Anda di halaman 1dari 5

2.

1 Defenisi Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity)

Keseimbangan kemampuan berbelanja, kadang-kadang juga disebut Paritas Daya


Beli (Purchasing Power Parity – PPP) dalam ilmu ekonomi adalah sebuah metode yang
digunakan untuk menghitung sebuah alternatif nilai tukar antara mata uang dari dua
Negara. PPP mengukur berapa banyak sebuah mata uang dapat membeli dalam
pengukuran internasional (biasanya $), karena barang dan jasa memiliki harga berbeda
di beberapa Negara.
Teori paritas daya beli adalah salah satu teori keuangan internasional yang
menjelaskan bahwa perubahan pergerakan nilai tukiar akan sebanding dengan
perubahan selisih tingkat inflasi antara kedua negara. Teori paritas daya beli ini terdiri
dari dua bentuk, yaitu absolut dan relatif. Teori paritas daya beli versi absolut
menyatakan bahwa nilai tukar harus sebanding dengan selisih tingkat inflasi domestik
dan asing, sementara teori paritas daya beli versi relatif menyatakan bahwa perubahan
nilai tukar mata uang antar dua negara akan sebanding dengan perubahan rasio tingkat
inflasi di kedua negara tersebut.
2.2 Formula Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity)

Formula Paritas Daya Beli adalah:


 ef = Ih - If

 Yaitu persentase perubahan nilai tukar kurang lebih harus sama dengan selisih laju
inflasi cukup kecil. Formula ini tepat jika laju inflasi cukup kecil

2.3 Bentuk Paritas Daya Beli (PPP)

2.3.1. Absolute Purchasing Power Parity


Salvatore (2011 dikutip dalam internet) mengungkapkan bahwa teori paritas daya beli versi
absolut merupakan titik ekuilibrium dari nilai tukar antar dua negara dan rasio tingkat harga
dari kedua negara yang bersangkutan.
Menurut Amalia (2007, dikutip dalam internet) teori paritas daya beli versi
absolut pada dasarnya adalah perbandingan nilai satu mata uang terhadap mata
uang lain yang ditentukan oleh tingkat harga pada masing- masing negara.
Paritas daya beli absolut memiliki asumsi bahwa tanpa adanya hambatan
internasional, harga dari sejumlah produk yang sama pada dua negara yang
berbeda seharusnya setara jika diukur dalam mata uang yang sama. Biaya
transportasi, bea masuk dan kuota perdagangan menyebabkan bentuk absolut
dari paritas daya beli ini tidak akan terjadi. Paritas daya beli bentuk absolut ini
menunjukan nilai tukar yang dihitung dari perbandingan tingkat harga domestik
dengan tingkat harga di luar negeri. Hubungan ekuilibrium yang diterapkan
dalam paritas daya beli versi absolut mengasumsikan arbitrase komoditas
sempurna antara dua negara yang ditunjukkan oleh persamaan berikut.
Absolute Purchasing Power Parity menyatakan hubungan diantara harga
barang-barang dan jasa dengan nilai tukar mata uang asing dengan persamaan
sebagai berikut:
S=P
P* 

Dimana:
S = nilai tukar mata uang (mata uang domestik per satuan mata uang asing)
P = tingkat harga domestik
P* = tingkat harga di luar negeri

Untuk mendapatkan indeks harga, harus ditentukan terlebih dahulu harga


dari barang-barang dan jasa yang akan dimonitor. Kemudian harga dari aneka
barang dan jasa ini ditentukan bobotnya. Indeks harga tersebut adalah rata-rata
tertimbang dari harga barang-barang dan jasa yang diteliti.
Persamaan diatas menunjukkan bahwa nilai tukar atau uang diantara dua
Negara adalah sama dengan perbandingan indeks harga diantara kedua Negara
tersebut Persamaan tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut:
P = EPf 

Persamaan ini disebut dengan Law of One Price dan menunjukkan Bahwa
barang-barang dijual dengan harga yang sama diseluruh dunia.
2.3.2. Relative Purchasing Power Parity
Paritas daya beli bentuk relatif mempertimbangkan bahwa dengan adanya
ketidaksempurnaan pasar, seperti adanya bea masuk, biaya transportasi, dan
kuota yang berbeda di berbagai negara, harga sejumlah produk pada negara
yang berbeda tidak selalu sama jika diukur dalam mata uang yang sama.
Salvatore (2011, dikutip dalam internet) mengungkapkan bahwa “Relative
purchasing power parity postulates that the change in the exchange rate over a
period time should be proportional to the relative change in the price levels in
the two nations over the same period.”
Eiteman, Stonehill, dan Moffet (2010 dikutip dalam internet) berpendapat
bahwa paritas daya beli relatif tidak secara khusus membantu menentukan kurs
saat ini, tetapi perubahan relatif harga-harga diantara kedua negara selama suatu
periode menentukan perubahan nilai tukar selama periode itu.
Amalia (2007, dikutip dalam internet) mengungkapkan bahwa pada paritas
daya beli versi relatif, apabila terjadi perubahan harga di kedua negara, maka
nilai tukar antar kedua negara tersebut juga harus mengalami perubahan juga.
“Paritas daya beli versi relatif juga dapat megukur apakah mata uang tersebut
overvalue atau undervalue”
Berikut ini adalah rumus paritas daya beli versi relatif.

1+ π
S = 1+ π∗¿−1¿
Dimana:
S = Nilai tukar
π = tingkat inflasi domestik
π* = tingkat inflasi asing

Pada umumnya persentase perubahan pada tingkat harga tersebut


dinyatakan sebagai tingkat inflasi. Maka untuk menyatakan Relative Purchasing
Power Parity dengan cara lain adalah bahwa persentase perbedaan pada nilai
tukar mata uang sama dengan perbedaan inflasi di dalam negeri dengan di luar
negeri.

2.4 Kritik-Kritik Terhadap Purchasing Power Parity

1. Menyangkut adanya hambatan perdagangan internasional, yaitu adanya tarif dan


kuota serta adanya biaya transportasi, sehingga diduga menimbulkan penyimpangan
kurs keseimbangan dari konsep PPP.
2. Menyangkut terbatasnya variabel yang digunakan dalam menentukan kurs valuta
asing (dalam konsep PPP hanya tingkat harga yang digunakan sebagai variabel),
sementara banyak variabel lain yang dapat menentukan tingkat kurs, namun tidak
diperhitungkan dalam konsep PPP, contohnya tingkat suku bunga, penawaran uang
dan pendapatan nasional.
3. Kritik yang berhubungan dengan tingkat harga yang digunakan, apakah
menggunakan indeks harga konsumen atau indeks harga pedagang besar. Secara
teoritis, tingkat harga yang dimaksud adalah indeks harga umum. Namun, data
indeks harga umum tidak tersedia, sehingga digunakan indeks harga konsumen atau
indeks harga pedagang besar sebagai proxi dari tingkat harga.
2.5 Kegagalan Purchasing Power Parity
Ada 5 penjelasan mengenai kegagalan tersebut, yaitu:
1. Hambatan perdagangan internasional
karena adanya biaya transportasi. Biaya ini menyebabkan perbedaan harga untuk
barang yang sama di pasar yang berbeda. Dengan kata lain, hal ini menyimpang dari
hukum satu harga dan akan menyebabkan kondisi arbitrase, jika harga yang berlaku
ternyata lebih tinggi daripada harga ditambah biaya transportasi. Dalam keadaan
demikian, negara yang menetapkan harga lebih tinggi akibat adanya biaya
transportasi akan memiliki kurs yang bernilai lebih tingi (overvalued) daripada
ketentuan kurs berdasarkan PPP.
Selain biaya transportasi, hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota juga
menyebabkan kegagalan konsep PPP. Hampir setiap negara memberlakukan sistem
tarif terhadap komoditi yang akan masuk ke negaranya. Hal ini ditujukan untuk
melindungi produksi dalam negeri. Proteksi yang banyak dilakukan adalah proteksi
terhadap sektor pertanian. Tarif merupakan pengenaan pajak bagi komoditi impor,
sedangkan kuota merupakan pembatasan jumlah komoditi impor. Baik tarif dan
kuota menyebabkan kenaikan harga komoditi impor. Di negara yang
memberlakukan tarif atau kuota, kurs yang berlaku akan lebih tinggi dari ketentuan
konsep PPP (overvalued).
Perbedaan pemberlakuan pajak masing-masing negara juga merupakan faktor yang
menyebabkan kegagalan konsep PPP. Negara yang menerapkan pajak lebih tinggi
dibanding negara lain memiliki kurs berlaku yang lebih tinggi dari kurs yang
ditentukan dalam konsep PPP. Hal ini terjadi karena harga komoditi dalam negeri
akan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga komoditi yang sama di luar
negeri.
2. Komoditi yang tidak diperdagangkan dalam perdagangan internasional,
Perdagangan jasa merupakan komoditi yang tidak diperdagangkan secara
internasional, namun dimasukkan dalam perhitungan indeks harga. Di negara-
negara maju, harga jasa, misalkan biaya sewa dan tenaga kerja, lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Hal inilah yang menyebabkan
penilaian kurs valuta asing yang terlalu rendah (undervalued) di negara-negara
berkembang, karena indeks harga di negara maju jauh lebih tinggi daripada negara
berkembang.
3. Persaingan yang tidak sempurna (imperfect competition)
Adanya kompetisi yang tidak sempurna menyebabkan perbedaan harga barang yang
diperdagangkan di setiap negara. Perbedaan ini mengakibatkan penyimpangan
konsep PPP. Perbedaan harga barang yang diperdagangkan di setiap negara dapat
terjadi karena perusahaan memiliki kemampuan untuk menerapkan harga yang
berbeda di pasar yang berbeda. Teori diskriminasi harga menyatakan bahwa suatu
perusahaan akan memaksimalkan keuntungan dengan meragamkan harga
berdasarkan elastisitas permintaan suatu barang. Elastisitas permintaan
menunjukkan bahwa bagaimana perubahan jumlah barang yang diminta apabila
harga barang tersebut mengalami perubahan. Jika harga suatu barang meningkat 10
persen dan jumlah barang yang diminta turun kurang dari 10 persen, maka
permintaan untuk barang ini dikatakan inelastis. Jika harga naik sebesar 10 persen,
dan jumlah barang yang diminta turun lebih dari 10 persen, maka permintaan untuk
barang ini dikatakan elastis. Penerimaan penjualan meningkat mengikuti kenaikan
harga barang yang memiliki permintaan inelastis dan akan turun mengikuti
kenaikan harga barang yang memiliki permintaan elastis. Perusahaan yang
menerapkan diskriminasi harga dapat memaksimalkan penerimaannya dengan
menerapkan harga yang lebih tinggi di negara yang memiliki permintaan inelastis
dibandingkan dengan negara yang memiliki permintaan lebih elastis. Hal ini akan
mengakibatkan penilaian kurs yang terlalu tinggi (overvalued) di negara yang
memiliki permintaan elastis.
4. Ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan (current account imbalances),
Alasan lain yang menyebabkan harga barang dapat berbeda di setiap negara adalah
karena kurs merefleksikan perdagangan internasional bukan hanya menyangkut
barang dan jasa tapi juga aktiva finansial (financial assets). Pendekatan PPP dalam
mengevaluasi kurs hanya berdasarkan peranan perdagangan komoditi internasional
dan mengabaikan perdagangan aktiva. Padahal perdagangan aktiva juga memiliki
peranan penting dalam menentukan penawaran dan permintaan valuta asing. Pada
gilirannya, aliran aktiva antar negara berkaitan dengan posisi neraca transaksi
berjalan masing-masing negara. Neraca transaksi berjalan mengukur aliran barang,
jasa, pendapatan investasi dan transfer unilateral internasional. Negara yang
memiliki defisit transaksi berjalan akan menarik kapital dari negara lain untuk
menutup defisit. Dalam hal ini, negara yang melakukan lebih banyak pembelian dari
negara lain (impor) daripada penjualan (ekspor) tersebut akan membiayai defisitnya
dengan pinjaman dana dari pihak lain. Sebaliknya, suatu negara yang memiliki
surplus transaksi berjalan akan melakukan investasi di negara lai\n. Negara dengan
defisit transaksi berjalan cenderung memiliki nilai kurs yang lebih tinggi
(overvalued) dibandingkan dengan ketentuan konsep PPP.
5. Dalam jangka pendek, tingkat harga cenderung sticky.
Konsep PPP tidak dapat bekerja secara seketika, tetapi memerlukan waktu yang
cukup lama, karena dalam jangka pendek tingkat harga cenderung sticky. Sehingga
dalam jangka pendek, konsep PPP mengalami penyimpangan. Konsep PPP hanya
menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara kurs dengan tingkat
harga.

Anda mungkin juga menyukai