Anda di halaman 1dari 7

Nama : Putri Rinda Anggraeni (22)

Kelas : XI MIPA 7

Kerjakan Tugas-Tugas di bawah ini!

1. Jelaskan macam-macam riba dan berikan contoh dari masing-masing riba yang ada
di tengah masyarakat kita, kemudian dari contoh tersebut analisalah penyebab seseorang
bergelut dengan riba dan berikan solusinya agar seorang muslim tidak terjerumus kepada
praktik ribawi!

2. Jelaskan perbedaan antara musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah kemudian


sertakan artikel atau berita yang merupakan praktek dari musaqah/muzara’ah/mukhabarah
(pilih salah satu) kemudian jelaskan bagaimana akad dari kerjasama tersebut dan pihak
mana yang harus mengeluarkan zakat!

Jawaban !

1. A ) Riba fadal adalah riba yang terjadi dalam proses jual beli atau tukar menukar barang.
Riba fadal artinya akad untuk tukar menukar barang antara kuantitas dengan kualitas yang
berbeda.
Contoh : Misalnya seseoranng menukar 10 gram emas (20 karat) dengan 11 gram emas
(19 karat). Atau Radit menukar 1 kg beras dengan kualitas raskin kepada Ade dengan 1 kg
beras dengan kualitas super.
Kalau seperti ini tidak disepakati antara kedua pihak, maka disebut riba fadal karena
menimbulkan kerugian diantara keduanya.

B) Riba nasi’ah atau riba jahiliyah adalah adanya tambahan nilai hutang karena adanya
tambahan tempo pembayaran hutang disebabkan peminjam tidak mampu membayar
hutang pada waktunya. Praktik riba seperti ini banyak diterapkan pada masa jahiliyah.
Contoh : 1. Romi menjual motor, apabila pembayaran kontan seharga Rp 15.000.000.
Tetapi jika dicicil (kredit) selama tiga tahun maka harganya menjadi Rp 25.000.000. Maka
selisih Rp 10.000.000 ini adalah riba (bunga bulanan atau tahunan bank konvensional).
2. Debitur memiliki utang 10 juta jatuh tempo pada 1 Desember 2011. Namun
sampai tanggal tersebut ia tidak dapat melunasi. Kahirnya pihak kreditur membuat syarat ,
jangka waktu peminjaman dapat diperpanjang, tetapi jumlah utang bertambah menjadi 15
juta.

C) Riba qardi terjadi khusus dalam proses utang piutang uang, seperti dalam dunia
perbankan. Adanya persyaratan kelebihan pengembalian yang dilakukan di awal akad
perjanjian hutang-piutang oleh pemberi pinjaman terhadap yang berhutang tanpa tahu untuk
apa kelebihan tersebut digunakan.
Contoh : shahibul maal memberi pinjaman uang kepada debitur Rp 10.000.000 dengan
syarat debitur harus mengembalikan pinjaman tersebut sebesar Rp 18.000.000 pada saat
jatuh tempo.

D) Riba yad adalah transaksi yang tidak menegaskan berapa nominal harga pembayaran
atau ketika seseorang berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara
penjual dan pembeli.
Contoh : seorang penjual menawarkan harga 90 juta jika membayar tunai dan 96 juta jika
membayar dengan cicilan. Kemudian ada seseorang yang ingin membeli, tetapi sampai
akhir transaksi tidak ada kesepakatan antara keduanya berapakah harga yang harus
dibayarkan.

Penyebab seseorang bergelut dengan riba yaitu :

Gaya hidup konsumtif yang sudah banyak diterapkan oleh sebagian masyarakat. Riba
dianggap sepele dan menjadi sirkulasi ekonomi yang dianggap perlu dilakukan.
Rasa kurang bersyukurnya seseorang dengan kekayaan yang ia punya sehingga
memiliki rasa yang selalu kurang atas yang ia miliki sehingga ingin yang lebih banya
(Tamak).
Pemikiran bahwa jika ingin maju maka harus berhutang dan berpikir bahwa riba adalah
hal biasa yang dimana kedua belah pihak mendapat keuntungan (salah konsep).
Malas untuk berkerja keras sehingga ingin mendapatkan keuntungan yang instan dan
cepat.

Cara menghindari

 Memahami hukum jual belu dengan baik, pahami bagaimana peraturan-peraturan jual
beli yang sesuai denga syariat islam.
 Memahami bahaya riba
ً‫ِدرْ هَ ُم ِربًا يَأْ ُكلُهُ ال َّر ُج ُل َوهُ َو يَ ْعلَ ُم أَ َش ُّد ِم ْن ِستَّ ِة َوثَالَثِ ْينَ َز ْنيَة‬ 
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia
mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali”
(HR. Ahmad 5: 225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana
dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1033).
 Hindari sikap boros
 Bersikap qonaab (Syukuri segala sesuatu yang diberikan Allah swt)
 Tidak suka berutang
 Mendekatkan diri kepada allah
 Hidup di lingkungan yang jauh dari jangkauan riba

2. A) Al-Musaqah adalah bentuk sederhana dari muzaraah, dimana si penggarap hanya


bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, penggarap
berhak atas nisbah/bagian tertentu dari hasil panen.
B) Al-Muzaraah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertaniannya pada penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
Muzaraah : benih dari pemilik lahan

C) Al-Mudhabarah adalah kerjasama antara pemilik tanah sawah/ladang untuk dikelola


oleh petani penggarap, dengan perjanjian pembagian hasil, dan biaya pengerjaan serta benih
ditanggung oleh petani penggarap.

Artikel Praktek Muzara’ah

Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Selain itu bentuk kerjasama mudharabah
dalam hal-hal antar pemiliki modal dengan pekerja, maka bentuk lainya adalah antara pemilik
tanah dengan petani penggarap yang disebut muzara’ah. Muzara’ah adalah pemiliki tanah
menyerahkan sebidang tanahnya kepad apihak lain untuk digarap untuk ditanami padi, jagung
dan lain sebaginya.
Sistem muzara’ah dalam hukum islam adalah sistem bagi hasil merupakan sistem di
mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di
dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di
dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem lahan pertanian dalam
aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu
pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan dalam bentuk bagi hasil antara kedua
belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya
kerelaan di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Praktek muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Dimana hasil
akhir menjadi patokan dalam praktek muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya mengalami
keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak, yaitu petani pemilik lahan
sawah dan petani penggarap lahan sawah. Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertaniannya
mengalami kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama.
Namun dalam kondisi masyarakat sekarang dan yang akan datang, pembagian hasil
seperti itu tentunya sangat tidak memungkinkan, sebab kalau pembagian hasil tersebut hanya
diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap tanah, kemungkinan
besar pihak penggarap akan dirugikan, sebab penggarap berada di posisi yang lemah, karena
sangat tergantung kepada pemilik tanah, sebagaimana kita ketahui semakin hari jumlah tanah
pertanian semangkin berkurang dan disisi lain jumlah petani penggarap semangkin bertambah
banyak jumlahnya. Dari sini maka akan terjadi persaingan antara sesama petani penggarap,
jadi pengambilan bagi hasil yang tersebut dapat menguntungkan pemilik tanah.
Supaya tidak terjadi diskriminasi terhadap petani penggarap atau sebaliknya dan tidak
terjadinya manipulasi dari hasil yang diperoleh oleh petani penggarap terhadap pemilik tanah
atau supaya tidak menimbulkan pertentangan antara petani penggarap dengan pemilik lahan
ada baiknya kesepakatan itu dilandasi dengan prinsip keadilan, kejujuran kepercayaan, dan
aturan-aturan teknis maupun non teknis baik mekanisme bagi hasil yang mengikat yang diatur
oleh pemerintah. Keadilan maksudnya disini adalah antara petani pengggarap dengan pemilik
lahan tidak merasa keberatan dan dirugikan baik dari segi pengelolaan maupun dari segi
keuntungan bagi hasil. Sedangkan kejujuran disini dimana adanya keterbukaan cara
pengelolaan, jenis tanaman yang ditanam, dan jumlah hasil yang didapat, serta kepercayaan
artinya tidak saling mencurigai dan menyalahkan antara kedua belah pihak.

Penerapan Sistem Muzara’ah di Kelurahan Palampang Kecamatan Rilau Ale


Kabupaten Bulukumba Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, alur dari sistem penerapan
akad muzara‟ah di kelurahan Palampang Kecamatan Rilau Ale Kabupaten Bulukumba,
menjelaskan tentang sebab maupun alas an yang mendasari mereka melakukan akad
muzara‟ah, bentuk-bentuk sistem akad muzara‟ah yang terjadi di Kelurahan Palampang
Kecamatan Rilau Ale Kabupaten Bulukumba, subyek dan obyek perjanjian sistem akad
muzara’ah serta jangka waktunya dalam aistem akad muzara‟ah yang terjadi di Kelurahan
Palampang Kecamatan Rilau Ale Kabupaten Bulukumba.
Adapun syarat yang menyangkut lahan pertanian adalah:
a. Menurut adat di kalangan para petani lahan itu bisa diolah dan menghasilkan.
b. Batas-batas lahan itu jelas.
c. Lahan itu diserahkan kepada petani untuk diolah.
Apabila disyaratkan pemilik lahan ikut mengolah lahan pertanian itu, maka akad
muzara’ah tidak sah. Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai berikut:
a. Pembagian panen untuk masing-masing pihak harus jelas.
b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada pengkhususan.
c. Pembagian hasil panen itu ditentukan dari awal akad (setengah, seperempat,
sepertiga, dan lain-lain)
muzaraah-perjanjian-bercocok-tanam-lahan-197672df.pdf

Akad Dari Muzara’ah


Alur Perjanjian Sistem Tesang Awal mula kedua belah pihak mengadakan pertemuan entah
itu atas inisiatif pemilik lahan maupun atas kehendak penggarap baik itu disengaja maupun
tidak yang tujuannya mengadakan akad baik tertulis maupun lisan. Pada penelitian ini
kebanyakan menggunakan akad secara lisan. Sebagai contoh:
Pemilik lahan: “saya mempunyai sawah di belakang rumah saya, tetapi saya sibuk dan tidak
punya banyak waktu untuk menggarap sawah tersebut. Kalau bapak tidak keberatan tolong
bantu saya untuk menggarap sawah saya. Dan nanti masalah keuntungan kita bagi berdua
ketika selesai panen”.
Petani penggarap: “iya pak, saya bersedia dan insya Allah saya sanggup untuk menggarap
sawah tersebut”.

Selama proses penelitian berlangsung penulis menyimpulkan alasan yang menjadi


sebab mereka melakukan sistim tesang (akad muzara’ah), yaitu sebagai berikut:

a. Bagi pemilik lahan


1) Karena adanya pekerjaan lain mereka, sehingga mereka tidak mempunyai banyak waktu
untuk mengurus lahan mereka. Meskipun sebenarnya mereka bisa menggarapnya sendiri.
2) Karena usia yang sudah tua sehingga mereka tidak memiliki tenaga yang cukup untuk
menggarap lahan mereka sendiri.
3) Karena mereka sudah tidak mempunyai suami lagi (janda) dan tidak sanggup untuk
menggarap lahannya sendiri.
4) Untuk menolong petani yang tidak mempunyai pekerjaan tetap.
5) Karena mereka lebih memilih menjadi TKI.

b. Bagi petani penggarap


1) Untuk mencari penghasilan tambahan karena lahan yang dimilikinya hanya sedikit.
2) Karena mereka tidak mempunyai lahan pertanian, walaupun mereka mempunyai keahlian,
sehingga mereka menerima lahan orang lain untuk mereka garap.

Bentuk-bentuk sistem tesang


Bentuk pertama. Lahan pertanian yang akan diolah berasal dari pemilik tanah, benih
yang akan ditanam serta pengolahan berasal dari petani penggarap. Dalam bentuk ini pemilik
tanah hanya memiliki tanggungan yakni pembayaran pajak tanah hak milik. Sedangkan
tanggungan yang berrhubungan dengan pengolahan lahan menjadi tanggungan petani
penggarap, yang meliputi penyemaian benih, penanaman, pembajakan dan peralatan lahan,
pengairan, pemberian pupuk, penyuburan lahan sampai tiba waktunya panen.
Bentuk kedua. Lahan pertanian yang akan diolah berasal dari pemilik lahan, alat dan
kerja (tenaga) dan biaya dari petani penggarap, sedangkan benih dan pupuk berasal dari
keduanya baik penggarap maupun pemilik lahan sama- sama memberikan benih dan pupuk
(separoh-separoh). Dalam bentuk ini pemilik tanah dibebani pajak tanah yang diolah serta
separoh jumlah benih yang akan ditanam. Sedangkan petani penggarap memiliki tanggungan
separoh benih dan semua yang berhubungan dengan pengolahan termasuk di dalamnya
adalah perawatan dan pemeliharaan tanaman.
Bentuk ketiga. Lahan pertanian yang akan dikerjakan serta benih yang akan ditanam
berasal dari pemilik lahan, alat dan kerja berasal dari penggarap. Dalam bentuk ini yang
menjadi tanggungan pemilik lahan adalah pajak dan seluruh jumlah benih yang diperlukan
untuk ditanam, adapun yang menjadi tanggungan petani penggarap hanya yang berhubungan
dengan pengolahan tanah yang dikerjakan.
Subyek dan obyek perjanjian sistim tesang (akad muzara’ah)
Subyek perjanjian dalam akad muzara’ah yaitu petani penggarap dan juga pemilik lahan
pertanian. Sedangkan obyek perjanjian dalam akad muzara’ah ini adalah tanaman padi dan
tenaga kerja, tanaman padi berbeda dengan tanamantanaman lainnya. Biaya penanaman,
pengelolaan dan perawatan padi harus mempunyai ketelitian dan keahlian tertentu. Selain itu
tanaman padi juga sangat bergantung dengan iklim.

Jangka Waktu Perjanjian Sistim Tesang (Akad Muzara’ah)


Menurut jumhur ulama, syarat sahnya muzara’ah yang lain adalah menjelaskan jangka
waktu sejak awal perjanjian, sehingga muzara’ah sendiri tidak sah apabila tanpa adanya
penentuan batas waktu dalam pelaksanaannya.

Penerapan Bagi Hasil Pada Sistim Tesang (Akad Muzara’ah)


Pembagian presentase kerjasama pengolahan tanah dengan sistem bagi hasil panen
atau tanaman tertuang dalam pendapat ahli fiqh yang bersifat umum, yang tidk secara spesifik
dijelaskan oleh ahli fiqhi tersebut maupun oleh para sahabat atau para tabi’in. selain itu juga
terdapat pedoman mengenai bagi hasil tanaman yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1960. Adapun menurut jumhur ulama’ syarat yang menyangkut dengan hasil ialah,
pembagian hasil panen harus jelas, serta hasil panen tersebut benar-benar milik orang yang
berakad, tanpa ada pengkhususan seperti disisihkan terlebih dahulu sekian persen.

Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat yang menunjukkan bahwa
adat tidak mungkin berkenaan dengan maksiat.
b) Perbuatan maupun perkataan yang dilakukan berulang-ulang.
c) Tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan Hadits.
d) Tidak mendatangkan kemadlaratan.

Oleh karena itu pelaksanaannya dapat dikatakan sebagai ‘urf yang dapat dijadikan sebagai
sumber hukum.
a) Semua pelaksanaan pembagian prosentase hasil panen jelas dilakukan berdasarkan kepada
kesepakatan tanpa adanya tekanan atau paksaan dan relevan dengan akal sehat, karena
masyarakat Desa Datara Kecamatan Tompobulu Kabupaten Gowa dalam melakukan sistim
tesang (akad muzara’ah) adalah mereka yang sudah berkeluarga dan perbuatan tersebut
sudah menjadi tradisi sendiri yang berpijak pada kemanfaatan dunia dan akhirat.
b) Pelaksanaan sistim tesang (akad muzara’ah) yang terjadi di Desa Datara Kecamatan
Tompobulu Kabupaten Gowa dapat dikatakan sesuai dengan syara’. Dilihat dari sudah
terpenuhinya rukun dan syaratnya, kesesuain itu tidak didasarkan pada hal-hal yang dilarang
oleh syari’at Islam.
c) Perbuatan sistim tesang (akad muzara’ah) atau kerjasama dalam lahan pertanian
mengandung kemaslahatan. Dengan sistim tesang (akad muzara’ah) ini dapat menumbuhkan
rasa kekeluargaan untuk saling membantu dan juga saling memperkuat tali persaudaraan baik
untuk pemilik lahan maupun untuk petani penggarap. Meskipun saat ini hasil tidak seimbang
dengan biaya yang dikelurkan oleh penggarap.
Zakat pada sistem muzara’ah
Jika dilihat asal benih tanaman, maka dalam Muzara’ah yang wajib zakat adalah
pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil
upah kerja.

Anda mungkin juga menyukai