Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Wahyuni (2009), tahun penelitian

yang digunakan yaitu tahun 2004-2007. Obyek yang diteliti adalah variabel

terikat kurs rupiah dan variabel bebas inflasi domestik, adapun perbandingan

kurs dilakukan pada mata uang Dollar Amerika, yen Jepang, dan mata uang

euro. Kesimpulan dari penelitaian tersebut yaitu, selama tahun 2004 sampai

dengan tahun 2007 tingkat inflasi berpengaruh signifikan terhadap kurs Rp/$,

sebaliknya kurs Rp/€ dan, Rp/¥, tingkat inflasi tidak berpengaruh terhadap

kurs Rp/€ dan Rp/¥.

B. Tinjauan Teori

1. Teori Nilai Tukar

Madura (2000:89) Nilai tukar ekuilibrium akan berubah sepanjang

waktu seiring dengan perubahan permintaan dan penwaran. Sebelum

memahami teori nilai tukar, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan

dalam perubahan nilai tukar. Madura (2000:89-94) menjelaskan faktor-

faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran mata uang adalah:

a. Laju Inflasi Relatif

6
7

Perubahan laju inflasi dapat mempengaruhi aktivitas

perdagangan internasional, karena mempengaruhi permintaan dan

penawaran valuta, dan dengan demikian mempengeruhi nilai tukar.

b. Suku Bunga Relatif

Perubahan suku bunga relatif mempengaruhi investasi dalam

sekuritas-sekuritas asing, yang selanjutnya akan mempengaruhi

permintaan dan penawaran valuta asing, dan nilai tukar.

c. Tingkat Pendapatan Relatif

Faktor pendapatan relatif, asumsikan suatu negara mengalami

kenaikan pendapatan nasional, dari peningkatan pendapatan tersebut

akan mengakibatkan permintaan produk dari dalam dan luar negeri

meningkat, yang akibatnya dapat mempengaruhi nilai tukar.

d. Kontrol Pemerintah

Faktor selanjutnya kontrol pemerintah. Pemerintah negara-

negara asing dapat mempengaruhi nilai tukar ekluibrium dengan

berbagai cara, diantaranya melalui hambatan jual beli valuta asing,

hambatan perdagangan, intervensi pembelian dan penjualan dalam

pasar valas, dan pengubahan variabe-variabel makro seperti

inflasi,suku bunga, dan tingkat pendapatan nasional.

e. Ekspektasi
8

Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing

adalah ekspektasi akan nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar

keuangan yang lain, pasar valas berreaksi cepat terhadap setiap

berita yang memiliki dampak kedepanya.

f. Interaksi Antarfaktor

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perdagangan dan

faktor-faktor keuangan kadang-kadang saling berinteraksi. Sebagai

contoh, peningkatan tingkat GNP kadang-kadang memunculkan

ekspektasi akan meningkatnya suku bunga. Jadi, walaupun kenaikan

tingkat GNP bisa menaikan impor, secara langsung juga akan

menarik lebih banyak modal masuk dengan mengasumsikan suku

bunga meningkat. karenanya tingkat GNP seringkali diharapkan

menaikan valuta lokal.

faktor-faktor tersebut cukup erat kaitanya dalam perubahan nilai tukar,

namun ada teori-teori yang sering digunakan dalam perubahan nilai

tukar.

Beberapa perhitungan nilai tuakar yang sering dingunakan dalam

teori keuangan internasional, teori paritas suku bunga (interest rate

perity-IRP), paritas daya beli (purchasing power parity-PPP), dan

dampak fisher internasional (international fisher effek-IFE). Tori-teori

tersebut memiliki perbedaan pandangan, (Madura,2000:228). Adapun

perbandingan ketiga teori tersebut yaitu:


9

Pertama adalah teori paritas suku bunga (IRP) memiliki variabel

kunci, premium (diskon) kurs forward, selisih suku bunga, asumsi IRP

yaitu kurs forward suatu valuta lain akan mengandung premium (atau

diskon) sesuai selisih suku bunga antara dua negara. Karenanya,

convered interest arbitrage tidak akan memberikan pengembalian yang

lebih baik dari pada pengembalian domestik.

Asumsi paritas suku bunga:

P= –1

F = S (1+ p)

Keterangan:

P = diskon forward

= suku bunga dalam negeri

= suku bunga deposito luar negeri

S = kurs spot

F = kurs forward

Kedua adalah paritas daya beli (PPP) memiliki variabel-variabel

kunci presentase perubahan kura spot, selisih inflasi, yang asumsinya

yaitu kurs spot dari suatu valuta dalam hubunganya dengan valuta lain

akan berubah sebagai reaksi terhadap perbedaan laju inflasi antara dua

negara. Konsekuensinya, daya beli konsumen pada saat membeli barang

didalam negerinya sendiri akan sama dengan daya beli maka pada saat

mengimpor barang dari negara lain.


10

Asumsi paritas daya beli:

= –1

Keterangan:

= presentase perubahan valuta asing

= inflasi dalam negeri

= inflasi luar negeri

Ketiga adalah dampak frisher internasional (IFE) variabel-variabel

kunci presentase perubahan kurs spot dari suatu valuta dalam

hubunganya dengan valuta lain akan berubah sesuai dengan selisih suku

bunga antara dua bunga. Konsekuensinya, dari perpektif investor

domestik asal, pengembalian dari sekuritas-sekuritas pasar uang luar

negeri secara rata-rata tidak akan lebih baik dibanding pengembalian dari

sekuritas-sekuritas pasar uang domestik.

= –1

Keterangan:

= presentase perubahan valuta asing yang mendominasi

sekuritas

= suku bunga dalam negeri

= suku bunga luar negeri


11

2. Teori Purchasing Power Parity

Teori Paritas Daya Beli (purchasing power parity-PPP)

diperkenalkan oleh Gustav Cassel pada tahun 1918, yang menjelaskan

hubungan antara harga komoditi dalam mata uang domestik (lokal)

dengan dengan nilai tukar. Teori ini menyatakan bahwa nilai tukar akan

meyesuaikan diri dari waktu ke waktu untuk mencerminkan selisih inflasi

antara dua negara, akibat adanya daya beli konsumen untuk membeli

produk domestik akan sama dengan daya beli untuk membeli produk luar

negeri (Madura,2000:208).

Kuncoro (2001:194) asumsi utama yang mendasari teori PPP adalah

bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi,

operasional, penentuan harga, dan informasi. Secara implisit berarti

semua barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar

internasional tanpa dikenai biaya transportasi sama sekali, tidak ada bea

masuk, kuouta, atau pun hambatan lain dalam perdagangan internasional.

barang luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara

sempurna untuk masing-masing barang dan adanya kesamaan indeks

harga yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing dan

domestik.

Apabila indeks harga di dua negara identik, maka berlaku hukum

harga tunggal (the law of one price). Artinya, bila produk atau jasa yang

sama dapat dijual di pasar yang berbeda dan tidak ada hambatan dalam

penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk atau jasa


12

cendrung sama di kedua negara tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah

dua negara yang berbeda, harga produk atau jasa tersebut biasanya

dinyatakan dalam mata uang yang berbeda, namun harga produk atau

jasa masih tetap sama. Perbandingan harganya hanya memerlukan suatu

konversi mata uang ke mata uang lain.

Teori PPP dibedakan benjadi dua, yaitu bentuk Absolut dan bentuk

Relatif. Teori PPP Absolut menyatakan bahwa harga dari dua produk

homogen di negara-negara yang berbeda akan sama jika diukur dalam

valuta yang sama. Jika terdapat perbedaan harga setelah diukur memakai

valuta yang sama, akan terjadi perubahan permintaan sehingga harga

yang satu akan mendekati harga yang lain (Madura,2000:208).

Sementara itu, teori PPP Relative menyatakan bahwa laju perubahan

indeks harga di dua negara akan hampir sama, sepanjang biaya

transportasi dan hambatan-hambatan perdagangan tidak berubah

(Madura,2000:209).

Kuncoro (2001:195) teori purchasing power parity versi absolut

mengatakan bahwa kurs valas dinyatakan dalam nilai harga di dua

negara:

Keterangan:

= kurs spot priode t

= harga rata-rata tertimbang domestik

= harga rata-rata tertimbang luar negeri


13

dengan kata lain, purchasing power parity absolut menerangkan bahwa

kurs spot ditentukan oleh harga relatif dari sejumlah barang yang sama.

Sementara itu, purchasing power parity relatif mengatakan bahwa

persentase perubahan kurs nominal akan sama dengan perbedaan inflasi

di antara kedua negara. Dinyatakan dalam konteks mendatang (ex

anteterms), harapan perubahan kurs valas sama dengan harapan

perbedaan inflasi, adapun persamaannya adalah:

keterangan:

= harapan perubahan kurs spot

= harapan perubahan inflasi domestik

= harapan perubahan inflasi luar negeri

3. Latar Belakang Pemikiran Teori Purchasing Power Parity

Madura (2000:211) jika dua negara menghasilkan produk-produk

yang saling mensubtitusi, permintaan atas produk itu harus berubah jika

laju inflasi berbeda. Suatu misal harga-harga di Amerika Serikat

meningkat 9%, sementara di Inggris 5%. Hal ini awalnya akan

menyebabkan konsumen AS meningkatkan impor dari Iggris dan

konsumen Inggris menurunkan impor mereka dari AS karena harga-

harga barang Inggris naik dengan presentase yang lebih rendah. Kedua

dampak ini akan mendorong nilai pound untuk naik.


14

Pemindahan konsumen dari AS ke Inggris akan terus terjadi sampai

nilai pound mengalami apresiasi sampai ketingkat dimana harga yang

dibayarkan untuk produk-produk Inggris oleh konsumen AS tidak lebih

rendah daripada harga produk-produk yang sebanding yang dibuat di AS,

dan harga yang dibayarkan oleh konsumen Inggris untuk produk-produk

AS lebih tinggi daripada harga yang dibayarkan untuk produk-produk

yang sama yang dibuat di Inggris. Besarnya apresiasi pound yang

dibutuhkan untuk mencapai ekuilibrium baru ini adalah 4%, seperti yang

akan dijlaskan berikut ini.

Asumsikan bahwa inflasi Inggris 5% dan apresiasi pound 4%,

konsumen AS akan membayar 9% lebih tinggi untuk produk-produk

Inggris dibanding sebelumnya. Ini sama dengan inflasi AS yang sebesar

9%. Misal pound hanya mengalami apresiasi 1%. Dalam hal ini, dimata

konsumen AS, kenaikan harga barang-barang Inggris sekitar 6%, yang

lebih rendah dari kenaikan harga barang-barang AS sekitar 9%. Jadi, kita

memperkirakan konsumen AS akan terus mengalihkan konsumsi mereka

ke produk-produk Inggris. purchasing power parity mengimplikasikan

bahwa naiknya konsumsi AS akan produk-produk Inggris akan terus

berlanjut sampai pound mengalami apresiasi sebesar 4%. Setiap tingkat

apresiasi di bawah 4% berati bahwa produk-produk Inggris masih lebih

menarik daripada produk-produk AS dari perspektif konsumen.

Dari perspektif konsumen Inggris, harga produk-produk AS awalnya

naik 4% lebih tinggi dari produk Inggris. Jadi konsumen Inggris akan
15

terus mengurangi impor dari AS sampai pound berapresiasi cukup tinggi

sampai barang-barang AS tidak lebih mahal dari barang-barang yang

sama yang ada di Inggris. Setelah apresiasi pound mencapai 4%, harga-

harga di AS akan sama dengan harga-harga di Inggris dari perspektif

konsumen Inggris. Lebih jelasnya, dari mata konsumen inggris, harga-

harga produk dari AS pada akhirnya hanya naik 5%.

4. Grafik Purchasing Power Parity

Dengan mengunakan teori PPP, kita dapat menilai dampak

potensial dari inflasi atas nilai tukar. Gambar 1 merupakan salah satu

bentuk grafis dari teori PPP. titik-titik yang terdapat pada gambar

tersebut menyiratkan bahwa, jika diketahui selisih inflasi antara negara

asal dengan negara asing katakanlah x persen, maka nilai valuta asing

yang dimaksud juga harus berubah x persen, garis diagonal yang

menghubungkan semua titik ini dinamakan dengan garis purchasing

power parity.

Titk A mewakili contoh dimana laju inflasi AS dan Inggris masing-

masing diasumsikan 9% dan 5%, sehingga , seperti yang

digambarkan oleh titik A. Titik B mencerminkan contoh dimana laju

inflasi AS dan prancis diasumsikan masing masing 1% dan 6%, sehingga

, hal ini mendorong franc prancis mengalami depresiasi

sebesar 5%, seperti yang di ilustrasikan titik B. Jika nilai tukar benar-

benar berreaksi terhadap perbedaan laju inflasi sesuai dengan teori PPP,
16

maka titik-aktual akan berada pada atau dekat dengan garis PPP yang

dapat dilihat pada gambar 2.1.

Garis PPP

4 A

%∆ kurs spot valas

-4 -2 2 4

-4

Gambar 2.1. Ilustrasi Pritas Daya Beli

Gambar 2.1 mengidentifikasi area disparitas daya beli. Asumsikan

bahwa pada awalnya nilai tukar berada dalam ekluibrium, kemudian

terjadi inflasi dengan laju yang berbeda di dua negara. Jika kedua nilai

tukar tidak berubah seperti yang dinyatakan teori PPP, maka muncul

disparitas atau ketidaksamaan dalam daya beli atas produk-produk dari

negara asal dengan produk-produk negara lain.

Titik C dalam gambar 2.2 mewakilai . Tetapi valuta

asing yang dimaksud hanya mengalami apresiasi 1%. Kosekuensinya

muncul disparitas daya beli. Daya beli konsumen negara asal atas
17

produk-produk negara asing tersebut menjadi lebih baikrelatif terhadap

daya beli mereka atas produk-produkdomestik. Teori PPP menyatakan

bahwa dispritas daya beli semacam itu hanya muncul dalam jangka

pendek. Dengan berlalunya waktu, seiring konsumen negara asal

mengambil keuntungan reltif murahnya produk-produk luar negeri,

kenaikan nilai valuta asing yang dimaksud akan menyebabkan titik C

bergerak mendekati garis PPP, dapat dilihat pada gambar 2.2.

meningkatnya daya belia C Garis PPP

atas produk asing 3

%∆ kurs spot valas

-3 -2 1 3

D -3

Menurunya daya beli

atas produk asing

Gambar 2.2. Ilustrasi Disparitas Daya Beli

Semua titik di sebelah kiri garis PPP mewakili daya beli konsumen

domestik yang lebih tinggi atas produk-produk domestik mereka sendiri.

Titik D dalam gambar 2.2 mewakili laju inflasi domestik yang lebih

rendah daripada laju inflasi negara asing sebesar 3% .


18

Tetapi valuta asing yang dimaksud hanya mengalami deperesiasi 2%.

Sekali lagi, muncul disparitas daya beli. Daya beli atas produk-produk

asing telah menjadi lebih buruk daripada daya beli atas produk-produk

dalam negeri.

Teori PPP menyatakan bahwa valuta asing dalam kasus ini harus

mengalami depresiasi 3% agar selisish inflasi sepenuhnya ditutupi,

karena valuta asing yang dimaksud tidak melemak sampai sejauh ini,

konsumen negara asal akan mengurangi pembelian produk-produk

negara asing, yang menyebabkan valuta asing melemah sampai sejauh

yang diindikasikan oleh teori PP, dan titik D akan bergerak mendekati

garis PPP. semua titik di sebelah kanan garis PPP mewakili daya beli

yang lebih baik atas produk-produk domestik daripada atas produk-

produk asing.

5. Derivasi Purchasing Power Parity

Madura (2000:209) diasumsikan bahwa indeks harga domestik (h)

dan indeks harga luar negeri (f) sama. Sedangkan laju inflasi domestik ,

dan laju inflasi luar negeri , maka indeks harga barang domestik

menjadi :

(1+ )

Indeks harga di luar negeri juga berubah karena inflasi di negara

tersebut :

(1+ )
19

Teori PPP menyiratkan bahwa nilai tukar tidak akan tetap konstan,

tetapi akan menyesuaikan diri untuk mempertahankan purchasing power

parity. Apabila inflasi terjadi dan nilai tukar antara valuta lokal dengan

valuta asing berubah, maka indeks harga luar negeri dari perspektif

konsumen domestik menjadi :

(1+ )(1+ )

Dimana mewakili persentase perubahan nilai valuta asing yang

bersangkutan. Menurut teori purchasing power parity, persentase

perubahan nilai valuta asing harus berubah untuk mempertahankan

paritas dalam indkes harga yang baru dari kedua negara, dengan

demikian dalam kondisi PPP sebagai berikut :

(1+ )(1+ )= (1+ )

Maka nilai :

(1+ ) =

= -1

Karena sama dengan ,(karena indeks harga awalnya diasumsikan

sama di kedua negara), maka:

= -1

Formula ini mencerminkan hubungan antara laju inflasi relatif

dengan nilai tukar menurut PPP. Apabila nilai > , maka nilai harus

positif, ini menyiratkan bahwa valuta asing yang dimaksud akan


20

mengalami apresiasi terhadap valuta domestik pada saat inflasi domestik

melebihi inflasi luar negeri. Sebaliknya bila nilai < , maka nilai

akan negatif dan berarti nilai valuta asing mengalami depresiasi pada saat

inflasi inflasi domestik lebih rendah dibandingkan dengan inflasi luar

negeri (Madura,2000:2010).

6. Hubungan Inflasi dan Kurs Mata Uang

Pada dasarnya, nilai tukar mata uang suatu negara dapat

mengambarkan kondisi inflasi di negara tersebut, negara yang memiliki

tingkat inflasi tinggi cendrung akan mengalami penurunan nilai mata

uang atau depresiasi atas mata uang negara-negara lain, dan sebaliknya

bila negara tersebut memiliki laju inflasi yang rendah, akan

menyebabkan nilai mata uang negaranya cendrung meningkat atau

apresiasi terhadap nilai mata uang negara-negara lain seperti mata uang

Indonesia dan Thailand.

Apabila inflasi di Indonesia lebih tinggi dari pada Thailand maka,

nilai mata uang Indonesia akan mengalami depresiasi dari nilai mata

uang Thailand, yang tentunya akan memicu permintaan impor barang

dari negara lain seperti Thailand, dan konsumsi atas produk domestik

akan menurun karena harga atas barang yang lebih mahal.

Perbedaan tingkat inflasi antara negara satu dengan negara lain

tentunya akan mengubah nilai tukar (kurs) sesuai dengan tingkat inflasi

di negara tersebut. Pernyataan diatas memiliki konsep yang sama

terhadap teori Paritas Daya Beli (porchasing power parity- PPP) yang
21

menyatakan bahwa harga dari sejumlah produk yang sama di kedua

negara yang berbeda akan setara jika diukur dengan mata uang yang

sama, jika berbeda harga yang diukur pada mata uang yang sama,

permintaan akan berubah sehingga kedua negara tersebut akan

menyesuaikan menjadi setara dengan syarat tidak ada hambatan

internasional.

7. Model Pengujian Purchasing Power Parity

Pengujian teori purchasing power parity diantaranya dapat

dilakukan dengan beberapa cara, Madura (2000:218) Pengujian dapat

dilakukan dengan pengujian statistik yang agak sederhana. Purchasing

power parity dapat dikembangkan dengan mengaplikasikan analisis

regresi terhadap kurs dan selisish inflasi historis. Sebagai ilustrasi mari

kita berfokus pada salah satu kurs tertentu. Presentase perubahan

kuartalan dalam nilai valuta asing ( ) dapat diregresikan terhadap selisih

laju inflasi yang terdapat pada awal kuartal, seperti yang digambarkan

berikut ini.

= + –1]+µ

dimana adalah konstan, adalah koefisien slope, dan µ adalah error

term.

Analisis regresi akan diimplikasikan atas data-data kuartalan untuk

menentukan koefisien regresi. Nilai hipotesa dari dan masing


22

masing adalah 0 dan 1,0. Koefisien-koifisien ini mengimplikasikan

bahwa untuk selisih inflasi tertentu, secara rata-rata, muncul presentase

perubahan nilai tukar dengan besar yang setara. Uji –t yang tepat bagi

koefisien regresi memerlukan perbandingan dengan nilai hipotesa, dan

dibagi dengan setandart error dari koefisien yaitu:

uji untuk =0

t=

uji untuk

t=

tabel t kemudian akan digunakan untuk mencari nilai-t kritis. Jika salah

satu uji-t menemukan bahwa nilai koefisien berbeda signifikan dari apa

yang diharapkan, maka hubungan antara selisih inflasi dengan nilai tukar

berbeda dengan apa yang dinyatakan teori PPP.

Madura (2000:219) paritas daya beli dapat juga diuji dengan

melihat nilai tukar riil antara dua valuta sepanjang waktu. Nilai tukar riil

adalah nilai tukar yang sudah disesuaikan dengan dampak-dampak

inflasioner dalam dua negara yang bersangkutan dengan begitu nilai

tukar berfungsi sebagai pengukur daya beli, jika suatu valuta melemah

10%, tetapi inflasi negaranya 10% lebih tinggi dari negara asing, maka
23

nilai tukar riil tidak berubah. Besarnya depresiasi valuta tersebut ditutupi

oleh rendahnya kenaikan harga produk-produk luar negeri.

Jika nilai tukar riil selalu berusaha mendekati ke suatu nailai rata-

rata setiap saat, hal menyiratkan bahwa nilai tukar riil tersebut konstan

dalam jangka panjang, dan setiap penyimpangan dari rata-rata tersebut

hanya bersifat temporer. Sebaliknya, jika nilai tukar riil bergerak acak,

ini menyiratkan bahwa nilai tukar tersebut bergerak tanpa pola yang bisa

diramalkan, yaitu nilai tukar riil tersebut cendrung berusaha tidak

mendekat ke suatu nilai rata-rata, dan karenanya tidak bisa dipandang

konstan dalam jangka panjang, dalam kondisi ini konsep paritas daya beli

tidak absah karena pergerakan nilai tukar riil tampaknya lebih dari

sekedar penyimpangan temporer dari nilai ekuilibriumnya.

8. Kelemahan Doktrin Purchasing Power Parity

Alasan yang sering dikemukakan tentang mengapa PPP tidak

terjadi secara terus menerus ada dua alasan yang pertama adanya faktor

lain yang berpengaruh, nilai tukar dipengaruhi oleh faktor-faktor lain

selain selisih inflasi. Perbedaan suku bunga dan tingkat pendapatan

nasional serta kontrol pemerintah merupakan faktor penting. Kedua

adalah tidak adanya produk subtitusi. Ide diteori PPP adalah bahwa

segera setelah harga-harga menjadi relatif lebih tinggi, negara lain akan

mengurangi impor dari negara tersebut dan beralih ke produk-produk


24

domestik. Pengalihan ini mempengaruhi nilai tukar, asumsi tersebut bisa

terjadi apabila tidak adanya produk subtitusi dipasar domestik.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir dalam penelitian ini mengambarkan pengaruh selisih

inflasi Indonesia dan Thailand terhadap kurs Rp/BHT, Untuk mengujinya

mengunakan analisis regresi sederhana dari hasil analisa pengaruh tersebut

dapat diketahui kebenaran teori purchasing power parity yang menyatakan

bahwa selisih inflasi antara kedua negara dapat mempengaruhi kurs tukar

kedua negara.

Perdagangan
Internasional

Pasar Valuta Asing

Tingkat Suku Kontrol Interaksi


Inflasi Ekspektasi
Pendapatan Bunga Pemerintah Antarfaktor

Kurs Tukar

Gambar 2.3. Kerangka Pikir Penelitian


25

D. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan dan tinjauan teori yang telah diuraikan

sebelumnya maka dapat disusun satu hipotesa yang merupakan jawaban

sementara terhadap permasalahan penelitian ini yaitu:

“selisih inflasi Indonesia dan Thailand berpengaruh terhadp nilai tukar

Rupiah atas Baht Thailand”.

Anda mungkin juga menyukai