Anda di halaman 1dari 155

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI

INDONESIA PERIODE 1999 - 2006

MUHAMMAD ILHAM RIYADH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ABSTRAK

MUHAMMAD ILHAM RIYADH. Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan


Inflasi Indonesia Periode 1999 – 2006 (RINA OKTAVIANI, sebagai ketua,
HERMANTO SIREGAR, sebagai anggota Komisi Pembimbing).

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan rupiah
terdepresiasi secara tajam terhadap dollar Amerika. Nilai rupiah yang sebelum krisis
berada pada kisaran Rp. 2500/US dollar menurun drastis hingga pernah mencapai
Rp. 15000/US dollar dan saat ini bekisar 9300/US dollar. Keadaan ini menyebabkan
otoritas moneter lebih mengefektifkan kebijakan moneter dalam menstabilkan nilai
tukar rupiah dan meredam tingkat pertumbuhan inflasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon variabel Industrial
Production Index (IPI), uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock
terhadap variabel nilai tukar dan inflasi. Menganalisis apakah IPI, tingkat inflasi,
uang beredar dan perbedaan sukubunga dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar
rupiah dan inflasi dan merumuskan implikasi kebijakan moneter dalam menstabilkan
nilai tukar rupiah dan inflasi.
Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa depresiasi
dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon dengan meningkatnya jumlah uang
beredar, kenaikan tingkat harga, penurunan industrial production index. Oleh karena
itu, untuk menyeimbangkan besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral
seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI
sehingga mendorong terjadinya capital inflow yang pada akhirnya dapat
menstabilkan nilai tukar rupiah. Sedangkan Guncangan harga akan direspon oleh
bank sentral, dengan menaikan sukubunga SBI sehingga terjadi penurunan jumlah
uang beredar, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi dan menurunnya industrial
production index.
Hasil forecast error variance decomposition menunjukkan bahwa nilai tukar
rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu
mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan ditentukan oleh shock
terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti dengan Sukubunga SBI
memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai
tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga sulit untuk dapat dikendalikan
secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif memungkinkan dikendalikan melalui
guncangan sukubunga SBI.
Implikasi kebijakannya adalah berdasarkan hasil analisis Impulse Response
Functions dan Forecast Error Variance Decomposition, instrumen kebijakan
moneter untuk pencapaian kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga
SBI. Dengan demikian, dalam rangka pencapaian target inflasi, Bank Indonesia dapat
melaksanakannya dengan instrumen sukubunga SBI sebagaimana yang memang
telah digunakan selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat
menciptakan stabilitas fundamental ekonomi, terutama mengurangi kesenjangan
permintaan dan penawaran valuta asing, sekaligus menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal
keluar (capital outflow).
Keyword : Monetary Policy, Rupiah Exchange Rate, Inflation Rate, Industrial
Production Index, Vector Autoregressive.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis

saya yang berjudul :

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI

INDONESIA PERIODE 1999-2006

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan

para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis

ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan

secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya.

Bogor, September 2007

MUHAMMAD ILHAM RIYADH


Nrp. A 151040111
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI
INDONESIA PERIODE 1999 - 2006

MUHAMMAD ILHAM RIYADH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Judul Tesis : Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Dan
Inflasi Indonesia Periode 1999 - 2006

Nama Mahasiswa : Muhammad Ilham Riyadh

Nomor Pokok : A. 151040111

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec


Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS

Tanggal Ujian : 14 September 2007 Tanggal Lulus :


Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim MEc.
RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir tanggal 05 Pebruari 1979 di Medan, Sumatera Utara. Penulis

merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Kamalluddin M Noer

dan Hanifah. Pada tahun 1991 Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya pada

SDN 060884, di Medan, dan tiga tahun kemudian menamatkan sekolah lanjutan

pertamanya pada SMPN 6 Medan. Pada tahun 1997, Penulis lulus dari SMU

SWASTA KARTIKA I-1 di Medan dan pada tahun yang sama diterima sebagai

mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di

Medan. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 2001 pada program studi

Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa

pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Selama kuliah program magister, penulis memperoleh dana bantuan

penelitian dari Bank Indonesia dan pada tahun 2004, penulis bekerja sebagai dosen

tetap Yayasan di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas

Islam Sumatera Utara, Medan hingga sekarang.


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul

”Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Indonesia Periode 1999-2006.

Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam penulisan Tesis Program

Magister (S2) di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor.

Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan

dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis me ngucapkan terima kasih dan

rasa hormat yang mendalam terutama kepada Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku

ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc selaku anggota

komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang

sangat konstruktif bagi penyempurnaan tulisan ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc, sebagai dosen penguji luar komisi

pada ujian tesis, selalu menekankan kelayakan sebuah tesis. Terima kasih atas

segala saran dan kritikan yang diberikan.

2. Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, beserta jajarannya yang telah

mempermudah dalam kelancaran urusan akademik.

3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staf yang telah

memberikan berbagai kemudahan selama mengikuti kegiatan akademis.

4. Bapak/Ibu staf pengajar pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah

mengajarkan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat.


5. Pimpinan dan staf Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Pusat

Penelitian dan Studi Kebanksentralan (PPSK), dan Perpustakaan Bank Indonesia,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bahan-

bahan (literatur) dan memberikan data yang penulis perlukan serta bantuan dana

penelitian untuk dapat menyelesaikan tesis pada studi program Magister Sains.

6. Sahabat-sahabatku yang sangat baik terutama Iwan Hermawan, Mbak Herny

Kartika Wati, Aristo Edward P, Ria Kusumaningrum, Mbak Handayani Boa, Adi

Hadiyanto, Mas Yuhka Sundaya, Enny (TPP), Wiwin (STK), Budi Darmansyah

(TIP) dan David Talumewo yang telah memberi masukan, kritikan, semangat dan

bantuan serta wawasan yang luas terhadap penyelesaian penyusunan tesis ini.

7. Ayahnda Kamalluddin M.Noer/ Ibunda Hanifah, kakaknda Devy Kemala Sari

ST, dan adik-adiku dr.Rahmat Ghazali, Sked dan Sri Rezekika, Ssi yang telah

memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus ikhlas

sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

8. Rekan – rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, Khususnya rekan-rekan EPN yang

telah memberikan dukungan dan motivasinya.

Besar harapan penulis agar berbagai pemikiran yang tertuang dalam tesis ini

dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam menyikapi

berbagai fenomena moneter di Indonesia. Penulis menyadari, sebagai bagian dari

suatu proses tentunya dalam tesis ini masih ditemui berbagai kekurangan.

Bogor, September 2007

Muhammad Ilham Riyadh


DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ..................................................................... ........... iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................... ........... iv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................. ........... vi

I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1


1.2. Perumusan Masalah ................................................................ 8
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 11
1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................... 11
1.5. Batasan Penelitian .................................................................. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 14

2.1. Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar ........................... 14


2.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas ................................ 15
2.3. Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia ................ 18
2.4. Pendekatan Moneter ................................................................ 20
2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang ................................ 20
2.4.2. Paritas Daya Beli .......................................................... 21
2.4.2.1. Hukum Satu Harga ........................................ 21
2.4.2.2. Purchasing Power Parity .............................. 21
2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga ............................................ 24
2.4.4. Ekspektasi Rasional ................................................... 27
2.5. Kebijakan Moneter .................................................................. 29
2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter .................. 29
2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter ..................................... 30
2.5.3. Sasaran Operasional .................................................... 33
2.5.4. Sasaran Antara ............................................................. 35
2.5.5. Sasaran Akhir ............................................................... 36
2.6. Hasil Penelitian Terdahulu ....................................................... 37
III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 46

3.1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ................................ 46


3.2. Pasar Uang ................................................................................. 47
3.3. Hipotesis Penelitian .................................................................... 53

IV. METODE PENELITIAN ................................................................... 56

4.1. Data ............................................................................................ 56


4.1.1. Sumber Data ................................................................... 56
4.1.2. Jenis Data ....................................................................... 56
4.1.3. Sampel Data ................................................................... 56
4.1. Metode Analisis ......................................................................... 57
4.2.1. Uji Stasioneritas Data ..................................................... 59
4.2.2. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive .. 61
4.2.3. Uji Unit Root ................................................................... 61
4.3. Analisis Vector Autoregressive ................................................... 66
4.4. Granger Causality Test ............................................................... 70
4.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error
Variance Decomposition ............................................................ 71
4.5.1. Impulse Response Function ........................................... 71
4.5.2. Forecast Error Variance Decomposition ...................... 72

V. PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN


MAKROEKONOMI INDONESIA .................................................... 74

5.1. Awal Krisis Asia ........................................................................ 74


5.2. Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia ...................................... 77
5.3. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia .............................. 78
5.4. Gambaran Perkembangan Makroekonomi Indonesia ................. 80

VI. PENGUJIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN ..................... 86

6.1. Uji Sifat Time Series Data ......................................................... 86


6.2. Kestasioneran Data ..................................................................... 86
6.3. Pengujian Lag Optimum ............................................................. 88
6.4. Uji Kausalitas Granger ................................................................ 90
6.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error
Variance Decomposition ............................................................. 91
6.5.1. Impulse Response Function............................................. 92
6.5.1.1. Respon Variabel Makroekonomi Terhadap
Nilai Tukar Rupiah .......................................... 92

6.5.1.2. Respon Variabel Makroekonomi Terhadap


Inflasi................................................................ 99
6.5.2. Forecast Error Variance Decomposition........................ 105
6.6. Rumusan Implikasi Kebijakan Terhadap Nilai Tukar Rupiah
dan Inflasi .......................................................................... 108

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................. 112

7.1. Simpulan .......................................................................... 112


7.2. Implikasi Kebijakan ................................................................... 113
7.3. Saran .......................................................................... 115

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 117

LAMPIRAN .......................................................................... 121


DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter .......... 33

2. Variabel, Indikator dan Satuan Data ................................................ 57

3. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 ............................................ 76

4. Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia .................................. 81

5. Uji Akar Unit Level ........................................................................... 87

6. Uji Akar Unit First Different ............................................................ 88

7. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive .................... 88

8. Granger Causality Test ..................................................................... 90

9. Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation


Nilai Tukar Rupiah (DLER) Innovation ........................................... 93

10. Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation


Inflasi (DLCPI) Innovation ............................................................... 100

11 . Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar


Rupiah ............................................................................................. 106

12. Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Tingkat Inflasi ...... 107

DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman

1. Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember


Tahun 2006 ....................................................................................... 5

2. Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari Tahun 1999 –


Desember Tahun 1999 ...................................................................... 7

3. Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel .................................... 28

4. Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky .......................................... 29

5. Skema Kerangka Pemikiran .............................................................. 52

6. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah ............... 94

7. Respon Industrial Production Index Terhadap Nilai Tukar


Rupiah ............................................................................................. 95

8. Respon Inflasi Terhadap Nilai Tukar Rupiah .................................. 96

9. Respon Nilai Tukar Rupiah .............................................................. 97

10. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah .......... 98

11. Respon Sukubunga SBI Terhadap Nilai Tukar Rupiah ................... 99

12. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Inflasi...................................... 100

13. Respon Industrial Production Index Terhadap Tingkat Inflasi ..... 101

14. Respon Inflasi .................................................................................. 102

15. Respon Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi................................... 103

16. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi ................. 104

17. Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Tingkat


Inflasi ............................................................................................... 105

18. Dekomposisi Variasi Nilai Tukar Rupiah ........................................ 107

19. Dekomposisi Variasi Tingkat Inflasi ................................................ 108


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Asli yang telah di Logaritma .................................................... 121

2. Data First Difference......................................................................... 123

4. Uji Stasioner Pada Level .................................................................. 127

5. Hasil Vector Autoregressive Pada Tingkat Lag Optimal ................. 131

6. Analisis Impulse Respon Function.................................................... 135

7. Forecast Error Variance Decomposition.......................................... 137

8. Granger Causality Test ..................................................................... 139


1

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah

diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada

tanggal 14 Agustus 1998 telah membawa dampak dalam perkembangan

perekonomian nasional baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Depresiasi

nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menjadi sangat besar pada awal

penerapan sistem tersebut. Hal ini membuat meningkatnya derajat ketidakpastian

pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia. Banyak faktor, baik yang bersifat

non ekonomi maupun ekonomi, yang diduga menjadi penyebab dari

bergejolaknya nilai tukar tersebut.

Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar Amerika

merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian

Indonesia, karena dampaknya yang luas terhadap makroekonomi agregat, seperti

pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan

tingkat inflasi, oleh karena itu pergerakan nilai tukar selalu menjadi perhatian

serius oleh otoritas moneter untuk selalu memantau dan mengendalikannya. Oleh

karena itu untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, bank sentral

sebagai otoritas moneter merasa perlu untuk melaksanakan stabilisasi agar dapat

memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan

kemantapan bagi pengendalian perekonomian secara makro (Samiun, 1998).

Dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi dibidang moneter,

dan sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana

telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah
2

mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini

memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam

pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single

objective-nya.

Menurut Haryono (2000), Kestabilan nilai rupiah tersebut mencakup

pengertian; (1) kestabilan secara internal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap

harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi, dan (2)

kestabilan secara eksternal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang

negara lain yang diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata

uang negara lain tersebut. Karenanya undang-undang tersebut mengamanatkan

bahwa pengendalian inflasi dan nilai tukar harus dilakukan sebagai suatu paket

kebijakan.

Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang

terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu

tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam

hal ini, Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan

inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi

penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dan lain-lain)

sepenuhnya berada diluar pengendalian Bank Indonesia.

Namun demikian, pencapaian laju inflasi yang rendah dan stabil melalui

kebijakan mo neter bukanlah hal yang sederhana. Adanya ketidakpastian yang

tinggi mengenai jenis dan besarnya shock yang dihadapi dimasa mendatang, serta

ketidakpastian mengenai mekanisme transmisi dan parameter yang

membentuknya menjadi permasalah utama dalam perumusan kebijakan moneter.


3

Memahami kebijakan moneter merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting

karena kebijakan moneter tersebut mempengaruhi variabel – variabel nominal

seperti jumlah uang beredar, suku bunga, nilai tukar dan output yang kesemuanya

itu kemudian mempengaruhi inflasi dan tingkat aktivitas perekonomian. Semakin

besar pengaruh suatu variabel moneter terhadap perilaku perekonomian secara

runtun waktu, maka kebijakan moneter akan semakin efektif.

Dengan telah ditentukan tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan

memelihara kestabilan harga, maka proses selanjutnya adalah menentukan sasaran

antara, apakah menggunakan aggregat moneter ataukah tingkat suku bunga.

Kebutuhan akan variabel sasaran antara semakin meningkat, karena instrumen dan

sasaran akhir dari suatu kebijakan mo neter tidak memiliki hubungan secara

langsung. Hal ini berarti bahwa otoritas moneter tidak memiliki kemampuan

langsung untuk mengontrol pencapaian sasaran kebijakan moneter oleh karena itu

muncul kebutuhan akan adanya variabel sasaran antara yang memadai untuk

melakukan berbagai kebijakan moneter.

Sasaran operasional sebaiknya memiliki pengaruh yang lebih dapat

diprediksi terhadap sasaran antara yang dipilih. Apabila sasaran antara yang

dipilih adalah tingkat suku bunga, maka sasaran operasional yang lebih tepat

adalah variabel tingkat suku bunga seperti bunga overnight. Hal tersebut karena

suku bunga memiliki ikatan yang sangat kuat antara suku bunga dengan suku

bunga lainnya. Sebaliknya apabila sasaran antara yang dipilih adalah aggregat

moneter. Maka besaran moneter merupakan sasaran operasi yang tepat. Dengan

demikian terdapat beberapa variabel yang dapat dijadikan sebagai besaran antara

kebijakan moneter seperti uang beredar, kredit domestik, pendapatan nominal,

tingkat inflasi, nilai tukar dan suku bunga. Berkaitan dengan pemilihan sasaran
4

antara, terdapat suatu fitur utama dari strategi kebijakan moneter yakni nominal

anchor. Nominal anchor adalah suatu variabel nominal yang dipergunakan oleh

pembuat kebijakan sebagai sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir.

Pada tahun 1999 hingga sekarang, Bank Indonesia mulai menentapkan

suatu kerangka Inflation targetting di Indonesia. Inflation targetting adalah

kebijakan moneter dengan menjadikan inflasi sebagai sasaran tunggal atau sasaran

akhir. Maksud dari Inflation targetting adalah bahwa Bank Indonesia mempunyai

tujuan tunggal yaitu mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil sehingga

diharapkan dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Disisi lain, framework inflation targetting yang bersifat forward looking,

mensyaratkan kemampuan bank sentral untuk memprediksi perkembangan inflasi

kedepan. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi dan analisis terhadap sejumlah

indikator yang paling dominan (the best indicator) mempengaruhi tingkat inflasi

kedepan. Berdasarkan hasil studi Yuda Agung (2002), nilai tukar merupakan the

best indicator. Nilai tukar memberikan efek langsung terhadap inflasi oleh karena

itu volatilitas nilai tukar merupakan salah satu tantangan utama bagi Indonesia

yang menjalankan kebijakan inflation targetting.

Tingkat inflasi yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap

perekonomian nasional diantaranya dapat menurunkan daya beli masyarakat

berpendapatan tetap dan rendah, dapat menurunkan gairah investor untuk

berinvestasi, dapat menimbulkan alokasi sumber daya yang tidak efisien dan lain

sebagainya. Inflasi ini tidak hanya berasal dari faktor dalam negeri (internal

pressure) namun juga faktor luar negeri (external pressure), faktor eksternal dapat

bersumber dari kenaikan harga-harga komoditi diluar negeri (world price)


5

maupun dari fluktuasi nilai tukar misalnya dengan adanya depresiasi rupiah akan

mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal didalam negeri.

Perkembangan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir terutama

setelah terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997 di tandai dengan terjadinya

depresiasi rupiah yang sangat besar sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Dari

gambar dibawah terlihat bahwa nilai tukar Indonesia sejak pertengah tahun 1997

diwarnai dengan gejolak yang sangat tajam dan disertai dengan tekanan depresiasi

yang sangat kuat. Menyebarnya pengaruh krisis nilai tukar di Thailand ke negara-

negara ASEAN lainnya termasuk Indonesia menyebabkan merosotnya

kepercayaan asing terhadap Indonesia sehingga terjadi pelarian modal ke luar

negeri. Akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek

perekonomian Indonesia.

16000
Rp/Dollar US
14000

12000

10000

8000

6000

4000

2000
Tahun
0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Sumber : Bank Indonesia 2006

Exchange Rate

Gambar 1. Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember


Tahun 2006
6

Selain itu memburuknya kondisi fundamental ekonomi dalam negeri dan

munculnya krisis kepercayaan terhadap perbankan juga menjadi pemicu utama

merosotnya rupiah hingga menembus batas atas kisaran intervensi Bank Indonesia

yang menyebabkan semakin maraknya kegiatan spekulatif, semakin kuatnya

tekanan terhadap rupiah menyebabkan pemerintah memutuskan untuk mengubah

sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem

mengambang bebas.

Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah terlihat

semakin bergejolak hingga me ncapai titik terendah Rp. 15 000 per US$ pada

bulan Juni 1998, Meskipun kemudian mulai bergerak menguat kembali karena

adanya bantuan finansial dari International Monetary Fund dan lembaga

internasional lain serta mulai membaiknya kondisi makro ekonomi, namun

kondisinya masih sangat rawan terhadap berbagai sentimen negatif dipasar.

Pada tahun 1999 Indonesia melakukan Pemilihan Umum. Gejolak nilai

tukar selama periode tersebut cenderung apresiatif. Nilai tukar rupiah dari Januari

sebesar Rp 8 000/US$ menguat terus hingga mencapai Rp 6 500/US$. Setelah itu

nilai tukar mengalami depresiasi yang cukup besar pada akhir tahun 1999 hingga

tahun 2000. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang tajam mempunyai dampak yang luas

terhadap kondisi perekonomian. Hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan

moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia mengingat dampak pergerakan nilai

tukar terhadap inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung (direct and

indirect pass-through effect).

Secara implisit undang-undang memerintahkan agar Bank Indonesia

melalui kebijakan moneternya mengusahakan pencapaian sasaran inflasi yang

rendah dan stabil. Selaras dengan tujuan tersebut, maka stabilisasi inflasi dalam
7

jangka panjang merupakan agenda utama yang perlu diupayakan secara sungguh-

sungguh oleh Bank Indonesia hal tersebut bertolak dari argumen bahwa inflasi

yang tinggi dan tidak stabil akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh

perekonomian. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.

150
index
140

130

120

110

100

90

80
Tahun
70
99 00 01 02 03 04 05 06
Sumber : Bank Indonesia 2006
CPI

Gambar 2. Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari


Tahun 1999 - Desember Tahun 2006

Framework inflation tergetting yang diterapkan, masih menggunakan

besaran moneter sebagai sasaran antara, dalam praktek, sasaran inflasi yang

diumumkan tersebut digunakan untuk menghitung target uang primer dengan

menggunakan quantity theory of money (MV=PY) secara spesifik implementasi

kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan dengan menetapkan sasaran

operasional, yaitu uang primer dan mengendalikan jumlah uang beredar (M1 dan

M2) sebagai sasaran antara. Langkah selanjutnya adalah mengamati

perkembangan indikator-indikator yang memberikan tekanan terhadap tingkat

harga dan nilai tukar rupiah melalui piranti instrumen moneter seperti operasi
8

pasar terbuka (OPT) penentuan tingkat diskonto dan penetapan Giro Wajib

Minimum bagi perbankan (Haryono, 2000).

Berkaitan dengan penawaran uang, otoritas moneter melalui instrumen

kebijakan moneter mempunyai kekuasaan dalam mengendalikan jumlah uang

beredar, kebijakan moneter yang ekspansif, menyebabkan tingkat inflasi domestik

meningkat dan jumlah uang beredar meningkat, selanjutnya nilai tukar rupiah

mengalami penurunan sedangkan berkaitan dengan permintaan uang pendapatan

dan tingkat bunga merupakan faktor yang mempengaruhui nilai tukar. Aktivitas

ekonomi domestik yang meningkat dapat menyebabkan permintaan uang

domestik meningkat dan selanjutnya rupiah menguat sementara kenaikan dalam

tingkat bunga menyebabkan jumlah uang beredar menurun dan selanjutnya tingkat

inflasi domestik menurun.

Studi dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai tukar dan inflasi

selama periode tahun 1999-2006 dimana model yang lebih tepat untuk ini adalah

menggunakan pendekatan moneter. Perubahan dalam variabel moneter

menyebabkan efek penting terhadap nilai tukar dan inflasi. Kebijakan

pengendalian terhadap pergerakan nilai tukar rupiah yang dilakukan oleh

pemerintah melalui otoritas moneter. Sejak pemerintah menetapkan penggunaan

sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).

1.2. Perumusan Masalah

Dalam perekonomian terbuka ini, memungkinkan terjadinya mobilisasi

modal yang tinggi antar negara. Persepsi investor tentang kondisi kesehatan

ekonomi suatu negara sangat berpengaruh terhadap aliran modal masuk ataupun

keluar di suatu negara. Sejak tahun 1997 Bank Indonesia menerapkan regim nilai
9

tukar mengambang sebagai pengganti regim nilai tukar terkendali (crawling peg).

Perubahan sistem nilai tukar tersebut, diikuti dengan ketidakstabilan nilai tukar

dan berakibat pada pergerakan indeks harga di dalam negeri yang tajam. Dampak

fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap laju inflasi tercermin pada perkembangan

inflasi kelompok barang yang diperdagangkan secara internasional (traded) yang

terus mengalami peningkatan seiiring depresiasi rupiah. Selain itu fluktuasi

perubahan nilai tukar (nominal dan riil), suku bunga maupun inflasi di Indonesia

kurun waktu bulan Januari 1999 sampai Desember 2000 masih sangat tinggi

dibandingkan dengan Korea, Malaysia dan Thailand. Begitu juga, dampak

depresiasi nilai tukar rupiah terhadap inflasi tahun 2001 mengalami depresiasi

sebesar 17.7 persen, index harga traded mencapai 11.73 persen (y-o-y) (Bank

Indonesia, 2002).

Menurut Winata (2006) Indonesia sebagai salah satu small open economy

masih memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibanding negara – negara

disekitarnya. Rata-rata inflasi Indonesia selama periode tahun 2000-2004 adalah

sekitar 8.08 persen. Sementara itu, pada periode yang sama tingkat inflasi rata-rata

di Malaysia, Singapura dan Thailand adalah masing-masing 1.62 persen, 1.23

persen dan 1.66 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengendalian

tingkat inflasi dan stabilitas makroekonomi merupakan tantangan bagi pemerintah

dan bank sentral.

Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa

inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi

sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan

pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari

masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin,
10

bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan

ketidakpastian (uncertainly) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan

menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan

produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga,

tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di

negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif

sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Dengan adanya tekanan pada nilai rupiah dan perubahan rezim nilai tukar

serta pelaksanaan kebijakan inflation targetting yang telah dijalani oleh Bank

Indonesia, maka menarik untuk menganalisis kebijakan moneter perihal uang

beredar, suku bunga dan nilai tukar adalah variabel yang dapat dipengaruhi oleh

instrumen kebijakan moneter dan bertindak sebagai sasaran antara sedangkan

tingkat harga atau output dipertimbangkan sebagai sasaran akhir dari kebijakan

moneter di Indonesia Oleh karena itu dalam studi ini, permasalahan yang akan

diuji adalah :

1. Bagaimanakah respon variabel industrial production index, uang beredar

dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai

tukar dan inflasi.

2. Sejauh mana variabel – variabel makro dapat menjelaskan fluktuasi nilai

tukar rupiah dan inflasi

3. Bagaimana implikasi kebijakan moneter dari hasil penelitian dalam rangka

menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.


11

I.3. Tujuan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi nilai tukar dan

inflasi di Indonesia dengan tujuan sebagai berikut :

1. Menganalisis respon variabel industrial production index, uang beredar dan

perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan

inflasi.

2. Menjelaskan secara empiris variabel-variabel makro yaitu industrial

production index, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan suku bunga

dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi di Indonesia

3. Merumuskan implikasi kebijakan moneter dari hasil-hasil analisis dalam

rangka menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.

I.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

sumbangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan studi empiris pendekatan

moneter di Indonesia. Karena jika penelitian ini menghasilkan suatu hasil

estimasi yang dapat dipercaya secara statistik dan didukung oleh teori yang tepat,

maka pendekatan moneter dapat di gunakan dalam mencapai dan memelihara

kestabilan nilai tukar dan harga.

Dengan melakukan estimasi terhadap mata uang Amerika Serikat

diharapkan kita dapat memperkirakan perubahan yang terjadi pada sektor moneter

khususnya dan indikator ekonomi makro lainnya secara keseluruhan dari negara –

tersebut.

Dengan mendapatkan hasil estimasi dari masing-masing faktor-faktor yang

mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, maka kita dapat mengetahui faktor yang
12

paling dominan dan paling signifikan dalam mempengaruhi nilai tukar. Dengan

demikian otoritas moneter dapat melakukan kebijakan yang bersifat antisipasi

lebih awal. Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian moneter dapat

diminimalkan.

1.5. Batasan Penelitian

1. Penelitian menggunakan data bulanan periode Januari 1999 – Desember

2006. Alasan utamanya dimana pada saat itu Indonesia menerapkan sistem

nilai tukar mengambang bebas.

2. Nilai tukar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal

rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yang dilihat secara bulanan

(monthly).

3. Pendapatan Nasional riil yang digunakan di Indonesia di proxy ke Industrial

Production Index dimana metode ini mengukur output dari industri-industri

suatu negara yang diukur dalam bulanan. Indikatornya adalah peningkatan

jumlah produksi dibanding periode sebelumnya yang dinyatakan dalam

index.

4. Tingkat inflasi yang digunakan Indonesia adalah Consumer Price Index

dengan tahun dasar 2002:100.

5. Suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter dalam penelitian ini

adalah suku bunga SBI jangka waktu satu bulan dalam persen, sedangkan

Amerika Serikat menggunakan US Prime 1 bulan karena pasar uang lebih

mudah dalam menangkap sinyal kebijakan moneter melalui suku bunga.

6. Data yang digunakan dalam bentuk nominal dan data yang tidak dalam

bentuk persen ditulis dalam bentuk logaritma natural.


13

7. Dalam penelitian ini tidak melihat faktor pengaruh langsung maupun tidak

langsung baik dari impor maupun ekspor.

8. Pemodelan dilakukan untuk melihat pengaruh variabel moneter terhadap

perekonomian dengan analisis Impulse Response Function (IRF) dan

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) serta uji Granger

Causality
14

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar

Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa

pertimbangan, (Goeltom dan Zulverdi, 1998) antara lain preferensi suatu negara

terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung

menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Jika suatu negara

lebih cenderung menganut ekonomi yang lebih tertutup dan mengisolasikan

gejolak keuangan dari negara lain (contagion effect) maka fixed exchange rate

merupakan prioritas utama, sementara apabila suatu negara lebih condong

terbuka, pilihan nilai tukar yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena

dengan sistem ini capital inflow dapat disterilisasi melalui sistem tersebut.

Tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijakan

ekonomi misalnya dalam hal melaksanakan kebijakan moneter yang independen

maka sistem nilai tukar fleksibel merupakan pilihan utama. Kegiatan

perekonomian suatu negara jika kegiatan suatu negara semakin besar, maka

kegiatan volume transaksi ekonomi semakin meningkat, sehingga menyebabkan

permintaan uang juga semakin bertambah. Dalam hal ini, sistem yang tepat

digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki

sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk

menjaga kredibilitas sistem nilai tukar tersebut.

Sementara itu dasar pertimbangaan pemilihan nilai tukar dalam konteks

terjadinya underlying shock pada pasar uang dan barang (LM dan IS) dalam hal

gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar dari gejolak yang

terjadi dipasar barang (IS) maka pilihannya yang lebih baik adalah floating

exchange rate, Bila kasus sebaliknya, gejolak dipasar barang (IS) relatif lebih
15

besar dari gejolak di pasar uang (LM) maka pilihannya yang lebih baik adalah

fixed exchange rate. Dalam hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan

yang terbaik adalah managed floating.

2.2. Sistem Nilai Tukar Mangambang Bebas

Sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system)

adalah sistem nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing yang nilai

tukarnya ditentukan melalui mekanisme pasar, yaitu melalui kekuatan tarik

menarik antara permintaan dan penawaran terhadap valuta asing di pasar valuta

asing pada waktu tertentu. Dengan kata lain, melalui sistem ini kecenderungan

suatu mata uang mengalami apresiasi ataupun depresiasi relatif terhadap mata

uang lainnya. Hal tersebut akan sangat tergantung pada minat pasar untuk

memegang mata uang yang bersangkutan, tanpa adanya pembatasan maupun

intervensi secara langsung dari pihak-pihak tertentu, termasuk intervensi langsung

dari pemegang otoritas moneter suatu negara. Jadi dengan sistem nilai tukar

mengambang bebas, nilai tukar mata uang terhadap mata uang lainnya akan

dibiarkan mengambang bebas, dalam arti fluktuasinya dibiarkan bebas tanpa

dibatasi atau dikendalikan secara langsung. Sama seperti sistem nilai tukar yang

lain, sistem nilai tukar mengambang bebas ini memiliki berbagai konsekuensi

yang khas, baik yang positif maupun negatif, bagi perekonomian negara yang

menerapkannya. Adapun konsekuensi positif (kelebihan) yang akan didapat oleh

perekonomian suatu negara akibat menerapkan sistem nilai tukar mengambang

bebas adalah sebagai berikut, (Sloman and Sutcliffe, 1998):

1. Terjadi koreksi otomatis terhadap ketimpangan neraca pembayaran nasional,

sehingga seringkali disebut stabilisator otomatis (automatic stabilizer).

Otoritas moneter suatu negara membiarkan kurs mata uangnya berfluktuasi


16

secara bebas menuju tingkat keseimbangannya di pasar valuta asing. Dalam

hal ini ketidakseimbangan neraca pembayaran secara otomatis terkoreksi

tanpa memerlukan kebijakan ekonomi pemerintah secara khusus.

2. Cadangan valuta asing suatu negara relatif utuh, dalam arti tidak digunakan

untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing demi stabilisasi kurs.

Karena, nilai tukar mata uang nasional secara otomatis akan segera

disesuaikan dengan tingkat nilai tukar di pasar valuta asing.

3. Relatif lebih memiliki daya lindung terhadap fluktuasi perekonomian dunia.

Negara yang menerapkan sistem ini tidak akan terikat secara langsung

terhadap suatu kemungkinan munculnya gejolak inflasi dunia yang tinggi. Hal

ini juga merupakan suatu perlindungan yang lebih luas dari goncangan dan

fluktuasi ekonomi dunia.

4. Pemerintah memiliki kebebasan (otonomi) yang lebih besar dalam

menentukan kebijaksanaan ekonomi di dalam negerinya. Artinya, pemerintah

dapat secara bebas memilih berapapun tingkat permintaan domestik yang

dikehendaki, dan dengan mudah membiarkan pergerakan nilai tukar

menyelesaikan berbagai permasalahan yang terdapat pada neraca

pembayarannya.

5. Kondisi asimetri dan ketidakadilan ala Bretton Wood dapat dihilangkan.

Setiap negara memiliki peluang dan kedudukan yang relatif sama, paling tidak

menurut hitungan teoritis, untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang nasional

terhadap mata uang – mata uang asing lainnya.

Sedangkan, beberapa konsekuensi negatif (kekurangan) yang mungkin

muncul dari penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebagai

berikut, (Krugman and Obstfeld, 2003):


17

1. Para pembuat keputusan, dalam hal ini bank sentral dan pemerintah, tidak lagi

dibebani oleh kekuatiran terhadap berkurangnya cadangan devisa untuk

mempertahankan nilai tukar, dengan demikian dapat menyebabkan

diterapkannya kebijaksanaan fiskal dan moneter yang terlalu ekspansif, yang

bisa berakibat jatuhnya negara tersebut ke dalam perangkap inflasi. Atau

dengan kata lain, dapat menyebabkan timbulnya kekurangan disiplinan

pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan ekonominya.

2. Munculnya destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan

gangguan terhadap pasar uang. Spekulasi perusak stabilitas ini cenderung

memperbesar gejolak nilai tukar mata uang dalam jangka panjang daripada

yang seharusnya terjadi sebagai akibat dari gangguan ekonomi yang tidak

terduga. Hal ini akan membawa ketidakpastian pada bidang perdagangan dan

investasi, khususnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pembayaran luar

negeri.

3. Timbulnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak terkoordinasi dengan

baik. Masing-masing negara akan lebih berpeluang untuk menerapkan

kebijaksanaan ekonomi sepihak yang menguntungkan dirinya sendiri, tanpa

menghiraukan dampak negatif kebijakan tersebut terhadap negara lainnya.

4. Timbulnya ilusi tentang otonomi yang lebih besar. Para pembuat kebijakan

ekonomi tidak dapat mengabaikan pengaruh pelaksanaan kebijakan ekonomi

terhadap kondisi nilai tukar valuta asing, dan sebaliknya. Suatu depresiasi

yang meningkatkan harga barang-barang impor akan mendorong kenaikkan

upah tenaga kerja. Hal ini akan meningkatkan harga jual komoditi, sehingga

merangsang inflasi, yang selanjutnya menyebabkan tuntutan kenaikkan upah

yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, pada akhirnya sistem nilai tukar
18

mengambang bebas dapat mempercepat reaksi harga terhadap kenaikan

penawaran uang (sistem nilai tukar mengambang bebas tidak benar-benar

memperkuat pengendalian terhadap tingkat penawaran riil uang).

Mengingat konsekuensi negatif yang mungkin terjadi, terutama dalam

menghadapi destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan gangguan

terhadap pasar uang domestik, maka wajar saja bila dalam praktek belum pernah

ada sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkan secara murni, dalam

arti benar-benar terbebas dari intervensi yang sifatnya tidak langsung dari

pemegang otoritas moneter.

2.3. Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia

Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal penting bagi

perekonomian suatu negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat

digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengisolasikan

perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global.

Sesuai dengan undang-undang No 13 tahun 1968 tentang bank sentral

salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga, dan memelihara

kestabilan nilai tukar rupiah secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah

menerapkan sistem nilai tukar yaitu, (Goeltom dan Zulverdi, 1998):

1. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rates 1970-1978)

Sesuai dengan undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut

sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp. 250/USD (sebelum

Rp. 45/USD) sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai

tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta dan dipasar

international. Pada periode ini pemerintah melakukan devaluasi sebanyak 3

kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp. 378/USD,
19

tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp. 415/USD, pada tanggal 15

November 1978 dengan kurs sebesar Rp. 625/USD.

2. Sistem Nilai tukar Mengambang Terkendali (1978-Juli 1997)

Pada sistem ini nilai tukar dilambangkan terhadap sekeranjang mata uang

(basket of currencies) negara – negara mitra dagang utama Indonesia.

Kebijakan ini diimplimentasikan bersamaan dengan dilakukan devaluasi

rupiah pada tahun 1978 sebesar 33.6 persen Dengan sistem tersebut

pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak dipasar

dengan spreed tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah,

pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas

atau batas bawah dari spreed.

3. Sistem nilai tukar mengambang bebas (14 Agustus 1997)

Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar mengalami tekanan – tekanan yang

menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD.

Tekanan tersebut berawal dari currency turnmoil yang melanda Thailand

yang dengan segera menyebar ke Indonesia dan negara ASEAN

sehubungan dengan karakteristik perekonomian yang mempunyai

kemiripan. Sejak awal bulan Juli 1997. Nilai tukar rupiah selalu berada

disekitar batas bawah rentang intervensi, walaupun pada tangga 11 Juli 1997

band intervensi telah diperlebar dari sebesar 8 persen menjadi 12 persen.

Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia antara lain dengan

melakukan intervensi baik secara spot maupun forward untuk sementara

memang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.


20

2.4. Pendekatan Moneter

2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang

Didalam pendekatan moneter diasumsikan bahwa tingkat harga secara

penuh ditentukan oleh perubahan permintaaan dan penawaran uang didalam

perekonomian, dan dinyatakan sebagai berikut :

MS
PIN = ...........................................................................................(2.1)
L (i, Y )

Atau

MS
= L(i, Y ) ........................................................................................(2.2)
P

dimana :

P = tingkat harga domestik


MS = uang beredar domestik
L = permintaan uang domestik
i = suku bunga nominal domestik
Y = pendapatan nasional riil domestik

Persamaan (2.1) menunjukkan bahwa tingkat harga itu ditentukan oleh

suku bunga, tingkat penawaran uang domestik dan tingkat output riil.

Keseimbangan tingkat harga jangka panjang adalah nilai Pd yang memenuhi

kondisi yang ditunjukkan oleh persamaan (2.1) dimana suku bunga dan output

berada pada tingkat jangka panjang yang konsisten dengan full employment. Bila

pasar uang berada pada kondisi keseimbangan, maka tingkat harga akan tetap

bertahan apabila penawaran uang, fungsi permintaan uang dan nilai – nilai jangka

panjang i dan Y tidak berubah.

Salah satu unsur prediktif yang terkandung dalam persamaan (2.1) diatas

adalah menyangkut hubungan antara tingkat harga dan tingkat penawaran uang.
21

Jika semua kondisi lainya tetap, kenaikan jumlah penawaran uang akan

mengakibatkan kenaikan tingkat harga secara proposional.

Dengan demikian persamaan (2.2) dapat menjelaskan bahwa permintaan

uang riil tidak akan meningkat sehubungan dengan kenaikan uang beredar (MS)

yang tidak mengubah suku bunga (i) dan tingkat output (Yd), apabila penawaran

uang riil juga tetap, agar penawaran uang riil (MS/P) tetap maka tingkat harga (P)

harus mengalami kenaikan secara proposional dengan kenaikan uang beredar

(MS).

2.4.2. Paritas Daya Beli

2.4.2.1.Hukum Satu Harga

Hukum satu harga (The law of one prices) menyatakan bahwa harga

produk yang sama/ identik di dua negara yang berbeda akan sama pula bila dinilai

dalam currency atau mata uang yang sama. Teori ini dikenal sebagai Purchasing

Power Parity (PPP) absolut. Misalnya harga barang di Amerika adalah Pusa harga

barang tersebut dalam rupiah dapat dituliskan P IN = P US x Rp/USD dengan

demikian nilai tukar adalah Rp/USD = P IN/P US.

2.4.2.2. Purchasing Power Parity

Teori ini dikemukakan oleh Gustav Cassel, seorang ekonom swedia, yang

memperkenalkan teori Purchasing Power Parity pada tahun 1918. Menurut

Krugman (2003) menyebutkan bahwa salah satu teori mengenai penentuan nilai

tukar adalah teori Purchasing Power Parity. Teori ini mengatakan bahwa nilai

tukar antara dua negara akan berubah sesuai dengan perubahan harga di kedua

negara. Jika misalnya, tingkat harga di suatu negara mengalami kenaikan yang

berarti, maka terjadi penurunan daya beli mata uang domestik, menurut teori ini

mata uang negara tersebut akan mengalami depresiasi. Sedangkan nilai mata uang
22

negara lain akan mengalami apresiasi, ceteris paribus. Demikian sebaliknya,

penurunan tingkat harga disuatu negara (kenaikan daya beli mata uang domestik)

akan dibarengi dengan apresiasi secara proprosional, cateris paribus. Sedangkan

nilai mata uang negara lainnya mengalami depresiasi.

Asumsi utama yang mendasari teori Purchasing Power Parity adalah

bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi,

operasional, penentuan harga, dan informasi (Tucker, et al, 1991). Secara implisit

ini berarti: (1) semua barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar

internasional (tradable goods) tanpa dikenal biaya transportasi sepersen pun, (2)

tidak ada bea masuk, kuota, ataupun hambatan lain dalam perdagangan

internasional, (3) barang luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara

sempurna untuk masing-masing barang, dan (4) adanya kesamaan indeks harga

yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing dan domestik,

terutama tahun dasar yang digunakan dan elemen indeks harga.

Oleh karena itu bila indeks harga di kedua negara identik, hukum satu

harga menjustifikasi Purchasing Power Parity (Bailie and Mac Mahon, 1990)

artinya bila produk/ jasa yang sama dapat dijual dipasar yang berbeda dan tidak

ada hambatan dalam penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk/

jasa cenderung sama di kedua pasar tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua

negara yang berbeda, harga produk/jasa tersebut biasanya dinyatakan dalam mata

uang yang berbeda, namun harga produk /jasa tetap masih sama. Perbandingan

harga hanya memerlukan satu konversi satu mata uang ke mata uang lain

misalnya.

P * x S = P ..............................................................................................(2.3)
23

Dimana P* adalah harga produk luar negeri, dikalikan kurs spot/konversi (S)

misalnya rupiah perdollar US), sama dengan harga produk dalam negeri (P)

sebaliknya, bila harga kedua produk dinyatakan dalam mata uang lokal, dan pasar

adalah efisien. Maka kurs valas dapat dinyatakan dalam harga lokal produk

tersebut;

S = P / P * ...............................................................................................(2.4)

Dimana S adalah kurs spot dollar AS per rupiah. Bila hukum satu harga berlaku

untuk segala jenis barang dan jasa, kurs Purchasing Power Parity dapat dijumpai

pada sejumlah harga. Dalam teori PPP dikenal dua versi Purchasing Power

Parity, yaitu : versi absolut dan versi relatif. Purchasing Power Parity versi

absolut mengatakan bahwa kurs valas dinyatakan dalam nilai harga di dua negara

S t = Pt / Pt * .............................................................................................(2.5)

Dimana Pt dan Pt* masing-masing adalah harga rata-rata tertimbang dari komoditi

di dua negara (tanda * menunjukkan luar negeri) dengan kata lain, Purchasing

Power Parity absolut menerangkan bahwa kurs spot ditentukan oleh harga relatif

dari sejumlah barang yang sama (ditunjukkan oleh indeks harga) misalnya,

katakanlah tingkat harga saat ini di Indonesia Rp. 110/USD sedang di AS sebesar

Rp. 105/USD. Jika kurs awal dollar adalah Rp. 2 500 maka menurut Purchasing

Power Parity, kurs rupiah yang dinilai dalam dollar AS seharusnya meningkat

menjadi Rp. 2 619 yang diperoleh dari (2 500 x 110/105), atau mengalami sebesar

4.76 persen. Dilain pihak, bila tingkat harga di AS sekarang menjadi Rp. 115

maka rupiah akan mengalami apresiasi sekitar 4.36 persen atau menjadi

Rp. 2 391 yang diperoleh dari (2 500 x 110/115) jadi dapat di simpulkan pesan

dari PPP adalah bahwa negara yang mata uangnya mengalami tingkat inflasi yang
24

tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang

dengan tingkat inflasi yang lebih rendah.

Sementara itu Purchasing Power Parity yang relatif mengatakan

persentase perubahan kurs nominal akan sama dengan perbedaan inflasi diantara

kedua negara, dinyatakan dalam konteks mendatang (ex ante terms), harapan

perubahan kurs valas sama dengan harapan perbedaan inflasi

∆S te = ∆pt − ∆pte* ....................................................................................(2.6)

Dimana ? Ste = harapan perubahan kurs spot (Set+1-St) ; ? pte = harapan perubahan

inflasi, (pet+1 - pt) notasi yang dinyatakan dalam huruf kecil berarti dinyatakan

dalam bentuk logaritma natural (misal ; S = Ln S ) tanda * diatas variabel

menunjukkan negara asing. Baik Purchasing Power Parity versi absolut maupun

relatif dapat dinyatakan dalam nilai kurs Purchasing Power Parity riil (real

exchange rate, StPPP) sebagai berikut:

S tPPP = S t Pt * / Pt .....................................................................................(2.7)

Dimana mendefenisikan kurs riil dalam nilai daya beli antara dua kelompok

konsumsi barang dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut dapat

dinyatakan sebagai StPPP =1 ; dan Purchasing Power Parity relatif dapat nyatakan

dalam = St+1 PPP = StPPP.

2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga

Teori berikutnya adalah berlakunya teori paritas suku bunga (Interest Rate

Parity), yang menyatakan bahwa pasar valuta asing berada dalam kondisi

keseimbangan apabila semua simpanan dalam berbagai valuta menawarkan

imbalan yang sama, artinya perbedaan suku bunga simpanan domestik dengan

suku bunga simpanan luar negeri sama dengan tingkat swap yaitu perbedaan
25

antara kurs dimasa mendatang dengan nilai tukar spot relatif terhadap nilai tukar

spot. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masyarakat tidak akan memperoleh

keuntungan apapun bila menginvestasi dananya diluar negeri secara matematis,

teori Interest Rate Parity dinyatakan sebagai berikut :

/ $ − S Rp / $
e
S Rp
= iIN − iUS ..........................................................................(2.8)
S Rp / $

Pada bagian kanan persamaan (2.8) menunjukkan keuntungan atau

kerugian yang diperolehkan bila menyimpan aset dalam mata uang domestik jika

suku bunga rupiah lebih tinggi daripada suku bunga dollar (iIN>iUS) berarti ada

keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset domestik. Dengan demikian

akan banyak investor berusaha untuk mengalihkan portofolio asetnya kedalam

rupiah, sehingga akan terjadi capital inflow. Adanya capital inflow nantinya akan

menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami apresiasi. Sebaliknya

apabila iIN < iUS, berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset

dalam dollar Amerika Serikat. Hal ini akan mendorong terjadinya capital outflow

sehingga rupiah nantinya mengalami depresiasi terhadap dollar Amerika Serikat.

Sedangkan bagian kiri persamaan (2.9) menunjukkan adanya resiko yang akan

ditanggung ataupun keuntungan yang akan diperoleh bila terjadi perubahan nilai

tukar. Apabila (iIN >iUS) > (SeRp/$ > SRp/$), maka akan lebih menguntungkan bila

menyimpan aset domestik, demikian pula sebaliknya.

Berdasarkan persamaan (2.8) diatas maka rate of return rupiah atas

simpanan dollar kurang lebih sama dengan suku bunga dollar Amerika Serikat

ditambah dengan tingkat depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Jika

tingkat bunga domestik diatas tingkat bunga luar negeri, maka akan terjadi

apresiasi dalam mata uang domestik atau depresiasi mata uang Amerika Serikat,
26

yang harus diimbangi dengan penurunan tingkat bunga dalam negeri. Persamaan

(2.8) selanjutnya dituliskan kembali sebagai berikut:

/ $ − S Rp / $
e
S Rp
iIN = iUS + ≡ iUS + ∆e ........................................................(2.9)
S Rp / $

dimana :

iIN = suku bunga simpanan rupiah (domestik) pertahun

iUS = suku bunga simpanan dollar (luar negeri) pertahun

SeRp/$ = perkiraan nilai tukar pada waktu yang akan datang (Forward)

SRp/$ = nilai tukar yang berlaku saat ini (Spot)

?e = ekspektasi depresiasi nilai tukar

Sedangkan penentuan nilai tukar antara rupiah dan dollar berdasarkan

pendekatan moneter dimulai dengan fungsi permintaan uang nominal dari

Indonesia (MdIN) dan Amerika Serikat (MdUS) dalam keseimbangan, jumlah uang

yang diminta sama dengan jumlah uang yang ditawarkan. Jadi MdIN=Ms US.

Kemudian persamaan (2.9) tersebut dapat kita subtitusikan kedalam persamaan

money market equilibrium (2.10) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :

M INS
PIN = ..........................................................................(2.10)
L (iUS + ∆e, YIN )

S
M US
PUS = ...................................................................................(2.11)
L(iUS , YUS )

Selanjutnya menurut teori Purchasing Power Parity pada persamaan (2.5) maka

persamaan nilai tukar dapat diturunkan sebagai berikut :

M INS L(iUS , YUS )


S Rp / $ = ..................................................................(2.12)
S
M US (iUS + ∆e , YIN )

Didalam keseimbangan jangka panjang ?e =0, dimana nilai tukar diharapkan

tidak lagi berubah, tetapi dalam jangka pendek ?e ? 0, sehingga memungkinkan


27

untuk melihat hubungan antara nilai tukar, jumlah uang beredar, output, suku

bunga dan tingkat harga.

2.4.4. Ekspektasi Rasional

Asumsi lain untuk melengkapi analisis ini adalah berlakunya Rational

Expectation yaitu bahwa semua agen ekonomi mengetahui bekerjanya mekanisme

perekonomian. Dalam hal ini apabila dinyatakan e adalah nilai tukar

keseimbangan, maka dapat diasumsikan bahwa S e Rp / $ = ~


e hal ini dapat

menggambarkan arah perkembangan perekonomian yaitu dengan menganalisis

hubungan antara tingkat harga dan nilai tukar yang memenuhi persamaan (2.9 dan

2.10) (Ickes,2004)

Dalam jangka panjang ?e=0, maka persamaan (2.9) dapat dituliskan

menjadi sebagai berikut :

S
M IN
= L(iUS ,YIN ) ..................................................................................(2.13)
PIN

Berapapun besarnya nilai tukar akan selalu konsisten dengan money market

equilibrium, sebaliknya dalam jangka pendek ?e ? 0 misalnya apabila ?e > 0

dimana nilai tukar diharapkan akan mengalami depresiasi sesuai dengan

persamaan (2.8) maka suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada suku bunga

di Amerika Serikat, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permintaan

uang agregat. Untuk menjaga kondisi keseimbangan pasar uang pada jumlah uang

beredar yang tertentu, maka tingkat harga domestik harus mengalami penurunan

jadi dalam hal ini untuk menjaga money market equilibrium terdapat hubungan

negatif antara nilai tukar dengan tingkat harga.

Dalam situasi dimana perubahan moneter merupakan penyebab dominan

dari suatu fluktuasi ekonomi, maka prediksi terhadap kebijakan moneter menjadi
28

sangat penting. Berdasarkan pendekatan moneter, dapat diperoleh gambaran

mengenai hubungan antara uang beredar, suku bunga, nilai tukar, output, tingkat

harga didalam perekonomian.

Apabila tingkat harga di asumsikan fleksibel (Holod D ,2000), dimana

tingkat harga merespon secara langsung atau on impact perubahan jumlah uang

beredar. Ekspansi moneter akan mengarahkan terjadinya kenaikan tingkat harga

dengan berlakunya Purchasing Power Parity dalam jangka pendek. Maka

kenaikkan tingkat harga pada gilirannya kemudian akan me nyebabkan terjadinya

depresiasi nilai tukar. Time path tingkat harga dan nilai tukar yang di harapkan

mengikuti adanya kebijakan ekspansi moneter pada asumsi tingkat harga fleksibel

dapat digambarkan sebagai berikut :


e Rp/$
P IN

a) Time Path Tingkat Harga Setelah b) Time Path Nilai Tukar setelah
Terjadinya Ekspansi Moneter Terjadinya Ekspansi Moneter

Gambar 3. Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel

Sebaliknya, apabila tingkat harga sticky dimana Purchasing Power Parity

tidak berlaku dalam jangka pendek, kebijakan moneter beroperasi melalui jalur

suku bunga. Positif shock pada kebijakan moneter domestik akan meningkatkan

real money supply, karena tingkat harga sticky dalam jangka pendek maka

peningkatan jumlah uang beredar ini akan menurunkan suku bunga domestik

dengan berlakunya Interest Rate Parity, maka pembuat kebijakan melakukan


29

antisipasi dengan apresiasi mata uang domestik didalam jangka panjang dengan

turunya suku bunga domestik dan terjadinya apresiasi mata uang domestik

menyebabkan nilai aset domestik tidak menarik, sehingga terjadi aliran modal

domestik keluar dan mata uang domestik terdepresiasi.

P IN e Rp/$

a) Time Path Tingkat Harga Setelah b) Time Path Nilai Tukar Setelah
Terjadinya Ekspansi Moneter Terjadinya Ekspansi Moneter

Gambar 4. Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky

2.5. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank

sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai

perkembangan kegiatan perekonomian yang di inginkan yaitu stabilitas ekonomi

makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan

pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2003).

2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter

Kerangka operasional kebijakan moneter yang diterapkan oleh bank

sentral di berbagai negara pada dasarnya memiliki konsep yang sama. Di satu sisi,

bank sentral ingin mencapai sasaran – sasaran akhir yang menjadi tugas pokok

nya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca

pembayaran. Namun di sisi lain, bank sentral hanya mampu mempengaruhi

beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah pengendaliannya.


30

Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak

dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan dengan suatu mekanisme tertentu

yang diasumsikan dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian

sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang

di inginkan. Jadi alur mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia adalah

instrumen kebijakan moneter, kemudian sasaran operasional, sasaran antara, dan

terakhir adalah sasaran akhir (Hascaryo, 2003).

2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter

Dalam mencapai tujuannya, bank sentral memiliki beberapa instrumen

kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan

minimum (reserve requirement), dan kebijakan diskonto (discount policy).

1. Operasi Pasar Terbuka

Operasi pasar terbuka (Miskhin, 2001) merupakan intervensi yang

dilakukan bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan

membeli atau menjual surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia dan Surat

Berharga Pasar Uang . Sertifikat Bank Indonesia merupakan surat berharga yang

diterbitkan oleh Bank Indonesia sedangkan Surat Berharga Pasar Uang diterbitkan

oleh perusahaan atau bank. Kedua instrumen ini dikeluarkan pada saat bank

sentral ingin membekukan likuiditas.

Sertifikat Bank Indonesia sebagai surat berharga yang dikeluarkan oleh

Bank Indonesia digunakan untuk melakukan operasi moneter secara tidak

langsung. Selain itu, Sertifikat Bank Indonesia dapat digunakan untuk mengatur

likuiditas jangka pendek dari bank, perusahaan ataupun masyarakat. Suku bunga

Sertifikat Bank Indonesia merupakan indikator yang terbaik dalam kebijakan


31

moneter dan terkadang digunakan sebagai alternatif investasi (Agung, 1998).

Bank sentral akan melakukan kebijakan moneter yang bersifat kontraksi dengan

menjual surat berharga dan melakukan kebijakan ekspansif dengan membeli surat

berharga.

Terdapat beberapa keuntungan kebijakan moneter dengan menggunakan

instrumen pasar terbuka, (Miskhin, 2001) diantaranya : (1) Operasi Pasar Terbuka

merupakan kebijakan moneter yang muncul atas inisiatif dari bank sentral untuk

mengontrol jumlah uang beredar, (2) Operasi Pasar Terbuka dapat digunakan

secara luas, fleksibel dan tepat, (3) Operasi Pasar Terbuka sangat mudah dikoreksi

atau dibetulkan jika terdapat kesalahan dalam pengambilan suatu kebijakan, dan

(4) Operasi Pasar Terbuka dapat diterapkan secara cepat.

2. Giro Wajib Minimum

Giro Wajib Minimum atau cadangan minimum bank merupakan dana yang

harus disimpan oleh perbankan pada bank sentral. Besarnya Giro Wajib Minimum

merupakan cerminan dari kebijakan bank sentral dalam menentukan besarnya

jumlah uang uang beredar. Giro Wajib Minimum jarang digunakan sebagai

instrumen kebijakan.

Kelebihan menggunakan instrumen Giro Wajib Minimum (Miskhin, 2001)

adalah memiliki dampak yang sama ke semua bank dan sangat berpengaruh

terhadap jumlah uang beredar. Kekurangan penggunaan Giro Wajib Minimum

adalah peningkatan Giro Wajib Minimum secara cepat akan mengakibatkan

masalah likuiditas bagi bank – bank yang memiliki excess reserves yang rendah.

3. Tingkat Diskonto

Tingkat diskonto merupakan suatu kebijakan untuk mengendalikan uang

beredar dengan merubah tingkat suku bunga, namun kebijakan ini jarang
32

digunakan. Kebijakan ini hanya bisa dipakai oleh bank, berkaitan dengan fungsi

bank sentral sebagai lender of the last resort, artinya bank sentral sebagai

alternatif terakhir bagi bank untuk memperoleh dana jika kekurangan likuiditas.

Biasanya Bank Indonesia akan mengenakan suku bunga di atas rata-rata.

Kekurangan menggunakan instrumen ini sebagai kebijakan moneter

(Miskhin, 2001) yaitu; (1) menimbulkan kebingungan bagi bank sentral untuk

menetapkan tujuan ketika perubahan tingkat diskonto diumumkan, dan (2) ketika

bank sentral menetapkan tingkat diskonto pada level tertentu, akan terjadi

fluktuasi antara suku bunga pasar dengan tingkat diskonto (i-id) sebagai

perubahan suku bunga pasar.

Secara umum, kebijakan moneter yang sehat memiliki karakteristik –

karakteristik sebagai berikut, (Nugroho, 2002):

1. Bersifat antisipatif (forward looking) karena adanya lag kebijakan moneter

2. Hanya memiliki satu nominal anchor, sehingga sasaran kebijakan akan lebih

terfokus.

3. Mengikatkan diri pada suatu rule namun cukup fleksibel dalam

operasionalnya (constrained discretion).

4. Sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate government, yaitu memiliki

tujuan yang jelas, transparan dan berakuntabilitas.

Kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan

ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran.

Secara ideal, semua sasaran akhir tersebut bisa dicapai secara bersamaan. Namun,

sering kali pencapaian sasaran – sasaran akhir tersebut mengandung unsur

kontradiktif. Oleh karena itu, dalam undang-undang bank sentral ada


33

kecenderungan bahwa sasaran akhir kebijakan moneter adalah kestabilan harga

yang artinya memfokuskan pada sasaran tunggal.

Kebijakan moneter dengan sasaran tunggal pada umumnya menggunakan

pendekatan harga (price-based structure), sementara kebijakan moneter dengan

sasaran multi menggunakan pendekatan kuantitas (quantitas-base structure).

Tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah merencanakan dan

membuat program moneter (moneter programming) yang intinya adalah

melakukan perencanaan kebijakan pengendalian uang beredar (moneter) seperti

yang diterangkan pada Tabel 1. Dalam penyusunan program moneter, penentuan

sasaran operasional dilakukan dengan memperhitungkan beberapa asumsi berikut:

1. Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, perdagangan dan

investasi, dan lain-lain) akan berjalan seperti ditetapkan.

2. Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sebagai sasaran

operasional) dengan uang beredar (sebagai sasaran antara). Kondisi ini

mensyaratkan adanya stabilitas perkembangan money multiplier.

Tabel 1. Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter

Pendekatan Sistem Operational


a. Pendekatan harga Instrumen Sasaran Operasional Sasaran Akhir
- Langsung - Suku bunga PUAB - Stabilitas harga
- Tidak langsung
b. Pendekatan Intrumen Sasaran Sasaran Antara Sasaran Akhir
Kuantitas Operasional
- Langsung - monetary base -Besaran moneter - Stabilitas harga
- Tidak Langsung seperti: seperti : - Pertumb.Ekonomi
• Uang Primer o MI,M2 - Kesemptan Kerja
• Reserve bank o Suku bunga - Keseimbangan
o Nilai Tukar BOP
0
Kredit Perbankan
Sumber : Ascarya, 2002

2.5.3. Sasaran Operasional

Pemilihan variabel yang dijadikan sasaran operasi adalah hal pertama yang

harus ditentukan. Dalam hal ini, suku bunga Pasar Ua ng Antar Bank (PUAB),
34

suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat diskonto surat Berharga

Pasar Uang (SBPU) merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat

digunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada dua

pertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga

jangka pendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau

kredit dan perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh perubahan suku bunga

jangka pendek tersebut dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang

dilakukan oleh Bank Indonesia.

Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan

sekaligus kekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto

SBPU mempunyai kelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia.

Bahkan kedua suku bunga ini dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran

operasional kebijakan moneter. Perbedaanya terletak pada pandangan perbankan

bahwa SBI sebagai alternatif investasi, sementara SBPU sebagai alternatif

pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering diyakini lebih dekat

hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit.

Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebih

menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan

penanaman modal jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi

return dan risk perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih

cepat ditransmisikan ke suku bunga dan kredit. Selain itu, PUAB sering pula

dipergunakan sebagai alternatif sumber pendanaan bagi transaksi dipasar valuta

asing karena eratnya keterkaitan antara kedua pasar uang ini. Dengan demikian

diperkirakan perubahan suku bunga PUAB lebih cepat pula ditransmisikan ke

pergerakan nilai tukar rupiah.


35

2.5.4. Sasaran Antara

Tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter seperti laju inflasi dan

pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada kemampuan Bank Indonesia

dalam mempengaruhi permintaan agregat baik konsumsi, investasi, maupun

transaksi berjalan. Untuk itu bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi

makro yang telah ada untuk memperkirakan seberapa besar permintaan agregat

yang dianggap aman dan sesuai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi

yang diinginkan. sasaran tersebut diperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan

dalam memperkirakan besarnya demand pressure atau output gap yang dapat

ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakan moneter yang dilakukan.

Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat

dipergunakan sebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan agregat

tersebut. Dalam hubungan ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh

oleh Kanada, Selandia Baru, dan Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan

penerapannya di Indonesia. IKM pada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga

dan nilai tukar terhadap aggregate demand pressures yang dicerminkan pada

besarnya output gap sebagai berikut:

IKM(v) = a(sukubunga(t)-sukubunga (base))+ß(REER(t)-REER(base))100

dimana IKM (v) mencerminkan aggregate demand pressures, t menunjukkan

periode sekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan

indeks. suku bunga yang berpengaruh pada permintaan agregat pada umumnya

adalah sukubunga menengah panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau

sukubunga kredit dapat dipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku

bunga menengah panjang. REER adalah real efective exchange rate.


36

Parameter a dan ß diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan agregat

dengan variabel suku bunga dan REER sebagai varaibel bebas. Dengan demikian

suatu rasio IKM yang dicerminkan dengan a/ß menunjukkan seberapa kuatnya

pengaruh sukubunga terhadap permintaan agregat relatif terhadap pengaruh

REER. Rasio IKM ½ artinya bahwa 1 persen pengaruh kenaikkan suku bunga

sama dengan 2 persen apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan

agregat. Dengan kata lain, agar permintaan agregat tidak mengalami perubahan

maka kenaikan suku bunga sebesar 1 persen harus diimbangi dengan depresiasi

nilai tukar sebesar 2 persen. Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk

mempengaruhi permintaan agregat diperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih

besar.

Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar

maka perkembangan IKM dari waktu ke wkatu menunjukkan semakin

besar/tidaknya agregate demand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan

semakin besarnya pengaruh suku bunga dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan

permintaan agregat tersebut. Dengan kata lain, gerakan IKM menunjukkan

ketat/tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditempuh. Apabila bank

Indonesia ingin mengetatkan pengendalian untuk mengantisipasi tekanan

permintaan agregat yang semakin besar maka IKM diupayakan untuk dapat

ditingkatkan dari waktu kewaktu.

2.5.5. Sasaran Akhir

Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai

sasaran akhir kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju

pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran.


37

Berbagai perubahan mendasar terutama perubahan sistem nilai tukar tetap menjadi

sistem nilai tukar yang fleksibel mengharuskan Indonesia untuk memikirkan

kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mencapai

sasaran-sasaran tersebut. Suatu hal yang pasti adalah dalam sistem nilai tukar

fleksibel, gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar

sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat

depresiasi tertentu untuk mendorong ekspor.

Dengan demikian, dalam sistem nilai tukar fleksibel, kebijakan moneter

lebih difokuskan pada pengendalian permintaan agregat. Lebih jelasnya bahwa

kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan

(aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara

permintaan agregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat

besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju

pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan

ekonomi dapat lebih tinggi, akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang

lebih tinggi pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap

tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi

dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling optimal.

2.6. Hasil Penelitian Terdahulu

Santoso dan Iskandar (1999), dalam penelitian mengenai pengendalian

moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel menjelaskan bahwa pengujian

empiris dengan menggunakan vector autoregression dan granger causality test

versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan inflation targetting

dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel.
38

Pengendalian moneter dalam kerangka inflation targetting dapat dilakukan

dengan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight sebagai

kandidat utama sasaran operasional dan (Monetary Condition Index) sebagai

sasaran antara, sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal.

Sementara penggunaan Monetary Condition Index sebagai sasaran antara tidak

dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary

policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock

dan bersifat sementara. Disamping itu masih kuatnya hubungan langsung antara

monetary aggregate dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari

quantity targetting ke price targeting bukan merupakan substitusi penuh.

Monetary aggregate masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk

mendeteksi tekanan terhadap inflasi.

Studi empiris mengenai mekanisme transmisi moneter di Indonesia yang

menjelaskan mengenai sumber – sumber fluktuasi makroekonomi di Indonesia

telah dilakukan oleh Siregar and Ward (2002). Penelitian ini mengemukakan

bahwa shock kebijakan moneter mempengaruhi output melalui suku bunga

domestik kepada nilai tukar. Namun shock nilai tukar lebih penting dan

menandakan bahwa adanya keterbatasan dari kebijakan moneter dalam upaya

menstabilkan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Selain itu, diinformasikan pula

bahwa shock General Spending Balance atau nilai tukar rupiah riil terhadap nilai

tukar riil dan permintaan uang ternyata mempunyai pengaruh nyata sehingga efek

guncangan tersebut terhadap output lebih besar.

Studi mengenai pentargetan inflasi di Indonesia yang juga dilakukan oleh

Chowdhury dan Siregar (2002). Studi tersebut menggaris bawah adanya kendala

yang serius dalam pembuatan kebijakan makroekonomi di Indonesia. Pada sisi


39

fiskal kendala utamanya adalah pemerintah menanggung beban hutang dan

tekanan memperbaiki pengeluaran pembangunan. Sementara pada sisi moneter

bagaimana mengupayakan tingkat inflasi yang rendah dan kebutuhan bagaimana

memelihara likuiditas untuk mendorong perekonomian yang resesi. Didukung

dengan adanya kompleksitas permasalahan moneter dan fiskal menyebabkan

pengambilan kebijakan saling bertolak belakang dan sulit terkoordinasi dengan

baik. Kajian mengenai hal tersebut menghasilkan suatu model trade off antara

inflasi dengan pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan bahwa inflasi yang

tinggi namun sampai pada batas tertentu masih berdampak positif terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Pendekatan moneter dalam perekonomian terbuka telah memperluas

analisisnya terhadap sistem nilai tukar fleksibel yang telah diadopsi negara negara

didunia sejak tahun 1979. Model moneter untuk nilai tukar telah diformulasikan

Dornbusch (1976). Model moneter Dornbusch telah melakukan suatu penyesuaian

harga yang kaku (Sluggish price adjustment) dalam pasar barang, Frangkel (1976)

ia telah mengembangkan suatu pandangan moneter tentang faktor-faktor yang

menentukan nilai tukar. Pendekatan terbarunya menekankan pada pertimbangan

yang berkaitan dengan permintaan uang dan the interest parity theory. Frangkel

juga menekankan peranan ekspektasi dan menemukan suatu ukuran yang dapat di

observasi secara langsung yang dibangun atas informasi yang termuat dalam data

dari pasar dimuka (forward market) nilai tukar dan ditunjukkan secara konsisten

dengan hipotesa sentral dari pendekatan moneter. Dalam model ini, analisis

terdahulu telah menunjukkan asosiasi tertutup antara perkembangan moneter dan

nilai tukar. Dari permintaan keseimbangan kas riil, md = g ( ? *) dan kondisi The

Purchasing Power Parity, P = sP*, nilai tukar dapat ditulis seperti e = M/g (? *)
40

dimana P* adalah tingkat harga luar negeri, ? * adalah expected rate of inflation,

M adalah stok uang nominal dan e adalah nilai tukar.

Model ini menyatakan bahwa inflasi yang terlalu diantisipasi dapat

meningkatkan tingkat bunga nominal yang selanjutnya menyebabkan nilai tukar

spot menurun, yang berarti mata uang domestik mengalami apresiasi, interpretasi

lain untuk pendekatan ini menyatakan bahwa tingkat bunga tinggi menurunkan

pengeluaran dan menyebabkan surplus dalam neraca pembayaran, yang

selanjutnya menurunkan nilai tukar spot.

Dornbusch (1976) telah menunjukkan bahwa nilai tukar fleksibel tidak

memberikan penyekatan dari gangguan harga luar negeri, dalam jangka pendek,

harga atau ekspektasi adalah lambat untuk menyesuaikan. Ia juga membedakan

antara komoditi yang diperdagangkan dan yang tidak diperdagangkan. Dornbusch

memberikan fungsi logaritmik sebagai berikut :

e = (M − M *) + ( L − L*)(φ − φ*) .........................................................(2.14)

dimana:

M = pertumbuhan kuantitas nominal uang domestik

M* = pertumbuhan kuantitas nominal uang luar negeri

L = permintaan keseimbangan riil domestik

L* = permintaan keseimbangan luar negeri

φ − φ * = Harga relatif barang yang diperdagangkan domestik dan asing.

Bentuk pertama dari tingkat harga ini mencakup efek perubahan moneter

atas nilai tukar, dengan asumsi faktor-faktor lain konstan, maka pertumbuhan

moneter yang tinggi dalam suatu negara dapat menyebabkan depresiasi dalam

mata uangnya. Bentuk khususnya ini mencakup perbedaan pengaruh dalam inflasi

jangka panjang antara negara-negara dan refleksinya dalam nilai tukar. Bentuk
41

kedua menjelaskan efek perubahan permintaan uang riil. Jadi kenaikan dalam

permintaan uang riil akan menyebabkan apresiasi dalam mata uang domestik.

Bentuk terakhir menjelaskan efek perubahan dalam harga struktur relatif atas nilai

tukar.

Frangkel (1979) menemukan faktor untuk versi harga kaku (the sticky

price). Frangkel (1984), kembali mengestimasi suatu variasi struktur model nilai

tukar yang berbeda dari versi harga fleksibel dan kaku dari pendekatan moneter.

Ia menemukan beberapa point kritik dalam model moneter seperti pergeseran

dalam fungsi permintaan uang dan nilai tukar dalam jangka panjang.

Dibawah pendekatan moneter, proses penyesuaian dimana pendekatan

tingkat keseimbangan nilai tukar aktual didefenisikan dengan baik untuk sistem

nilai tukar tetap dan fleksibel. Untuk mengantisipasi gangguan terhadap neraca

pembayaran, suatu negara dapat : 1) meng-peg kan nilai tukarnya dari pengaruh

fluktuasi pasar valas, atau 2) ia dapat membolehkan nilai tukar untuk

menyesuaikan dan menjaga tingkat cadangan konstan atau 3) ia dapat melakukan

beberapa kombinasi perubahan cadangan dan nilai tukar.

Kombinasi model nilai tukar nominal dan riil memberikan suatu kerangka

yang luas untuk menganalisa perekonomian terbuka. Tetapi disebabkan upah dan

harga adalah fleksibel ia dapat menjelaskan deviasi dari purchasing power parity

hanya untuk memperluas gangguan yang berasal dalam sektor riil. Cagan (1984)

telah memodifikasi modelnya dengan memperkenalkan harga dinamis. Dengan

harga secara sesaat kaku, gangguan moneter dapat menyebabkan deviasi sesaat

dari Purchasing Power Parity dan overshooting nilai tukar akan terjadi.

Untuk membentuk blok terakhir dari pendekatan moneter adalah perkiraan

rasional (rational expectations) yang tanpanya tidak dapat menjamin efisiensi


42

pasar pertukaran luar negeri dalam konteks ini perkiraan rasional dapat

didefenisikan sebagai penggunaan penuh dari semua informasi yang tersedia. Hal

ini tidak dibutuhkan berkaitan dengan tinjauan kemasa depan yang sempurna

(perfect forsight) diatas periode waktu yang terbatas tetapi jika pasar aset

keuangan adalah proses informasi yang tidak efisien, maka tidak ada alasan untuk

memperkirakan pasar ini daripada aliran pasar barang-barang dan jasa-jasa untuk

memainkan peranan penting dalam penyesuaian nilai tukar terhadap exogenous

shock. Pertimbangan ini mendukung bahwa suatu fungsi ekspektasi yang tepat

suatu model harus memulai dengan perkiraan bahwa nilai tukar akan ceteris

paribus, merespon satu persatu perubahan dalam perbedaan inflasi yang

diperkirakan secara rasional (the rationally expected inflation differential).

Validasi model moneter harga fleksibilitas tergantung dari realistis

tidaknya asumsi – asumsi yang mendasarinya. Pertama, Purchasing Power Parity

dalam banyak kasus studi empiris tidak dipenuhi dalam jangka pendek, kedua,

model harga fleksibel tidak memasukkan peranan harapan sehingga model ini

gagal, menangkap karakteristik dinamik dari perilaku nilai tukar, ketiga, sampai

taraf tertentu, suplai uang dan suku bunga merupakan faktor endogen, tergantung

dari kebijakan moneter yang dianut dan perilaku perbankan. Pendekatan moneter

tidak secara eksplisit membuat perbedaan ini dan keempat, obligasi domestik dan

luar negeri diasumsikan saling mengganti secara sempurna. Oleh karena itu

perbedaan suku bunga dihilangkan oleh harapan perubahan kurs.

McNown dan Wallace (1994), menggunakan metodologi kontemporer dari

kontegrasi Johansen, menguji pendekatan moneter terhadap determinasi nilai

tukar bagi tiga negara industri inflasi tinggi dalam periode yang berbeda: Israel

(1979;01-1988;10), Chili (1973;06-1985;06) dan Argentina (1977;03-1986;12).


43

Dibawah sistem nilai tukar mengambang mereka menemukan bukti yang

mendukung dalil purchasing power parity pada ketiga negara Amerika Latin

tersebut dengan karakteristik tinggi pertumbuhan uang beredar dan besarnya

perubahan nilai tukar nominal relatif terhadap AS. Untuk Chili, satu vektor

kointegrasi diindikasikan oleh kriteria rasio kemungkinan maksimum (maximum

likelihood) dengan spesifikasi uang Amerika M1 dan dua vektor kointegrasi

ditemukan ketika variabel moneter Amerika M2. Sedangkan untuk Argentina, dua

vektor kointegrasi dan untuk Israel tepat satu vektor kointegrasi. Namun bagi

Israel kointegrasi tidak ditemukan dalam model reduksi.

Penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur

suku bunga pernah dilakukan oleh Warjiyo dan Zulverdi (1998). Studi ini

mengadopsi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia dan Selandia

Baru yang disesuaikan dengan instrumen – instrumen pasar keuangan yang ada di

Indonesia. Warjiyo dan Zulverdi menggunakan metode Granger Causality Test

dalam penelitiannya dan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank

sebagai sasaran operasional, suku bunga deposito dan nilai tukar sebagai sasaran

antara, serta tingkat inflasi sebagai sasaran akhir.

Perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia/Suku Bunga Pasar Uang

akan ditransmisikan ke suku bunga Pasar Uang Antar Bank, selanjutnya

diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar. Dengan asumsi Indonesia

menggunakan sistem nilai tukar mengambang, suku bunga deposito dan nilai

tukar akan ditransmisikan ke sektor riil melalui tingkat output nasional. Perbedaan

antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi.

Disamping itu penelitian mengenai transmisi kebijakan moneter di Indonesia

melalui jalur nilai tukar pernah dilakukan oleh Benny Siswanto et al (2001)
44

dengan menggunakan metode analisis VAR. Hasil estimasi VAR menunjukkan

bahwa selama periode sebelum krisis, mekanisme transmisi kebijakan moneter

melalui jalur nilai tukar tidak bekerja dengan baik, namun sebaliknya sejak

diterapkannya sistem nilai tukar fleksibel ternyata peranan jalur transmisi ini

menjadi sangat penting.

Atmadja (2001) menganalisis pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar

Amerika Serikat dengan non ekonomi seperti politik, hankam, konsistensi, dalam

penegakan hukum, sosial budaya dan sebagainya dan variabel ekonomi seperti

tingkat inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan nasional di

Indonesia dan Amerika Serikat serta posisi neraca pembayaran internasional

Indonesia dalam mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar

Amerika. Dari analisis diperoleh bahwa hanya variabel jumlah uang beredar yang

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah

terhadap dollar Amerika sedangkan variabel – variabel yang lainnya tidak.

Nuryadin dan Santoso (2004), menganalisis variabel – variabel yang

menentukan nilai tukar rupiah selama periode tahun 1980;1-2000;4. Dalam

mengaplikasikan model neraca pembayaran dan model moneter yang

dikembangkan oleh Fullerton Calderon (2001), mereka menambahkan dua

variabel dummy: variabel kebijakan (devaluasi) dan variabel krisis. Hasil uji

kointegrasi berdasarkan Augmented Dickey Fuller (ADF) menunjukkan bahwa

variabel – variabel yang dipilih pada kedua model mempunyai hubungan jangka

panjang. Sementara hasil uji kointegrasi dalam kerangka analisis Vector

Autoregression/ VAR (devaluasi dan krisis sebagai variabel eksogen) pada model

moneter menunjukkan adanya vektor kointegrasi diantara variabel – variabel


45

dalam model tersebut, tetapi pada model neraca pembayaran tidak menunjukkan

adanya vektor kointegrasi.

Namun demikian setelah dilakukan koreksi Reimers dalam penelitian

tersebut tidak di temukan adanya vektor kointegrasi antar variabel pada kedua

model. Secara umum variabel – variabel yang digunakan menunjukkan koefisien

regresi dengan arah yang sesuai harapan teori, atau kesesuaian hipotesis pada

model neraca pembayaran dan model moneter terpenuhi. Namun variabel

cadangan internasional dan pendapatan nasional mengalami perbedaan arah

hubungan antara masa sebelum krisis dan masa krisis. Pada masa sebelum krisis

variabel cadangan internasional menunjukkan arah yang tidak konsisten dengan

teori dan berubah arah pada masa krisis. Sedangkan variabel pendapatan nasional

menunjukkan arah hubungan yang konsisten dengan teori pada masa sebelum

krisis dan berubah arah pada masa krisis. Selanjutnya hasil estimasi Engle

Granger – Error Correction Model (EG-ECM) pada kedua model

mengindikasikan bahwa dampak dari perubahan variabel – variabel dalam

mempengaruhi nilai tukar memerlukan koreksi antar waktu yang berbeda. Proses

penyesuaian dari ketidakseimbangan menuju keseimbangan pada model neraca

pembayaran lebih besar, 17.51 persen daripada model moneter 12.47 persen.
46

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Mekanisme transmisi moneter merupakan proses ditransmisikannya

kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi secara riil dan harga – harga

dimasa yang akan datang. Berdasarakan hasil empiris, dalam jangka pendek

jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil. Selanjutnya

jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan mendorong pada

kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan perkembangan

output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah

uang beredar tidak berpengaruh pada perkembangan output riil tetapi mendorong

kenaikkan laju inflasi secara proporsional. Proses transmisi kebijakan moneter

sangat tergantung pada pendekatan yang dipilih sehingga tujuan kebijakan

tercapai.

Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa

kebijakan moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui perubahan

suku bunga, dalam hal ini perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan

pada suku bunga jangka menengah dan jangka panjang melalui mekanisme

penyeimbangan sisi permintaaan dan penawaran di pasar.

Apabila perubahan harga bersifat kaku (sticky price), perubahan suku

bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral akan

mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Dengan

kekakuan harga tersebut, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter

ekspansif, hal itu akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek, yang

selanjutnya akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka panjang.

Begitupun jika kebijakan bank sentral bersifat kontraktif, kekakuan harga akan
47

menyebabkan meningkatnya suku bunga riil jangka pendek dan jangka panjang.

Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi cost of capital yang pada

giliranya akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi yang

merupakan komponen dari permintaan agregat.

Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa

pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan permintaan dan

penawaran agregat, dan selanjutnya akan mempengaruhi output dan harga. Besar

kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar tergantung pada sistem nilai tukar yang

dianut oleh suatu negara.

Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi menekankan bahwa

kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi

mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku

agen-agen ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang

pada gilirannya akan mendorong perubahan permintaan agregat dan inflasi.

3.2. Pasar Uang

Secara umum yang dimaksud dengan pasar uang adalah pasar dimana

uang dana jangka pendek diperdagangkan dan merupakan tempat dimana

terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran uang yang pada akhirnya

menentukan tingkat bunga.

Dalam perekonomian terbuka, uang primer (Mo) terdiri dari dua

komponen utama net foreign asset (NFA) dan net domestik credit (NDC)

sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut, (Dornbusch et.al, 2001):

M 0 = NFA + NDC ................................................................................(3.1)

∆M 0 = ∆NFA + ∆NDC ..........................................................................(3.2)


48

Persamaan (3.2) menyatakan bahwa, perubahan uang stok primer sama dengan

perubahan kepemilikan bank sentral atas foreign Asset ditambah dengan

perubahan domestic credit expansion.

Perubahan kepemilikan bank sentral atas foreign asset (? NFA) merupakan

equivalen rupiah dari perubahan international reserve (Kamin et al. 1997) dan

dituliskan sebagai berikut :

∆NFA = E∆R .........................................................................................(3.3)

Selanjutnya perubahan international reserve dapat dih itung dari neraca

pembayaran, yaitu sebagai penjumlahan dari current account balance (CA)

dengan capital account balance (KA) sebagai berikut :

∆R = CA + KA ........................................................................................(3.4)

∆NFA = E (CA + KA) .............................................................................(3.5)

Dengan mensubtitusikan persamaan (3.5) kedalam persamaan (3.3) maka

diperoleh persamaan uang primer sebagai berikut:

∆M 0 = E (CA + KA) + ∆ NDC ................................................................(3.6)

dimana:

CA = Current Account Balance

KA = Capital Account Balance

E = nilai tukar nominal

Penawaran uang atau uang beredar (Ms = Money Supply) adalah jumlah

uang yang tersedia dalam suatu perekonomian. Pengertian uang beredar biasanya

dibedakan sebagai uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam

arti luas (M2). Uang beredar dalam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang

giral (C) sedangkan uang beredar dalam arti luas adalah uang beredar dalam arti

uang sempit ditambah dengan simpanan (D), di Indonesia terdiri dari tabungan
49

dan deposito, Dalam penelitian ini di pergunakan uang beredar dalam arti luas,

sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut :

M S = C + D ...........................................................................................(3.7)

Uang beredar juga dikaitkan dengan uang primer melalui money multiplier (mm),

sebagai berikut :

M S = mm M 0 .........................................................................................(3.8)

Sehingga perubahan jumlah uang beredar yang merupakan pencerminan adanya

perubahan didalam money multiplier dan uang primer, dapat dinyatakan sebagai :

∆M S = M 0 ∆ mm + mm∆M 0 ..................................................................(3.9)

∆M S = M 0 ∆mm + mm[ E (CA) + E ( KA) + ∆NDC ] .............................(3.10)

Sedangkan yang dimaksud dengan permintaan uang adalah jumlah uang

yang diminta ( Md = Money Demand) oleh masyarakat untuk dipegang pada suatu

waktu dan keadaan tertentu. Permintaan uang agregat dapat dirumuskan sebagai

berikut :

M d = P * L (i, Y ) ..................................................................................(3.11)

Persamaan (3.11) me nyatakan tingkat uang agregat dalam perekonomian

ditentukan oleh tingkat harga, suku bunga dan pendapatan nasional rill.

Kondisi keseimbangan dalam pasar uang terjadi apabila panawaran uang

sama dengan permintaan uang, sehingga implikasi dari asumsi (i) dapat

dinyatakan sebagai berikut :

M S = M d = P * L (i, Y ) ........................................................................(3.12)

Apabila kedua sisi persamaan (3.12) dibagi dengan tingkat harga, maka

keseimbangan pasar uang dalam bentuk persamaan permintaan uang riil agregat,

sebagai berikut :
50

MS Md
= = L (i Y ) .............................................................................(3.13)
P P

Terlepas dari tingkat harga (P) yang berlaku dan tingkat output (Y) yang ada,

pasar senantiasa bergerak menuju suku bunga (i) dimana penawaran uang riil

sama dengan permintaan uang riil. Jika pada awalnya terjadi kelebihan penawaran

uang, maka suku bunga segera menurun, sedangkan bila pada awalnya terdapat

kelebihan permintaan uang, suku bunga akan meningkat.

Namun pasar uang selalu bergerak menuju suatu keseimbangan, dimana

tingkat harga (P), suku bunga (i) dan tingkat output (Y) berubah-ubah, sehingga

persamaan keseimbangan pasar uang (3.13) dapat dituliskan kembali menjadi:

MS
P= ...........................................................................................(3.14)
L (i, Y )

Persamaan (3.14) merupakan persamaan keseimbangan tingkat harga jangka

panjang menunjukkan tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang beredar, suku

bunga dan tingkat output riil, bila pasar uang berada kondisi keseimbangan dan

semua faktor produksi terdaya gunakan secara penuh, maka tingkat harga akan

tetap bertahan apabila penawaran uang, permintaan uang agregat dan nilai jangka

panjang suku bunga dan tingkat output tetap. Bila semua kondisi lainya tetap,

kenaikan tingkat peawaran uang akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga

secara proposional.

Sedangkan asumsi (ii) dan (iii) mengandung implikasi bahwa penurunan

daya beli mata uang domestik, yang ditunjukkan oleh kenaikan tingkat harga

domestik akan diikuti oleh depresiasi mata uangnya secara proposional dalam

pasar valuta asing. Begitu juga sebaliknya, kenaikan daya beli mata uang
51

domestik akan disusul adanya apresiasi mata uangnya secara proposional.

Purchasing Power Parity memprediksi kurs rupiah/dollar adalah

PIN
S Rp / $ = ......................................................................................(3.15)
PUS

Berdasarkan persamaan (3.14) tersebut, maka tingkat harga di Indonesia dan di

Amerika Serikat dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

M INS
PIN = .................................................................................(3.16)
L (iIN ,YIN )

M $S
P$ = ………………........................…………………………(3.17)
L(i$ , Y$ )

Dengan mensubtitusi persamaan (3.16) dan (3.17) kedalam persamaan (3.15)

maka diperoleh persamaan nilai tukar sebagai berikut :

$
M IN L(iUS , YUS )
S Rp / $ = S
.......................................................................(3.18)
M US L(iIN , YIN )

Persamaan (3.18) menunjukkan nilai tukar ditentukan oleh penawaran –

penawaran relatif mata uang rupiah terhadap dolar serta permintaan- permintaan

uang riil relatif dollar terhadap rupiah.

Terakhir asumsi (iv) menyatakan pasar valuta asing berada dalam kondisi

keseimbangan apabila semua simpanan dalam berbagai valuta asing menawarkan

imbalan yang sama secara matematis teori dapat dinyatakan sebagai berikut :

/ $ − S Rp / $
e
S Rp
= iIN − iUS ........................................................................(3.19)
S Rp / $

Atau

/ $ − S Rp / $
e
S Rp
iIN = iUS + = iUS + ∆ e .......................................................(3.20)
S Rp / $

dimana ?e = ekspektasi depresiasi nilai tukar


52

Selanjutnya dengan mensubtitusi persamaan (3.20) kedalam persamaan (3.16)

maka diperoleh persamaan keseimbangan pasar uang di Indonesia sebagai berikut:

M INS
PIN = ...........................................................................(3.21)
L (iUS + ∆e, YIN )

Berdasarkan hubungan – hubungan antara variabel-variabel pada

persamaan diatas maka hubungan antara nilai Suku bunga Dunia (SBW),

Industrial Production Index (IPI), Harga (CPI), Nilai tukar Rupiah (ER) uang

beredar (M2,) suku bunga (SBI), dinyatakan dalam bagan sebagai berikut :

Instrumen Kebijakan Moneter

P=Ms/L(iY) MV=PY
Uang Beredar
Suku bunga SBI (M2)
Ms=M*M0

Capital Flow
SBW UIP

Nilai Tukar
(ER)

PPP

Tingkat Harga
Domestik (CPI) IPI
Keterangan :
SBW: Sukubunga Dunia
UIP : Uncover Interest Parity
IPI : Industrial Production Index
PPP : Purchasing Power Parity

= Faktor Eksternal

= Faktor Internal

= Variabel yang tidak dianalisis

Gambar 5: Skema Kerangka Pemikiran


53

3.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Hipotesis pengaruh Industrial Production Index meliputi

Semakin tinggi Industrial Production Index dan harga – harga yang berlaku

disuatu negara maka akan semakin besar pula jumlah uang beredar dinegara

tersebut karena setiap individu dan perusahaan memerlukan lebih banyak uang

untuk transaksi ( IPI M2 P ).

2. Hipotesis pengaruh shock tingkat harga yang meliputi :

a. Kenaikan tingkat harga akan mengarahkan pada terjadinya depresiasi nilai

tukar (Teori PPP : P ER)

b. Kenaikan tingkat harga akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah

uang beredar ( P M2), apabila money velocity dan tingkat output

tertentu (quantity theory of money, MV=PY) dalam hal ini terdapat one to

one corrrelation antara jumlah uang beredar dengan harga, sehingga teori

kuantitas uang klasik ini merupakan teori inflasi.

3. Hipotesis pengaruh jumlah uang beredar yang meliputi.

Ekspansi moneter melalui peningkatan jumlah uang beredar akan

mengarahkan pada terjadinya pada kenaikan tingkat harga (teori money market

equilibrium ( M2 CPI).

4. Hipotesis pengaruh shock nilai tukar meliputi :

a. Depresiasi nilai tukar akan mendorong kenaikan tingkat harga

( ER P) . Kenaikan tingkat harga dapat terjadi secara langsung (direct

pass throught effect) karena harga barang impor dan komoditi yang

menggunakan bahan baku impor menjadi lebih mahal dan secara langsung

masuk dalam perhitungan Consumer Price Index. Disamping itu, kenaikan


54

tingkat harga dapat juga terjadi secara tidak langsung (Indirect Pass

throught) yaitu depresiasi nilai tukar mempengaruhi permintaan net

export, pada akhirnya tingkat harga (inflasi).

b. Depresiasi nilai tukar akan meningkatkan jumlah uang beredar, secara

langsung ( ER M2). Peningkatan jumlah uang beredar terjadi karena

simpanan dalam nominasi mata uang dollar juga termasuk dalam

perhitungan jumlah uang beredar (M2), sehingga depresiasi nilai tukar

secara otomatis akan meningkat nilai rupiah dari simpanan di maksud dan

pada gilirannya akan meningkatkan jumlah uang beredar.

Disamping itu, nilai tukar juga akan mempengaruhi jumlah uang beredar

melalui perusahaan kepemilikan bank sentral atas foreign asset merupakan

perubahan atas international reserve dan dipengaruhi oleh perubahan nilai

tukar apabila terjadi depresiasi nilai tukar, maka international reserve dan

net foreign asset akan meningkat yang mengakibatkan terjadinya

peningkatan uang primer dan secara otomatis akan meningkat jumlah uang

beredar

( ER ?R NFA M0 ? MS).

5. Hipotesis pengaruh tingkat bunga meliputi :

Ekspansi moneter melalui peningkatan jumlah uang beredar akan

mengarahkan pada terjadinya depresiasi nilai tukar. Hal ini terjadi karena

peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong turunya tingkat bunga

dalam regim dibawah tingkat bunga luar negeri. Tingkat bunga dalam negeri

yang lebih rendah akan mendorong terjadinya capital outflow, selanjutnya

capital outflow pada gilirannya akan mengarahkan pada terjadiya depresiasi

nilai tukar (teori IRP: M2 i ER).


55

Namun dalam penelitian ini uang beredar dianggap sebagai sasaran antara

bagi otoritas moneter, dalam upayanya untuk mencapai dan memelihara

kestabilan harga. Oleh karena itu, apabila terjadi kenaikan tingkat harga lebih

lanjut, maka bank Indonesia dalam kerangka penerapan kebijakan inflation

targetting dapat melakukan kontraksi moneter ( P M2). Uang beredar

digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran

akhir. Disamping itu, uang beredar juga cukup flexible untuk bereaksi apabila

terjadi perubahan tingkat harga.


56

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Data

4.1.1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dalam bentuk

deret waktu (time series) yang bersumber dari International Financial Statistic

(IFS) yang dipublikasikan oleh International Monetery fund (IMF) ; buku statistik

Indonesia yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS);

Laporan Bulanan Keuangan Bank Indonesia dan juga Laporan Mingguan yang

dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya berasal dari literatur – literatur

lain yang berkaitan dengan topik penelitian.

4.1.2. Jenis Data

Data yang digunakan adalah :

1. Tingkat Suku Bunga Dunia (SBW)

2. Industrial Production Index di Indonesia (IPI)

3. Consumer Price Index di Indonesia (CPI)

4. Nilai Tukar Rupiah di Indonesia (ER)

5. Money Supply dalam arti luas di Indonesia (M2)

6. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

4.1.3. Sampel Data

Tesis ini didasarkan atas data yang diobservasi selama periode waktu dari

tahun 1999 – 2006. Data yang digunakan umumnya dalam bentuk bulanan (96

observasi) dari periode bulan Januari 1999 sampai bulan Desember 2006. Data

tingkat IPI, CPI, SBI, SBW menggunakan data bulanan dari waktu 1999 – 2006.
57

Data untuk persamaan uang beredar (M2) menggunakan data bulanan dari periode

waktu 1999-2006. Terakhir data untuk model nilai tukar nominal rupiah dengan

dollar Amerika Serikat (ER). Semua variabel dapat dianalisis dengan mudah, pada

waktu bersamaan dan dapat dipercaya.

Tabel 2. Variabel, Indikator dan Satuan Data

Variabel Indikator Satuan


SBW Suku Bunga Dunia Persen
IPI Industrial Production Index Index
CPI Consumer Price Index Index
ER Nilai Tukar Rupiah/Dollar
M2 Money Supply Rupiah
SBI Sertifikat Bank Indonesia Persen
Sumber : Data untuk diolah

4.2. Metode Analisis

Metode analisis yang akan digunakan adalah model Structural Vector

Autoregresive (SVAR). Enam variabel yaitu, Suku Bunga Dunia (SBW),

Industrial Production Index (IPI), Tingkat Harga (CPI), Money Supply (M2),

Nilai Tukar (ER), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan. Sketsa kerangka

konseptual metode SVAR ini dapat dinyatakan sebagai berikut :

 a11 0 0 0 0 0   SBW t  b11 0 0 0 0 0   SBW t−1  ε SBWt 


       
a 21 a 22 0 0 0 0   IPI t   0 b22 0 0 0 0   IPIt −1   ε IPIt 
a31 a 32 a33 0 0 0   CPI t   0 0 b33 0 0 0   CPIt −1   ε CPIt 
  =  + 
a 41 a 42 a 43 a 44 0 0   ERt   0 0 0 b44 0 0   ERt −1   ε ERt 
a51 a 52 a53 a54 a 55 0  M 2t   0 0 0 0 b55 0   M 2 t−1   ε M 2t 
       
a 61 a 62 a 63 a 64 a 65 a66   SBI t   0 0 0 0 0 b66   SBI t −1   ε SBIt 

................................................................................................................(4.1)

Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t , eSBIt merupakan uncorrelated white noise

disturbance dengan standar deviasi s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, s SBIt Untuk lebih

sederhana, dalam hal ini variabel disebelah kanan hanya untuk satu lag, tapi

dalam analisis dimungkinkan untuk menggunakan lag lebih dari satu. Selanjutnya
58

hubungan tersebut diatas dapat direpresentasikan secara sederhana sebagai

berikut:

AYt = BYt −1 + Dvt ....................................................................................(4.2)

Dimana Yt adalah (n x 1) vector variable endogeneus dan vt adalah suatu vector

white noise structural shock. Matrik A dalam persamaan (4.1) menunjukkan

contemporaneous response atau immediate response dari masing-masing variabel

terhadap perubahan variabel lainnya. Matriks B dalam persamaan merupakan lag

dari masing-masing variabel dan D merupakan uncorrelated white noise

disturbance.

Untuk menjalankan proses regresi, maka diperlukan suatu variabel

dependent disebelah kiri dan variabel independent disebelah kanan. Persaman

(4.2) dapat dinyatakan dalam reduced form sebagai berikut :

Yt = A −1 BYt −1 + A −1 Dvt ............................................................................(4.3)

Selanjutnya apabila A-1B=? dan ut = A-1Dvt, maka diperoleh persamaan regresi

sebagai berikut :

Yt = ΓYt −1 + ut ........................................................................................(4.4)

Karena eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM 2t, eSBIt merupakan uncorrelated white noise

distrubance akan memiliki rata-rata 0, variance yang konstan dan tidak memiliki

otokorelasi serial.

Apabila persamaan (4.3) ini diesksekusi maka akan muncul permasalahan,

yaitu matriks A dan B tidak dapat dipisahkan karena yang dapat dilakukan adalah

memperkirakan matriks ? solusi terhadap permasalahan ini adalah dengan

membuat restriksi secara eksplisit terhadap koefisien matriks A dan D, dan

biasanya dengan menetapkan koefisien matrik A atau D sama dengan 1 atau 0.


59

secara umum dalam model SVAR diasumsikan bahwa D =1, sehingga dengan

demikian terdapat n (n+1)/2 restriksi yang perlu di imposed pada matriks A.

Restriksi dibuat berdasarkan teori atau judgement tertentu. Sehingga, apabila

matriks A dapat diidentifikasikan dan matriks ? diketahui, maka matrik B dapat

ditentukan sebagai :

B = A?.

Setelah identikasi matriks, selanjutnya dapat dibangun Impulse Response

Function yang menunjukkan bagaimana goncangan pada salah satu variabel

mempengaruhi variabel lainya. Berdasarkan Impulse Response Function, dapat

dibuktikan apakah suatu variabel akan berlaku sesuai teori atau tidak. Apabila

Impulse Response Function tidak sesuai dengan teori atau tidak logis, maka

matrik A harus direstriksi kembali dan kemudian Impulse Response Function

baru di rekontruksi kembali. Proses ini dilakukan terus sampai diperoleh Impulse

Response Function yang logis.

Jadi esensi dari penelitian ini adalah kombinasi antara pengolahan statistik

dan pengetahuan teoritis, untuk membangun model yang menunjukkan bagaimana

monetary shock akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan inflasi dan bagaimana

nilai tukar rupiah dan inflasi mempengaruhi monetary policy. Meskipun model ini

merupakan penyederhanaan dari model sebenarnya, namun diharapkan model ini

dapat menunjukkan beberapa skema identifikasi yang melibatkan matriks A

sebagai contemporaneus effect.

4.2.1. Uji Stasioneritas Data

Isu statistik model dinamis digunakan untuk melihat kemungkinan adanya

hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel – variabel ekonomi


60

sebagaimana yang diharapkan dalam teori ekonomi. Dalam hal data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kuantitatif dengan model

ekonometrik standar seperti Ordinary Least Squares (OLS), jika datanya

memungkinkan teknik ini dapat diterapkan. Teknik analisis dengan OLS hanya

dapat dipakai jika datanya stasioner, baik variabel dependent maupun

independentnya. Untuk mengetahui stasioneritas data, digunakan Uji Augmented

Dickey –Fuller (ADF). Jika hasil uji menolak hipotesis adanya unit root yang

berarti bahwa data adalah stasioner, estimasi akan dilakukan dengan

menggunakan regresi linier biasa (OLS). Residu dari hasil estimasi ini akan

dilakukan uji stasioneritasnya. Jika residu adalah stasioner, berarti diantara

variabel – variabel terjadi kointergrasi, sehingga estimasi akan dilakukan dengan

menggunakan teknik kointegrasi. Jika hasil uji unit root terhadap level dari

variabel – variabel menerima hipotesis adanya unit root berarti data adalah tidak

stasioner atau data yang termasuk random walk, maka dilakukan pengecekan

terhadap orde integrasi dari masing-masing variabel. Jika semua variabel yang

tidak stasioner memiliki orde integration yang sama, maka dilakukan cointegrasi

test dengan Johansen Test for Cointegration. Jika hasil uji menunjukkan variabel

cointegrated, maka regresi bisa dilakukan. jika tidak variabel diturunkan untuk

mencari stasionernya. Jika semua variabel yang memiliki orde integrasi yang

berbeda-beda (sebagaimana disampaikan diatas) sudah diturunkan (differensiasi),

uji kembali variabel tersebut dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk

mengetahui apakah terdapat unit root atau tidak, dan lakukan kembali prosedur

yang sama jika stasioneritas dari data belum dicapai.


61

4.2.2. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive

Spesifikasi model Vector Autoregresive (VAR) meliputi pemilihan

variabel dan jumlah lag yang akan digunakan didalam model VAR. Sehingga

terlebih dahulu harus ditentukan jumlah lag untuk pembentukan sistem VAR yang

stabil (Enders, 2004) menyarankan untuk memilih model VAR yang memiliki

Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Bayesian Criterion (SBC) yang

paling kecil. AIC dinyatakan sebagai berikut :

AIC ( p) = T log | ∑ | + 2 N .....................................................................(4.5)

Sedangkan SBC dinyatakan sebagai :

SBC ( p ) = T log | ∑ | + N log(T ) ............................................................(4.6)

dimana :

T = jumlah observasi
|S| = determinan dari varian – varian matriks residual
N = jumlah parameter yang diestimasi dalam semua persamaan
P = jumlah lag, dipilih sedemikian sehingga AIC dan SBC adalah
minimum.

4.2.3. Uji Unit Root

Uji akar unit dipandang sebagai uji stasionaritas, karena pada intinya uji

tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dan model

otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam kasus dimana

data runtun waktu (time series) yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan

yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang lancung/palsu

(spurious regression relationship), selanjutnya langkah awal yang harus

dilakukan dalam pengujian ini adalah menaksir model otoregresif dari masing-
62

masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian dengan OLS (Ordinary

Least Square).

Perbedaan lain antara data series yang stasioner dan yang non stasioner

yaitu shock yang terjadi pada data series yang stasioner bersifat sementara.

Sejalan dengan waktu, dampak dari shock akan berkurang dari series data akan

kembali ke long run mean levelnya. Secara umum, prilaku dari data series yang

stasioner adalah sebagai berikut : (Enders, 2004)

1. Mean dari data stationer menunjukkan perilaku yang konstan

2. Data stasioner menunjukkan variance yang konstan

3. Data stasioner menunjukkan correlogram yang menyempit (deminishing)

seiring dengan penambahan waktu (lag).

Sebaliknya, data yang non stasioner adalah time dependent, atau

cenderung mengalami perubahan yang mendasar seiring dengan jalannya waktu,

secara umum, prilaku dari non stasioner time series adalah sebagai berikut

(Enders, 2004):

1. Data series yang non stasioner tidak memiliki longrun mean

2. Data series yang non stasioner memiliki ketergantungan terhadap waktu,

variance dari data semacam ini akan membesar tanpa batas seiring dengan

waktu

3. Correlogram dari data ini cendrung akan melebar

Apakah suatu data series bersifat stasioner atau non stasioner dapat dilihat

dari bentuk correlogramnya, apakah menyempit atau melebar. Pengamatan

dengan cara ini sudah mulai ditinggalkan. Dewasa ini pendekatan yang lebih

bersifat spurious mulai banyak digunakan. Pendekatan ini disebut unit root test.

Pengujian unit root dilaksanakan untuk melihat apakah datanya mengandung unit
63

root atau tidak, apabila datanya mengandung unit root maka berarti data tersebut

tidak stasioner. Salah satu bentuk pengujiannya adalah Dickey-fuller Test yang

diperkenankan pada tahun 1979. Pengujian ini dilaksanakan melalui regresi suatu

variabel terhadap lagnya.

Analisa stasionaritas pada persamaan Autoregressive 1 atau AR(1)

ditunjukkan dengan:

yt = a0 + γyt −1 + ε t ..................................................................................(4.7)

dimana et adalah white noise

Jika diasumsikan bahwa parameter ? akan positif (? = 1) maka variabel yt

nonstasioner dan jika parameter ? lebih kecil dari 1 (? < 1) maka variabel yt

stasioner yang diringkas melalui hipotesa berikut :

H0 : ? = 1 Nonstasioner, ada unit root

HA : ? < 1 Stasioner, tidak ada unit root

Dengan aplikasi OLS maka didapat γˆ (estimasi dari ?) dan S γˆ (estimasi standar

error ) maka test statistik adalah :

 γˆ − 1 
TS =   ..........................................................................................(4.8)
 Sγˆ 

Apabila nilai tes statistik lebih kecil dari nilai kritis maka tolak H0,

mengimplikasikan bahwa variabel tidak mengandung unit root artinya stasioner.

Namun permasalahan yang muncul dalam proses tersebut adalah estimasi OLS

untuk γˆ akan bias jika jumah sampel kecil (Thomas, 1997).

Dickey-fuller menganjurkan untuk melakukan transformasi data ke dalam

tiga persamaan regresi dibawah ini (Enders,2004):

yt – yt-1 = ? yt = ?yt -1 + et ................................................................(4.9)


64

yt – yt-1 = ? yt = a0 + ?yt-1 + et .........................................................(4.10)

yt – yt-1 = ? yt = a0 + ?yt-1 + a2t + et.................................................(4.11)

dimana t = variabel trend, ? = a1 – 1.

Hipotesa menjadi :

H0 : ? = 0 Nonstasioner, ada unit root jika TS > t

HA : ? < 0 Stasioner, tidak ada unit root jika TS < t

Test statistik untuk hipotesis ini menjadi :

 γˆ 
TS =   ...........................................................................................(4.12)
 Sγˆ 

Namun permasalahan bias juga direfleksikan pada γˆ dan dengan null hyphotesis

non stasioner, t rasio memiliki distribusi tidak standar bahwa untuk jumlah contoh

yang besar, artinya bahwa tabel normal t tidak dapat digunakan untuk

mendapatkan nilai kritis untuk t ratio.

Dickey dan Fuller (1997) dalam Thomas (1997) dan (Sedighi, 2000)

berdasarkan simulasi Monte Carlo, jika hipotesis menunjukkan bahwa H0 tidak

dapat ditolak artinya ada unit root dalam proses menghasilkan data, memiliki nilai

kritis untuk TS yaitu t(tau) statistik. Nilai kritis ini telah digunakan oleh

Mackinnon melalui simulasi Monte Carlo. Aplikasinya adalah jika data time

series stasioner maka nilai TS harus lebih negatif dari nilai kritis.

Pengujian Dickey-Fuller (DF) mengasumsikan bahwa variabel

diformulasikan sebagai proses first order AR dengan disturbance white noise.

Namun jika asumsi tersebut tidak terpenuhi maka terjadi permasalahan

autokorelasi pada error dari estimasi OLS sehingga Dickey Fuller Test tidak
65

valid. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu

memodifikasi prosedur uji dengan menggenaralisasikan persamaan.

Modifikasi dari Dickey-Fuller Test itu adalah Augmented Dickey-Fuller

Test (Enders, 2004). Disini dilaksanakan pengujian atas persamaan regresi yang

memiliki order lebih dari first order difference, representasi matematis dari

Augmented Dickey-Fuller Test ini adalah :

yt = α + a1 yt −1 + a2 yt −2 + ... + a r yt −i + ε t …………....…..……………(4.13)

direparameterisasi menjadi :

p
∆yt = α 0 + γyt −1 + ∑ β i ∆y t −i +1 + ε t ………......……………………….(4.14)
i =2

dimana :

? = -[1-Sai]; i = 1,2,...,P dan ßi = Sa j; j = 1,2,...,P

Hipotesis

H0 : ? = 0 Nonstasioner, ada unit root jika TS > t

HA : ? < 0 Stasioner, tidak ada unit root jika TS < t

Penyisipan dalam persamaan awal DF dengan Lagged dari variabel

dependent (lagged difference) adalah untuk mengeliminasi kemungkinan

autokorelasi pada error. Untuk menentukan lagged yang harus dimasukkan dalam

persamaan maka digunakan kriteria Akaike’s Information Criterion (AIC) dan

Schwartz Criterion (SC) (Seddighi, 2000).

Philips-Perron Test merupakan pengembangan dari Dickey-Fuller Test.

Dalam pengujian ini tidak diperlukan adanya asumsi error yang homogen dan

independent seperti dalam Dickey Fuller Test, sehingga kondisi error yang

dependent dan heterogen juga dapat diakomodasi dalam pengujian ini. Kelebihan

lain dari Philips-Perron Test dibandingkan dengan Dickey-Fuller Test adalah


66

tidak adanya masalah dalam pemilihan jumlah lag, sementara dalam Dickey-

Fuller Test jumlah lag merupakan hal yang kritis yang dapat mempengaruhi

hasil pengujian kesalahan dalam penentuan jumlah lag bisa berakibat hasil

pengujian menjadi bias.

Phillips-Perron Test juga mengadopsi adanya perubahan yang signifikan

dalam data series seperti misalnya structural break sebagai akibat dari oil shock,

financial deregulation, atau intervensi dari bank sentral terhadap kebijakan

moneter, structural break ini seringkali mengakibatkan berubahnya struktur data

secara permanen (Abimanyu, 1998). Model yang digunakan dalam Phillip-Perron

Test adalah :

Yt – yt-1 = ? yt = ?*yt-1 + et ...................................................................(4.15)

Pengujian kemudian dilakukan terhadap Ho : ?* = ? – 1 = 0. Hasilnya kemudian

dibandingkan dengan tabel yang disajikan oleh Mckinnon Critical Value.

4.3. Analisis Vector Autoregressive

Vector Autoregressive (VAR) merupakan metode lebih lanjut dari sebuah

sistem persamaan yang bercirikan pada penggunaan sejumlah variabel dalam

model secara bersama-sama. Jika didalam persamaan simultan terdapat variabel

endogen dan eksogen, maka dalam VAR setiap variabel dianggap simetris karena

sulit untuk menentukan secara pasti apakah suatu variabel bersifat endogen atau

eksogen.

Endogenitas tingkat harga menyatakan bahwa harga merupakan hasil

interaksi antara permintaan dan penawaran harga, model VAR secara umum dapat

menggambarkan apakah suatu variabel seperti uang beredar mempengaruhi

tingkat harga atau tidak. Apabila sebaliknya, dimana tingkat harga mempengaruhi
67

uang beredar, maka model VAR memungkinkan untuk melakukan uji causalitas

terhadap kemungkinan tersebut. Model VAR juga memungkinkan untuk memilih

struktur selang (lag) yang fleksibel dan menangani pengaruh causalitas

Secara umum bentuk hubungan dalam persamaan (4.1) tersebut diatas

dapat direpresentasikan sebagai berikut, (Gottschalk, 2001):

AYt = B ( L)Yt + ε t ................................................................................(4.16)

Sistem persamaan diatas dikenal sebagai Structural VAR (SVAR) atau bentuk

sistem primitif, dimana Yt adalah vector variabel endogenous dan et adalah suatu

vector structural shock, dengan rata-rata nol dan matrik variance covariance

konstan.

Untuk menjalankan proses regresi, maka di perlukan satu variabel

dependent sebelah kiri dan variabel independent disebelah kanan, selanjutnya

persamaan (4.16) dapat dinyatakan dalam bentuk reduced form sebagai berikut :

Yt = A −1 B ( L)Yt + A −1ε t .........................................................................(4.17)

Atau representasi model Vector Autoregressive (VAR) sebagai berikut :

Yt = Γ ( L)Yt −1 + et ..................................................................................(4.18)

Sedangkan representasi model Moving Average (MA) dapat diturunkan sebagai

berikut dibawah ini.

(1 − Γ( L ))Yt = et ...................................................................................(4.19)

Yt = (1 − Γ( L)) −1 et ................................................................................(4.20)

Yt = C ( L)et ...........................................................................................(4.21)

dimana :

Γ = A −1 B ..............................................................................................(4.22)

et = A −1et ..............................................................................................(4.23)
68

C = (1 − Γ ) ...........................................................................................(4.25)

Dari representasi model AR (4.18) dan MA (4.21) terlihat bahwa dalam model

AR variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari nilai masa lalu dari dirinya

sendiri, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Sebaliknya dalam representasi model

MA variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari structural shock. Model VAR

dinamis pada persamaan (4.18) disebut sebagai unrestricted VAR karena tidak

ada pembatasan linier. Dalam penelitian ini fokus penelitiannya adalah restriksi

linier akan di imposed berdasarkan prediksi teoritis yang sudah ada sebelumnya.

Orthogonalitas VAR

Restriksi yang membedakan model SVAR dengan model persamaan

simultan adalah asumsi bahwa structural innovation adalah orthogonal, yaitu

inovasi eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, eSBIt tidak berkorelasi secara formal hal ini

mensyaratkan matriks variance-covariance Se memiliki bentuk

σ SBW 2 0 0 0 0 0 
 0 σ IPI 2 0 0 0 0 
 
 0 0 σ CPI2 0 0 0 
∑e =  0 0 0 σ ER 2 0 0 


 0 0 0 0 σ M 22 0 
 
 0 0 0 0 0 σ SBI 2 

Karena residu dari reduce form terhubung dengan structural innovation melalui

et=A-1et. Maka matriks variace –covariance bentuk struktural dan reduce form

terhubung melalui ASeA'.

Normalisasi VAR

Model SVAR didasarkan atas respresentrasi model MA (4.21) dari model

struktural, selanjutnya analisa empiris mencoba untuk memperkirakan impulse

response function (IRF) yang diberikan oleh matriks C (L). IRF dihitung untuk
69

menunjukkan respon model struktural terhadap shock structural innovation

sebesar satu standar deviasi, Normalitas model SVAR dilakukan dengan

menentapkan varian s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, dan s SBIt sama dengan satu. Oleh

karena shock standar deviasi berhubungan dengan unit inovasi dari eSBWt, eIPIt,

eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt secara berurutan, maka matrik variance covariance dari

innovasi struktural diasumsikan memiliki bentuk :

1 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0

0 0 1 0 0 0
∑ e = 0 0 0 1 0 0


0 0 0 0 1 0
 
0 0 0 0 0 1

Atau Se= I secara teknis, karena struktural innovation hubungan dengan gangguan

pada reduce form dalam bentuk et=A-1et, maka matrik A di normalisasi

sedemikian rupa sehingga A Se A = Se=I

Identifikasi Matrik A

Model SVAR bertujuan untuk mengidentifikasi structural innovation e

dan melacak respon variabel lain dalam model dinamis terhadap shock tersebut.

Model SVAR memberikan fokus perhatian terhadap gubungan et = A-1et dan

mengidentifikasikan struktural innovation e dengan menetapkan restriksi pada

matriks A. Dengan kata lain, Dalam model SVAR hubungan dinamis dalam

perekonomian di modelkan dalam bentuk suatu hubungan antar shock.

Secara umum persamaan (4.23) menyatakan bahwa error reduce form

terhubung dengan struktural shock semata-mata melalui struktur matrik A apabila

matrik A-1 dinyatakan sebagai berikut :


70

γ 11 γ 12 γ 13 γ 14 γ 15 γ 16 
 
γ 21 γ 22 γ 23 γ 24 γ 25 γ 26 
γ 31 γ 32 γ 33 γ 34 γ 35 γ 36 
A−1 =   ................................................(4.26)
γ 41 γ 42 γ 43 γ 44 γ 45 γ 46 
γ 51 γ 52 γ 53 γ 54 γ 55 γ 56 
 
γ 61 γ 62 γ 63 γ 64 γ 65 γ 66 

Sehingga error reduce form terhubung dengan struktural shock melalui struktur

matrik A dapat dinyatakan sebagai berikut :

et = A −1ε t .............................................................................................(4.27)

eSBW ,t  γ 11 γ 12 γ 13 γ 14 γ 15 γ 16  ε SBW ,t 
    
e
 IPI ,t  γ 21 γ 22 γ 23 γ 24 γ 25 γ 26   ε IPI ,t 
 eCPI,t  γ 31 γ 32 γ 33 γ 34 γ 35 γ 36   ε CPI,t 
 =    …………..……..(4.28)
 e ER , t  γ 41 γ 42 γ 43 γ 44 γ 45 γ 46   ε ER ,t 
 e M 2 ,t  γ 51 γ 52 γ 53 γ 54 γ 55 γ 56   ε M 2 ,t 
    
 eSBI ,t  γ 61 γ 62 γ 63 γ 64 γ 65 γ 66   ε SBI ,t 

Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt merupakan struktural shock. Hal

ini memungkinkan untuk menelurusi respon model dinamis terhadap structural

shock suatu variabel ekonomi akan memberikan tanggapan secara

contemporaneous terhadap semua shock yang relevan terhadap dirinya. Hal ini

berarti bahwa tidak ada elemen baris dari matrik A-1 yang berhubungan dengan

variabel tersebut bernilai nol.

4.4. Granger Causality Test

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara

dua variabel yang diuji. Setelah mengetahui lag optimal bagi sistem VAR,

pengujian ini pun akan langsung dapat dilakukan. Model uji kausalitas granger

(1969) dibawah ini

yt = α 0 + α1 yt −1 + α 2 yt −2 + α 3 yt −3 + β1 xt −1 + β 2 xt −2 + β 3 xt −3 + ε t ........(4.29)
71

Hipotesis nol yaitu kedua variabel tidak memiliki pengaruh antar variabel,

Bila gunakan Probability value < alpha (10%) maka hipotesis nol ditolak artinya

ada hubungan kausalitas searah antar variabel. Dengan kata lain pergerakan

variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh pada pergerakan variabel lain.

4.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error Variance


Decomposition

4.5.1. Impulse Response Function

Impulse Response Function (IRF) dapat dijelaskan dengan menggunakan

representasi model Autoregressive (AR) dan model Moving Average (MA) atas

model VAR. secara umum representasi AR (4.18) tersebut diatas dapat dituliskan

sebagai berikut :

p
Yt = ∑ ΓiYt −1 + et .................................................................................(4.30)
i =1

Sedangkan representasi model MA (4.21) diatas dituliskan sebagai berikut

dibawah ini :


Yt = ∑ Cjet − j .......................................................................................(4.31)
j=0

Dengan mengsubtitusi persamaan (4.30) kedalam persamaan (4.31) maka

diperoleh :

∞ ∞ ∞ ∞

∑ Cjet − j = Γ1∑ Cje j−i−1 + Γ 2∑ Cje j−i−2 + ... + Γp ∑ Cje j−i−k + et .......(4.32)
j =0 j=0 j =0 j=0

Selanjutnya dengan menyederhanakan persamaan (4.32) maka diperoleh seperti

berikut dibawah ini :

C (C0 − I )et + (C1 − Γ1C 0 )et −1 + (C 2 − Γ1C1 − Γ 2(0)et −2 + ....


∞ p
... + ∑ (Cj − ∑ Γi( j − i)et − j = 0..........................................................(4.33)
j = k +1 i =1
72

Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi

persamaan (4.33) maka diperoleh seperti berikut dibawah ini

(C 0 − T ) et + (C1 − Γ1C 0 )et −1 + (C 2 − Γ1C1 − Γ2C 0 )et −2 + ......


∞ p
...... + ∑
j = k +1
(Cj − ∑ Γ ( j − i)et − j = 0 ......................................................(4.34)
i =1

Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi

persamaan (4.21) maka diperlukan bahwa masing-masing ekspresi didalam

kurung harus sama dengan nol. Sehingga secara berulang Cj dapat dihitung

sebagai berikut :

C0 = I
C1 = Γ1C 0
........
........
p
Cj = ∑ ΓiC j −i , untuk 1 = p .................................................................(4.35)
i =1

Setelah diperoleh Cj selanjutnya dapat dibuat model representasi MA berkaitan

dengan struktural shock et berdasarkan identifikasi matrik A dan hubungan pada

persamaan (4.23), maka persamaan (4.31) dapat ditulis sebagai berikut :


Yt = ∑ CjA
j=0
−1
0 εt− j ..................................................................................(4.36)

Yt = ∑ Ψ j ε t − j ......................................................................................(4.37)
j=0

4.5.2. Forecast Error Variance Decomposition

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menjelaskan proporsi

pergerakan suatu variabel akibat shock dari variabel itu sendiri relative terhadap

dampaknya kepada pergerakan variabel lain secara berurutan. Dengan kata lain,

sebenarnya FEVD memberikan informasi secara relatif tentang seberapa penting

setiap inovasi terhadap perubahan variabel lain dalam VAR (Gottschalk, 2001).
73

Berdasarkan representasi MA persamaan (4.35) dapat dibuat deviasi dari

peramalan h periode kedepan Et(Xt+h ) dari nilai aktual Xt+h , yaitu sebagai berikut :


Yt + h − Et (Yt + h ) = ∑ Ψ j (ε t + h− j − Et ε t + h− j )
j=0

h−1
= ∑ Ψ j ε t + h− j ................................................................(4.38)
j=0

Dan Forecast Error Variance dihitung melalui komponen diagonal sebagai

berikut:

h−1
E (Yt + h − Et Yt + h ) 2 = ∑ Ψ j ∑ eΨ ' j .......................................................(4.39)
j=0

Atau secara sederhana dapat dinyatakan bahwa Forecast Error Variance dari

variabel k dihitung sebagai berikut :

h −1
= ∑ Ψ j , k ∑ eΨ ' j, k .............................................................................(4.40)
j =0

Dimana Ψj, k merupakan baris ke k dari Ψj .


74

V. PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN


MAKROEKONOMI INDONESIA

5.1. Awal Krisis Asia

Krisis yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari krisis yang terjadi di

Asia Tenggara, yang pemicunya adalah krisis ekonomi di Thailand. Krisis di

Thailand sendiri mulai kelihatan sejak pertengahan tahun 1996. Waktu itu harga

saham di Bursa Efek Thailand (Stock Exchange of Thailand/SET), yang

mengalami bullish sepanjang 1993-1995, merosot tajam. Pada tanggal 24 Oktober

1996, indeks saham gabungan di SET berada pada posisi 535 poin, atau 42.9

persen lebih rendah dibandingkan angka setahun sebelumnya. Penurunan IHSG

terjadi karena para pelaku pasar memproyeksikan bahwa profitabilitas emiten di

Thailand akan memburuk sejalan dengan memburuknya perekonomian nasional.

Memburuknya perekonomian Thailand bisa dilihat dari defisit transaksi

berjalan yang terus membengkak dari 366 juta dollar AS pada tahun 1987 hingga

mencapai 14.7 milyar dollar AS pada tahun 1996. Pada tahun 1996 itu, defisit

transaksi berjalan Thailand mencapai 8.2 persen dari produk domestik bruto

(PDB)-nya. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka di Malaysia (4.6

persen), Indonesia (3.6 persen) dan Filipina (3.2 persen). Angka defisit ini terjadi

antara lain karena meningkatnya arus investasi ke luar negeri. PDB Thailand

sendiri cenderung menurun dari 13.3 persen pada tahun 1988 menjadi hanya 5.5

persen pada tahun 1996. Kondisi tersebut diperburuk oleh kebijakan moneter

pemerintahan Thailand.

Awalnya sejak tahun 1993 sampai tahun 1996 laju inflasi Thailand rata-

rata mencapai 5.1 persen. Angka ini jauh diatas laju inflasi di AS, yang dalam
75

periode tersebut rata-rata 2.4 persen. sejalan dengan selisih inflasi itu mestinya

kurs baht terhadap dollar AS disesuaikan. Tetapi tidak. Kurs baht dijaga oleh

Bank of Thailand, bank sentral Thailand, rata-rata pada level 25.4 baht per dollar

AS sejak tahun 1987. Untuk menjaga kurs, BOT menawarkan suku bunga

simpanan baht sekitar 13.5 persen setahun, dibandingkan suku bunga dollar AS

sekitar 8 persen, kalau diperlukan, BOT akan siap membeli baht di pasar.

Kedua kebijakan BOT ini membuat banyak perusahaan memilih

meminjam dollar AS daripada meminjam baht. Alasanya, dengan meminjam

valuta asing para debitor membayar suku bunga lebih rendah daripada kalau

meminjam dalam bentuk baht. Pada saat itu risiko kurs tidak ada karena kebijakan

pemerintah menjaga kurs. Banyak debitur di Thailand waktu itu menggunakan

pinjaman valasnya untuk diinvestasikan di properti. Pada tahun 1996 pasar

properti Thailand banyak sehingga banyak pengembang tidak bisa membayar

utangnya. Kondisi ini membuat bank-bank Thailand lemah.

Karena laju Inflasi Thailand tinggi sedangkan nilai baht terhadap dollar

AS relatif tetap, barang-barang unggulan Thailand seperti tekstil dan sepatu terasa

lebih mahal dibandingkan produk sejenis di Cina dan negara ASEAN lain.

Akibatnya, nilai ekspor Thailand menurun dengan pasti. Pada saat yang sama,

impor barang tetap saja besar, baik untuk investasi maupun konsumsi. Pada

gilirannya, kondisi ini mendorong laju defisit neraca berjalan.

Lemahnya fundamental Thailand dipercaya banyak pihak menggiurkan

para spekulator valas. Yang mereka lakukan kemudian adalah menjual baht pada

Mei 1997. Menghadapi permintaan ini, BOT tidak bisa berbuat lain selain

melayani. Kalau tidak, spekulator bisa membeli dollar dengan lebih tinggi dari

kurs resmi. Kalau ini terjadi, nilai baht me nurun. Namun demikian, karena
76

besarnya penjualan baht (dengan kata lain pembelian dollar), pemerintah Thailand

akhirnya tidak mampu menahan mata uangnya. Setelah menghabiskan cadangan

devisa sekitar 5 Milyar Dollar US, akhirnya BOT takluk pada kekuatan pasar

dengan mengambangkan mata uangnya pada 2 Juli 1997, Akibatnya nilai baht di

pasar valuta menurun sampai ke level 31.5 baht per dollar dan terus merosot pada

tahun 1998. Pada saat nilai baht sudah terdepresiasi secara tajam, spekulan

menjual dollarnya pula, pada saat krisis mata uang memuncak elit ekonomi dan

politik di Thailand berpecah-pecah karena isu politik. Setelah Thailand, spekulan

valas menggempur mata uang Filipina lalu Malaysia kemudian Indonesia

sehingga pemerintah Indonesia melepaskan mata uangnya ke mekanisme pasar

pada 14 Agustus 1998. (Cahyono,2000)

Dengan demikian, dalam rezim kurs mengambang bebas, kurs dibiarkan

mengambang sesuai mekanisme pasar. Oleh karena itu, kurs nominal disuatu

negara akan sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kurs domestik di

pasar valuta asing (foreign exchange market).

Tabel 3. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3

Negara Sistem Nilai Tukar


Brunei Currency Board (pegged terhadap dollar Singapura)
Kamboja Mengambang terkendali
Cina Mengambang terkendali
Indonesia Mengambang bebas
Jepang Mengambang bebas
Korea Selatan Mengambang terkendali
Laos Mengambang terkendali
Malaysia Mengambang terkendali
Myanmar Mengambang terkendali (terhadap SDR)
Filipina Mengambang bebas
Singapura Mengambang terkendali
Thailand Mengambang terkendali
Vietnam Mengambang terkendali
Sumber : IMF, Annual Report on Exchange Restriction and Exchange Arrangement, 2005 dan ASEAN
Capital Account Policies, 2006
77

Kekuatan kurs di pasar valas ini pada akhirnya juga ditentukan oleh besar

kecilnya perekonomian dari suatu negara. Jika perekonomian cenderung

perekonomian terbuka kecil maka fluktuasi kurs cenderung lebih volatile.

Apalagi jika tidak didukung oleh struktur pasar domestik yang baik maka

volatilitas kurs yang tinggi akan cenderung menyebabkan depresiasi. Tabel 3

menyajikan transformasi rezim kurs di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan pasca

terjadinya krisis keuangan.

5.2. Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia

Asia telah muncul sebagai sebuah mesin pertumbuhan dunia

perekonomian yang menghasilkan 30 persen lebih dari PDB dunia dan

memberikan kontibusi hingga separuh pertumbuhan global pada tahun belakangan

ini (Rato, 2005). Pada semester pertama tahun 2004, petumbuhan ekonomi di Asia

Tenggara sangat mengesankan. Perekonomian Laos, Malaysia, Singapura,

Thailand, dan Vietnam mencatat prestasi jauh di atas perkiraan, sementara Brunei,

Kamboja, Indonesia, dan Filipina juga mengalami pertumbuhan, meskipun

dengan langkah maju yang lebih moderat. Thailand, misalnya, mampu

meningkatkan volume perdagangan interegionalnya dengan negara-negara

ASEAN yaitu dengan Cina dari 15.7 persen menjadi 20.3 persen, dengan Korea

Selatan dari 13.1 persen menjadi 15.9 persen, dan dengan Jepang dari 14.1 persen

menjadi 15.0 persen.

Kondisi pertumbuhan ekonomi dan perdagangan intra-industri di antara

Asia Timur 9 dan Jepang ini membawa perubahan besar dalam perkembangan

regionalisme ekonomi Asia timur dan memberikan dorongan kuat bagi terciptanya

Masyarakat Asia Timur atau Kerjasama Ekonomi Asia Timur (EAEC), yang
78

diharapakan mampu meminimalkan risiko yang melekat pada sistem keuangan

global yang ada sekarang, selain juga meningkatkan rasa persaingan di antara

anggota kelompok (Hanafi, 2005). Pembentukan EAEC didasarkan atas kerjasama

ekonomi terutama menjadi agenda penting sejak terjadinya krisis keuangan yang

melanda Asia (Asian Financial Crisis/AFC) pada pertengahan tahun 1997.

Menurut Lembaga Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi

Asia kuartal pertama 2006 mencapai tujuh persen. Angka tersebut sama dengan

pertumbuhan yang dicapai pada 2005. Menurut IMF pesatnya pertumbuhan ini

tidak terlepas dari perubahan pesat yang terjadi di Jepang dan Cina. Dalam

laporannya IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi

disebabkan oleh berkembangnya permintaan akan sejumlah kebutuhan pokok

terutama elektronik. Selain itu masih menurut IMF, Kebijakan pasar keuangan

yang begitu ketat juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. Perbankan di Asia

Mengalami kemajuan dimana banyaknya sejumlah bank yang memberikan

fasilitas kredit kepada (industri) rumah tangga. Terlepas dari itu faktor investasi

juga menjadi faktor penting dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan

ekonomi sebesar 9.5 persen dan masih relatif lebih kecil dibandingkan tahun

2005 sebesar 9.9 persen. IMF juga menyampaikan perkiraan pertumbuhan

ekonomi Jepang yang mencapai 2.8 persen tahun ini. Nilai ini sedikit berada

diatas tahun lalu yang mencapai 2.7 persen.

5.3. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia mengalami pasang surut dalam perjalananya.

Sebelum terjadinya krisis multidimensional yang memuncak sejak pertengahan

tahun 1997, keadaan perekonomian Indonesia relatif cukup baik.


79

Menurut data Bank Indonesia, dalam tahun 1996 mencatat kinerja yang

sangat baik dengan ditandai indikator makroekonomi, antara lain tingkat

pertumbuhan ekonomi mencapai 7.8 persen pertahun dan inflasi pada bulan 5

pertama mampu mencapai tingkat terendah selama 10 tahun terakhir pada periode

yang sama, cadangan resmi pemerintah mencapai US $ 20 milyar pada bulan

Maret 1997 atau sama dengan perkiraan 5 bulan impor, investasi asing langsung

luar negeri mencapai nilai US $ 6.5 milyar pada tahun fiskal 1996/1999, kalangan

pelaku bisnis maupun dari pemerintah dikejutkan, tiba-tiba perekonomian

indonesia mengalami perubahan yang drastis. berawal dari ambruknya

perdangangan valuta asing di kawasan Asia, terutama yang melanda kehancuran

pasar valuta asing di Thailand, kemudian menjalar ke negara tetangga termasuk

Indonesia. Kejadian tersebut disikapi secara optimis oleh para pejabat Indonesia

dan para ekonom yang pro terhadap kebijakan pemerintah.

Menurut Sudjijono (2003), keyakinan para pejabat dan ekonom yang pro

terhadap kebijakan pemerintah karena melihat terdapatnya indikasi yang positif

bila dilihat dari angka surplus perdagangan termasuk migas, pertumbuhan angka

ekspor yang tinggi, cadangan devisa yang cukup kuat sampai 5-6 bulan impor,

tingkat suku bunga memadai, dan tingkat inflasi satu digit terkendali dibawah 10

persen. Hal – hal tersebut sering diungkapkan oleh pejabat pemerintah, tetapi

dalam perkembangnya cukup tragis dimana keadaan eksternal yang bergolak

penuh dengan spekulasi tidak terbendung lagi menghantam daya tahan Rupiah.

Nilai tukar riil rupiah mengalami depresiasi yang tajam terhadap dollar Amerika

sebesar 68 persen, hal tersebut akan berakibat pada melemahnya posisi neraca

pembayaran, Menurut data Bank Dunia (1999), pada tahun 1997 mencatat total
80

stock utang luar negeri secara riil mencapai 64.25 persen GDP, kemudian

membengkak menjadi 95.3 persen GDP.

Memburuknya kondisi perekonomian internasional tersebut membawa

dampak pada perubahan perekonomian dalam negeri. Harga barang- barang

impor melonjak tinggi, kemudian diikuti oleh kenaikan harga barang-barang lain

yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan nilai tukar rupiah terhadap

dollar yang lebih merupakan pengaruh psikologi (sentimen pasar). Data pada

akhir tahun 1997 tercatat angka inflasi mencapai 11.1 persen per tahun, dan terus

meningkat hingga mencapai 77.6 persen pertahun pada tahun berikutnya. Menurut

data Bank Indonesia (1999), pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) mencatat

sebesar 4.7 persen, hingga tahun 1998 turun sebesar 13.2 persen. Faktor-faktor

inilah yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang berkembang menjadi

krisis multidimensional yang menyentuh segala aspek kehidupan. Menurut

Sudjijono (2002), krisis ekonomi merupakan indikasi dari kegagalan sistem pasar

(market failure), sedangkan ketidakberdayaan pihak pemerintah merupakan

kegagalan sistem pemerintahan (government failure).

5.4. Gambaran Perkembangan Makroekonomi Indonesia

Perekonomian Indonesia pasca krisis masih menunjukkan bahwa stabilitas

belum tercapai secara penuh. Sementara pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006

telah mencapai 5.5 persen setelah krisis dan menunjukkan kecendrungan

meningkat, industrial production index serta uang beredar juga cendrung

meningkat setiap tahunnya, sedangkan beberapa indikator makroekonomi lainnya

tetap mengalami fluktuasi seperti inflasi,sukubunga SBI,dan sukubunga dunia dan


81

nilai tukar rupiah mengalami penurunan dari periode 1999 sampai 2006 (Tabel 4).

Namun setelah itu trendnya menuju arah yang sebaliknya.

Tabel 4. Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 1999-2006

Rincian 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006


Pertumbuhan PDB (%) 5.76 4.9 3.5 4.4 4.9 5.1 5.6 5.5
Industrial Production Index 105.44 100 104.27 107.67 113.55 117.33 118.85 120.96
M2 (Milyar) 624151 685464 786741 849401 903987 970838 1092069 1260445
Nilai Tukar (Rp/$) 7808 8534 10265 9261 8571 9030 9750 9141
Inflasi (%) 2.01 9.35 12.55 10.03 5.06 6.4 17.11 6.6
Sukubunga SBI (%) 11.92 14.53 17.62 12.93 8.31 7.43 9.23 11.83
Sukubunga Dunia (%) 8.02 9.27 6.7 4.6 4.12 4.47 6.41 8
Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia 2006

Nilai tukar rupiah pada tahun 1999 sebesar Rp. 7808 per dollar AS

depresiasi menjadi Rp.10 265 per dollar AS. Dari tahun 2001 ke tahun 2003 nilai

tukar rupiah menguat (apresiasi) menjadi Rp.8570 per Dollar AS dan inflasi

mengalami penurunan sampai tahun 2003 sebesar 5.06 persen. Pada tahun 2005

nilai tukar rupiah mengalami depresiasi lagi menjadi Rp. 9750 per dollar AS

sedangkan inflasi mengalami kenaikan lagi 17.11 persen artinya semakin nilai

tukar mengalami depresiasi maka harga mengalami kenaikan sehingga terjadi

inflasi. begitu juga sebaliknya apabila nilai tukar mengalami apresiasi maka harga

mengalami penurunan.

Sukubunga SBI bulanan pada tahun 1999 sebesar 11.92 persen mengalami

peningkatan menjadi 17.62 persen pada tahun 2001. Pada tahun 2002 suku bunga

SBI sebesar 12.93 persen lebih rendah dari dua tahun sebelumnya. Pada tahun

2004 suku bunga SBI merupakan rekor terendah pasca krisis yaitu sebesar 7.43

persen. Begitu juga Sukubunga dunia bulanan pada tahun 1999 sebesar 8.02

persen mengalami peningkatan pada tahun 2000 sebesar 9.27 persen . Pada tahun
82

2004 turun manjadi sebesar 4.47 persen dan pada tahun 2006 meningkat lagi

sebesar 8.0 persen

Pertumbuhan ekonomi dari tahun 1999 ke tahun 2003 mengalami

penurunan dari 5.76 persen menjadi 4.90 persen. Sedangkan dari tahun 2004

kembali meningkat sebesar 5.10 persen dan turun sampai tahun 2006 sebesar 5.5

persen. Tingkat inflasi dari tahun 1999 sebesar 2.01 persen mengalami

peningkatan menjadi 12.55 persen pada tahun 2001. pada tahun 2002 tingkat

inflasi sebesar 10.03 persen lebih rendah dari tahun 2001, namun masih lebih

besar dari tahun 2000. Penurunan inflasi drastis terjadi pada tahun 2003 yaitu 5.06

persen yang hampir separuhnya dari tahun 2002. Tahun 1999 tersebut merupakan

tahun inflasi terendah pasca krisis, dan pada tahun 2005 mengalami peningkatan

lagi menjadi 17.11 persen dan turun pada tahun 2006 sebesar 6.60 persen. Oleh

karena itu apabila dengan membaiknya pertumbuhan perekonomian tetapi tidak

didukung oleh variabel inti makroekonomi lainnya karena semakin tidak

terkendalinya variabel makroekonomi Indonesia, jika ini dibiarkan terus menerus,

maka akan membahayakan pertumbuhan itu sendiri.

Pertumbuhan ekonomi yang membaik, jika tidak ditopang oleh perbaikan

variabel makroekonomi lainnya, akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi itu

sendiri. Peningkatan suku bunga akan berdampak negatif pada sisi permintaan dan

sisi penawaran agregat. Pasa sisi permintaan, peningkatan suku bunga akan

berdampak pada penurunan konsumsi, investasi dan semakin tidak kompettifnya

ekspor (daya saing melemah). Penurunan peranan ketiga komponen ini akan

mengerem laju pertumbuhan dari sisi permintaan.

Dari sisi penawaran, peningkatan suku bunga akan berdampak terhadap

meningkatnya biaya – biaya (cost push). Peningkatan suku bunga, akan


83

meningkatkan sukubunga pinjaman (terutama pinjaman modal kerja). Peningkatan

kapasitas produksi maupun perluasan usaha akan semakin terbebani jika biaya

modal kerja mahal. Akhirnya produksi akan terhambat akibat suku bunga tinggi

atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran akan terhambat.

Peningkatan laju inflasi juga akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi.

Inflasi artinya terjadi kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan harga-harga

yang tidak terkendali akan berdampak negatif terhadap sisi permintaan maupun

sisi penawaran. Kenaikan harga –harga barang konsumsi yang dihasilkan oleh

produsen domestik, akan mengalihkan preferensi konsumen untuk mengkonsumsi

barang-barang impor yang sejenis. Artinya, konsumsi barang-barang yang

dihasilkan oleh produsen domestik akan menurun akibat tingginya inflasi.

Kenaikan harga-harga barang domestik juga akan memicu impor, karena

dipandang barang impor lebih murah (kompetitif). Selain itu, kenaikan harga-

harga akan memperlemah daya beli konsumen (terutama yang berpendapatan

tetap dan rendah). Ekspor juga akan melemah karena kenaikan harga-harga

menyebabkan mahalnya barang-barang yang diproduksi di domestik. Lebih parah

lagi, karena inflasi tinggi, maka tabungan masyarakat akan berkurang.

Dari sisi penawaran, kenaikan harga-harga pada batas-batas tertentu

memang akan merangsang produksi, karena produsen akan memperoleh

penerimaan tinggi, sehingga meningkatkan profitnya. Namun, jika daya beli

masyarakatnya menurun (karena harga-harga meningkat) maka penerimaan

perusahaan juga akan terkendala. Kenaikan harga-harga akan membebani

perusahaan dari sisi produksi. Kenaikan harga-harga akan memicu kenaikan upah

karyawan dan biaya bahan baku, sehingga keuntungan perusahaan akan

berkurang. Selain itu, kenaikan harga-harga juga akan menambah resiko berusaha,
84

karena ketidakpastian berusaha. Tingginya ketidakpastian berusaha akan

mengakibatkan relokasi industri ke negara-negara lain. Akumulasi dampak negatif

inflasi tinggi, akan mengakibatkan kerawanan sosial dan perpecahan. Jadi,

singkatnya inflasi yang tinggi merupakan beban (cost) baik dari sisi ekonomi

maupun sosial.

Pelemahan nilai tukar rupiah akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi.

Dari sisi permintaan, terdepresiasinya rupiah akan mempengaruhi konsumsi,

investasi dan ekspor-impor. Nilai tukar rupiah yang semakin melemah akan

mempengaruhi preferensi konsumen dalam memilih barang yang sejenis. Rupiah

yang terdepresiasi artinya harga barang-barang impor menjadi lebih mahal

dibandingkan harga-harga produksi dalam negeri. Jika rupiah terdepresiasi, sesuai

dengan prinsip maksimisasi kepuasan konsumen akan mengalihkan konsumsinya

ke produk-produk lokal. Jika produk lokal yang sejenis terbatas atau kualitasnya

dianggap rendah, maka konsumen terpaksa memilih produk impor atau tidak

melakukan konsumsi yang dibutuhkannya.

Ketidakstabilan variabel makroekonomi khususnya inflasi dan nilai tukar

tidak terlepas dari permasalahan klasik yang dihadapi Indonesia. Periode pasca

krisis perekonomian Indonesia memiliki sejumlah permasalahan berat.

Permasalahan itu diantaranya (1) tingginya hutang luar negeri, (2) masih tingginya

subsidi BBM dan terbatasnya pendanaan APBN, (3) masih terbatasnya kapasitas

produksi, masih tingginya impor bahan baku, masih lemahnya daya saing, dan

masih lemahnya kinerja ekspor, dan (4) masih belum optimalnya struktur dan

kelembagaan perbankan. Karena perekonomian Indonesia rentan, ketika terjadi

guncangan baik yang berasal dari internal maupun eksternal, menyebabkan

ketidakseimbangan pada variabel makroekonomi Indonesia.


85

Dari sisi internal, pemerintah (otoritas fiskal) mengupayakan pertumbuhan

ekonomi yang diindikasikan dengan meningkatnya investasi. Namun karena

kapasitas industri masih terbatas dan kandungan impor bahan baku industri masih

tinggi, maka selain kurang tersentuhnya penyerapan tenaga kerja juga

menimbulkan pengurasan devisa dan tingginya inflasi. Dari sisi eksternal,

peningkatan sukubunga AS dan peningkatan harga minyak dunia, menyebabkan

semakin beratnya beban APBN, akibat meningkatnya subsidi BBM dan

pembayaran utang termasuk cicilanya. Masih bermasalahnya struktur

perekonomian, tekanan otoritas fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi

dan kuatnya tekanan negatif eksternal, semakin memberatkan otoritas moneter

untuk menstabilkan variabel makroekonomi.


86

VI. PENGUJIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

6.1. Uji Sifat Time Series Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data runtun waktu (time

series) bulan, yaitu dari bulan Januari 1999 sampai Desember 2006. Data ekonomi

yang runtun waktu biasanya tidak stasioner, maka diperlukan uji akar akar unit,

Uji akar unit bertujuan untuk mengamati apakah koefisien variabel tertentu dari

model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Metode

pengujian akar-akar unit yang digunakan adalah dengan uji Augmented Dickey

Fuller (ADF) selanjutnya hasil ADF harus dibandingkan dengan nilai kritis yang

dikembangkan MacKinnon.

6.2. Kestasioneran Data

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, data time series

(deret waktu) memerlukan pengujian terlebih dahulu terhadap kestasionerannya.

Apabila pada data time series langsung dilakukan analisis akan menghasilkan

hasil yang spurious karena dalam variabel tersebut sering kali mengandung unit

root (Verbeek, 2000). Oleh karena itu sebelum masuk pada tahapan analisis

SVAR maka terlebih dahulu dilakukan uji Augmented Dickey Fuller (ADF),

dimana dalam pengujian ini terlihat ada atau tidaknya unit root dalam variabel.

Kriteria uji dalam ADF ini membandingkan antara nilai statistik dengan nilai

kritikal dalam tabel Dickey Fuller. Apabila nilai ADF statistik lebih kecil dari

nilai McKinnon Critical Value maka data bersifat stasioner. Tetapi apabila nilai

ADF statistik lebih besar dari nilai McKinnon Critical Value maka data bersifat

non stasioner.
87

Tabel 5. Uji Akar Unit Level

Variabel Nilai ADF Nilai Kritis McKinon Keterangan


1% 5% 10%
SBW -0.1441 -2.5897 -1.9442 -1.6144 Tidak Stasioner
LIPI 1.7676 -2.5927 -1.9447 -1.6142 Tidak Stasioner
LCPI 6.0273 -2.5895 -1.9442 -1.6142 Tidak Stasioner
LER -0.0114 -2.5895 -1.9442 -1.6145 Tidak Stasioner
LM2 6.2343 -2.5895 -1.9442 -1.6145 Tidak Stasioner
SBI -3.1223 -2.5897 -1.9442 -1.6144 Stasioner

Berdasarkan hasil dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa data sukubunga dunia

(SBW), industrial production index (IPI), indeks harga konsumen Indonesia,

nilai tukar rupiah per dollar (ER), permintaan uang (M2) tidak stasioner karena

nilai ADF kelima variabel tersebut lebih besar dari nilai kritis McKinnon.

Sedangkan untuk variabel suku bunga sertifikat bank Indonesia (SBI) stasioner

pada level untuk tingkat kritis 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Oleh karena data

untuk kelima variabel lainnya tidak stasioner (lampiran 4) maka perlu dilanjutkan

pada uji akar unit pada first difference. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya

asumsi stasioneritas pada tingkat level atau derajat nol atau I (0) maka akan

dilakukan uji derajat integrasi. Pada uji ini data didefrensiasikan pada derajat

tertentu sampai semua data menjadi stasioner pada derajat yang sama.

Berdasarkan hasil akar unit tingkat derajat terintegrasi satu I(1) atau first

diffrence semua data bersifat stasioner (lampiran 4), hal tersebut dikarenakan nilai

ADF-nya lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon. Hasil uji akar unit derajat

satu atau I (1) dapat dilihat pada Tabel 6. Penggunaan data perbedaan pertama

(first difference), menurut Sims dalam Enders (2004) tidak direkomendasikan

sebab akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu untuk

menganalisis informasi jangka panjang akan diguanakan data level sehingga


88

model SVAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (Error

Correction Model) menjadi VECM.

Tabel 6. Uji Akar Unit First Difference

Variabel Nilai ADF Nilai Kritis Mc Kinon Keterangan


1% 5% 10%
DSBW -5.1547 -2.5897 -1.9442 -1.6144 Stasioner 5%
DLIPI -3.9295 -2.5931 -1.9447 -1.6142 Stasioner 5%
DLCPI -6.2536 -2.5897 -1.9442 -1.6144 Stasioner 5%
DLER -10.0801 -2.5897 -1.9442 -1.6144 Stasioner 5%
DLM2 -4.1346 -2.5900 -1.9443 -1.6144 Stasioner 5%
DSBI -3.3901 -2.5897 -1.9442 -1.6144 Stasioner 5%

6.3. Pengujian Lag Optimum

Sebelum masuk kedalam tahapan analisis structural VAR akan dilakukan

uji VAR untuk mengetahui jumlah lag optimum yang akan digunakan dalam

variabel yang akan dianalisis. Jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini

didasarkan pada nilai Akaike Information Criteria (AIC) yang terkecil atau

minimum. Tabel 7. menunjukkan output VAR lag order selection criteria

(lampiran 5) dengan menggunakan panjang lag sebagai berikut dibawah ini.

Tabel 7. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ


0 738.6510 NA 2.36E-15 -16.65116 -16.48225* -16.58311
1 799.1764 111.4218 1.36E-15* -17.20856* -16.02619 -16.73221*
2 825.8144 45.40553 1.70E-15 -16.99578 -14.79996 -16.11114
3 860.1311 53.81492 1.81E-15 -16.95753 -13.74825 -15.66459
4 889.2988 41.76277 2.24E-15 -16.80224 -12.57951 -15.10101
5 917.1936 36.13645 2.95E-15 -16.61804 -11.38185 -14.50851
6 965.6559 56.17230* 2.57E-15 -16.90127 -10.65163 -14.38345
7 993.5264 28.50388 3.83E-15 -16.71651 -9.453408 -13.79039

Model VAR didasarkan pada perhitungan VAR estimate dengan melihat

Akaike Information Criteria (AIC) untuk mendapatkan lag optimal. Akaike

information criteria (AIC) yang terkecil merupakan salah satu indikator kebaikan

suatu model. Oleh karena itu dari Tabel 7. kita dapat menyimpulkan bawah lag
89

optimal yang akan dipakai dalam persamaan adalah lag satu. Adapun persamaan

VAR dengan lag 1 dalam format umum diestimasi sebagai berikut (angka dalam

tanda kurung adalah menunjukkan standar error) :

DLER = - 0.0109*DSBW(-1) - 0.0282*DLIPI(-1) - 0.0601*DLCPI(-1) + 0.0753*DLER(-1) –


(0.0248) (0.0579) (0.5877) (0.1467)

0.7424*DLM2(-1) + 0.0006*DSBI(-1) + 0.0075


(0.5313) (0.004)

DLCPI = - 0.0016*DSBW(-1) - 0.0096*DLIPI(-1) - 0.0170*DLCPI(-1) - 0.0670*DLER(-1) +


(0.0044) (0.0103) (0.1047) (0.0261)

0.3010*DLM2(-1) + 0.0032*DSBI(-1) + 0.0048


(0.0946) (0.0008)

Berdasarkan hasil persamaan nilai tukar rupiah (DLER) menunjukkan

bahwa sukubunga dunia, industrial production index, inflasi, uang beredar

berpengaruh negatif pada lag pertama terhadap nilai tukar rupiah, sedangkan nilai

tukar rupiah sendiri dan sukubunga SBI berpengaruh positif pada lag pertama

terhadap nilai tukar rupiah. Dengan R-square senilai 0.03 dan F-hitung sebesar

0.43. Artinya nilai tukar rupiah hanya mampu memberikan penjelasan terhadap

variabel makroekonomi sebesar 3 persen sedangkan 97 persen dijelaskan oleh

faktor lain yang tidak terdapat dalam estimasi. Sedangkan variabel makroekonomi

dalam negeri tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan nilai tukar

rupiah. Faktor- faktor lain tersebut bisa dikategorikan dalam faktor ekonomi

lainnya maupun faktor-faktor non ekonomi. (Lampiran 5).

Berdasarkan hasil persamaan inflasi (DLCPI) menunjukkan bahwa sukubunga

dunia, industrial production index, inflasi, nilai tukar rupiah berpengaruh negatif

pada lag 1 terhadap inflasi, sedangkan uang beredar dan sukubunga SBI

berpengaruh positif pada lag 1 terhadap inflasi. Dengan R-square senilai 0.23 dan

F-hitung sebesar 4.5. Artinya inflasi hanya mampu memberikan penjelasan

terhadap variabel makroekonomi sebesar 23 persen sedangkan 77 persen


90

dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam estimasi. Faktor- faktor lain

tersebut bisa dikategorikan dalam faktor ekonomi lainnya maupun faktor-faktor

non ekonomi. (Lampiran 5).

6.4. Uji Kausalitas Granger

Tabel 8. Granger Causality Test


Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
DSBI does not Granger Cause DLER 94 0.08558 0.77054
DLER does not Granger Cause DSBI 8.74505 0.00395
DLCPI does not Granger Cause DLIPI 94 3.56852 0.06207
DLIPI does not Granger Cause DLCPI 0.79454 0.37508
DLM2 does not Granger Cause DLCPI 94 4.38839 0.03896
DLCPI does not Granger Cause DLM2 0.32326 0.57105
DSBI does not Granger Cause DLCPI 94 10.4872 0.00168
DLCPI does not Granger Cause DSBI 1.39924 0.23993

Berdasarkan uji Granger Causality (lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai

tukar rupiah memiliki hubungan kausalitas yang searah dengan sukubunga SBI

dimana nilai tukar rupiah secara signifikan 10 persen memiliki pengaruh pada

pergerakan sukubunga SBI. Sedangkan inflasi memiliki hubungan kausalitas

yang searah dengan industrial production index, diikuti dengan permintaan uang

(M2) dan suku bunga SBI memiliki hubungan kausalitas yang searah dengan

inflasi artinya kebijakan sukubunga SBI ditentukan oleh indikator ekonomi di

dalam negeri sedangkan faktor luar seperti suku bunga dunia (SBW) akan menjadi

perhatian saja.

Hal ini dibuktikan berdasarkan suku bunga dunia dengan suku bunga SBI

kelihatnya kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia sedikit terlambat. Ketika

sukubunga dunia yang diambil dari US prime melakukan kenaikan tingkat bunga,

Bank Indonesia tidak melakukan tindakan apa-apa atau membuat tingkat bunga

stabil. Ketika suku bunga dunia sedang menaikkan tingkat bunga, Indonesia

melakukan penurunan tingkat bunga. Kemungkinan besar tindakan itu dilakukan


91

oleh bank Indonesia karena jumlah cadangan devisa yang sangat besar yang

mencapai US$46 Milyar pada akhir Februari 2007 (Manurung, 2007).

6.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error Variance


Decomposition

Untuk mengetahui hubungan ekonomi antar variabel, maka akan dilakukan

analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance

Decomposition (FEVD). Analisis FEVD dilakukan untuk mengetahui kontribusi

dari masing-masing shock variabel terhadap Forecast Error Variance dari

masing-masing variabel yang rentang waktu yang berbeda. Decomposition

variance memberikan informasi mengenai seberapa penting masing-masing

random shock mempengaruhi variabel didalam model VAR. Namun demikian,

analisis IRF dan FEVD sangat mensyaratkan adanya stabilitas pada sistem

persamaan yang akan digunakan, maka terlebih dahulu akan dilakukan uji

stabilitas dengan metode invers roots characteristic AR polynomial pada sistem

VAR maupun VEC.

Hasil uji stabilitas (lampiran 5) inverse roots characteristic AR polynomial

terhadap sistem VAR dan VEC menunjukkan bahwa sistem VAR menghasilkan

bentuk sistem persamaan yang stabil, sedangkan sebaliknya model Vector Error

Correction menghasilkan bentuk sistem persamaan yang tidak stabil. Menunjuk

hasil uji stabilitias ini dan anjurkan dari sim(1980) tersebut, maka untuk analisis

hubungan antar variabel dalam penelitian ini digunakan sistem VAR dan shock

dibuat pada first difference dari setiap variabel. Secara lengkap hasil IRF dan

FEVD dapat dilihat pada lampiran 6 dan 7. Untuk memudahkan sketsa kerangka

konseptual model VAR dari persamaan (4.1) ditampilkan sebagai berikut :


92

 a11 0 0 0 0 0   SBW t  b11 0 0 0 0 0   SBW t−1  ε SBWt 


       
a 21 a 22 0 0 0 0   IPI t   0 b22 0 0 0 0   IPIt −1   ε IPIt 
a31 a 32 a33 0 0 0   CPI t   0 0 b33 0 0 0   CPIt −1   ε CPIt 
  =  + 
a 41 a 42 a 43 a 44 0 0   ERt   0 0 0 b44 0 0   ERt −1   ε ERt 
a51 a 52 a53 a54 a 55 0  M 2t   0 0 0 0 b55 0   M 2 t−1   ε M 2t 
       
a 61 a 62 a 63 a 64 a 65 a66   SBI t   0 0 0 0 0 b66   SBI t −1   ε SBIt 

……………………………………………………..…………………..(5.1)

6.5.1. Impulse Response Function

Pengaruh dinamis dari adanya suatu guncangan tertentu dapat dianalisis

melalui orthogonal impulse response function (IRF). Analisis ini untuk melihat

respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu inovasi (shock)

tertentu sebesar satu standar error pada setiap persamaan atau untuk melihat

respon dinamik suatu variabel apabila terjadinya shock atau guncangan yang

tertentu atau spesifik terhadap variabel tertentu. Analisis ini tidak hanya dalam

waktu yang pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon (bulan) ke

depan sebagai informasi jangka panjang. Sumbu horizontal merupakan periode

dalam bulan, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan nilai respon dalam

persentase .

6.5.1.1.Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah

Pada Tabel 9. menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi

nilai tukar rupiah pada bulan pertama akan mengakibatkan meningkatnya nilai

tukar rupiah (depresiasi) sebesar 5.19 persen; sedangkan suku bunga dunia,

industrial production index dan inflasi tidak terpengaruh, sehingga mendorong

terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah pada bulan kedua. Pada bulan ketiga ke

atas, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi lagi pada bulan tersebut, jumlah

uang beredar meningkat sebesar 0.02 persen, harga mengalami kenaikan sebesar
93

0.15 persen, industrial production index turun sebesar 0.43 persen (lampiran 6).

Untuk menyeimbangkan besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral

seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI

sebesar 31.60 persen (dari persentase sukubunga) sehingga menyebabkan capital

inflow.

Tabel 9. Pengaruh Cholesky(d.f. adjusted) One Standard Deviation Nilai


Tukar Rupiah (DLER) Innovation
Bulan DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
1 0.000000 0.000000 0.000000 0.051872 0.009042 0.270919
2 -0.015240 0.008526 0.000114 -0.002616 -0.000136 0.454081
3 -0.015988 -0.004355 0.001538 0.000136 0.000226 0.316062
4 -0.012563 -0.001596 0.001119 0.000265 0.000126 0.221546
5 -0.009717 -0.001678 0.000751 0.000194 8.64E-05 0.155805
6 -0.007287 -0.000963 0.000534 0.000166 7.63E-05 0.109575
7 -0.005392 -0.000795 0.000377 0.000106 5.34E-05 0.076895
8 -0.003920 -0.000536 0.000267 8.00E-05 4.02E-05 0.053799
9 -0.002824 -0.000396 0.000187 5.51E-05 2.86E-05 0.037581
10 -0.002016 -0.000275 0.000131 3.96E-05 2.06E-05 0.026212
11 -0.001432 -0.000196 9.17E-05 2.76E-05 1.46E-05 0.018262
12 -0.001011 -0.000137 6.41E-05 1.95E-05 1.04E-05 0.012711
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI

1. Respon Suku Bunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah

Dari hasil analisis impuls respon yang terlampir pada Gambar 6 bahwa

guncangan sebesar satu standar deviasi kurs rupiah per dolar telah menyebabkan

meningkatnya laju depresiasi sebesar 5.19 persen sedangkan suku bunga dunia

tidak mengalami perubahan. Besarnya depresiasi nilai tukar rupiah pada bulan

pertama menyebabkan apresiasi pada bulan kedua sebesar 0.26 persen dan suku

bunga dunia mengalami penurunan sebesar 1.52 persen. Namun besarnya dampak

shock apresiasi tersebut berlangsung jangka pendek yaitu hanya sekitar 1 bulan.

Pada bulan ketiga pengaruh apresiasi hilang dan sudah kembali depresiasi sebesar

0.13 persen sedangkan sukubunga dunia kembali mengalami penurunan sebesar

1.60 persen. Selanjutnya pada bulan ke 4, bulan 5 dan bulan 7 pengaruhnya

semakin mengecil yaitu depresiasi mencapai 0.01 persen dan suku bunga dunia
94

sebesar 0.53 persen dan pada bulan 12 semakin kecil dan menuju ketitik

keseimbangan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dampak shock nilai tukar

rupiah tidak dipengaruhi oleh suku bunga dunia. Karena Indonesia sebagai negara

small open economic country dimana perekonomian Indonesia merupakan bagian

terkecil dari pasar dunia dengan kata lain tidak berdampak berarti bagi pasar suku

bunga dunia. Hal ini hanya menjadi perhatian saja. Hal ini dapat dilihat pada

Gambar 6.

Response of DSBW to Cholesky


One S.D. DLER Innovation
.000

-.004

P
e -.008
r
s
e -.012
n

-.016

-.020 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sukubunga Dunia

Gambar 6. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah

2. Respon Industrial Production Index Terhadap Nilai Tukar Rupiah

Pada Gambar 7 dapat dilihat dengan adanya inovasi atau shock nilai tukar

sebesar 1 standar deviasi telah menyebabkan laju depresiasi sebesar 5.19 persen

sedangkan Industrial Production index tidak mengalami perubahan. Pada bulan 2

nilai tukar rupiah mengalami apresiasi. Bagi dunia usaha yang melakukan

kegiatan impor dan yang berutang keluar negeri pada dasarnya dunia usaha dapat

mengurangi beban biaya impor dan beban biaya servis terhadap utang luar negeri

yang mereka lakukan sehingga dunia usaha dapat meningkatkan produksinya yang

masuk dalam industrial production index Pada bulan ketiga pengaruhnya sudah

positif atau depresiasi sebesar 0.01 persen dan me nurunya industrial production
95

index sebesar 0.43 persen pada bulan 12 keatas pengaruhnya semakin kecil dan

hilang dan kembali pada titik keseimbangan semula. Hal ini dapat dilihat pada

Gambar 7.

Response of DLIPI to Cholesky


One S.D. DLER Innovation
.010

.008

P .006
e
r .004
s
.002
e
n .000

-.002

-.004

-.006 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Industrial Production Index

Gambar 7. Respon Index Industrial and Production Terhadap Nilai


Tukar Rupiah

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dampak shock dari nilai tukar

rupiah disebabkan industrial production index mengalami penurunan. Dengan

terjadinya nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hal ini akan mendorong

naiknya beban biaya barang modal dari luar negeri, sehingga industri menurunkan

jumlah produksinya hingga menuju ke titik keseimbangan.

3. Respon Inflasi terhadap Nilai Tukar Rupiah.

Pada bulan pertama nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 5.19 persen

sedangkan inflasi tidak mengalami perubahan. Selanjutnya pada bulan kedua, nilai

tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.26 persen sedangkan inflasi meningkat

sebesar 0.011 persen. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan barang dan

jasa dari luar negeri sehingga harga naik. Dengan berjalannya waktu bulan ketiga
96

nilai tukar mengalami depresiasi lagi sebesar 0.014 persen sedangkan inflasi

meningkat sebesar 0.15 persen. Pada bulan ke empat sampai bulan 10 keatas

pengaruhnya semakin mengecil dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini

dapat dilihat pada Gambar 8.

Response of DLCPI to Cholesky


One S.D. DLER Innovation
.0016

P .0012
e
r
s
.0008
e
n

.0004

.0000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Inflasi

Gambar 8. Respon Inflasi terhadap Nilai Tukar Rupiah

Dengan terjadinya peningkatan inflasi tersebut akibat dari depresiasi nilai

tukar rupiah yang membuat produksi dengan kandungan bahan baku dari luar

negeri lebih mahal sehingga terjadi kenaikan harga didalam negeri dan secara

langsung masuk dalam perhitungan CPI .

4. Respon Nilai Tukar Rupiah

Pada bulan pertama nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 5.19 persen.

Selanjutnya pada bulan kedua nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar

0.26 persen. Namun besarnya dampak shock nilai tukar terhadap laju apresiasi

tersebut hanya berlangsung dalam jangka pendek atau temporer yaitu hanya

sekitar satu bulan. pada bulan ketiga pengaruhnya sudah positif yang semakin

mengecil dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar

9.
97

Response of DLER to Cholesky


One S.D. DLER Innovation
.06

.05

.04
P
e .03
r
s
.02
e
n
.01

.00

-.01 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Nilai Tukar Rupiah

Gambar 9. Respon Nilai Tukar Rupiah

5. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah

Pada bulan pertama nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 5.19

persen dan uang beredar meningkat sebesar 0.90 persen selanjutnya pada bulan

kedua, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.26 persen sedangkan

uang beredar menurun sebesar 0.014 persen artinya dengan terjadinya apresiasi

membuat menurunnya rupiah dan masyarakat membeli dollarnya sehingga uang

beredar dalam rupiah berkurang. Pada bulan ke 3 kembali mengalami depresiasi

menjadi sebesar 0.14 persen dan uang beredar meningkat menjadi lebih besar

menjadi sebesar 0.23 persen sampai pada bulan ke empat terus depresiasi dan

uang beredar masih berpengaruh positif yang mengecil sampai pada titik

keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10.

Oleh karena itu dengan terjadinya depresiasi karena simpanan dalam

nominasi mata uang dollar juga termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar

(M2) sehingga depresiasi nilai tukar secara otomatis akan meningkat nilai rupiah

dalam simpanan sehingga pada gilirannya akan meningkatkan jumlah uang

beredar.
98

Response of DLM2 to Cholesky


One S.D. DLER Innovation
.010

.008

P
e .006
r
s .004
e
n
.002

.000

Bulan
-.002
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jumlah Uang Beredar

Gambar 10. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar


Rupiah

6. Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia terhadap Nilai Tukar


Rupiah

Pada awalnya dengan adanya shock depresiasi nilai tukar rupiah sebesar

5.19 persen akan direspon tingkat suku bunga SBI tinggi manjadi 27.10 persen

sehingga pada bulan ke dua nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 2.62

persen sedangkan suku bunga menjadi lebih tinggi lagi sebesar 45.41 persen. Hal

ini dilakukan oleh otoritas moneter adalah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Pada bulan ketiga nilai tukar rupiah kembali mengalami depresiasi sebesar

0.14 persen sedangkan suku bunga SBI mengalami kenaikan sedikit 31.61 persen

sampai pada bulan ke keempat depresiasi dan suku bunga SBI masih berpengaruh

positif yang mengecil sebesar 1.27 persen pada suku bunga SBI pada bulan ke 12.

Oleh karena itu untuk menyeimbangi laju depresiasi nilai tukar rupiah, Bank

sentral melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI untuk

menstabilkan nilai tukar rupiah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.
99

Response of DSBI to Cholesky


One S.D. DLER Innovation
.5

.4

P
.3
e
r
s
.2
e
n
.1

.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Sukubunga SBI

Gambar 11. Respon Sukubunga SBI Terhadap Nilai Tukar Rupiah

6.5.1.2.Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Inflasi

Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar

deviasi inflasi CPI pada bulan pertama akan mengakibatkan kenaikan harga

sebesar 0.92 persen, sedangkan sukubunga SBW dan industrial production index

tidak mengalami perubahan. Nilai tukar rupiah terapresiasi sebesar 0.49 persen,

uang beredar berkurang sebesar 0.03 persen dan meningkatnya suku bunga SBI

sebesar 20.49 persen. Pada bulan kedua inflasi terus mengalami kenaikan 0.07

persen. Untuk menurunkan inflasi, suku bunga SBI dinaikkan sebesar 7.72 persen

sehingga uang beredar berkurang 0.09 persen, nilai tukar rupiah mengalami

apresiasi sebesar 0.06 persen, dan industrial production index turun sebesar 1.58

persen (lampiran 6).


100

Tabel 10. Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation Inflasi
(DLCPI) Innovation
Bulan DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
1 0.000000 0.000000 0.009227 -0.004855 -0.000270 0.204892
2 0.003639 -0.015804 0.000746 -0.000579 -0.000904 0.077170
3 0.002533 0.005520 0.000149 0.001042 0.000148 0.061232
4 -0.000301 -0.001821 0.000112 -0.000182 -5.58E-05 0.050528
5 -0.000732 0.000503 0.000174 0.000111 3.37E-05 0.036553
6 -0.000965 -0.000457 0.000114 -8.15E-06 -1.81E-06 0.026463
7 -0.000851 -4.19E-05 8.93E-05 3.56E-05 1.19E-05 0.018829
8 -0.000723 -0.000153 6.21E-05 1.19E-05 5.56E-06 0.013411
9 -0.000566 -6.99E-05 4.57E-05 1.45E-05 6.18E-06 0.009472
10 -0.000433 -6.89E-05 3.22E-05 8.44E-06 4.11E-06 0.006676
11 -0.000321 -4.37E-05 2.30E-05 6.92E-06 3.32E-06 0.004686
12 -0.000235 -3.40E-05 1.62E-05 4.64E-06 2.35E-06 0.003282
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI

1. Respon Suku bunga Dunia Terhadap Inflasi

Pada Gambar 12 dapat dilihat pada awalnya dengan adanya inovasi atau

shock inflasi sebesar 1 SD telah menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0.92

persen sedangkan suku bunga dunia tidak mengalami pengaruh terhadap variabel

makro ekonomi. Karena Indonesia sebagai negara small open economic country

dimana perekonomian Indonesia merupakan bagian terkecil dari pasar dunia

dengan kata lain tidak berdampak berarti bagi pasar suku bunga dunia. Hal ini

hanya menjadi perhatian saja.

Response of DSBW to Cholesky


One S.D. DLCPI Innovation
.004

.003

P
.002
e
r
s .001
e
n .000

-.001

-.002 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Sukubunga Dunia

Gambar 12. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Tingkat Inflasi


101

2. Respon Industrial Production Index Terhadap Inflasi

Pada awal terjadinya shock terhadap inflasi sebesar 0.92 persen maka

industrial production index tidak mengalami perubahan setelah pada bulan kedua

kenaikan inflasi naik lagi sebesar 0.07 persen akan menurunkan industrial

production index sebesar 1.58 persen. Hal ini karena adanya kenaikan harga

maka daya beli masyarakat pada produk menurun sehingga jumlah produksi

dalam negeri menurun, bulan ke tiga industrial production index meningkat pada

bulan ke empat industrial production index mengalami penurunan lagi, dan pada

bulan ke 6 sampai sepanjang bulan 12 industrial production index berpengaruh

negatif yang semakin mengecil dan kembali keseimbangan. Hal ini dapat dilihat

pada Gambar 13.

Response of DLIPI to Cholesky


One S.D. DLCPI Innovation
.008

.004

P .000
e
r
s -.004
e
n -.008

-.012

-.016 Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Industrial Production Index

Gambar 13. Respon Industrial Production Index Terhadap Tingkat


Inflasi

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa guncangan dari inflasi

menyebabkan industrial production index mengalami penurunan akibatnya daya

beli masyarakat turun, masyarakat merasakan dampak inflasi tersebut terhadap

daya belinya, kenaikan harga menyebabkan uang yang dimiliki dari hasil jerih
102

payah mereka bekerja menjadi kurang bernilai akibatnya jumlah yang mereka beli

secara riil menurun, selain turunnya daya beli, masyarakat juga mulai mengurangi

belanja dengan mengalokasikan lebih besar penghasilanya untuk ditabung.

3. Respon Inflasi

Pada bulan pertama inflasi meningkat sebesar 0.92 persen sampai pada

bulan ke 4 kenaikannya mulai mengecil sebesar 0.011 persen setelah bulan ke 5

kenaikannya meningkat menjadi 0.017 persen kemudian bulan ke 6, 7 sampai

bulan ke 12 keatas pengaruhnya masih positif yang mengecil dan menghilang dan

kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 14.

Response of DLCPI to Cholesky


One S.D. DLCPI Innovation
.010

.008
P
e .006
r
s
e .004
n

.002

.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Inflasi

Gambar 14. Respon Inflasi

4. Respon Nilai Tukar Terhadap Inflasi

Pada awalnya dengan adanya shock kenaikan inflasi sebesar 0.92 persen

nilai tukar mengalami apresiasi nilai tukar sebesar 4.86 persen dan peningkatanya

sebesar 0.058 persen pada bulan kedua. pada bulan ketiga pengaruhnya positif

yaitu depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 0.10 persen sedangkan inflasi

mengalami kenaikan yang mengecil 0.015 persen pada bulan ke 4 pengaruhnya

kembali apresiasi sebesar 0.018 persen pada bulan 5 nilai tukar mengalami
103

depresiasi sebesar 0.011 persen. Begitu juga pada bulan 6 nilai tukar mengalami

apresiasi kembali dan bulan 7 sampai 12 nilai tukar terus mengalami depresiasi

dan kembali pada tiitik keseimbangan.

Pada 6 bulan pertama terjadinya fluktuasi nilai tukar setiap bulan.

Terjadinya apresiasi nilai tukar maupun derpesiasi nilai tukar ini disebabkan

karena terjadinya permintaan dan penawaran valuta asing dalam pasar uang, Hal

ini dapat dilihat pada Gambar 15.

Response of DLER to Cholesky


One S.D. DLCPI Innovation
.002

.001

.000
P
e -.001
r
s
-.002
e
n
-.003

-.004

Bulan
-.005
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Nilai Tukar Rupiah

Gambar 15. Respon Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi

5. Respon Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi

Pada saat awal terjadinya shock terhadap tingkat inflasi sebesar 0.92

persen uang beredar mengalami penurunan sebesar 0.027 persen dan bulan kedua

sebesar 0.090 persen. Sedangkan pada bulan ke tiga uang beredar meningkat

sebesar 0.015 persen hal ini disebabkan karena uang yang dipegang masyarakat

bertambah sehingga terjadi inflasi sebesar 0.015 persen, pada bulan ke empat dan

ke enam uang beredar turun mengecil dan menghilang sementara bulan 7 sampai

bulan ke 12 jumlah uang beredar tinggi berpengaruh positif yang mengecil dan

menghilang dan kembali pada titik keseimbangan semula.


104

Dengan adanya peningkatan uang beredar menunjukkan bahwa banyaknya

uang yang dipegang masyarakat akibat terjadinya kenaikan harga yang

ditransmisikan kedalam naiknya Indeks Harga Konsumen di Indonesia dan akan

menyebabkan inflasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16.

Response of DLM2 to Cholesky


One S.D. DLCPI Innovation
.0002

.0000
P
e -.0002
r
s
e -.0004
n
-.0006

-.0008

Bulan
-.0010
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jumlah Uang Beredar

Gambar 16. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi

6. Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Tingkat


Inflasi

Pada bulan pertama dengan adanya shock inflasi sebesar 0.92 persen suku

bunga SBI meningkat sebesar 20.49 persen, hal ini juga terjadi sepanjang bulan

kedua sampai bulan ke 12 yang menjelaskan tingkat inflasi dan sukubunga SBI

berpengaruh positif yang akhirnya mengecil dan kembali pada titik keseimbangan

semula. Dengan adanya peningkatan sukubunga SBI maka pemerintah sebagai

otoritas moneter melakukan kontraksi moneter dalam rangka untuk menurunkan

harga. oleh karena itu dengan adanya kenaikan inflasi ini otoritas moneter

menaikkan suku bunganya agar masyarakat lebih tertarik menabung uangnya

daripada membeli produk. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 17.
105

Response of DSB I to Cholesky


One S.D. DLCPI Innovation
.24

.20

P .16
e
r .12
s
e
n .08

.04

.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Sukubunga S BI

Gambar 17.Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap


Tingkat Inflasi

6.5.2. Forecast Error Variance Decomposition

Dalam penelitian ini analisis variance decomposition digunakan untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh fluktuasi nilai tukar dan Inflasi di Indonesia

dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan

menggunakan perubahan data-data makro ekonomi yang berpengaruh nilai tukar

secara bulanan, akan dapat diketahui variabel apa saja yang menyebabkan

terjadinya sebuah shock diantara variabel – variabel yang ada dalam model.

dengan kata lain dekomposisi variasi dapat menunjukkan bagaimana hubungan

dan pengaruh antar variabel yang terkait dalam sebuah model, dengan membuat

simulasi seandainya ada shock dalam nilai tukar rupiah dan inflasi, akan diketahui

variabel – variabel apa saja yang mempengaruhinya

Dekomposisi Variasi Makroekonomi Indonesia

1. Nilai Tukar Rupiah

Dari Tabel 11 dibawah terlihat bahwa, forecast Error Variance dari

masing-masing variabel tergantung rentang waktunya menunjukkan hal-hal

sebagai berikut :
106

Tabel 11. Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah


Periode Guncangan (Persen)
(Bulan) DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
1 0.7692 0.1402 0.8604 98.2301 0.0000 0.0000
3 1.0098 0.2362 0.8848 95.5130 2.3471 0.0088
5 1.0105 0.2501 0.8862 95.4900 2.3473 0.0157
10 1.0105 0.2504 0.8862 95.4865 2.3481 0.0180
15 1.0105 0.2504 0.8862 95.4864 2.3481 0.0181
25 1.0105 0.2504 0.8862 95.4864 2.3481 0.0181
35 1.0105 0.2504 0.8862 95.4864 2.3481 0.0181
50 1.0105 0.2504 0.8862 95.4864 2.3481 0.0181

Tabel 11 menunjukkan fluktuasi nilai tukar rupiah (DLER) secara

dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu mencapai 98.23

persen. Kontribusi dari variabel lain mulai berperan pada bulan ketiga dimana

kontribusi uang beredar dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah hanya

sebesar 2.34 persen, sukubunga dunia sebesar 1.01 persen, inflasi sebesar 0.88

persen, industrial production index sebesar 0.24 persen, dan sukubunga SBI

sebesar 0.009 persen (lampiran 7).

Pada bulan ke-50 pengaruh guncangan nilai tukar rupiah terhadap dirinya

semakin menurun menurut waktu, namun masih sangat tinggi, yaitu sebesar 95.49

persen; sedangkan kontribusi guncangan terhadap variabel ekonomi lainnya

meningkat tetapi tidak sebesar kontribusi nilai tukar rupiah. Artinya, dalam sistem

nilai tukar mengambang bebas, variabel-variabel ekonomi kurang berpengaruh

dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah, hal ini mencerminkan bahwa nilai

tukar rupiah cenderung bersifat eksogen. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 18.
107

100%

80% DSBI
DLM2
60% DLER
40% DLCPI
DLIPI
20% SBW
0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46

Gambar 18. Dekomposisi Variasi Nilai Tukar Rupiah

2. Inflasi

Dari Tabel 12. dibawah terlihat bahwa, forecast error variance dari

masing-masing variabel tergantung rentan waktunya menunjukkan hal sebagai

berikut:

Tabel 12. Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Tingkat Inflasi


Periode Guncangan (persen)
(Bulan) DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
1 0.8395 1.2563 97.9041 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.8278 2.7943 80.1568 2.2236 6.4239 7.5733
5 0.8034 2.6684 76.3631 3.7348 7.1222 9.3078
10 0.8726 2.6283 75.1933 4.1594 7.2779 9.8684
15 0.8791 2.6270 75.1560 4.1712 7.2817 9.8847
25 0.8793 2.6270 75.1549 4.1715 7.2817 9.8851
35 0.8793 2.6270 75.1549 4.1715 7.2817 9.8851
50 0.8793 2.6270 75.1549 4.1715 7.2817 9.8851

Pada bulan pertama, guncangan inflasi dipengaruhi oleh dirinya sendiri

sebesar 97.90 persen. Kontribusi variabel makroekonomi lainnya dalam

menjelaskan fluktuasi inflasi Indonesia mulai terlihat pada bulan ketiga.

Guncangan inflasi pada bulan tersebut memberikan proporsi dalam menjelaskan

fluktuasi inflasi sendiri sebesar 80.16 persen, sukubunga SBI sebesar 7.57 persen,

uang beredar sebesar 6.42 persen, nilai tukar rupiah sebesar 2.22 persen,

industrial production index sebesar 2.79 persen, suku bunga dunia sebesar 0.83

persen (lampiran 7).


108

Pada bulan ke-50 pengaruh goncangan inflasi terhadap dirinya semakin

menurun menurut waktu, namun masih sangat besar yaitu sebesar 75.15 persen;

sedangkan kontribusi guncangan terhadap variabel ekonomi lainnya meningkat

tetapi tidak terlalu besar kecuali sukubunga SBI yang memberikan kontribusi

terhadap fluktuasi inflasi sebesar hampir 10 persen. Artinya sukubunga SBI cukup

berperan penting untuk menstabilkan inflasi

Dapat disimpulkan bahwa dalam kebijakan moneter, Sukubunga SBI

merupakan kontribusi terbesar untuk kestabilan harga. Artinya apabila inflasi

tinggi, maka kebijakan moneternya adalah dengan menaikkan sukubunga SBI

(kontraksi moneter) dengan kata lain hasil ini menunjukkan bahwa bank Indonesia

menerapkan kerangka kebijakan inflation targetting dimana SBI digunakan

sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran akhir. Hal

ini dapat dilihat pada Gambar 19.

100%

80% DSBI
DLM2
60%
DLER
40% DLCPI
20% DLIPI
DSBW
0%
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49

Gambar 19. Dekomposisi Variasi Tingkat Inflasi

6.6. Rumusan Implikasi Kebijakan Moneter Terhadap Nilai Tukar


Rupiah dan Inflasi

Undang-ungang Bank Sentral No 23. tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan UU No 3. Tahun 2004. Tujuan Bank Indonesia


109

adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (pasal 7) amanat ini

memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam

pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian ”single

objective”-nya

Kestabilan nilai rupiah dapat diukur dari nilai rupiah terhadap barang di

dalam negeri tercermin dari tingkat inflasi sementara kestabilan nilai rupiah

terhadap barang luar negeri tercermin dari nilai tukar rupiah (kurs) terhadap mata

uang negaral lain, Pencapaian stabilitas harga sangat tergantung pada kemampuan

Bank Indonesia dalam menjaga keseimbangan internal, khususnya keseimbangan

antara permintaan agregat dengan penawaran agregat, sedangkan kestabilan nilai

tukar sangat tergantung pada keseimbangan eksternal, yang tercermin pada

keseimbangan neraca pembayaran.

Dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang, Bank

Indonesia menentapkan laju inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter.

Sementara itu, perkembangan nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar sesuai

dengan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak Agustus 1997.

Berdasarkan hasil analisis, inflasi di masa mendatang cenderung akan

menunjukkan penurunan, akan tetapi masih tetap berada pada tingkat yang relatif

tinggi. Oleh karena, itu bank sentral harus terus memantau inflasi khususnya yang

bersumber dari fenomena moneter dalam perekonomian. Selanjutnya mengingat

pembentukan inflasi dari index harga konsumen (IHK) dalam jangka pendek

bukan hanya merupakan fenomena moneter, tetapi juga dibentuk oleh fenomena

dari sisi penawaran, maka bank sentral perlu memantau inflasi secara cermat

menurut sumber sumber penyebab inflasi tersebut.


110

Sebagai contoh dalam hal terjadi gangguan permintaan (demand shock)

yang mengakibatkan inflasi tinggi, respon bank sentral akan menaikkan

sukubunga SBI sehingga tingkat inflasi dapat ditekan. Sebaliknya, jika inflasi

meningkat karena terjadinya gangguan penurunan di sisi penawaran (Supply side),

misalnya kenaikan harga makanan karena musim kering, maka kebijakan uang

ketat (tight money policy) justru dapat memperburuk tingkat harga dan

pertumbuhan ekonomi. Respon yang dapat dilakukan oleh bank sentral adalah

kebijakan melonggarkan likuiditas perekonomian (ekspansi moneter) agar dapat

menstimulir peningkatan penawaran.

Pemulihan kepercayaan kepada perekonomian dalam negeri serta

didukung oleh perbaikan sistem distribusi dan pemulihan kapasitas produksi.

Pemulihan kepercayaan juga dapat dibantu dengan melobi lembaga pemeringkat

internasional, misalnya dengan meminta agar Indonesia tidak dimasukkan dalam

kategori negative watch, dengan pulihnya kepercayaan, nilai tukar akan menguat

karena sentimen pasar positif dan terjadi capital inflow sehingga rupiah menguat

dan tekanan inflasi mereda. Dengan demikian, sukubunga dapat diturunkan ke

tingkat yang wajar.

Kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dapat diterapkan sejalan

dengan pendapat Arifin (1998), bahwa kewajiban menempatkan capital inflow

jangka pendek di bank sentral selama satu tahun dengan persentase tertentu tanpa

imbalan dapat mengurangi investasi yang hanya mencari keuntungan dari

arbitrase dan tidak bermanfaat bagi perekonomian. Kebijakan seperti itu bahkan

dapat mendorong peningkatan arus modal yang berjangka panjang, yang lebih

bermanfaat bagi perekonomian. Kewajiban seperti ini telah lama diterapkan di


111

Chile dengan mengenakan reserve requirment sebesar 30 persen selama satu

tahun atas aliran modal masuk.

Stabilitas nilai tukar harus tetap mendapat perhatian dalam upaya

menunjang penurunan ekspektasi inflasi masyarakat. Nilai tukar harus dimonitor

secara ketat dengan melihat faktor penyebab pergerakan nilai tukar, jika depresiasi

nilai tukar rupiah disebabkan oleh arus modal keluar. maka kebijakan moneter

yang lebih ketat dapat mencegah kenaikan inflasi akibat depresiasi. Namun jika

depresiasi yang terjadi akibat perubahan term of trade, diperlukan kebijakan

moneter yang lebih longgar.

Upaya menstabilkan perkembangan makro, terutama stabilitas nilai rupiah

masih menghendaki adanya kebijakan moneter yang ketat. Hal ini dilakukan Bank

sentral dalam kebijakan ”harga” dana yaitu suku bunga tinggi dan kebijakan

”kuantitas” dana, yaitu melalui peningkatan Giro Wajib Minimum. Stabilitas

tersebut akan dapat dipantau dari beberapa indikator, yaitu mulai stabilnya atau

bahkan sedikit menguat nilai rupiah serta mulai masuknya dana-dana dari luar

negeri terutama yang ditanamkan dalam SBI. Jika ini maka SBI yang sudah

diaggap menarik oleh para investor luar negeri.

Dalam rangka penerapan transparansi dan akuntabilitas publik, penetapan

sasaran laju inflasi dan besaran moneter serta langkah-langkah untuk mencapainya

akan diinformasikan kepada masyarakat. Penyampaian informasi dan penjelasan

secara terbuka tersebut diharapkan akan dapat mempengaruhi ekspektasi

masyarakat terhadap inflasi. Ekspektasi inflasi yang terkelola tersebut pada

giliranya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat

mendukung pencapaian laju inflasi yang diinginkan.


112

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

7.1. Simpulan

Penelitian ini menyajikan faktor – faktor ekonomi yang mempengaruhi

pergerakan atau fluktuasi nilai tukar, seperti sukubunga dunia, industrial

production index, inflasi, uang beredar dan suku bunga SBI, tidak melakukan

analisis baik secara langsung maupun tidak langsung atas faktor-faktor tersebut.

Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa

guncangan nilai tukar rupiah mengakibatkan depresiasi yang sangat tinggi

terhadap nilai tukar rupiah dimana dengan adanya guncangan nilai tukar rupiah

akan mengakibatkan fluktuasi pada variabel makroekonomi dalam waktu yang

lebih cepat untuk menuju ke kondisi kestabilan dibandingkan dengan variabel

makroekonomi lainya.

Terkait dengan depresiasi dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon

dengan meningkatnya jumlah uang beredar secara langsung. Peningkatan jumlah

uang beredar terjadi karena simpanan dalam nominasi mata uang dolar juga

termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar (M2) sehingga depresiasi nilai

tukar rupiah secara otomatis meningkatkan jumlah uang beredar yang akan

mengarahkan pada terjadinya kenaikan tingkat harga yang membuat daya beli

masyarakat menurun akibatnya industrial production index mengalami

penurunan, oleh karena itu untuk menyeimbangi besarnya laju depresiasi yang

terjadi, bank sentral seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa

peningkatan sukubunga SBI mendorong terjadinya capital inflow yang pada

akhirnya dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.


113

Guncangan harga akan direspon oleh bank sentral dengan menaikan

sukubunga SBI sehingga menyebabkan menurunya jumlah uang beredar, nilai

tukar rupiah mengalami apresiasi mengakibatkan daya saing Indonesia melemah

dan naiknya pinjaman sukubunga sehingga menurunya industrial production

index.

Berdasarkan hasil Forecast Error Variance Decomposition menunjukkan

bahwa nilai tukar rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap

dirinya sendiri, yaitu mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan

ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti

dengan sukubunga SBI memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini

mengindikasikan bahwa nilai tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga

sulit untuk dapat dikendalikan secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif

memungkinkan dikendalikan melalui guncangan sukubunga SBI. Hasil ini juga

menunjukkan bahwa bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan inflation

targetting dimana SBI digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi,

bukan sebagai sasaran akhir.

7. 2. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis Impulse Response Functions dan Forecast

Error Variance Decomposition instrumen kebijakan moneter untuk pencapaian

kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga SBI. Dengan demikian,

dalam rangka pencapaian target inflasi, Bank Indonesia dapat melaksanakannya

dengan instrumen Sukubunga SBI sebagaimana yang memang telah digunakan

selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat menciptakan

stabilitas fundamental ekonomi, terutama me ngurangi kesenjangan permintaan


114

dan penawaran valuta asing, sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat

terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal keluar

(capital outflow).

Apabila laju inflasi masih tinggi. hal ini membuktikan bahwa tidak mudah

melakukan pentargetan inflasi di Indonesia karena belum stabilnya variabel

makroekonomi Indonesia baik internal maupun eksternal. Sisi internal seperti

suku bunga SBI, sebenarnya dapat digunakan menurunkan harga dan stabil, tetapi

intrume n suku bunga saja tidak cukup, perlu waktu lama untuk mempengaruhi

harga, hal ini mengingat besarnya efek guncangan eksternal terhadap harga –

harga yaitu keberadaan produk domestik di Indonesia masih belum mampu

bersaing dengan produk luar negeri sehingga menimbulkan ketergantungan yang

tinggi atas produk luar negeri terutama bahan baku impor. Hal ini membuktikan

bahwa orang awam sering lebih suka menyimpan barang ketimbang uang.

Berdasarkan UU BI tahun 2004 mengingat bahwa target BI tidak secara

tegas upaya komitmen atas pencapaian target single objectivenya. apakah target

nilai tukar, target inflasi, target moneter (uang beredar) atau kombinasi diantara

pada kebijakan moneter BI . Oleh karena itu, apabila pemerintah mengharapkan

kestabilan harga dengan pertumbuhan yang kondusif maka Bank Indonesia dilihat

dari kebijakan moneternya perlu :

1. Fokus terhadap sasaran, pengendalian inflasi hanya salah satu diantara

beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank sentral. Sasaran –

sasaran lain kadang – kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian

inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca

pembayaran, dan kurs, oleh karena itu seharusnya bank sentral tidak
115

menetapkan sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian

inflasi.

2. Bank sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi inflasi

secara akurat sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai.

Artinya bank sentral harus mengumumkan atau membuat pernyataan resmi

mengenai target inflasi untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan

3. Pelaksanaan secara konsisten dan transparan, Dengan pelaksanaan target

inflasi secara konsisten dan transparan maka kepercayaan masyarakat terhadap

kebijakan yang ditetapkan semakin meningkat.

4. Efektifitas pelaksana kebijakan moneter dalam kerangka inflation targetting

terletak pada kebijakan fiskal yang sehat dan berkesinambungan serta

kebijakan moneter yang berhati-hati, karena kedua kebijakan ini saling

melengkapi dalam stabilitas perekonomian. pada masa yang akan datang,

kerjasama dan koordinasi yang baik semakin terus ditingkatkan antara otoritas

fiskal dan moneter yaitu pemerintah dan bank Indonesia supaya kebijakan

yang diambil menjadi lebih efektif dan efisien.

7.3. Saran

1. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diharapkan dapat

menyeimbangkan kebijakan yang secara efektif dapat memulihkan

stabilitas ekonomi jangka pendek dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi

berkelanjutan dengan ongkos yang minimal.

2. Untuk pencapaian objektif bank sentral disarankan untuk penelitian

selanjutnya mengenai sasaran kesempatan kerja, target nilai tukar, target

moneter atau kombinasi diantara kebijakan moneter BI. Namun pilihan


116

apapun yang diambil tidak mudah pelaksanaanya, mengingat kondisi

perekonomian Indonesia masih penuh distorsi dan kebijakan fiskal

seringkali tidak searah.

3. Pemerintah dan bank sentral diharapkan duduk bersama agar pemerintah

memiliki komitmen untuk menjaga ketahanan fiskal, antara lain melalui

pengurangan defisit anggaran dan penyusunan rencana strategis yang

rasional dan transparan, serta mampu menyurutkan keraguan dan

kecendrungan kebijakan populer untuk memenuhi keinginan politiknya.

Dan bank sentral secara tegas dan konsisten memutuskan dan

menyampaikan secara lugas target kebijakan moneter, all out untuk

mencapainya, tidak akomodatif dengan siklus politik.

4. Perlu adanya penelitian selanjutnya yang menggunakan faktor ekonomi

lainnya seperti nilai tukar mata uang negara lain, atau faktor non ekonomi

untuk dapat menstabilkan nilai tukar rupiah dan mengendalikan inflasi.


117

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Y. 1998. Using Indonesia’s Real Exchange Rate to Test Ricardian


Equivalence. International Economic Journal, 12 (3): 17-27.

Arifin, S. 1998. Efektifitas Kebijakan Sukubunga Dalam Rangka Stabilitas


Rupiah di Masa Krisis. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 3 (12):
1-26.

Atmadja, A.S. 2001. Free Floating Exchange Rate System Dan Penerapannya
Pada Kebijaksanaan Ekonomi di Negara Yang Berperekonomian Kecil
dan Terbuka. Jurnal Akuntasi dan Keuangan, 3 (5): 18-29.

Agung,Y. 1998. Financial Deregulation and The Bank Lending Channel in


Developing Countries : The Case of Indonesia. Asian Economic Journal,
12 (13): 22-27.

_______. 2002. Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia. Bank


Indonesia, Jakarta.

Ascarya. 2002. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan


Studi Kebangsentralan. Seri Kebanksentralan, 1 (3) : 1-49.

Baillie, R. and P. Mc Mahon. 1989. The Foreign Exchange Market Theory and
Econometric Evidence. Cambridge University Press, London.

Badan Pusat Statistik. 1999. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan Pusat


Statistik, Jakarta.

__________________. 2002. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan Pusat


Statistik, Jakarta.

__________________. 2007. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan Pusat


Statistik, Jakarta.

Bank Indonesia. 1999. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta.

_____________. 2002. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta.

_____________. 2006. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta.

Cagan, P. 1984. The Monetary Dynamics of Hyperinflation. ed. By Milton


Friedman. In Studies in The Quantity Theory of Money, University of
Chicago Press, Chicago.

Cahyono, J.E. 2000. Menjadi Manajer Investasi Bagi Diri Sendiri. Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
118

Chowdhury, A. and H. Siregar. 2002. Indonesia’s Monetary Policy Dilemma:


Constraints of Inflation Targetting. UNSFIR Working Paper, 2(11): 1-36.

Dornbusch, R. 1973. Devaluation, Money and Non Traded Goods. American


Economic Reviews, 63 (12): 871-880.

___________. 1976. Expectation And Exchange Rate Dynamic. Journal of


Political Economy, 84 (6): 671-683.

___________. 2001. The Theory of Flexible Exchange Rate Regimes and


Macroeconomics Policy. Addison Wesley Publishing Company, Manila.

Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. Willey


Series in Probablity and Statistics, New York.

Frangkel, J.A. 1984. Test of Monetary and Portofolio Balance Models of


Exchange Rate Determination : Exchange Rate Theory And Practice. ed
Bilson and Richard, London.

Frangkel, J.A. and H.G. Johnson. 1976. The Monetary Approach to The Balance
of Payment. Allan & Unwin, London.

Goeltom, M.S. dan D. Zulverdi. 1998. Manjemen Nilai Tukar di Indonesia dan
Permasalahanya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1 (2): 69-91.

Gottschalk, J. 2001. An Introduction Into The SVAR Methodology : Identification


Interpretation and Limitation of SVAR model. Institute Fur Welwirtscaft,
Warsaw.

Hanafi, I.D. 2005.Faktor Cina Dalam Struktur Ekonomi ASEAN-JEPANG


[Pikiran Rakyat On-Line][7 Maret 2005].

Haryono, E., W.A. Nugroho dan W. Pratomo. 2000. Mekanisme Pengendalian


Moneter dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, 2 (4) : 168-122.

Hascaryo, A.R. 2003. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dan Evaluasi


Terhadap Berbagai Kebijakan Moneter di Indonesia. Analisis: Model
Makro Ekonometrik Simultan. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Depok.

Holod, D. 2000. The Relationship Between Price Level, Money Supply and
Exchange Rate in Ukraine. National University of Kiev- Mohyla
Academy, Warsaw.

Ickes, B.W. 2004. Lecture Note on Exchange Rate Fluctuation. Pennyslvania


State University, Fall.
119

Kamin, et al., 1997. Capital Inflow, Financial Intermediation, and Aggregate


Demand; Empirical Evidance from Mexico and Other Pasific Basin
Country, Board of Governor of The Federal Reserve System. Mexico City.

Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2003. International Economics: Theory and


Policy. Sixth Edition. Addison Wesley, Boston.

Mc Nown, R. and M.S. Wallace. 1994. Cointegration Test of The Monetary


Exchange Rate Model for Three High – Inflation Economics. Journal of
Money, Credit and Banking, 2 (6): 396-411.

Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets.
Sixth Edition. Columbia University, New York.

Nugroho, A.E. 2002. Sektor Perbankan dan Keuangan di Indonesia. Penerbit


Pamator, Jakarta.

Nuryadin, D. dan B. Santoso. 2004. Analisis Aplikasi Model Neraca Pembayaran


dan Model Moneter terhadap Nilai tukar Rp/$. Periode 1980.1 – 2000.4.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7 (2): 273-292.

Rato, R. 2005. Integrasi Asia dan IMF. [Sarwono Net][21 September 2005].
http://aeansummit.bernama.com/newslistbm.php?cat=ase&page=14.

Samiun, R. 1998. Evaluasi Program Intervensi di Pasar Valuta Asing Dalam


Rangka Stabilitas Nilai Tukar. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,
1(3): 75-130.

Santoso, W. dan Iskandar. 1999. Pengendalian Moneter Dalam System Nilai


Tukar yang Fleksibel : Konsiderasi Kemungkinan Penerapan Inflation
Targetting di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2 (2) :
1-30.

Seddighi, H.R., K.A. Lawler and A.V. Katos. 2000. Econometrics: A Practical
Approach. Rouledge, London and NewYork.

Sloman, J. and M. Sutcliffe. 1998. Economics for Business. Prentice Hall,


London.

Siregar, H. and B.D. Ward. 2002. Can Monetary Policy/ Shocks Stabilize
Indonesian Macroeconomic Fluctuations? Monetary and Financial
Management in Asia in The 21 Century. Management University
Research Center, Singapore.

Siswanto, B., Y. Kurniati, G.B. Padoli dan S.H. Binhadi. 2001. Mekanisme
Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar. Occassional
Paper. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia,
Jakarta.
120

Sudjijono, B. dan D. Rudianto. 2003. Perspektif Pembangunan Indonesia Dalam


Kajian Pemulihan Ekonomi. PT. Citra Mandala Pratama, Jakarta.

Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics. Addison-Wesley, Harlow.

Tucker, A. L., J. Madura and T.C. Chiang. 1991. International Financial Markets.
West Publishing Company, New York.

Winata, C. 2006. Pentargetan Inflasi, Stabilitas Nilai Tukar Rupiah dan Fluktuasi
Output di Indonesia : Pendekatan Model DSGE (Dynamic Stochastic
General Equilibrium). Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Warjiyo, P. dan D. Zulverdi. 1998. Penggunaan Sukubunga Sebagai Sasaran


Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, 1(1): 25-58.

Warjiyo, P. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta.


121

Lampiran 1 . Data Asli

obs ER CPI M2 IPI SBI SBW


1999:01 8950 80.28 596541 76.93 36.43 7.75
1999:02 8730 80.36 602666 94.63 37.5 7.75
1999:03 8685 81.38 603325 107.46 37.84 7.75
1999:04 8260 81.24 613140 105.35 35.19 7.75
1999:05 8105 80.68 628260 106.72 28.73 7.75
1999:06 6726 80.45 615411 104.28 22.05 7.75
1999:07 6875 80.18 627207 110.66 15.01 8
1999:08 7565 79.34 636529 109.08 13.2 8.25
1999:09 8386 78.6 652289 112.19 13.02 8.25
1999:10 6900 78.06 628896 114.02 13.13 8.25
1999:11 7425 78.11 639347 114.74 13.1 8.5
1999:12 7100 78.19 646205 109.23 12.51 8.5
2000:01 7425 79.55 650597 71.08 11.48 8.5
2000:02 7505 80.6 653334 91.8 11.13 8.75
2000:03 7590 80.66 656451 98.59 11.03 9
2000:04 7945 80.29 665651 92.93 11 9
2000:05 8620 80.74 683477 102.78 11.08 9.5
2000:06 8735 81.42 684335 102.33 11.74 9.5
2000:07 9003 81.82 689935 107.3 13.53 9.5
2000:08 8290 82.87 685602 110.4 13.53 9.5
2000:09 8780 83.3 686453 109.4 13.62 9.5
2000:10 9395 83.22 707447 111.12 13.74 9.5
2000:11 9530 84.19 720261 109.04 14.15 9.5
2000:12 9595 85.3 742028 93.24 14.53 9.5
2001:01 9450 86.93 738731 95.6 14.74 9
2001:02 9835 87.21 755898 97.53 14.79 8.5
2001:03 10400 87.97 766812 102.47 15.82 8
2001:04 11675 88.76 792227 101.62 16.09 7.5
2001:05 11058 89.16 788320 108.33 16.33 7
2001:06 11440 90.15 796440 109.14 16.65 6.75
2001:07 9525 91.6 771135 110.53 17.17 6.75
2001:08 8865 93.53 774037 112.14 17.67 6.75
2001:09 9675 92.6 783104 109.58 17.57 6
2001:10 10435 93.19 808514 112.87 17.58 5.5
2001:11 10430 93.82 821621 109.18 17.6 5
2001:12 10400 95.42 844053 82.27 17.62 4.75
2002:01 10320 96.95 838022 99.66 16.93 4.75
2002:02 10189 98.11 837160 91.58 16.86 4.75
2002:03 9655 98.39 831411 101.75 16.76 4.75
2002:04 9316 98.18 828278 108.76 16.6 4.75
2002:05 8785 98.96 833084 110.24 15.51 4.75
2002:06 8730 99.26 838635 109.99 15.11 4.75
2002:07 9108 99.96 852718 116.81 14.93 4.75
2002:08 8867 100.32 856835 116.43 14.35 4.75
2002:09 9015 100.88 859706 114.77 13.22 4.75
2002:10 9233 101.36 863010 118.46 13.1 4.75
2002:11 8976 103.22 870046 116.25 13.06 4.25
2002:12 8940 104.44 883908 87.42 12.93 4.25
2003:01 8876 105.37 873683 107.27 12.69 4.25
2003:02 8905 105.57 881215 105.82 12.24 4.25
2003:03 8908 105.44 877776 114.52 11.4 4.25
2003:04 8675 105.66 882808 107.8 11.06 4.25
2003:05 8279 106.04 893029 110.66 10.44 4.25
122

2003:06 8285 106.19 894554 116.38 9.53 4.25


2003:07 8505 106.23 901389 120.46 9.1 4
2003:08 8535 106.85 905498 119.59 8.91 4
2003:09 8416 107.27 911224 121.55 8.66 4
2003:10 8495 107.93 926325 121.33 8.48 4
2003:11 8537 108.93 944647 100.4 8.49 4
2003:12 8447 109.83 955692 116.92 8.31 4
2004:01 8441 110.45 947277 115.27 7.86 4
2004:02 8447 110.43 935745 105.63 7.48 4
2004:03 8587 110.83 935156 113.67 7.42 4
2004:04 8661 111.91 930831 110.86 7.33 4
2004:05 9210 112.9 952961 114.12 7.32 4
2004:06 9415 113.44 976166 116.26 7.34 4.25
2004:07 9168 113.88 975091 122.57 7.36 4.5
2004:08 9328 113.98 980223 123.66 7.37 4.75
2004:09 9710 114 986808 127.27 7.39 4.75
2004:10 9090 114.64 995935 131.89 7.41 5
2004:11 9018 115.66 1000338 106 7.41 5.25
2004:12 9290 116.86 1033527 120.81 7.43 5.25
2005:01 9165 118.53 1015874 117.58 7.42 5.5
2005:02 9260 118.33 1012144 116.86 7.43 5.75
2005:03 9480 120.59 1020693 121.85 7.44 5.75
2005:04 9570 121 1044253 114.75 7.53 6
2005:05 9495 121.25 1046192 119.5 7.88 6.25
2005:06 9713 121.86 1073746 119.99 8.09 6.25
2005:07 9819 122.81 1088376 121.58 8.5 6.5
2005:08 10240 123.48 1115874 125.72 8.75 6.5
2005:09 10310 124.33 1150451 125.82 10 6.75
2005:10 10090 135.15 1165741 124.75 12.25 7
2005:11 10035 136.92 1168267 106.16 12.75 7.25
2005:12 9830 136.86 1203215 111.64 12.75 7.5
2006:01 9395 138.72 1190834 109.89 12.75 7.5
2006:02 9230 139.53 1193864 108.75 12.75 7.5
2006:03 9075 139.57 1195067 110.19 12.75 7.75
2006:04 8775 139.64 1198013 110.37 12.75 7.75
2006:05 9220 140.16 1237504 114.73 12.5 7.75
2006:06 9300 140.79 1253757 119.12 12.5 8.25
2006:07 9070 141.42 1248236 122.03 12.25 8.25
2006:08 9100 141.88 1270378 122.09 11.75 8.25
2006:09 9235 142.42 1291396 127.95 11.25 8.25
2006:10 9110 143.65 1325658 131.69 10.75 8.25
2006:11 9165 144.14 1338555 136.92 10.25 8.25
2006:12 9020 145.89 1382073 137.81 9.75 8.25
123

Lampiran 2. Data Asli yang telah di Logaritma

OBS LCPI LER LIPI LM2 SBI SBW


1999:01 4.385521 9.099409 4.342896 13.2989 36.43 7.75
1999:02 4.386517 9.074521 4.549975 13.3091 37.50 7.75
1999:03 4.399130 9.069353 4.677119 13.3102 37.84 7.75
1999:04 4.397408 9.019180 4.657288 13.3263 35.19 7.75
1999:05 4.390491 9.000236 4.670209 13.3507 28.73 7.75
1999:06 4.387636 8.813736 4.647080 13.3300 22.05 7.75
1999:07 4.384274 8.835647 4.706462 13.3490 15.01 8.00
1999:08 4.373742 8.931288 4.692082 13.3638 13.20 8.25
1999:09 4.364372 9.034319 4.720194 13.3882 13.02 8.25
1999:10 4.357478 8.839277 4.736374 13.3517 13.13 8.25
1999:11 4.358118 8.912608 4.742669 13.3682 13.10 8.50
1999:12 4.359142 8.867850 4.693456 13.3789 12.51 8.50
2000:01 4.376386 8.912608 4.263806 13.3856 11.48 8.50
2000:02 4.389499 8.923325 4.519612 13.3898 11.13 8.75
2000:03 4.390243 8.934587 4.590970 13.3946 11.03 9.00
2000:04 4.385645 8.980298 4.531847 13.4085 11.00 9.00
2000:05 4.391234 9.061840 4.632591 13.4349 11.08 9.50
2000:06 4.399621 9.075093 4.628203 13.4362 11.74 9.50
2000:07 4.404522 9.105313 4.675629 13.4444 13.53 9.50
2000:08 4.417273 9.022805 4.704110 13.4381 13.53 9.50
2000:09 4.422449 9.080232 4.695011 13.4393 13.62 9.50
2000:10 4.421488 9.147933 4.710611 13.4694 13.74 9.50
2000:11 4.433076 9.162200 4.691715 13.4874 14.15 9.50
2000:12 4.446174 9.168997 4.535177 13.5171 14.53 9.50
2001:01 4.465103 9.153770 4.560173 13.5127 14.74 9.00
2001:02 4.468319 9.193703 4.580160 13.5357 14.79 8.50
2001:03 4.476996 9.249561 4.629570 13.5500 15.82 8.00
2001:04 4.485936 9.365205 4.621240 13.5826 16.09 7.50
2001:05 4.490433 9.310909 4.685182 13.5777 16.33 7.00
2001:06 4.501475 9.344871 4.692631 13.5879 16.65 6.75
2001:07 4.517431 9.161675 4.705287 13.5556 17.17 6.75
2001:08 4.538282 9.089866 4.719748 13.5594 17.67 6.75
2001:09 4.528289 9.177301 4.696655 13.5710 17.57 6.00
2001:10 4.534640 9.252921 4.726237 13.6030 17.58 5.50
2001:11 4.541378 9.252442 4.692998 13.6190 17.60 5.00
2001:12 4.558288 9.249561 4.410007 13.6460 17.62 4.75
2002:01 4.574195 9.241839 4.601764 13.6388 16.93 4.75
2002:02 4.586089 9.229064 4.517213 13.6378 16.86 4.75
2002:03 4.588939 9.175231 4.622519 13.6309 16.76 4.75
2002:04 4.586803 9.139489 4.689144 13.6271 16.60 4.75
2002:05 4.594716 9.080801 4.702660 13.6329 15.51 4.75
2002:06 4.597743 9.074521 4.700389 13.6395 15.11 4.75
2002:07 4.604770 9.116908 4.760549 13.6562 14.93 4.75
2002:08 4.608365 9.090092 4.757290 13.6610 14.35 4.75
2002:09 4.613932 9.106645 4.742930 13.6643 13.22 4.75
2002:10 4.618679 9.130539 4.774575 13.6682 13.10 4.75
2002:11 4.636863 9.102310 4.755743 13.6763 13.06 4.25
2002:12 4.648613 9.098291 4.470724 13.6921 12.93 4.25
124

2003:01 4.657478 9.091106 4.675349 13.6805 12.69 4.25


2003:02 4.659374 9.094368 4.661740 13.6891 12.24 4.25
2003:03 4.658142 9.094705 4.740749 13.6851 11.40 4.25
2003:04 4.660226 9.068201 4.680278 13.6909 11.06 4.25
2003:05 4.663816 9.021477 4.706462 13.7024 10.44 4.25
2003:06 4.665230 9.022202 4.756861 13.7041 9.53 4.25
2003:07 4.665607 9.048410 4.791318 13.7117 9.10 4.00
2003:08 4.671426 9.051931 4.784069 13.7162 8.91 4.00
2003:09 4.675349 9.037890 4.800326 13.7225 8.66 4.00
2003:10 4.681483 9.047233 4.798514 13.7390 8.48 4.00
2003:11 4.690705 9.052165 4.609162 13.7586 8.49 4.00
2003:12 4.698934 9.041567 4.761490 13.7702 8.31 4.00
2004:01 4.704563 9.040856 4.747277 13.7613 7.86 4.00
2004:02 4.704382 9.041567 4.659942 13.7491 7.48 4.00
2004:03 4.707997 9.058005 4.733300 13.7485 7.42 4.00
2004:04 4.717695 9.066585 4.708268 13.7438 7.33 4.00
2004:05 4.726502 9.128045 4.737251 13.7673 7.32 4.00
2004:06 4.731274 9.150059 4.755829 13.7914 7.34 4.25
2004:07 4.735145 9.123474 4.808682 13.7903 7.36 4.50
2004:08 4.736023 9.140776 4.817536 13.7955 7.37 4.75
2004:09 4.736198 9.180912 4.846311 13.8022 7.39 4.75
2004:10 4.741797 9.114930 4.881968 13.8114 7.41 5.00
2004:11 4.750655 9.106978 4.663439 13.8158 7.41 5.25
2004:12 4.760977 9.136694 4.794219 13.8485 7.43 5.25
2005:01 4.775166 9.123147 4.767119 13.8313 7.42 5.50
2005:02 4.773477 9.133459 4.760977 13.8276 7.43 5.75
2005:03 4.792396 9.156940 4.802791 13.8360 7.44 5.75
2005:04 4.795791 9.166388 4.742756 13.8588 7.53 6.00
2005:05 4.797855 9.158521 4.783316 13.8607 7.88 6.25
2005:06 4.802873 9.181220 4.787408 13.8867 8.09 6.25
2005:07 4.810638 9.192075 4.800572 13.9002 8.50 6.50
2005:08 4.816079 9.234057 4.834057 13.9251 8.75 6.50
2005:09 4.822939 9.240870 4.834852 13.9557 10.00 6.75
2005:10 4.906385 9.219300 4.826312 13.9689 12.25 7.00
2005:11 4.919397 9.213834 4.664947 13.9710 12.75 7.25
2005:12 4.918959 9.193194 4.715279 14.0005 12.75 7.50
2006:01 4.932458 9.147933 4.699480 13.9902 12.75 7.50
2006:02 4.938280 9.130214 4.689052 13.9927 12.75 7.50
2006:03 4.938566 9.113279 4.702206 13.9937 12.75 7.75
2006:04 4.939068 9.079662 4.703838 13.9962 12.75 7.75
2006:05 4.942785 9.129130 4.742582 14.0286 12.50 7.75
2006:06 4.947269 9.137770 4.780131 14.0417 12.50 8.25
2006:07 4.951734 9.112728 4.804267 14.0372 12.25 8.25
2006:08 4.954982 9.116030 4.804758 14.0548 11.75 8.25
2006:09 4.958780 9.130756 4.851640 14.0712 11.25 8.25
2006:10 4.967380 9.117128 4.880451 14.0974 10.75 8.25
2006:11 4.970785 9.123147 4.919397 14.1071 10.25 8.25
2006:12 4.982853 9.107200 4.925876 14.1391 9.75 8.25
125

Lampiran 3. Data First Difference

obs DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI


1999:01 NA NA NA NA NA NA
1999:02 0.000000 0.207079 0.000996 -0.024888 0.010215 1.070000
1999:03 0.000000 0.127144 0.012613 -0.005168 0.001093 0.340000
1999:04 0.000000 -0.019831 -0.001722 -0.050173 0.016137 -2.650000
1999:05 0.000000 0.012920 -0.006917 -0.018943 0.024361 -6.460000
1999:06 0.000000 -0.023129 -0.002855 -0.186501 -0.020664 -6.680000
1999:07 0.250000 0.059383 -0.003362 0.021911 0.018986 -7.040000
1999:08 0.250000 -0.014381 -0.010532 0.095641 0.014753 -1.810000
1999:09 0.000000 0.028112 -0.009371 0.103031 0.024458 -0.180000
1999:10 0.000000 0.016180 -0.006894 -0.195042 -0.036522 0.110000
1999:11 0.250000 0.006295 0.000640 0.073331 0.016481 -0.030000
1999:12 0.000000 -0.049213 0.001024 -0.044758 0.010669 -0.590000
2000:01 0.000000 -0.429650 0.017244 0.044758 0.006774 -1.030000
2000:02 0.250000 0.255806 0.013113 0.010717 0.004198 -0.350000
2000:03 0.250000 0.071358 0.000744 0.011262 0.004760 -0.100000
2000:04 0.000000 -0.059123 -0.004598 0.045711 0.013917 -0.030000
2000:05 0.500000 0.100744 0.005589 0.081542 0.026427 0.080000
2000:06 0.000000 -0.004388 0.008387 0.013253 0.001255 0.660000
2000:07 0.000000 0.047426 0.004901 0.030220 0.008150 1.790000
2000:08 0.000000 0.028481 0.012751 -0.082508 -0.006300 0.000000
2000:09 0.000000 -0.009099 0.005175 0.057426 0.001240 0.090000
2000:10 0.000000 0.015600 -0.000961 0.067701 0.030125 0.120000
2000:11 0.000000 -0.018896 0.011588 0.014267 0.017951 0.410000
2000:12 0.000000 -0.156538 0.013098 0.006797 0.029773 0.380000
2001:01 -0.500000 0.024996 0.018929 -0.015227 -0.004453 0.210000
2001:02 -0.500000 0.019987 0.003216 0.039933 0.022973 0.050000
2001:03 -0.500000 0.049410 0.008677 0.055858 0.014335 1.030000
2001:04 -0.500000 -0.008330 0.008940 0.115644 0.032606 0.270000
2001:05 -0.500000 0.063942 0.004496 -0.054296 -0.004944 0.240000
2001:06 -0.250000 0.007449 0.011042 0.033962 0.010248 0.320000
2001:07 0.000000 0.012656 0.015956 -0.183196 -0.032288 0.520000
2001:08 0.000000 0.014461 0.020851 -0.071809 0.003756 0.500000
2001:09 -0.750000 -0.023093 -0.009993 0.087434 0.011646 -0.100000
2001:10 -0.500000 0.029582 0.006351 0.075620 0.031932 0.010000
2001:11 -0.500000 -0.033239 0.006738 -0.000479 0.016081 0.020000
2001:12 -0.250000 -0.282991 0.016910 -0.002880 0.026936 0.020000
2002:01 0.000000 0.191758 0.015907 -0.007722 -0.007171 -0.690000
2002:02 0.000000 -0.084551 0.011894 -0.012775 -0.001029 -0.070000
2002:03 0.000000 0.105306 0.002850 -0.053833 -0.006891 -0.100000
2002:04 0.000000 0.066625 -0.002137 -0.035743 -0.003775 -0.160000
2002:05 0.000000 0.013516 0.007913 -0.058688 0.005786 -1.090000
2002:06 0.000000 -0.002270 0.003027 -0.006280 0.006641 -0.400000
2002:07 0.000000 0.060159 0.007027 0.042388 0.016653 -0.180000
2002:08 0.000000 -0.003258 0.003595 -0.026817 0.004816 -0.580000
2002:09 0.000000 -0.014360 0.005567 0.016553 0.003345 -1.130000
2002:10 0.000000 0.031645 0.004747 0.023894 0.003836 -0.120000
2002:11 -0.500000 -0.018832 0.018184 -0.028230 0.008120 -0.040000
2002:12 0.000000 -0.285019 0.011750 -0.004019 0.015807 -0.130000
2003:01 0.000000 0.204625 0.008865 -0.007185 -0.011635 -0.240000
2003:02 0.000000 -0.013609 0.001896 0.003262 0.008584 -0.450000
2003:03 0.000000 0.079010 -0.001232 0.000337 -0.003910 -0.840000
2003:04 0.000000 -0.060472 0.002084 -0.026504 0.005716 -0.340000
2003:05 0.000000 0.026185 0.003590 -0.046723 0.011511 -0.620000
126

2003:06 0.000000 0.050398 0.001414 0.000724 0.001706 -0.910000


2003:07 -0.250000 0.034457 0.000377 0.026208 0.007612 -0.430000
2003:08 0.000000 -0.007249 0.005819 0.003521 0.004548 -0.190000
2003:09 0.000000 0.016256 0.003923 -0.014041 0.006304 -0.250000
2003:10 0.000000 -0.001812 0.006134 0.009343 0.016436 -0.180000
2003:11 0.000000 -0.189352 0.009223 0.004932 0.019586 0.010000
2003:12 0.000000 0.152328 0.008228 -0.010598 0.011624 -0.180000
2004:01 0.000000 -0.014213 0.005629 -0.000711 -0.008844 -0.450000
2004:02 0.000000 -0.087335 -0.000181 0.000711 -0.012249 -0.380000
2004:03 0.000000 0.073357 0.003616 0.016438 -0.000630 -0.060000
2004:04 0.000000 -0.025031 0.009697 0.008581 -0.004636 -0.090000
2004:05 0.000000 0.028982 0.008807 0.061460 0.023496 -0.010000
2004:06 0.250000 0.018579 0.004772 0.022014 0.024059 0.020000
2004:07 0.250000 0.052853 0.003871 -0.026585 -0.001102 0.020000
2004:08 0.250000 0.008854 0.000878 0.017301 0.005249 0.010000
2004:09 0.000000 0.028775 0.000175 0.040136 0.006695 0.020000
2004:10 0.250000 0.035657 0.005598 -0.065981 0.009207 0.020000
2004:11 0.250000 -0.218529 0.008858 -0.007952 0.004411 0.000000
2004:12 0.000000 0.130780 0.010322 0.029716 0.032639 0.020000
2005:01 0.250000 -0.027100 0.014189 -0.013547 -0.017228 -0.010000
2005:02 0.250000 -0.006142 -0.001689 0.010312 -0.003678 0.010000
2005:03 0.000000 0.041814 0.018919 0.023480 0.008411 0.010000
2005:04 0.250000 -0.060035 0.003394 0.009449 0.022820 0.090000
2005:05 0.250000 0.040561 0.002064 -0.007868 0.001855 0.350000
2005:06 0.000000 0.004092 0.005018 0.022700 0.025997 0.210000
2005:07 0.250000 0.013164 0.007766 0.010854 0.013533 0.410000
2005:08 0.000000 0.033485 0.005441 0.041982 0.024951 0.250000
2005:09 0.250000 0.000795 0.006860 0.006813 0.030516 1.250000
2005:10 0.250000 -0.008541 0.083446 -0.021569 0.013203 2.250000
2005:11 0.250000 -0.161364 0.013012 -0.005466 0.002165 0.500000
2005:12 0.250000 0.050332 -0.000438 -0.020640 0.029476 0.000000
2006:01 0.000000 -0.015800 0.013499 -0.045261 -0.010343 0.000000
2006:02 0.000000 -0.010428 0.005822 -0.017719 0.002541 0.000000
2006:03 0.250000 0.013154 0.000287 -0.016936 0.001007 0.000000
2006:04 0.000000 0.001632 0.000501 -0.033617 0.002462 0.000000
2006:05 0.000000 0.038743 0.003717 0.049468 0.032432 -0.250000
2006:06 0.500000 0.037550 0.004485 0.008639 0.013048 0.000000
2006:07 0.000000 0.024136 0.004465 -0.025042 -0.004413 -0.250000
2006:08 0.000000 0.000492 0.003247 0.003302 0.017583 -0.500000
2006:09 0.000000 0.046881 0.003799 0.014726 0.016409 -0.500000
2006:10 0.000000 0.028811 0.008599 -0.013628 0.026185 -0.500000
2006:11 0.000000 0.038946 0.003405 0.006019 0.009682 -0.500000
2006:12 0.000000 0.006479 0.012068 -0.015948 0.031994 -0.500000
127

Lampiran 4. Uji Stasioneritas Pada Level

1. Suku bunga Dunia (SBW)


Null Hypothesis: SBW has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.144197 0.6314
Test critical values: 1% level -2.589795
5% level -1.944286
10% level -1.614487
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

2. Industrial Index And Production (LIPI)


Null Hypothesis: LIPI has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.767682 0.9808
Test critical values: 1% level -2.592782
5% level -1.944713
10% level -1.614233
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

3. Consumer Price Index (LCPI)


Null Hypothesis: LCPI has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic 6.027303 1.0000
Test critical values: 1% level -2.589531
5% level -1.944248
10% level -1.614510
*MacKinnon (1996) one-sided p-values

4. Nilai Tukar (LER)


Null Hypothesis: LER has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.011482 0.6764
Test critical values: 1% level -2.589531
5% level -1.944248
10% level -1.614510
*MacKinnon (1996) one-sided p-value

5. Permintaan Uang (LM2)


Null Hypothesis: LM2 has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic 6.234378 1.0000
Test critical values: 1% level -2.589531
5% level -1.944248
128

10% level -1.614510


*MacKinnon (1996) one-sided p-values
Lampiran 4. Lanjutan

6. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


Null Hypothesis: SBI has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.122383 0.0021
Test critical values: 1% level -2.589795
5% level -1.944286
10% level -1.614487
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
129

Lampiran 4. Lanjutan

Uji Stasioneritas pada First Difference


1. Sukubunga Dunia (DSBW)
Null Hypothesis: D(SBW) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.154748 0.0000
Test critical values: 1% level -2.589795
5% level -1.944286
10% level -1.614487
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

2. Industrial Index and Production (DLIPI)


Null Hypothesis: D(LIPI) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.929527 0.0001
Test critical values: 1% level -2.593121
5% level -1.944762
10% level -1.614204
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

3. Consumer Price Index (DLCPI)


Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.253612 0.0000
Test critical values: 1% level -2.589795
5% level -1.944286
10% level -1.614487
*MacKinnon (1996) one-sided p-values

4. Nilai Tukar (DLER)


Null Hypothesis: D(LER) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.08014 0.0000
Test critical values: 1% level -2.589795
5% level -1.944286
10% level -1.614487
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
5. Permintaan Uang (DLM2)
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.134600 0.0001
Test critical values: 1% level -2.590065
5% level -1.944324
10% level -1.614464
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
130

Lampiran 4. Lanjutan

6. Sertifikat Bank Indonesia (DSBI)

Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root


Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.390187 0.0009
Test critical values: 1% level -2.589795
5% level -1.944286
10% level -1.614487
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
131

Lampiran 5. Hasil VAR Pada Tingkat Lag Optimal

Vector Autoregression Estimates


Date: 05/29/07 Time: 23:50
Sample(adjusted): 1999:03 2006:12
Included observations: 94 after adjusting endpoints
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBW(-1) 0.545840 0.050695 -0.001676 -0.010910 -0.007459 0.357881
(0.08885) (0.04149) (0.00443) (0.02488) (0.00675) (0.38512)
[ 6.14322] [ 1.22200] [-0.37815] [-0.43843] [-1.10472] [ 0.92927]

DLIPI(-1) -0.096008 -0.357522 -0.009657 -0.028226 -0.008746 -0.117449


(0.20682) (0.09657) (0.01032) (0.05792) (0.01572) (0.89645)
[-0.46420] [-3.70234] [-0.93583] [-0.48731] [-0.55652] [-0.13102]

DLCPI(-1) 0.634547 -1.580475 -0.017083 -0.060166 -0.105350 -5.087342


(2.09858) (0.97983) (0.10471) (0.58771) (0.15947) (9.09602)
[ 0.30237] [-1.61301] [-0.16315] [-0.10237] [-0.66063] [-0.55929]

DLER(-1) -0.266702 0.351962 -0.067082 0.075378 0.011404 6.405843


(0.52408) (0.24469) (0.02615) (0.14677) (0.03982) (2.27154)
[-0.50890] [ 1.43838] [-2.56535] [ 0.51358] [ 0.28635] [ 2.82004]

DLM2(-1) 0.344375 -1.103764 0.301035 -0.742479 -0.094746 -8.875733


(1.89730) (0.88585) (0.09467) (0.53134) (0.14417) (8.22358)
[ 0.18151] [-1.24599] [ 3.17990] [-1.39737] [-0.65717] [-1.07930]

DSBI(-1) -0.016681 0.000918 0.003219 0.000690 0.000477 0.745796


(0.01655) (0.00773) (0.00083) (0.00463) (0.00126) (0.07173)
[-1.00789] [ 0.11878] [ 3.89866] [ 0.14896] [ 0.37892] [ 10.3966]

C -0.008486 0.025419 0.004844 0.007510 0.010523 0.017685


(0.02859) (0.01335) (0.00143) (0.00801) (0.00217) (0.12390)
[-0.29685] [ 1.90454] [ 3.39611] [ 0.93817] [ 4.84455] [ 0.14274]
R-squared 0.324374 0.175818 0.236682 0.029288 0.028603 0.644957
Adj. R-squared 0.277779 0.118978 0.184039 -0.037658 -0.038390 0.620472
Sum sq. resids 3.038521 0.662390 0.007565 0.238307 0.017546 57.08379
S.E. equation 0.186884 0.087256 0.009325 0.052337 0.014201 0.810022
F-statistic 6.961569 3.093196 4.496009 0.437484 0.426952 26.34018
Log likelihood 27.92020 99.51398 309.7145 147.5619 270.1736 -109.9378
Akaike AIC -0.445111 -1.968382 -6.440735 -2.990679 -5.599438 2.488039
Schwarz SC -0.255716 -1.778988 -6.251340 -2.801285 -5.410044 2.677433
Mean dependent 0.005319 0.003999 0.006344 0.000348 0.008830 -0.295213
S.D. dependent 0.219906 0.092962 0.010323 0.051378 0.013936 1.314846
Determinant Residual 3.48E-15
Covariance
Log Likelihood (d.f. adjusted) 764.4187
Akaike Information Criteria -15.37061
Schwarz Criteria -14.23424
132

Lampiran 5. Lanjutan
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
Exogenous variables: C
Date: 05/29/07 Time: 23:52
Sample: 1999:01 2006:12
Included observations: 88
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 738.6510 NA 2.36E-15 -16.65116 -16.48225* -16.58311
1 799.1764 111.4218 1.36E-15* -17.20856* -16.02619 -16.73221*
2 825.8144 45.40553 1.70E-15 -16.99578 -14.79996 -16.11114
3 860.1311 53.81492 1.81E-15 -16.95753 -13.74825 -15.66459
4 889.2988 41.76277 2.24E-15 -16.80224 -12.57951 -15.10101
5 917.1936 36.13645 2.95E-15 -16.61804 -11.38185 -14.50851
6 965.6559 56.17230* 2.57E-15 -16.90127 -10.65163 -14.38345
7 993.5264 28.50388 3.83E-15 -16.71651 -9.453408 -13.79039
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion

Note: Untuk mengetahui jumlah lag optimal yang akan digunakan dalam variabel
yang akan dianalisis. Jumlah lagnya yang optimal dalam penelitian ini didasarkan
pada nilai akaike information criteria (AIC) yang terkecil atau minimum yaitu
di lag 1.

Roots of Characteristic Polynomial


Endogenous variables: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 05/29/07 Time: 23:44
Root Modulus
0.693249 0.693249
0.565470 0.565470
-0.383370 0.383370
0.058882 - 0.179546i 0.188955
0.058882 + 0.179546i 0.188955
-0.095451 0.095451
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
133

Lampiran 5. Lanjutan
Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial
1.5

1.0

0.5

0.0

-0.5

-1.0

-1.5
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

Var Estimasi

Estimation Proc:
===============================
LS 1 1 DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI @ C

VAR Model:
===============================
DSBW = C(1,1)*DSBW(-1) + C(1,2)*DLIPI(-1) + C(1,3)*DLCPI(-1) + C(1,4)*DLER(-1) +
C(1,5)*DLM2(-1) + C(1,6)*DSBI(-1) + C(1,7)

DLIPI = C(2,1)*DSBW(-1) + C(2,2)*DLIPI(-1) + C(2,3)*DLCPI(-1) + C(2,4)*DLER(-1) +


C(2,5)*DLM2(-1) + C(2,6)*DSBI(-1) + C(2,7)

DLCPI = C(3,1)*DSBW(-1) + C(3,2)*DLIPI(-1) + C(3,3)*DLCPI(-1) + C(3,4)*DLER(-1) +


C(3,5)*DLM2(-1) + C(3,6)*DSBI(-1) + C(3,7)

DLER = C(4,1)*DSBW(-1) + C(4,2)*DLIPI(-1) + C(4,3)*DLCPI(-1) + C(4,4)*DLER(-1) +


C(4,5)*DLM2(-1) + C(4,6)*DSBI(-1) + C(4,7)

DLM2 = C(5,1)*DSBW(-1) + C(5,2)*DLIPI(-1) + C(5,3)*DLCPI(-1) + C(5,4)*DLER(-1) +


C(5,5)*DLM2(-1) + C(5,6)*DSBI(-1) + C(5,7)

DSBI = C(6,1)*DSBW(-1) + C(6,2)*DLIPI(-1) + C(6,3)*DLCPI(-1) + C(6,4)*DLER(-1) +


C(6,5)*DLM2(-1) + C(6,6)*DSBI(-1) + C(6,7)

VAR Model - Substituted Coefficients:


===============================
DSBW = 0.5458404389*DSBW(-1) - 0.0960078236*DLIPI(-1) + 0.6345469242*DLCPI(-1)
- 0.266702008*DLER(-1) + 0.3443751545*DLM2(-1) - 0.01668083278*DSBI(-1) -
0.008485594345

DLIPI = 0.05069504303*DSBW(-1) - 0.3575220271*DLIPI(-1) - 1.580474719*DLCPI(-1)


+ 0.3519618322*DLER(-1) - 1.103764184*DLM2(-1) + 0.0009178608073*DSBI(-1) +
0.02541910633

DLCPI = - 0.001676490641*DSBW(-1) - 0.00965747398*DLIPI(-1) -


0.01708330569*DLCPI(-1) - 0.06708248089*DLER(-1) + 0.3010345905*DLM2(-1) +
0.003219482276*DSBI(-1) + 0.004843865311

DLER = - 0.01090951011*DSBW(-1) - 0.02822582572*DLIPI(-1) -


0.06016645022*DLCPI(-1) + 0.075377901*DLER(-1) - 0.7424785323*DLM2(-1) +
0.0006904155729*DSBI(-1) + 0.007510368132
134

DLM2 = - 0.007458855833*DSBW(-1) - 0.008746425336*DLIPI(-1) -


0.1053503952*DLCPI(-1) + 0.01140379705*DLER(-1) - 0.09474645256*DLM2(-1) +
0.000476546484*DSBI(-1) + 0.01052324946

DSBI = 0.3578805509*DSBW(-1) - 0.1174492431*DLIPI(-1) - 5.087342336*DLCPI(-1) +


6.405843103*DLER(-1) - 8.875732643*DLM2(-1) + 0.7457956794*DSBI(-1) +
0.01768538566
135

Lampiran 6 . Analisis Impulse Response Function (IRF)


Estimasi SVAR
Structural VAR Estimates
Date: 05/31/07 Time: 10:59
Sample(adjusted): 1999:03 2006:12
Included observations: 94 after adjusting endpoints
Estimation method: method of scoring (analytic derivatives)
Convergence achieved after 10 iterations
Structural VAR is just-identified
Model: Ae = Bu where E[uu']=I
Restriction Type: short-run text form
@e1 = C(1)*@u1
@e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2
@e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3
@e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4
@e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5
@e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 +
C(21)*@u6
where
@e1 represents DSBW residuals
@e2 represents DLIPI residuals
@e3 represents DLCPI residuals
@e4 represents DLER residuals
@e5 represents DLM2 residuals
@e6 represents DSBI residuals
Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.
C(2) 0.004589 0.048155 0.095298 0.9241
C(4) 0.004627 0.005092 0.908549 0.3636
C(5) -0.011979 0.010907 -1.098279 0.2721
C(7) -0.022024 0.028755 -0.765927 0.4437
C(8) -0.028763 0.061711 -0.466097 0.6411
C(9) -0.526179 0.579866 -0.907414 0.3642
C(11) 0.006153 0.005988 1.027552 0.3042
C(12) -0.017518 0.012825 -1.365921 0.1720
C(13) 0.062410 0.120900 0.516207 0.6057
C(14) 0.174309 0.021411 8.140994 0.0000
C(16) 0.413279 0.392599 1.052673 0.2925
C(17) -0.250155 0.844475 -0.296226 0.7671
C(18) 26.17507 7.893956 3.315837 0.0009
C(19) 8.630346 1.822906 4.734388 0.0000
C(20) -19.54840 6.724936 -2.906853 0.0037
C(1) 0.186884 0.013630 13.71131 0.0000
C(3) 0.087252 0.006364 13.71131 0.0000
C(6) 0.009227 0.000673 13.71131 0.0000
C(10) 0.051872 0.003783 13.71131 0.0000
C(15) 0.010768 0.000785 13.71131 0.0000
C(21) 0.702084 0.051205 13.71131 0.0000
Log likelihood 764.4187
Estimated A matrix:
1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
-0.004589 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
-0.004627 0.011979 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.022024 0.028763 0.526179 1.000000 0.000000 0.000000
-0.006153 0.017518 -0.062410 -0.174309 1.000000 0.000000
-0.413279 0.250155 -26.17507 -8.630346 19.54840 1.000000
Estimated B matrix:
0.186884 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.087252 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.009227 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.051872 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.010768 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.702084
136

Lampiran 6. Lanjutan

Effect of cholesky (d.f. adjust) one S.D. DLER innovation


Period DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
1 0.000000 0.000000 0.000000 0.051872 0.009042 0.270919
2 -0.015240 0.008526 0.000114 -0.002616 -0.000136 0.454081
3 -0.015988 -0.004355 0.001538 0.000136 0.000226 0.316062
4 -0.012563 -0.001596 0.001119 0.000265 0.000126 0.221546
5 -0.009717 -0.001678 0.000751 0.000194 8.64E-05 0.155805
6 -0.007287 -0.000963 0.000534 0.000166 7.63E-05 0.109575
7 -0.005392 -0.000795 0.000377 0.000106 5.34E-05 0.076895
8 -0.003920 -0.000536 0.000267 8.00E-05 4.02E-05 0.053799
9 -0.002824 -0.000396 0.000187 5.51E-05 2.86E-05 0.037581
10 -0.002016 -0.000275 0.000131 3.96E-05 2.06E-05 0.026212
11 -0.001432 -0.000196 9.17E-05 2.76E-05 1.46E-05 0.018262
12 -0.001011 -0.000137 6.41E-05 1.95E-05 1.04E-05 0.012711
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI

Effect of cholesky (d.f. adjust) one S.D. DLCPI innovation


Period DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
1 0.000000 0.000000 0.009227 -0.004855 -0.000270 0.204892
2 0.003639 -0.015804 0.000746 -0.000579 -0.000904 0.077170
3 0.002533 0.005520 0.000149 0.001042 0.000148 0.061232
4 -0.000301 -0.001821 0.000112 -0.000182 -5.58E-05 0.050528
5 -0.000732 0.000503 0.000174 0.000111 3.37E-05 0.036553
6 -0.000965 -0.000457 0.000114 -8.15E-06 -1.81E-06 0.026463
7 -0.000851 -4.19E-05 8.93E-05 3.56E-05 1.19E-05 0.018829
8 -0.000723 -0.000153 6.21E-05 1.19E-05 5.56E-06 0.013411
9 -0.000566 -6.99E-05 4.57E-05 1.45E-05 6.18E-06 0.009472
10 -0.000433 -6.89E-05 3.22E-05 8.44E-06 4.11E-06 0.006676
11 -0.000321 -4.37E-05 2.30E-05 6.92E-06 3.32E-06 0.004686
12 -0.000235 -3.40E-05 1.62E-05 4.64E-06 2.35E-06 0.003282
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
137

Lampiran 7. Forecast Error Decomposition Variance

Variance Decomposition of DLER


Period S.E. DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
1 0.186884 0.769217 0.140204 0.860455 98.23012 0.000000 0.000000
2 0.214560 1.007551 0.181384 0.847226 95.60688 2.348628 0.008328
3 0.222854 1.009851 0.236213 0.884866 95.51309 2.347125 0.008857
4 0.225536 1.010226 0.248476 0.885842 95.49485 2.346624 0.013987
5 0.226511 1.010517 0.250157 0.886218 95.49005 2.347339 0.015717
6 0.226925 1.010496 0.250395 0.886195 95.48820 2.347758 0.016955
7 0.227123 1.010485 0.250424 0.886228 95.48735 2.347990 0.017522
8 0.227223 1.010493 0.250430 0.886227 95.48692 2.348093 0.017842
9 0.227276 1.010504 0.250429 0.886231 95.48669 2.348146 0.018000
10 0.227304 1.010515 0.250429 0.886232 95.48657 2.348172 0.018081
11 0.227318 1.010522 0.250429 0.886233 95.48651 2.348185 0.018122
12 0.227326 1.010526 0.250429 0.886233 95.48648 2.348191 0.018142
13 0.227329 1.010529 0.250429 0.886233 95.48646 2.348194 0.018152
14 0.227331 1.010530 0.250429 0.886233 95.48646 2.348195 0.018156
15 0.227332 1.010531 0.250429 0.886233 95.48645 2.348196 0.018159
16 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348196 0.018160
17 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
18 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
19 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
20 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
21 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
22 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
23 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
24 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
25 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
26 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
27 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
28 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
29 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
30 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
31 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
32 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
33 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
34 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
35 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
36 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
37 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
38 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
39 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
40 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
41 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
42 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
43 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
44 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
45 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
46 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
47 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
48 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
49 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
50 0.227333 1.010532 0.250429 0.886234 95.48645 2.348197 0.018161
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
138

Lampiran 7. Lanjutan

Variance Decomposition of DLCPI

Period S.E. DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI


1 0.186884 0.839518 1.256315 97.90417 0.000000 0.000000 0.000000
2 0.214560 0.786837 2.927524 84.72166 0.012941 6.499345 5.051691
3 0.222854 0.827867 2.794332 80.15686 2.223666 6.423964 7.573307
4 0.225536 0.802633 2.710260 77.54545 3.284077 6.913867 8.743711
5 0.226511 0.803427 2.668462 76.36319 3.734821 7.122279 9.307817
6 0.226925 0.822984 2.648343 75.76719 3.957285 7.205738 9.598456
7 0.227123 0.842646 2.637662 75.46496 4.066181 7.245488 9.743063
8 0.227223 0.857421 2.632368 75.31032 4.120159 7.264455 9.815279
9 0.227276 0.866947 2.629667 75.23241 4.146514 7.273570 9.850891
10 0.227304 0.872619 2.628330 75.19331 4.159410 7.277905 9.868427
11 0.227318 0.875809 2.627664 75.17386 4.165684 7.279976 9.877009
12 0.227326 0.877537 2.627335 75.16423 4.168734 7.280964 9.881198
13 0.227329 0.878449 2.627174 75.15949 4.170212 7.281437 9.883236
14 0.227331 0.878920 2.627095 75.15717 4.170928 7.281663 9.884225
15 0.227332 0.879159 2.627057 75.15604 4.171274 7.281771 9.884704
16 0.227333 0.879280 2.627038 75.15548 4.171441 7.281822 9.884936
17 0.227333 0.879340 2.627029 75.15521 4.171522 7.281847 9.885048
18 0.227333 0.879369 2.627024 75.15508 4.171561 7.281859 9.885102
19 0.227333 0.879384 2.627022 75.15502 4.171579 7.281865 9.885128
20 0.227333 0.879391 2.627021 75.15499 4.171588 7.281867 9.885141
21 0.227333 0.879395 2.627021 75.15498 4.171593 7.281869 9.885147
22 0.227333 0.879396 2.627021 75.15497 4.171595 7.281869 9.885150
23 0.227333 0.879397 2.627020 75.15497 4.171596 7.281870 9.885151
24 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171596 7.281870 9.885152
25 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171596 7.281870 9.885152
26 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
27 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
28 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
29 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
30 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
31 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
32 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
33 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
34 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
35 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
36 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
37 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
38 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
39 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
40 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
41 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
42 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
43 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
44 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
45 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
46 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
47 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
48 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
49 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
50 0.227333 0.879398 2.627020 75.15496 4.171597 7.281870 9.885153
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
139

Lampiran 8. Granger Causality Test

Pairwise Granger Causality Test


Sample: 1999:01 2006:12
Lags: 1
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
DLIPI does not Granger Cause DSBW 94 0.30811 0.58020
DSBW does not Granger Cause DLIPI 1.10658 0.29561
DLCPI does not Granger Cause DSBW 94 0.00169 0.96733
DSBW does not Granger Cause DLCPI 0.30681 0.58100
DLER does not Granger Cause DSBW 94 0.62621 0.43081
DSBW does not Granger Cause DLER 0.25679 0.61356
DLM2 does not Granger Cause DSBW 94 0.04762 0.82775
DSBW does not Granger Cause DLM2 1.50322 0.22334
DSBI does not Granger Cause DSBW 94 1.34678 0.24888
DSBW does not Granger Cause DSBI 0.37368 0.54253
DLCPI does not Granger Cause DLIPI 94 3.56852 0.06207
DLIPI does not Granger Cause DLCPI 0.79454 0.37508
DLER does not Granger Cause DLIPI 94 0.99791 0.32047
DLIPI does not Granger Cause DLER 0.12590 0.72354
DLM2 does not Granger Cause DLIPI 94 0.12756 0.72180
DLIPI does not Granger Cause DLM2 0.26262 0.60957
DSBI does not Granger Cause DLIPI 94 0.09375 0.76016
DLIPI does not Granger Cause DSBI 0.00149 0.96928
DLER does not Granger Cause DLCPI 94 0.08533 0.77086
DLCPI does not Granger Cause DLER 0.00807 0.92861
DLM2 does not Granger Cause DLCPI 94 4.38839 0.03896
DLCPI does not Granger Cause DLM2 0.32326 0.57105
DSBI does not Granger Cause DLCPI 94 10.4872 0.00168
DLCPI does not Granger Cause DSBI 1.39924 0.23993
DLM2 does not Granger Cause DLER 94 2.05679 0.15496
DLER does not Granger Cause DLM2 0.31329 0.57704
DSBI does not Granger Cause DLER 94 0.08558 0.77054
DLER does not Granger Cause DSBI 8.74505 0.00395
DSBI does not Granger Cause DLM2 94 0.07619 0.78316
DLM2 does not Granger Cause DSBI 1.07056 0.30356

Keterangan :
Hipotesis nol pada kedua baris tidak memiliki pengaruh antar variabel, maka
gunakan Probability value < alpha (10%) = gunakan restriksi terketat 10% untuk
menolak hipotesis nol sehingga memiliki hubungan kausalitas searah antar
variabel. dimana pergerakan variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh
pada pergerakan variabel lain

Anda mungkin juga menyukai