Anda di halaman 1dari 6

Nama :

Kelas :

Kerjakan Tugas-Tugas di bawah ini!

1. Jelaskan macam-macam riba dan berikan contoh dari masing-masing riba yang ada
di tengah masyarakat kita, kemudian dari contoh tersebut analisalah penyebab seseorang
bergelut dengan riba dan berikan solusinya agar seorang muslim tidak terjerumus kepada
praktik ribawi!

2. Jelaskan perbedaan antara musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah kemudian


sertakan artikel atau berita yang merupakan praktek dari musaqah/muzara’ah/mukhabarah
(pilih salah satu) kemudian jelaskan bagaimana akad dari kerjasama tersebut dan pihak
mana yang harus mengeluarkan zakat!

Jawaban !

1. Macam-macam riba & penyebab melakukan riba

1) Macam-macam riba

a. Riba Fadl (Jual Beli) : Riba fadal merupakan riba yang muncul akibat adanya
jual-beli atau pertukaran barang ribawi yang sejenis namun berbeda kadar atau
takarannya.
Contohnya: 2 kg gandum yang bagus ditukar dengan 3 kg gandum yang sudah
berkutu

b. Riba Nasi’ah : Riba nasi’ah merupakan riba yang muncul akibat jual-beli atau
pertukaran barang ribawi tidak sejenis yang dilakukan secara hutang (jatuh
tempo) adanya tambahan nilai transaksi oleh perbedaa atau penangguhan waktu
transaksi.
Contoh: Alpi pinjam uang kepada Lisa sebesar Rp 100.000 dengan tempo 1
bulan jika pengembalian lebih satu bulan maka ditambah Rp 1.000

c. Riba qardh : Riba qardh merupakan riba yang muncul akibat tambahan atas
pokok pinjaman yang dipersyaratkan di muka oleh kreditur kepada pihak yang
berhutang yang diambil sebagai keuntungan.
Contoh : Vina memeberikan pinjaman pada Zia sebasar Rp 500.000 dan wajib
mengembalikan sebesar Rp 700.000 saat jatuh tempo dan kelebihan uang ini
tidak jelas untuk apa.

d. Riba yad : Riba yad merupakan riba yang muncul akibat adanya jul-beli atau
pertukaran ribawi maupun bukan ribawi dimana terdapat perbedaan nilai
transaksi bila penyerahan salah satu atau kedua-duanya diserahkan kemudian
hari.
Contoh: Tio dan Yoi sedang melakukan transaksi jual beli motor, Tio
menawarkan motornya kepada Yoi dengan harga Rp 13.000.000 jika dibeli
secara tunai namun jika kredit menjadi seharga Rp 15.000.000 hingga sampai
akhir akhir ransaksi tidak adanya keputusan mengenai harga.

2) Alasan melakukan riba:


Sebagian besar masyarakat melakukan riba karena hal tersebut seakan
memberikan solusi bagi kebutuhan mereka, dan keterbiasaan masyarakat terhadap
produk bank konvensional. Ditambah lagi dengan budaya konsumtif yang kian
meluas di antara masyarakat.
Solusi yang bisa kita lakukan bukanlah secara serta-merta menyalahkan pelaku
riba, melainkan memberitahukan bahwa belumlah terlambat untuk berhenti dari riba,
bahwa jika ingin melakukan tobat, tidak perlu menyulitkan diri sendiri.

2. Musaqah ialah kerjasama antara pemilik kebun dan penggarap, sehingga kebun
tersebut menghasilkan produk, yang kemudian hasilnya menjadi milik kedua belah pihak
menurut perjanjian yang telah disepakati. Musaqah hukumnya mubah.

Muzara’ah adalah bentuk kerjasama antara pemilik tanah sawah atau ladang dengan
penggarap, dengan benih tanaman dari pihak pemilik tanah atau ladang, dan
pembagian hasilnya menurut akad kesepakatan kedua belah pihak.

Sedangkan Mukhabarah ialah suatu bentuk kerjasama yang terjadi antara pemilik tanah
dan penggarap tanah untuk digarap dengan ketentuan bahwa benih tanaman yang akan
ditanam adalah dari penggarap tanah tersebut, dengan pembagian hasilnya menurut
akad kesepakatan. Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung oleh orang
yang mengerjakan.

Perbedaan Muzara’ah dan Mukhabarah adalah benih tanaman yang akan ditanam.
Pada muzaraah, benih tanaman berasal dari pemilik tanah, dan pada mukhabarah,
benih berasal dari penggarap.
Artikel yang berkaitan :

Durasi Kontrak Akad Musaqah yang Perlu Diketahui


Petani Penggerap dan Pemilik Lahan

Durasi Kontrak Akad Musaqah yang Perlu Diketahui Petani Penggerap dan Pemilik
Lahan Rabu 27 November 2019 07:30 WIB Share: Petani sedang menyemprot
pestisida. Ilustrasi: (via pinterest) Akad musaqah merupakan akad yang berlaku atas
jasa perawatan dan siraman atas suatu tanaman perkebunan. Penulis
mengistilahkannya dengan “tanaman perkebunan” karena hal yang disepakati dalam
akad musaqah adalah berlaku atas tanaman produktif. Sementara hal itu berlaku
secara terbatas pada tanaman buah, adalah pendapat qaul jadid dari Imam As-Syafii
dengan jenis khusus tanaman berupa anggur kuning (karam) dan kurma (nakhl).
(Mughny Muhtaj, jilid II, halaman 327). Untuk konteks Indonesia, kayaknya lebih
sesuai jika dikaitkan dengan tanaman produktif saja, namun dengan pembatasan
berupa jenis tanaman yang memiliki pola panen berulang kali. Demikian pula
dengan jenis tanaman usia pendek, akad musaqah ini lebih banyak terjadi
khususnya memandang pada praktik pertanian di wilayah Jawa. Jika kita masukkan
akad ini pada tanaman produktif jenis perkebunan, maka karet, kopi, cengkeh, lada,
gembili, teh, sawit dan sejenisnya bisa masuk dalam lingkup bahasan tulisan ini.
Semua contoh tanaman di atas merupakan jenis tanaman dengan durasi hidup yang
lama, bahkan dapat mencapai usia 20 tahun lebih. Usia ini yang menjadi inti
permasalahan kita. Kalau untuk tanaman usia pendek, semacam cabe, tomat,
mentimun, semangka dan sejenisnya, kita mudah memprediksi durasi waktu yang
diyakini sebagai habis masa panennya. Tapi, kalau karet, sawit, kopi, dan
sejenisnya, durasi habisnya masa panen itu susah untuk diprediksi. Di sisi lain,
kadang karena faktor upaya memenuhi kebutuhan hidup, seorang petani kadang
tidak senantiasa mau bekerja di ladang pertaniannya. Kadang ia harus pergi safar ke
wilayah lain untuk mengejar kebutuhan hidup itu. Nah, persoalannya, bagaimana
bila petani itu sudah menjalin akad kontrak perawatan kebun? Bisa jadi juga
masalah lahir dari rabbul mal (juragan). Kadang karena faktor yang tak terduga
sebelumnya, ia ingin mengonversi lahannya dari lahan perkebunan karet menjadi
lahan perkebunan sawit, atau teh, atau bahkan kopi. Sementara itu, ia sudah
terlanjur menjalin akad kontrak musaqah dengan petani penggarap. Berbagai alasan
inilah yang mendasari mengapa dalam akad musaqah perlu ditetapkan durasi waktu
kontrak akad. Durasi ini sudah pasti membutuhkan kesepakatan dan kesepahaman
antara dua pihak yang saling berakad. Berbicara mengenai durasi waktu ini, kita
ingat pendapat di kalangan Syafi’iyah, bahwa durasi itu tidak masuk dalam bagian
syarat dan rukun akad musaqah, khususnya qaul qadim. Namun, Ibnu Rusyd
menambahkan durasi waktu kontrak itu ke dalam bagian syarat keenam, dan diamini
oleh ulama kalangan Syafiiyah yang lain. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid II,
halaman 320). Hanya saja, konteks pengaminannya ini berlaku atas qaul jadid, yang
mana di dalam qaul ini, tumbuhan yang boleh dijalin dalam akad musaqah hanya
jenis tumbuhan yang manshush, yaitu kurma dan anggur kuning. Jadi, tidak mungkin
kita bawa dalam rangkaian qaul qadim, karena dalam qaul qadim itu, As-Syafi’i (w.
204 H) menetapkan pada semua jenis tanaman produktif, dan tidak hanya pada
tanaman yang manshush. (Raudhatut Thalibin, jilid V, halaman 156). Oleh karena
itu, dalam membaca, apakah durasi waktu ini boleh dilakukan dalam akad musaqah
atau tidak, maka kita tidak merujuk ke pendapat Syafiiyah, melainkan kepada tiga
mazhab lainnya, yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Inilah bagian terpenting
yang harus kita pahami. Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah,
pembatasan akad musaqah dengan durasi waktu berjalannya akad (tawqitul
musaqah) ini hukumnya adalah boleh. Maksud dari kebolehan ini dikembalikan ke
status hukum jaizah akad musaqah, yang mana akad tersebut bisa dibatalkan kapan
saja oleh pihak yang bertransaksi mana kala ditemui ketidakcocokan lagi dalam
jalinan kebersamaan dalam membangun akad kontrak (yang berarti terjadi kasus
‘udwan). Jika akibat terjadinya kasus sengketa saja, kontrak musaqah boleh
dibatalkan, apalagi dalam situasi tidak terjadi sengketa. Sudah barang tentu lebih
dibolehkan lagi dalam kerangka pengambilan kemaslahatan masing-masing pihak
yang terlibat dalam akad. Konteks kemaslahatan ini merupakan identik dengan
Mazhab Maliki dengan teori maslahah mursalah-nya. Hal yang hampir menyerupai
maslahah mursalah dalam Madzhab Hanafi dinamakan dengan istilah istihsan.
Dalam konteks maslahah mursalah, titik tekan utama yang jadi dasar pertimbangan
sudah pasti pula adalah maslahah mu’tabarah yang dikuatkan oleh tradisi.
Umumnya memang hati manusia selalu berbolak-balik yang kadang, hari ini ingin
bertani, namun selang beberapa waktu, ia ingin mengajar atau menjalankan usaha
lain. Ini merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri. Untuk itulah, dalam akad/kontrak
tidak ada yang berlaku abadi. Segalanya bisa berubah. Melalui pertimbangan ini,
kalangan Malikiyah menetapkan dasar bolehnya pengikatan kontrak musaqah itu
dengan batasan waktu (Kasyaful Qina’, jilid III, halaman 538). Semuanya dilakukan
demi kemaslahatan bersama. Psikologis orang yang bosan berkebun dengan sistem
musaqah, justru bisa berakibat dharar (merugikan). Yang rugi sudah pasti adalah
juragan (pemilik modal). Sementara syariat menetapkan tidak boleh berbuat
kerugian atau merugikan orang lain (la dharara wa la dhirara). Hal ini berlainan
dengan kalangan Hanafiyah. Dasar pertimbangan Mazhab Hanafi dalam
pembatasan waktu adalah karena adanya nash yang beredar di kalangan mazhab
tersebut, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan empat khalifah pernah
menetapkan durasi waktu terikatnya kontrak pada penduduk Yahudi tanah Khaibar.
Dengan cantolan hukum ini, maka sebelumnya kalangan Hanafiyah yang
menyatakan bahwa penetapan durasi waktu itu tidak boleh, berubah menjadi boleh
disebabkan ada dalil lain yang dianggap sebagai representatif untuk dijadkan
cantolan hukum. Proses perpindahan dalil dari satu cantolan ke dalil yang lain
sebagai dasar hukum lainnya ini dinamakan dengan istilah istihsan (Hasyiyah Ibnu
Abidin, jilid V, halaman 182). Perpindahan dasar cantolan dalil ini harus dilakukan
seiring harus ada harta rabbul mal (pemilik modal) yang harus dijaga dari kerugian
akibat banyak faktor psikologis dari pengelola yang mungkin saja terjadi ini. Alhasil,
kalangan ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki seolah memegang teguh
maqashid syariah berupa penjagaan harta tersebut (hifzhul mal), namun karena
akad musaqah juga dibutuhkan guna menyelamatkan hidup dan menggiring kepada
hidup yang lebih baik dari petani pengelola, maka akad musaqah juga tetap harus
diberikan ruang aktualisasinya. Salah satu cara menjamakkan dua cantolan hukum
dan akad musaqah ini adalah jalan istihsan itu, yaitu dengan menetapkan kebolehan
pembatasan waktu. Inilah indahnya syariat itu dalam mengatur bagian dari akad
muamalah yang sering berlaku di masyarakat. Agaknya kalangan ulama Mazhab
Hanbali memiliki perspektif lain dalam memandang kebolehan penetapan durasi
akad kontrak musaqah itu. Kalangan ini sepertinya lebih condong pada ushul utama
dari akad musaqah, bahwa akad tersebut pada dasarnya merupakan akad wakalah,
syirkah atau bahkan mudharabah. Oleh karenanya, ia dapat dibatasi oleh waktu,
asalkan tujuan utama dari pelaksanaan akad tersebut secara yakin dapat dicapai
oleh pihak musaqy. Tujuan utama ini disesuaikan dengan durasi perkiraan habisnya
masa produksi tanaman dan sekaligus tujuan dari musaqy dalam mendapatkan
hasil, buah dari kerjanya merawat tanaman (Syarhu Muntahal Iradat, jilid II, halaman
345). Suatu misal, jika cabe itu usianya 70 Hari Setelah Tanam (HST) ia bisa
dipanen, dan durasi panenan itu diperkirakan akan habis sebanyak 12 kali, dengan
jarak antara panenan satu dan panen berikutnya adalah 5 hari, yang berarti adalah
60 hari jangka waktu panen, maka boleh menetapkan batasan waktu akad musaqah
pada tanaman cabe dengan memperkirakan gabungan dua durasi itu (70 hari
ditambah 60 hari, total 130 hari (4 bulan 10 hari). Jadi, syarat utama pembatasan
waktu ini berlaku sangat ketat dalam mazhab Hanbali. Bahkan disebutkan wajib
mutayaqqan (diyakini) terhadap masa habisnya jangka waktu panen. Semua ini
diterapkan dalam mempertimbangkan hak-hak dari petani pengelola. Masak masa
susahnya dia dipergunakan, sementara tinggal petiknya saja, ia harus ditinggalkan.
Kan kasihan? Itulah masing-masing pertimbangan dari kalangan tiga mazhab selain
Syafiiyah dalam menetapkan batas durasi waktu kontrak dalam akad musaqah
tesebut. Sudah pasti, masing-masing pendapat ada plus dan minusnya. Wong
namanya saja, hukum asal penetapan batas waktu tersebut tidak diperbolehkan oleh
empat mazhab. Adapun karena faktor kemaslahatan yang harus dijaga, maka hal
tersebut menjadi diperbolehkan. Ini merupakan pendapat yang diadopsi oleh An-
Nawawy sebagaimana dituangkan dalam kitabnya, Raudhatut Thalibin, juz V,
halaman 156. Wallahu a’lam bis shawab.

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center


PWNU Jawa Timur.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/113958/durasi-kontrak-akad-musaqah-yang-
perlu-diketahui-petani-penggerap-dan-pemilik-lahan

Zakat sesungguhnya diwajibkan kepada orang mampu, dalam pengertian telah mempunyai
harta mencapai batas nisab dan telah dimilikinya selama satu tahun. Namun dalam Q.S. Al-
An’aam: 141), dijelaskan:

Artinya: ” … Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya);…(Q.S. Al-An’aam:
141).

Dengan demikian zakat ini dikeluarkan pada saat panen oleh orang yang memberikan bibit.

Anda mungkin juga menyukai