasa, kurs Purchasing Power Parity dapat dijumpai
pada sejumlah harga. Dalam teori PPP dikenal dua versi Purchasing Power
Parity, yaitu : versi absolut dan versi relatif. Purchasing Power Parity versi
absolut mengatakan bahwa kurs valas dinyatakan dalam nilai harga di dua negara
S t = Pt / Pt * .............................................................................................(2.5)
Dimana Pt dan Pt* masing-masing adalah harga rata-rata tertimbang dari komoditi
di dua negara (tanda * menunjukkan luar negeri) dengan kata lain, Purchasing
Power Parity absolut menerangkan bahwa kurs spot ditentukan oleh harga relatif
dari sejumlah barang yang sama (ditunjukkan oleh indeks harga) misalnya,
katakanlah tingkat harga saat ini di Indonesia Rp. 110/USD sedang di AS sebesar
Rp. 105/USD. Jika kurs awal dollar adalah Rp. 2 500 maka menurut Purchasing
Power Parity, kurs rupiah yang dinilai dalam dollar AS seharusnya meningkat
menjadi Rp. 2 619 yang diperoleh dari (2 500 x 110/105), atau mengalami sebesar
4.76 persen. Dilain pihak, bila tingkat harga di AS sekarang menjadi Rp. 115
maka rupiah akan mengalami apresiasi sekitar 4.36 persen atau menjadi
Rp. 2 391 yang diperoleh dari (2 500 x 110/115) jadi dapat di simpulkan pesan
dari PPP adalah bahwa negara yang mata uangnya mengalami tingkat inflasi yang
24
tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang
persentase perubahan kurs nominal akan sama dengan perbedaan inflasi diantara
kedua negara, dinyatakan dalam konteks mendatang (ex ante terms), harapan
Dimana ? Ste = harapan perubahan kurs spot (Set+1-St) ; ? pte = harapan perubahan
inflasi, (pet+1 - pt) notasi yang dinyatakan dalam huruf kecil berarti dinyatakan
menunjukkan negara asing. Baik Purchasing Power Parity versi absolut maupun
relatif dapat dinyatakan dalam nilai kurs Purchasing Power Parity riil (real
S tPPP = S t Pt * / Pt .....................................................................................(2.7)
Dimana mendefenisikan kurs riil dalam nilai daya beli antara dua kelompok
konsumsi barang dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut dapat
dinyatakan sebagai StPPP =1 ; dan Purchasing Power Parity relatif dapat nyatakan
Teori berikutnya adalah berlakunya teori paritas suku bunga (Interest Rate
Parity), yang menyatakan bahwa pasar valuta asing berada dalam kondisi
imbalan yang sama, artinya perbedaan suku bunga simpanan domestik dengan
suku bunga simpanan luar negeri sama dengan tingkat swap yaitu perbedaan
25
antara kurs dimasa mendatang dengan nilai tukar spot relatif terhadap nilai tukar
/ $ − S Rp / $
e
S Rp
= iIN − iUS ..........................................................................(2.8)
S Rp / $
kerugian yang diperolehkan bila menyimpan aset dalam mata uang domestik jika
suku bunga rupiah lebih tinggi daripada suku bunga dollar (iIN>iUS) berarti ada
keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset domestik. Dengan demikian
rupiah, sehingga akan terjadi capital inflow. Adanya capital inflow nantinya akan
apabila iIN < iUS, berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset
dalam dollar Amerika Serikat. Hal ini akan mendorong terjadinya capital outflow
Sedangkan bagian kiri persamaan (2.9) menunjukkan adanya resiko yang akan
ditanggung ataupun keuntungan yang akan diperoleh bila terjadi perubahan nilai
tukar. Apabila (iIN >iUS) > (SeRp/$ > SRp/$), maka akan lebih menguntungkan bila
simpanan dollar kurang lebih sama dengan suku bunga dollar Amerika Serikat
ditambah dengan tingkat depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Jika
tingkat bunga domestik diatas tingkat bunga luar negeri, maka akan terjadi
apresiasi dalam mata uang domestik atau depresiasi mata uang Amerika Serikat,
26
yang harus diimbangi dengan penurunan tingkat bunga dalam negeri. Persamaan
/ $ − S Rp / $
e
S Rp
iIN = iUS + ≡ iUS + ∆e ........................................................(2.9)
S Rp / $
dimana :
SeRp/$ = perkiraan nilai tukar pada waktu yang akan datang (Forward)
Indonesia (MdIN) dan Amerika Serikat (MdUS) dalam keseimbangan, jumlah uang
yang diminta sama dengan jumlah uang yang ditawarkan. Jadi MdIN=Ms US.
M INS
PIN = ..........................................................................(2.10)
L (iUS + ∆e, YIN )
S
M US
PUS = ...................................................................................(2.11)
L(iUS , YUS )
Selanjutnya menurut teori Purchasing Power Parity pada persamaan (2.5) maka
untuk melihat hubungan antara nilai tukar, jumlah uang beredar, output, suku
hubungan antara tingkat harga dan nilai tukar yang memenuhi persamaan (2.9 dan
2.10) (Ickes,2004)
S
M IN
= L(iUS ,YIN ) ..................................................................................(2.13)
PIN
Berapapun besarnya nilai tukar akan selalu konsisten dengan money market
persamaan (2.8) maka suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada suku bunga
uang agregat. Untuk menjaga kondisi keseimbangan pasar uang pada jumlah uang
beredar yang tertentu, maka tingkat harga domestik harus mengalami penurunan
jadi dalam hal ini untuk menjaga money market equilibrium terdapat hubungan
dari suatu fluktuasi ekonomi, maka prediksi terhadap kebijakan moneter menjadi
28
mengenai hubungan antara uang beredar, suku bunga, nilai tukar, output, tingkat
tingkat harga merespon secara langsung atau on impact perubahan jumlah uang
depresiasi nilai tukar. Time path tingkat harga dan nilai tukar yang di harapkan
mengikuti adanya kebijakan ekspansi moneter pada asumsi tingkat harga fleksibel
a) Time Path Tingkat Harga Setelah b) Time Path Nilai Tukar setelah
Terjadinya Ekspansi Moneter Terjadinya Ekspansi Moneter
tidak berlaku dalam jangka pendek, kebijakan moneter beroperasi melalui jalur
suku bunga. Positif shock pada kebijakan moneter domestik akan meningkatkan
real money supply, karena tingkat harga sticky dalam jangka pendek maka
peningkatan jumlah uang beredar ini akan menurunkan suku bunga domestik
antisipasi dengan apresiasi mata uang domestik didalam jangka panjang dengan
turunya suku bunga domestik dan terjadinya apresiasi mata uang domestik
menyebabkan nilai aset domestik tidak menarik, sehingga terjadi aliran modal
P IN e Rp/$
a) Time Path Tingkat Harga Setelah b) Time Path Nilai Tukar Setelah
Terjadinya Ekspansi Moneter Terjadinya Ekspansi Moneter
makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan
sentral di berbagai negara pada dasarnya memiliki konsep yang sama. Di satu sisi,
bank sentral ingin mencapai sasaran – sasaran akhir yang menjadi tugas pokok
nya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca
Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak
dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan dengan suatu mekanisme tertentu
sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang
kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan
dilakukan bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan
membeli atau menjual surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia dan Surat
Berharga Pasar Uang . Sertifikat Bank Indonesia merupakan surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sedangkan Surat Berharga Pasar Uang diterbitkan
oleh perusahaan atau bank. Kedua instrumen ini dikeluarkan pada saat bank
langsung. Selain itu, Sertifikat Bank Indonesia dapat digunakan untuk mengatur
likuiditas jangka pendek dari bank, perusahaan ataupun masyarakat. Suku bunga
Bank sentral akan melakukan kebijakan moneter yang bersifat kontraksi dengan
menjual surat berharga dan melakukan kebijakan ekspansif dengan membeli surat
berharga.
instrumen pasar terbuka, (Miskhin, 2001) diantaranya : (1) Operasi Pasar Terbuka
merupakan kebijakan moneter yang muncul atas inisiatif dari bank sentral untuk
mengontrol jumlah uang beredar, (2) Operasi Pasar Terbuka dapat digunakan
secara luas, fleksibel dan tepat, (3) Operasi Pasar Terbuka sangat mudah dikoreksi
atau dibetulkan jika terdapat kesalahan dalam pengambilan suatu kebijakan, dan
Giro Wajib Minimum atau cadangan minimum bank merupakan dana yang
harus disimpan oleh perbankan pada bank sentral. Besarnya Giro Wajib Minimum
jumlah uang uang beredar. Giro Wajib Minimum jarang digunakan sebagai
instrumen kebijakan.
adalah memiliki dampak yang sama ke semua bank dan sangat berpengaruh
masalah likuiditas bagi bank – bank yang memiliki excess reserves yang rendah.
3. Tingkat Diskonto
beredar dengan merubah tingkat suku bunga, namun kebijakan ini jarang
32
digunakan. Kebijakan ini hanya bisa dipakai oleh bank, berkaitan dengan fungsi
bank sentral sebagai lender of the last resort, artinya bank sentral sebagai
alternatif terakhir bagi bank untuk memperoleh dana jika kekurangan likuiditas.
(Miskhin, 2001) yaitu; (1) menimbulkan kebingungan bagi bank sentral untuk
menetapkan tujuan ketika perubahan tingkat diskonto diumumkan, dan (2) ketika
bank sentral menetapkan tingkat diskonto pada level tertentu, akan terjadi
fluktuasi antara suku bunga pasar dengan tingkat diskonto (i-id) sebagai
2. Hanya memiliki satu nominal anchor, sehingga sasaran kebijakan akan lebih
terfokus.
Secara ideal, semua sasaran akhir tersebut bisa dicapai secara bersamaan. Namun,
Tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah merencanakan dan
Pemilihan variabel yang dijadikan sasaran operasi adalah hal pertama yang
harus ditentukan. Dalam hal ini, suku bunga Pasar Ua ng Antar Bank (PUAB),
34
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat diskonto surat Berharga
Pasar Uang (SBPU) merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat
kredit dan perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh perubahan suku bunga
jangka pendek tersebut dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang
Bahkan kedua suku bunga ini dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran
pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering diyakini lebih dekat
menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan
return dan risk perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih
cepat ditransmisikan ke suku bunga dan kredit. Selain itu, PUAB sering pula
asing karena eratnya keterkaitan antara kedua pasar uang ini. Dengan demikian
transaksi berjalan. Untuk itu bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi
makro yang telah ada untuk memperkirakan seberapa besar permintaan agregat
yang dianggap aman dan sesuai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi
dalam memperkirakan besarnya demand pressure atau output gap yang dapat
tersebut. Dalam hubungan ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh
oleh Kanada, Selandia Baru, dan Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan
dan nilai tukar terhadap aggregate demand pressures yang dicerminkan pada
periode sekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan
indeks. suku bunga yang berpengaruh pada permintaan agregat pada umumnya
adalah sukubunga menengah panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau
sukubunga kredit dapat dipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku
dengan variabel suku bunga dan REER sebagai varaibel bebas. Dengan demikian
suatu rasio IKM yang dicerminkan dengan a/ß menunjukkan seberapa kuatnya
REER. Rasio IKM ½ artinya bahwa 1 persen pengaruh kenaikkan suku bunga
agregat. Dengan kata lain, agar permintaan agregat tidak mengalami perubahan
maka kenaikan suku bunga sebesar 1 persen harus diimbangi dengan depresiasi
nilai tukar sebesar 2 persen. Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk
besar.
semakin besarnya pengaruh suku bunga dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan
permintaan agregat yang semakin besar maka IKM diupayakan untuk dapat
sasaran akhir kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju
Berbagai perubahan mendasar terutama perubahan sistem nilai tukar tetap menjadi
sasaran-sasaran tersebut. Suatu hal yang pasti adalah dalam sistem nilai tukar
fleksibel, gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar
sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat
permintaan agregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat
besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju
ekonomi dapat lebih tinggi, akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang
lebih tinggi pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap
tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi
moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel menjelaskan bahwa pengujian
dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel.
38
dengan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight sebagai
policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock
dan bersifat sementara. Disamping itu masih kuatnya hubungan langsung antara
telah dilakukan oleh Siregar and Ward (2002). Penelitian ini mengemukakan
domestik kepada nilai tukar. Namun shock nilai tukar lebih penting dan
bahwa shock General Spending Balance atau nilai tukar rupiah riil terhadap nilai
tukar riil dan permintaan uang ternyata mempunyai pengaruh nyata sehingga efek
Chowdhury dan Siregar (2002). Studi tersebut menggaris bawah adanya kendala
baik. Kajian mengenai hal tersebut menghasilkan suatu model trade off antara
tinggi namun sampai pada batas tertentu masih berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
analisisnya terhadap sistem nilai tukar fleksibel yang telah diadopsi negara negara
didunia sejak tahun 1979. Model moneter untuk nilai tukar telah diformulasikan
harga yang kaku (Sluggish price adjustment) dalam pasar barang, Frangkel (1976)
yang berkaitan dengan permintaan uang dan the interest parity theory. Frangkel
juga menekankan peranan ekspektasi dan menemukan suatu ukuran yang dapat di
observasi secara langsung yang dibangun atas informasi yang termuat dalam data
dari pasar dimuka (forward market) nilai tukar dan ditunjukkan secara konsisten
dengan hipotesa sentral dari pendekatan moneter. Dalam model ini, analisis
nilai tukar. Dari permintaan keseimbangan kas riil, md = g ( ? *) dan kondisi The
Purchasing Power Parity, P = sP*, nilai tukar dapat ditulis seperti e = M/g (? *)
40
dimana P* adalah tingkat harga luar negeri, ? * adalah expected rate of inflation,
spot menurun, yang berarti mata uang domestik mengalami apresiasi, interpretasi
lain untuk pendekatan ini menyatakan bahwa tingkat bunga tinggi menurunkan
memberikan penyekatan dari gangguan harga luar negeri, dalam jangka pendek,
dimana:
Bentuk pertama dari tingkat harga ini mencakup efek perubahan moneter
atas nilai tukar, dengan asumsi faktor-faktor lain konstan, maka pertumbuhan
moneter yang tinggi dalam suatu negara dapat menyebabkan depresiasi dalam
mata uangnya. Bentuk khususnya ini mencakup perbedaan pengaruh dalam inflasi
jangka panjang antara negara-negara dan refleksinya dalam nilai tukar. Bentuk
41
kedua menjelaskan efek perubahan permintaan uang riil. Jadi kenaikan dalam
permintaan uang riil akan menyebabkan apresiasi dalam mata uang domestik.
Bentuk terakhir menjelaskan efek perubahan dalam harga struktur relatif atas nilai
tukar.
Frangkel (1979) menemukan faktor untuk versi harga kaku (the sticky
price). Frangkel (1984), kembali mengestimasi suatu variasi struktur model nilai
tukar yang berbeda dari versi harga fleksibel dan kaku dari pendekatan moneter.
dalam fungsi permintaan uang dan nilai tukar dalam jangka panjang.
tingkat keseimbangan nilai tukar aktual didefenisikan dengan baik untuk sistem
nilai tukar tetap dan fleksibel. Untuk mengantisipasi gangguan terhadap neraca
pembayaran, suatu negara dapat : 1) meng-peg kan nilai tukarnya dari pengaruh
Kombinasi model nilai tukar nominal dan riil memberikan suatu kerangka
yang luas untuk menganalisa perekonomian terbuka. Tetapi disebabkan upah dan
harga adalah fleksibel ia dapat menjelaskan deviasi dari purchasing power parity
hanya untuk memperluas gangguan yang berasal dalam sektor riil. Cagan (1984)
harga secara sesaat kaku, gangguan moneter dapat menyebabkan deviasi sesaat
dari Purchasing Power Parity dan overshooting nilai tukar akan terjadi.
pasar pertukaran luar negeri dalam konteks ini perkiraan rasional dapat
didefenisikan sebagai penggunaan penuh dari semua informasi yang tersedia. Hal
ini tidak dibutuhkan berkaitan dengan tinjauan kemasa depan yang sempurna
(perfect forsight) diatas periode waktu yang terbatas tetapi jika pasar aset
keuangan adalah proses informasi yang tidak efisien, maka tidak ada alasan untuk
memperkirakan pasar ini daripada aliran pasar barang-barang dan jasa-jasa untuk
shock. Pertimbangan ini mendukung bahwa suatu fungsi ekspektasi yang tepat
suatu model harus memulai dengan perkiraan bahwa nilai tukar akan ceteris
dalam banyak kasus studi empiris tidak dipenuhi dalam jangka pendek, kedua,
model harga fleksibel tidak memasukkan peranan harapan sehingga model ini
gagal, menangkap karakteristik dinamik dari perilaku nilai tukar, ketiga, sampai
taraf tertentu, suplai uang dan suku bunga merupakan faktor endogen, tergantung
dari kebijakan moneter yang dianut dan perilaku perbankan. Pendekatan moneter
tidak secara eksplisit membuat perbedaan ini dan keempat, obligasi domestik dan
luar negeri diasumsikan saling mengganti secara sempurna. Oleh karena itu
tukar bagi tiga negara industri inflasi tinggi dalam periode yang berbeda: Israel
mendukung dalil purchasing power parity pada ketiga negara Amerika Latin
perubahan nilai tukar nominal relatif terhadap AS. Untuk Chili, satu vektor
ditemukan ketika variabel moneter Amerika M2. Sedangkan untuk Argentina, dua
vektor kointegrasi dan untuk Israel tepat satu vektor kointegrasi. Namun bagi
suku bunga pernah dilakukan oleh Warjiyo dan Zulverdi (1998). Studi ini
Baru yang disesuaikan dengan instrumen – instrumen pasar keuangan yang ada di
dalam penelitiannya dan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank
sebagai sasaran operasional, suku bunga deposito dan nilai tukar sebagai sasaran
diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar. Dengan asumsi Indonesia
menggunakan sistem nilai tukar mengambang, suku bunga deposito dan nilai
tukar akan ditransmisikan ke sektor riil melalui tingkat output nasional. Perbedaan
antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi.
melalui jalur nilai tukar pernah dilakukan oleh Benny Siswanto et al (2001)
44
melalui jalur nilai tukar tidak bekerja dengan baik, namun sebaliknya sejak
diterapkannya sistem nilai tukar fleksibel ternyata peranan jalur transmisi ini
Amerika Serikat dengan non ekonomi seperti politik, hankam, konsistensi, dalam
penegakan hukum, sosial budaya dan sebagainya dan variabel ekonomi seperti
tingkat inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan nasional di
Amerika. Dari analisis diperoleh bahwa hanya variabel jumlah uang beredar yang
variabel dummy: variabel kebijakan (devaluasi) dan variabel krisis. Hasil uji
variabel – variabel yang dipilih pada kedua model mempunyai hubungan jangka
Autoregression/ VAR (devaluasi dan krisis sebagai variabel eksogen) pada model
dalam model tersebut, tetapi pada model neraca pembayaran tidak menunjukkan
tersebut tidak di temukan adanya vektor kointegrasi antar variabel pada kedua
regresi dengan arah yang sesuai harapan teori, atau kesesuaian hipotesis pada
hubungan antara masa sebelum krisis dan masa krisis. Pada masa sebelum krisis
teori dan berubah arah pada masa krisis. Sedangkan variabel pendapatan nasional
menunjukkan arah hubungan yang konsisten dengan teori pada masa sebelum
krisis dan berubah arah pada masa krisis. Selanjutnya hasil estimasi Engle
mempengaruhi nilai tukar memerlukan koreksi antar waktu yang berbeda. Proses
pembayaran lebih besar, 17.51 persen daripada model moneter 12.47 persen.
46
kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi secara riil dan harga – harga
dimasa yang akan datang. Berdasarakan hasil empiris, dalam jangka pendek
output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah
uang beredar tidak berpengaruh pada perkembangan output riil tetapi mendorong
tercapai.
suku bunga, dalam hal ini perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan
pada suku bunga jangka menengah dan jangka panjang melalui mekanisme
bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral akan
mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Dengan
ekspansif, hal itu akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek, yang
Begitupun jika kebijakan bank sentral bersifat kontraktif, kekakuan harga akan
47
menyebabkan meningkatnya suku bunga riil jangka pendek dan jangka panjang.
Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi cost of capital yang pada
penawaran agregat, dan selanjutnya akan mempengaruhi output dan harga. Besar
kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar tergantung pada sistem nilai tukar yang
Secara umum yang dimaksud dengan pasar uang adalah pasar dimana
terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran uang yang pada akhirnya
komponen utama net foreign asset (NFA) dan net domestik credit (NDC)
Persamaan (3.2) menyatakan bahwa, perubahan uang stok primer sama dengan
equivalen rupiah dari perubahan international reserve (Kamin et al. 1997) dan
∆R = CA + KA ........................................................................................(3.4)
dimana:
Penawaran uang atau uang beredar (Ms = Money Supply) adalah jumlah
uang yang tersedia dalam suatu perekonomian. Pengertian uang beredar biasanya
dibedakan sebagai uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam
arti luas (M2). Uang beredar dalam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang
giral (C) sedangkan uang beredar dalam arti luas adalah uang beredar dalam arti
uang sempit ditambah dengan simpanan (D), di Indonesia terdiri dari tabungan
49
dan deposito, Dalam penelitian ini di pergunakan uang beredar dalam arti luas,
M S = C + D ...........................................................................................(3.7)
Uang beredar juga dikaitkan dengan uang primer melalui money multiplier (mm),
sebagai berikut :
M S = mm M 0 .........................................................................................(3.8)
perubahan didalam money multiplier dan uang primer, dapat dinyatakan sebagai :
∆M S = M 0 ∆ mm + mm∆M 0 ..................................................................(3.9)
yang diminta ( Md = Money Demand) oleh masyarakat untuk dipegang pada suatu
waktu dan keadaan tertentu. Permintaan uang agregat dapat dirumuskan sebagai
berikut :
M d = P * L (i, Y ) ..................................................................................(3.11)
ditentukan oleh tingkat harga, suku bunga dan pendapatan nasional rill.
sama dengan permintaan uang, sehingga implikasi dari asumsi (i) dapat
M S = M d = P * L (i, Y ) ........................................................................(3.12)
Apabila kedua sisi persamaan (3.12) dibagi dengan tingkat harga, maka
keseimbangan pasar uang dalam bentuk persamaan permintaan uang riil agregat,
sebagai berikut :
50
MS Md
= = L (i Y ) .............................................................................(3.13)
P P
Terlepas dari tingkat harga (P) yang berlaku dan tingkat output (Y) yang ada,
pasar senantiasa bergerak menuju suku bunga (i) dimana penawaran uang riil
sama dengan permintaan uang riil. Jika pada awalnya terjadi kelebihan penawaran
uang, maka suku bunga segera menurun, sedangkan bila pada awalnya terdapat
tingkat harga (P), suku bunga (i) dan tingkat output (Y) berubah-ubah, sehingga
MS
P= ...........................................................................................(3.14)
L (i, Y )
panjang menunjukkan tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang beredar, suku
bunga dan tingkat output riil, bila pasar uang berada kondisi keseimbangan dan
semua faktor produksi terdaya gunakan secara penuh, maka tingkat harga akan
tetap bertahan apabila penawaran uang, permintaan uang agregat dan nilai jangka
panjang suku bunga dan tingkat output tetap. Bila semua kondisi lainya tetap,
secara proposional.
daya beli mata uang domestik, yang ditunjukkan oleh kenaikan tingkat harga
domestik akan diikuti oleh depresiasi mata uangnya secara proposional dalam
pasar valuta asing. Begitu juga sebaliknya, kenaikan daya beli mata uang
51
PIN
S Rp / $ = ......................................................................................(3.15)
PUS
M INS
PIN = .................................................................................(3.16)
L (iIN ,YIN )
M $S
P$ = ………………........................…………………………(3.17)
L(i$ , Y$ )
$
M IN L(iUS , YUS )
S Rp / $ = S
.......................................................................(3.18)
M US L(iIN , YIN )
penawaran relatif mata uang rupiah terhadap dolar serta permintaan- permintaan
Terakhir asumsi (iv) menyatakan pasar valuta asing berada dalam kondisi
imbalan yang sama secara matematis teori dapat dinyatakan sebagai berikut :
/ $ − S Rp / $
e
S Rp
= iIN − iUS ........................................................................(3.19)
S Rp / $
Atau
/ $ − S Rp / $
e
S Rp
iIN = iUS + = iUS + ∆ e .......................................................(3.20)
S Rp / $
M INS
PIN = ...........................................................................(3.21)
L (iUS + ∆e, YIN )
persamaan diatas maka hubungan antara nilai Suku bunga Dunia (SBW),
Industrial Production Index (IPI), Harga (CPI), Nilai tukar Rupiah (ER) uang
beredar (M2,) suku bunga (SBI), dinyatakan dalam bagan sebagai berikut :
P=Ms/L(iY) MV=PY
Uang Beredar
Suku bunga SBI (M2)
Ms=M*M0
Capital Flow
SBW UIP
Nilai Tukar
(ER)
PPP
Tingkat Harga
Domestik (CPI) IPI
Keterangan :
SBW: Sukubunga Dunia
UIP : Uncover Interest Parity
IPI : Industrial Production Index
PPP : Purchasing Power Parity
= Faktor Eksternal
= Faktor Internal
Semakin tinggi Industrial Production Index dan harga – harga yang berlaku
disuatu negara maka akan semakin besar pula jumlah uang beredar dinegara
tersebut karena setiap individu dan perusahaan memerlukan lebih banyak uang
tertentu (quantity theory of money, MV=PY) dalam hal ini terdapat one to
one corrrelation antara jumlah uang beredar dengan harga, sehingga teori
mengarahkan pada terjadinya pada kenaikan tingkat harga (teori money market
equilibrium ( M2 CPI).
pass throught effect) karena harga barang impor dan komoditi yang
menggunakan bahan baku impor menjadi lebih mahal dan secara langsung
tingkat harga dapat juga terjadi secara tidak langsung (Indirect Pass
secara otomatis akan meningkat nilai rupiah dari simpanan di maksud dan
Disamping itu, nilai tukar juga akan mempengaruhi jumlah uang beredar
tukar apabila terjadi depresiasi nilai tukar, maka international reserve dan
peningkatan uang primer dan secara otomatis akan meningkat jumlah uang
beredar
( ER ?R NFA M0 ? MS).
mengarahkan pada terjadinya depresiasi nilai tukar. Hal ini terjadi karena
dalam regim dibawah tingkat bunga luar negeri. Tingkat bunga dalam negeri
Namun dalam penelitian ini uang beredar dianggap sebagai sasaran antara
kestabilan harga. Oleh karena itu, apabila terjadi kenaikan tingkat harga lebih
digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran
akhir. Disamping itu, uang beredar juga cukup flexible untuk bereaksi apabila
4.1. Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dalam bentuk
deret waktu (time series) yang bersumber dari International Financial Statistic
(IFS) yang dipublikasikan oleh International Monetery fund (IMF) ; buku statistik
Laporan Bulanan Keuangan Bank Indonesia dan juga Laporan Mingguan yang
Tesis ini didasarkan atas data yang diobservasi selama periode waktu dari
tahun 1999 – 2006. Data yang digunakan umumnya dalam bentuk bulanan (96
observasi) dari periode bulan Januari 1999 sampai bulan Desember 2006. Data
tingkat IPI, CPI, SBI, SBW menggunakan data bulanan dari waktu 1999 – 2006.
57
Data untuk persamaan uang beredar (M2) menggunakan data bulanan dari periode
waktu 1999-2006. Terakhir data untuk model nilai tukar nominal rupiah dengan
dollar Amerika Serikat (ER). Semua variabel dapat dianalisis dengan mudah, pada
Industrial Production Index (IPI), Tingkat Harga (CPI), Money Supply (M2),
Nilai Tukar (ER), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan. Sketsa kerangka
................................................................................................................(4.1)
Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t , eSBIt merupakan uncorrelated white noise
disturbance dengan standar deviasi s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, s SBIt Untuk lebih
sederhana, dalam hal ini variabel disebelah kanan hanya untuk satu lag, tapi
dalam analisis dimungkinkan untuk menggunakan lag lebih dari satu. Selanjutnya
58
berikut:
disturbance.
sebagai berikut :
Yt = ΓYt −1 + ut ........................................................................................(4.4)
Karena eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM 2t, eSBIt merupakan uncorrelated white noise
distrubance akan memiliki rata-rata 0, variance yang konstan dan tidak memiliki
otokorelasi serial.
yaitu matriks A dan B tidak dapat dipisahkan karena yang dapat dilakukan adalah
secara umum dalam model SVAR diasumsikan bahwa D =1, sehingga dengan
ditentukan sebagai :
B = A?.
dibuktikan apakah suatu variabel akan berlaku sesuai teori atau tidak. Apabila
Impulse Response Function tidak sesuai dengan teori atau tidak logis, maka
baru di rekontruksi kembali. Proses ini dilakukan terus sampai diperoleh Impulse
Jadi esensi dari penelitian ini adalah kombinasi antara pengolahan statistik
monetary shock akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan inflasi dan bagaimana
nilai tukar rupiah dan inflasi mempengaruhi monetary policy. Meskipun model ini
sebagaimana yang diharapkan dalam teori ekonomi. Dalam hal data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kuantitatif dengan model
memungkinkan teknik ini dapat diterapkan. Teknik analisis dengan OLS hanya
Dickey –Fuller (ADF). Jika hasil uji menolak hipotesis adanya unit root yang
menggunakan regresi linier biasa (OLS). Residu dari hasil estimasi ini akan
menggunakan teknik kointegrasi. Jika hasil uji unit root terhadap level dari
variabel – variabel menerima hipotesis adanya unit root berarti data adalah tidak
stasioner atau data yang termasuk random walk, maka dilakukan pengecekan
terhadap orde integrasi dari masing-masing variabel. Jika semua variabel yang
tidak stasioner memiliki orde integration yang sama, maka dilakukan cointegrasi
test dengan Johansen Test for Cointegration. Jika hasil uji menunjukkan variabel
cointegrated, maka regresi bisa dilakukan. jika tidak variabel diturunkan untuk
mencari stasionernya. Jika semua variabel yang memiliki orde integrasi yang
mengetahui apakah terdapat unit root atau tidak, dan lakukan kembali prosedur
variabel dan jumlah lag yang akan digunakan didalam model VAR. Sehingga
terlebih dahulu harus ditentukan jumlah lag untuk pembentukan sistem VAR yang
stabil (Enders, 2004) menyarankan untuk memilih model VAR yang memiliki
Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Bayesian Criterion (SBC) yang
dimana :
T = jumlah observasi
|S| = determinan dari varian – varian matriks residual
N = jumlah parameter yang diestimasi dalam semua persamaan
P = jumlah lag, dipilih sedemikian sehingga AIC dan SBC adalah
minimum.
Uji akar unit dipandang sebagai uji stasionaritas, karena pada intinya uji
otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam kasus dimana
data runtun waktu (time series) yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan
dilakukan dalam pengujian ini adalah menaksir model otoregresif dari masing-
62
masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian dengan OLS (Ordinary
Least Square).
Perbedaan lain antara data series yang stasioner dan yang non stasioner
yaitu shock yang terjadi pada data series yang stasioner bersifat sementara.
Sejalan dengan waktu, dampak dari shock akan berkurang dari series data akan
kembali ke long run mean levelnya. Secara umum, prilaku dari data series yang
secara umum, prilaku dari non stasioner time series adalah sebagai berikut
(Enders, 2004):
variance dari data semacam ini akan membesar tanpa batas seiring dengan
waktu
Apakah suatu data series bersifat stasioner atau non stasioner dapat dilihat
dengan cara ini sudah mulai ditinggalkan. Dewasa ini pendekatan yang lebih
bersifat spurious mulai banyak digunakan. Pendekatan ini disebut unit root test.
Pengujian unit root dilaksanakan untuk melihat apakah datanya mengandung unit
63
root atau tidak, apabila datanya mengandung unit root maka berarti data tersebut
tidak stasioner. Salah satu bentuk pengujiannya adalah Dickey-fuller Test yang
diperkenankan pada tahun 1979. Pengujian ini dilaksanakan melalui regresi suatu
ditunjukkan dengan:
yt = a0 + γyt −1 + ε t ..................................................................................(4.7)
nonstasioner dan jika parameter ? lebih kecil dari 1 (? < 1) maka variabel yt
Dengan aplikasi OLS maka didapat γˆ (estimasi dari ?) dan S γˆ (estimasi standar
γˆ − 1
TS = ..........................................................................................(4.8)
Sγˆ
Apabila nilai tes statistik lebih kecil dari nilai kritis maka tolak H0,
Namun permasalahan yang muncul dalam proses tersebut adalah estimasi OLS
Hipotesa menjadi :
γˆ
TS = ...........................................................................................(4.12)
Sγˆ
Namun permasalahan bias juga direfleksikan pada γˆ dan dengan null hyphotesis
non stasioner, t rasio memiliki distribusi tidak standar bahwa untuk jumlah contoh
yang besar, artinya bahwa tabel normal t tidak dapat digunakan untuk
Dickey dan Fuller (1997) dalam Thomas (1997) dan (Sedighi, 2000)
dapat ditolak artinya ada unit root dalam proses menghasilkan data, memiliki nilai
kritis untuk TS yaitu t(tau) statistik. Nilai kritis ini telah digunakan oleh
Mackinnon melalui simulasi Monte Carlo. Aplikasinya adalah jika data time
series stasioner maka nilai TS harus lebih negatif dari nilai kritis.
autokorelasi pada error dari estimasi OLS sehingga Dickey Fuller Test tidak
65
valid. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu
Test (Enders, 2004). Disini dilaksanakan pengujian atas persamaan regresi yang
memiliki order lebih dari first order difference, representasi matematis dari
yt = α + a1 yt −1 + a2 yt −2 + ... + a r yt −i + ε t …………....…..……………(4.13)
direparameterisasi menjadi :
p
∆yt = α 0 + γyt −1 + ∑ β i ∆y t −i +1 + ε t ………......……………………….(4.14)
i =2
dimana :
Hipotesis
autokorelasi pada error. Untuk menentukan lagged yang harus dimasukkan dalam
Dalam pengujian ini tidak diperlukan adanya asumsi error yang homogen dan
independent seperti dalam Dickey Fuller Test, sehingga kondisi error yang
dependent dan heterogen juga dapat diakomodasi dalam pengujian ini. Kelebihan
tidak adanya masalah dalam pemilihan jumlah lag, sementara dalam Dickey-
Fuller Test jumlah lag merupakan hal yang kritis yang dapat mempengaruhi
hasil pengujian kesalahan dalam penentuan jumlah lag bisa berakibat hasil
dalam data series seperti misalnya structural break sebagai akibat dari oil shock,
Test adalah :
endogen dan eksogen, maka dalam VAR setiap variabel dianggap simetris karena
sulit untuk menentukan secara pasti apakah suatu variabel bersifat endogen atau
eksogen.
interaksi antara permintaan dan penawaran harga, model VAR secara umum dapat
tingkat harga atau tidak. Apabila sebaliknya, dimana tingkat harga mempengaruhi
67
uang beredar, maka model VAR memungkinkan untuk melakukan uji causalitas
Sistem persamaan diatas dikenal sebagai Structural VAR (SVAR) atau bentuk
sistem primitif, dimana Yt adalah vector variabel endogenous dan et adalah suatu
vector structural shock, dengan rata-rata nol dan matrik variance covariance
konstan.
persamaan (4.16) dapat dinyatakan dalam bentuk reduced form sebagai berikut :
Yt = Γ ( L)Yt −1 + et ..................................................................................(4.18)
(1 − Γ( L ))Yt = et ...................................................................................(4.19)
Yt = (1 − Γ( L)) −1 et ................................................................................(4.20)
Yt = C ( L)et ...........................................................................................(4.21)
dimana :
Γ = A −1 B ..............................................................................................(4.22)
et = A −1et ..............................................................................................(4.23)
68
C = (1 − Γ ) ...........................................................................................(4.25)
Dari representasi model AR (4.18) dan MA (4.21) terlihat bahwa dalam model
AR variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari nilai masa lalu dari dirinya
sendiri, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Sebaliknya dalam representasi model
MA variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari structural shock. Model VAR
dinamis pada persamaan (4.18) disebut sebagai unrestricted VAR karena tidak
ada pembatasan linier. Dalam penelitian ini fokus penelitiannya adalah restriksi
linier akan di imposed berdasarkan prediksi teoritis yang sudah ada sebelumnya.
Orthogonalitas VAR
inovasi eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, eSBIt tidak berkorelasi secara formal hal ini
σ SBW 2 0 0 0 0 0
0 σ IPI 2 0 0 0 0
0 0 σ CPI2 0 0 0
∑e = 0 0 0 σ ER 2 0 0
0 0 0 0 σ M 22 0
0 0 0 0 0 σ SBI 2
Karena residu dari reduce form terhubung dengan structural innovation melalui
et=A-1et. Maka matriks variace –covariance bentuk struktural dan reduce form
Normalisasi VAR
response function (IRF) yang diberikan oleh matriks C (L). IRF dihitung untuk
69
menentapkan varian s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, dan s SBIt sama dengan satu. Oleh
karena shock standar deviasi berhubungan dengan unit inovasi dari eSBWt, eIPIt,
eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt secara berurutan, maka matrik variance covariance dari
1 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0
∑ e = 0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 1
Atau Se= I secara teknis, karena struktural innovation hubungan dengan gangguan
Identifikasi Matrik A
dan melacak respon variabel lain dalam model dinamis terhadap shock tersebut.
matriks A. Dengan kata lain, Dalam model SVAR hubungan dinamis dalam
γ 11 γ 12 γ 13 γ 14 γ 15 γ 16
γ 21 γ 22 γ 23 γ 24 γ 25 γ 26
γ 31 γ 32 γ 33 γ 34 γ 35 γ 36
A−1 = ................................................(4.26)
γ 41 γ 42 γ 43 γ 44 γ 45 γ 46
γ 51 γ 52 γ 53 γ 54 γ 55 γ 56
γ 61 γ 62 γ 63 γ 64 γ 65 γ 66
Sehingga error reduce form terhubung dengan struktural shock melalui struktur
et = A −1ε t .............................................................................................(4.27)
eSBW ,t γ 11 γ 12 γ 13 γ 14 γ 15 γ 16 ε SBW ,t
e
IPI ,t γ 21 γ 22 γ 23 γ 24 γ 25 γ 26 ε IPI ,t
eCPI,t γ 31 γ 32 γ 33 γ 34 γ 35 γ 36 ε CPI,t
= …………..……..(4.28)
e ER , t γ 41 γ 42 γ 43 γ 44 γ 45 γ 46 ε ER ,t
e M 2 ,t γ 51 γ 52 γ 53 γ 54 γ 55 γ 56 ε M 2 ,t
eSBI ,t γ 61 γ 62 γ 63 γ 64 γ 65 γ 66 ε SBI ,t
Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt merupakan struktural shock. Hal
contemporaneous terhadap semua shock yang relevan terhadap dirinya. Hal ini
berarti bahwa tidak ada elemen baris dari matrik A-1 yang berhubungan dengan
dua variabel yang diuji. Setelah mengetahui lag optimal bagi sistem VAR,
pengujian ini pun akan langsung dapat dilakukan. Model uji kausalitas granger
yt = α 0 + α1 yt −1 + α 2 yt −2 + α 3 yt −3 + β1 xt −1 + β 2 xt −2 + β 3 xt −3 + ε t ........(4.29)
71
Hipotesis nol yaitu kedua variabel tidak memiliki pengaruh antar variabel,
Bila gunakan Probability value < alpha (10%) maka hipotesis nol ditolak artinya
ada hubungan kausalitas searah antar variabel. Dengan kata lain pergerakan
variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh pada pergerakan variabel lain.
representasi model Autoregressive (AR) dan model Moving Average (MA) atas
model VAR. secara umum representasi AR (4.18) tersebut diatas dapat dituliskan
sebagai berikut :
p
Yt = ∑ ΓiYt −1 + et .................................................................................(4.30)
i =1
dibawah ini :
∞
Yt = ∑ Cjet − j .......................................................................................(4.31)
j=0
diperoleh :
∞ ∞ ∞ ∞
∑ Cjet − j = Γ1∑ Cje j−i−1 + Γ 2∑ Cje j−i−2 + ... + Γp ∑ Cje j−i−k + et .......(4.32)
j =0 j=0 j =0 j=0
Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi
Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi
kurung harus sama dengan nol. Sehingga secara berulang Cj dapat dihitung
sebagai berikut :
C0 = I
C1 = Γ1C 0
........
........
p
Cj = ∑ ΓiC j −i , untuk 1 = p .................................................................(4.35)
i =1
∞
Yt = ∑ CjA
j=0
−1
0 εt− j ..................................................................................(4.36)
∞
Yt = ∑ Ψ j ε t − j ......................................................................................(4.37)
j=0
pergerakan suatu variabel akibat shock dari variabel itu sendiri relative terhadap
dampaknya kepada pergerakan variabel lain secara berurutan. Dengan kata lain,
setiap inovasi terhadap perubahan variabel lain dalam VAR (Gottschalk, 2001).
73
peramalan h periode kedepan Et(Xt+h ) dari nilai aktual Xt+h , yaitu sebagai berikut :
∞
Yt + h − Et (Yt + h ) = ∑ Ψ j (ε t + h− j − Et ε t + h− j )
j=0
h−1
= ∑ Ψ j ε t + h− j ................................................................(4.38)
j=0
berikut:
h−1
E (Yt + h − Et Yt + h ) 2 = ∑ Ψ j ∑ eΨ ' j .......................................................(4.39)
j=0
Atau secara sederhana dapat dinyatakan bahwa Forecast Error Variance dari
h −1
= ∑ Ψ j , k ∑ eΨ ' j, k .............................................................................(4.40)
j =0
Krisis yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari krisis yang terjadi di
Thailand sendiri mulai kelihatan sejak pertengahan tahun 1996. Waktu itu harga
1996, indeks saham gabungan di SET berada pada posisi 535 poin, atau 42.9
berjalan yang terus membengkak dari 366 juta dollar AS pada tahun 1987 hingga
mencapai 14.7 milyar dollar AS pada tahun 1996. Pada tahun 1996 itu, defisit
transaksi berjalan Thailand mencapai 8.2 persen dari produk domestik bruto
(PDB)-nya. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka di Malaysia (4.6
persen), Indonesia (3.6 persen) dan Filipina (3.2 persen). Angka defisit ini terjadi
antara lain karena meningkatnya arus investasi ke luar negeri. PDB Thailand
sendiri cenderung menurun dari 13.3 persen pada tahun 1988 menjadi hanya 5.5
persen pada tahun 1996. Kondisi tersebut diperburuk oleh kebijakan moneter
pemerintahan Thailand.
Awalnya sejak tahun 1993 sampai tahun 1996 laju inflasi Thailand rata-
rata mencapai 5.1 persen. Angka ini jauh diatas laju inflasi di AS, yang dalam
75
periode tersebut rata-rata 2.4 persen. sejalan dengan selisih inflasi itu mestinya
kurs baht terhadap dollar AS disesuaikan. Tetapi tidak. Kurs baht dijaga oleh
Bank of Thailand, bank sentral Thailand, rata-rata pada level 25.4 baht per dollar
AS sejak tahun 1987. Untuk menjaga kurs, BOT menawarkan suku bunga
simpanan baht sekitar 13.5 persen setahun, dibandingkan suku bunga dollar AS
sekitar 8 persen, kalau diperlukan, BOT akan siap membeli baht di pasar.
valuta asing para debitor membayar suku bunga lebih rendah daripada kalau
meminjam dalam bentuk baht. Pada saat itu risiko kurs tidak ada karena kebijakan
Karena laju Inflasi Thailand tinggi sedangkan nilai baht terhadap dollar
AS relatif tetap, barang-barang unggulan Thailand seperti tekstil dan sepatu terasa
lebih mahal dibandingkan produk sejenis di Cina dan negara ASEAN lain.
Akibatnya, nilai ekspor Thailand menurun dengan pasti. Pada saat yang sama,
impor barang tetap saja besar, baik untuk investasi maupun konsumsi. Pada
para spekulator valas. Yang mereka lakukan kemudian adalah menjual baht pada
Mei 1997. Menghadapi permintaan ini, BOT tidak bisa berbuat lain selain
melayani. Kalau tidak, spekulator bisa membeli dollar dengan lebih tinggi dari
kurs resmi. Kalau ini terjadi, nilai baht me nurun. Namun demikian, karena
76
besarnya penjualan baht (dengan kata lain pembelian dollar), pemerintah Thailand
devisa sekitar 5 Milyar Dollar US, akhirnya BOT takluk pada kekuatan pasar
dengan mengambangkan mata uangnya pada 2 Juli 1997, Akibatnya nilai baht di
pasar valuta menurun sampai ke level 31.5 baht per dollar dan terus merosot pada
tahun 1998. Pada saat nilai baht sudah terdepresiasi secara tajam, spekulan
menjual dollarnya pula, pada saat krisis mata uang memuncak elit ekonomi dan
mengambang sesuai mekanisme pasar. Oleh karena itu, kurs nominal disuatu
negara akan sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kurs domestik di
Kekuatan kurs di pasar valas ini pada akhirnya juga ditentukan oleh besar
Apalagi jika tidak didukung oleh struktur pasar domestik yang baik maka
menyajikan transformasi rezim kurs di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan pasca
ini (Rato, 2005). Pada semester pertama tahun 2004, petumbuhan ekonomi di Asia
Thailand, dan Vietnam mencatat prestasi jauh di atas perkiraan, sementara Brunei,
ASEAN yaitu dengan Cina dari 15.7 persen menjadi 20.3 persen, dengan Korea
Selatan dari 13.1 persen menjadi 15.9 persen, dan dengan Jepang dari 14.1 persen
Asia Timur 9 dan Jepang ini membawa perubahan besar dalam perkembangan
regionalisme ekonomi Asia timur dan memberikan dorongan kuat bagi terciptanya
Masyarakat Asia Timur atau Kerjasama Ekonomi Asia Timur (EAEC), yang
78
global yang ada sekarang, selain juga meningkatkan rasa persaingan di antara
ekonomi terutama menjadi agenda penting sejak terjadinya krisis keuangan yang
Asia kuartal pertama 2006 mencapai tujuh persen. Angka tersebut sama dengan
pertumbuhan yang dicapai pada 2005. Menurut IMF pesatnya pertumbuhan ini
tidak terlepas dari perubahan pesat yang terjadi di Jepang dan Cina. Dalam
terutama elektronik. Selain itu masih menurut IMF, Kebijakan pasar keuangan
fasilitas kredit kepada (industri) rumah tangga. Terlepas dari itu faktor investasi
ekonomi sebesar 9.5 persen dan masih relatif lebih kecil dibandingkan tahun
ekonomi Jepang yang mencapai 2.8 persen tahun ini. Nilai ini sedikit berada
Menurut data Bank Indonesia, dalam tahun 1996 mencatat kinerja yang
pertumbuhan ekonomi mencapai 7.8 persen pertahun dan inflasi pada bulan 5
pertama mampu mencapai tingkat terendah selama 10 tahun terakhir pada periode
Maret 1997 atau sama dengan perkiraan 5 bulan impor, investasi asing langsung
luar negeri mencapai nilai US $ 6.5 milyar pada tahun fiskal 1996/1999, kalangan
Indonesia. Kejadian tersebut disikapi secara optimis oleh para pejabat Indonesia
Menurut Sudjijono (2003), keyakinan para pejabat dan ekonom yang pro
bila dilihat dari angka surplus perdagangan termasuk migas, pertumbuhan angka
ekspor yang tinggi, cadangan devisa yang cukup kuat sampai 5-6 bulan impor,
tingkat suku bunga memadai, dan tingkat inflasi satu digit terkendali dibawah 10
persen. Hal – hal tersebut sering diungkapkan oleh pejabat pemerintah, tetapi
penuh dengan spekulasi tidak terbendung lagi menghantam daya tahan Rupiah.
Nilai tukar riil rupiah mengalami depresiasi yang tajam terhadap dollar Amerika
sebesar 68 persen, hal tersebut akan berakibat pada melemahnya posisi neraca
pembayaran, Menurut data Bank Dunia (1999), pada tahun 1997 mencatat total
80
stock utang luar negeri secara riil mencapai 64.25 persen GDP, kemudian
impor melonjak tinggi, kemudian diikuti oleh kenaikan harga barang-barang lain
yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan nilai tukar rupiah terhadap
dollar yang lebih merupakan pengaruh psikologi (sentimen pasar). Data pada
akhir tahun 1997 tercatat angka inflasi mencapai 11.1 persen per tahun, dan terus
meningkat hingga mencapai 77.6 persen pertahun pada tahun berikutnya. Menurut
data Bank Indonesia (1999), pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) mencatat
sebesar 4.7 persen, hingga tahun 1998 turun sebesar 13.2 persen. Faktor-faktor
Sudjijono (2002), krisis ekonomi merupakan indikasi dari kegagalan sistem pasar
belum tercapai secara penuh. Sementara pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006
nilai tukar rupiah mengalami penurunan dari periode 1999 sampai 2006 (Tabel 4).
Nilai tukar rupiah pada tahun 1999 sebesar Rp. 7808 per dollar AS
depresiasi menjadi Rp.10 265 per dollar AS. Dari tahun 2001 ke tahun 2003 nilai
tukar rupiah menguat (apresiasi) menjadi Rp.8570 per Dollar AS dan inflasi
mengalami penurunan sampai tahun 2003 sebesar 5.06 persen. Pada tahun 2005
nilai tukar rupiah mengalami depresiasi lagi menjadi Rp. 9750 per dollar AS
sedangkan inflasi mengalami kenaikan lagi 17.11 persen artinya semakin nilai
inflasi. begitu juga sebaliknya apabila nilai tukar mengalami apresiasi maka harga
mengalami penurunan.
Sukubunga SBI bulanan pada tahun 1999 sebesar 11.92 persen mengalami
peningkatan menjadi 17.62 persen pada tahun 2001. Pada tahun 2002 suku bunga
SBI sebesar 12.93 persen lebih rendah dari dua tahun sebelumnya. Pada tahun
2004 suku bunga SBI merupakan rekor terendah pasca krisis yaitu sebesar 7.43
persen. Begitu juga Sukubunga dunia bulanan pada tahun 1999 sebesar 8.02
persen mengalami peningkatan pada tahun 2000 sebesar 9.27 persen . Pada tahun
82
2004 turun manjadi sebesar 4.47 persen dan pada tahun 2006 meningkat lagi
penurunan dari 5.76 persen menjadi 4.90 persen. Sedangkan dari tahun 2004
kembali meningkat sebesar 5.10 persen dan turun sampai tahun 2006 sebesar 5.5
persen. Tingkat inflasi dari tahun 1999 sebesar 2.01 persen mengalami
peningkatan menjadi 12.55 persen pada tahun 2001. pada tahun 2002 tingkat
inflasi sebesar 10.03 persen lebih rendah dari tahun 2001, namun masih lebih
besar dari tahun 2000. Penurunan inflasi drastis terjadi pada tahun 2003 yaitu 5.06
persen yang hampir separuhnya dari tahun 2002. Tahun 1999 tersebut merupakan
tahun inflasi terendah pasca krisis, dan pada tahun 2005 mengalami peningkatan
lagi menjadi 17.11 persen dan turun pada tahun 2006 sebesar 6.60 persen. Oleh
sendiri. Peningkatan suku bunga akan berdampak negatif pada sisi permintaan dan
sisi penawaran agregat. Pasa sisi permintaan, peningkatan suku bunga akan
ekspor (daya saing melemah). Penurunan peranan ketiga komponen ini akan
kapasitas produksi maupun perluasan usaha akan semakin terbebani jika biaya
modal kerja mahal. Akhirnya produksi akan terhambat akibat suku bunga tinggi
atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran akan terhambat.
yang tidak terkendali akan berdampak negatif terhadap sisi permintaan maupun
sisi penawaran. Kenaikan harga –harga barang konsumsi yang dihasilkan oleh
dipandang barang impor lebih murah (kompetitif). Selain itu, kenaikan harga-
tetap dan rendah). Ekspor juga akan melemah karena kenaikan harga-harga
perusahaan dari sisi produksi. Kenaikan harga-harga akan memicu kenaikan upah
berkurang. Selain itu, kenaikan harga-harga juga akan menambah resiko berusaha,
84
singkatnya inflasi yang tinggi merupakan beban (cost) baik dari sisi ekonomi
maupun sosial.
investasi dan ekspor-impor. Nilai tukar rupiah yang semakin melemah akan
ke produk-produk lokal. Jika produk lokal yang sejenis terbatas atau kualitasnya
dianggap rendah, maka konsumen terpaksa memilih produk impor atau tidak
tidak terlepas dari permasalahan klasik yang dihadapi Indonesia. Periode pasca
Permasalahan itu diantaranya (1) tingginya hutang luar negeri, (2) masih tingginya
subsidi BBM dan terbatasnya pendanaan APBN, (3) masih terbatasnya kapasitas
produksi, masih tingginya impor bahan baku, masih lemahnya daya saing, dan
masih lemahnya kinerja ekspor, dan (4) masih belum optimalnya struktur dan
kapasitas industri masih terbatas dan kandungan impor bahan baku industri masih
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data runtun waktu (time
series) bulan, yaitu dari bulan Januari 1999 sampai Desember 2006. Data ekonomi
yang runtun waktu biasanya tidak stasioner, maka diperlukan uji akar akar unit,
Uji akar unit bertujuan untuk mengamati apakah koefisien variabel tertentu dari
model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Metode
pengujian akar-akar unit yang digunakan adalah dengan uji Augmented Dickey
Fuller (ADF) selanjutnya hasil ADF harus dibandingkan dengan nilai kritis yang
dikembangkan MacKinnon.
Apabila pada data time series langsung dilakukan analisis akan menghasilkan
hasil yang spurious karena dalam variabel tersebut sering kali mengandung unit
root (Verbeek, 2000). Oleh karena itu sebelum masuk pada tahapan analisis
SVAR maka terlebih dahulu dilakukan uji Augmented Dickey Fuller (ADF),
dimana dalam pengujian ini terlihat ada atau tidaknya unit root dalam variabel.
Kriteria uji dalam ADF ini membandingkan antara nilai statistik dengan nilai
kritikal dalam tabel Dickey Fuller. Apabila nilai ADF statistik lebih kecil dari
nilai McKinnon Critical Value maka data bersifat stasioner. Tetapi apabila nilai
ADF statistik lebih besar dari nilai McKinnon Critical Value maka data bersifat
non stasioner.
87
Berdasarkan hasil dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa data sukubunga dunia
nilai tukar rupiah per dollar (ER), permintaan uang (M2) tidak stasioner karena
nilai ADF kelima variabel tersebut lebih besar dari nilai kritis McKinnon.
Sedangkan untuk variabel suku bunga sertifikat bank Indonesia (SBI) stasioner
pada level untuk tingkat kritis 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Oleh karena data
untuk kelima variabel lainnya tidak stasioner (lampiran 4) maka perlu dilanjutkan
pada uji akar unit pada first difference. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya
asumsi stasioneritas pada tingkat level atau derajat nol atau I (0) maka akan
dilakukan uji derajat integrasi. Pada uji ini data didefrensiasikan pada derajat
tertentu sampai semua data menjadi stasioner pada derajat yang sama.
Berdasarkan hasil akar unit tingkat derajat terintegrasi satu I(1) atau first
diffrence semua data bersifat stasioner (lampiran 4), hal tersebut dikarenakan nilai
ADF-nya lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon. Hasil uji akar unit derajat
satu atau I (1) dapat dilihat pada Tabel 6. Penggunaan data perbedaan pertama
sebab akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu untuk
uji VAR untuk mengetahui jumlah lag optimum yang akan digunakan dalam
variabel yang akan dianalisis. Jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini
didasarkan pada nilai Akaike Information Criteria (AIC) yang terkecil atau
information criteria (AIC) yang terkecil merupakan salah satu indikator kebaikan
suatu model. Oleh karena itu dari Tabel 7. kita dapat menyimpulkan bawah lag
89
optimal yang akan dipakai dalam persamaan adalah lag satu. Adapun persamaan
VAR dengan lag 1 dalam format umum diestimasi sebagai berikut (angka dalam
berpengaruh negatif pada lag pertama terhadap nilai tukar rupiah, sedangkan nilai
tukar rupiah sendiri dan sukubunga SBI berpengaruh positif pada lag pertama
terhadap nilai tukar rupiah. Dengan R-square senilai 0.03 dan F-hitung sebesar
0.43. Artinya nilai tukar rupiah hanya mampu memberikan penjelasan terhadap
faktor lain yang tidak terdapat dalam estimasi. Sedangkan variabel makroekonomi
dalam negeri tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan nilai tukar
rupiah. Faktor- faktor lain tersebut bisa dikategorikan dalam faktor ekonomi
dunia, industrial production index, inflasi, nilai tukar rupiah berpengaruh negatif
pada lag 1 terhadap inflasi, sedangkan uang beredar dan sukubunga SBI
berpengaruh positif pada lag 1 terhadap inflasi. Dengan R-square senilai 0.23 dan
dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam estimasi. Faktor- faktor lain
tukar rupiah memiliki hubungan kausalitas yang searah dengan sukubunga SBI
dimana nilai tukar rupiah secara signifikan 10 persen memiliki pengaruh pada
yang searah dengan industrial production index, diikuti dengan permintaan uang
(M2) dan suku bunga SBI memiliki hubungan kausalitas yang searah dengan
dalam negeri sedangkan faktor luar seperti suku bunga dunia (SBW) akan menjadi
perhatian saja.
Hal ini dibuktikan berdasarkan suku bunga dunia dengan suku bunga SBI
sukubunga dunia yang diambil dari US prime melakukan kenaikan tingkat bunga,
Bank Indonesia tidak melakukan tindakan apa-apa atau membuat tingkat bunga
stabil. Ketika suku bunga dunia sedang menaikkan tingkat bunga, Indonesia
oleh bank Indonesia karena jumlah cadangan devisa yang sangat besar yang
analisis IRF dan FEVD sangat mensyaratkan adanya stabilitas pada sistem
persamaan yang akan digunakan, maka terlebih dahulu akan dilakukan uji
terhadap sistem VAR dan VEC menunjukkan bahwa sistem VAR menghasilkan
bentuk sistem persamaan yang stabil, sedangkan sebaliknya model Vector Error
hasil uji stabilitias ini dan anjurkan dari sim(1980) tersebut, maka untuk analisis
hubungan antar variabel dalam penelitian ini digunakan sistem VAR dan shock
dibuat pada first difference dari setiap variabel. Secara lengkap hasil IRF dan
FEVD dapat dilihat pada lampiran 6 dan 7. Untuk memudahkan sketsa kerangka
……………………………………………………..…………………..(5.1)
melalui orthogonal impulse response function (IRF). Analisis ini untuk melihat
respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu inovasi (shock)
tertentu sebesar satu standar error pada setiap persamaan atau untuk melihat
respon dinamik suatu variabel apabila terjadinya shock atau guncangan yang
tertentu atau spesifik terhadap variabel tertentu. Analisis ini tidak hanya dalam
waktu yang pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon (bulan) ke
persentase .
nilai tukar rupiah pada bulan pertama akan mengakibatkan meningkatnya nilai
tukar rupiah (depresiasi) sebesar 5.19 persen; sedangkan suku bunga dunia,
terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah pada bulan kedua. Pada bulan ketiga ke
atas, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi lagi pada bulan tersebut, jumlah
uang beredar meningkat sebesar 0.02 persen, harga mengalami kenaikan sebesar
93
0.15 persen, industrial production index turun sebesar 0.43 persen (lampiran 6).
inflow.
Dari hasil analisis impuls respon yang terlampir pada Gambar 6 bahwa
guncangan sebesar satu standar deviasi kurs rupiah per dolar telah menyebabkan
meningkatnya laju depresiasi sebesar 5.19 persen sedangkan suku bunga dunia
tidak mengalami perubahan. Besarnya depresiasi nilai tukar rupiah pada bulan
pertama menyebabkan apresiasi pada bulan kedua sebesar 0.26 persen dan suku
bunga dunia mengalami penurunan sebesar 1.52 persen. Namun besarnya dampak
shock apresiasi tersebut berlangsung jangka pendek yaitu hanya sekitar 1 bulan.
Pada bulan ketiga pengaruh apresiasi hilang dan sudah kembali depresiasi sebesar
semakin mengecil yaitu depresiasi mencapai 0.01 persen dan suku bunga dunia
94
sebesar 0.53 persen dan pada bulan 12 semakin kecil dan menuju ketitik
keseimbangan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dampak shock nilai tukar
rupiah tidak dipengaruhi oleh suku bunga dunia. Karena Indonesia sebagai negara
terkecil dari pasar dunia dengan kata lain tidak berdampak berarti bagi pasar suku
bunga dunia. Hal ini hanya menjadi perhatian saja. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 6.
-.004
P
e -.008
r
s
e -.012
n
-.016
-.020 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sukubunga Dunia
Pada Gambar 7 dapat dilihat dengan adanya inovasi atau shock nilai tukar
sebesar 1 standar deviasi telah menyebabkan laju depresiasi sebesar 5.19 persen
nilai tukar rupiah mengalami apresiasi. Bagi dunia usaha yang melakukan
kegiatan impor dan yang berutang keluar negeri pada dasarnya dunia usaha dapat
mengurangi beban biaya impor dan beban biaya servis terhadap utang luar negeri
yang mereka lakukan sehingga dunia usaha dapat meningkatkan produksinya yang
masuk dalam industrial production index Pada bulan ketiga pengaruhnya sudah
positif atau depresiasi sebesar 0.01 persen dan me nurunya industrial production
95
index sebesar 0.43 persen pada bulan 12 keatas pengaruhnya semakin kecil dan
hilang dan kembali pada titik keseimbangan semula. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 7.
.008
P .006
e
r .004
s
.002
e
n .000
-.002
-.004
-.006 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dampak shock dari nilai tukar
terjadinya nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hal ini akan mendorong
naiknya beban biaya barang modal dari luar negeri, sehingga industri menurunkan
Pada bulan pertama nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 5.19 persen
sedangkan inflasi tidak mengalami perubahan. Selanjutnya pada bulan kedua, nilai
tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.26 persen sedangkan inflasi meningkat
sebesar 0.011 persen. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan barang dan
jasa dari luar negeri sehingga harga naik. Dengan berjalannya waktu bulan ketiga
96
nilai tukar mengalami depresiasi lagi sebesar 0.014 persen sedangkan inflasi
meningkat sebesar 0.15 persen. Pada bulan ke empat sampai bulan 10 keatas
pengaruhnya semakin mengecil dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini
P .0012
e
r
s
.0008
e
n
.0004
.0000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Inflasi
tukar rupiah yang membuat produksi dengan kandungan bahan baku dari luar
negeri lebih mahal sehingga terjadi kenaikan harga didalam negeri dan secara
Pada bulan pertama nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 5.19 persen.
Selanjutnya pada bulan kedua nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar
0.26 persen. Namun besarnya dampak shock nilai tukar terhadap laju apresiasi
tersebut hanya berlangsung dalam jangka pendek atau temporer yaitu hanya
sekitar satu bulan. pada bulan ketiga pengaruhnya sudah positif yang semakin
mengecil dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
9.
97
.05
.04
P
e .03
r
s
.02
e
n
.01
.00
-.01 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pada bulan pertama nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 5.19
persen dan uang beredar meningkat sebesar 0.90 persen selanjutnya pada bulan
kedua, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.26 persen sedangkan
uang beredar menurun sebesar 0.014 persen artinya dengan terjadinya apresiasi
menjadi sebesar 0.14 persen dan uang beredar meningkat menjadi lebih besar
menjadi sebesar 0.23 persen sampai pada bulan ke empat terus depresiasi dan
uang beredar masih berpengaruh positif yang mengecil sampai pada titik
nominasi mata uang dollar juga termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar
(M2) sehingga depresiasi nilai tukar secara otomatis akan meningkat nilai rupiah
beredar.
98
.008
P
e .006
r
s .004
e
n
.002
.000
Bulan
-.002
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pada awalnya dengan adanya shock depresiasi nilai tukar rupiah sebesar
5.19 persen akan direspon tingkat suku bunga SBI tinggi manjadi 27.10 persen
sehingga pada bulan ke dua nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 2.62
persen sedangkan suku bunga menjadi lebih tinggi lagi sebesar 45.41 persen. Hal
ini dilakukan oleh otoritas moneter adalah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Pada bulan ketiga nilai tukar rupiah kembali mengalami depresiasi sebesar
0.14 persen sedangkan suku bunga SBI mengalami kenaikan sedikit 31.61 persen
sampai pada bulan ke keempat depresiasi dan suku bunga SBI masih berpengaruh
positif yang mengecil sebesar 1.27 persen pada suku bunga SBI pada bulan ke 12.
Oleh karena itu untuk menyeimbangi laju depresiasi nilai tukar rupiah, Bank
menstabilkan nilai tukar rupiah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.
99
.4
P
.3
e
r
s
.2
e
n
.1
.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Sukubunga SBI
deviasi inflasi CPI pada bulan pertama akan mengakibatkan kenaikan harga
sebesar 0.92 persen, sedangkan sukubunga SBW dan industrial production index
tidak mengalami perubahan. Nilai tukar rupiah terapresiasi sebesar 0.49 persen,
uang beredar berkurang sebesar 0.03 persen dan meningkatnya suku bunga SBI
sebesar 20.49 persen. Pada bulan kedua inflasi terus mengalami kenaikan 0.07
persen. Untuk menurunkan inflasi, suku bunga SBI dinaikkan sebesar 7.72 persen
sehingga uang beredar berkurang 0.09 persen, nilai tukar rupiah mengalami
apresiasi sebesar 0.06 persen, dan industrial production index turun sebesar 1.58
Tabel 10. Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation Inflasi
(DLCPI) Innovation
Bulan DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
1 0.000000 0.000000 0.009227 -0.004855 -0.000270 0.204892
2 0.003639 -0.015804 0.000746 -0.000579 -0.000904 0.077170
3 0.002533 0.005520 0.000149 0.001042 0.000148 0.061232
4 -0.000301 -0.001821 0.000112 -0.000182 -5.58E-05 0.050528
5 -0.000732 0.000503 0.000174 0.000111 3.37E-05 0.036553
6 -0.000965 -0.000457 0.000114 -8.15E-06 -1.81E-06 0.026463
7 -0.000851 -4.19E-05 8.93E-05 3.56E-05 1.19E-05 0.018829
8 -0.000723 -0.000153 6.21E-05 1.19E-05 5.56E-06 0.013411
9 -0.000566 -6.99E-05 4.57E-05 1.45E-05 6.18E-06 0.009472
10 -0.000433 -6.89E-05 3.22E-05 8.44E-06 4.11E-06 0.006676
11 -0.000321 -4.37E-05 2.30E-05 6.92E-06 3.32E-06 0.004686
12 -0.000235 -3.40E-05 1.62E-05 4.64E-06 2.35E-06 0.003282
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
Pada Gambar 12 dapat dilihat pada awalnya dengan adanya inovasi atau
persen sedangkan suku bunga dunia tidak mengalami pengaruh terhadap variabel
makro ekonomi. Karena Indonesia sebagai negara small open economic country
dengan kata lain tidak berdampak berarti bagi pasar suku bunga dunia. Hal ini
.003
P
.002
e
r
s .001
e
n .000
-.001
-.002 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sukubunga Dunia
Pada awal terjadinya shock terhadap inflasi sebesar 0.92 persen maka
industrial production index tidak mengalami perubahan setelah pada bulan kedua
kenaikan inflasi naik lagi sebesar 0.07 persen akan menurunkan industrial
production index sebesar 1.58 persen. Hal ini karena adanya kenaikan harga
maka daya beli masyarakat pada produk menurun sehingga jumlah produksi
dalam negeri menurun, bulan ke tiga industrial production index meningkat pada
bulan ke empat industrial production index mengalami penurunan lagi, dan pada
negatif yang semakin mengecil dan kembali keseimbangan. Hal ini dapat dilihat
.004
P .000
e
r
s -.004
e
n -.008
-.012
-.016 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
daya belinya, kenaikan harga menyebabkan uang yang dimiliki dari hasil jerih
102
payah mereka bekerja menjadi kurang bernilai akibatnya jumlah yang mereka beli
secara riil menurun, selain turunnya daya beli, masyarakat juga mulai mengurangi
3. Respon Inflasi
Pada bulan pertama inflasi meningkat sebesar 0.92 persen sampai pada
bulan ke 12 keatas pengaruhnya masih positif yang mengecil dan menghilang dan
kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 14.
.008
P
e .006
r
s
e .004
n
.002
.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Inflasi
Pada awalnya dengan adanya shock kenaikan inflasi sebesar 0.92 persen
nilai tukar mengalami apresiasi nilai tukar sebesar 4.86 persen dan peningkatanya
sebesar 0.058 persen pada bulan kedua. pada bulan ketiga pengaruhnya positif
yaitu depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 0.10 persen sedangkan inflasi
kembali apresiasi sebesar 0.018 persen pada bulan 5 nilai tukar mengalami
103
depresiasi sebesar 0.011 persen. Begitu juga pada bulan 6 nilai tukar mengalami
apresiasi kembali dan bulan 7 sampai 12 nilai tukar terus mengalami depresiasi
Terjadinya apresiasi nilai tukar maupun derpesiasi nilai tukar ini disebabkan
karena terjadinya permintaan dan penawaran valuta asing dalam pasar uang, Hal
.001
.000
P
e -.001
r
s
-.002
e
n
-.003
-.004
Bulan
-.005
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pada saat awal terjadinya shock terhadap tingkat inflasi sebesar 0.92
persen uang beredar mengalami penurunan sebesar 0.027 persen dan bulan kedua
sebesar 0.090 persen. Sedangkan pada bulan ke tiga uang beredar meningkat
sebesar 0.015 persen hal ini disebabkan karena uang yang dipegang masyarakat
bertambah sehingga terjadi inflasi sebesar 0.015 persen, pada bulan ke empat dan
ke enam uang beredar turun mengecil dan menghilang sementara bulan 7 sampai
bulan ke 12 jumlah uang beredar tinggi berpengaruh positif yang mengecil dan
.0000
P
e -.0002
r
s
e -.0004
n
-.0006
-.0008
Bulan
-.0010
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pada bulan pertama dengan adanya shock inflasi sebesar 0.92 persen suku
bunga SBI meningkat sebesar 20.49 persen, hal ini juga terjadi sepanjang bulan
kedua sampai bulan ke 12 yang menjelaskan tingkat inflasi dan sukubunga SBI
berpengaruh positif yang akhirnya mengecil dan kembali pada titik keseimbangan
harga. oleh karena itu dengan adanya kenaikan inflasi ini otoritas moneter
daripada membeli produk. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 17.
105
.20
P .16
e
r .12
s
e
n .08
.04
.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Sukubunga S BI
mengetahui seberapa besar pengaruh fluktuasi nilai tukar dan Inflasi di Indonesia
secara bulanan, akan dapat diketahui variabel apa saja yang menyebabkan
terjadinya sebuah shock diantara variabel – variabel yang ada dalam model.
dan pengaruh antar variabel yang terkait dalam sebuah model, dengan membuat
simulasi seandainya ada shock dalam nilai tukar rupiah dan inflasi, akan diketahui
sebagai berikut :
106
dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu mencapai 98.23
persen. Kontribusi dari variabel lain mulai berperan pada bulan ketiga dimana
kontribusi uang beredar dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah hanya
sebesar 2.34 persen, sukubunga dunia sebesar 1.01 persen, inflasi sebesar 0.88
persen, industrial production index sebesar 0.24 persen, dan sukubunga SBI
Pada bulan ke-50 pengaruh guncangan nilai tukar rupiah terhadap dirinya
semakin menurun menurut waktu, namun masih sangat tinggi, yaitu sebesar 95.49
meningkat tetapi tidak sebesar kontribusi nilai tukar rupiah. Artinya, dalam sistem
dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah, hal ini mencerminkan bahwa nilai
tukar rupiah cenderung bersifat eksogen. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 18.
107
100%
80% DSBI
DLM2
60% DLER
40% DLCPI
DLIPI
20% SBW
0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
2. Inflasi
Dari Tabel 12. dibawah terlihat bahwa, forecast error variance dari
berikut:
fluktuasi inflasi sendiri sebesar 80.16 persen, sukubunga SBI sebesar 7.57 persen,
uang beredar sebesar 6.42 persen, nilai tukar rupiah sebesar 2.22 persen,
industrial production index sebesar 2.79 persen, suku bunga dunia sebesar 0.83
menurun menurut waktu, namun masih sangat besar yaitu sebesar 75.15 persen;
tetapi tidak terlalu besar kecuali sukubunga SBI yang memberikan kontribusi
terhadap fluktuasi inflasi sebesar hampir 10 persen. Artinya sukubunga SBI cukup
(kontraksi moneter) dengan kata lain hasil ini menunjukkan bahwa bank Indonesia
sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran akhir. Hal
100%
80% DSBI
DLM2
60%
DLER
40% DLCPI
20% DLIPI
DSBW
0%
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (pasal 7) amanat ini
pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian ”single
objective”-nya
Kestabilan nilai rupiah dapat diukur dari nilai rupiah terhadap barang di
dalam negeri tercermin dari tingkat inflasi sementara kestabilan nilai rupiah
terhadap barang luar negeri tercermin dari nilai tukar rupiah (kurs) terhadap mata
uang negaral lain, Pencapaian stabilitas harga sangat tergantung pada kemampuan
Sementara itu, perkembangan nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar sesuai
menunjukkan penurunan, akan tetapi masih tetap berada pada tingkat yang relatif
tinggi. Oleh karena, itu bank sentral harus terus memantau inflasi khususnya yang
pembentukan inflasi dari index harga konsumen (IHK) dalam jangka pendek
bukan hanya merupakan fenomena moneter, tetapi juga dibentuk oleh fenomena
dari sisi penawaran, maka bank sentral perlu memantau inflasi secara cermat
sukubunga SBI sehingga tingkat inflasi dapat ditekan. Sebaliknya, jika inflasi
misalnya kenaikan harga makanan karena musim kering, maka kebijakan uang
ketat (tight money policy) justru dapat memperburuk tingkat harga dan
pertumbuhan ekonomi. Respon yang dapat dilakukan oleh bank sentral adalah
kategori negative watch, dengan pulihnya kepercayaan, nilai tukar akan menguat
karena sentimen pasar positif dan terjadi capital inflow sehingga rupiah menguat
jangka pendek di bank sentral selama satu tahun dengan persentase tertentu tanpa
arbitrase dan tidak bermanfaat bagi perekonomian. Kebijakan seperti itu bahkan
dapat mendorong peningkatan arus modal yang berjangka panjang, yang lebih
secara ketat dengan melihat faktor penyebab pergerakan nilai tukar, jika depresiasi
nilai tukar rupiah disebabkan oleh arus modal keluar. maka kebijakan moneter
yang lebih ketat dapat mencegah kenaikan inflasi akibat depresiasi. Namun jika
masih menghendaki adanya kebijakan moneter yang ketat. Hal ini dilakukan Bank
sentral dalam kebijakan ”harga” dana yaitu suku bunga tinggi dan kebijakan
tersebut akan dapat dipantau dari beberapa indikator, yaitu mulai stabilnya atau
bahkan sedikit menguat nilai rupiah serta mulai masuknya dana-dana dari luar
negeri terutama yang ditanamkan dalam SBI. Jika ini maka SBI yang sudah
sasaran laju inflasi dan besaran moneter serta langkah-langkah untuk mencapainya
7.1. Simpulan
production index, inflasi, uang beredar dan suku bunga SBI, tidak melakukan
analisis baik secara langsung maupun tidak langsung atas faktor-faktor tersebut.
terhadap nilai tukar rupiah dimana dengan adanya guncangan nilai tukar rupiah
makroekonomi lainya.
Terkait dengan depresiasi dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon
uang beredar terjadi karena simpanan dalam nominasi mata uang dolar juga
termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar (M2) sehingga depresiasi nilai
tukar rupiah secara otomatis meningkatkan jumlah uang beredar yang akan
mengarahkan pada terjadinya kenaikan tingkat harga yang membuat daya beli
penurunan, oleh karena itu untuk menyeimbangi besarnya laju depresiasi yang
index.
bahwa nilai tukar rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap
dirinya sendiri, yaitu mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan
ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti
dengan sukubunga SBI memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini
sulit untuk dapat dikendalikan secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif
targetting dimana SBI digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi,
7. 2. Implikasi Kebijakan
kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga SBI. Dengan demikian,
selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat menciptakan
terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal keluar
(capital outflow).
Apabila laju inflasi masih tinggi. hal ini membuktikan bahwa tidak mudah
suku bunga SBI, sebenarnya dapat digunakan menurunkan harga dan stabil, tetapi
intrume n suku bunga saja tidak cukup, perlu waktu lama untuk mempengaruhi
harga, hal ini mengingat besarnya efek guncangan eksternal terhadap harga –
tinggi atas produk luar negeri terutama bahan baku impor. Hal ini membuktikan
bahwa orang awam sering lebih suka menyimpan barang ketimbang uang.
tegas upaya komitmen atas pencapaian target single objectivenya. apakah target
nilai tukar, target inflasi, target moneter (uang beredar) atau kombinasi diantara
kestabilan harga dengan pertumbuhan yang kondusif maka Bank Indonesia dilihat
beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank sentral. Sasaran –
pembayaran, dan kurs, oleh karena itu seharusnya bank sentral tidak
115
inflasi.
secara akurat sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai.
kerjasama dan koordinasi yang baik semakin terus ditingkatkan antara otoritas
fiskal dan moneter yaitu pemerintah dan bank Indonesia supaya kebijakan
7.3. Saran
lainnya seperti nilai tukar mata uang negara lain, atau faktor non ekonomi
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, A.S. 2001. Free Floating Exchange Rate System Dan Penerapannya
Pada Kebijaksanaan Ekonomi di Negara Yang Berperekonomian Kecil
dan Terbuka. Jurnal Akuntasi dan Keuangan, 3 (5): 18-29.
Baillie, R. and P. Mc Mahon. 1989. The Foreign Exchange Market Theory and
Econometric Evidence. Cambridge University Press, London.
Cahyono, J.E. 2000. Menjadi Manajer Investasi Bagi Diri Sendiri. Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
118
Frangkel, J.A. and H.G. Johnson. 1976. The Monetary Approach to The Balance
of Payment. Allan & Unwin, London.
Goeltom, M.S. dan D. Zulverdi. 1998. Manjemen Nilai Tukar di Indonesia dan
Permasalahanya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1 (2): 69-91.
Holod, D. 2000. The Relationship Between Price Level, Money Supply and
Exchange Rate in Ukraine. National University of Kiev- Mohyla
Academy, Warsaw.
Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets.
Sixth Edition. Columbia University, New York.
Rato, R. 2005. Integrasi Asia dan IMF. [Sarwono Net][21 September 2005].
http://aeansummit.bernama.com/newslistbm.php?cat=ase&page=14.
Seddighi, H.R., K.A. Lawler and A.V. Katos. 2000. Econometrics: A Practical
Approach. Rouledge, London and NewYork.
Siregar, H. and B.D. Ward. 2002. Can Monetary Policy/ Shocks Stabilize
Indonesian Macroeconomic Fluctuations? Monetary and Financial
Management in Asia in The 21 Century. Management University
Research Center, Singapore.
Siswanto, B., Y. Kurniati, G.B. Padoli dan S.H. Binhadi. 2001. Mekanisme
Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar. Occassional
Paper. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia,
Jakarta.
120
Tucker, A. L., J. Madura and T.C. Chiang. 1991. International Financial Markets.
West Publishing Company, New York.
Winata, C. 2006. Pentargetan Inflasi, Stabilitas Nilai Tukar Rupiah dan Fluktuasi
Output di Indonesia : Pendekatan Model DSGE (Dynamic Stochastic
General Equilibrium). Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 4. Lanjutan
Lampiran 4. Lanjutan
Lampiran 5. Lanjutan
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
Exogenous variables: C
Date: 05/29/07 Time: 23:52
Sample: 1999:01 2006:12
Included observations: 88
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 738.6510 NA 2.36E-15 -16.65116 -16.48225* -16.58311
1 799.1764 111.4218 1.36E-15* -17.20856* -16.02619 -16.73221*
2 825.8144 45.40553 1.70E-15 -16.99578 -14.79996 -16.11114
3 860.1311 53.81492 1.81E-15 -16.95753 -13.74825 -15.66459
4 889.2988 41.76277 2.24E-15 -16.80224 -12.57951 -15.10101
5 917.1936 36.13645 2.95E-15 -16.61804 -11.38185 -14.50851
6 965.6559 56.17230* 2.57E-15 -16.90127 -10.65163 -14.38345
7 993.5264 28.50388 3.83E-15 -16.71651 -9.453408 -13.79039
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Note: Untuk mengetahui jumlah lag optimal yang akan digunakan dalam variabel
yang akan dianalisis. Jumlah lagnya yang optimal dalam penelitian ini didasarkan
pada nilai akaike information criteria (AIC) yang terkecil atau minimum yaitu
di lag 1.
Lampiran 5. Lanjutan
Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
-1.5
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Var Estimasi
Estimation Proc:
===============================
LS 1 1 DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI @ C
VAR Model:
===============================
DSBW = C(1,1)*DSBW(-1) + C(1,2)*DLIPI(-1) + C(1,3)*DLCPI(-1) + C(1,4)*DLER(-1) +
C(1,5)*DLM2(-1) + C(1,6)*DSBI(-1) + C(1,7)
Lampiran 6. Lanjutan
Lampiran 7. Lanjutan
Keterangan :
Hipotesis nol pada kedua baris tidak memiliki pengaruh antar variabel, maka
gunakan Probability value < alpha (10%) = gunakan restriksi terketat 10% untuk
menolak hipotesis nol sehingga memiliki hubungan kausalitas searah antar
variabel. dimana pergerakan variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh
pada pergerakan variabel lain